Anda di halaman 1dari 7

Tarian ini merupakan salah satu tarian kebesaran masyarakat Maumere, Sikka , Nusa Tenggara

Timur (NTT). Namanya adalah Tari Hegong.

Apakah Tari Hegong itu?

Tari Hegong adalah salah satu tarian tradisional dari Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur
(NTT). tarian ini biasanya dimainkan secara berkelompok oleh penari pria dan wanita dengan
berpakaian adat yang khas dan diiringi dengan musik Gong Waning. Tari Hegong merupakan
salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal dan sering di tampilkan di berbagai acara seperti
acara adat, penyambutan tamu penting, kesenian daerah dan berbagai acara lainnya.

Asal Mula Tari Hegong

Tari Hegong ini merupakan salah satu tarian kebesaran masyarakat Maumere di Kabupaten
Sikka, Nusa Tenggara Timur. sejarah tentang Tari Hegong ini masih belum diketahui secara
pasti, namun beberapa sumber mengatakan bahwa tarian ini awalnya merupakan tarian adat dan
sering ditampilkan di upacara-upacara adat masyarakat Maumere. Selain itu tarian ini juga
digunakan sebagai tarian penyambutan tamu penting yang datang kesana.

Pertunjukan Tari Hegong

Tari Hegong ini biasanya dimainkan oleh kurang lebih 6 sampai 10 orang penari, baik penari pria
maupun wanita dan satu orang sebagai pemimpin tarian di posisi paling depan. Dalam tarian ini,
para penari dilengkapi dengan ikun, lesu, dan reng sebagai atribut menarinya. Ikun merupakan
senjata seperti pisau yang terbuat dari kayu dan dihiasi dengan ekor kuda. Lesu merupakan
sejenis sapu tangan yang digunakan sebagai pelengkap gerakan tangan para penari. Sedangkan
Reng adalah sejenis gelang kaki yang dilengkapi dengan kelinting.

Dalam pertunjukan Tari Hegong biasanya terdapat empat babak. Pada babak pertama, para
penari wanita memasuki arena dengan diiringi musik Gong Waning, kemudian di ikuti oleh
penari pria sambil memewang parang/porong. Pada babak tersebut para penari menari dengan
irama cepat dengan gerakan Pledong wa’in atau sentakan kaki.

Pada babak kedua, penari pria dan wanita membentuk lingkaran dimana para penari mengelilingi
penari wanita. Lalu pada babak ketiga, para penari melakukan gerakan bebas. Biasanya dalam
babak ke tiga ini merupakan gerakan kreasi yang dipadukan dengan irama musik Gong Waning.
Kemudian pada babak terakhir, para penari kembali membentuk lingkaran dan sebagai penutup,
salah satu penari diangkat keatas dengan menggunakan sebatang bambu.

Makna Dalam Pertunjukan Tari Hegong

Setiap gerakan dan babak yang ditampilkan dalam Tari Hegong ini tentu memiliki arti atau
makna tersendiri. Hal tersebut bisa kita lihat dari pertunjukannya. Pada babak pertama dibuka
dengan gerakan berirama cepat dan sentakan kaki, menggambarkan semangat para penari. pada
babak kedua, para penari membuat lingkaran dimana penari wanita dikelilingi penari pria,
menggambarkan jiwa kaum lelaki dalam mempertahankan dan melindungi kaum wanita.

Pada babak ke tiga biasanya merupaka gerakan kreasi yang menggambarkan kerjasama antara
pria dan wanita. Sedangkan pada babak akhir, salah seorang penari pria diangkat keatas
menggambarkan bahwa di sedang memantau musuh atau lawan dan penari yang dibawah
menggambarkan kesiagaan mereka dalam menghadapi serangan.

Pengiring Tari Hegong

Dalam pertunjukan Tari Hegong ini biasanya diiringi oleh iringan musik Gong Waning. Gong
Waning ini merupakan alat musik tradisional khas masyarakat Sikka yang terdiri dari gendang
yang disebut dengan Waning, Wong dan Peli anak. Pada instrument waning sendiri terdiri dari
gendang besar dan gendang kecil disebut Dodor. Pada instrument gong terdiri dari Gong Ina
Wa’a, Gong Ina Depo, Gong Lepe, Gong Higo Hagong, dan Gong Udong. Sedangkan peli anak
sendiri merupakan sepotong bambu yang digunakan untuk menstabilkan irama pukulan Gong
Waning. Musik Gong Waning ini bisa menghasilkan beberapa jenis irama musik, salah satu
irama yang biasa dimainkan untuk mengiringi Tari Hegong adalah irama Badu Blabat.

Kostum Tari Hegong

Pada pertunjukan Tari Hegong ini biasanya penari menggunakan kostum pakaian adat. Pada
penari wanita menggunakan busana seperti Labu Gate, Utan dan Dong warna-warni. Pada
bagian rambut dibuat Legen dan ditambahkan Hegin untuk memperkuat lingkaran rambut serta
diberi hiasan Soking. Tidak lupa menggunakan Gelang Gading pada pergelangan tangan mereka.

Sedangkan untuk penari pria biasanya menggunakan busana seperti Lipa Prenggi atau Lipa
Mitan dan tenun ikat khas Sikka. Selain itu pada bagian kepala menggunakan pengikat kepala
yang disebut dengan Lesu Widin Telun. Dan tidak lupa, para penari baik pria maupun wanita
dilengkapi dengan Ikun, Lesu dan Reng sebagi perlengkapan menarinya.

Perkembangan Tari Hegong

Tari Hegong merupakan salah satu tarian kebesaran masyarkat Sikka yang masih hidup hingga
sekarang. Dalam perkembangannya, tarian ini masih terus dilestarikan dan dikembangkan oleh
masyarakat di sana. Berbagai kreasi dan variasi juga sering ditambahkan di setiap
pertunjukannya, baik dalam segi gerak, formasi dan musik pengiringnya, namun tidak
menginggalkan ciri khas tarian tersebut. Tarian ini juga tidak hanya ditampilkan untuk acara adat
saja, namun juga ditampilkan di berbagai acara seperti festival budaya dan pertunjukan seni yang
diadakan di tingkat daerah, nasional, bahkan internasional.

Tua Reta Loù, Taktik Mengintai Musuh ala


Orang Hewokloang
Redaksi-SOSBUD-954 views

Tarian Tua Reta Lo'u (Sanggar Bliran Sina Watublapi)

Oleh, Roby Kristian

Tua reta loù adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari kampung Hewokloang –
Seusina raya, meliputi kampung Hewokloang, He’o, dan Kewa — Kabupaten Sikka.
Tarian ini melambangkan jiwa ksatria dan mental pahlawan masyarakat “Hewokloang kuno”.
Tarian ini umumnya dibawakan oleh penari pria dan wanita dengan mengenakan busana perang
ala orang Hewokloang –busana ragi gaing–.

Diantara sekian banyaknya penari, ada satu orang penari pria yang dinilai paling kuat fisiknya
dan dianggap paling “jago” untuk memanjat dan merebahkan dirinya diatas bambu dengan
ukuran tingginya tujuh sampai Sembilan ruas. Tarian ini biasanya dipentaskan oleh orang
Hewokloang dalam berbagai acara adat kematian, maupun festival kebudayaan.

Tarian ini awalnya dipentaskan oleh masyarakat tana uta Hewokloang, khususnya panglima
perang dan para prajurutnya setelah pulang dari medan pertempuran. Berdasarkan sejarah lisan
yang dituturkan, Hewokloang pada zaman dahulu sering berperang dengan suku/kampung
tetangga. Perang yang sangat terkenal dan masih menjadi cerita turun temurun adalah nuhu Rohe
(perang dengan orang dari kampung Rohe).

Setiap pulang dari medan perang, masyarakat Hewokloang merayakan kemenangan, artinya
mereka bangga karena telah berhasil melumpuhkan kekuatan lawan.

Awal mulanya tua reta loù dipertunjukan ketika para ksatria dan panglima perang kembali dari
medan pertempuran. Karena saking bahagianya kemenangan itupun dirayakan dengan pesta pora
“blebuk-gewong”, yang artinya kemeriahan pesta dengan musik dan tarian. Salah seorang
prajurit perang secara spontan mendemonstrasikan segala macam gaya gerak dan taktik saat
mereka berhadapan langsung dengan musuh dimedan perang.

Tarian tua reta lou menjadi gambaran singkat dimana seorang prajurit yang paling tangguh
mempertontonkan kepada rakyat cara untuk mengintai musuh dari atas ketinggian. Pada intinya,
bambu menjadi salah satu properti paling penting dalam tarian karena bambu menggambarkan
tempat yang tinggi.

Ilustrasi singkat pun dilakukan, mereka membayangkan segala macam situasi yang mereka alami
ketika bergulat dengan musuh di area peperangan. Ketika mereka berada dalam medan
pertempuran, para prajurit ini biasanya naik keatas pohon yang sangat tinggi, tidak bercabang
dan susah dijangkau oleh lawan.

Tujuannya naik keatas pohon, sebagai tempat persembunyian juga sebagai tempat untuk
memantau pergerakan lawan. Diatas pohon mereka dapat melihat kesegala sisi. Ketika ada
musuh yang mendekat atau berjalan kearah mereka, mereka dengan sigap mempersiapkan
peralatan perangnya. Tak jarang pula, musuh datang mendekat bahkan persis berdiri dibawah
pohon. Hal ini tentunya menjadi kesempatan emas bagi prajurit Hewokloang yang saat itu haus
akan darah, mereka dengan secepat kilat menarik busurnya, diarahkan kesasaran, anak panah pun
dihempas dengan bidikan mengenai target.

Menjadi suatu kebanggan yang sangat luar biasa apabila sang lawan tewas ditempat, lantas sang
prajurit Hewokloang pun dengan perkasa meneriakan semboyan kesaktiannya. “Aù oa ‘etan inu
mein, oa atang inu Klirang”, yang berarti aku menyantap dagingmu, aku meneguk darahmu,
akan kujadikan ini kisahku dan kubawakan dalam sejarah untuk anak cucuku.
Ketika perang berakhir para prajurit pun pulang ke kampung Hewokloang, mereka tak segan
membawa serta beberapa organ tubuh penting dari sang lawan yang telah tewas ditangannya.
Organ tubuh lawan yang mereka bawa pulang akan menjadi bukti bahwa mereka berhasil
menewaskan salah satu dari sekian banyak lawan yang mereka hadapi.

TARIAN GARENG LAMENG

Tari Gareng Lameng adalah tari tradisional dari Nusa Tenggara Timur yang dipertunjukkan saat upacara
khitanan. Tari ini berupa ucapan selamat juga mohon keberkahan kepada Tuhan supaya yang dikhitan
sehat dan sukses dalam menjalani hidup.

TARIAN BEBING

Maumere, Ekorantt.com – Festival Seni Budaya Kabupaten Sikka berlangsung di Pusat


Jajanan dan Cinderamata (PJC) Maumere, Flores, NTT, sejak Kamis hingga Sabtu, (14-
16/11,2019) malam.

Acara Festival Seni Budaya banyak menarik perhatian warga, tidak hanya warga sekitar PJC
Maumere, tetapi juga yang datang dari luar Maumere dan wisatawan asing.

Sejak dibuka Kamis malam oleh Wakil Bupati Sikka Romanus Woga, aneka pentas kesenian
khas kabupaten Sikka digelar dalam festival ini.

Di antara ragam kesenian yang digelar, satu kesenian sangat menarik perhatian banyak
pengunjung. Kesenian itu adalah tarian bebing. Tarian bebing ditampilkan saat acara pembukaan
Festival Seni dan Budaya Sikka.

Tarian bebing dari kampung Hokor, Desa Hokor, Kecamatan Bola adalah tarian yang
mengisahkan penyambutan para prajurit dari medan perang.

Menurut Yoseph Sugondo, salah satu penggarap tarian bebing, ada empat babak yang menyusun
keseluruhan tarian bebing.

Babak pertama adalah babak doa. Dalam babak ini, ada tiga unsur yang menjadi permohonan
masyarakat.

Pertama, permohonan kepada Allah sebagai penguasa jagat raya.

Kedua, permohonan kepada arwah leluhur untuk meminta dukungan agar dalam pertempuran,
para prajurit bisa mendapatkan kemenangan.
Ketiga adalah permohonan kepada alam. Doa diucapkan agar alam dapat menyatu dengan para
prajurit di medan pertempuran.

Keseluruhan babak pertama ini diiringi musik gong waning yang disebut ‘plahi’.

Babak kedua adalah babak pemilihan prajurit atau dalam bahasa Sikka disebut “li’i lahi”.

Dalam babak ini, hulu balang sebagai pemimpin pasukan akan memilih prajurit-prajurit terbaik
untuk turun ke medan pertempuran.

Babak ini diiringi dengan gong waning yaitu, “‘le’ wawa”.

Babak berikut adalah babak latihan. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, para prajurit
dilatih oleh hulu balang. Latihan dimaksudkan untuk mendapatkan prajurit-prajurit yang ampuh,
gagah berani dan siap turun ke medan perang. Prosesi latihan ini diiringi pukulan yang disebut
‘lawang’.

Babak yang berikut adalah babak pertempuran atau bebing yang menjadi inti dari seluruh cerita
tarian ini.

Setelah bebing, babak terakhir adalah babak kemenangan. Keseluruhan babak kemenangan
diiringi oleh pukulan gong waning yang disebut boka atau pekikan kemenangan.

Ada pun atribut-atribut kostum yang dikenakan oleh prajurit anntara lain, topi hulu balang yang
disebut ‘lado’. Lado menandakan pemimpin pasukan yang gagah berani yang siap memimpin di
medan pertempuran. Selain lado, ada juga kalung di dada sang hulu balang yang kerap dikenal
dengan istilah ‘wuli’.

“Setiap pernak pernik yang ada di kalung itu menandakan satu kemenangan. Banyaknya wuli
atau pernak pernik yang ada di kalung itu menandakan banyaknya pertempuran yang sudah
dimenangkan,” ujar Sugondo.

Ada juga secarik daun lontar dalam atribut hulu balang. Daun lontar itu adalah penanggalan.

“Zaman dahulu belum ada kalender. Setiap helaian yang diikat di daun lontar itu menandakan
hari dimana pecahnya perang. Setiap hari, helaian daun lontar dilepas satu sampai dengan
selesai. Saat selesai, itulah waktunya para prajurit harus bertempur di medan perang,” tuturnya.

Yoseph Sugondo percaya bahwa nilai dari tarian bebing masih relevan sampai saat ini.

“Sebagai umat sikka, peperangan kita tidak berakhir di zaman dahulu. Hari ini kita masih
berperang melawan segala yang menghalangi kemajuan nian tana Sikka,” tutupnya.

Wakil Bupati Sikka, Romanus Woga berharap Festival Seni dan Budaya Sikka ini digelar secara
rutin. Selain untuk melestarikan budaya, festival ini juga diharapkan bisa menambah jumlah
wisatawan di Kabupaten Sikka dari tahun ke tahun.

Anda mungkin juga menyukai