Terjemahan:
Dengan kata-kata ” Namah Shivàya” ia menyembahyangi sang Brahman
Tertinggi Yang adalah sang Àtman;
Ia adalah sang Tenaga Tertinggi; sang Panca Dewata;
kelompok dari sang Lima Rsi; Ia adalah sang Agni.
Dalam bait ketiga ini mengandung satu mantra Namah Shivàya yang
merupakan pancaksara sebagai cara untuk menyembahyangi Brahman yang tertinggi
yang tiada lain adalah atman itu sendiri. Lima aksara ini dikatakan sebagai para-
brahmãtma yaitu aksara brahman yang hakikatnya adalah atman.
Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa atman sejatinya sama dengan
Brahman yang sering kita dengar dalam ungkapan upanisad sebagai “Brahman atman
aikhyam”. Oleh karena itulah mantram ini sangat sejalan dengan theologi Hindu
secara umum dimana moksah menjadi tujuan tertinggi akan tercapai manakala atman
sadar akan jati dirinya (yan matutur ikang atma ri jatinia).
Ia (Na-Ma-Shi-Va-Ya) adalah sang Tenaga Tertinggi dan perwujudan dari
lima dewata (Para-Shakti pañca-devata). Sebagai para-Shakti dia adalah energi atau
kekuatan tertinggi dari Brahman. Merujuk pada lima aksara ini sebagai daya atau
kekuatan tertinggi dapat dikonfirmasi dengan puncak dari candi prambanan berbentuk
wajra yang melambangkan energi petir sebagai kekuatan listrik yang sangat besar di
alam ini.
Secara filosofis ajaran Siwa menempatkan Mahadewa juga sebagai Parama
Iswara mula asal yang tertinggi dari segala yang ada yang sejalan dengan aksara Para
Brahma Na-Ma-Shi-Va-Ya sebagai sarana untuk sembahyang. Mantra ini merupakan
simbol pelayanan kepada entitas tertinggih Siwa pada masa wang Sanjaya yang
semangatnya bersumber pada Brahman dalam upanisad.