Makna Hari Raya Saraswati Bagi Umat Hindu, Hari raya Saraswati adalah hari yang penting bagi umat
hindu, khususnya bagi siswa sekolah dan penggelut dunia pendidikan karena Umat Hindu mempercayai
hari Saraswati adalah turunnya ilmu pengetahuan yang suci kepada umat manusia untuk kemakmuran,
kemajuan, perdamaian, dan meningkatkan keberadaban umat manusia. Hari raya Saraswati diperingati
setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Hari Raya Saraswati
adalah hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku
Watugunung. Pada hari itu kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu. Terutama para pamong
dan siswa-siswa khususnya, serta pengabdi-pengabdi ilmu pengetahuan pada umumnya.
Dalam legenda digambarkan bahwa Saraswati adalah Dewi/ lstri Brahma. Saraswati adalah Dewi
pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita
menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.
Beliau disimbolkan sebagai seorang dewi yang duduk diatas teratai dengan berwahanakan se-ekor angsa
(Hamsa) atau seekor merak, berlengan empat dengan membawa sitar/veena dan ganatri di kedua
tangan kanan, tangan kiri membawa pustaka dan tangan kiri satunya ikut memainkan gitar membawa
sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kin membawa pustaka dan tangan kiri satunya
ikut memainkan veena atau bermudra memberkahi.
1. Berkulit putih, bermakna: sebagai dasar ilmu pengetahuan (vidya) yang putih, bersih dan suci.
2. Kitab ditangan kiri, bermakna: Semua bentuk ilmu dan sains yang bersifat se-kular. Tetapi walaupun
vidya (ilmu pengetahuan spiritual) dapat mengarahkan kita ke moksha, namun avidya (ilmu
pengetahuan sekular jangan diabaikan dulu). Seperti yang dijelaskan Isavasya-Upanishad: “Kita
melampaui kelaparan dan da-haga melalui avidya, kemudian baru melalui vidya meniti dan mencapai
moksha.”
3. Veena, bermakna : seni, musik, budaya dan suara AUM. Juga merupakan simbol keharmonisan
pikiran, budhi, kehidupan dengan alam lingkungan.
4. Ganatri di tangan kanan, bermakna: Ilmu pengetahuan spiritual itu lebih berarti daripada berbagai
sains yang bersifat secular (ditangan kiri). Akan tetapi bagaimanapun pentingnya kitab-kitab dan ajaran
berbagai ilmu pengetahuan, namun tanpa penghayatan dan bakti yang tulus, maka semua ajaran ini
akan mubazir atau sia-sia.
5. Wajah cantik jelita dan kemerah-merahan, bermakna: Simbol kebodohan dan kemewahan duniawi
yang sangat memukau namun menye-satkan (avidya).
6. Angsa, melambangkan: Bisa menyaring air dan memisahkan mana kotoran dan mana yang bisa
dimakan, mana yang baik mana yang buruk, walaupun berada di dalam air yang kotor dan keruh
maupun Lumpur, (simbol vidya).
7. Merak , bermakna: berbulu indah, cantik dan cemerlang biarpun habitatnya di hutan. Dan bersama
dengan angsa bermakna sebagai wahana (alat, perangkat, penyampai pesan-pesannya).
8. Bunga Teratai, bermakna: bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan bunga yang indah walaupun
hidupnya di atas air yang kotor.
Upacara pada hari Saraswati, pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang
mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan,
dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai
Widhi widhana (bebanten = sesajen) terdiri dari peras daksina, bebanten dansesayut Saraswati, rayunan
putih kuning serta canang-canang, pasepan, tepung tawar, bunga, sesangku (samba = gelas), air suci
bersih dan bija (beras) kuning.
Pemujaan Tirtha Saraswati dilakukan mempergunakan bahan-bahan: air, bija, menyan astanggi dan
bunga.
Sesudahnya dimasukkan kedalam sangku. Ambil menyan astanggi, dengan mantram “Om, agnir, jyotir,
Om, dupam samar payami“.
Ambil beras kuning dengan mantram : “Om, kung kumara wijaya Om phat“.
Mantra :
Om, Saraswati namostu bhyam Warade kama rupini Siddha rastu karaksami Siddhi bhawantu sadam.
Artinya :
Om, Dewi Saraswati yang mulia dan maha indah,cantik dan maha mulia. Semoga kami dilindungi dengan
sesempurna-sempurnanya. Semoga kami selalu dilimpahi kekuatan.
Mantra :
Om, Pranamya sarwa dewanca para matma nama wanca. rupa siddhi myaham.
Artinya :
Om, kami selalu bersedia menerima restuMu ya para Dewa dan Hyang Widhi, yang mempunyai tangan
kuat. Saraswati yang berbadan suci mulia.
Mantra :
Artinya :
Om, teratai yang tak ternoda, Padma yang indah bercahaya. Dewi yang selalu indah bercahaya, kami
selalu menjungjungMu Saraswati.
Ucapkan mantra berikut:Sesudahnya bunga itu dimasukkan kedalam sangku. Sekian mantram
permohonan tirta Saraswati. Kalau dengan mantram itu belum mungkin, maka dengan bahasa
sendiripun tirta itu dapat dimohon, terutama dengan tujuan mohon kekuatan dan kebijaksanaan,
kemampuan intelek, intuisi dan lain-lainnya.
Setangkai bunga diambil untuk memercikkan tirtha ke pustaka-pustaka dan banten-banten sebanyak 5
kali masing-masing dengan mantram:
Dewi Saraswati.
MANTRAM :
Om, adityo sya parajyote rakte tejo namastute sweta pangkaja madyaste Baskara ya namo namah. Om,
rang ring sah Parama Çiwa Dityo ya nama swaha.
Artinya :
Om, Tuhan Hyang Surya maha bersinar-sinar merah yang utama. Putih Iaksana tunjung di tengah air,
Çiwa Raditya yang mulia. Om, Tuhan yang pada awal, tengah dan akhir selalu dipuja.
MANTRAM :
Om, Pancaksaram maha tirtham, Papakoti saha sranam Agadam bhawa sagare. Om, nama Çiwaya.
Artinya :
Om, Pancaksara Iaksana tirtha yang suci. Jernih pelebur mala, beribu mala manusia olehnya. Hanyut
olehnya ke laut lepas.
MANTRAM :
Om, Saraswati namostu bhyam, Warade kama rupini, Siddha rastu karaksami, Siddhi bhawantume
sadam.
Artinya :
Om Saraswati yang mulia indah, cantik dan maha mulia, semoga kami dilindungi sesempurna-
sempurnanya, semoga selalu kami dilimpahi kekuatan.
Meketis3 kali dengan mantram:Sesudah sembahyang dilakukan metirtha dengan cara-cara dan
mantram-mantram sebagai berikut :
Terakhir melabahan Saraswati yaitu makan surudan Saraswati sekedarnya, dengan tujuan memohan
agar diresapi oleh wiguna Saraswati
Dewa berasal dari kata ”div” yaitu sinar/pancaran. Pengertiannya adalah bahwa Tuhan itu adalah satu,
tapi mempunyai aspek-aspek dengan pancaran sinarnya yang bermacam-macam sesuai dengan
fungsinya. ang bermacam-macam sesuai dengan fungsinya. Pada saat menciptakan disebut Brahma, saat
memelihara disebut Wishnu, dan saat pendaurulang disebut Shiwa, dan sebagainya. Tapi sebenarnya
Brahma, Wishnu, Shiva adalah satu (Trimurti).
Paradewa ini mempunyai pendamping (Shak-ti), yaitu: Brahma shaktinya Saraswati, Wishnu shaktinya
Lakshmi dan Shiwa shakti-Nya Parvati (Durga). Disini Dewi Saraswati sebagai aspek Tuhan Yang Maha
Esa pada saat munurunkan ilmu pengetahuan (vidya), kecerdasan, ucapan, musik, budaya dan seba-
gainya. Demikian pula dijabarkan dalam konsep Gayatri yang terdiri dari tiga aspek, yaitu: Saras-wati
menguasai ucapan kata, Gayatri menguasai budhi dan savitri yang menguasai nafas.
Jadi makna pemujaan Dewi Saraswati adalah memuja dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan memfokuskan pada aspek Dewi Saraswati (simbol vidya) atas karunia ilmu pengetahuan yang di
karuniakan kepada kita semua, sehingga akan terbebas dan avidyam (kebodoh-an), agar dibimbing
menuju ke kedamaian yang abadi dan pencerahan sempurna.
Setelah Saraswati puja selesai, biasanya dilakukan mesarnbang semadhi, yaitu semadhi ditempat yang
suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan
menernukan pencerahan Ida Hyang Saraswati
Puja astawa yang disiapkan ialah : Sesayut yoga sidhi beralas taledan dan alasnya daun sokasi berupa
nasi putih daging guling, itik, raka-raka sampian kernbang payasan. Sesayut ini dihaturkan di atas tempat
tidur, dipersembahkan ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati.
Keesokan harinya dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni asuci laksana dipagi buta berkeramas dengan air
kumkuman. Ke hadapan Hyang Saraswati dihaturkanajuman kuning dan tamba inum. Tamba inum ini
terdiri dari air cendana, beras putih dan bawang lalu diminum, sesudahnya bersantap nasi kuning
garam, telur, disertai dengan puja mantram:
1. Kita harus bersyukur kepada Hyang Widhi atas kemurahan-Nya yang telah menganugrahkan vidya
(ilmu pengetahuan) dan kecerdasan kepada kita semua.
2. Dengan vidya kita harus terbebas dari avidya (kebodohan) dan menuju ke pencerahan, kebe-naran
sejati (sat) dan kebahagiaan abadi.
3. Selama ini secara spiritual kita masih tertidur lelap dan diselimuti oleh sang maya (ketidak-benaran)
dan avidyam (kebodohan). Dengan vidya ini mari kita berusaha untuk bangun dan tidur kita, hilangkan
selimut maya, sadarilah bahwa kita adalah atma, dan akhirnya tercapailah nirwana.
4. Kita belajar dan angsa untuk menjadi orang yang lebih bijaksana. Angsa bisa menyaring air,
memisahkan makanan dan kotoran walaupun di air yang kotor atau lumpur. Juga jadilah orang baik,
seperti buruk merak yang berbulu cantik, indah dan cemerlang walaupun hidupnya di hutan.
5. Kita masih mempelajari ilmu pengetahuan dan sains yang sekuler, tetapi harus diimbangi dengan ilmu
spiritual dengan penghayatan dan bakti yang tulus.
– sumber
Makna
Sarana Persembahyangan
Dalam persembahyangan terdapat beberapa sarana yang perlu disediakan, terutama Dupa, Tirtha, Bija,
Bunga , dan Kwangen. Masing-masing dari sarana tersebut memiliki fungsi dan makna yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
Dupa adalah simbol dari Agni (api). Dalam tradisi Weda, Agni adalah sarana paling utama dalam sebuah
persembahan. Keutaman Agni adalah wakil dari Dewa Surya sebagai Saksi Agung dalam upacara yang
dilaksanakan. Agni juga bermakna sebagai penuntun, yang menerangi jalan manusia dari tempat yang
gelap menuju tempat yang terang. Agni juga berfungsi mengantarkan doa-doa umat kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Tirtha adalah air yang telah disucikan ( tirtha ). Dalam Agama Hindu tirtha memiliki fungsi yang sangat
penting.
Pertama, Tirtha berfungsi untuk menyucikan diri umat, menyucikan semua sarana keagamaan dan
persembahan yang dihaturkan. Kedua,
Tirtha juga berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan semua jenis upacara. Ketiga, Tirtha berfungsi
sebagai perantara anugerah yang diberikan oleh Hyang Widhi atas Bhakti yang telah dilaksanakan.
Keempat, ada beberapa jenis Tirtha yang dibuat untuk tujuan khusus, misalnya Tirtha Pengentas, Tirtha
untuk pengobatan, dan sebagainya, berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan anugerah Tuhan
sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Bija, berasal dari beras yang direndam dalam air dan digunakan setelah pelaksanaan
upacara/persembahnyangan selesai. Sepatutnya beras yang akan digunakan sebagai Bija dipilih dari
beras-beras yang utuh dan bagus karena Bija adalah simbol dari Dewi Sri. Bija dapat dimaknai sebagai
anugerah berupa kemakmuran, kesejahteraan, dan kemuliaan. Di samping itu cara pemakaian Bija juga
bisa dimaknai sebagai sarana penyucian Tri Kaya (pikiran, perkataan, dan perbuatan).
Bunga adalah sarana untuk memuja kebesaran Hyang Widhi Wasa. Bunga menunjukkan ketulusan hati
dari seorang bhakta sehingga bunga yang dipilih untuk dipersembahkan dan persembahyangan adalah
bunga yang harum dan suci. Secara khusus ada aturan tentang jenis-jenis bunga yang dapat digunakan
sebagai sarana persembahyangan. Ini termuat dalam Agastya Parwa sebagai berikut.
“iking ngaran sekar tan wenang kapujakena ring Bhatara. Sekar rwa lawas mekar, kembang munggah
ring sema, kembang uleran, sekar tan arum gandania, sekar ruruh tan ingunduh........”
artinya :
“inilah beberapa jenis bunga yang tidak dapat engkau persembahkan kepada Tuhan. (yaitu) bunga yang
telah layu, bunga yang tumbuh di kuburan, bunga yang dimakan ulat, bunga yang tidak harum baunya,
dan bunga yang jatuh tanpa dipetik....”.
Oleh karena bunga adalah simbol ketulusan hati dari seorang bhakta maka aturan ini haruslah dipenuhi.
Persembahan kepada Tuhan haruslah yang terbaik. Bunga yang berbau harum seperti sandat, cempaka,
tunjung, adalah jenis bunga utama yang sebaiknya digunakan dalam persembahyangan.
Kwangen, dibuat dari daun pisang berbentuk segitiga ( kojong) dilengkapi dengan daun-daunan, hiasan
dari janur ( cili), bunga, uang kepeng, dan porosan silih asih. Kwangen adalah simbol Omkara, yaitu
kojong adalah simbol angka tiga, bagian atas yang lonjong merupakan simbol ardha-candra, pis bolong
sebagai simbol
windu, Cili dan bunga-bungaannya sebagai simbol nada. Dengan demikian kwangen adalah perwujudan
simbol dari Tuhan itu sendiri. Sementara itu, Kwangen yang digunakan dalam upacara mendem
pedaginganberfungsi sebagai pengurip-urip.(yan ba pesraman bungut gebuh ) *************
Tumpek berasal dari kata Tumampek= dekat ... yg jga diartikan Tampek =dekat
Jdi saat itulah kita mendekatkan diri dan Menajamkan Pikiran pd hari Saniscara Kliwon wuku Landep.
dimana umat Hindu bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberikan kecerdasan ,
pikiran tajam serta kemampuan yang tinggi kepada umat manusia yaitu
(Viveka dan Vinaya), sehingga mampu menciptakan berbagai benda yang dapat memudahkan hidup
termasuk teknologi.
Mesti disadari, dalam konteks itu umat bukanlah memuja benda-benda tersebut, tetapi memuja
kebesaran Tuhan.
Hal itu mengandung makna bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan mesti ‘ditajamkan’ ke arah
kemajuan — bermanfaat besar untuk kepentingan manusia.
======================
*Mantram pemangku nunas tirtha manakala tirtha geria tidak dapat diperoleh.
Om I Ba Sa Ta A
Om Ya Wa Si Ma Na,
Om Na Ma Si Wa Ya,
Om utpatti ka surasca,
uttpati ta wa gorasca,
Om bhur bhuwah swah swaha Mahagangga yai tirtha pawitrani ya namah swaha.
5. Mengisi toya anyar dengan bunga, gandaksata, bija serta asep dupa
*NGURIP TIRTHA* :
Masupati tirta
Om ya namah swaha
Om sanghyang surya chandra tumurun maring sanghyang aji saraswati tumurun maring sanghyang gana
angawe pasupati maha sakti , angawe pasupati maha sidhi , angawe pasupati maha suci .... angawe
pangurip maha sakti , angawe pangurip maha sidhi, angawe pangurip maha suci , angawe sahananing
raja karya , teka urip 3x ...
Om sanghyang akasa , pertiwi , angurip lan masupati ( yg mau diurip... Misal : tirta ri arepku )
ong sang bang tang ïng nang mang sing Wang yang ang ung mang ong ...
Om Brahma pasupati ,
Om wisnu pasupati ,
-----------------------------------------------
*Setelah selesai masupati tirta barulah kita mohon kehadiran/ ngadegang ida Sanghyang Pasupati* .
Pasupati Stawa
Om Om Pasu phat pasupati, bajra purwa desanta nia, aghni raksa Iswara dewatania, pasupati Ang Um
Phat.
Om Om Pasu phat pasupati, danda yuda daksina desantania, aghni raksa Brahma dewantania, pasupati
Ang Um Phat.
Om Om Pasu Phat pasupati, cakra senjatania, aghni raksa Hyang Wisnu dewatania, Pasupati Ang Um
Phat
Om Om Pasu Phat pasupati, jagat dadi taya pranawa, Parama stuti wiwi jengku sanggara, pasupati
parama sastra panca murthi.
Om anugrahakam aksa bya jneyah, ratna sambawa kirtitah, amitaba moga sidham, wairosana
nugrahakam.
Om Nama Dewa ya Siwa ya, Sangkara ya, Rudra ya, Isana Dipataye Sri Pasupati ya namah swaha.
Nastuti Sang tabeya Namasiwaya, pakulun paduka Bhatara Sanghyang Siwa Raditya, Sanghyang Ulan
Lintang Trenggana, meraga Sanghyang Triodasa saksi, Sanghyang Tri Murti, mekadi Sanghyang Pasupati,
saksinin pangubakti pinake hulun, angaturaken tadah saji pawitra, saprakaraning saji pasupati, asung
kertha wara nugraha ripinakengulun, kasidhian, kawisesan, kemandian, manut ring swadharmaningulun,
nanging akedik hulun angaturaken, agung pinakengulun amelaku, mangda tan keni kecampahan,
cakrabawa, tulah pamidi de paduka Bhatara kinabehan,
Om siddhirastu pujaningulun.
===$=$=================
*Om Sanghyang Brahma Raja ya namah swaha*... Permohonan saat ditujukan pda benda besi yg
memakai listrik ato api
Kesemua iitu dimohonkan penguripan ida sanghyang Guru dan pemasupatian pada Ida Sanghyang
Pasupati .
makna bunga dupa dan tirta dalam agama hindu, supaya sarana sarana ini tdk di anggap mengundang
aura negatih dan mengundang setan, mari kita simak pengertian di bawah ini, untuk menambah
wawasan kita.
Sarana atau perlengkapan sebelum melakukan persembahyangan antara lain: air ( Tirtha ), api (dupa),
bunga (sekar), kewangen, Kalpika (kartika) dan Bija (bhasma).
Bunga mempunyai dua fungsi penting dalam agama Hindu yaitu sebagai simbol Tuhan (Dewa Siwa) dan
sebagai sarana persembahyangan semata.
Sebagai simbol Tuhan, bunga diletakkan tersembul pada unjung kedua telapak tangan yang dicakupkan
pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah, bunga biasanya ditajukkan diatas kepala (rambut)
atau disumpangkan ditelinga.
Sebagai sarana persembahyangan bunga dipakai untuk mengisi upacara atau sesajen yang akan
dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Bagi umat Hindu, bunga dipakai untuk menunjukkan kesucian hati untuk memuja Sang Hyang Widhi
Wasa serta sinar suci-Nya,para leluhur dan para Rsi.
Bunga telah menjadi sarana penting dalam persembahyangan umat Hindu sejak lama. Bunga juga
memiliki arti penting bagi masyarakat Hindu sejak lampau. Banyak bukti-bukti lontar, kekawin ataupun
kitab yang menyebutkan arti penting dari bunga itu sendiri.Adapun bukti-bukti, tersebut antara lain:
Dalam Weda Pangasthana, Tuhan juga dilambangkan sebagai bunga. Adapun bunyi slokanya adalah
sebagi berikut:
Artinya:
Oh, Hyang Widhi yang berbadan bunga, sangat suci tiada ternoda, maha pelebur dari pada dosa-dosa,
Hyang Widhi berdiri di tempat soma dan di dahi para pendeta(brahmana).
Misalnya, dalam upacara kematian umat Hindu di Bali, dalam perjalan mngusung mayat ke kuburan
(setra), di taburkan “sekar ura” (campuran bunga uang kepeng dan beras berwarna kuning) sebagai
lambang ungkapan perasaan ketulusikhlasan hati untuk berpisah dan melepaskan orang yang telah
meninggal untuk kembali ke akhirat.
Begitu pula, ketika keluarga korban yang meninggal melakukan persembahyangan kepada korban
menggunakan bunga pada ujung kedua cakupan tangannya melambangkan ketulusikhlasan keluarga
untuk melepas kepergian korban dan mendoakan korban agar atma si korban dapat kembali pada
Tuhan.
Dalam kitab Jnana Sidhanta, disebutkan bunga mekar dan wangi itu sebagai lambang aksara suci.
Nkana ring antahhrdaya karonan bhatara siwa. Pujanta sira satata maka karana Sang Hyang Catur
Dasaksara.Catur Dasaksara ngaranyaSang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang YangAng Ung Mang
Om.
Sirata Sang Hyang Catur Dasaksara ngaranira Sira kaharan puspa, sumekar, sugandha mawangi
nirantara, ya ta pamujantara ring Bhatara Sada Kala.
Artinya:
Di sana di dalam inti hati beradanya Bhatara. Hendaknya Beliau, engkau puja selalu dengan sarana
empat belas aksara suci. Empat belas aksara suci namanya: sang bang tang ang ing nang mang sing wang
yang an gung mang om. Beliaulah Sang Hyang Catur Dasaksara namanya. Beliau disebut pula dengan
bunga mekar, berbau wangi tiada batas.
makna bunga dalam yadnya
• Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara, memiliki kekuatan seperti
badjra, memancarkan sinar berwarna putih (netral).
• Bunga berwarna merah, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Brahma, memiliki kekuatan
seperti gada memancarkan sinar berwarna merah.
• Bunga berwarna hitam, biasanya diganti dengan bunga berwarna biru, atau hijau. Dipakai untuk
memuja Hyang Widhi dengan sebutan Wisnu, memiliki senjata cakra dan memancarkan sinar berwarna
hitam.
• Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Mahadewa yang memiliki
kekuatan seperti nagapasa, memancarkan sinar berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga
berwarna kuning biasanya digabungkan dengan kewangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna
kuning.
pada atas Sampian Urasari atau Canang Sari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan
pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa
Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
• Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk
menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang
oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk
menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
• Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar
memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
• Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar
memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
• Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun
untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh
Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk
menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati.
Pada sebuah canang bunga akan ditaruh di atas sebuah sampian uras, sebagai lambang/nyasa di dalam
kita menjalani roda kehidupan ini hendaknya selalu dilandasi dengan ketulusan hati dan selalu dapat
mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang, kembang
rampai memiliki makna sebagai lambang/nyasa kebijaksanaan.
Dari kata kembang rampai memiliki dua arti, yaitu: kembang berarti bunga dan rampai berarti macam-
macam, sesuai dengan arah pengider-ideran kembang rampai di taruh di tengah sebagai simbol warna
brumbun, karena terdiri dari bermacam-macam bunga.
Dari sekian macam bunga, tidak semua memiliki bau yang harum, ada juga bunga yang tidak memiliki
bau, begitu juga dalam kita menjalani kehidupan ini, tidak selamanya kita akan dapat menikmati
kesenangan adakalanya juga kita akan tertimpa oleh kesusahan, kita tidak akan pernah dapat terhindar
dari dua dimensi kehidupan ini.
Untuk itulah dalam kita menata kehiupan ini hendaknya kita memiliki kebijaksanaan.
Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan
Tirtha Mahamertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri
Bhuwana = Bhur-Bwah-Swah).
OTONAN Sederhana
Pilihan
Dapetan saja n segehan
Ayaban tumpeng solas/11 untuk otonan pertama n caru brumbun pengresikan beakala lan prasita
Ayaban tumpeng 11 n 2 caru brumbun n caru selem pake guling pengresikan jangkep
Nist = inti
Satu wadah
1. Pengambean
2. Dapetan
3. Peras
4. Sesayut
Satu wadah pejati, pesucian n segehan
Sarana-sarana lain seperti, Bija (beras direndam air matang sebentar), Dupa, Toya Anyar (air mineral ato
air matang dikukup), Tirta Pelukatan, dan Tirta Hyang Guru. Letakkan diarep penganteb
• Tahapan-tahapan
Sebelum memulai, sang ibu wajib ngayab (menghaturkan) banten kehadapan Sang Hyang Atma. sebagai
pertanda bahwa inilah hari dimana beliau manumadi (menjelma).
Dilanjutkan menghaturkan Segehan ring sor ( bawah ) bale atau tempat anaknya me’oton’. Memohon
kepada Sang Hyang Butha Kala agar prosesi berjalan lancar, terbebas dari mara bahaya.
Selanjutnya ritual otonan dapat dimulai. Pertama adalah mesapuh-sapuh, yaitu mengusap telapak kanan
anak dengan Buu ato langsung bunga n air (toya anyar) dimulai dari tangan kanan kemudian tangan kiri,
diiringi dengan sesontengan ‘Ne cening, jani cening mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge,
apang kedas cening ngisiang urip’ dilanjutkan mengusap dengan toya anyar ..... wajik tangan wajik suku
trebusan bukit trebusan dana yeh tukad pekerisan mangda kedas gading tangan cokor jerone
Mesapuh-sapuh bertujuan untuk menghilangkan mala atau leteh pada badan kasar yang bersangkutan.
Dilanjutkan dengan masegau atau matepung tawar (encakan don kayu sakti, yaitu mengusap kedua
tangan yang bersangkutan dengan don dapdap. ‘Niki cening, jani cening masegau, suba leh liman
ceninge melah-melah ngembel rahayu’. Selanjutnya yang bersangkutan diberi tirta pelukatan.
Maknanya adalah, menyucikan, menetralisir kembali Sang Hyang Atma. Agar jiwa yang bersangkutan
senantiasa suci, melah (baik), ngembel (dalam genggaman) dan rahayu (keselamatan).
Dilanjutkan dengan Matetebus. Ambil dua helai benang, pertama diletakan di atas kepala .... tis embon
teduh dayuh mangda setata bagia tur rahayu ..... sisanya dililit dipergelangan tangan kanan yang
bersangkutan, diiringi sesontengan. ‘’Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung
besi. Setelah itu yang bersangkutan diberi tirta Hyang Guru. Ini memiliki makna agar yang bersangkutan
memperoleh kesehatan dan keselamatan lahir batin, selalu diberi perlindungan oleh sang pencipta.
Yang terakhir adalah Ngayab Sesayut diputar 3 kali searah jarum jam diiringi sesontengan ‘’Ne cening
ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang
perahu bencah” . Sebagai pengenteg bayu, bermakna untuk memohonkan agar yang bersangkutan tetap
pendirian serta berkepribadian stabil (tidak labil) didalam menjalani kehidupannya.
Berdasarkan tahapan itu, filosofi yang dapat diperoleh antara lain, diawali Masesapuh, yakni
pembersihan badan kasar dari segala leteh atau mala. Kemudian Matepung tawar/Masegau, sebagai
sarana untuk menyucikan kembali jiwa atau Sang Hyang Atma, lalu menghubungkan serta menguatkan
kembali badan kasar dengan Sang Hyang Atma melalui benang tebus, dan diakhiri dengan mestabilkan
pikiran (Ngayab sesayut pengenteg bayu).
Kramaning Sembah
Yang dimaksud dengan sembah ialah sikap menghormati yang disertai dengan rasa bakti dan
penyerahan diri secara ikhlas.
Landasan.
Menurut agama Hindu bahwa setiap kelahiran dan manusia itu sudah mempunyai hutang yang disebut
dengan Tri Rna.
Para Resi
Bhatara/ Leluhur.
Manusia.
Bhuta.
Sikap menyembah.
Adapun sikap menyembah dalam kramaning sembah yaitu sesuai dengan buku Tuntunan Muspa bagi
umat Hindu yang disusun oleh I Gusti Ketut Kaler yang diterbitkan oleh Jawatan Agama Hindu dan Budha
Prop. Bali tahun 1970/ 1971, dan buku Upadeça tahun 1981/ 1982.
Khusus sikap sembah kepada Resi/ Sulinggih dengan cara cakupan tangan atau mepes ada di antara ulu
hati dan dagu.
Sarana.
Api
Air
Mantram.
Sesuai dengan buku Tuntunan Muspa/ buku Upadeça yang disebutkan di atas.
Pelaksanaan Sembah dalam Panca Yadnya ialah disesuaikan kepada siapa sembah itu ditujukan.
Khusus pada waktu mengucapkan Mantram Tri Sandhya sikap tangan memusti di depan ulu hati.
Khusus untuk mendoakan/ ngastawayang bagi jenazah/ roh seseorang yang meninggal dengan berdiri
tegak/ pada asama dengan sikap tangan mamusti di pusar.
Kramaning Sembah
Sembahyang dilakukan umat untuk memuja Tuhan. Banyak macam sembahyang, ditinjau dari kapan
dilakukannya, dengan cara apa, dengan sarana apa dan di mana serta dengan siapa melakukannya.
Kemantapan hati dalam melakukan sembahyang, membantu komunikasi yang lancar dan pemuasan
rohani yang tiada terhingga. Kemantapan hati itu hanya dapat kita peroleh apabila kita yakin bahwa cara
sembahyang kita memang benar adanya, tahu makna yang terkandung dari setiap langkah dan cara.
Berikut ini adalah pedoman sembahyang yang telah ditetapkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma
ke VI.
Persiapan sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap
duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Termasuk dalam persiapan lahir pula ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan
dupa sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan
sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap
duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Demikian pula persiapan sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan dupa sedangkan
persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana
sembahyang adalah sebagai berikut:
1. Asuci laksana
Pertama-tama orang membersihkan badan dengan mandi. Kebersihan badan dan kesejukan lahir
mempengaruhi ketenangan hati
2. Pakaian
Pakaian waktu sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan
pikiran. Pakaian yang ketat atau longgar, warna yang menyolok hendaknya dihindari. Pakaian harus
disesuaikan dengan dresta setempat, supaya tidak menarik perhatian orang.
Bunga dan kawangen adalah lambang kesucian, supaya diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum.
Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen dapat diganti dengan bunga.
4. Dupa
Apinya dupa adalah simbul Sang Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sang Hyang
Widhi. Setiap yadnya dan pemujaan tidak luput dari penggunaan api. Hendaknya dupa ditaruh
sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan teman-teman kita di sekitar kita. Selesai
persembahyangan sebaiknya dupa dipadamkan dan dibuang.
5. Tempat Duduk
Tempat duduk hendaknya diusahakan tempat duduk yang tidak mengganggu ketenangan untuk
sembahyang. Arah duduk ialah menghadap pelinggih. Setelah persembahyangan selesai usahakan
berdiri dengan rapi dan sopan sehingga tidak mengganggu orang yang masih duduk sembahyang. Jika
mungkin agar mempergunakan alas duduk seperti tikar dan sebagainya
6. Sikap duduk
Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati.
Sikap duduk yang baik untuk pria ialah sikap padmasana yaitu sikap duduk bersila dan badan tegak lurus.
Sikap duduk bagi wanita ialah sikap bajrasana yaitu sikap duduk bersimpuh dengan dua tumit kaki
diduduki. Dengan sikap ini badan menjadi tegak lurus. Kedua sikap ini sangat baik untuk menenangkan
pikiran.
7. Sikap tangan
Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah cakup ing kara kalih yaitu kedua telapak tangan
dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.
Urutan-urutan sembah
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang
dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti berikut ini:
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang
dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti di bawah ini:
1. Sembah puyung (sembah dengan tangan kosong)
Mantram:
artinya:
Mantram:
Om Aditisyaparamjyoti,
bhaskaraya namo'stute
Artinya:
hormat padaMu,
Sarana bunga
3. Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan
Ista Dewata artinya Dewata yang diingini hadirnya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah
perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya seperti Brahma, Visnu, Isvara, Saraswati, Gana, dan
sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Dewata yang dipuja pada hari dan
tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja ialah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa.
Pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan stawa-stawa yang lain pula.
Pada persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang
dipuja adalah Sang Hyang Siwa yang berada dimana-mana. Stawanya sebagai berikut:
Mantra :
padmasana ekapratisthaya,
Artinya:
Om, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang inggi, kepada Siwa yang sesungguhnyalah
berada dimana-mana, kepada Dewa yang yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai
satu tempat, kepada Adhanaresvari, hamba menghormat
Sarana kawangen
Mantra :
Om anugraha manohara,
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.
yajnanga nirmalatmaka,
kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegem- biraan dan kemajuan
Sarana bunga
Mantram:
artinya:
Om, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi yang gaib
Pengertian:
Sudi artinya penyucian, Wadani artinya ucapan- ucapan/ pernyataan berupa kata- kata.
Jadi upacara Sudi Wadani adalah upacara pada waktu melakukan penyucian, menjadi Agama Hindu.
Tata cara Upacara Sudi Wadani.
Upacaranya:
Mempergunakan bebanten biyakala prayascita dan tataban sesuai dengan kemampuan (utama).
Mantram
Om. Sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya, Ang Ung Mang. Om.
1. DUPA
2. SEKAR/BUNGA
3. KWANGEN
4. TIRTA
5. BIJA
MAKNA MASING=MASING
1. DUPA sebagai upasaksi sbg dewa AGNI yg asapnya mengantarkan mantram puja puji kita kpd IDA
HYANG WIDHI WASA
2 BUNGA/SEKAR sebagai simbulis kesucian. Usahakan tuk memilih sekar JEPUN tuk sarana muspa karena
sekar jepun adalah sekar yg suci tnp putik sari jadi tdk dihisap oleh serangga
3. KWANGEN sebagai simbul penebosan dosa dan simbolis PENGANGGEN AKSARA SUCI ONGKARA BALI
Saat kita muspa pakai kuangen ujung lancip KOJONG KWANGEN posisi di atas siwadwara/ubun2 kita dan
arah BUNGAN KWANGEN mengarah ke muka kita sbg simbolis perantara masuknya anugreaha ida hyang
widhi wasa melalui siwadwara.
SATU HAL PENTING pis bolong JNG DIGANTI DNG UANG KERTAS karena makna ULU SARI akan hilang dan
simbul pis bolong/uang kepeng 2 bj sebagai simbul penebus dosa,
4. TIRTA sbg simbul wara nugraha ida hyang widhi dan pembersihan sehanan mala.
CARA METIRTA...kertisin ke atas tiga kali...,di atas kepala tiga kali..dibadan/dada tiga kali...,diminum tiga
kali....meraup tiga kali,..penguntat kertisin lagi di atas kepala tiga kali
5. BIJA/WIJA sebagai simbolis benih kehidupan/anugraha.
Cara pakai di tabur ke atas tiga kali...ditempel di lelata/tengah2 alis TIGA BIJI BERAS YG UTUH....DI
KERONGKONGAN LUAR tiga biji yg utuh....DITELAN TIGA BIJI YG URUH semua ada makna ...knp biji
beras dipilih yg utuh krn benih kehudupan akan tumbuh kembang dr biji2an yg utuh....
1 MUSPA PUYUNG
2. SEKAR
5. PUYUNG
PUPUT.
Kelahiran manusia dan eksistensinya di dunia ini merupakan anugerah dan karunia Hyang Widhi. Hal ini
menjadi dasar dari dharma sehingga memuja Hyang Widhi secara terus-menerus menjadi kewajiban
umat Hindu. Oleh karena itu, sembahyang memiliki arti dan makna yang sangat penting dalam
kehidupan umat Hindu sebagai bagian dari pelaksanaan dharma itu sendiri. Sembahyang berasal dari
dua kata, yaitu “sembah” dan “hyang”. “Sembah” adalah sikap menghormati yang didasari oleh rasa
bhakti dan penyerahan diri secara tulus ikhlas. Sementara itu kata “Hyang” berarti yang Beliau yang
paling dihormati atau yang paling disucikan.
- Kata “Hyang” digunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan, seperti Sang Hyang
Widhi Wasa, Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Parama Kawi dan sebagainya.
- Kata “Hyang” juga digunakan untuk menyebut orang suci (para Rsi), seperti Dang Hyang Nirartha,
Dang Hyang Siddhimantra, Dang Hyang Astapaka, dan sebagainya.
- Para leluhur yang disthanakan pada Rong Telu juga sering disebut Hyang, misalnya dalam kata “Sang
Hyang Pitara” atau “Sang Hyang Dewa Pitara” atau “Bhatara Hyang Guru”.
- Para Rsi dan para leluhur sangat disucikan dalam Agama Hindu karena mereka diyakini telah
menyatu dengan Tuhan (amoring acintya).
- Dengan demikian “sembahyang” berarti perwujudan rasa bhakti yang tulus ikhlas kepada yang
Hyang Widhi dan segala manifestasiNya.
Sembahyang didasari oleh keyakinan bahwa setiap manusia sejak kelahirannya telah memiliki tiga
hutang yang harus dibayar, disebut Tri Rnam. Ketiga hutang itu adalah hutang kepada Tuhan (Dewa
Rnam), hutang kepada para Rsi (Rsi Rnam), dan hutang kepada leluhur (Pitra Rnam). Manusia berhutang
kepada Tuhan karena semua yang ada ini lahir dari Tuhan. Manusia berhutang kepada Para Rsi karena
Beliaulah yang menerima wahyu suci dari Tuhan dan mengajarkannya kepada umat manusia. Manusia
berhutang kepada leluhur karena dari melalui para leluhur manusia dilahirkan, tumbuh, dan
berkembang dalam kemanusiaannya.
Dalam pelaksanaan sembahyang yang diutamakan adalah kesucian dan ketulusan hati. Kesucian diri
harus dijaga dalam melaksanakan persembahyangan agar bhakti yang dihaturkan benar-benar dapat
diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sementara itu, ketulusan hati berarti bahwa sembahyang
harus dilaksanakan tanpa pamrih apapun (lascarya), kecuali hanya untuk memuja Beliau. Kesucian dan
ketulusan hati adalah bagian dari Atmanastuti, yaitu keyakinan dan rasa agama yang menuntun umat
Hindu untuk melaksanakan bhakti yang benar-benar tulus dari hati yang suci.
Untuk menjaga kesucian itu, maka dalam persembahyangan terdapat hal-hal penting yang perlu
diperhatikan sebagai berikut.
(1) Asuci Laksana, yaitu membersihkan diri sebelum menuju tempat sembahyang misalnya, dengan
mandi dan mencuci rambut atau keramas.
(2) Wesa atau pakaian yang dipakai dalam bersembahyang sepatutnya pakaian yang bersih, sopan, dan
tidak dikotori oleh hal-hal yang sifatnya leteh.
(3) Mempersiapkan sarana persembahyangan, seperti bunga dan dupa. Bunga yang akan digunakan
sebagai sarana sembahyang hendaknya dipilih dari bunga yang benar-benar harum dan dibenarkan
menurut sastra agama.
(4) Menjaga prilaku di tempat sembahyang, baik pikiran, perkataan, maupun perbuatan yang
seluruhnya ditujukan untuk menjaga kesucian.
(5) Melakukan Asana dengan baik, yaitu bersimpuh (Bajrasana) bagi perempuan, dan duduk bersila
(Silasana atau Padmasana) bagi laki-laki dengan sikap badan adalah tegak.
Dengan menjaga aturan-aturan kesucian ini maka manfaat dan tujuan dari persembahyangan tersebut
akan dapat dicapai dengan baik. Semoga uraian singkat ini dapat memberikan sepercik pengetahuan
kepada umat Hindu dalam rangka meningkatkan kualitas sradha dan bhakti.
Dalam persembahyangan terdapat beberapa sarana yang perlu disediakan, terutama Dupa, Tirtha, Bija,
Bunga, dan Kwangen. Masing-masing dari sarana tersebut memiliki fungsi dan makna yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
Dupa adalah simbol dari Agni (api). Dalam tradisi Weda, Agni adalah sarana paling utama dalam sebuah
persembahan. Keutaman Agni adalah wakil dari Dewa Surya sebagai Saksi Agung dalam upacara yang
dilaksanakan. Agni juga bermakna sebagai penuntun, yang menerangi jalan manusia dari tempat yang
gelap menuju tempat yang terang. Agni juga berfungsi mengantarkan doa-doa umat kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
Tirtha adalah air yang telah disucikan (tirtha). Dalam Agama Hindu tirtha memiliki fungsi yang sangat
penting. Pertama, Tirtha berfungsi untuk menyucikan diri umat, menyucikan semua sarana keagamaan
dan persembahan yang dihaturkan. Kedua, Tirtha juga berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan
semua jenis upacara. Ketiga, Tirtha berfungsi sebagai perantara anugerah yang diberikan oleh Hyang
Widhi atas Bhakti yang telah dilaksanakan. Keempat, ada beberapa jenis Tirtha yang dibuat untuk tujuan
khusus, misalnya Tirtha Pengentas, Tirtha untuk pengobatan, dan sebagainya, berfungsi sebagai sarana
untuk mendapatkan anugerah Tuhan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Bija, berasal dari beras yang direndam dalam air dan digunakan setelah pelaksanaan
upacara/persembahnyangan selesai. Sepatutnya beras yang akan digunakan sebagai Bija dipilih dari
beras-beras yang utuh dan bagus karena Bija adalah simbol dari Dewi Sri. Bija dapat dimaknai sebagai
anugerah berupa kemakmuran, kesejahteraan, dan kemuliaan. Di samping itu cara pemakaian Bija juga
bisa dimaknai sebagai sarana penyucian Tri Kaya (pikiran, perkataan, dan perbuatan).
Bunga adalah sarana untuk memuja kebesaran Hyang Widhi Wasa. Bunga menunjukkan ketulusan hati
dari seorang bhakta sehingga bunga yang dipilih untuk dipersembahkan dan persembahyangan adalah
bunga yang harum dan suci. Secara khusus ada aturan tentang jenis-jenis bunga yang dapat digunakan
sebagai sarana persembahyangan. Ini termuat dalam Agastya Parwa sebagai berikut.
“iking ngaran sekar tan wenang kapujakena ring Bhatara. Sekar rwa lawas mekar, kembang munggah
ring sema, kembang uleran, sekar tan arum gandania, sekar ruruh tan ingunduh........”
artinya :
“inilah beberapa jenis bunga yang tidak dapat engkau persembahkan kepada Tuhan. (yaitu) bunga yang
telah layu, bunga yang tumbuh di kuburan, bunga yang dimakan ulat, bunga yang tidak harum baunya,
dan bunga yang jatuh tanpa dipetik....”.
Oleh karena bunga adalah simbol ketulusan hati dari seorang bhakta maka aturan ini haruslah dipenuhi.
Persembahan kepada Tuhan haruslah yang terbaik. Bunga yang berbau harum seperti sandat, cempaka,
tunjung, adalah jenis bunga utama yang sebaiknya digunakan dalam persembahyangan.
Kwangen, dibuat dari daun pisang berbentuk segitiga (kojong) dilengkapi dengan daun-daunan, hiasan
dari janur (cili), bunga, uang kepeng, dan porosan silih asih. Kwangen adalah simbol Omkara, yaitu
kojong adalah simbol angka tiga, bagian atas yang lonjong merupakan simbol ardha-candra, pis bolong
sebagai simbol windu, Cili dan bunga-bungaannya sebagai simbol nada. Dengan demikian kwangen
adalah perwujudan simbol dari Tuhan itu sendiri. Sementara itu, Kwangen yang digunakan dalam
upacara mendem pedagingan berfungsi sebagai pengurip-urip.
Sembahyang merupakan bagian terpenting dari yadnya atau upacara (ritual). Upacara dari tinjauan
filsafat menurut Panitya Tujuh Belas (1986:159) berarti cara-cara melakukan hubungan antara Atman
dengan Parama Atman (Brahman) antara manusia dengan Sang Hyang Widhi serta semua
manifestasinya dengan jalan Yajna untuk mendapatkan kesucian jiwa. Yajna menurut Sudharta dan Oka
Punia Atmaja (2001:59) adalah kurban suci atau persembahan suci berdasarkan cinta kasih. Panitya
Tujuh Belas (1986:169) mengatakan ada dua jenis yajna, yaitu sekala dan niskala. Yajna sekala yaitu yang
bersifat nyata, berbentuk, dan berwujud seperti berupa barang-barang (benda-benda). Sedangkan yajna
niskala bersifat tidak nyata, seperti ilmu pengetahuan, dharma, nasehat, pikiran, dan lain-lain. Kedua-
duanya disebut yajna wahya adhyatmika, yaitu lahir batin. Sudharta dan Oka Puniatmaja (2001:59)
mengatakan dalam agama Hindu ada lima upacara keagamaan yang terbesar disebut Panca Yajna, yaitu
Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Bhuta Yajna, dan Manusa Yajna.
Kepercayaan terhadap Hyang Widhi melahirkan upacara Dewa Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai
Sathya, yaitu kebenaran. Keyakinan terhadap Atma melahirkan upacara Pitra Yajna, dan di dalamnya
terkandung nilai Dharma, yaitu kebajikan. Keyakinan terhadap Karma Phala melahirkan upacara Rsi
Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Prema, yaitu kasih sayang. Keyakinan terhadap Punarbhawa
melahirkan upacara Bhuta Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Ahimsa, yaitu tanpa kekerasan.
Keyakinan terhadap Moksa melahirkan upacara Manusa Yajna, dan di dalamnya terkandung nilai Santih,
yaitu kedamaian. Kelima nilai tersebut, menurut Bhagawan Sri Sathya Narayana (Kasturi, 1981) menjadi
lima pilar nilai-nilai kemanusiaan Hindu. Di jelaskan pula bahwa kelima dasar nilai-nilai kemanusiaan ini
bersumber dari rasa kasih sayang (prema). Karena itu, beliau berkata sebagai berikut :
· “Love as thought is truth” (‘kasih sayang dalam bentuk pikiran adalah kebenaran, sathya’).
· “Love as action is right conduct” (‘kasih sayang dalam wujud perbuatan adalah kebajikan, dharma’).
· “Love as feeling is peace” (‘kasih sayang dalam wujud rasa adalah kedamaian, shanti’).
· “Love as understanding is nonviolence” (kasih sayang dalam wujud pengertian adalah tidak
melakukan kekerasan, ahimsa’).
Dalam Agastya Parwa (2002:34) disebutkan bahwa orang yang sudah menguasai dengan sempurna
yajna itu dan yang mengetahui hakikat segala yang ada akan membawa kebahagiaan padanya. Demikian
halnya dalam kitab Atharwa Weda, XII.1.1 dijelaskan “ Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo brahma
yajna prthiwim dharayanti ”. (Sesungguhnya Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma dan Yajna yang menyangga
dunia). Sloka ini menjelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya, yaitu kebenaran (sifat, kejujuran dan
setia; Rta, yaitu bentuk hukum Tuhan yang murni dan absolut transendental (dijabarkan kedalam alam
manusia sebagai dharma); Diksa, berarti penyucian, penasbihan, inisiasi, dan abhiseka; Tapa, berarti
pengendalian indrya; Brahma berarti pujian yaitu doa sehari-hari yang disebut mantra atau stuti; dan
Yajna, artinya memuja atau memberi pengorbanan atau menjadikan suci. Inilah yang harus dilakukan
umat Hindu dalam kehidupannya.
Daftar Pustaka.
Suamba, I.B (ed.). 1996. Yajna Basis Kehidupan. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Nala, Ngurah dan Adia Wiratmadja. 1993. Murdha Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.
Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan. Jakarta:
Yayasan Merta Sari.
Punyatmadja, Ida Bagus Oka. 1987. Pancha Cradha. Jakarta: Yayasan Wisma Karma.
Sudharta, Tjok Rai dan Ida Bagus Oka Punyatmaja. 2001. Upadesa Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Sura, I Gde. dkk. 2002. Agastya Parwa teks dan terjemahan. Denpasar: Widya Dharma.
Oleh
Menurut kitab Atharwa Weda XI.1.1 , unsur iman atau sradha dalam agama hindu meliputi : Satya, Rta,
Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya.
dari keenam unsur srada tersebut, dua ajaran trakhir termasuk ajaran sembahyang.
Sembah yang artinya "sujud atau sungkem" yang dilakukan dengan cara - cara tertentu dengan tujuan
untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran, baik dengan ucapan kata - kata
maupun tanpa ucapan (pikiran atau perbuatan).
Hyang artinya "yang dihormati atau dimuliakan" sebagai obyek pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa,
yang berhak menerima penghormatan menurut kepercayaan itu.
dalam kehidupan sehari - hari, sembahyang kadang sering disebut "muspa, mebakti atau
maturan ".
Muspa , karena dalam persembahyangan itu lazim dilakukan dengan jalan persembahan kembang,
bunga (puspa).
Mebakti, yang berasal dari kata bakti. dikatakan demikian karena inti sembahyang itu adalah untuk
memperlihatkan rasa bakti atau hormat yang setulus - tulusnya, sebagai penyerahan diri kepada yang
dihormati atau Tuhan YME.
didalam Reg Weda IX. 113-4 menjelaskan bahwa hidup yang benar merupakan persiapan untuk
melakukan persembahyangan. yang diartikan hidup yang benar adalah:
Suci Lahiriah,
di dalam Yayur Weda 19.30 terdapat juga uraian yang menjelaskan tahap - tahap tingkatan pencapaian
realisasi dalam bakti. adapun tahapan itu diantaranya:
Wrata (brata),
Diksa,
Daksina,
Sraddha, dan
Satya
DIKSA (orang suci). bila orang hidup dalam kesucian (diksa) maka ia akan memperoleh
DAKSINA (rahmat) atau pahala. dengan pahala yang diperoleh ia akan mencapai SRADDHA (peningkatan
iman) atau yakin, dan atas dasar keyakinan itulah ia dapat mencapai
Ketika bersembahyang tidak meminta sesuatu kepada-Nya, selain mengucapkan doa-doa seperti
tersebut di atas. Perhatikanlah makna Kekawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut:
"Hana Mara Janma Tan Papihutang Brata Yoga Tapa Samadi Angetekul Aminta Wirya Suka Ning Widhi
Sahasaika, Binalikaken Purih Nika Lewih Tinemuniya Lara, Sinakitaning Rajah Tamah Inandehaning
Prihati".
Artinya:
Adalah orang yang tidak pernah melaksanakan brata tapa yoga samadi, dengan lancang ia memohon
kesenangan kepada Widhi (dengan memaksa) maka ditolaklah harapannya itu sehingga akhirnya ia
menemui penderitaan dan kesedihan, disakiti oleh sifat-sifat rajah (angkara murka/ ambisius) dan tamah
(malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati.
Itu berarti pula bahwa Hyang Widhi mengasihi dan memberkati hamba-Nya yang melaksanakan brata
tapa yogi samadi terus menerus tanpa mengharap pahala.
Banyak macam sembahyang, ditinjau dari kapan dilakukannya, dengan cara apa, dengan sarana apa dan
di mana serta dengan siapa melakukannya. Kemantapan hati dalam melakukan sembahyang, membantu
komunikasi yang lancar dan pemuasan rohani yang tiada terhingga. Kemantapan hati itu hanya dapat
kita peroleh apabila kita yakin bahwa cara sembahyang kita memang benar adanya, tahu makna yang
terkandung dari setiap langkah dan cara.
Berikut ini adalah pedoman sembahyang yang telah ditetapkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma
ke VI.
Persiapan sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap
duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Termasuk dalam persiapan lahir pula ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan
dupa sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan
sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
Sarana Persembahyangan
adalah lambang kesucian, karena itu perlu diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika pada
saat sembahyang tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga (kemabang). Bunga yang tidak
baik dipersembahkan menurut
"Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Hyang Widhi, yaitu bunga yang berulat, bunga
yang gugur tanpa diguncanng, bunga yang berisi semut bunga yang layau atau yang lewat masa
mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan. Itulah bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang-
orang baik"
Dupa
Apinya dupa adalah simbol Sang hyang Agni, yaitu saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang
Widhi, sehingga disamping sarana-sarana lain dupa ini juga perlu di dalam sembahyang.
Tirtha
adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu dan disebut dengan Tirtha
Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara). Tirtha dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci
muka. Hal ini dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala
kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya.
Adalah Lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. Kumara ini adalah benih ke-Siwaan yang
bersemayam di dalam diri setiap orang. Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian
menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita. Benih itu akan bisa
tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang bersih dan suci, maka itu pemasangan
Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha.
Urutan-urutan sembah
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang
dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti berikut ini:
Setelah selesai memuja Trisandya dilanjutkan Panca Sembah. Kalau tidak melakukan persembahyangan
Trisandya (mungkin tadi sudah di rumah) dan langsung memuja dengan Panca Sembah, maka setelah
membaca mantram untuk dupa langsung saja menyucikan bunga atau kawangen yang akan dipakai
muspa.
Ambil bunga atau kawangen itu diangkat di hadapan dada dan ucapkan mantram ini:
Artinya:
Urutan sembahyang ini sama saja, baik dipimpin oleh pandita atau pemangku, maupun bersembahyang
sendirian. Cuma, jika dipimpin pandita yang sudah melakukan dwijati, ada kemungkinan mantramnya
lebih panjang. Kalau hafal bisa diikuti, tetapi kalau tidak hafal sebaiknya lakukan mantram-mantram
pendek sebagai berikut:
artinya:
Sarana bunga
Mantram:
Om Aditisyaparamjyoti,
bhaskaraya namo'stute
Artinya:
hormat padaMu,
Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan
Sarana kawangen Ista Dewata artinya Dewata yang diingini hadirnya pada waktu pemuja memuja-Nya.
Ista Dewata adalah perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya seperti Brahma, Visnu, Isvara,
Saraswati, Gana, dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Dewata
yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja ialah Dewi Saraswati
dengan Saraswati Stawa. Pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan stawa-stawa yang lain pula.
Pada persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang
dipuja adalah Sang Hyang Siwa yang berada dimana-mana. Stawanya sebagai berikut:
Mantra
Om nama deva adhisthannaya,
padmasana ekapratisthaya,
Artinya:
kepada Dewa yang yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
Sarana bunga
Mantra
Om anugraha manohara,
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.
yajnanga nirmalatmaka,
Artinya:
Mantram:
Om sukham bawantu,
Om sriam bawantu,
Om purnam bawantu,
artinya:
Om, Semoga Hyang Widhi melimpahkan kebaikan, umur panjang, kepandaian, kesenangan,
kebahagiaan, jalan menuju dharma dan perolehan keturunan, semuanya adalah tujuh pertambahan.
hormat pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi yang gaib.
Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon tirtaAmrta (ambrosia) dan bija.
pelaksanaan pemberian tirtha amrta inipun memenuhi acara tersendiri, demikian menurut manusmrti
dinyatakan:
Mantram:
Om Buddha Mahapawitra ya namah
Mantram:
Om Brahma Pawaka
Om Wisnu Amrta
Om Iswara Jnana
Mantram:
semua acara dapat dan umumnya disempurnakan dengan basma dan menerima wija (bija). yang
dilaksanakan dengan mantra:
Untuk memuja di Pura atau tempat suci tertentu, kita bisa menggunakan mantram lain yang disesuaikan
dengan tempat dan dalam keadaan bagaimana kita bersembahyang. Yang diganti adalah mantram
sembahyang urutan ketiga dari Panca Sembah, yakni yang ditujukan kepada Istadewata. Berikut ini
contohnya:
Untuk memuja di Padmasana, Sanggar Tawang, dapat digunakan salah satu contoh dari dua mantram di
bawah ini:
YaTuhan, penguasa angkasa raya yang suci dan hening. Guru rohani yang suci berstana di angkasa raya.
Siwa yang agung penguasa nirwana sebagai Omkara yang senantiasa jaya, hamba memujaMu.
Padmasana Ekapratisthaya
Ardhanareswaryai Namo’namah
Artinya:
Ya Tuhan, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi, kepada Siwa yang sesungguhnyalah
berada di mana-mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu
tempat, kepada Ardhanaresvarì, hamba memujaMu.
Untuk di pura Kahyangan Tiga, ketika memuja di Pura Desa, digunakan mantram sebagai berikut:
Artinya:
Ya Tuhan, Hyang Tunggal Yang Maha Sadar, selaku Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk hidup.
Brahma Maha Tinggi, selaku Siwa dan Sadasiwa.
Untuk di pura Kahyangan Tiga, ketika memuja di Pura Puseh, mantramnya begini:
Sarwadewa Pranamyanam
Artinya:
Ya Tuhan, selaku Girimurti Yang Maha Agung, dengan lingga yang jadi stana Mahadewa, semua dewa-
dewa tunduk padaMu.
Untuk memuja di Pura Dalem, masih dalam Kahyangan Tiga:
Artinya:
Ya Tuhan, saktiMu berwujud Catur Dewi, yang dipuja oleh catur asrama, sakti dari Ciwa, Raja Semesta
Alam, dalam wujud Dewi Durga. Ya, Catur Dewi, hamba menyembah ke bawah kakiMu, bebaskan
hamba dari segala bencana.
Artinya:
Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma Prajapati, pencipta semua makhluk, maha mulia, yang
menjadikan diriNya sendiri, pemberi anugerah mahaguru, lahir dari bunga teratai, memiliki empat wajah
dalam satu badan, maha sempurna, penuh rahasia, Hyang Brahma Maha Agung.
Untuk di Pura Pemerajan/Kamimitan (rong tiga), paibon, dadia atau padharman, mantramnya:
Tripurusa Suddhatmakam
Artinya: Ya Tuhan, dalam wujudMu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa MahaSuci, Tridewa
adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.
Artinya:
Ya Tuhan, wujudMu menakutkan sebagai raja para naga, raja gagah yang bermoncong ikan, Engkau
adalah Dewa Baruna yang maha suci, meresapi dunia dengan kesucian jiwa, hamba memujaMu.
Artinya:
Ya Tuhan, Engkau hamba puja sebagai Dewi Sri yang maha cantik, dewi dari kekayaan yang memiliki
segala keindahan. la adalah benih yang maha mengetahui. Ya Tuhan Maha Agung Dewi Sri, hamba
memujaMu.
Untuk bersembahyang pada hari Saraswati, atau tatkala memuja Hyang Saraswati. Mantramnya:
Siddharambham Karisyami
Artinya:
Ya Tuhan dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, pemberi berkah, terwujud dalam bentuk yang
sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu sukses atas waranugraha-
Mu.
Untuk bersembahyang di pemujaan para Rsi Agung seperti Danghyang Dwijendra, Danghyang Astapaka,
Mpu Agnijaya, Mpu Semeru, Mpu Kuturan dan lainnya, gunakan mantram ini:
Brahmanam Purwatisthanam
Sarwa Dewa Ma Sariram
Artinya:
Ya, Tuhan dalam wujudMu sebagai Siwa, raja dari sekalian pandita, la adalah Brahma, berdiri tegak
paling depan, la yang menyatu dalam semua dewata. la yang meliputi dan memenuhi matahari dan
bulan, kami memuja Siwa para pandita agung.
Demikianlah beberapa mantram yang dipakai untuk bersembahyang pada tempat-tempat tertentu.
Sekali lagi, mantram ini menggantikan “mantram umum” pada saat menyembah kepada Istadewata,
yakni sembahyang urutan ketiga pada Panca Sembah.
Terakhir, ini sembahyang ke hadapan Hyang Ganapati (Ganesha), namun dalam kaitan upacara mecaru
(rsigana), atau memuja di Sanggah Natah atau Tunggun Karang, tak ada kaitannya dengan Panca
Sembah:
Seseorang yang ingin me-Diksa tentunya sudah memenuhi syarat-syarat formal, kemudian sebagai
langkah kedua menemukan Nabe (guru) yang bersedia mengangkatnya menjadi Sisia (murid).
Syarat-syarat Nabe seperti yang telah diputuskan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa adalah:
Seorang yang selalu dalam keadaan bersih dan sehat baik lahir maupun bathin.
“aguron-guron” (belajar teori dan praktik) menjadi Sulinggih sambil mempersiapkan mental dan perilaku
suci agar memenuhi persyaratan spiritual. Lamanya masa aguron-guron ini tergantung pada penilaian
Nabe. Apabila dinilai sudah cukup matang, maka calon Diksa mempersiapkan kelengkapan administrasi
seperti:
Keterangan: berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan, persetujuan istri,
dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik kepada calon Diksa maupun
kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa Pariksa (ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus
dan memenuhi syarat maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI.
Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga” yaitu “penyekeban” sekitar 12-24 jam
untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa. Setelah seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga
“lahirlah seorang Dwijati” yang sudah berubah dibanding ketika masih “walaka” yaitu:
Diksa dvijati tidak hanya sebagai inisiasi formal, melainkan menunjukan adanya jalinan hubungan yang
bersifat pribadi dan mendalam antara Guru Nabe (Acarya ) dengan murid (sisya).
Atharvaveda XI. 5. 3. menguraikan bahwa saat pelaksanaan diksa dvijati seorang Guru Nabe atau Acarya
seakan-akan menempatkan murid (sisya) dalam badannya sendiri seperti seorang ibu mengandung
bayinya, kemudian setelah melalui vrata murid dilahirkan sebagai orang yang sangat mulia (dvijati).
Dengan demikian pelaksanaan diksa dvijati merupakan transisisi dari gelap menuju terang, dan avidya
menuju vidya.
UPACARA AWAL
Upacara Mejauman ; Sang Calon Diksita (suami istri) berkunjung ke rumah Calon Nabe dengan
membawa upakara semestinya.
Sembah pamitan pada keluarga ; Sang Calon Diksita wajib menyembah orang tua yang masih hidup
atau yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah didiksa. Calon
Diksita juga minta ijin kepada sanak saudaranya yang berumur lebih muda. Sembah pamitan kepada
orang tua merupakan sembah terakhir karena di kemudian hari seorang sulinggih tidak boleh
menyembah si apapun yang masih walaka.
Upakara mapinton; Pertama : ke Segara Gunung untuk membersihkan diri asucilaksana. Dalam hal ini
sekurang- kurangnya ke Kahyangan Tiga. Kedua : upacara mapinton ke pemerajan calon nabe yang
langsung dipuput oleh calon nabe sendiri.
Di samping untuk memohon restu, ke tiga upacara di atas juga mengandung makna sebagai perkenalan
dan pernyataan ikatan secara resmi antara Calon Diksa dengan Guru Nabe. Upacara ini dilaksanakan
menurut dresta.
UPACARA PUNCAK
Upacara Andi
Upacara ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 05.00 WITA dilakukan oleh Guru Saksi, calon diksita
pria dimandikan oleh guru saksi pria, sedangkan calon diksita perempuan oleh guru saksi perempuan.
Dibantu oleh sanak keluarga calon diksita sendiri. Selesai mandi calon diksita berpakaian serba putih
(sarwa petak), diantar menuju ke merajan tempat calon diksita melakukan diksa.
Upacara pokok.
Calon diksita ada di hadapan sanggar untuk melakukan upacara mabeakaon, kemudian dilanjutkan
dengan muspa dituntun oleh nabe, langsung luhur amari sudana (ganti nama).
Calon diksita menghadap kepada sang guru nabe matepung tawar (atepung tawar) segawu.
Calon diksita membersihkan kaki kanan (wasa ijeng ring tengen) nabe, digosok dengan kayu putih,
diasapi tiga kali, digosok dengan minyak, (dilisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruh di atas ubun-
ubun.
Guru nabe memberikan kekuatan gaib kepada sisya antara lain dengan anilat empuning pada tengen.
Di atas ubun- ubun diberi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
Sambutang kusa pengaras yaitu diambilkan daun alang- alang diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali
(inderakna ring sariranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali,
pada tulang punggung tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang- alang ditaruh.
Pungu – punguning ring wuwunan ping tiga : yaitu suatu upacara untuk ubun – ubun.
Diambilkan pancakorsika (alang – alang) cincin kalpika dan gunting diperciki tirta.
Mengunting : rambut calon diksita digunting 5 kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring
arep), rambut bagian kanan (ring tengah) rambut bagian belakang (ring kuri), rambut samping kiri (ring
kiwa) dan rambut bagian tengah (ring pusehan).
Guru nabe karasadhananing, yaitu mengadakan pemujaan setelah itu sisya kakaduti sekar (disuntingkan
bunga di dada).
Di dadanya mohana cecatu : wawisik dan guru nabe, dautang, prastawa” : cincin sisya diambil nabe.
tutulakna dienjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga tunjung.
Pangpadhayadi : guru nabe memberikan bhasma, sirawista, diperciki air suci siwamba, anecepi.
meraup tiga kali.
Nuhun Sekah : Sisya menunjang sekah dewa – dewi disertai peras dan sesarik.
Guru nabe nyiratang tirta pada bebanten – sesayut, dana pemulih, pengambyan setanan. Sorohan,
panyeneng, jerimpen, bebangkit
Majaya – jaya : sang sisya- majaya – jaya oleh guru nabe dengan prana bayu murti Bhuwana.
Amet tetebus : diberikan tetebus sang sisya. dicium 3 kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring radaya).
Wahi wija : sisya diberi bija dimakan (anguntal) Ini berarti pawisik sasipanan.
Menyembah : terakhir sisya menyembah mepamit pada kaki guru nabe (raris tamuita anikel ri pada nira
dang guru panembahan), lanjut menerima biseka dari nabe.
Demikianlah urutan upacara diksa telah berakhir.
Dalam setiap melakukan kegiatan upacara atau persembahyangan umat Hindu selalu mempergunakan
sarana seperti ; bunga, buah, daun, api dan juga bija. Karena adanya suatu unsur seni, estetika dan
kreatifitas dari umat maka itu semua diwujudkan dalam bentuk sesajen atau banten.
Persembahan berupa air dihaturkan dalam bentuk tirta, sedangkan api dihaturkan wujud bentuk dupa,
diva dsb.
#Apabila seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah dan air dengan cinta Bhakti maka Tuhan
akan menerimanya. #
Dengan demikian maka umat Hindu dalam setiap upacara dan persembahyangan selalu
mempergunakan sarana persembahan seperti ; bunga, kewangen, api, air dan bija.
#Bunga berfungsi sebagai simbul Tuhan (Siva) oleh karena itu bunga diletakan pada ujung cakupan
tangan.
Bunga juga sebagai lambang keharuman, rasa ketulus ikhlasan dan pikiran yang
Bunga yang boleh dipergunakan untuk sarana dalam upacara atau persembahyangan yaitu
Setelah selesai sembahyang bunga diletakan diatas daun telinga kiri dan kanan, tujuanya agar orang
yang sudah selesai sembahyang hanya mendengar hal - hal yang bersifat baik saja.
#Kewangen berasal dari kata wangi atau harum yang artinya sarana bunga yang berbau harum.
Kewangen dianggap sarana yang paling sempurna untuk mengharumkan, memuja, memuji, kekuasaan
dan kebesaran dari
nama Tuhan.
Kewangen terdiri dari tiga unsur yaitu sampiyan atau cili kembang payas berupa reringgitan dari janur
yang melambangkan bintang, uang kepeng merupakan lambang matahari dan kojongnya biasanya
terbuat dari daun pisang melambangkan kehidupan. Kewangen juga merupakan lambang dari Tuhan
serta merupakan lambang dari hurup ongkara. Jika tidak ada kewangen bisa juga mempergunakan
bunga yang beraneka macam
#Api yang diwujudkan dalam bentuk dupa atau diva berfungsi sebagai pemimpin dalam setiap upacara.
dengan Tuhan, berfungsi sebagai pelebur atau pembersihan itu sebabnya sebelum sembahyang kita
mengasapi banten, tangan, bunga dengan dupa dan api juga berfungsi sebagai saksi dalam setiap
upacara dan persembahyangan.
Api (Dupa ) juga berfungsi sebagai penerangan, pemberi tuntunan dan penyuluhan, memberi rasa
tenang, hening dan juga suci.
#Air yang melambangkan wujud penyucian diri dan amerta, air berfungsi sebagai pembersihan mulut,
tangan sebelum melakukan upacara persembahyangan dan air juga melambangkan simbul amerta atau
air kehidupan yang disebut dengan tirta.
Tata cara penggunaan tirta yaitu dengan cara dipercikan diatas kepala, diminum, diraupkan diwajah
masing - masing sebanyak tiga kali.
Dengan tujuan agar kita dibimbing untuk berpikir, berkata dan berbuat yang
Bija atau wija itu hendaknya dibuat dari beras yang masih utuh (tidak patah) lalu direndam dengan
berbau harum.
Bija diberikan setelah selesai sembahyang dan diletakan diatas antara kedua alis atau dahi, di telan dan
diletakan dipangkal tenggorokan masing - masing
Mewinten
Mewinten artinya bersinar-sinar bagaikan permata. berasal dari Bahasa Kawi (Jawa Kuno) yaitu urat kata
mawa artinya bersinar-sinar dan inten artinya permata. Dalam tradisi beragama Hindu di Bali yang
bertujuan mohon "waranugraha" Hyang Widhi untuk memberikan kesucian bathin kepada seseorang.
Mawinten dapat dilakukan oleh siapa saja, apakah ia akan menjadi pemangku di suatu Pura/ Sanggah
pamerajan, atau tidak, artinya untuk kepentingan pribadi.
Misalnya siswa PGA (Pendidikan Guru Agama) ketika mulai menjadi siswa, seseorang yang ingin intensif
belajar agama, yang memasuki masa Wanaprastha asrama, yang ingin menjadi penari tarian sakral, yang
akan menjadi "undagi" (tukang ahli membuat bangunan pura, wadah, dll), tukang banten, dalang, dll.
semua mawinten terlebih dahulu.
Mereka yang sudah mawinten disebut sang "Ekajati" (eka = pertama; jati = kelahiran/ kesunyataan). Jika
ingin menjadi Sulinggih (Pendeta) maka setelah mawinten, belajar dan kemudian jika dianggap sudah
memenuhi syarat sebagai Pendeta oleh Guru Nabe-nya maka ia dapat ditingkatkan istilahnya Mediksa.
Umat Hindu dan segala warga yang memenuhi syarat tersebut di bawah ini dapat disucikan (didiksa).
Laki- laki yang sudah kawin dan yang nyukla Brahmacari.
Paham dalam bahasa Kawi. Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari
ajaran- ajaran agama.
Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan.
Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk
hal keagamaan.
Seorang selalu yang dalam keadaan bersih dan sehat, baik lahir maupun batin.
Teguh melaksanakan Dharma Sadhana (sering berbuat amal jasa dan kebajikan).
Upacara awal.
Upacara mejauman.
Sang Calon Diksita (suami istri) berkunjung ke rumah calon nabe dengan membawa upakara semestinya.
Sembah pamitan pada keluarga. Sang Calon Diksita wajib menyembah orang tua yang masih hidup atau
yang patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah didiksa. Calon Diksita
juga minta ijin kepada sanak saudaranya yang berumur lebih muda. Sembah pamitan kepada orang tua
merupakan sembah terakhir karena di kemudian hari seorang sulinggih tidak boleh menyembah si
apapun yang masih walaka.
Upakara mapinton.
Pertama: ke Segara gunung untuk membersihkan diri asucilaksana. Dalam hal ini sekurang- kurangnya ke
Kahyangan tiga.
Kedua: upacara mapinton ke pemerajan calon nabe yang langsung dipuput oleh calon nabe sendiri.
Di samping untuk memohon restu upacara ini juga mengandung makna sebagai perkenalan dan
pernyataan ikatan secara resmi antara calon diksa dengan guru nabe.
Upacara Puncak.
Sebelum mati raga, calon Diksita dilukat oleh nabe di merajannya calon diksita dilanjutkan .dengan
muspa. Selesai upacara itu barulah calon diksita melakukan amati raga yaitu melakukan yoga. Busana
serba putih, sikap tangan ngregep dan ngramasika, yaitu mono
brata dan upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh, yaitu sehari sebelum upacara diksa.
Upacara Andi.
Upacara ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 05.00 WITA. Upacara ini dilakukan oleh guru saksi,
calon diksita pria dimandikan oleh guru saksi pria, sedangkan calon diksita perempuan oleh guru saksi
perempuan. Dibantu oleh sanak keluarga calon diksita sendiri. Selesai mandi calon diksita berpakaian
serba putih (sarwa petak), diantar menuju ke merajan tempat calon diksita melakukan diksa.
Upacara pokok.
Calon diksita ada di hadapan sanggar untuk melakukan upacara mabeakaon, kemudian dilanjutkan
dengan muspa dituntun oleh nabe, langsung luhur amari sudana (ganti nama)
Calon diksita menghadap kepada sang guru nabe matepung tawar (atepung tawar) segawu.
Calon diksita membersihkan kaki kanan (wasa ijeng ring tengen) nabe, digosok dengan kayu putih,
diasapi tiga kali, digosok dengan minyak, (dilisahi dening minyak), kaki tersebut ditaruh di atas ubun-
ubun.
Guru nabe memberikan kekuatan gaib kepada sisya antara lain dengan anilat empuning pada tengen.
Di atas ubun- ubun diberi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
Sambutang kusa pengaras yaitu diambilkan daun alang- alang diusapi badannya dan dikelilingi tiga kali
(inderakna ring sariranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali, digosokkan pada bahu kanan tiga kali,
pada tulang punggung tiga kali (tengah gigirnya ping tiga), kemudian daun alang- alang ditaruh.
Pungu- punguning ring wuwunan ping tiga : yaitu suatu upacara untuk ubun- ubun.
Diambilkan pancakorsika (alang- alang) cincin kalpika dan gunting diperciki tirta.
Mengunting : rambut calon diksita digunting 5 kali, yang diawali dengan rambut bagian depan (ring
arep), rambut bagian kanan (ring tengah) rambut bagian belakang (ring kuri), rambut samping kiri(ring
kiwa) dan rambut bagian tengah (ring pusehan).
Guru nabe karasadhananing, yaitu mengadakan pemujaan setelah itu sisya kakaduti sekar (disuntingkan
bunga di dada).
Di dadanya mohana cecatu : wawisik dan guru nabe, dautang, prastawa" : cincin sisya diambil nabe.
tutulakna dienjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga tunjung.
Pangpadhayadi: guru nabe memberikan bhasma, sirawista, diperciki air suci siwamba, anecepi. meraup
tiga kali.
Nuhun Sekah : Sisya menunjang sekah dewa- dewi disertai peras dan sesarik.
Guru nabe nyiratang tirta pada bebanten - sesayut, dana pemulih, pengambyan setanan. Sorohan,
panyeneng, jerimpen, bebangkit
Majaya- jaya . sang sisya- majaya- jaya oleh guru nabe dengan prana bayu murti Bhuwana.
Amet tetebus : diberikan tetebus sang sisya. dicium 3 kali kemudian ditaruh di hulu hati (ring radaya).
Wahi wija : sisya diberi bija dimakan (anguntal) Ini berarti pawisik sasipanan.
Menyembah : terakhir sisya menyembah mepamit pada kaki guru nabe (raris tamuita anikel ri pada nira
dang guru panembaha), lanjut menerima biseka dari nabe.
Loka Pala Sraya dapat dilakukan setelah mendapat ijin (pengesahan) dan nabe, setelah ngelinggihan
puja kemudian melaksanakan tirtayatra.
Apabila terdapat kasus yang menyimpang dan sesana sulinggih patut ditangani oleh nabe, Parisada,
aparat pemerintah.
Hak untuk mencabut status kesulinggihannya tetap pada nabe sesuai dengan aguron- guron.
Mereka yang sudah madiksa disebut sang "Dwijati" (Dwi = kedua; jati = kelahiran/ kesunyataan).