Anda di halaman 1dari 13

SUKU BANGSA BANGSA MEE

I Pendahuluan
1.1 Kondisi dan Letak Geografis
Sepanjang kabupaten Paniai, Deiyai, Dogiyai, dan sebagian besar Nabire, tersebarlah suku bangsa
Ekagi (Mee). Secara geografis, letak kediaman suku bangsa Mee membentang antara 1350-1370 BT dan 30-40
LS. Daerah yang didiami oleh suku bangsa Mee merupakan daerah pegunungan atau daerah pedalaman,
dengan diselingi oleh lembah yang dalam, antara lain lembah Kamuu, Debei, Agadibe, Obano, Weadide,
lembah Tage, Tigi, dan Okomodide, daerah Mapia yang meliputi daerah dengan lereng-lereng gunung,
perbukitan, sampai daerah berhawa panas, di Topo, distrik Uwapa, kabupaten Nabire. 1

1.2 Asal-Usul dan Sejarah Penemuan 2


Daerah yang sekarang disebut kabupaten Paniai, Dogiyai, Deiyai, dan sebagian Nabire, mayoritas
penduduknya terdiri dari orang-orang pedalaman. Kurang lebih, sebelum tahun 1934, suku bangsa ini masih
terisolir dari dunia luar. Suku bangsa ini berdiam di sekitar danau-danau besar, seperti danau Paniai, danau
Tigi, danau Tage, lembah Kamuu, yang terdapat danau-danau kecil, seperti Makamo, Duata, Kugumo,
Bunauwo, dan daerah Mapia. Sebelum penemuan itu, orang-orang Barat menyebutnya Wisselmeren. Nama
ini diberikan setelah ditemukan oleh penerbang Wissel.
Danau-danau ini ditemukan oleh Wissel pada tahun 1936. Sebelum itu, sekitar tahun 1935, bagian
barat dari daerah itu sudah pernah dikunjungi oleh alm. Pater Tillemans, dalam ekspedisi Bijlmer, sebuah
ekspedisi pemerintah Mimika.
Mulai dari penemuan daerah itu hingga sekitar tahun 1962, suku bangsa yang mendiami daerah
tersebut disebut sebagai suku bangsa Kapauku. Nama itu diberikan oleh orang-orang Mimika. Kapauku
mengandung makna “orang-orang dari gunung” atau “orang-orang dari belakang gunung”. Nama ini
rupanya tidak diterima dengan baik oleh suku bangsa yang bersangkutan karena berkonotasi seakan-akan
mereka tidak tahu apa-apa. Suku bangsa ini lebih suka jika memakai nama ekagi. Nama ekagi dipakai jika
mereka berbicara atau tinggal bersama suku bangsa-suku bangsa lain. Sedangkan, dalam suku bangsa
mereka sendiri, mereka menyebut diri mereka sebagai Mee, yang berarti manusia.
Antropolog bernama B.O. Van Nunen, dalam bukunya The Community of Kagapa, menegaskan
bahwa nama Ekagi berasal dari suku bangsa itu sendiri dalam etiket berbicara dengan suku bangsa lain.
Sebab, dalam hal ini mereka tidak bisa memakai nama Mee, karena berarti manusia, dan suku bangsa-suku
bangsa lain juga adalah manusia. Nama Mee hanya dipakai di kalangan mereka sendiri.

II Unsur-Unsur Kebudayaan
Suku bangsa Mee memiliki budaya yang sudah dikenal sejak dahulu kala. Kebudayaan Mee
dilandaskan pada pedoman hidup Touye Mana, yang menuntun mereka untuk membedakan antara yang baik
(ena) dan yang buruk (peu).
Kebudayaan yang ada merupakan warisan nenek moyang leluhur, sehingga kelestariannya perlu
dijaga untuk dijadikan dasar dan rambu hidup orang Mee. Kebudayaan yang ada disesuaikan dengan
dimensi waktu, dahulu (miyo umitato), kini (ito umete), dan masa depan (wadoka umitage).
Sebagai suatu cara hidup, kebudayaan dalam bahasa Mee disebut umi tou doba, yang meliputi cara
berpikir (dimi gai doba), cara berencana (wado gai doba), dan cara bertindak (ekowai doba). Di bawah ini
akan diuraikan unsur-unsur kebudayaan dalam suku bangsa Mee.

2.1 Sistem Bahasa (Mana)

1
Koentjaraningrat & Selo Soemardjan. Penduduk Irian Barat. 1963, hal 300.
2
Agustinus Johanes Tatago. Hukum Adat Perkawinan Suku bangsa Ekagi dan Perubahan-Perubahannya Akibat Kontak
dengan Dunia Luar. Sekolah Tingg Teologi Katolik, Jayapura, Irian Jaya. 1979
Bahasa suku bangsa Mee disebut Mee Mana, yang berperan sebagai sarana komunikasi dalam
kehidupan sehari-hari dalam komunitas, sarana pemersatu, serta kekayaan budaya yang sudah diwariskan
dari nenek moyang hingga generasi sekarang.
Kedatangan para misionaris membuka kesempatan bagi orang Mee untuk mengenyam pendidikan
formal. Akan tetapi, hendaknya Mee Mana tetap terus dilestarikan karena merupakan media pengembangan
kebudayaan daerah. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan bercerita tentang nasehat-nasehat
bijak leluhur, kisah-kisah, dan peristiwa-peristiwa (umitou mana).
Secara umum, sistem yang digunakan dalam bahasa Mee dianggap sederhana, yaitu:
a. hanya terdiri dari lima fonem vokal (a,i,u,e,o)
b. hanya terdiri dari sepuluh fonem konsonan (b,d,g,k,m,n,p,t,w,dan y)
c. setiap kata tidak diakhiri dengan fonem konsonan, baik tunggal maupun rangkap
d. tidak mengenal fonem kluster (fonem konsonan rangkap), baik di awal, pertengahan, maupun di
akhir kata, termasuk di dalamnya bunyi sengau ny dan ng
e. fonem vokal tunggal mengandung makna apabila pengucapannya ditekan dan fonem vokal
rangkap tetap mengandung makna tertentu.
Selain sistem di atas, bahasa Mee sebagai media komunikasi, terdiri dari tiga dialek, yaitu:
 dialek Paniai, di sekitar danau Paniai dan danau Tage
 dialek Tigi, di sekitar danau Tigi
 dialek Mapia, di sekitar pegunungan Mapia dn lembah Uwapa.
Menjadi sebuah kebiasaan seorang Mee,dalam mengungkapkan perasaannya kepada orang lain
dengan beberapa cara, antara lain menggunakan bahasa lisan, bahasa isyarat, pantun adat (gowai), dan
simbol.
Melalui Mee Mana, seorang Mee menyatakan dengan jelas ekspresinya, jati dirinya, serta membuat
orang lain dari suku bangsa lain memahami apa yang menjadi ciri khas dari orang-orang Mee. Dengan
melestarikan Mee Mana, misalnya selalu menggunakannya di berbagai kesempatan, dengan sendirinya
seorang Mee akan lebih mengenal dirinya sebagai Mee, dan cinta akan bahasa asli semakin berkembang
dalam dirinya.3

2.2 Sistem Mata Pencaharian Hidup


2.2.1 Pertanian-Ladang (Bugi)
Pada umumnya, ladang (bugi) terletak di sekitar lereng perbukitan, lembah, pesisir danau, atau
pinggir sungai. Bugi dikerjakan dengan alat-alat tradisional, seperti kapak batu yang digunakan untuk
menebang pohon, linggis yang berfungsi untuk mencungkil dan menggeruk tanah, dan skop/pacul untuk
mencangkul dan menggemburkan tanah. Ladang dibuka dengan cara bergotong-royong atau saling tolong-
menolong.
Ada pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki bertugas untuk membuka
ladang, dimulai dari menebang pohon-pohon besar, menebang dahan-dahan kayu, membersihkan dan
membakar sisa-sisa ranting atau daun yang sudah dikeringkan dan memupuk di atas ladang yang baru
dibuka dengan arang, membuat pagar kebun dengan batang dan dahan kayu yang besar sebagai pelindung
(bugi eda wagi), dan menutup pagar dengan sisa ranting dan daun-daunan pohon untuk menjaga dari
serangan binatang liar dan gangguan dari ternak babi. Sedangkan, kaum perempuan bertugas untuk
membakar sisa daun dan ranting, bercocok tanam, memelihara tanaman, dan memanen hasil tanaman di
ladang.
Tanaman-tanaman yang ada, antara lain ubi jalar (nota), daun ubi (nota tagi) untuk makanan ternak,
sayur genemo, sayur bayam, kacang-kacangan, pisang, dan tebu.

2.2.2 Beternak Babi (Ekina Muni)


3
Andreas Goo. Menjadikan Dogiyai Dou Enaa: Sebuah Pengantar Awal.
Adalah sebuah pekerjaan yang vital dan terhormat. Babi memberikan manfaat dan keuntungan yang
sangat besar. Dengan memiliki banyak babi, seseorang dianggap kaya dan dengan demikian status sosial dan
kehormatannya meningkat di tengah masyarakat.
Pada umumnya, beternak babi dikerjakan oleh kaum ibu dan anak-anak. Babi diberi makan teratur,
dua kali sehari, biasanya berupa nota tagi. Babi dipelihara dengan cara dilepas dan dibiarkan berkeliaran di
halaman rumah, bisa juga dikandangkan dengan pagar di bawah rumah atau di lingkungan kampung. Hasil
dari beternak biasanya akan dijual dan sisanya untuk dikonsumsi.

2.2.3 Berburu (Woda Ubai)


Berburu merupakan pekerjaan sampingan. Biasanya dilakukan pada malam hari, ditemani anjing
yang sudah terlatih. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur (uka), panah (mapega), serta
memasang jerat (boke mainai) di persimpangan jalan tempat hewan buruan lewat.

2.2.4 Mencari Udang (Udi Ubai)


Udang dicari dan ditangkap dengan menggunakan jala (ebai) yang terbuat dari tali kulit kayu (gaa)
dan tali rumput rawa (ikiya).

2.2.5 Berdagang (Edepede)


Sejak dahulu, orang Mee telah mengenal dan mengetahui cara berdagang. Dahulu, orang-orang tua
dari sekitar Paniai dan Tigi datang untuk berdagang di daerah Mapia. Di sana, ramai diadakan pencarian
kulit bia/kerang (mege) hingga ke pesisir pantai. Aktivitas ini mengakibatkan interaksi dengan suku bangsa
tetangga. Dalam kesempatan ini, orang-orang kaya yang ingin menunjukkan kedermawanannya, menjual
barang-barang dengan harga murah.

2.3 Sistem Ekonomi


2.3.1 Tanah
Tanah dipandang sebagai ibu yang menjadi sumber kehidupan (Maki Akukai-Tanah adalah Ibunda).
Tanah biasanya dimiliki secara komunal, baru kemudian dibagikan kepada keluarga-keluarga untuk diolah.
Orang Mee sangat peka dan mengetahui persis batas-batas hak ulayatnya, sehingga sekalipun tanah
itu kosong, namun bukan berarti tidak bertuan. Kepemilikan tanah akan diwariskan kepada turunannya, dan
karena tanah dipandang sebagai ibu, maka tanah tidak diperjualbelikan. Masyarakat hanya memiliki hak
pakai.
Berdasarkan fungsinya, orang Mee membagi tanah wilayahnya menjadi beberapa bagian, antara lain:
 Mude : areal tanah garapan untuk kebun keluarga
 Gamouda : areal hutan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang bermutu untuk pembuatan
perahu, papan rumah, misalnya rotan
 Buguwa : hutan rimba yang dimiliki bersama. Merupakan tempat untuk berburu dan areal untuk
menanam pohon rotan
 Bega : tanah di puncak-puncak gunung yang tidak berhutan. Tanah ini merupakan tanah yang
dianggap keramat
 Rawa : tanah berair dan berlumpur yang terletak di lembah-lembah. Dimiliki secara kolektif dan
merupakan tempat mencari ikan.
Dengan membagi wilayah sesuai dengan fungsinya, akan terjaga keberadaan tanah tersebut. Orang Mee
menjaga tanah secara ketat, terutama secara ritual.

2.3.2 Uang (Mege)


Mata uang suku bangsa Mee adalah mege yang terbuat dari kulit bia/kerang. Nilai mege beragam,
yang terendah disebut iya mege dan yang tertinggi disebut yoo. Selain sebagai mata uang, mege juga
berfungsi sebagai mas kawin, membayar jasa buat kebun, membeli babi, alat pengaman dalam urusan
politik lokal suku bangsa Mee, dan lain-lain. Mege merupakan warisan nenek moyang mereka sehingga
perlu dilestarikan.
Pada masa lampau, jumlah mege yang beredar jauh dari cukup, sehingga kebutuhan akan mege
dengan sendirinya meningkat. Oleh karena itu, masyarakat Mee pergi mencari kemana saja, bahkan sampai
ke daerah Uwapa. Mege yang ada di sana disebut Pudaiga dagopa4. Untuk memperolehnya, harus dibungkus
dalam daun dago, kemudian melewati gunung untuk kembali ke daerahnya. Sesudah batas waktu tertentu,
mege tersebut dapat dikeluarkan dari pembungkusnya. Jika tidak ditaati, orang itu akan meninggal dunia
atau tertimpa kecelakaan saat kembali lagi ke tempat tersebut.
Jenis mege lainnya, adalah kawane, terdiri dari dege kawane yang berwarna putih dan buna kawane
yang berwarna hitam.

2.4 Sistem Organisasi Sosial


2.4.1 Kekerabatan (Uguwo, Ugupugu)
Orang Mee mengenal betul kelompok kekerabatannya, baik hubungan kekerabatan dengan bapak
maupun kekerabatan lewat mama. Dengan mengenal hubungan kekerabaan tersebut, akan mempermudah
untuk menarik relasi kekeluargaan, misalnya:
a. Kekeluargaan dan kekerabatan orang Mee dalam tingkat pertama, misalnya, anak sulung laki-laki
disapa dengan Ibo Mee, sedangkan anak perempuan pertama disapa oumau. Untuk anak laki-laki dan
perempuan kedua, disapa dengan ipouga dan maga, dan untuk anak bungsu disapa dengan amoye dan
amadi.
b. Istilah kekerabatan dibedakan menurut jenis kelamin dan tingkat umur seseorang, misalnya saudara
perempuan disebut ani paneka. Sebutan kekerabatan tingkat saudara sepupu-saudara perempuan
bapak maupun saudara sepupu anak saudara laki-laki, disebut noone.
c. Istilah kekerabatan itu tidak mutlak dan seringkali memiliki arti lebih dari satu, tergantung dari jenis
kelamin pemakai istilah. Ani weneka merupakan panggilan akrab bagi adik laki-laki, Ani bai dan Ani
wai adalah panggilan akrab bagi kakak perempuan atau laki-laki. Anukai dan anatai adalah panggilan
akrab untuk mama dan bapak.

2.4.2 Perkawinan
Perkawinan tidak hanya sekedar menyatukan visi dan cinta antara laki-laki dan perempuan dalam
sebuah rumah tangga, tetapi juga menyatukan keluarga-keluarga yang ada di dalamnya. Dalam suku bangsa
Mee, ada tiga unsur yang menjadi syarat dari suatu perkawinan:
a. Adanya keturunan : setiap keluarga akan sangat berbahagia jjika mendapatkan anak laki-laki karena
dianggap sebagai pengganti ayah, ahli waris, dan penerus keturunan. Anak perempuan juga tidak
kalah pentingnya. Dengan adanya mas kawin dari anak perempuan, saudaranya yang lain dapat
menikah. Selain itu, anak perempuan juga merupakan penjamin keturunan.
b. Mas kawin : besar-kecilnya nilai mas kawin ditentukan oleh keluarga pihak perempuan. Penyerahan
mas kawin tidak diartikan sebagai pembelian perempuan, melainkan sebagai balas jasa, ucapan
terima kasih, pengakuan kepada ibu dari calon istri yang telah melahirkan serta membesarkan anak
perempuannya, serta menjadi penentu sah tidaknya suatu perkawinan yang berujung pada
pengakuan publik. Mas kawin biasanya berupa mege, manik-manik, kapak batu, kerang kecil
(dawa/kane), dan babi.
Orang Mee mengenal dua sistem perkawinan, monogami dan poligami. Sistem perkawinan
monogami (waka ena) secara adat dibenarkan karena perkawinan ini membantu sebuah keluarga untuk

4
Pudai : salah satu gunung yang terletak antara kecamatan Uwapa dan Obano, Gaa: melalui/melewati, dan Dago :
sejenis pohon yang biasanya tumbuh di tempat berair, daunnya dipakai untuk membungkus luka.
hidup lebih harmonis, mempunyai kesempatan untuk melahirkan, mendidik, dan membesarkan anak-anak.
Sistem poligami diperbolehkan dengan alasan untuk menjaga harta dan status sosial.
Orang Mee menganut dan mengikuti garis keturunan bapak (naitai gadi wopei). Orang-orang yang
merasa se-asal dari leluhur yang sama dikenal dengan istilah klen (tuma). Masing-masing tuma memiliki
lambang keramat (totem). Dengan adanya totem, setiap klen memiliki pantangan tertentu. Selain itu, setiap
pria dari setiap klen harus mencari pasangan atau calon istri dari klen lain (eksogami).
Klen-klen biasanya akan membentuk pasangan klen masing-masing yang dikenal dengan istilah fatri
(epa). Klen yang termasuk dalam satu fatri, memiliki pantangan yang sama, misalnya untuk menikahi
seseorang dari anggota fatri atau mengkonsumsi makanan tertentu.

2.4.3 Sistem Politik dan Hukum


Sebelum mengenal hukum formal, orang Mee sudah memiliki peraturan-peraturan yang berisi nilai-
nilai luhur sebagai pedoman hidup, yaitu hukum adat. Hukum adat terdiri dari perintah, larangan, dan
anjuran, antara lain:
a. Setiap orang Mee harus memiliki relasi yang baik dengan alam, mampu beradaptasi dengan baik.
Alam semesta dianggap sebagai pelindung (mee ipuwe). Selain itu, dalam hidup dan karya bakti
selalu mengutamakan Ugatame, sebagai penyelenggaran hidup atas segala ciptaannya. Alam semesta
adalah karya Ugatame, sehingga harus dijaga kelestariannya.
b. Wajib mematuhi perintah orangtua. Jika melawan dan bersikap durhaka, akan mendapat kutukan dari
orangtua.
c. Jangan membunuh, jika melakukannya maka harus membayar denda (Mee gapii). Jika pelaku
menolak membayar denda, maka akan memancing terjadinya balas dendam.
d. Dilarang melakukan hubungan intim sebelum menikah sah. Jika dilanggar, maka akan mendapat
hukuman, baik laki-laki dan perempuan. Hal ini disebut mogai (zinah). Jika pihak laki-laki tidak mau
menikahi perempuan, ia harus membayar denda sebagai owaa daimita.
Dalam menyelesaikan perselisihan, orang Mee menanganinya dengan berargumentasi sambil
menunjukkan kemarahannya, sampai masalah bisa terselesaikan dengan kepuasan dari kedua belah pihak.
Ada dua faktor yang berperan penting pada jalannya suatu penyelesaian pertikaian, yaitu relasi diantara
mereka yang bertikai dan keseriusan suatu pelanggaran. Suatu perselisihan kecil diantara kerabat dekat,
misalnya pertengkaran dua saudara, keributan antar suami-istri berkenaan dengan hasil panen mereka,
biasanya akan berlalu dengan cepat atau tidak menarik perhatian orang untuk bertindak lebih jauh.
Sebaliknya, suatu pelanggaran serius diantara orang-orang yang tidak memiliki relasi kekerabatan sama
sekali, akan melibatkan banyak pihak, membutuhkan banyak waktu, dan bisa menyebabkan praktek
kekerasan dalam penyelesaian masalah, jika tidak ditangani dengan baik.
Prinsip utama yang mengatur penyelesaian perselisihan diantara orang Mee adalah prinsip
kesepadanan (ekuivalensi). Tujuan dari mereka yang terlibat dalam perselisihan adalah menyeimbangi skor
diantara mereka, menyerahkan barang-barang berharga sebagai kompensasi berbuat baik bagi kerugian yang
diderita oleh penuntut dan serentak memberikan tempat sentral dari prinsip pertukaran dalam kehidupan,
menandai dan menetapkan kembali relasi persahabatan diantara mereka. Jika yang bersalah dengan keras
kepala menolak kompensasi, penuntut menebus keseimbangan dengan mengambil aksi ganti rugi yaitu
dengan melakukan balas dendam. Tindakan-tindakan di atas bertujuan menjamin ekuivalensi dari
kehilangan pada kedua belah pihak.

2.4.4 Kepemimpinan
Suku bangsa Mee tidak mengenal istilah ondoafi. Namun, dalam hubungan dagang atau kesempatan
mencari harta, harus ada pihak yang dipertuankan. Yang dipertuan adalah orang yang mempunyai banyak
mege dan babi. Yang dipertuan ada hampir di setiap kampung.
Yang dipertuan akrab dengan sebutan istilah tonowi. Tonowi menjadi orang kepercayaan oleh
masyarakat sekitarnya, sepanjang ia tidak menyalahi norma-norma yang berlaku. Bila ia melakukan
pelanggaran, apa yang dikatakannya kurang dipatuhi.

2.5 Sistem Kesenian dan Budaya


Suku bangsa Mee memiliki nilai seni dan kreasi, seperti nyanyian rakyat (ugaa), seni musik (kaido),
seni hias manik-manik di leher dengan menggunakan umagi pege/dedege (sejenis kulit bia tetapi sangat
kecil), gelang tangan (kagane), kalung dari gigi anjing atau tupai (gope), dan perhiasan diantara kedua
pinggul bagian belakang (wupi), yang terbuat dari benang serat kulit kayu yang dipintal. Di bawah ini akan
diuraikan beberapa jenis kreasi yang dikenal oleh masyarakat dan juga budaya khas mereka.

2.5.1 Seni Suara


Seni suara yang dikenal oleh suku bangsa Mee, antara lain :
a. Ugaa : nyanyian rakyat yang dilakukan oleh dua orang dengan nada yang berbeda, didasari pengalaman
manis-pahit yang dilagukan pada kalimat terakhir.
b. Yuu/waita dan waani : dinyanyikan oleh banyak orang, sebuah nyanyian yang menginspirasi agar
menyelesaikan pekerjaan mereka dengan semangat.
c. Gowai : seni berpuisi untuk mengungkapkan perasaan terpendam agar orang-orang dapat mengerti
maksud dan tujuannya.
d. Tupaa : nyanyian tradisional yang mensyairkan kisah-kisah masa lalu dengan meratap, sambil
menghayati kisah berdasarkan pengalaman nyata.
e. Komauga : nyanyian tradisional yang dilagukan saat menarik perahu dari hutan, dilagukan untuk
memberikan semangat.

2.5.2 Seni Gerak


Ada beberapa jenis tarian yang dikenal oleh masyarakat suku bangsa Mee, antara lain:
a. Kidu : tarian baling-baling. Baling-baling terbuat dari rotan, yang diikatkan dengan rapi di dada seorang
laki-laki.
b. Tune : tari rotan yang digerak-gerakkan di kepala, memanjang sampai ke pundak belakang, kemudian
diikatkan dengan batu kecil supaya menjaga keseimbangan naik-turun setelah memantul dari pundak
belakang.
c. Ama : tarian susu yang dilakukan oleh kaum ibu (tidak untuk para gadis), dengan gerakan melompat di
tempat atau sambil berjalan sehingga susu ikut bergerak, naik-turun. Tarian ini dilakukan pada saat
upacara penting, khususnya saat terjadi perselisihan. Tarian ama, ampuh untuk menjadi peredam.

2.5.3 Kreasi Seni Buatan Tas


Kreativitas orang Mee salah satunya terinspirasi dalam bentuk noken atau tas (Agiya). Agiya adalah
noken yang terbuat dari serat kayu yang dipintal. Adapula noken yang terbuat dari tanaman anggrek,
sehingga disebut noken anggrek (toya agiya). Ada dua jenis noken anggrek yang dikenal, yaitu tikiniyake
agiya (anyaman rapat) dan goyake agiya (anyaman longgar).
Agiya, bagi perempuan Mee, digunakan untuk menyimpan barang, menggendong anak atau bayi,
mengisi babi, umbi-umbian dan sayur-mayur, pakaian, kayu bakar, dan lain-lain.

2.5.4 Pesta Babi (Yuwo)


Selain mege, babi juga memiliki nilai yang sangat besar. Seekor babi besar dapat menghasilkan
ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Salah satu momen dimana babi-babi tersebut dijual dengan harga murah
dan menarik masyarakat untuk datang, adalah yuwo atau pesta babi. Yuwo merupakan pesta budaya yang
sangat besar bagi orang Mee. Perayaan ini disiapkan beberapa tahun sebelumnya. Setiap mengadakan yuwo,
ada pihak-pihak yang mensponsori. Sponsor dapat dihitung dari jumlah kewita (rumah yang didirikan di
sekitar rumah dansa/emaa) yang dibangun untuk menampung semua babi milik sponsor. Babi yang akan
dipanah, diikat pada tiang kayu. Perayaan yuwo diadakan di lapangan terbuka. Perayaan ini membawa
dampak positif, yaitu dapat memperkukuh, mempererat, juga memperbaiki suatu hubungan kekerabatan. Di
bawah ini akan diuraikan mengenai pihak-pihak yang berpengaruh terhadap suksesnya pesta yuwo.

a. Sponsor
Terdiri dari orang-orang kaya, entah satu orang atau lebih. Jika mereka hendak mengadakan pesta babi, akan
dikirim utusan untuk mencari dukungan dari orang-orang kaya lain, sekaligus menentukan tempat dan waktu
untuk pertemuan pertama antara sponsor dan para pendukung. Sponsor memegang peranan penting, sebagai
inspirator dan penanggung jawab terselenggaranya pesta babi.

b. Pesta Pembukaan
Diadakan setelah pendirian Emaida (rumah dansa). Sponsor dan pendukung akan menyerahkan beberapa
ekor babi untuk dibunuh. Setelah dibunuh, akan dipotong dan dibagikan secara cuma-cuma kepada semua
orang yang hadir pada pesta itu.
Acara penutupan/puncak dari Yuwo juga akan ditentukan saat itu dengan meminta pendapat masyarakat
yang hadir. Setelah memperoleh kesepakatan bersama, mereka kembali menyantap daging, berdansa, dan
setelah itu kembali ke rumah masing-masing.

c. Pengaturan Pesta Dansa


Sponsor akan menentukan waktu-waktu dansa. Pembagiannya merata, setiap kampung/klen mendapat
giliran berdansa dan bertanggungjawab atas waktu yang diserahkan kepadanya. Dansa (emai) berlangsung
sejak malam pertama perayaan hingga acara puncak.

d. Persiapan Acara Puncak


Sementara acara dansa berlangsung, sponsor dan pihak pendukung mulai mempersiapkan segala sesuatu
yang dibutuhkan pada acara puncak nanti, antara lain dengan memeihara babi sebanyak-banyaknya, mencari
kus-kus, tikus tanah, dan barang-barang lainnya, yang dapat dipakai untuk dijual pada acara puncak. Setelah
dirasa cukup, mereka mencari relasi-relasi pembeli/konsumen di luar lingkungannya. Semua persiapan itu
dimaksudkan agar pesta yuwo berjalan dengan lancar.

e. Pesta Puncak
Beberapa minggu sebelum pesta puncak dilaksanakan, sponsor beserta pendukung berkumpul kembali untuk
merencanakan pendirian pondok-pondok di sekitar emaida yang akan ditempati oleh para pengunjung atau
konsumen. Bila semua undangan hadir, sponsor akan membuka acara puncak dengan upacara khusus.
Acara disusul dengan pembunuhan babi secara besar-besaran, khususnya milik sponsor dan para pendukung.
Setelah itu dilakukan jual-beli massal. Para tamu, sponsor, dan para pendukung akan makan bersama.
Malam ha rinya akan diadakan dansa terakhir. Pesta puncak merupakan inti dari yuwo.

f. Penutupan yuwo
Pagi harinya akan diadakan upacara penutupan oleh sponsor dan disusul dengan pembongkaran pondok-
pondok dan rumah dansa.

2.6 Sistem Teknologi


2.6.1 Pakaian
Kaum laki-laki Mee mengenakan busana koteka dan paute. Paute, terbuat dari pintalan serat kulit kayu
yang dianyam secara teratur, rapat, dan rapi. Sedangkan, kaum perempuan Mee mengenakan cawat yang
dipintal.

2.6.2 Rumah
Bangunan tradisional suku bangsa Mee terbuat dari bahan kayu, yang diruncingkan dan ditancapkan
di tanah. Kayu-kayu tersebut digunakan sebagai pemikul atap dan sekaligus sebagai dinding. Sebagai
pengikat, digunakan tali rotan, dan untuk atap dugunakan alang-alang. Untuk penghangat di malam hari,
mereka membutuhkan tungku api di dalam bangunan. Hembusan angin yang masuk melalui celah-celah
tiang kayu, dapat masuk dan mempengaruhi temperatur udara di dalam ruangan. Adapula pemisahan antara
ruang laki-laki (emaa) dan perempuan (yagamoma).
Bagian-bagian yang pada umumnya terdapat dalam rumah tradisional suku bangsa Mee, antara lain:
 jagamoowa unoumida : ruang tidur perempuan
 yamawa unoumida : ruang tidur pria
 meetouda : ruang tamu
 notanai dagu : ruang makan
 uwo onida dagu : kamar mandi
 notayou owage : dapur
 bugida : kebun
 ekinaka owa : kandang babi
 uwo onida : sumur

2.6.3 Senjata Tradisional


Busur dan anak panah telah dikenal sejak dahulu, merupakan senjata tradisional suku bangsa Mee.
Busur, dalam bahasa Mee, disebut uka, yang terbuat dari kayu. Sedangkan, panah dalam bahasa Mee,
disebut mapega. Ada bermacam-macam jenis panah, tergantung dari kegunaannya. Ada yang digunakan
untuk membunuh babi, ada yang digunakan untuk berburu, perang, dan dibawa saat melakukan perjalanan
jauh/sehari-hari.

2.6.4 Perkakas
Peralatan yang dikenal oleh masyarakat Mee, antara lain kapak batu (maumi), pisau batu (dipaa), dan
bambu (ukaa). Selain itu, dikenal pula sejenis batu yang disebut ekegei mogo. Ekegei mogo, bila dipukul
keras pada tepinya, akan pecah berkeping-keping, dan tajam seperti pisau. Kepingan ini dipakai sebagai
pemotong rambut, pencukur kumis, dan untuk mengoperasi orang yang kena panah.

2.6.5 Kreasi Seni Menghasilkan Api


Bekoo dan Mamo adalah alat untuk menghasilkan api secara tradisional, keduanya terbuat dari rotan
tua dan keras. Mamo dapat diukir sedemikian rupa, dibelah di tengah tetapi hanya separuh saja. Diujung
belahannya, dimasukkan sepotong kayu kecil sebagai penyangga, lalu dijemur atau dikeringkan di atas
tungku api dapur. Sedangkan, bekoo, dibelah di bagian tengah dan pinggirnya dibersihkan, kemudian gulung
melingkar, jemur di atas tungku api dapur.

2.7 Sistem Pengetahuan


2.7.1 Pendidikan Anak
Pendidikan anak adalah tanggung jawab dari orangtua, baik bapak maupun mama. Pendidikan anak
laki-laki adalah tanggung jawab penuh dari bapak. Sebelum mencapai usia 14 tahun, seorang anak laki-laki
akan menghabiskan dengan sang bapak. Seorang bapak akan menjelaskan bagaimana cara berdagang,
memelihara babi, membuat perahu, cara membuat pagar, cara membuat panah, dan cara berburu.
Kelak, seorang anak laki-laki diharapkan menjadi seorang maakodo tonowi (tonowi sejati). Pada sore
hari, anak laki-laki akan belajar mitos atau legenda, yang harus direfleksikan dan didiskusikan dengan
orangtua di rumah. Pada saat usia 14 tahun, anak laki-laki akan disebut agana. Ia dipandang sebagai orang
yang bertanggung jawab penuh, dapat mendukung ekonomi keluarga, dan dapat dilibatkan perang. Seorang
laki-laki Mee yang diakui sebagai tonowi sejati, memiliki tujuh ciri utama, yaitu sehat dan kuat secara fisik,
kaya, jujur, murah hati, membela kebenaran, pemberani, dan mempunyai kharisma untuk menyembuhkan
orang.
Sedangkan, pendidikan anak perempuan adalah tanggung jawab penuh ibunya. Seorang anak
perempuan selalu ikut ibunya ke kebun untuk belajar cara menanam, memelihara tanaman, dan menuai
panen. Di rumah, ia belajar memasak, cara menangkap ikan, mendayung perahu, dan membuat jala. Agar
dapat menjadi seorang anak perempuan yang mandiri, orangtua akan memberikan sedikit dari kebun
keluarga untuk diolah anak perempuan itu. Disitu, ia akan belajar menanam, memelihara tanaman, agar
mendapatkan hasil yang baik. Anak perempuan juga diberikan seekor babi untuk dia pelihara sendiri.
Seorang perempuan dididik agar kelak diakui sebagai matakodo kabo yagoma (perempuan yang sungguh
menjadi landasan hidup dan epadan tuma dari suami).

2.7.2 Fungsi Ayah dalam Masyarakat Mee


Dalam masyarakat Mee, ayah merupakan simbol dari kekuatan, kejantanan, dan keperkasaan.
Seorang ayah, biasanya akan berjalan ke berbagai tempat untuk mengadakan hubungan atau relasi dengan
fam lain. Saat muncul sebuah perkara atau masalah, ia menunjukkan kekuatannya dengan mengadu
kehebatan dengan sesama lelaki lainnya. Pada saat diperlukan, ia hadir sebagai penegak hukum adat.
Di dalam rumah, ayah bertugas sebagai penasehat, pengajar di malam hari, dan sebagai penegak
hukuga miti keluarga. Berkaitan dengan pendidikan anak, ayah bertugas atas pendidikan anak laki-laki.

2.7.3 Fungsi Ibu dalam Masyarakat Mee


Sepanjang siang, seorang ibu akan menghabiskan waktunya di kebun. Oleh karena itu, jika ia
memiliki bayi, ia akan membuat sebuah tempat aman menyerupai kandungan ibu, yang terbuat dari noken
besar dan di dalamnya dilapisi oleh dedaunan empuk. Bayi akan ditempatkan di kebun dan aman. Hubungan
ibu dan bayinya sangat dekat, tidak dapat dipisahkan. Hubungan erat ini nampak dalam ungkapan ama unu
pa make eyaiya, yang artinya dari atau karena bau susu, ada pertumbuhan.
Seorang ibu selalu mencurahkan perhatiannya pada sang bayi. Ia melindungi dan membuat bayinya
merasa aman. Seorang bayi tidak akan menangis jika berada di dekat ibunya. Tugas mulia ini tidak
membebani kaum ibu. Selama anaknya belum bisa berjalan, ibu mempunyai peran penuh sebagai pemberi
hidup anaknya. Dan, jika anaknya sudah dapat berjalan sendiri dengan lancar, sang ibu memberikan
kesempatan agar anak itu bisabelajar sesuatu dan menjadi mandiri.

2.8 Sistem Religi (Kepercayaan)


2.8.1 Konsep Tentang Dunia dan Tuhan
Orang Mee memandang dunia ke dalam tiga bagian, yaitu:
 Dunia atas : merupakan lambang dunia kebaikan, dunia arwah nenek moyang
 Dunia tengah : adalah dunia manusia yang masih harus mencari kehidupan yang aman dan
berkelimpahan
 Dunia bawah atau dunia kejahatan : merupakan tempat roh-roh jahat berada.
Dahulu, sebelum agama nasrani masuk, orang Mee sudah meyakini adanya Tuhan, sang Pencipta,
yang mereka sapa Ugatame. Ugatame dipandang sebagai pencipta yang Maha Besar, pemerhati,
penyelenggara langit dan bumi, serta Bapak dari seluruh manusia. Ugatame telah memberikan pedoman dan
penuntun hidup kepada para nenek moyang atau leluhur, yaitu Touye Mana. Ia diyakini sebagai pribadi yang
suci, kudus, Maha Tahu, penyelamat, yang akan terus ada selamanya.
Penyembahan kepada benda-benda, roh-roh halus yang mendiami suatu benda dan mempunyai
kekuatan, yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia, dapat memperjelas bahwa
Ugatame ada dan hadir sebagai penyelenggara hidup atas segala isi bumi dan ciptaannya. Orang Mee berdoa
dengan caranya untuk memohon turut campur tangan Ugatame dalam setiap aktivitas mereka.

2.8.2 Konsep Roh


Orang Mee percaya bahwa manusia memiliki roh. Roh-roh yang ada dalam diri manusia secara
umum, terdiri dari tiga, yaitu:
a. Aya : memiliki dua pengertian, yaitu bayangan tubuh yang disebabkan oleh sinar matahari dan
prinsip semangat, gairah yang memungkinkan seseorang bergerak, bekerja, dan melaksanakan
aktivitas lainnya.
b. Dimi : adalah pikiran, yang baik (enaa dimi) dan ada yang buruk (peu dimi). Baik dimi maupun
aya, menyatu dalam diri manusia yang hidup, sulit untuk dipisahkan.
c. Tene : adalah roh atau arwah orang yang sudah meninggal, terbagi menjadi dua yaitu roh baik
(enaa tene), yang sifatnya baik, melindungi, dan memelihara sanak saudaranya yang masih hidup,
dan roh jahat (peu tene), yang bersifat jahat, suka mengganggu dan merusak, tetapi tidak sampai
membunuh.
Selain roh yang ada di dalam diri manusia, masyarakat Mee juga mengenal banyak roh yang tinggal
di sekitar tempat tinggal mereka. Roh-roh (eniya) tersebut, antara lain:
a. Teege : adalah kepala semua roh jahat. Roh ini paling ditakuti karena dianggap sebagai sumber dari
segala kejahatan. Ada beberapa jenis teege, antara lain:
 Emoteege : roh jahat yang menimbulkan perdarahan. Roh ini berdiam di gua dan pohon-pohon
besar. Emoteege muncul dalam bentuk pelangi (wayoma).
 Wodateege : roh jahat yang menjelma dalam bentuk kus-kus. Roh ini berdiam di tebing-tebing
bersalju.
 Kotepani : roh jahat yang dipercayai menjadi tuan tanah.
b. Madou : ialah roh yang berdiam di danau, telaga, dan di rawa. Roh ini tidak jahat jika tidak
diganggu. Roh ini memiliki dua jenis, yaitu : jinai madou (berwujud perempuan) dan wiyai madou
(berwujud laki-laki).
c. Manita : adalah roh baik yang berdiam di danau. Roh ini berbentuk ular berkepala manusia. Ia
diyakini sebagai pelindung klen dan pemelihara babi.
d. Tameyai : adalah roh jahat yang berdiam di hutan, sering menjelma menjadi wanita cantik, seorang
ibu, atau wujud yang disenangi korban buruannya. Roh ini muncul untuk mencelakakan orang.
e. Abe : adalah roh baik yang berdiam di hutan. Roh ini sering menolong orang bila ada dalam
kesulitan, tetapi tidak menampakkan diri secara langsung.

2.8.3 Magi
Orang Mee mengenal ada tiga macam magi, yaitu magi hitam, magi putih, dan magi netral. Magi
hitam (kamutai) dikategorikan sebagai magi yang menentang kelangsungan hidup manusia yang beradab,
aman, damai, dan tentram. Dalam magi hitam, terdapat unsur yang mampu mencelakakan orang lain,
memacetkan usaha orang lain, menghancurkan keharmonisan rumah tangga. Secara adat, magi hitam tidak
dibenarkan tetapi masih saja dipraktekkan.
Magi jenis kedua adalah magi putih (kegotai). Magi ini berkekuatan positif dan digunakan untuk
maksud baik, seperti menyelamatkan dan menolong orang lain. Magi putih juga dipakai untuk melawan
kekuatan magi hitam, demi terwujunya keharmonisan dalam masyarakat.
Yang ketiga, adalah magi netral. Magi ini semacam sumpah, pemutus, dan penentu. Bertindak
sebagai pihak ketiga, ditujukan untuk membuktikan kecurigaan dan menyatakan kebenaran.

2.8.4 Mitologi (Mesianis Suku bangsa Mee)


Kisah Koyeidabaa
Di daerah pedalaman Paniai, tepatnya daerah Makewepa, hidup sebuah keluarga yang miskin.
Keluarga itu terdiri dari lima orang, Yagetoko, sang ayah; Kibiwoo, sang ibu; Neneidaba, anak pertama;
Noku, anak kedua; dan Yegaku, anak ketiga. Pada saat itu, sedang musim kelaparan hebat. Mereka sedang
berbicara tentang bagaimana nasib mereka di hari yang akan datang.
Tiba-tiba, Kibiwoo, merasakan ingin buang air kecil. Ia segera lari ke belakang rumah. Saat ia
mengeluarkan air seninya, terjadilah sesuatu yang mencengangkan dimana air seninya berwarna merah
darah. Ia sangat terkejut tetapi ia diam saja, kemudian masuklah ia kembali ke rumah. Setelah Kibiwoo
kembali, tiba-tiba terdengarlah tangis seorang bayi, makin lama makin besar. Mendengarnya, mereka semua
berlari ke belakang rumah. Di sana, mereka mendapatkan seorang bayi kecil tertidur, tepat di tempat
Kibiwoo mengeluarkan air seninya.
Melihat bayi yang mungil itu, membuat mereka jatuh sayang. Segera bayi itu digendong masuk ke
dalam. Mereka bermaksud untuk memelihara bayi itu. Sementara itu, Kibiwoo masih saja bertanya-tanya
apakah bayi itu berasal dari air seninya atau tidak. Untuk memastikan rasa penasarannya, ia menyuruh anak-
anaknya mencari tahu darimana bayi itu berasal, kepada masyarakat sekitar. Namun, tidak satupun yang
mengetahui, lagipula di kampung mereka tidak ada seorang yang hamil. Mendengar jawaban dari anak-
anaknya, Kibiwoo yakin bahwa bayi itu berasal dari air seninya.
Kibiwoo menganggap bayi itu sebagai pembawa berkat. Berbeda dengan Yagetoko, ia bersikeras
hendak membunuh bayi yang dianggap sebagai ayayoka (anak bayangan). Namun, niatnya dihalangi sang
istri. Akhirnya, anak itu tetap dibiarkan hidup. Sampai enam bulan, bayi itu belum makan dan minum. Bayi
itu, akhirnya diberi nama Koyeidabaa, yang artinya orang miskin yang mau memperhatikan orang lain.
Memasuki usianya yang ketujuh bulan, Koyei menunjukkan keajaiban. Dari duburnya keluar ubi
mentah, talas, sayur-sayuran, manik-manik, mege, ternak, dan lain-lain. Keluarga itu serta-merta menjadi
keluarga yang berkecukupan. Banyak orang menjadi bertanya-tanya. Berbagai opini bermunculan, ada yang
mengatakan bahwa Koyei adalah penyelamat, dan, sayangnya, ada yang mengatakan bahwa Koyei adalah
perampas harta suku bangsa sehingga harus disingkirkan. Sesungguhnya, penduduk mereka sangat cemburu
dengan keluarga Koyei.
Tidak lama, Yagetoko dan Kibiwoo meninggal dunia. Anak-anaknya sangat sedih. Koyei berusaha
untuk menghibur kakak-kakaknya, dengan mengatakan bahwa suatu hari nanti akan datang hari yang indah
dimana tidak ada lagi kaya dan miskin. Semua orang akan hidup bahagian, damai, tanpa kekurangan satu
apapun. Sejak kepergian orangtuanya, Koyei mengambil alih urusan keluarga. Dia mengajari ketiga
kakaknya untuk hidup tanpa bermusuhan, mengenai keadilan, dan hak atas tanah.
Saat itu, berkembang isu bahwa Koyei ingin menguasai masyarakat Mee. Mengamati isu itu, Koyei
merasa perlu mengambil sebuah buku yang berisikan adat-isitiadat, kebaikan, dan kesempurnaan. Suatu hari,
ia mengutus Neneidaba dan Noku, untuk pergi mengambil Touye Kapogeiye (buku tentang kehidupan,
kebaikan, dan kesempurnaan) ciptaannya. Saat kedua saudaranya pergi, pendudu datang untuk menyerang
Koyei, namun ia berhasil lari ke gunung Odiyai. Pengejaran masih saja berlangsung. Semakin lama, semakin
banyak yang mengejarnya. Koyei tidak mampu lagi untuk bertahan, panah yang tertusuk di lambungnya
membuat dia semakin lemah. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, berkatalah Koyei: “Sesungguhnya
saya memberi kamu makanan dan harta kekayaan, namun kamu tidak mengerti bahkan membunuhku.
Karena itu, sekarang kamu berusaha sendiri dengan susah payah. Peliharalah dua ekor babi itu baik-baik,
karena kamu akan diadili sesuai dengan perbuatanmu”. Setelah berkata, Koyei meninggal.
Ketika kedua saudaranya pulang dengan membawa Touye Kapogeiye, dari jauh terdengar ratapan
Yegaku. Mereka berdua berlari menuju rumah dan mendapati Yegaku sedang menangis. Yegaku meratap
dan berkata bahwa penduduk sudah membunuh Koyei. Dan, serta-merta rumah mereka dikepung.
Neneidaba melarikan diri ke arah barat, dan menghilang setelah masuk ke dalam sebuah gua. Pada saat yang
sama, Noku melarikan diri ke Timur, namun ia terkena panah dan terjatuh. Noku belum mati namun ia
menyerahkan dirinya untuk dibunuh. Pada saat panah menancap di punggungnya, ia berteriak dan
mengatakan, “to kabu togo kabu kiyayaikaine” (saya tinggalkan segala kegelapan dan keburukan padamu).
Setelah itu, Nene masuk ke dalam sebuah gua dengan membawa buku kehidupan, dan menghilang.
Semua orang mengejar dan membunuh Koyei, kembali dan memotong seekor babi, dari dua ekor
yang keluar dari anus Koyei. Sementara, yang satu ekor lagi berubah menjadi sebuah gunung yang sekarang
dikenal dengan nama gunung Duwanita. Selanjutnya, mereka memotong kepala Koyei dan kulit perut babi,
lalu menutup lubang gua bagian Timur. Kemudian, kepala babi dan perut Koyei dipakai untuk menutup
bagian barat. Dagingnya mereka makan bersama. Sesudah semuanya berakhir, mereka pulang ke rumah
masing-masing dengan teriakan kegembiraan. Segala kerahasiaan Koyei tersirat dalam Touye Kapogeiye.
Saat ini buku itu sedang dicari oleh sekelompok Mee yang menamakan diri Utoumana (kelompok pencipta
alat-alat budaya).

Pribadi Koyeidabaa
Koyei dilahirkan dengan cara yang unik. Ia dilahirkan melalui air kencing darah mamanya, Kibiwoo.
Koyei dirawat dan dibesarkan dalam keluarga yang miskin. Kehadirannya memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap keluarganya, maupun masyarakat kebanyakan. Pribadi Koyeidabaa ditampilkan
sebagai pembuat mukjizat, berupa pengadaan bahan makanan. Koyei memiliki harapan bahwa masyarakat
akan hidup teratur, aman, damai, rukun, tenteram, bersatu padu, serta hidup sejahtera. Dia
mengaktualisasikan harapannya dengan memperbanyak makanan, memikirkan hal-hal yang baik, dan
mengajarkan norma-norma yang menjadi ajarannya kepada masyarakat Mee, saat itu. Tiga hal pokok dari
pribadi Koyeidabaa selama masa hidup, yakni: produksi makanan, tokoh pemikir ulung, dan perubahan
norma-norma adat serta nilai-nilai sosial sebagai ajarannya.

Pembaharuan Norma-Norma Adat dan Nilai-Nilai Sosial Sebagai Ajarannya


Titik tolak ajaran Koyeidabaa adalah penggalian nilai-nilai sosial-budaya Mee, yang terkandung
dalam norma-norma adat sebagai petunjuk dan pedoman hidup, berdasarkan tiga semboyan hidup, yakni
dimigai, dou, dan ekowaii (orang berpikir terlebih dahulu, lalu melihat apa yang mau dicapai, baru
melaksanakan sesuatu yang mau dikerjakan).
Koyeidabaa menekankan pentingnya keterbukaan untuk saling menerima, melengkapi, serta
menghindari hal-hal yang berlawanan dengan norma-norma dan nilai-nilai yang bersifat destruktif. Norma
moral yang paling utama dalam tatanan hidup sosial yang disampaikan oleh Koyeidabaa, antara lain:
a. Mee tewagi (jangan membunuh orang) yang tidak bersalah tanpa alasan yang kuat dan dengan
kuasa manapun. Pada masa itu, hidup masyarakat diliputi nafsu untuk membalas dendam dengan
membunuh satu sama lain, hanya karena masalah sepele saja. Dalam hukum adat, Koyeidabaa
mengutuk keras si pembunuh bahwa dia akan mendapat resiko yang tinggi, misalnya akan celaka
atau berpikir tidak wajar selama sisa hidupnya.
b. Moge tetai (jangan berzinah). Tuntutan adat dalam budaya Mee, perbuatan zinah dilarang keras.
Koyeidabaa menegaskan agar, baik orang yang belum dan sudah kawin, tetaplah menjaga
kemurnian dan identitas diri sebagai manusia Mee.
c. Oma teyamoti (jangan mencuri). Koyeidabaa menegaskan kepada setiap orang Mee agar jangan
mencuri hak milik orang lain. Norma ini menegaskan pentingnya menghargai hak orang lain
karena mereka memperolehnya dari keringat karena bekerja keras.
d. Mekaagiyo kibigidimi teyagai (tidak boleh iri hati terhadap barang milik orang lain). Hukum
moral ini menegaskan agar setiap orang Mee untuk tidak mengingini barang milik orang lain.
Apabila orang Mee memiliki sikap iri hati, maka ia tidak akan tenang dalam hidupnya.
e. Puyamana tewegai (jangan menipu). Koyeidabaa menekankan dalam hukum adat untuk tidak
menipu orang lain. Dalam konteks ini, Koyeidabaa mengharapkan setiap orang untuk
mengatakan kebenaran, dan selalu didasari oleh pembuktian yang ada.

2.8.5 Konsep Kematian


Menurut keyakinan orang Mee, kematian wajar adalah kematian karena usia tua. Selanjutnya, arwah
orang yang meninggal itu akan bangkit dan pergi ke arah timur. Jika sebuah kematian bukan dikarenakan
usia tua, misalnya mati tiba-tiba dalam usia muda, digigit babi, tenggelam, jatuh dari pohon, terkubur di
tanah longsor, atau karena pelanggaran adat (dio-dou), disebut kematian tak wajar.
Jika kematian terjadi pada anak berusia 0-11 tahun, maka kematian itu disebabkan kesalahan
orangtua, sehingga ada pihak-pihak membalaskan dendam pada anaknya. Dan, jika anak itu sudah bisa
berjalan sendiri, kemungkinan lain adalah ia menginjak daerah yang dianggap keramat. Jika kematian terjadi
pada usia 12-25 tahun, dipercaya bahwa yang bersangkutan telah melanggar adat atau peraturan yang
mendarah-daging dan harus dipatuhi oleh masyarakat. Bentuk pelanggaran yang umumnya terjadi, misalnya:
berzinah, membunuh, dan mencuri.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor kematian. Adapun faktor-faktor itu, sebagai berikut :
a. Faktor dari dalam : maksudnya, kematian itu terjadi karena ulaha orang yang bersangkutan,
misalnya melanggar adat, menginjak tanah keramat. Jika kematian terjadi pada usia lanjut,
disebut kematian wajar.
b. Faktor dari luar
 Kematian karena kego tertentu : kego adalah tindakan jahat yang terjadi karena ulah orang
lain, biasanya balas dendam
 Kematian karena pembunuhan : dapat terjadi karena kesepakatan adat, misalnya karena
ada yang melakukan mogai (zinah), dan perang.
 Kematian karena roh jahat.

Penguburan
Sebelum dibawa ke tempat penguburan, mayat ditelanjangi dan dibungkus dengan noken dan daun-
daun tertentu sebaik mungkin, lalu mayat diarak ke pemakaman, biasanya pada cabang-cabang pohon,
lubang kayu, gua, atau pada lubang batu.
Dalam penguburan mayat, tersirat beberapa hal, yang paling dominan adalah perasaan kasih sayang
keluarga. Faktor lainnya, alasan kesehatan, agar mayat tidak dimakan hewan, dan mencegah penyakit
menular.
Kini, bila ada yang meninggal, mayat akan disemayamkan, namun sebelumnya dibungkus dengan
kain. Setelah itu, mayat dimasukkan dalam peti kayu, baru dikubur, di dalam tanah. Sebelum mayat ditutupi
dengan tanah, keluarga dan pelayat akan berdoa.

Peringatan Arwah
Dilaksanakan pada hari ke-7, untuk pria, dan hari ke-6, untuk wanita. Pada peringatan arwah, akan
disediakan lauk dari babi dan kus-kus, sayur-mayur, petatas, dan lain-lain. pada hari itu, semua orang dalam
kampung yang bersangkutan tidak boleh bekerja di kebun.
Tujuan dari peringatan arwah adalah perpisahan dengan “yang meninggal”, sebagai penangkis setan,
dan pernyataan terima kasih kepada orang-orang yang telah turut mengantar jenazah ke pemakaman.

Anda mungkin juga menyukai