Akan pentingnya dasar negara Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat dalam pidato pembukaan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Maret 1945 mengajukan pertanyaan kepada anggota-
anggota Sidang, "Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?
Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan
lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri
Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan
itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama
berkembang di Indonesia. Kemudian Soekarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut:
Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme, Kemanusiaan atau internasionalisme, Mufakat atau
Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan.
Lima ideologi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, dan tercantum pada alinea ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-Undang
Dasar 1945.
B. Perjuangan Pengakuan Hindu di Indonesia
Lima point azas negara menjadi acuan pola pikir agama-agama yang secara resmi diakui
di Indonesia. Pada 1952, Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) mengakui
hanya tiga agama yang dipeluk rakyat Indonesia: Islam, Protestan, dan Katolikisme. Semua
yang di luar itu diakui sebagai orang yang belum beragama. Semua tradisi di Nusantara,
digolongkan sebagai aliran kepercayaan kesukuan, tak terkecuali Hindu Bali. Departemen
Agama menyimpulkan kehidupan beragama di Bali berisi praktik politeistik dan animisme
yang beragam. Sebab itu, agama orang Bali digolongkan sebagai aliran kepercayaan dan
dianggap sebagai "orang yang belum beragama" (Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut
Pengakuan dari Negara; Husein Abdulsalam; tirto.id - Politik).
Perjuangan panjang tokoh Hindu di Bali yang berliku, mulai dari menyususn naskah-
naskah ketuhanan yang sejalan dengan Pancasila, hingga upaya mengirim tokoh-tokoh muda
untuk belajar Agama Hindu di India. Pada tanggal 1 Januari 1959 Agama Hindu bali telah
mendapatkan penerimaan resmi dari pemerintah Indonesia, namun kenyataanya hingga kini
perjalanan evolusi Hindu di Indonesia masih terus terjadi. Tuduhan terhadap Hindu yang
tidak sesuai dengan ideologi negara khususnya sila 1 Ketuhanan Yang Maha Esa masih kerap
terjadi.
Butir pertama sila pertama Pancasila dengan inti pokok takwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, entah apapun agama yang dianut. Dalam butir ke-2 disebutkan manusia Indonesia
percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kemudian pada butir ke-7 kita dapati pesan agar Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Poin penting ini meski
disikapi berbeda namun sejauh ini menjadi rujukan kerukunan antar umat beragama di
Indonesia.
Adanya anggapan bahwa umat Hindu belum memuja Tuhan Yang Maha Esa akan terus
terjadi ketika Hindu di Indonesia belum secara tegas memberikan rambu-rambu keyakinan
melalui tattwa yang bersumber pada Weda Sruti sebagai sumber hukum Hindu. Kasus Egi
Sujana misalnya mengatakan Hindu sebagai polytheis memang cukup beralasan mengingat
Hindu memuja banyak Dewa.
Konsep Dewa-Dewi dalam media sosial turut andil dalam memberikan kontribusi
ketidak sesuaian Hindu dengan Pancasila. Jika kita melihat pengertain Dewa di wikipedia;
Istilah dewa diidentikkan sebagai makhluk suci yang berkuasa terhadap alam semesta.
Adanya banyak Dewa dalam agama Hindu inilah yang dipandang sebagai yang bertentangan
dengan butir satu sila pertama. Dengan demikian jika menggunakan konsep Dewa-Dewi
sebagai makhluk ciptaan Tuhan dipastikan Hindu tidak akan berhasil memperoleh pengakuan
menjadi satu agama yang sesuai dengan Pancasila. Itu merupakan ancaman serius bagi Hindu
dimasa depan, bukan tidak mungkin isu-isu Hindu sebagai agama yang polythes akan terus
dihembuskan oleh orang-orang yang menginginkan Hindu hengkang dari negeri ini.
Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan agama di Indonesia memiliki pola yang
sama dengan agama monotheis khususnya Islam. Untuk itulah para tokoh Hindu mulai
merumuskan ajaran Ketuhanan dengan berbekal lontar-lontar yang berbahasa Jawa Kuno
maupun sansekerta. Menurut Sugi Lanus perjuangan mengusulkan Hindu agar diakui
sebagai agama resmi para tokoh Hindu dimasa lalu seperti IGB Sugriwa dan kawan-kawan
bermodalkan lontar Jawa Kuno. Dengan demikian sebenarnya pola Panca Sradha sendiri
adalah rumusan yang bersumber dari naskah-naskah Hindu Kuno yang ditemukan di
Indonesia seperti Bhuanakosa, Jnana tattwa, Wrhaspatti tattwa, dll.
Rumusan Panca Sradha yang dikeluarkan oleh tokoh-tokoh pengusul Hindu seperti
Tjok Rai Sidharta dan Ida Bagus Oka Puniatmaja yang kemudian menyajikan format Hindu
Dharma dalam buku Upadesa mencoba mengurai kesenjangan antara Hindu dan Panca sila
yang dipahami negara. Perjuangan menuju Hindu yang sesuai dengan Panca Sila kemudian
melahirkan Panca Sradha yang meyakini:
Tokoh I Gede Sura memberi perhatian khusus pada masalah ini. Dalam salah
satu pertemuan perkuliahan di UNHI beliau menyampikan bahwa Theologi Hindu yang
beragam hendaknya menyesuaikan dengan negara. Beliau menyampaikan hendaknya
pengajaran pada sekolah-sekolah mengutamakan bahwa ajaran Hindu di Indonesia
menganut paham monotheis yang lebih di tonjolkan. Melalui tokoh I Gede Sura kita akan
mendapatkan benang merah antara Ketuhanan dalam Weda, Upanisad dan Lontar yang
bercorak Siwa di Indonesia.
Secara umum sebutan untuk Tuhan dalam masyarakat Indonesia adalah Sang Hyang
Widhi Wasa. Menurut Drs. I Gede Sura Sang Hyang Widhi Wasa berarti Yang
Menakdirkan Yang Maha Kuasa, yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang
hyang Tuduh atau Sang hyang Titah. Namun istilah ini tidak secara tertulis disebutkan
dalam sumber lontar. Dalam Sastra lontar yang sebagian besar bercorak Siwa yang
ditemukan di Indonesia, Tuhan dipanggil dengan sebutan Bhatara Siwa. Dengan demikian
maka agama Hindu di Indonesia secara umum memuja Bhatara Siwa sebagai Sang Hyang
Widhi Wasa. Dalam lontar Jnanasiddhanta terdapat uraian tentang Tuhan yang senada
dengan Weda maupun Upanisad:
Bila dibandingkan dengan ajaran Siwa Tattwa uraian tetntang Brahman yang
menciptakan, yang memelihara dan kembalinya segala yang ada tercetus dalam ajaran Tri
Murti yang khas Siwa Siddhanta yang termuat dalam naskah Bhuwanakosa Patalah III
sloka76:
Brahmasrjayate lokam
Visnuve palakastitam
Rudratve samharasceva
Tri murttih nama evaca
Artinya:
Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam mencipta dunia ini adalah:
Brahma wujudNya waktu menciptadunia ini,
Wisnu wujudNya waktu memelihara dunia ini,
Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini,
Demikianlah tiga wujudNya (Tri Murti) hanya beda nama.
Dalam uraian diatas Bhatara Siwa sebagai Tri Murti, yang satu berwujud tiga sesuai
dengan fungsinya. Bhatara Siwa adalah Brahma Wisnu dan Iswara, maka Brahma Wisnu dan
Iswara adalah Bhatara Siwa. Yang satu berwujud tiga, maka yang tiga itu sesungguhnya satu.
Dengan konsep Tri Murti yang demikian membawa semangat Brahman ada dan hidup dalam
ajaran Siwa Tattwa yang terwariskan di Bali melalui Nusantara. Ini adalah konsep final yang
dianut oleh penganut Hindu di Indonesia yang telah teruji berabad-abad lamanya. Bahkan
ketika bersentuhan dengan agama Budha pun dapat menyerap dan menyesuaikan ajaran yang
notabene ditempat asalnya saling bermusuhan. Uniknya di Indonesia justru mengalami
sinkretisme menjadi ajaran Siwa Buddha yang mana falsafah Bhinneka Tunggal Ika
bersumber dari perpaduan keduanya.
Ke-Esa-an Tuhan sebagai Tri Murti ini juga sangat berguna menjawab seputar Tri
Murti sebagai konsep tri tunggal yang mana sering di plintir menjadi alasan bahwa Hindu itu
agama Polytheis yang tidak sesuai dengan sila pertama. Dapat dipahami demikian karena di
negara asalnya konsep yang demikian ini nampaknya memang sudah tidak di temukan.
Rabindranath Tagore dalam kunjungannya ke Bali tahun 1927 membawa ahli Sanskrit
terbaik di India ketika itu bernama Suniti Kumar Chatterji. Tahun 1930 ia berpidato di depan
Asiatic Society, sebuah forum intellectual di India, menyatakan bahwa seluruh institusi di
India yang mempelajari sejarah India atau Indologist harus bekerjasama dengan Kirtya,
dengan mengatakan Hindu yang masih murni terwariskan di Bali.
Berdasarkan penelusuran sejarah pakar Evolusi Hindu dan Guru Besar Program
Pascasarjana (S2) Ilmu Agama Hindu dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia (UNHI)
Denpsar-Bali yaitu Prof. Dr. Litt, Dr. I Gusti Putu Phalgunadi MA, MBA, mendapatkan
jawaban bahwa Hindu dengan konsep Tri Murti sebagai satu kesatuan utuh merupakan
warisan dari Brahma Smarta Paksa. Model Hindu di Indonesia yang dikenal dengan corak
Siwa Siddhantanya merupakan peninggalan jaman kebangkitan Hindu (200 SM – 300 M),
yaitu masa setelah jaman Budha. Terdapat jalinan erat lima Paksa dalam agama Hindu di
Indonesia antara lain: Saiwa (Siwa), Wasinawa (Wisnu), Brahma Smarta (Tri Murti), Sakta
(Dewi), awal berkembangnya Tantra dan Ganesha. Kelima Paksa ini nampaknya telah lebur
dan luluh kedalam Hindu Siwa Siddhanta. Dengan ajaran Siwa Tattwa yang demikian
sesungguhnya masalah Hindu Polytheis telah teratasi.
Tattwam asi adalah kalimat tepat untuk mengungkapkan substansi sila kedua ini
secara keseluruhan yang merupakan pengejawantahan dari ajaran atma tattwa. Bahwa dalam
diri setiap individu terdapat jiwatman yang sama yang merupakan percikan terkecil dari
Brahman. Dengan menyadari bahwa seluruh alam ini adalah sebuah interaksi antara subyek
sang jiwa dengan maya tattwa yang menjadi obyek, digerakan oleh generator karma maka
tidak perlu ada yang membenci dan dibenci, karena secara keseluruhan segala yang ada
bersandar pada Sang Penyebab yaitu Brahman. Jika semuanya adalah refleksi dari Sang
Penjadi Dunia maka azas yang paling mendasar dari adanya segala ciptaan adalah Brahman.
Dengan kesadaran atman yang ada dalam setiap individu menjadikan setiap umat
Hindu seharusnya menghormati sesama, saling mencintai sesama manusia dalam kerangka
kasih sayang menagsihi orang lain seperti layaknya mengasihi diri sindiri. Konsep ini juga
kita dapati dalam ajaran Catur Paramita, empat perbuatan luhur manusia untuk mencapai
kehidupan yang sempurna. Maitri merupakan sifat-sifat yang menghendaki persahabatan
terhadap semua makhluk, terutama terhadap sesama manusia. Karuna adalah sifat atau
perasaan belas kasihan kepada semua makhluk yang menderita, suka menolong dan rela
berkorban demi kebahagiaan orang lain. Mudita berarti ikut merasakan (toleransi) terhadap
kebahagiaan ataupun kesedihan orang lain, sifat senang, gembira, puas, simpati, dan bebas
dari rasairi hati dan dengki. Dengan upeksa menjadikan seseorang dengan mudah
memaafkan, mengampuni kesalahan orang lain yang pernah dilakukan terhadap kita.
Hal ini sejalan dengan ajaran sancita karmaphala, bahwa semua karma atau
perbuatan yang kita kita lakukan dimasa lalu yang kita nikmati hari ini. Dengan
pemahaman ajaran ini umat Hindu sangat meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi
hari ini merupakan rangkaian persitiwa dari masa lalu. Menjadi bagian dari Indonesia
merupakan buah dari perjuangan para leluhurnya yang telah berjuang mengorbankan
jiwa dan raga. Dengan mengingat jasa-jasa para leluhurnya niscaya umat hindu akan
turut mengisi pembangunan ini dengan sepenuh hati. Penghormatan pada leluhur dan
keyakinan akan prerabda karmaphala merupakan daya dorong yang efektit untuk terus
maju membangun negara ini melalui individu-individu yang memiliki semangat
pengabdian dan bhakti, hal ini sejalan dengan ajaran prarabda karmaphala.
Dalam butir ke tujuh (7) negara mengajak setiap warga negara untuk
memperluas pergaulan demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Ini merupakan
ajakan untuk terus memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang kita lakukan hari
ini sejatnya akan kita nikmati pula dimasa depan sebagai buah dari kryamana
karmaphala. Tentu hal ini juga merupakan sebuah kewajiban bagi kita untuk terus
menjaga hasil-hasil pembangunan maupun sumber daya alam saat ini agar dapat
dinikmati juga oleh anak cucu kita kelak. Bukan tidak mungkin jika kita tidak
berorientasi masa depan rantai harmoni bangsa kan terputus.
Konsep punarbhawa atau reinkarnasi sebagai sradha ke-4 merupakan satu kekuatan
yang mendorong umat Hindu untuk senantiasa berbuat yang terbaik bagi negara, sebab
perbuatan baik akan memberikan satu keuntungan dalam kelahiran dimasa depan sesuai
dengan konsep karmaphala dan punarbhawa. Musyawarah merupakan jang bagi
masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan gagasan, serta mendengar pendapat atau
pandangan orang lain hingga kemudian tercapai kesepakatan. Jadi hakikatnya merupakan
pembicaraan dharma karena kesepakatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agastya parwa memberikan gambaran tentang
bahwa barang siapa yang tidak senang mendengarkan kebenaran atau dharma maka
dalam kelahiran berikutnya pendengarnya akan diambil, barang siapa yang tidak senang
berbicara dharma maka kegunaan berbicaranya akan diambil dalam kelahiran berikutnya.
Untuk itulah umat Hindu didorong untuk terus: mengembangkan perbuatan yang
luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong royongan;
menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban; yang merupakan butir ke-1 dan ke-3
dari sila kelima Pancasila. Kesimbangan antara hak dan kewajiban inilah yang
mendatangkan jagadhita atau kebahagiaan di dunia dan moksa atau bebas dari ikatan
duniawi. Bahkan dalam agama Hindu umat didorong untuk lebih fokus pada kewajiban
bukan pada hak, seperti tertaunga dalam Bhagawad Gita II.47:
karmaṇy evādhikāras te
mā phaleṣu kadācana
mā karma-phala-hetur bhūr
mā te saṅgo’stv akarmaṇi
Terjemahan:
Berbuatlah hanya demi kewajibanmu, bukan hasil perbuatan itu (yang kau
pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motifmu dalam bekerja, jangan pula
berdiam diri tanpa kerja.
Sangat jelas bahwa Hindu sangat menghormati hak orang lain, tentu tidak mungkin
menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain, jika
benar-benar memahami sastranya. Dalam sloka diatas juga terkandung pesan suka bekerja
keras, tanpa mengharapkan hasilnya. Semangat umat Hindu dalam berbangsa bernegara
sering mengutif Kekawin Ramayana, yang merupakan pesan Sri Rama kepada Bharata,
dalam Pupuh/wirama Wangsastha sebagai berikut :
Terjemahan :
Usahakan dengan sungguh-sungguh dharma untuk memerintah di dunia ini. Mereka yang
bijaksana hendaknya dijadikan panutan, bukanlah harta, nafsu atau kemasyuran,
keberhasilan sang bijaksana adalah karena paham benar hakekat dharma.
Konsep ini tentu pula telah berakar dalam masyarakat Hindu yang secara umum lebih
mudah patuh terhadap pemerintah yang sah, tentunya hal ini merupakan kekuatan positif
yang harus terus dipupuk oleh pemangku kebijakan dengan tetap memperhatikan umat Hindu
meskipun mereka mungkin lebih banyak tidak bersuara, tetapi mejadikan kerja sebagai
sebuah bhakti kepada agama dan negara yang dikenal dengan dharma agama dan dharma
negara. Negara memerlukan rakyat, demikian pula rakyat memerlukan negara yang hadir
sebagai pengayom menuju jagadhita dan moksa.