Anda di halaman 1dari 28

Om Swastiastu

Lalita Hita Karana merupakan suatu pendekatan sekaligus merupakan


sadhana yang perlu dijalankan setiap hari. Merupakan kewajiban
setiap orang yang ingin membebaskan diri dari ikatan duniawi menuju
kepada yang Maha Suci.

Sadhana ini kembali dimunculkan setelah sepuluh abad berlalu,


dimana Maharaja Guna Priya Dharma Patni Udayana memerintah
Pulau Bali, didampingi penasehat kerajaan Mpu Kuturan, Mpu Gana,
Mpu Semeru dan Mpu Gnijaya, menelorkan konsep TRI HITA KARANA,
TRI KAHYANGAN dan TRI MURTI dengan konsep agama SIWA-BUDHA.
Dengan disepakati konsep Tri Hita Karana, Tri Kahyangan dan Tri
Murti, semua aliran dan sekte yang ada di Bali saat itu terwadahi.

Pada jaman itu di Bali terdapat beranekaragam aliran dan keyakinan


yang banyak menimbulkan pertentangan antar pemeluknya, yang
pada akhirnya banyak timbul masalah social dalam kehidupan
bernegara.

Pada hakekatnya pertentangan itu tidak harus terjadi, karena setiap


sekta atau aliran tersebut pada dasarnya bercita-cita menuju kepada
Brahman Sang Pencipta.

Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, pertentangan itu tidak dapat


dihindari. Hal ini disebabkan masing-masing penganutnya masih
diliputi oleh kegelapan, dikendalikan oleh Ahamkara (ego). Melihat
kenyataan saat ini, dimana situasi dan kondisi masyarakat di Bali
mendekati jaman tersebut. Adanya fanatisme terhadap apa yang

1
diyakini benar, bahkan kadang-kadang mencemooh dan merendahkan
keyakinan orang lain. Kalau ini berkembang terus, tidak mungkin
dibendung lagi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama akan
terjadi pertentangan seperti yang pernah terjadi sepuluh abad yang
lalu.

Karena rasa cinta kasih Beliau terhadap umatnya, Beliau kembali


menurunkan ajaran Beliau yaitu LALITA HITA KARANA yang arti
bebasnya JALAN MENUJU KEBEBASAN sebagai pendekatan
operasional, dalam mewujudkan tujuan konsep TRI HITA KARANA.

Lalita Hita Karana merupakan sadhana dengan urutan mantra-mantra


suci Hindhu yang dijadikan sarana pelayanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, yang merupakan kewajiban kita dilahirkan kedunia ini.
Pelayanan atau bhakti merupakan karma yang harus kita perbuat
dalam hidup ini, untuk mencapai tujuan hidup yang lebih sempurna,
yang pada akhirnya dapat manunggal dengan Yang Maha Sempurna.

Lalita Hita Karana merupakan tuntunan bagi umat dan murid-murid


Beliau agar kembali ke jalan Dharma. Selama ± 1000 tahun berlalu,
konsep TRI HITA KARANA, TRI KAHYANGAN dan TRI MURTI yang
merupakan landasan dalam hidup bernegara dan beragama telah
banyak terjadi perkembangan. Perkembangan tersebut ada yang
bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Bahkan kalau secara
jujur kita berbicara, pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari
lebih banyak menekankan bentuk luarnya saja, sedangkan tujuan dan
hakekat agama itu sendiri masih sangat jauh untuk dihayati.

2
Lalita Hita Karana merupakan suatu tuntunan persembahyangan
sekaligus merupakan sadhana untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa, karena di dalamnya teruntai mantra-mantra
yang merupakan inti dari Weda dan Upanisad.

Semoga dengan tuntunan persembahyangan ini kita sebagai umat


Beliau menemukan kebenaran sejati dengan kembali ke jalan Tuhan.

Om Santhi, Santhi, Santhi

Penyusun.

3
PENDAHULUAN

Kebenaran sejati yang terkandung dalam Weda tidak akan bermanfaat


bagi kehidupan sehari-hari, kalau kebenaran sejati itu tidak diterapkan
menjadi “ACARA DHARMA” atau penerapan kebenaran agama dalam
tradisi kehidupan sehari-hari, sehingga merupakan bagian yang
integral dalam diri manusia dan masyarakat. Tanpa acara dharma,
kebenaran sejati yang disebut SANATANA DHARMA atau SATYA
DHARMA tidak akan memberikan arah yang jelas pada kehidupan
manusia dan masyarakt.

Satya Dharma merupakan api spiritual agama, sedangkan acara


dharma adalah asap dan abunya. Kalau abu dan asap ini tidak
dikontrol dengan baik, maka dapat menutup api spiritual itu sendiri.

Sebaliknya ACARA DHARMA atau TRADISI KEAGAMAAN tanpa


dikontrol oleh Satya Dharma tidak mustahil ACARA DHARMA bisa
menyimpang jauh dari inti kebenaran itu sendiri.

Satya Dharma merupakan kebenaran mutlak yang dijadikan dasar


hidup dan pola piker orang Hindhu. Pola pikir dan landasan hidup
tersebut adalah PENYERAHAN DIRI SECARA TOTAL terhadap Tuhan
Yang Maha Kuasa. Penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
merupakan yadnya tertinggi. Menurut filsafat Hindhu, Tuhan dalam
menciptakan alam semesta ini melalui yadnya atau pengorbanan.
Yadnya tersebut dilaksanakan OLEH BELIAU, UNTUK BELIAU dengan
DIRI BELIAU sebagai sarana Yadnya.

4
Dengan demikian, yadnya yang tertinggi nilainya yaitu persembahan
terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa melalui PENYERAHAN DIRI SECARA
TOTAL YANG DISEBUT BHAKTI.

Bhakti atau penyerahan diri merupakan inti dari ACARA DHARMA, yang
dalam kehidupan sehari-hari kita kenal dengan UPACARA dan
UPAKARA. Upacara menerangkan bagaimana tatanan pelaksanaan
agama, sedangkan Upakara merupakan sarana yang dipergunakan
untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.

Seperti disebutkan, ACARA DHARMA menghasilkan abu dan asap yang


bisa menutup api spiritual, hendaknya selalu dikontrol agar tidak
terlalu jauh menyimpang dari tujuan hidup, mencapai moksa.

Moksa bagi masyarakat awam, kadang-kadang sangat dibesar-


besarkan, sehingga barangsiapa yang mendengar kata moksa sudah
terlintas dalam pikirannya suatu usaha yang tidak mungkin dicapai
dewasa ini. Benarkah pandangan itu ? Kalau hal itu dianggap benar,
jadilah kita benda mati yang tak pernah ada kegiatan, karena kita
sudah menyerah sebelum berbuat. Apa gunanya kita hidup sebagai
manusia yang dilahirkan semata-mata untuk memperbaiki diri untuk
mencapai kesempurnaan ?

Dalam kenyataan sekarang ini, pendapat serupa menghantui pikiran


umat, mengapa hal ini bisa terjadi ? Ini yang perlu kita cari
pemecahannya.

Perjalanan Hindhuisme dari negeri asalnya sampai ke tempat-tempat


tertentu diseantero dunia ini, diumpamakan sebuah bola salju yang

5
menggelinding mengikuti alur lintasannya. Dalam perjalanannya
bersentuhan dengan tradisi – tradisi setempat. Disamping tempat
(desa), dalam perjalanannya melintasi waktu (kala) yang juga
memberikan pengaruh.

Kalau dalam perjalanannya pada ruang dan waktu tadi, Hindhuisme


tidak dikontrol dengan cermat oleh SATYA DHARMA, tidak mustahil
pengaruh ruang dan waktu dapat bersifat sebagai abu dan asap yang
bisa memudarkan api spiritual Hindhuisme itu sendiri.

Abu dan asap yang menutup api spiritual bisa berupa kepentingan ego
pada setiap orang yang berkuasa pada saat itu, karena mereka sendiri
sudah diperbudak oleh ego, sehingga mereka diliputi kegelapan, tidak
dapat melihat lagi kebenaran abadi. Mereka terbelenggu oleh nafsu
dan ego, yang sesungguhnya semua objek dari nafsu dan ego itu
adalah maya. KAMA dan AHAMKARA yang sudah begitu lekat menutupi
diri sejati setiap orang sehingga api spiritualnya tidak terlihat sinar
terangnya.

Mereka yang digelapkan oleh kekuatan maya, tidak mustahil


menggunakan ACARA DHARMA sebagai wahana untuk kepentingan
individu maupun kelompoknya.

Akibat dari kenyataan ini, maka sistem warna tidak berfungsi lagi.
Seseorang menyebut diri seorang Brahmana, namun tingkah polahnya
seperti seorang Waesya, Kesatrya atau Sudra. Seseorang yang
menyebut diri seorang Kesatrya, tingkah polahnya sebagai Wesya atau
Sudra, demikian sebaliknya.

6
Seseorang menyebut dirinya Brahmana dan berpredikat pendeta, yang
pada hakekatnya harus disibukkan membimbing umat kejalan dharma
memberikan pelayanan terhadap Yang Maha Kuasa, tekun
melaksanakan sadhana agar bisa manunggal dengan Tuhan Sang
Pencipta, disibukkan dengan kegiatan menjual sarana upacara dengan
dalih meringankan umat, menerapkan upacara secara kaku bahkan
cenderung berlebihan dengan harapan mendapatkan kewibawaan
lahiriah.

Demikian juga sebaliknya, untuk mendapatkan status sosial yang lebih


tinggi di masyarakat dan tergiur dengan perolehan materi, karena
kebodohan umat seseorang yang belum mumpuni sebagai pendeta
menyatakan dirinya sebagai pendeta, dengan hanya bermodalkan
upacara ritual yang pada hakekatnya hanya bersifat formalitas.
Siapakah disini dibohongi ? Tidakkah mereka ini membohongi dirinya ?
Karena mereka tahu Tuhan maha tahu dan ada pada setiap orang.

Apa yang dikhawatirkan oleh pendahulu kita melalui ceritera Ni Diah


Tantri, Sang Cangak menjadi pendeta hanya sekedar mencari isi
perut. Begawan Darma Swami, seorang Begawan sibuk menjual kayu
bakar, sehingga mereka celaka oleh dirinya sendiri.

Sangat disayangkan, apabila seseorang berbuat diluar SATYA DHARMA


hanya sekedar memenuhi panggilan nafsu dan egonya. Sangat
disayangkan apabila mereka yang dijadikan panutan dalam penerapan
Satya Dharma, tergelincir dari Satya Dharma, yang pada gilirannya
berapa banyak umat ikut tergelincir dari Satya Dharma dan
terbelenggu oleh pengaruh maya. Mengapa dosa yang harus diperbuat
dalam kehidupan ini ? Mengapa kita sia-siakan berkah Tuhan ? Kita

7
dilahirkan sebagai manusia yang satu-satunya ciptaanNya dapat
menolong dirinya sendiri melalui sadhana.

Dilain pihak adanya pandangan keliru tentang Bhakti. Bhakti yang


terbesar dan mulia adalah bhakti atas diri sendiri, namun masih
banyak yang belum tahu mengenai hal ini. Mereka memandang
pengorbanan material wujud Bhakti yang tertinggi, bahkan timbul
kebanggaan pada dirinya, merasakan dirinya lebih dari yang lain.
Lebih disesalkan lagi, mereka melaksanakan yadnya dengan harapan
apa yang diinginkan agar dikabulkan oleh Tuhan. Dia berkaul
(mesaudan), agar apa yang diharapkan tercapai. “MESAUDAN (bahasa
Bali), berasal dari kata : me – saud – an. Saud artinya salah langkah.
Kalau seseorang menganyam sesuatu, apabila salah satu anyamannya
keliru langkahnya disebut saud, dalam arti salah. Setiap orang tahu
bahwa saud artinya salah, namun mengapa banyak orang
melakukannya ? Bukankah berarti kita sengaja berbuat salah ?
Tidakkah ini merupakan kebodohan yang tidak perlu terjadi ? Setiap
orang tahu, keberhasilan tak kunjung tiba tanpa didasari usaha yang
keras.

Dalam Bhagawad Gita, berulang-ulang dinyatakan BEKERJALAH TANPA


HARAPAN. Sepintas kelihatannya sangat tidak masuk akal, karena
dalam kehidupan sehari-hari, setiap usaha selalu dilandasi tujuan dan
harapan. Tanpa harapan disini dimaksudkan, hendaklah setiap usaha
yang kita lakukan tidak dibelenggu oleh harapan dan keinginan.
Tujuan dan harapan adalah suatu strategi dalam disiplin melaksanakan
kegiatan. Kalau usaha atau kegiatan dibelenggu oleh harapan, apabila
ternyata tidak sesuai harapannya dengan hasil yang diperoleh akan
menimbulkan kekecewaan. Dari kecewa timbul frustasi dan akhirnya

8
depresi. Bukankah ini berarti menyiksa diri ? Dalam kelahiran ini kita
berkewajiban memperbaiki diri dari hidup sebelumnya. Menebus dosa-
dosa yang pernah kita perbuat, melalui pelayanan terhadap Tuhan dan
berbuat baik dengan sesama yang berarti juga pelayanan terhadap
Tuhan. Masalah hasil, baik atau buruk hanya Tuhan yang tahu.

ACARA DHARMA merupakan alat dalam penerapan SATYA DHARMA,


untuk mencapai tujuan agama sekaligus tujuan hidup yaitu MOKSA.
Moksa merupakan tujuan hidup setiap orang pemeluk agama Hindhu.

Perjalanan menuju moksa atau kebebasan banyak mendapat rintangan


dan hambatan. Hambatan tersebut banyak berasal dari “Acara
Dharma” yang tidak dikontrol dengan “Satya Dharma”. Dilain pihak,
ketidakmampuan seseorang untuk membebaskan diri dari pengaruh
maya seperti : Kama, Indrya dan Ahamkara.

Bhakti dan sadhana merupakan jalan yang sangat mudah dan tepat
untuk mencapai moksa. Walaupun tidak secara sempurna pada
kehidupan sekarang ini, setidak-tidaknya merupakan anak tangga
untuk meningkat ke tangga yang lebih tinggi pada kehidupan yang
akan datang. Pada hakekatnya, moksa atau kebebasan secara
universal kita capai melalui perjenjangan sebagai berikut :
1. Membebaskan diri dari keinginan (nafsu).
2. Membebaskan diri dari kekuatan alam, terbebas dari kutub-
kutub kekuatan bumi dan gesekan kekuatan yang ada di alam
dan tetap pada pendirian.
3. Membebaskan diri dari badan kasar, yaitu Panca Maya Kosa
dan Tri Guna
4. Membebaskan diri dari ego atau rasa aku.

9
5. Bebas secara universal, BERSATUNYA ATMAN DENGAN
PARAMA ATMAN.

Setiap jenjang ini dapat kita nikmati dalam kehidupan ini, dalam
bentuk kedamaian hidup bermasyarakat maupun dalam kehidupan
akhirat. Untuk hal ini, kembalilah kepada hakekat SATYA DHARMA itu
sendiri, yang dapat memberi penerangan jalan menuju jalan Tuhan

Apabila SATYA DHARMA tidak dipegang erat-erat oleh setiap umat,


dikhawatirkan kekacauan antar umat sendiri tidak terelakkan akan
kembali terjadi, seperti apa yang terjadi pada jaman pemerintahan
Guna Priya Dharma Patni Udayana. Untuk menghindari terulang
kembalinya hal-hal yang menyesatkan kita, alangkah baiknya kita
lebih menghayati hakekat dari filsafat “TRI HITA KARANA” yang sudah
terbukti ampuh menyelesaikan kehidupan beragama dalam Dharma
Negara, sekaligus jalan utama untuk menuju BRAHMAN SANG
PENCIPTA.

10
LALITA HITA KARANA
(Jalan Menuju Kebebasan)

LALI = lupa, TA = kamu (dalam arti kemilikan, menunjukkan


kepunyaan, memiliki = ego), HITA = mula, KARANA = PERMULAAN.
Secara keseluruhan Lalita Hita Karana diartikan; lupakan ego menuju
mula dari permulaan. Dengan demikian, makna dari Lalita Hita
Karana, “Dengan membebaskan diri dari ego, bersatu dengan mula
dari permulaan (Brahman / Sang Pencipta).

Untuk mencapai kebebasan atau moksa secara universal, tangga


terakhir harus kita lalui yaitu terbebasnya DIRI dari pengaruh ego
(ahamkara).

Berbicara mengenai kebebasan atau moksa, merupakan perwujudan


tujuan setiap orang khususnya orang yang menyatakan dirinya
penganut Hindhuisme. Namun kenyataannya, belum banyak orang
berminat merintis jalan kehidupan kearah tersebut. Membicarakan
moksa saja kadang-kadang dianggap suatu pembicaraan yang
berlebihan, bahkan cenderung dianggap membicarakan hal yang tidak
mungkin dicapai. Terlebih lagi di jaman modern sekarang ini yang
begitu sarat dengan modernisasi di bidang teknologi dan science.
Benarkah demikian ?

Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, kita tidak boleh


menutup mata dengan kemampuan manusia sekarang ini dibidang
ilmu pengetahuan duniawi. Namun dengan kemajuan yang diperoleh
umat manusia dalam ilmu duniawi, belum menjamin suatu
kebahagiaan dan kedamaian, baik secara individu maupun kelompok.

11
Hal serupa ini masih diperlukan suatu jalan yang harus ditempuh agar
tercapainya suatu kebahagiaan dan kedamaian.

Mungkin umat manusia melupakan hakekatnya sendiri, bahwa


manusia pada hakekatnya makhluk jasmani dan rohani yang selalu
harus seimbang. Apabila kedua komponen ini tidak seimbang, maka
terjadilah gejala yang tidak normal, yang pada akhirnya muncul
masalah pada umat di dunia ini.

Pada kenyataan hidup dewasa ini, banyak masalah yang muncul yang
sulit dicarikan pemecahannya. Dalam segala aspek kehidupan, ada
saja masalah muncul yang tidak kunjung ketemu jalan pemecahannya.

Dalam aspek kesehatan, banyak penyakit yang tidak di dapatkan


obatnya. Dalam aspek social, banyak kita lihat konflik sosial antar
kelompok atau bangsa yang berkepanjangan, bahkan tidak terlihat
titik penyelesaiannya. Pemakaian obat terlarang yang menghancurkan
generasi, sangat marak diperjualbelikan. Yang sangat menghantui kita
semua, merosotnya moral kemanusiaan, baik dikalangan intelektual
maupun ditingkat orang kebanyakan, sehingga terjadi penindasan
antar sesama.

Banyak orang berpendapat masalah-masalah tersebut perlu dicarikan


alternatif pemecahan, yaitu dengan pendekatan religius atau agama.
Pendekatan religius merupakan pendekatan yang paling memberikan
harapan, karena dengan pendekatan religius ditumbuhkembangkan
spiritual umat untuk menyeimbangkan kemajuan duniawi dewasa ini.

12
Agama, melalui pustaka-pustaka sucinya membahas individu mulai
dari lapisan yang paling dalam yaitu spirit, yang dalam agama Hindhu
disebut Mikrokosmos (Atma Widya). Selanjutnya secara universal
membahas makrokosmos (Brahma Widya), sekaligus hubungan antara
mikrokosmos dan makrokosmos.

Dalam keyakinan agama ada yang disebut “Sorga dan Neraka”,


“Kenikmatan dan Kesengsaraan”. Dalam agama Hindhu itu disebut
SWARGA dan KAWAH. Kawah disini disimbulkan suatu jambangan api
yang berkobar yang panasnya tidak terkirakan. Kalau kembali kita
renungkan, kawah berasal dari kata : ke – wah, (wah = berubah).
Kalau keseimbangan dalam segala aspek kehidupan ini dirubah
(kawah), maka akan nerakalah kita yang disimbulkan dengan api. Hal
ini merupakan kodrat alam, hukum alam yang tidak dapat disangkal
oleh manusia. Dalam ilmu fisika kita dapati dalil, setiap benda kalau
digerakkan posisinya menimbulkan panas, besi yang dalam posisi
lurus kalau kita bengkokkan akan panas. Tinggi rendahnya suhu
akibat perubahan itu, tergantung besar kecilnya intensitas perubahan
tersebut.

Banyak orang sekarang membicarakan ayat-ayat suci yang


terkandung dalam agama, dengan harapan dapat menemukan jalan
yang harus ditempuh. Mereka yang demikian itu patut kita syukuri,
bahkan lebih ekstrim lagi, memperdebatkan ayat-ayat suci. Ada juga
yang mempertentangkan yang akan berakibat menimbulkan
kekacauan antar pemeluknya sendiri. Hal ini sangat disesalkan.

13
Mereka lupa perintah-perintah agama, tak akan membuahkan hasil
jika hanya sekedar dibicarakan dan didebatkan tanpa dilaksanakan
secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka lupa, SIAPA AKU INI ? MENGAPA AKU DILAHIRKAN ? KEMANA


AKU PERGI SETELAH DILAHIRKAN ? Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini, “SADHANA” salah satu cara yang perlu dilakukan.

Lalita Hita Karana, adalah suatu sadhana yang dapat diterapkan untuk
menjawab ketiga pertanyaan tadi. Lalita Hita Karana pendekatan
operasional untuk mewujudkan konsep Tri Hita Karana, suatu konsep
dasar yang sampai saat ini masih dipertahankan sebagai ACARA
DHARMA khususnya di Bali.

Tri Hita Karana, suatu konsep yang dicetuskan oleh Mpu Kuturan
bersama saudara-saudaranya, atas permohonan Raja Bali, “Guna Priya
Dharma Patni Udayana” yang juga disebut “Mahendradatta Udayana”,
untuk mengatasi kekacauan yang terjadi di Bali pada jaman itu.
Kekacauan tersebut diakibatkan oleh adanya banyak aliran atau sekte
agama yang berkembang. Masing-masing menonjolkan kelebihannya
bahkan cenderung mencemooh dan menjelekkan aliran lain, sehingga
banyak terjadi perselisihan antar kelompok yang sangat
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Mereka lupa bahwa apa
yang disebutkan dalam Bhagawad Gita “DENGAN JALAN APAPUN
ENGKAU DATANG PADAKU, AKU TERIMA..”. Ini dapat dijadikan contoh
dalam penerapan agama yang tidak dikontrol denga Satya Dharma,
akan menimbulkan gejolak sosial.

14
Dalam mengatasi masalah umat pada saat itu, Mpu Kuturan dalam
pertemuan segitiga antara pemeluk sekte Ciwa, Budha dan 6 aliran
yang ada di Bali, mengajukan konsep Tri Hita Karana, Tri Kahyangan
dan Tri Murti, diterima dengan aklamasi oleh peserta.

Tri Hita Karana merupakan konsep yang tidak bisa dipungkiri lagi
dalam mempersatukan umat di Bali, yang sampai saat ini masih kita
warisi keberadaannya.

Tri Hita Karana, terdiri dari kata :


Tri = tiga, Hita = mula, Karana = permulaan. Jadi Tri Hita Karana,
berarti : hubungan yang harmonis antara tiga komponen, agar atman
bersatu dengan Paramaatman. Tiga komponen tersebut adalah :
satunya hati, pikiran dan tuhan.

Untuk mencapai hal ini, diperlukan disiplin diri yang sangat kuat
melalui tahap-tahap tertentu, yang disebut “ASTA ANGGA YOGA”.

Pelajaran serupa ini sangat rahasia, namun wajib dilaksanakan oleh


umat, karena merupakan jawaban dari pertanyaan “Kemana Kita Pergi
Setelah Dilahirkan?” Begitu rahasianya pelajaran ini, maka dalam
penerapannya perlu penjenjangan.

Bagi umat yang belum mantap untuk memasuki jalan kerohanian,


penerapan Tri Hita Karana dengan menciptakan keseimbangan tiga
komponen dalam bentuk atau simbul, yaitu : Keselarasan hubungan
manusia antara Parhyangan (tempat pemujaan), Pawongan (antar
umat) dan Palemahan (alam lingkungan).

15
Pemahaman Tri Hita Karana seperti ini mengacu pada bentuk material
(matra), yang semua ini masih bentuk simbul-simbul dari yang sejati.
Parhyangan dalam wujud Pura, dan Sanggah dengan Pralingganya
merupakan simbul Tuhan sebagai produk pikiran. Konsep ini dilandasi
oleh pemikiran bahwa, untuk memuja Brahman yang tanpa wujud
sangat sulit dilaksanakan, tanpa didahului dengan pemujaan dengan
wujud yang diciptakan sendiri oleh umat manusia.

Pawongan adalah diri kita sendiri. Bagi umat kebanyakan, belum


mengenal diri sejati yang disebut “PURUSA”, kebanyakan orang
merasakan bahwa dirinya ini adalah badan ini sendiri, yang disebut
“PRAKERTI”, yang terdiri dari seonggok daging, otot, tulang dan cairan
yang dibungkus oleh kulit..

Palemahan, yaitu alam semesta ini dalam bentuk makrokosmos yaitu


Brahman dalam wujud/prakerti yang disebut SAGUNA BRAHMAN, dan
NIRGUNA BRAHMAN (Brahman yang tidak berwujud) berfungsi sebagai
Purusa.

Pawongan wujud atman sebagai mikrokosmos, Parhyangan adalah


pikiran manusia tentang Tuhannya dan Palemahan sebagai
makrokosmos perwujudan Brahman, yang meliputi segalanya.

Dengan demikian, penerapan Konsep Tri Hita Karana dalam wujud


simbul seperti diatas masih bersifat maya, masih mengalami
perubahan dan tidak abadi. Brahman yang tidak berwujud adalah yang
sejati, yang tidak terpengaruh oleh prakerti.

16
Penerapan Tri Hita Karana sebatas hubungan antara Parhyangan,
Pawongan dan Pelemahan dalam bentuk simbul tadi, sudah tentu
belum mencapai hakekat dasar dan pengertian Tri Hita Karana, yaitu
hubungan tiga komponen untuk mencapai mula dari permulaan yaitu
Brahman tanpa wujud.

Bagi umat yang sudah siap untuk meniti jalan kerohanian, penerapan
konsep Tri Hita Karana hendaknya ditingkatkan dalam bentuk abstrak.
Tri Hita Karana, suatu konsep untuk bisa mencapai mula dari
permulaan, adalah terjadinya hubungan yang harmonis atau satunya
hati, pikiran dan Tuhan Sang Pencipta. Untuk mencapai penunggalan
ketiga komponen tadi, diperlukan usaha yang disebut Sadhana.

Tri Hita Karana, bersatunya Atman dengan Brahman, yang diarahkan


pada awalnya oleh pikiran, merupakan konsep yang berlaku universal
khususnya umat Hindhu dimanapun mereka berada. Dimanapun orang
yang menyatakan dirinya penganut paham Hindhu, pada hakekatnya
untuk mencapai moksa, bersatunya atman dengan parama atman.
Bahkan setiap orang yang menyatakan dirinya umat beragama, pada
akhir ayatnya mencita-citakan arwahnya diterima pada haribaan
Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kalau diibaratkan dengan buah, penerapan Tri Hita Karana sebatas


Parhyangan, Pawongan dan Palemahan, penerapannya baru sebatas
kulit luarnya saja. Sedangkan penerapan Tri Hita Karana, sebagai
konsep bersatunya hati, pikiran dan Brahman adalah isi dari buah itu
sendiri. Kalau buah itu sudah masak, kita dapat merasakan betapa
manisnya buah tersebut. Mengapa kita selalu terlena, mengelus-elus

17
halusnya kulit buah itu, tanpa pernah merasakan manisnya daging
buah itu.

Realita di masyarakat, umat manusia masih terpaku pada kulit luar


dari agama itu sendiri. Bahkan dengan ACARA DHARMA yang berlebih-
lebihan, yang ditumpangi oleh kepentingan duniawi, membuat hakekat
agama menjadi sangat kabur, bahkan jauh menyimpang dari tujuan
agama yang disampaikan dalam kitab suci, yaitu untuk mencapai
moksa.

Dewasa ini, adanya kecenderungan adat dan budaya lebih menonjol


dari agama (dharma), padahal konsep awalnya adat dan budaya
adalah sarana untuk mencapai tujuan dharma.

Gejala serupa ini adalah suatu hal yang wajar terjadi, karena kita
sebagian besar masih dibelenggu oleh nafsu dan ego. Sehingga Atma
yang berstana di teratai hati setiap individu, tidak memancarkan sinar
cemerlangnya. Dengan demikian kita lebih banyak berbuat dosa,
karena dorongan nafsu dan ego yang sangat kuat mengendalikan
pikiran sehingga berperilaku menyimpang dari dharma.

Berbicara tentang hakekat Tri Hita Karana, bagi orang yang


terbelenggu oleh nafsu dan ego, atau pada mereka yang terbuai oleh
kemewahan duniawi, yang telah keenakan dengan status sosial yang
diwariskan oleh pendahulunya, mungkin kita mendapat cemohan
dengan dalih memecah persatuan umat. Kalau cemohan semacam ini
kita dengarkan, sampai kapan umat kita terbelenggu oleh kekuatan
nafsu dan ego, seperti seekor burung yang terkena jerat, tidak dapat
membebaskan diri. Selamanya kita disesatkan oleh nafsu dan ego.

18
Sudah saatnya sekarang kembali ke jalan dharma, kembali
merenungkan warisan para resi pendahulu kita.

Sebaliknya bagi mereka yang tidak memiliki status sosial yang lebih
tinggi, jangan memandang konsep Tri Hita Karana dan Lalita Hita
Karana merupakan angin segar untuk memenuhi keinginannya,
bahkan dengan serta merta ingin merubah tatanan sosial, adat dan
budaya yang telah ada. Ini sangat keliru kalau ada yang berpikir
demikian, mereka tak ada bedanya dengan mereka yang disebut
terdahulu. Orang yang demikian juga ada dalam cengkraman nafsu
dan ego.

Apa yang ada yang menunjang tegaknya dharma, hendaknya tetap


dipelihara, dan yang menyimpang dari Satya Dharma kita kembalikan
ke jalan Dharma. Pada hakekatnya, sarana dan simbul dalam
pelaksanaan Satya Dhrama adalah alat untuk mencapai tujuan
dharma.

Bagaimana seorang murid yang baru belajar menghitung 2 + 2 = 4.


Sebelumnya ia dilatih dengan lidi atau sarana lain.
Seperti : II + II = IIII / 2+2=4
Sarana riil ini lama kelamaan diubah menjadi lambang bilangan atau
angka yang bersifat abstrak. Proses serupa ini dapat dijadikan contoh
untuk melatih diri mengenal diri sejati.

Pemujaan Brahman yang tanpa wujud sangat susah dilaksanakan


tanpa didahului dengan pemujaan wujud yang diciptakan sendiri oleh
umat manusia.

19
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam Tri Hita Karana,
hendaknya kita berusaha perlahan-lahan membebaskan diri dari
belenggu nafsu, indria dan ego. Pada akhirnya moksa secara universal
akan dicapai.

LALITA HITA KARANA SEBAGAI TEKNIK MEDITASI

Dewasa ini banyak teknik meditasi yang dikembangkan untuk


mencapai suatu tujuan. Semua teknik tersebut pada dasarnya baik
untuk melatih kesadaran rohani. Dengan banyaknya berkembang olah
rohani melalui meditasi, merupakan modal dasar untuk menggapai
jalan menuju ke kesadaran Atman.

Namun kalau dihayati secara seksama dan mendalam, apa yang


dijadikan sasaran dalam meditasi, bagaimana langkah-langkah yang
harus ditempuh dalam bermeditasi, banyak kita lihat masih kabur.
Karena terdorong ingin tahu, ada keinginan untuk mencari kebenaran
tertinggi, banyak orang ikut-ikutan dalam kelompok tertentu tanpa
tujuan yang pasti, yang pada akhirnya mandeg di tengah jalan. Gejala
serupa ini sangat disayangkan, karena usaha yang sangat baik tidak
mendapatkan arah yang memadai.

Dilain pihak, ada kalangan tertentu mengambil jalan meditasi dengan


harapan-harapan tertentu, untuk memenuhi keinginan dan egonya.
Mereka duduk bersila, dalam waktu yang lama, dengan harapan agar
apa yang diinginkan terkabulkan. Umumnya mereka menginginkan
benda-benda yang memiliki wasiat tertentu, untuk dijadikan
kebanggaan diri. Apabila harapan ini berhasil, kebanggaan pada

20
dirinya mulai tumbuh, dilanjutkan keangkuhan dan kesombongan
karena merasa diri lebih dari yang lain. Kalau hal ini terjadi sangat kita
sayangkan. Mereka sudah terjerat oleh kekuasaan nafsu dan egonya
sendiri, selamanya mereka tidak mendapat kasih Tuhan.

Pada dasarnya, dalam kehidupan ini Tuhan memberikan pilihan


kepada kita sendiri, untuk mengisi dan mengarahkan kehidupan ini.
Jalan tersebut adalah WAHYA dan ADIATMIKA.

WAHYA adalah jalan keduniawian atau kedigjayaan, yaitu kemampuan


fisik dan batin yang merupakan tangga atau sarana ketingkat yang
lebih tinggi. Kalau kekuatan (sakti) ini diarahkan kepada hal-hal yang
baik (satwika) disebut : “Ilmu Putih”, di Bali dikenal dengan istilah
“Penengen / ilmu kanan”. Sebaliknya, kalau diarahkan kepada
perbuatan jahat lazim disebut “Ilmu Hitam”, di Bali disebut “Pengiwa /
ilmu kiri”. Pada hakekatnya, ilmu putih atau ilmu hitam tergolong
kedigjayaan. Dengan melatih ilmu kedigjayaan, maka kejayaan yang
akan didapat.

Adiatmika, berasala dari kata : ADI – ATMA – IKA. Adiatmika adalah


Tuhan itu sendiri. Kalau kita menekuni adiatmika, kita tidak akan
mendapatkan kejayaan yang berupa sakti dan sidhi. Yang didapatkan
dalam kesempurnaan adiatmika adalah PREMA atau KASIH SAYANG
TUHAN. Apabila kita mendapatkan kasih sayang Tuhan, sudah tentu
sakti dan sidhi kita peroleh, karena sakti dan sidhi milik Tuhan. Kita
berhak mempergunakan sakti Tuhan, sepanjang dipergunakan untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, sehingga dalam
pelaksanaannya didasari dengan kehendakNya.

21
Sekilas banyak orang tidak memilih jalan kediatmikaan. Dalam
kehidupan sehari-hari orang lebih banyak tertarik kedalam hal-hal
yang riil, kemampuan nyata yang dipergunakan sesuai dengan
keinginannya. Apabila salah sedikit dalam penerapannya, karena
kuatnya dorongan nafsu, kita akan tergelincir dari jalan menuju
moksa.

Mengapa sedikit orang menempuh jalan Adiatmika ? Hal ini wajar,


karena sejak manusia dilahirkan, dalam memperjuangkan hidup
khususnya badan raga ini diperlukan kemampuan jasmani atau rohani
untuk memelihara badan kasar ini agar sehat sebagai tempat
berstananya Atman yang maha suci. Boleh juga disebut badan ini
sebagai rumah Tuhan, perlu dipelihara dengan baik. Namun jangan
sampai kita terlena sampai disini, tujuan akhir masih jauh harus
ditempuh, untuk bersatunya Atman dengan Parama Atman.

Apabila kita terlena dengan kemewahan dan gemerlapnya hal-hal


duniawi, selamanya kita berputar-putar dalam lingkaran samsara.

Dengan demikian, Tuhan sudah memberikan pilihan pada umatNya


tiga jalan (tiga marga), yaitu :
1. Jalan kebaikan, akan menuju Indra loka (swarga).
2. Jalan kejahatan, akan menuju Yama Loka (kawah / neraka).
Kedua jalan ini, berputar-putar dalam lingkaran samsara.
3. Jalan kediatmikaan, menuju ke Sunya Loka, yaitu Brahman
Sang Pencipta.

Pada dasarnya, setiap orang mengharapkan bersatu dengan Brahman


Sang Pencipta, namun sedikit orang yang merintis jalan ini. Pada

22
hakekatnya kita dibingungkan oleh banyaknya tatanan upacara,
banyaknya aturan dan kitab sastra yang dianjurkan oleh para Resi
yang ditulis berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan
kegiatan rohani. Sekian banyaknya aturan dan kitab-kitab sastra yang
tersebar diseluruh dunia, mampukah kita menjamah dalam kehidupan
yang sangat singkat ini ? Apa gunanya kita membaca banyak kitab
suci, bila kita tidak melaksanakan perintah-perintah yang tercantum di
dalamnya ? Ini merupakan usaha yang sia-sia.

Pada hakekatnya, apa yang tertuang dalam kitab suci semuanya


sama, menuntun kita untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, suba asuba karma yang dapat dijadikan tangga untuk
naik ke “Kesadaran Brahman”.

Agar terlepas dari kebingungan, hendaknya kita kembali pada hakekat


itu sendiri. Bukankah demikian disebutkan oleh Krisna kepada Arjuna
dalam Bhagawad Gita : “KALAU ENGKAU DIBINGUNGKAN OLEH
WEDA, DATANGLAH PADA – KU”.

Demikian pula kalau dibingungkan oleh kitab sastra yang ada,


mengapa kita tidak kembali kepada Brahman Sang Pencipta ?
Brahman penyebab semua yang ada. Kepada siapa lagi kita harus
berguru selain kepada Beliau Sang Maha Tahu ? Jalan yang dapat
dilalui agar dapat berguru dengan Beliau adalah konsep “TRI HITA
KARANA” , yaitu SATUNYA HATI, PIKIRAN DAN BRAHMAN SANG
PENCIPTA melalui Sadhana “LALITA HITA KARANA”, dengan
membebaskan diri dari ego menuju mula dari permulaan.

23
Lalita Hita Karana sebagai teknik meditasi terdiri dari tahap-tahap
sebagai berikut :
1. Tahap Orientasi.
Tahap memantapkan keyakinan pada kebesaran Tuhan.
2. Diksa
Penyucian diri (prascita widhi), memusnahkan hambatan-
hambatan yang ada dalam diri kita untuk memulai diterima
sebagai murid Beliau.
3. Sadhana
Penyerahan diri pada Tuhan melalui pelayanan yang terdiri dari :
a. Tahap Pemula
b. Tahap Lanjut
c. Tahap Penyempurnaan

1. TAHAP ORIENTASI.
Tahap ini bertujuan untuk memantapkan keyakinan pada calon Diksa
tentang kebenaran sejati. Mereka harus diberikan Ilmu Pengetahuan
yang disebut BRAHMAN WIDYA dan ATMA WIDYA, dengan tujuan
pengenalan Buana Alit dan Buana Agung.

Buana Alit yaitu mengenal diri kita sendiri sebagai jawaban siapa aku ?
Apa yang harus aku lakukan ? Kemana aku harus pergi ?
Buana Agung adalah alam semesta ini. Dengan memahami Brahman
Widya, kita akan dapat memahami bagaimana alam semesta ini
diciptakan, siapa yang menciptakan alam semesta ini, bagaimana
keberadaan kita dialam semesta ini.

24
Dengan memahami kedua hal ini, maka akan mantap keyakinan kita
pada Brahman yang meliputi segala-galanya.

2. DIKSA
Diksa merupakan kegiatan upacara penyucian diri dan pengucapan
tekad yang bulat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mengikuti
jalan Dharma atas bimbingan beliau sebagai guru sejati.
Diksa serupa ini, dapat dilaksanakan dibawah bimbingan guru spiritual
yang terlebih dahulu menempuh jalan dharma. Sesungguhnya, guru
spiritual disini adalah sebagai perantara untuk mendapatkan berkah
Tuhan. Selanjutnya apabila upacara ini berlalu, usaha sendirilah yang
paling menentukan. Hal ini dapat diilustrasikan seperti anak yang
berumur 7 tahun yang mulai masuk sekolah. Pertama harus diantar
oleh orang tuanya untuk tercatat sebagai siswa dan berhak menerima
pelajaran. Selanjutnya peran orang tua hanya sebagai motivator dan
mencarikan jalan keluar, apabila terjadi masalah dalam hubungan
anak dengan sekolah.

Demikian pula halnya bagi para sadhaka yang sudah memasuki tahap
ini, diperlukan konsultasi dengan guru pembimbing apabila ada
pengalaman spiritual yang tidak dimengerti.

4. Sadhana.
Sadhana adalah suatu kegiatan menghubungkan diri dengan Yang
Maha Suci secara terus menerus, yang dilaksanakan dengan
pemujaan, penyucian diri dan lingkungan. Untuk bisa bersatu dengan
Brahman yang selalu suci (wreti), hendaknya diri kita harus suci
terlebih dahulu. Agar diri kita selalu suci, lingkungan dimana kita

25
berada harus tetap suci. Apabila ketiga komponen ini sudah selaras,
sudah tentunya tidak ada batas lagi antara atman dan parama atman,
karena pada hakekatnya antara atman dan parama atman adalah
satu, Tat Twam Asi, Aku adalah Engkau.

Dapat diumpamakan, atman yang terkurung dalam badan ini seperti


sepanci air yang mengapung di lautan luas. Panci itu dapat
diumpamakan sebagai prakerti (badan) yang menghasilkan nafsu dan
ego, yang membelenggu air didalamnya. Sehingga terlihat ada
perbedaan antara air dalam panci dan air laut. Apabila panci tadi kita
bebaskan, maka air dalam panci akan melebur dengan air laut. Pada
saat ini, tidak bisa dibedakan lagi mana air laut dan mana air yang
berada di dalam panci tadi.

Demikianlah dapat diilustrasikan proses peleburaan itu terjadi. Panci


yang membelenggu air tadi dalam diri kita terbuat dari ; Panca Maha
Butha, Panca Tan Matra, Panca Indra, Panca Kamenaya, Ego, Manas
dan Budhi. Apabila atman terbebaskan dari belenggu tadi, akan
terjadilah penunggalan Atman dengan Brahman.

Sadhana merupakan inti kegiatan rohani melalui Japa dan Meditasi.


Untuk mempercepat keberhasilan meditasi, alat yang dipergunakan
adalah rangkaian mantra-mantra sebagai berikut ini :

1. OM KARA MANTRA.
Om, om, om

26
2. Gayatri Mantram
Om Bhur, Bhuvah, Svah
Tat Savitur Varenyam
Bhargo Devasya Dimahi
Dhyo yo nah Pracodayat.

Om Bhur, Bhuvah, Svah


Tat Savitur Varenyam
Bhargo Devasya Dimahi
Dhyo yo nah Pracodayat.

Om Bhur, Bhuvah, Svah


Tat Savitur Varenyam
Bhargo Devasya Dimahi
Dhyo yo nah Pracodayat.

Om Santhi, Santhi, Santhi.

3. MANTRAM GURU
Om Gur Brahma, Gur Wisnu, Gur Deva Mahesvara
Gur Sak Sat Param Brahman
Tasmae Sri Guruve Namah

4. DHYANA / JAPA dengan “OM”.


Japa OM, mengucapkan Om dalam hati mengikuti keluar
masuknya nafas (sedikitnya 10 menit).

27
5. MANTRAM ASATO MAA DAN LOKA SAMASTA
Asato maa sad Gamayam
Tamaso maa Jyotir Gamayam
Mrityor maa Amritham Gamayam

Lokha samasta Sukino Bawantu


Lokha Samasta Sukino Bawantu
Lokha Samasta Sukino Bawantu.

(untuk pemula 3x dan untuk tahap lanjut 11x).

OM KARA MANTRAM.
OM adalah aksara suci, sekaligus bijaksara untuk

28

Anda mungkin juga menyukai