Anda di halaman 1dari 13

TUGAS PENGANTAR TEOLOGI

GOD’S BEING DAN GOD’S ACTING

OLEH :

NAMA : NI WAYAN MIA RESTIYA DAMAYANTI

PRODI : TEOLOGI HINDU

NIM : 15.1.4.5.1.024

FAKULTAS BRAHMA WIDYA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

2015
EKSISTENSI TUHAN MENURUT HINDU ( GOD’S BEING )

Pengetahuan tentang Brahman atau Brahma Widya memegang peranan

yang sangat penting dalam rangka memahami keberadaan dan eksistensi Tuhan

atau Sang Hyang Widhi Wasa. Karena sebagai mana yang kita ketahui,

pengetahuan merupakan jalan utama yang dapat digunakan untuk menembus dan

mengilhami keagungan dari Tuhan itu sendiri.

Tradisi Hindu tentang cara pemujaan Tuhan yang kita kenal dengan Catur

Marga akan mempunyai alur dan tujuan yang jelas, jika adanya suatu pemahaman

yang mantap. Dalam Bhagawad Gita, Arjuna adalah Sang pahlawan pembela

kebenaran yang mampu memahami bhakti sebagai suatu jalan ilahi serta telah

mampu menghancurkan keragu-raguannya dalam bertindak guna mencapai tujuan

tertinggi. Maka Beliau bertindak dan menyadari dirinya sebagai pelayan dari

kebenaran itu sendiri. Begitu pula diharapkan bagi para Karmin, Jnanin, ataupun

Yogin dalam memahami dan menyadari keberadaan Tuhan ini.

Pemahaman tentang yang abadi, suci tanpa noda dan sifat ini ada dalam

alam Nirguna Brahman sebagai kekuasaan Tuhan tertinggi. Di sini Tuhan

dipahami dalam keadaan transcendental, yakni meliputi segalanya, tetapi tidak

bisa dipahami dengan akal biasa. Sehingga untuk dapat memahami

keberadaannya, Tuhan yang abadi mengambil wujud dan sifat (Guna). Dalam hal

ini Tuhan menurunkan kualitas spiritualnya dengan wujud Saguna Brahman,


yakni telah mendapat pengaruh dari sifat dan maya. Sehingga dalam agama Hindu

kita mengenal adanya dewa-dewa sebagai perwujudan dan percikan suci Tuhan.

Keberadaan Dewa-dewa menjadi sangat penting untuk dipahami sebagai sinar

sucinya Tuhan dan sebagai pelindung alam semesta.

Di Bali kepercayaan tentang pemujaan para dewa menjadi begitu populer

dan terlebih lagi pemujaan terhadap para leluhur. Hal ini dapat kita saksikan pada

setiap pura di Bali dengan adanya arca-arca para dewa dan beberapa pelinggih

sebagai simbol keberadaan Tuhan dengan berbagai macam manifestasinya sebagai

Dewa-dewa. Seperti Panca Dewata, Asta Dewata, dan Dewata Nawa Sanga.

Semua gelar kemahakuasaan Tuhan ini merupakan wujud dari sinar suci Tuhan

dalam fungsinya sebagai pelidung dan pengayom serta memancarkan sinar suci

kerahayuan bagi semua ciptaan-Nya.

Dalam sudut pandang Vedanta, Sang Hyang Widhi dalam agama Hindu

diyakini ada di mana-mana (Wyapi wyapaka Nirwikara), meresapi segala

makhluk dan alam semesta (Sarwan khalvidam Brahman) dan menyelimuti seisi

alam semesta ini (Lisvara sarwa Bhutanam). Jika setiap orang memahami dan

menyadari keberadaan Tuhan seperti ini, maka tentu tidak ada alasan bagi

manusia untuk tidak mempercayai dan menyakini keberadaanNya. Sebagaimana

halnya manusia sebagai makhluk Tuhan dibentuk dari unsur panca mahabhuta,

sebagaimana pula pembentuk dari alam semesta ini, maka dengan ini apa pun

kekuatan Tuhan di alam semesta ini, ada pula dalam diri manusia. Maka di sini

pentingnya menyadari, bahwa Tuhan ada di setiap makhluk dalam wujud jiwa-
jiwa yang agung. Inilah keberadaan Tuhan yang harus disadari. Jika kesadaran

manusia mampu membangkitkan kekuatan ketuhanan dalam dirinya, maka

pencerahan dan penyatuan seperti yang dialami oleh Guru-guru suci dan para

leluhur kita di Bali pada zaman dahulu akan dapat kita capai. Para Leluhur kita di

masa lalu begitu giat untuk dapat meraih kasih illahi Tuhan, seperti Dang hyang

Dwi Jendra, Mpu Kuturan, Dang Hyang Astapaka, dan yang lainnya. Sehingga

dalam akhir hayatnya Beliau berhasil menikmati dan mereguk pencerahan abadi

dengan penyatuan kehadapan Yang Maha Tunggal. Realita konkrit dari para

leluhur kita ini mesti dijadikan teladan dan Guru dalam kehidupan dalam rangka

meningkatkan kualitas diri, kesucian, kemurnian dan Ketuhanan dalam diri.

1. Brahman/ Tuhan Yang Maha Esa

Tuhan dalam agama Hindu sebagaimana yang disebutkan dalam Weda

adalah Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan tidak bisa

dipikirkan. Dalam bahasa Sanskerta keberadaan ini disebut Acintyarupa yang

artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia. Tuhan Yang Maha Esa ini

disebut dalam beberapa nama, antara lain:

* Brahman: asal muasal dari alam semestea dan segala isinya

* Purushottama atau Maha Purusha

* Iswara (dalam Weda)

* Parama Ciwa (dalam Whraspati tatwa)


* Sanghyang Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan)

* Dhata: yang memegang atau menampilkan segala sesuatu

* Abjayoni: yang lahir dari bunga teratai

* Druhina: yang membunuh raksasa

* Viranci: yang menciptakan

Tuhan Yang Maha Esa ini apapun namaNya digambarkan sebagai:

· Beliau yang merupakan asal mula. Pencipta dan tujuan akhir dari seluruh alam

semesta

· Wujud kesadaran agung yang merupakan asal dari segala yang telah dan yang

akan ada

· Raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang

dengan makanan

· Sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hiudp

· Maha suci tidak ternoda

· Mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, tiada

terucapkan, tiada duanya.


Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah

berusaha menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas.

Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun

yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu

tidaklah menjangkau kebesaranNya. Sehingga kitab-kitab Upanisad menyatakan

tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti), bukan ini,

bukan ini.

Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran

agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu

merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab

suci Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang

paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha

Esa).

Brahman memiliki 3 aspek:

1. Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar

beliau

Dengan kekuatanNya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk,

warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-

tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali

pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam
semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada

barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.

2. Cit: sebagai Maha Tahu

Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber

segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang

dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang

sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya

atau maha tahu.

3. Ananda

Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka

duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak

berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua

kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi

bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini, bedanya hanya

dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan

instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan

kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat

sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan

pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap

benda-benda duniawi.
Alam semesta ini adalah fragmenNya Tuhan. Brahman memiliki prabawa

sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh waktu tempat

dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah sansekerta untuk

menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang selalu berubah baik

nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan keadaan) Brahman.

Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai

manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-

benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah.

Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar

Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.

2. Devata atau Deva

Prasangka banyak orang yang menganggap konsep teologis Hindu adalah

politeistik berangkat dari pemahaman yang salah tentang Deva. Deva adalah

sesuatu yang memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Beraneka Deva itu adalah

untuk memudahkan membayangkanNya.

Dewa-dewa atau devata digambarkan dalam berbagai wujud, yang menampakkan

diri sebagai yang personal, yang berpribadi dan juga yang tidak berpribadi. Yang

Berpribadi dapat kita amati keterangan tentang dewa Indra, Vayu, Surya,

Garutman, Ansa yang terbang beas di angkasa, dan sebagainya. Sedang Yang

Tidak Berpribadi, antara lain sebagai Om (Omkara/Pranava), Sat, Tat, dan lain-

lain.
3. Personal God dan Impersonal God

Tuhan menurut monotheisme Trancendent digambarkan dalam wujud Personal

God (Tuhan Yang Maha Esa Berpribadi). Sedangkan menurut monotheisme

Immanent, Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan Impersonal God. Memang

menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak (Impersonal God) tanpa

mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah Tuhan

Yang Personal God melalui Bhakti dan Karma Marga.

Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God, dapat

dibagi menjadi tga kategori:

1. Penggambaran Antrophomorphic: sebagai manusia dengan berbagai kelebihan

seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan sebagainya.

2. Penggambaran Semianthrophomorphic: sebagai setengah manusia atau

setengah binatang. Hal ini lebih menonjol dalam kitab-kitab Purana seperti dewa

Ganesha (manusia berkepala gajah), Hayagriwa (manusia berkepala kuda, dan

sebagainya.
3. Penggambaran Unantrophomorphic: tidak sebagai manusia melainkan sebagai

binatang saja, misalnya Garutman (Garuda), sebagai tumbuh-tumbuhan, misalnya

Soma dan lain-lain.

TINDAKAN TUHAN DALAM AGAMA HINDU

( GOD’S ACTING )

Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti

tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang

menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang

menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi :

1. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

2. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan

3. Hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.

Selanjutnya ketiga hubungan yang harmonis itu diyakini akan membawa

kebahagiaan dalam kehidupan ini, di mana dalam terminalogi masyarakat Hindu

diwujudkan dalam 3 unsur, yaitu : parahyangan, pawongan, dan palemahan.


Parahyangan adalah merupakan kiblat setiap manusia (baca : Hindu) untuk

mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta ( sangkan paraning dumadi ) yang

dikonkretisasikan dalam bentuk tempat suci, pawongan merupakan

pengejawantahan dari sebuah pengakuan yang tulus dari manusia itu sendiri,

bahwa manusia tak dapat hidup menyendiri tanpa bersama-sama dengan manusia

lainnya (sebagai makhluk sosial). Sedangkan palemahan adalah merupakan

bentuk kesadaran manusia bahwa manusia hidup dan berkembang di alam, bahkan

merupakan bagian dari alam itu sendiri.

Umat manusia semakin menjauhkan diri dari Sang Penciptanya, degradasi

moral kian memuncak, dan kepedulian terhadap lingkungannya sudah tergerus

oleh keegoisan yang tak mengenal kompromi. Sudah saatnya dan belum terlambat

buat kita untuk memulai berbenah diri. Konsep yang paling sederhana adalah

marilah kita gali khazanah adiluhung yang telah diwariskan oleh para leluhur kita

terdahulu, serta mari kita representasikan ke dalam bentuk tindakan nyata dengan

tetap mengedepankan kepentingan bersama. Mari kita duduk bersanding dengan

kejernihan hati yang jauh dari rasa apriori dan kemunafikan. A no bhadrah

kratawo yantu wiçwatah, semoga pikiran yang jernih dan bijak datang dari segala

penjuru.

Misalnya Bali dengan popularitasnya di mata dunia, tidak semata karena

keindahan panoramanya akan tetapi lebih dari itu adalah karena taksu yang

dimiliki Bali. Taksu Bali yang kami maksudkan adalah terletak pada keutuhan

konsep Tri Hita Karana dalam setiap gerak perilaku masyarakat Balinya. Bali
dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu memberi kontribusi besar yang

turut mendongkrak menjadikan nama Bali semakin mendunia. Itu tiada lain

karena konsep Tri hita Karana dan masyarakat Balinya yang religius dijiwai oleh

ajaran Weda yang universal. Kita tidak menutup mata, bahwa masih banyak di

belahan dunia ini memiliki keindahan alam yang jauh lebih asri dari Bali, dan

bahkan tidak tertutup kemungkinannya telah mengadopsi serta mempraktekkan

konsep Tri Hita Karana yang kita miliki. Timbul kemudian pertanyaan, “ Kenapa

mereka tetap masih di bawah performa Bali ? Jawabannya adalah karena konsep

Tri Hita Karana yang diadopsi dan masyarakat pendukungnya tidak dijiwai oleh

spirit Weda.

Dalam mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana yang dimaksud,

sangat ditekankan bahwa ketiga unsurnya harus diaplikasikan secara utuh dan

terpadu. Unsur parahyangan, pawongan, dan palemahan tidak ada yang

menduduki porsi yang istimewa. Dia senantiasa seimbang dalam pemikiran,

seimbang dalam ucapan dan seimbang pula dalam segala tindakan. Sebagai

konsep keharmonisan Hindu, Tri Hita Karana telah memberikan apresiasi yang

luar biasa dari berbagai masyarakat dunia. Unsur parahyangan dalam menjaga

keharmonisan dengan Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam berbagai bentuk

aktivitas yadnya sebagai persembahan yang tulus kepada Sang Pencipta. Mulai

dari pembangunan tempat suci, pelaksanaan upacara keagamaan, pendalaman

ajaran agama, kreativitas berkesenian (tari, tabuh, lukis, pahat, dsb.) untuk

kepentingan ritual, kesemuanya itu membuat decak kagum orang-orang di luar

sana. Dalam ranah pawongan, masyarakat Hindu dengan konsep manyama-braya,


paras-paros sarpanaya, salunglung sabayantaka, dan Tat Twam Asi yang

mendasarinya semakin mempertegas eksistensi masyarakat Hindu yang ramah-

tamah. Lebih-lebih lagi sesuai ajaran Hindu yang sangat yakin terhadap Hukum

Karma Phala membuat kita semakin aman, damai, dan tenteram. Selanjutnya

dalam tataran palemahan, perhatian masyarakat Hindu terhadap lingkungannya

sudah tidak dapat diragukan lagi. Sebelumnya saya mempunyai sebuah

pertanyaan, “Adakah agama di dunia ini mempunyai hari raya yang terkait dengan

lingkungan ?” Jawabnya adalah ‘tidak’ kecuali Hindu. Karena apabila agama lain

ada upacara untuk itu, berarti ia memperkuat kultus berhala, sementara ia sangat

alergi dengan hal-hal berhala. Bagaimana dengan Hindu ? Hindu bukan agama

berhala, walau ada hari raya Tumpek Pengarah untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek

Kandang untuk segala macam ternak, Tumpek Landep untuk segala macam

perabotan (senjata) sebagai sarana-prasarana mencari kehidupan, Nyepi untuk

keharmonisan jagat raya, dan lain sebagainya. Karena substansi dari hari raya itu

adalah persembahan yang tulus kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai rasa

syukur atas segala kemudahan yang dianugrahkan-Nya melalui media yang ada di

alam semesta ini, dengan diiringi oleh sebuah permohonan semoga di

anugerahkan kelestarian dan kemakmuran yang berkeseimbangan dan

berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai