Anda di halaman 1dari 9

KOMPARASI SIWA SIDDHANTA

DI BALI DAN INDIA

Oleh: Ketut Setianingsih


NIM: 2207011973

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU


FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA DAN SENI
UNIVERSITAS HINDU INDONESIA
DENPASAR 2023
Abstrak

Siwa Siddhanta merupakan ajaran Hindu yang berpusat pada Siwa sebagai
yang tertinggi. Dalam Siwa Siddanta merupakan ajaran yang bersumber dari
India khususnya bagian selatan. Ajaran ini berkaitan erat dengan Weda,
Upanishad seperti Isa upanisad, Chandogya Upanisad, Brhadaranyaka
Upanisad, Kena Upanisad, Svetasvatara Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna
Upanisad, dan sebagainya. Disamping itu juga mendapat pengaruh Purana.
Namun dalam perkembangannya di Indonesia mengalami berbagai
perubahan akibat bersentuhan dengan berbagai paham seperti Surya, Tri
Murti, Ganapati maupun Shakta, termasuk ajaran pemujaan leluhur.

I. PENDAHULUAN
Pentingnya memahami Brahma Widya adalah agar setiap umat
Hindu tidak rancu atau bingung dengan apa yang diyakininya. Ruang
lingkup agama hindu yang paling mendasar adalah keyakinan terhadap
Tuhan (Brahman), Atman, Karma Phala, Punarbahawa, moksa, dan alam
semesta ini sebagai tempat terjadinya semau ini. Jika keliru dalam satu hal
saja, maka tujuan akhirpun akan berbeda. Misalnya jika memandang bahwa
atma atau roh adalah berbeda sama sekali dengan Brahman, maka kata
penyatuan atau moksa itu tidak akan ada. Ruang lingkup pertama yang
harus kita ketahuai adalah siapa yang disebut penguasa alam semsta dalam
agama Hindu? Atau ketika sebagaian besar dari kita membaca purana,
menonton Mahadewa, dengan tidak memiliki bekal yang kuat terhadat
Brahma Widya, mungkinkah kita akan tetap beragama Hindu? Sementara di
eropa model agama purana seperti ini telah masuk museum dan tidak dianut
lagi. Oleh karena itu untuk menghilangkan keraguan terhadap hindu,
khususnya dalam theology maka perlu diskusikan materi berikut.
Sang Hyang Widdhi Wasa, Ia yang menakdirkan yang Maha Kuasa,
sebagai awal, tengah dan akhir dari sarwabhawa (segala yang ada). Ia sangat
sempurna, tanpa cacat, tanpa noda, tanpa awal, tengah, dan akhir.
Bagaimanapun kita memikirkan-Nya sangatlah tidak mungkin
membayangkan Ia yang Maha sempurna dengan pikiran yang sangat
terbatas. Lalu bagaimanakah cara Hindu mengenal siapa yang
disembahnya?
Hindu memiliki tri kerangka dasar yaitu tattwa, etika dan upacara.
Untuk belajar ajaran ketuhanan Hindu Indonesia maka seseorang harus
memahami Siwa tattwa (hakikat Siwa). Sebelum memasuki Siwa Tattwa
perlu dipahami pola pikir yang akan mengantarkan kita belajar Tattwa
Hindu secara benar. Menurut Drs. I Gede Sura, sedikitnya ada tiga pola
pikir:
1. Pola pikir Ilmiah yaitu pola pikir yang didasarkan pada proses ilmiah
atau dikenal juga dengan kebenaran keilmuan. Pola pikir ini sangat
berguna dalam penelitian-penelitian ilmu pengetahuan yang lebih
mengedepankan logika. Orang yang berhasil menerapkan pola pikir ini
dikenal dengan ilmuan. Misalnya Einstein, Thomas Alpha Edison, dsb.
2. Pola pikir Filsafat, didasarkan pada renungan secara mendalam oleh
manusia sehingga kebenaran yang diperoleh adalah kebenaran filsafati,

1
sedangkan sang perenung yang memperoleh jawaban atas pokok
persoalan yang dipecahkan disebut Filosof atau filsuf. Misalnya: Plato,
Aristoteles, dsb
3. Pola pikir Agama yang bersumber dari keyakinan. Karena bersumber
dari keyakinan maka pola pikir agama lebih mengutamakan rasa. Pola
pikir agama sangat dipengaruhi oleh ajaran dari masing-masing agama,
karena itu agama yang berbeda memiliki pola pikir yang berbeda pula.
Pola pikir Agama Hindu akan berbeda dengan pola pikir Islam, Kristen,
Katolik maupun Buddha.
Untuk memperoleh cara berfikir yang sistematis, seseorang harus
memilah-milah sendiri dalam pikirannya apakah ini agama, apakah ini
filsafat ataukan ilmiah. Namun dalam kenyatannya terkadang ada kaitan
antara satu pola pikir dengan pola pikir yang lain, yang mana hal ini akan
menimbulkan kerancuan apabila tidak didasari oleh Wiweka. Campur aduk
pola pikir agama-agama sangat sering terjadi sehingga terkesan adanya
pemaksaan atau penjajahan oleh satu agama terhadap agama yang lain.

II. PEMBAHASAN
A. Tuhan Dalam Weda
Didalam Veda kita bisa melihat begitu banyak nama Dewa yang
seringkali bahkan tidak kita temukan pemujaannya dewasa ini. Dewa
berasal dari kata Div yang artinya sinar, Dewa dalam hal ini merupakan
sinar suci dari Sang Hyang Widhi Wasa. Jumlah Dewa-Dewa dalam Reg
Weda I. 139. 11 disebutkan ada 33:
Ye dewaso divy ekadasa stha prthivyam adhy ekadasa stha,
apsuksito mahinaikadasa stha te devaso yajnyamimam jusadhvam.
Artinya:
Wahai para Dewa (33 Dewa), sebelas di sorga, sebelas di bumi, dan
sebelas di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan
suci ini.

Sedangkan dalam Reg Weda III. 9.9 bukan hanya 33 Dewa


melainkan ada 3339 Dewa, dan diantara semua Dewa Reg Weda
menggambarkan Surya sebagai Dewa tertinggi. Hal ini ditegaskan dalam
Reg Veda I.50.10:
Udvayam tamasaspari jyotis pasyanta uttaram,
Devam devatra suryamaganma jyotiruttamam.
Artinya:
Lihatlah menjulang tinggi di angkasa, cahaya yang terang benderang
mengatasi kegelapan telah datang, Ia adalah Surya, Dewa dari
seluruh Dewata, cahaya-Nya yang terang itu betapa indahnya.

Weda sebagai sumber pertama dan utama memuat begitu banyak


Dewa, yang dihubungkan dengan wilayah atau lingkungan, bahkan aktivitas
dan sifatnya. Agni berhubungan dengan bumi, angkasa dengan Vayu dan
Indra sebagai Dewatanya, surga dengan surya sebagai dewatanya. Semua
Dewa-Dewa merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Tunggal, hal ini

2
diuraikan dalam Reg Weda Mandala I Sukta 164 Mantra ke-46
yangmenyebutkan:
Indram Mitram Varuna Agni ahur atho divyah sasuparno garutman,
Ekam sad vipra bahudha vadhantyagnim yamam matarisvanam
ahuh.
Artinya:
Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan dia yang
bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok.
Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama
seperti Agni, Yama, Matarisvan.

Dalam komentarnya tentang Dewa-Dewa Drs. I Gede Sura


memberikan kesimpulan yang sangat kuat yang dapat dijadikan kesimpulan.
Dewa merupakan perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa atau manifestasi
dari Yang Maha Tunggal. Seorang Yogin dari India Sri Aurobindo
memaparkan tentang nama Dewa dengan tafsiran yang menkajubkan; Agni
berarti Tuhan yang Maha Mengetahui dan yang sangat dimuliakan; Indra
berarti Tuhan Yang Maha Cemerlang; Soma sebagai tuhan yang layak kita
cintai, dan kita abdi; Varuna adalah Tuhan Yang Maha Adil, Maha Mulia;
Savita, Tuhan Sang Pencipta; Visnu, Tuhan Maha Ada; Pusan, Tuhan
sebagai pemelihara; dan Marut adalah nafas vital.
Melalui kutipan diatas dapat kita simpulkan bahwa nama-nama
Dewa sangat populer pada Jaman Weda yang dikaitkan dengan alam
pengalaman manusia. Dewa yang berbeda dipandang memiliki fungsi yang
berbeda, namun semuanya adalah perwujudan dari Yang Esa. Dengan
demikian maka ajaran Ketuhanan dalam Veda adalah ajaran yang
mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun ia meliputi segala
mempunyai banyak nama. Ia yang esa berada pada semua yang ada dan
semua yang ada berada pada yang Esa.

B. TUHAN DALAM UPANISAD


Upanisad artinya duduk di dekat guru untuk mendengarkan ajaran.
Cara belajar Upanisad banyak dilakukan diasrama-asrama dalam hutan-
hutan (aranya) sehingga kitab upanisad sering disebut juga Kitab Aranyaka.
Lahirnya kitab Upanisad merupakan babak baru bagi perkembangan Agama
Hindu di India, yaitu peralihan dari Zaman Brahmana yang lebih
mengutamakan Yajnya sebagai jalan mendekatkan diri Kehadapan Sang
Hyang Widhi Wasa.
Secara tradisi kita mengenal 108 kitab Upanisad yang merupakan
ulasan-ulasan dari guru yang berbeda misalnya: Isa upanisad, Chandogya
Upanisad, Brhadaranyaka Upanisad, Kena Upanisad, Svetasvatara
Upanisad, Maitri Upanisad, Prasna Upanisad, dan sebagainya. Yang sangat
menakjubkan dalam kitab Upanisad adalah ulasan-ulasan yang begitu
mendalam mengenai Brahman dan Atman, Maya dan penciptaan alam
semesta, karma dan penjelmaan serta ajaran tentang moksa.
Istilah Brahman untuk menyebut Tuhan dalam kitab-kitab Upanisad
sangatlah populer. Brahman berasal dari akar kata “brh” yang artinya yang

3
memberi hidup, menumbuhkan, menjadikan hidup, menjadikan
berkembang, meluap (Pudja, 1999: 14).
Penjelasan mengenai Brahman dapat kita lihat dalam Mandukya
Upanisad, Enlightenment Withhout God, oleh Swami Rama:
Kata Brahman berasal dari akar kata brha atau brhi yang berarti
meluap, mengembang, pengetahuan atau yang meresapi segala.
Kata ini selalu dalam jenis kelamin neutrum (banci), Hal ini
menunjukkan bahwa Tuhan berada diluar konsep jenis kelamin laki-
laki (masculinum) dan wanita (femininum) dari segala sesuatu yang
ersifat dualis. Brahman hadir di mana-mana, maha tahu, maha
kuasa, itulah sifat dasar dari satu kebenaran Mutlak itu. Ia adalah
kebenaran sejati, kesadaran tertinggi, yang tidak pernah
dipengaruhi oleh perubahan sifat duniawi, adalah Brahman itu, Ia
yang menjadikan diri-Nya sendiri dan memenuhi seluruh alam
semesta untuk menampakkan diri-Nya sendiri itulah Brahman.
Brahman itu tidak berbeda dari Sang diri, seluruh umat manusia
hakikatnya adalah Brahman,. Berpangkal dari pandangan ini
seluruh umat manusia pada hakikatnya adalah satu dan sama.
Menempatkan pertentangan dan perbedaan terhadap seluruh umat
manusia adalah suatu kerugian yang sangat besar dan
mengejawantahkan kesatuan di dalam dan di luar akan mencapai
tujuan tertinggi

Ulasan-ulasan mengenai Brahman yang meresapi segala, ada


dimana-mana, berwujud kebenaran tertinggi, maha mengetahui juga
terdapat dalam upanisad-upanisad yang sangat banyak jumlahnya.
Banyaknya uraian Brahman menunjukkan bahwa para Rsi, para bijaksana
tidak pernah henti-hentinya merenungkan, mencari jawaban atas alam ini,
yang menciptakan, yang memelihara dan kembalinya nanti hanyalah satu
yaitu Brahman.
Sebagaimana halnya dalam Weda, dalam Upanisad juga ditemukan
berbagai sebutan untuk Tuhan (Brahman). Dalam Isa Upanisa Tuhan
dipanggil Isa sebagai Yang Maha Esa, sedangkan dalam Aitareya Upanisad
III. 1. 3 disebutkan:
Segalanya diciptakan oleh Brahman, segalanya diatur oleh Indra.
Prajapati Bapa semua makhluk, semua Dewa-dewa itu dan Panca
Maha Bhuta, seperti tanah, udara ether, air dan cahaya, semua
makhluk besar dan kecil dan salah satu dari benih-benih itu, dan
yang lahir dari telur, yang alhir dari lendir, yang lahir melalui
kandungan, dan tumbuh-tumbuhan yang meninggi karena biji,,
kuda-kuda dan bunatang ternak, , manusia dan gajah-gajah,
memang demikian, apa saja yang bernafas dan segalanya yang
bergerak ini, dan segala sesuatu yang dapat terbang, dan yang tidak
bergerak, dituntun oleh kebijaksanan-Nya dan mereka memiliki
kekuatan kebijaksanaan itu. Kebijaksanaan itu yang memperhatikan
dunia, Kebijaksanaan itu yang menjadi landasannya, Kebijaksanaan
itu adalah Brahman Yang Abadi.

4
Dengan demikian maka Brahman adalah nama Tuhan yang umum
dalam Upanisad-upanisad. Brahman Bukan hanya maha ada, ada dalam
semua tetapi semua yang ada, ada di dalam Brahman.

C. AJARAN KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU SIWA


SIDDHANTA DI INDONESIA (SIWA TATTWA)
Agama Hindu yang berkembang di Indonesia, secara umum disebut
ajaran Hindu Saiwa Sidhanta. Seperti dalam uraian di atas baik dalam Weda
maupun upanisad Tuhan dipanggil dengan sebutan yang berbeda, di
Nusantara juga ditemukan nama-nama Tuhan yang berbeda. Jika di India
nama-nama Tuhan lebih dikenal sebagai Dewa yang merupakan sinar suci
Sang Hyang Widhi, maka di Indonesia lebih populer dengan sebutan
Bhatara.
Istilah Bhatara berasal dari akar kata bhatr yang artinya pelindung.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan yang menjadi obyek pemujaan
sebagai aspek pelindung, artinya keinginan rasa aman, nyaman sangat
dibutuhkan bagi sebagian besar rakyat Nusantara. Karena itu segala yang
melindungi disebut dengan Bhatara. Misalnya Bhatara Brahma lebih
populer daripada Dewa Brahma, Bhatara Wisnu lebih populer dari Dewa
Wisnu demikianlah nama Bhatara itu menjadi sangat umum dalam Lontar-
lontar Tattwa, yang merupakan sumber ajaran Ketuhanan dalam Agama
Hindu di Indonesia.
Secara umum sebutan untuk Tuhan dalam masyarakat Indonesia
adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Menurut Drs. I Gede Sura dan kawan-
kawan Sang Hyang Widhi Wasa berarti Yang Menakdirkan Yang Maha
Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang hyang Tuduh
atau Sang hyang Titah. Namun istilah ini tidak secara tertulis
disebutkan dalam sumber lontar. Dalam Sastra lontar yang sebagian besar
bercorak Siwa yang ditemukan di Indonesia, Tuhan dipanggil dengan
sebutan Bhatara Siwa. Dengan demikian maka agama Hindu di Indonesia
secara umum memuja Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang Widhi Wasa.
Seperti halnya Weda maupun Upanisad maka ajaran Ketuhanan
dalam Siwa Tattwa tidaklah berbeda, mengingat Weda sebagai Sumber
tertinggi ajaran Dharma. Dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapati uraian
tentang Tuhan yang senada dengan Weda maupun Upanisad:
Sa Eko bhagawan sarwah
Siva karana karanam,
Aneko viditah sarwah
Catur vidhasya karanam
Ekatwanekatwa swalaksana Bhattara. Ekatwa ngaranya, kahidep
maka laksana ng Siwatatwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanira,
Mangekalaksana Siwa karana juga, tan paprabedha.
Aneka Ngaranya kahidepan bhattara maka laksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiran sthula, suksma, parasunya.
Artinya:
SifatBhatara adalah Eka dan aneka. Eka artinya Ia dibayangkan
bersifat Siwa Tattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga.

5
Ia bersifat Esa saja sebagai Siwa karana (Siwa sebagai
Pencipta)tiada perbedaan.
Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat Caturdha artinya adalah
stula suksma para sunya.
Uraian yang demikian akan banyak kita jumpai dalam sumber-
sumber Siwatattwa yang lain, yang pada akhirnya mengarahkan kita untuk
menarik kesimpulan Tuhan Itu Satu. Tuhan yang satu ada dalam yang
banyak, dan yang banyak ada dalam yang satu. Atau semua yang ada
bersumber dari Tuhan, ada didalam Tuhan, diresapi oleh Tuhan. Nama
Tuhan didasarkan pada sifat dan fungsi yang dilekatkan pada aspek
kekuatan Brahman. Hal ini dapat kita jumpai dalam lontar Bhuwanakosa
Patalah III sloka76:
Brahmasrjayate lokam
Visnuve palakastitam
Rudratve samharasceva
Tri murttih nama evaca
Artinya:

Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam mencipta dunia ini adalah:


Brahma wujudNya waktu menciptadunia ini,
Wisnu wujudNya waktu memelihara dunia ini,
Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini,
Demikianlah tiga wujudNya (Tri Murti) hanya beda nama.
Dalam uraian diatas Bhatara Siwa sebagai Tri Murti, yang satu
berwujud tiga sesuai dengan fungsinya. Bhatara Siwa adalah Brahma Wisnu
dan Iswara, maka Brahma Wisnu dan Iswara adalah Bhatara Siwa. Yang
satu berwujud tiga, maka yang tiga itu sesungguhnya satu.
Dalam beberapa uraian Siwa Tattwa juga kita dapati ajaran yang
menyatakan Tuhan bersifat Imanen dan transenden. Imanen artinya hadir
dimana-mana, transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia.
Berikut kutipan slokanya:
Sivas sarwagata suksmah
Bhutanam antariksavat
Acintya mahagrhyante
Na indriyam parigrhyante
Artinya:
Bhatara Siwa meresapi segala, Ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia
seperti angkasa, tak terjangkau pikiran dan indriya.
Dari kutipan sloka diatas disimpulkan bahwa Bhatara Siwa memiliki
sifat meresapi segala, artinya Ia hadir pula dalam setiap pikiran manusia
maupun indria, namun Ia tak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, karena
Ia mengatasi pikiran dan Indriya. Ia hadir dalam diri kita namun tidak kita
ketahui karena keterbatasan manusia. Karena Ia hadir dan meresapi segala
maka ia maha mengetahui, tidak ada satupun mahluk yang bisa lepas dari
pengamatannya. Segala tindakan manusia, semut dan kuman bahkan daun
yang jatuh sekalipun selalu ada dalam pengelihatannya.
Ia ada pada semua yang ada, semua yang ada berada dalam diri-Nya.

6
D. SIWA SIDDHANTA DI INDIA

Di India Perkembangan mazab Śiva Siddhānta berawal dari


datangnya bangsa arya dari Indo Jerman 5000 SM di hulu Sungai Sindhu
yaitu di Punjab dan sebagian berada di Iran. Di lembah inilah cikal bakal
kehadiran paham Siwaisme pertama kali di India dan berkembang pesat ke
seluruh India. Bangsa Dravida telah mengenal ajaran sivaisme yang tinggal
di daerah Tambil nadu. Bangsa arya identik dengan Waisnawa karena sifat
kepahlawanannya. Ajaran Śiva Siddhānta berkembang dari agama Siva
yang sudah ada sejak zaman Pra Sejarah atau Pra Veda bangsa Dravida.
Dengan adanya dukungan dan kembangan dari bangsa Arya sehingga ajaran
Siva Siddhanta berkembang menjadi ajaran sivaisme seperti saat ini
(Gunawan, 2012:35; Dewi 2020:75-74). Ajaran ini banyak berkembang di
India Selatan.
Sistem Siwa Siddhanta adalah saringan dari esensi Vedanta. Ia lazim
terdapat di India Selatan malahan sebelum era Kristiani. Tinnelvelly dan
Madurai pusat mazhab Siwa Siddhanta Saivite atau penganut Siwa
Siddhanta menghasilkan secara seksama filsafat yang membedakan yang
disebut Siwa Siddhanta sekitar abad ke sebelas Masehi. Sungguhpun
kepercayaan Siwaisme amat populer di India Selatan. Ia adalah saingan dari
mahzab Wisnawa. Tuhan Siwa adalah realitas tertinggi. Ia adalah pribadi,
tanpa wujud, bebas, ada dimana-mana, satu tanpa kedua, tanpa awal, tanpa
sebab, tanpa cacat,, ada sendiri, selalu bebas, selalu murni. Ia tidak dibatasi
oleh waktu. Ia adalah kebahagiaan tanpa batas dan kecerdasan tanpa batas.
(Svami Sivananda, 2006 : 45).

III. SIMPULAN

Siwa Siddhanta merupakan ajaran agama yang berpusat pada Siwa


sebagai yang tertinggi. Ajaran ini dalam mengalami kemajuan pesat di India
Selatan perkembangannya, hingga sampai ke Indonesia. Namun Di
Indonesia ajaran Siwa Siddanta telah mengalami pengaruh dengan berbagai
ajaran seperti pemujaan Surya, Brahma, Wisnu, Siwa, Ganesha dan
pemujaan Shakti. Di samping itu ajaran Siwa Siddhanta di Indonesia telah
mengalami perjumpaan dengan pemujaan leluhur di Indonesia.
Ajaran Siwa siddhanta disebut juga Siwa Tattwa yang pada prinsipnya
tidak berbeda dengan Weda maupun Upanisad, oleh karena ajaran
Ketuhanan dalam Siwa Tattwa berkaitan erat dengan Weda. Dalam Siwa
tattwa Tuhan Itu Satu. Tuhan yang satu ada dalam yang banyak, dan yang
banyak ada dalam yang satu. Bhatara Siwa sebagai Tri Murti, Bhatara Siwa
sebagai Tri Murti, yang satu berwujud tiga sesuai dengan fungsinya.
Bhatara Siwa adalah Brahma Wisnu dan Iswara, maka Brahma Wisnu dan
Iswara adalah Bhatara Siwa.

7
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Luh Kartika, 2020: Ketuhanan Dalam Siwa Siddhanta. Singaraja,


Prodi Filsafat Hindu Jurusan Brahma Widya STAH N Mpu Kuturan
Śiwananda, Sri Swami, 2003. Intisari Ajaran Hindu (All About Hinduism).
Surabaya: Penerbit Paramita.
Tim Penyusun. 2006, Śiwatattwa. Denpasar: Pengadaan Buku Penuntun
Agama Hindu dan Modul/ silabus Tentang Pasraman Pemerintah Provinsi
Bali.
Pudja, Gede, MA SH., 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya:
Paramita.

Anda mungkin juga menyukai