Anda di halaman 1dari 7

DHI SHIWA LAYA

UPASANA KANDA MENGHADAPI KONVERSI AGAMA

A. KONVERSI AGAMA & AJARAN INTOLERAN


Konversi agama menjadi persoalan atau tidak tergantung dari sudut mana kita
memandang. Dari sisi keluarga yang anggota keluargannya pindah agama itu
dipandang musibah. Namun dari sisi keluarga yang menerima anggota beru itu
sebagai anugrah. Hal semacam ini tentu rawan memicu konflik meskipun hanya
dalam hati tetap saja membuat perasaan kurang nyaman.
Terlebih lagi perkawinan beda agama memang belum diperbolehkan dinegara
kita. Bagi kaum minoritas hal ini seperti “nyebit tiying ngambis kacerikan ”: seperti
membelah bambu selalu merugikan bagian belahan yang kecil. Fenomena anehnya
adalah banyak laki-laki Hindu yang menjadi tulang punggung keluarga justru
mengalah mengikuti keyakinan istrinya, walaupun kita ketahui secara umum kita
masih menganut patrilineal.
Tentu saja ada banyak faktor penyebab seseorang hengkang dari Hindu.
Apapun alasanya tentu yang paling tahu adalah yang bersangkutan yang pindah
agama. Ketika ada yang pindah agama maka orang tualah yang paling menderita,
sementara mungkin saja si anak enjoy menikmati hidupnya dengan agama yang baru.
Bila ingin mencari sensasi dengan mudah membangun opini negatif terhadap agama
yang dianut sebelumnya, sehingga tak jarang begitu pindah agama baru bukannya
belajar agama barunya tetapi justru menjadi penceramah dalam komunitas barunya.
Mengapa semua itu terjadi? Singkatnya ada ruang kosong yang menyebabkan
itu terjadi. Yang baru pindah agama masih kosong dengana agama lamanya apalagi
agamanya yang baru bisa jadi lebih kosong kaena sibuk menjelaskan kekosongan
hatinya alias ketidak tahuannya tentang agamanya yang lama. Sayangnya masyarakat
cenderung menerima ketika ada penganut baru ceramah menjelek-jelekkan agama
lamanya. Bahkan justru menjadi konsumsi yang menarik walaupun yang di
sampaikan sangat mungkin cenderung ‘pepesan kosong’ tanpa makna membangun
kesadaran tetapi menuju kesesatan masal. Hal semacam ini berbahaya bagi moderasi
beragama, yang sedang dibangun pemerintah dalam mewujudkan tri kerukunan umat
beragama.
Yang lebih berbahaya lagi adalah jika agama atau ajaran yang diikuti
cenderung bersifat radikal yang secara frontal dapat mengubah cara berfikir seseorang
menjadi lebih bringas terhadap kelompok lain. Tentang perubahan perilaku seseorang
setelah memeluk ajaran agama yang intoleran sejalan dengan pandanga Durkheim
yang beranggapan bahwa tingkah laku hidup seseorang adalah akibat adanya
“pemaksaan,” aturan perilaku yang datang dari luar individu dan memengaruhi
pribadinya. Jika kemudian seseorang menentang (dalam bentuk tingkah laku) dan
berlawanan dengan tingkah laku kolektif, maka kesepakatan kolektif itulah yang akan
menantangnya. Dengan begitu, maka suatu kelompok manusia yang semula tidak
bersifat agresif, kemudian bisa menjadi agresif setelah menjadi bagian dari suatu
kerumunan (kelompok) seperti pada kasus demonstrasi anarkis (Wirawan, 2012:14).
Oleh karena itu pentingnya mencegah konversi agama ataupun konversi
penganut aliran yang intoleran. Ini merupakan tanggung jawab bersama ditengah-
tengah upaya pemerintah mencanangkan moderasi beragama. Sangat sulit menjadi
moderat jika ajaran dasarnya lebih menitikberatkan pada mendeskreditkan ajaran lain
guna mencari pengikut. Misalnya saja dalam salah satu kelompok sampradaya kitab
sucinya menyatakan bahwa ajaran Siwa merupakan ajaran tamasik, demikian pula
Buddha, bahkan Samkhya. Pandangan ini kemudian oleh pengikutnya diterjemahkan
hingga kepada budaya lokal yang juga bersifat tamasik. Tamasik artinya berada dalam
sifat kegelapan. Betapa pandangan seperti ini menyinggung kelompok lainnya. Disatu
sisi ajaran semacam itu melegitimasi pengikutnya untuk menghakimi kelompok lain
yang dianggap berada dalam sifat kegelapan. Untuk itu mengisi diri dari ruang-ruang
kosong para penganut Hindu adalah tanggung jawab semua.

B. YANG KOSONG YANG MANA


Ruang kosong terjadi didalam diri pribadi yang bersangkutan dan itu bisa saja
terjadi pada siapa saja yang bersikap “gabeng” acuh terhadap ajaran Hindu.
Cenderung menjauh dari komunitas, apatis, menganggap agama tak penting. Ruang
kosong terjadi juga karena praktek agama yang paling mendasar ditinggalkan.
Menurut para pengikut tantrayana: upacara adalah jalan terbaik mencapai
pembebasan, para wedantis menganggap sikap kritis dan logis, rasional merupakan
jalan pembebasan. Jika mengikti yang pertama maka idealnya upacara dilakukan
dengan ketat dan tidak banyak dimodifikasi. Jika mengikuti alur wedanta tentu harus
banyak membaca kitab suci dan buku-buku lainnya. Intinya jangan sampai ada ruang
yang terlalu kosong dari aktifitas kegamaan.
Faktanya adalah komodifikasi upacara saat ini telah terjadi, masyarakat yang
cenderung konsumtif juga mulai berubah. Dari membuat upacara sendiri beralih
dengan cara membeli, terutama dikota dengan tingkat kesibukan yang tinggi. Disatu
sisi tercipta lapangan kerja yang luas, namun apakah kwalitasnya dapat
dipertahankan, masih menjadi pertanyaan besar. Fakta lainya adalah minimnya
tingkat literasi umat Hindu terhadap pembacaan kitab sucinya. Ini juga menunjukkan
adanya kemungkinan kesenjangan antara praktek berupacara dengan pemahaman
yang dimiliki oleh umat Hindu.
Tentu saja kita tak bisa berpangku tangan, sebab hari ini tradisi kita tak
mungkin dilanjutkan dengan estafet yang biasa-biasa saja. Tantangan hari ini jauh
lebih berat yang harus kita jawab dengan pilihan-pilihan apakah bisa menjamin
keberlangsungan agama Hindu yang Kuno dan Tua ini ataukah bentuknya akan
tergantikan dengan agama Hindu yang oleh sebagain kelompok dipandang lebih lebih
modern, atau berganti dengan agama-gama baru. Untuk itu perlu langkah-langkah
mengisi ruang-ruang kosong dengan cara-cara yang dapat diterima oleh generasi masa
kini dan masa mendatang. Hati mereka harus didekati dengan rasa agar memiliki
kebanggan terhadap agamanya. Hal ini tidak mudah sebab sehari-hari kita akan
melihat dan mendengar ceramah dari umat lain tentang hal-hal yang merendahkan
agama Hindu. Misalnya penggunaan bunga dan dupa untuk memanggil jin, setan. Ini
berdampak pada rasa percaya diri umat. Misalnya saat sumpah jabatan yang
seharusnya mengunakan dupa bisa berubah menggunakan kitab suci yang bahkan
belum ditetapkan oleh PHDI sebagai lembaga tertinggi umat.
Belum lagi hal-hal remeh tentang penyembahan patung. Ada pula tantangan
berupa tafsir-tafsir keliru yang dibuat oleh orang-orang yang punya kepentingan
mencari pengikut. Ada satu keluarga Hindu yang kemudian pindah menjadi Nasrani
karena membaca di internet bahwa Dyaus adalah naga. Dengan kesimpulan bahwa
umat Hindu menyembah binatang magis yang diangap rendahan, dengan asumsi
demikian ini kemudian yang bersangkutan pindah agama dengan mengajak serta
seluruh keluarganya.
Sederhanaya ruang kosong itu terjadi karena ketidak pahaman, gabeng, belajar
dari tafsir-tafsir keliru yang tersebar di internet yang cenderung menyesatkan. Suara-
suara sumbang yang merendahkan Hindu yang membangun perasaan minder, rendah
diri terhadap agama Hindu. Begitulah gempuran terhadap penganut Hindu yang
minoritas yang perlu disikapi DENGAN HATI. Sebab beragama memang urusan hati,
memilih memilah diantara promosi-promosi agama yang kian gencar. Terlebih
unculnya komunitas-komunitas sempalan atau aliran-aliran agama baru yang kian
subur dengan mode dan promo-promo yang menjanjikan semakin mewarnai ajang
persaingan mencari pengikut-pengikut baru, yang siap mengisi ruang-ruang kososng
dari hati para pengikut agama Hindu Kuno Shiwa Siddhanta.

C. ANTARA SAIWAGAMA; WAISNAWAGAMA DAN


WAISNAWASAMPARADAYA
Seperti uraian diatas membangun kepercayaan diri terhadap pengikut Hindu
adalah PR terbesar, agar kita yang kecil tidak semakin kecil ditengah hembusan-
hembusan tak sedap terhadap Hindu baik dari agama lain maupun dari dalam tubuh
Hindu itu sendiri. Namun demikian bukan berarti kita dapat membangun percaya diri
dengan cara menjatuhkan agama lain. Cara terbaik adalah mendatangkan rasa nyaman
terhadap diri kita masing-masing baru kemudian bisa membangun rasa nyaman itu
secara kolektif. Memang hal ini sulit untuk diwujudkan, karena sejatinya rasa nyaman
adalah harapan setiap orang. Tentang bagaimana mewujudkan kebahagiaan dan
kenyamanan ada beragam teori. Mengapa para pendahulu kita menerima Shiwa
Siddhanta di Indonesia tentu ada sebabnya yang alah satunya adalah adanya rasa
nyaman.
Kenyamanan dalam beragama salah satu cirinya adalah adanya toleransi yang
tinggi diantara pemeluk yang berbeda agama maupun berbeda pandangan. Pada
zaman Brahmana akhir (Revival of Hinduism) ditandai dengan munculnya mazhab-
mazhab dalam agama Hindu. Mazhab Waishnawa mengagungkan Dewa Wasudewa
yang disamakan dengan Dewa Wishnu dalam Weda, sedangkan mazhab Shiwa
mengagungkan Dewa Shiwa yang disamakan dengan Dewa Rudra dalam Weda.
Selain itu, juga muncul mazhab besar lainnya, yaitu Shakta (pemuja Shakti),
Ganapatya (pemuja Ganesha), dan Sora (pemuja Surya). Kelima mazhab ini disebut
Panca Sakha atau Panca Upasakha, atau Panca Yatanapuja. Walaupun demikian, tidak
ada perbedaan yang tegas antara kelima mazhab tersebut (Panca Sakha) (Palgunadi,
2013:39-40).
Sejauh ini ada beberapa bentuk ajaran Shiwa Siddanta dari Mazhab Shiwa
yang kena pengaruh Tantrayana (Shaiwatantra atau Shiwagama), juga mendasarkan
ajaran filsafatnya pada filsafat Adwaita wedanta antara lain:
1) Shiwa Siddhanta Tamil
2) Shiwa Siddhanta Deccan dan Maysor (Wira Shaiwa)
3) Shiwa Siddhanta Kashmir (India Utara)
4) Shiwa Siddhanta Indonesia (Bali)
5) Dari filsafat Siddhanta muncul ajaran Shaiwa Bairawa
Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan bentuk Shiwa Siddhanta
namun Prof Palgunadi tidak menyatakan Shiwa Siddhanta sebagai bentuk
sampradaya melainkan hanya variasi bentuk saja. Berbeda halnya dengan
Waisanawa yang mana perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip filsafat
menjadi sumber perpecahan dalam golongan Waishnawa-wedanta. Masing-
masing golongan ini membangun garis perguruan yang disebut Sampradaya,
dan memuja Krishna sebagai Tuhan. Pada akhirnya mazhab Waishnawa-
wedanta memiliki empat Sampradaya, yaitu:
1) Sampradaya Shri- Waishnawa (mengikuti ajaran filsafat dari Waishnawa
Ramanuja);
2) Sampradaya Brahma (mengikuti ajaran filsafat Waishnawa Madhwa);
3) Sampradaya Kumara (mengikuti ajaran filsafat dari Waishnawa
Nimbarka); dan
4) Sampradaya Rudra (mengikuti filsafat dari Waishnawa Wallabha).
Walaupun menggunakan istilah Rudra namun tidak ada hubungannya
samasekali dengan Dewa Rudra dalam Siwaisme.
Baik Saiwagama maupun Waisnawagama yang merupakan perpaduan dari
Shiwa dan Waisnawa dengan Tantrayana memiliki kesamaan yaitu pada upacara
sebagai yang utama. Inilah yang membedakan antara Waisnawagama dengan
Waisnawa Samparadaya. Pemeluk Hindu di Indonesia pada masa lalu lebih memiliki
kedekatan dengan tantrayana sehingga Saiwagama yang memuja Shiwa;
Waisnawagama yang memuja Wisnu dan Smarta yang memuja Tri Murti lebih
diterima. Pada akhirnya baik Waisnawagama maupun Smarta bahkan bentuk-bentuk
pemujaan pada masa pancaupasakha (200 SM-300M) luluh kedalam Shiwa
Siddhanta.
Akhirnya kita harus mengakui bahwa bentuk-bentuk pemujaan yang berbeda
dari setiap mazab dari era panca sakha berbeda samasekali dengan sampradaya.
Sehingga melekatkan kata samparada bagi penganut Shiwa Siddhanta adalah tidak
tepat. Prof. Palgunadi menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang tegas antara satu
mazab dengan mazab lainnya lebih mirip sebagai lima macam pemujaan kepada Ista
Dewata. Hal ini mirip dengan kondisi agama Hindu di Indonesia. Dewi Sri di Puja
sebagai Dewi Padi dipuja saat Panen; Dewa Ganesha di puja saat Upacara Rsi gana;
Dewa Shiwa dipuja saat galungan sebagai Giri Patti; Dewa Baruna dalam Veda dan
Vishnu dalam masa Panca Upasakha di puja saat Melasti; Dewa Bairawa di puja pada
tempat pembakaran mayat (Lontar Gong Besi) saat Upacara Ngaben; Dewa Surya
dipuja dalam Surya Sewana, dan dalam setiap Upacara sebagai saksi, dan sebagainya.

D. BRAHMAN DALAM SHIWA SIDDAHNTA


Seperti halnya upanishad Shiwa Siddanta di Indonesia mengenal konsep
Brahman yang disebut dengan Shiva (Shiwa) yang dalam Shiwa Siddhanta di
Indonesia menjadi Bhatara Shiwa. Konsep Shiwa dalam Shiwa siddhanta
berhubungan dengan Rudra didalam Atharva Veda. Atharva Veda itu sendiri lebih
banyak memuat mantra-mantra suci yang mengandung kekuatan-kekuatan magis. Hal
senada juga terdapat dalam corak mantram Shiwa yang ditemukan di Indonesia dalam
Stuti stawa sebagai berikut:
Lima aksara suci ini juga dipandang sebagai para sakti yaitu suatu daya
magis energi tertinggi dalam bait ketiga pada Pujian Pañcãksaram mahà-tìrtham
dalam naskah stuti stawa:
Namah Shivàya ity evam
para-brahmãtma-sevanam
para-shakti pañca-devam,
pañca-Rsyam bhaved Agni.

Terjemahan:
Dengan kata-kata ” Namah Shivàya” ia menyembahyangi sang Brahman
Tertinggi Yang adalah sang Àtman;
Ia adalah sang Tenaga Tertinggi; sang Panca Dewata;
kelompok dari sang Lima Rsi; Ia adalah sang Agni.

Dalam bait ketiga ini mengandung satu mantra Namah Shivàya yang
merupakan pancaksara sebagai cara untuk menyembahyangi Brahman yang tertinggi
yang tiada lain adalah atman itu sendiri. Lima aksara ini dikatakan sebagai para-
brahmãtma yaitu aksara brahman yang hakikatnya adalah atman.
Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa atman sejatinya sama dengan
Brahman yang sering kita dengar dalam ungkapan upanisad sebagai “Brahman atman
aikhyam”. Oleh karena itulah mantram ini sangat sejalan dengan theologi Hindu
secara umum dimana moksah menjadi tujuan tertinggi akan tercapai manakala atman
sadar akan jati dirinya (yan matutur ikang atma ri jatinia).
Ia (Na-Ma-Shi-Va-Ya) adalah sang Tenaga Tertinggi dan perwujudan dari
lima dewata (Para-Shakti pañca-devata). Sebagai para-Shakti dia adalah energi atau
kekuatan tertinggi dari Brahman. Merujuk pada lima aksara ini sebagai daya atau
kekuatan tertinggi dapat dikonfirmasi dengan puncak dari candi prambanan berbentuk
wajra yang melambangkan energi petir sebagai kekuatan listrik yang sangat besar di
alam ini.
Secara filosofis ajaran Siwa menempatkan Mahadewa juga sebagai Parama
Iswara mula asal yang tertinggi dari segala yang ada yang sejalan dengan aksara Para
Brahma Na-Ma-Shi-Va-Ya sebagai sarana untuk sembahyang. Mantra ini merupakan
simbol pelayanan kepada entitas tertinggih Siwa pada masa wang Sanjaya yang
semangatnya bersumber pada Brahman dalam upanisad.

Anda mungkin juga menyukai