Oleh:
NIM/NO : 22102056/24
Di setiap ajaran agama kita selalu di ajarkan tentang kebaikan dan dan larangan
larangan yang tidak boleh dilakukan umatnya. Dalam ajaran agama hindu kita mengenal tiga
kerangka dasar agama hindu yang dijadikan dasar landasan kita beragama tiga kerangka itu
adalah Tattwa, Susila, dan Upacara. Berbicara tentang tiga kerangka dasar agama hindu Puja
Tri Sandya dan Panca Sembah merupakan hal dasar yang harus di ketahui, tapi sedikit orang
yang mengetahui apa makna di setiap bait Tri Sandya dan Panca Sembah. Kali ini kita akan
mengulas tuntas apa aitu Trisandya dan seperti apa pelaksanaan Panca Sembah yang baik dan
benar. Tujuan penulisan materi kali ini adalah karena di zaman era globalisasi ini banyak
umat yang melenceng dari ajaran Dharma dan selalu merasa paling tahu akan segalanya.
Tri Sandhya kalau dilihat dari segi kata terdiri dari dua kata yaitu kata Tri dan kata
Sandhya. Tri artinya tiga dan Sandhya atau Sandhi artinya hubungan. Jadi kata Tri Sandhya
artinya tiga kali berhubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa dalam satu hari. Jadi, Tri
Sandhya dapat dimaknai sebagai sebuah proses penyucian diri untuk menghilangkan sifat-
sifat negatif yang disebabkan oleh pengaruh “guna” dan me-ningkatkan sifat-sifat positif
(Sattwam) dalam diri manusia. Dengan demikian akan tercipta kehidupan yang lebih baik,
tercipta keharmonisan dan keseimbangan baik dengan sesama makhluk maupun dengan alam
semesta. Sebagai manusia yang mampu berpikir, dapat memaknai mengapa Tri Sandhya kita
lakukan setiap hari. Karena dengan mengetahui makna Tri Sandhya yang baik dan benar
disertai keyakinan dan keiklasan, maka kita bisa menjadi manusia yang mampu menolong
diri sendiri dari keadaan sengsara akibat sifat-sifat negatif “guna”.
Tri Sandhya adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh setiap umat Hindu tiga
kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini diamanatkan dalam kitab suci Weda dan sudah
dilaksanakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun melaksanakan Tri Sandhya
berarti kita tidak secara sungguh-sungguh mengamalkan ajaran yang terkandung dalam kitab
suci Weda. Tri Sandhya Dalam Sastra Kitab Agastya Parwa: “… agelema ta sirāmujā,
matrisandhyā, toyasnāna, bhasmasnāna, mantrasnāna, (Agastya Parwa 396) Puja Tri sandhyā
baru dikenal sekitar tahun 1950-an dalam buku buku Puja Tri Sandhyā oleh Prof. Pandit
Shastri . Tri artinya tiga. Sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan) dan di(ditaruh)
yaitu hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan antar waktu atau antar ruang.
1
Sandhyā artinya hubungan antara waktu. Pertemuan antara waktu malam dengan pagi, antara
waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan malam. 3 Waktu Tri Sandhya: Pagi
hari disaat matahari terbit disebut “Brahma Muhurta” bertujuan menguatkan “guna Sattvam”
menempuh kehidupan dari pagi hingga siang hari. Siang hari sebelum jam 12 sembahyang
bertujuan untuk mengendalikan “guna Rajas” agar tidak menjurus ke hal-hal negatif. Sore
hari sebelum matahari tenggelam sembahyang bertujuan untuk mengendalikan “guna Tamas”
yaitu sifat-sifat bodoh dan malas.
2
terinspirasi oleh cahaya ilahi itu.
Bait Il
Om Näràyana evedam sarvam
yad bhütam yac ca bhavyam
niskalanko nirañjano nirvikalpo
nirakhyàtah suddo deva eko
Nàràyano na dvitiyo' sti kascit
Bait Ill
Om tvam sivah tvam mahàdevah
isvarah paramesvarah
brahmà visnusca rudrasca
purusah parikirtitah
Bait IV
Om papo ham papakarmaham
pâpatmà pâpasambhavah
trähi mäm pundarikaksa
sabàhyàbhyäntarah sucih
3
OM, saya penuh dengan dosa, tindakan saya
penh dosa,
Saya sendiri berdosa, dan kelahiran saya
berdosa,
selamatkan aku, O Lotus bermata satu,
bersihkan tubuh dan pikiran saya.
Bait V
Om ksamasva màm mahàdeva
sarvapràni hitankara
mam moca sarva pàpebyah
palayasva sadà siva
Bait VI
Om ksäntavyah kàyiko dosah
ksantavyo vàciko mama
ksantavyo mânaso dosah
tat pramàdàt ksamasva màm
4
B. Makna Setiap Bait Tri Sandya
Mantram Bait I
Om Sang Hyang Widhi, kami menyembah
kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang
Widhi yang menguasai bumi, langit dan sorga,
semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan
kecerdasan dan semangat pada pikiran kami
Mantram Bait Il
Om Sang Hyang Widhi, Näràyana adalah semua ini
apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas
dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan
tak dapat digambarkan, sucilah dewa Näràyana, la
hanya satu tidak ada yang kedua.
Mantram Bait IV
5
Mantram Bait V
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah hamba, Sang
Hyang Widhi yang maha agung anugrahkan
kesejahteraan kepada semua makhluk.
Bebaskanlah hamba dari segala dosa lindungilah
hamba Om Sang hyang Widhi.
Mantram Bait Vl
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah dosa yang
dilakukan oleh badan hamba, ampunilah dosa yang
keluar melalui kata kata hamba, ampunilah dosa
pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian
hamba.
Om Sang Hyang Widhi anugrahkanlah kedamaian,
kedamaian, kedamaian selalu.
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Hindu untuk mentaati semua larangan
dan apa saja yang harus dilakukan dalam kehidupan beragama. Puja Tri Sandya merupakan
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat hindu, Selain sebagai sarana
mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi, Tri
Sandya juga berarti proses penyucian dari aspek negatif dalam diri manusia. Melaksanakan
puja Tri Sandya tiga kali sehari juga memiliki arti tersendiri karena umat hindu percaya pada
waktu tersebut para umat dikelilingi hal negatif sehingga harus dinetralisir.
Trisandya atau Puja Trisandya adalah mantram dalam agama Hindu khususnya bagi
umat hindu di Bali dan umat Hindu di Indonesia pada umumnya. Bait pertama dari trisandya
adalah berasal dari Gayatri Mantram yang tertuang dari Veda. Pada dasarnya Puja Tri Sandya
merupakan mantram yang berjumlah enam bait yang di susun oleh I Gusti Bagus Sugriwa
dengan setiap baitnya di ambil dari beberapa mantra kesusastraan Veda.
6
Tri Sandya adalah roda kehidupan beragama yang menghubungkan refleksi kita
dengan Hyang Widhi. Penghubungan tiga kali dalam sehari dilakukan pada pagi-siang dan
petang/malam. Saat waktu tiga itulah umat hindu menyatakan berserah diri secara total
(bayu-sabda-idep) tingkah laku, ucapan, pikiran kehadapan-Nya. Sandya wakti pagi adalah
untuk mengembalikan rasa ego setelah terombang ambing suasana nikmat tidur dan
memohon bimbingan menerima hadirnya siang. Setelah mendapat keteguhan hati, sandya
kedua ini berisi pernyataan maaf kepada Nya atas segala kekhilafan yang telah kita perbuat
selama perjalanan pagi ke siang. Sedangkan sandya (perhubungan) yang ketiga adalah rasa
ayubagia atas syukur atas segala limpahan serta karunia Nya yang dianugrahkan kepada kita,
dan tetap memohon kewaspadaan memasuki suasana malam. Demikian seterusnya hari
berganti hari kita wujud- bangun puja tri sandya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi selama
hayat dikandung badan.
Narendra Dev Pandit Shastri adalah seorang terpelajar dari India yang dikirim ke Bali
pada tahun 1950 untuk ikut menjaga budaya Hindu di Bali dengan aktif mengajar Catur
Weda dan Upaniad. Beliau turut menyusun Puja Tri Sandya pada tahun 1950 dan dimasukan
dalam bukunya yang berjudul Tri Sandya. Pada tanggal 14 Juni 1958 Pandit Shastri ikut
menyusun Petisi yang isinya bahwa Agama Hindu Bali tidak bertentangan dengan Pancasila
dan meminta agar Agama Hindu Bali diakui menjadi Agama Resmi di Indonesia. Petisi ini di
dukung oleh Presiden Sukarno dan pada tanggal 1 Januari 1959 Agama Hindu Bali diakui
menjadi Agama Resmi di Indonesia. Beberapa karya dari Pandit Shastri diantaranya Intisari
Hindu Dharma, Kidung Yadnya (1950), Tri Sandya (1950), Weda Parikrama (1951) buku
yang menerangkan mantra-mantra yang sangat terkenal di kalangan kependetaan di Bali dan
Lombok dan juga Sejarah Bali Dwipa (1963).
Perjuangan agar Agama Hindu Bali diakui negara tidaklah sederhana dan mudah.
Namun berkat salah satu pejuang putra kebanggaan Bali, hal itu bisa terwujud. Putra Bali ini
bernama I Gusti Bagus Sugriwa. Beberapa hal yang dilakukan IGB Sugriwa saat itu adalah,
pertama, melakukan diskusi formal dengan Menteri Agama RI tahun 1950. Selain itu
dilakukan dengan cara informal, yakni melobi penguasa negara sekaligus Presiden Pertama
RI, Soekarno. Sehingga akhirnya tanggal 5 September 1958, terbitlah Surat Keputusan
Menteri Agama RI yang mengakui keberadaan Agama Hindu Bali. Selanjutnya terhitung
7
mulai Tanggal 5 September 1958 (— 1 Januari 1959) terbitlah Surat Keputusan Menteri
Agama RI yang mengakui keberadaan Agama Hindu di Bali.
Tri Sandhya dapat dimaknai sebagai sebuah proses penyucian diri untuk
menghilangkan sifat-sifat negatif yang disebabkan oleh pengaruh “guna” dan me-ningkatkan
sifat-sifat positif (Sattwam) dalam diri manusia. Dengan demikian akan tercipta kehidupan
yang lebih baik, tercipta keharmonisan dan keseimbangan baik dengan sesama makhluk
maupun dengan alam semesta. Sebagai manusia yang mampu berpikir, dapat memaknai
mengapa Tri Sandhya kita lakukan setiap hari. Karena dengan mengetahui makna Tri
Sandhya yang baik dan benar disertai keyakinan dan keiklasan, maka kita bisa menjadi
manusia yang mampu menolong diri sendiri dari keadaan sengsara akibat sifat-sifat negatif
“guna”. Pada umumnya memakai lagu dan irama, sehingga mantram juga disebut “Stotra”.
Dalam sekian banyak mantram contohnya puja Tri Sandhya bahwa mantram adalah sebagai
sarana persembahyangan yang berwujud bukan benda (nonmaterial) yang harus diucapkan
dengan penuh keyakinan, (Duwijo dan Darta, 2014:3).
2. Pranayama yaitu mengatur nafas dengan halus dengan tujuan agar dapat melakukan
Tri Sandhya dengan baik. (Om Ang namah = menarik nafas, Om Ung namah =
menahan nafas, Om Mang namah = mengembuskan nafas), (Duwijo dan Darta,
2014:4).
8
4. Amusti Karana yaitu tangan menempel di depan ulu hati tangan kiri di bawah tangan
kanan dengan Ibu jari menghadap ke atas saling bertemu, (Duwijo dan Darta, 2014:5).
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai Umat Hindu di bali untuk menjalankan dan
melestarikan apa yang leluhur kita ajarkan, di era globalisasi banyak umat yang tersesat ke
jalan yang salah karena melupakan ajaran agama yang menjadi landasan manusia untuk hidup
di dunia ini. Sudah seharusnya kita sebagai kaum milenial untuk membangkitkan apa yang
dulu leluhur kita ajarkan dan jangan sesekali kita lupa dengan hal itu.
Tri Sandhya kalau dilihat dari segi kata terdiri dari dua kata yaitu kata Tri dan kata
Sandhya. Tri artinya tiga dan Sandhya atau Sandhi artinya hubungan. Jadi kata Sandhya
artinya tiga kali berhubungan dengan Sang Hyang Widhi Wasa dalam satu hari. Puja Tri
Sandya bukan hanya sekedar mantra belaka tetapi terkandung arti,makna,filosofi, dan sejarah
yang terdapat di dalamnya. Trisandya atau Puja Trisandya adalah mantram dalam agama
Hindu khususnya bagi umat hindu di Bali dan umat Hindu di Indonesia pada umumnya. Bait
pertama dari trisandya adalah berasal dari Gayatri Mantram yang tertuang dari Veda. Pada
dasarnya Puja Tri Sandya merupakan mantram yang berjumlah enam bait yang di susun oleh
I Gusti Bagus Sugriwa dengan setiap baitnya di ambil dari beberapa mantra kesusastraan
Veda. Tri Sandya adalah roda kehidupan beragama yang menghubungkan refleksi kita
dengan Hyang Widhi. Penghubungan tiga kali dalam sehari dilakukan pada pagi-siang dan
petang/malam. Saat waktu tiga itulah umat hindu menyatakan berserah diri secara total
(bayu-sabda-idep) tingkah laku, ucapan, pikiran kehadapan-Nya.
Panca Sembah
9
“Om Atma Tattvatma Soddha Mam Svaha”
3. Sembah ketiga menyembah Sanghyang WIdhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan
Sara Kwangen atau Bunga. Ucapkan mantra :
“Om namo devaya adhistanaya Sarva vyapi vai sivaya Padmasana eka prathistaya
Ardhanaresvarya namah svaha”.
1. Sembah pertama merupakan sembah puyung atau sembah dengan tangan kosong yang
ditujukan kepada Ida Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Sang Hyang
Parama Atma. Tujuan dari sembah puyung ini adalah untuk menyatukan (nunggalang) Atma
dengan diri sehingga Bakti kita kepada Tuhan menjadi nyambung.
2. Sembah kedua menggunakan sarana Bunga, biasanya menggunakan bunga warna putih
atau Kuning yang ditujukan kepada Ida Hyang Siwa Raditya. Tujuan dari sembah kedua ini
adalah Mohon Penyaksian dari Beliau agar prosesi Sembahyang kita disaksikan dan dituntun
secara Niskala oleh Beliau.
10
3. Sembah ketiga menggunakan sarana Kwangen atau Bunga warna yang ditujukan kepada
Manifestasi Hyang Widhi tempat kita sembahyang. Misalnya saat sembahyang di Pura Puseh
berarti sembah kita ditujukan Kepada Dewa Wisnu dan Bhatari Sri yang berstana di Pura
Puseh. Tujuan dari sembah ketiga ini adalah sebagai sujud bakti kita kepada Manifestasi
Tuhan yang berstana di Pura Tersebut atas anugrah dan tuntunan yang telah diberikan kepada
kita. Oleh karena itulah sebagai Umat kita harus mengetahui di masing-masing Pura siapa
Manifestasi Tuhan yang berstana disana sehingga kita lebih mudah dalam menyebut dan
memuja Beliau.
5. Sembah kelima menggunakan sarana tangan kosong / tanpa sarana yang bertujuan untuk
mengucap Syukur dan Terima Kasih atas Tuntunan dan Anugrah yang diberikan saat kita
Sembahyang.
2.Tahapan Persembahyangan
1. Mantram Dupa :
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa/Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba sehingga sucilah
sudah hamba seperti sinar-Mu.
11
2. Mantram Bunga dan Kawangen
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, semoga bunga ini cemerlang dan suci.
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, dalam wujud Hyang Siwa, hamba-Mu telah duduk tenang,
suci, dan tiada noda.
4. Lakukan Pranayama
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa dalam aksara Ang pencipta, hamba hormat
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa dalam aksara Ung pemelihara, hamba hormat
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa dalam aksara Mang pelebur, hamba hormat
5. Penyucian tangan
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, bersihkanlah tangan hamba (bisa juga pengertiannya untuk
membersihkan tangan kanan).
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, lebih dibersihkan lagi tangan hamba (bisa juga pengertiannya
untuk membersihkan tangan kiri).
12
6. Puja Tri Sandya
1. Oṁ Oṁ Oṁ
īśvaraḥ parameśvaraḥ
puruṣaḥ parikīrtitāḥ
4. Oṁ pāpo’haṁ pāpakarmāhaṁ
pāpātmā pāpasambhavaḥ
sabāhyābhyantaraḥ śuciḥ
sarvaprāni hitaṅkara
13
māṁ moca sarva pāpebyaḥ
pālayasva sadāśiva
Terjemahan :
1. Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa kami menyembah kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang
Hyang Widhy Wasa yang menguasai bumi, langit dan sorga, semoga Sang Hyang Widhy
Wasa menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada pikiran kita.
2. Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, semua yang ada berasal dari Sang Hyang Widhy Wasa baik
yang telah ada maupun yang akan ada, Sang Hyang Widhy Wasa bersifat gaib tidak ternoda
terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkapkan, suci, Sang Hyang Widhy Wasa, tidak ada
yang kedua
3. Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, engkau disebut Siwa yang menganugrahkan kerahayuan,
Mahadewa (dewata tertinggi), Iswara (maha kuasa), Parameswara (sebagai maharaja adiraja),
Brahma (pencipta alam semesta beserta isinya), Wisnu (memelihara alam semesta), Rudra
(yang sangat menakutkan) dan sebagai Purusa (kesadaran agung).
4. Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, hamba ini papa, perbuatan hambapun papa, diri hamba ini
papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang Hyang Widhy Wasa, Sang Hyang
Widhy Wasa yang bermata indah bagai bungan teratai, sucikanlah jiwa dan raga hamba.
5. Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, ampunilah hamba Sang Hyang Widhy Wasa yang maha
14
agung anugrahkan kesejahteraan kepada semua mahluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa,
lindungilah hamba oṁ Sang Hyang Widhy Wasa.
6. Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, ampunilah dosa yang dilakukan badan hamba, ampunilah
dosa yang keluar melalui kata-kata hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba
dari kelahiran hamba.
7. Kramaning Sembah
Setelah selesai memuja Trisandya dilanjutkan Panca Sembah. Kalau tidak melakukan
persembahyangan Trisandya (mungkin tadi sudah di rumah) dan langsung memuja dengan
Kramaning Sembah, maka setelah membaca mantram untuk dupa langsung saja menyucikan
bunga atau kawangen yang akan dipakai muspa.
Adapun sikap tangan yang perlu kita perhatikan dalam persembahyangan dalah :
Kehadapan Sang Hyang Widhy Wasa, cakupkan tangan diletakan di atas dahi sehingga
ujung jari ada di atas ubun-ubun.
Kehadapan para Dewa (Dewata), ujung jari-jari tangan diatas, diantara kening.
Kepada Pitara (roh leluhur), ujung jari-jari tangan berada di ujung hidung.
Kepada sesama Manusia, tangan dihulu hati, dengan ujung jari tangan mengarah keatas.
Kepada para Butha, tangan dihulu hati, tetapi jari tangan mengarah kebawah
15
Oṁ atma, atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba
(2). Menyembah Sang Hyang Widhy Wasa sebagai Sang Hyang Aditya menggunakan sarana
bunga berwarna putih :
bhāskarāya namo’stute
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, Sinar Hyang Surya Yang Maha Hebat. Engkau bersinar
merah, hamba memuja Engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah teratai putih.
Hamba memuja Engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.
(3). Menyembah Sang Hyang Widhy Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Bunga atau
Kawangen.
Istadewata adalah dewata yang di inginkan kehadirannya pada waktu seseorang memuja
keagungannya. Ista Dewata adalah perwujudan Sang Hyang Widhy Wasa dalam berbagai
wujudNya. Jadi mantramnya bisa berbeda-beda tergantung di mana dan kapan
bersembahyang. Mantram di bawah ini adalah mantram umum yang biasanya dipakai saat
Purnama atau Tilem atau di Pura Kahyangan Jagat:
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, yang bersemayam pada tempat yang sangat luhur, kepada
16
Hyang Siwa yang berada di mana-mana, kepada dewata yang bersemayam pada tempat
duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.
(4). Menyembah Sang Hyang Widhy Wasa sebagai pemberi anugrah menggunakan sarana
bunga atau kawangen
Oṁ Anugraha manoharam
Dewa-dewi mahāśiddhi
yajñānya nirmalātmaka
Oṁ Sang Hyang Widhy Wasa, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah
pemberian Dewata yang maha agung, pujaan semua pujaan, hormat bhakti hamba pada-Mu,
pemberi semua anugrah
Oṁ Hormat kepada dewata yang yang tak terpikirkan yang maha tinggi yang gaib
17