1
diyakini benar, bahkan kadang-kadang mencemooh dan merendahkan
keyakinan orang lain. Kalau ini berkembang terus, tidak mungkin
dibendung lagi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama akan
terjadi pertentangan seperti yang pernah terjadi sepuluh abad yang
lalu.
2
Lalita Hita Karana merupakan suatu tuntunan persembahyangan
sekaligus merupakan sadhana untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa, karena di dalamnya teruntai mantra-mantra
yang merupakan inti dari Weda dan Upanisad.
Penyusun.
3
PENDAHULUAN
4
Dengan demikian, yadnya yang tertinggi nilainya yaitu persembahan
terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa melalui PENYERAHAN DIRI SECARA
TOTAL YANG DISEBUT BHAKTI.
Bhakti atau penyerahan diri merupakan inti dari ACARA DHARMA, yang
dalam kehidupan sehari-hari kita kenal dengan UPACARA dan
UPAKARA. Upacara menerangkan bagaimana tatanan pelaksanaan
agama, sedangkan Upakara merupakan sarana yang dipergunakan
untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
5
menggelinding mengikuti alur lintasannya. Dalam perjalanannya
bersentuhan dengan tradisi – tradisi setempat. Disamping tempat
(desa), dalam perjalanannya melintasi waktu (kala) yang juga
memberikan pengaruh.
Abu dan asap yang menutup api spiritual bisa berupa kepentingan ego
pada setiap orang yang berkuasa pada saat itu, karena mereka sendiri
sudah diperbudak oleh ego, sehingga mereka diliputi kegelapan, tidak
dapat melihat lagi kebenaran abadi. Mereka terbelenggu oleh nafsu
dan ego, yang sesungguhnya semua objek dari nafsu dan ego itu
adalah maya. KAMA dan AHAMKARA yang sudah begitu lekat menutupi
diri sejati setiap orang sehingga api spiritualnya tidak terlihat sinar
terangnya.
Akibat dari kenyataan ini, maka sistem warna tidak berfungsi lagi.
Seseorang menyebut diri seorang Brahmana, namun tingkah polahnya
seperti seorang Waesya, Kesatrya atau Sudra. Seseorang yang
menyebut diri seorang Kesatrya, tingkah polahnya sebagai Wesya atau
Sudra, demikian sebaliknya.
6
Seseorang menyebut dirinya Brahmana dan berpredikat pendeta, yang
pada hakekatnya harus disibukkan membimbing umat kejalan dharma
memberikan pelayanan terhadap Yang Maha Kuasa, tekun
melaksanakan sadhana agar bisa manunggal dengan Tuhan Sang
Pencipta, disibukkan dengan kegiatan menjual sarana upacara dengan
dalih meringankan umat, menerapkan upacara secara kaku bahkan
cenderung berlebihan dengan harapan mendapatkan kewibawaan
lahiriah.
7
dilahirkan sebagai manusia yang satu-satunya ciptaanNya dapat
menolong dirinya sendiri melalui sadhana.
8
depresi. Bukankah ini berarti menyiksa diri ? Dalam kelahiran ini kita
berkewajiban memperbaiki diri dari hidup sebelumnya. Menebus dosa-
dosa yang pernah kita perbuat, melalui pelayanan terhadap Tuhan dan
berbuat baik dengan sesama yang berarti juga pelayanan terhadap
Tuhan. Masalah hasil, baik atau buruk hanya Tuhan yang tahu.
Bhakti dan sadhana merupakan jalan yang sangat mudah dan tepat
untuk mencapai moksa. Walaupun tidak secara sempurna pada
kehidupan sekarang ini, setidak-tidaknya merupakan anak tangga
untuk meningkat ke tangga yang lebih tinggi pada kehidupan yang
akan datang. Pada hakekatnya, moksa atau kebebasan secara
universal kita capai melalui perjenjangan sebagai berikut :
1. Membebaskan diri dari keinginan (nafsu).
2. Membebaskan diri dari kekuatan alam, terbebas dari kutub-
kutub kekuatan bumi dan gesekan kekuatan yang ada di alam
dan tetap pada pendirian.
3. Membebaskan diri dari badan kasar, yaitu Panca Maya Kosa
dan Tri Guna
4. Membebaskan diri dari ego atau rasa aku.
9
5. Bebas secara universal, BERSATUNYA ATMAN DENGAN
PARAMA ATMAN.
Setiap jenjang ini dapat kita nikmati dalam kehidupan ini, dalam
bentuk kedamaian hidup bermasyarakat maupun dalam kehidupan
akhirat. Untuk hal ini, kembalilah kepada hakekat SATYA DHARMA itu
sendiri, yang dapat memberi penerangan jalan menuju jalan Tuhan
10
LALITA HITA KARANA
(Jalan Menuju Kebebasan)
11
Hal serupa ini masih diperlukan suatu jalan yang harus ditempuh agar
tercapainya suatu kebahagiaan dan kedamaian.
Pada kenyataan hidup dewasa ini, banyak masalah yang muncul yang
sulit dicarikan pemecahannya. Dalam segala aspek kehidupan, ada
saja masalah muncul yang tidak kunjung ketemu jalan pemecahannya.
12
Agama, melalui pustaka-pustaka sucinya membahas individu mulai
dari lapisan yang paling dalam yaitu spirit, yang dalam agama Hindhu
disebut Mikrokosmos (Atma Widya). Selanjutnya secara universal
membahas makrokosmos (Brahma Widya), sekaligus hubungan antara
mikrokosmos dan makrokosmos.
13
Mereka lupa perintah-perintah agama, tak akan membuahkan hasil
jika hanya sekedar dibicarakan dan didebatkan tanpa dilaksanakan
secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari.
Lalita Hita Karana, adalah suatu sadhana yang dapat diterapkan untuk
menjawab ketiga pertanyaan tadi. Lalita Hita Karana pendekatan
operasional untuk mewujudkan konsep Tri Hita Karana, suatu konsep
dasar yang sampai saat ini masih dipertahankan sebagai ACARA
DHARMA khususnya di Bali.
Tri Hita Karana, suatu konsep yang dicetuskan oleh Mpu Kuturan
bersama saudara-saudaranya, atas permohonan Raja Bali, “Guna Priya
Dharma Patni Udayana” yang juga disebut “Mahendradatta Udayana”,
untuk mengatasi kekacauan yang terjadi di Bali pada jaman itu.
Kekacauan tersebut diakibatkan oleh adanya banyak aliran atau sekte
agama yang berkembang. Masing-masing menonjolkan kelebihannya
bahkan cenderung mencemooh dan menjelekkan aliran lain, sehingga
banyak terjadi perselisihan antar kelompok yang sangat
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Mereka lupa bahwa apa
yang disebutkan dalam Bhagawad Gita “DENGAN JALAN APAPUN
ENGKAU DATANG PADAKU, AKU TERIMA..”. Ini dapat dijadikan contoh
dalam penerapan agama yang tidak dikontrol denga Satya Dharma,
akan menimbulkan gejolak sosial.
14
Dalam mengatasi masalah umat pada saat itu, Mpu Kuturan dalam
pertemuan segitiga antara pemeluk sekte Ciwa, Budha dan 6 aliran
yang ada di Bali, mengajukan konsep Tri Hita Karana, Tri Kahyangan
dan Tri Murti, diterima dengan aklamasi oleh peserta.
Tri Hita Karana merupakan konsep yang tidak bisa dipungkiri lagi
dalam mempersatukan umat di Bali, yang sampai saat ini masih kita
warisi keberadaannya.
Untuk mencapai hal ini, diperlukan disiplin diri yang sangat kuat
melalui tahap-tahap tertentu, yang disebut “ASTA ANGGA YOGA”.
15
Pemahaman Tri Hita Karana seperti ini mengacu pada bentuk material
(matra), yang semua ini masih bentuk simbul-simbul dari yang sejati.
Parhyangan dalam wujud Pura, dan Sanggah dengan Pralingganya
merupakan simbul Tuhan sebagai produk pikiran. Konsep ini dilandasi
oleh pemikiran bahwa, untuk memuja Brahman yang tanpa wujud
sangat sulit dilaksanakan, tanpa didahului dengan pemujaan dengan
wujud yang diciptakan sendiri oleh umat manusia.
16
Penerapan Tri Hita Karana sebatas hubungan antara Parhyangan,
Pawongan dan Pelemahan dalam bentuk simbul tadi, sudah tentu
belum mencapai hakekat dasar dan pengertian Tri Hita Karana, yaitu
hubungan tiga komponen untuk mencapai mula dari permulaan yaitu
Brahman tanpa wujud.
Bagi umat yang sudah siap untuk meniti jalan kerohanian, penerapan
konsep Tri Hita Karana hendaknya ditingkatkan dalam bentuk abstrak.
Tri Hita Karana, suatu konsep untuk bisa mencapai mula dari
permulaan, adalah terjadinya hubungan yang harmonis atau satunya
hati, pikiran dan Tuhan Sang Pencipta. Untuk mencapai penunggalan
ketiga komponen tadi, diperlukan usaha yang disebut Sadhana.
17
halusnya kulit buah itu, tanpa pernah merasakan manisnya daging
buah itu.
Gejala serupa ini adalah suatu hal yang wajar terjadi, karena kita
sebagian besar masih dibelenggu oleh nafsu dan ego. Sehingga Atma
yang berstana di teratai hati setiap individu, tidak memancarkan sinar
cemerlangnya. Dengan demikian kita lebih banyak berbuat dosa,
karena dorongan nafsu dan ego yang sangat kuat mengendalikan
pikiran sehingga berperilaku menyimpang dari dharma.
18
Sudah saatnya sekarang kembali ke jalan dharma, kembali
merenungkan warisan para resi pendahulu kita.
Sebaliknya bagi mereka yang tidak memiliki status sosial yang lebih
tinggi, jangan memandang konsep Tri Hita Karana dan Lalita Hita
Karana merupakan angin segar untuk memenuhi keinginannya,
bahkan dengan serta merta ingin merubah tatanan sosial, adat dan
budaya yang telah ada. Ini sangat keliru kalau ada yang berpikir
demikian, mereka tak ada bedanya dengan mereka yang disebut
terdahulu. Orang yang demikian juga ada dalam cengkraman nafsu
dan ego.
19
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam Tri Hita Karana,
hendaknya kita berusaha perlahan-lahan membebaskan diri dari
belenggu nafsu, indria dan ego. Pada akhirnya moksa secara universal
akan dicapai.
20
dirinya mulai tumbuh, dilanjutkan keangkuhan dan kesombongan
karena merasa diri lebih dari yang lain. Kalau hal ini terjadi sangat kita
sayangkan. Mereka sudah terjerat oleh kekuasaan nafsu dan egonya
sendiri, selamanya mereka tidak mendapat kasih Tuhan.
21
Sekilas banyak orang tidak memilih jalan kediatmikaan. Dalam
kehidupan sehari-hari orang lebih banyak tertarik kedalam hal-hal
yang riil, kemampuan nyata yang dipergunakan sesuai dengan
keinginannya. Apabila salah sedikit dalam penerapannya, karena
kuatnya dorongan nafsu, kita akan tergelincir dari jalan menuju
moksa.
22
hakekatnya kita dibingungkan oleh banyaknya tatanan upacara,
banyaknya aturan dan kitab sastra yang dianjurkan oleh para Resi
yang ditulis berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan
kegiatan rohani. Sekian banyaknya aturan dan kitab-kitab sastra yang
tersebar diseluruh dunia, mampukah kita menjamah dalam kehidupan
yang sangat singkat ini ? Apa gunanya kita membaca banyak kitab
suci, bila kita tidak melaksanakan perintah-perintah yang tercantum di
dalamnya ? Ini merupakan usaha yang sia-sia.
23
Lalita Hita Karana sebagai teknik meditasi terdiri dari tahap-tahap
sebagai berikut :
1. Tahap Orientasi.
Tahap memantapkan keyakinan pada kebesaran Tuhan.
2. Diksa
Penyucian diri (prascita widhi), memusnahkan hambatan-
hambatan yang ada dalam diri kita untuk memulai diterima
sebagai murid Beliau.
3. Sadhana
Penyerahan diri pada Tuhan melalui pelayanan yang terdiri dari :
a. Tahap Pemula
b. Tahap Lanjut
c. Tahap Penyempurnaan
1. TAHAP ORIENTASI.
Tahap ini bertujuan untuk memantapkan keyakinan pada calon Diksa
tentang kebenaran sejati. Mereka harus diberikan Ilmu Pengetahuan
yang disebut BRAHMAN WIDYA dan ATMA WIDYA, dengan tujuan
pengenalan Buana Alit dan Buana Agung.
Buana Alit yaitu mengenal diri kita sendiri sebagai jawaban siapa aku ?
Apa yang harus aku lakukan ? Kemana aku harus pergi ?
Buana Agung adalah alam semesta ini. Dengan memahami Brahman
Widya, kita akan dapat memahami bagaimana alam semesta ini
diciptakan, siapa yang menciptakan alam semesta ini, bagaimana
keberadaan kita dialam semesta ini.
24
Dengan memahami kedua hal ini, maka akan mantap keyakinan kita
pada Brahman yang meliputi segala-galanya.
2. DIKSA
Diksa merupakan kegiatan upacara penyucian diri dan pengucapan
tekad yang bulat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mengikuti
jalan Dharma atas bimbingan beliau sebagai guru sejati.
Diksa serupa ini, dapat dilaksanakan dibawah bimbingan guru spiritual
yang terlebih dahulu menempuh jalan dharma. Sesungguhnya, guru
spiritual disini adalah sebagai perantara untuk mendapatkan berkah
Tuhan. Selanjutnya apabila upacara ini berlalu, usaha sendirilah yang
paling menentukan. Hal ini dapat diilustrasikan seperti anak yang
berumur 7 tahun yang mulai masuk sekolah. Pertama harus diantar
oleh orang tuanya untuk tercatat sebagai siswa dan berhak menerima
pelajaran. Selanjutnya peran orang tua hanya sebagai motivator dan
mencarikan jalan keluar, apabila terjadi masalah dalam hubungan
anak dengan sekolah.
Demikian pula halnya bagi para sadhaka yang sudah memasuki tahap
ini, diperlukan konsultasi dengan guru pembimbing apabila ada
pengalaman spiritual yang tidak dimengerti.
4. Sadhana.
Sadhana adalah suatu kegiatan menghubungkan diri dengan Yang
Maha Suci secara terus menerus, yang dilaksanakan dengan
pemujaan, penyucian diri dan lingkungan. Untuk bisa bersatu dengan
Brahman yang selalu suci (wreti), hendaknya diri kita harus suci
terlebih dahulu. Agar diri kita selalu suci, lingkungan dimana kita
25
berada harus tetap suci. Apabila ketiga komponen ini sudah selaras,
sudah tentunya tidak ada batas lagi antara atman dan parama atman,
karena pada hakekatnya antara atman dan parama atman adalah
satu, Tat Twam Asi, Aku adalah Engkau.
1. OM KARA MANTRA.
Om, om, om
26
2. Gayatri Mantram
Om Bhur, Bhuvah, Svah
Tat Savitur Varenyam
Bhargo Devasya Dimahi
Dhyo yo nah Pracodayat.
3. MANTRAM GURU
Om Gur Brahma, Gur Wisnu, Gur Deva Mahesvara
Gur Sak Sat Param Brahman
Tasmae Sri Guruve Namah
27
5. MANTRAM ASATO MAA DAN LOKA SAMASTA
Asato maa sad Gamayam
Tamaso maa Jyotir Gamayam
Mrityor maa Amritham Gamayam
OM KARA MANTRAM.
OM adalah aksara suci, sekaligus bijaksara untuk
28