Anda di halaman 1dari 17

UPAYA PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Rama Ardiansyah1

1
Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

E-mail: ardiansyahrama0812@gmail.com

ABSTRACT
The government has an obligation to realize citizens' rights to education to
determine the future quality of life of the nation. Education is a strong foundation that is
needed to achieve the progress of the nation and is needed in every process as a preventive
step in dealing with the times that are of concern, especially how to provide such access.
The causes of the low quality of education in Indonesia include problems of effectiveness,
efficiency, and standardization of education. Monetary or financial factors cause factors
that affect this inequality because the Government does as an effort to equalize education
in Indonesia through education programs such as the zoning system, Smart Indonesia
Card (KIP), Curriculum Innovation, and Use of the State Budget.

Keywords: education, equal distribution of education, efforts to equalize education

ABSTRAK
Pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak warga negara atas
pendidikan guna menentukan kualitas hidup bangsa di masa depan. Pendidikan
merupakan pondasi yang kuat yang diperlukan untuk mencapai kemajuan bangsa dan
diperlukan dalam setiap prosesnya sebagai langkah preventif dalam menghadapi
perkembangan zaman yang menjadi perhatian khususnya bagaimana memberikan akses
tersebut. Penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia antara lain masalah
efektivitas, efisiensi dan standardisasi pendidikan. Faktor yang mempengaruhi
ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor moneter atau finansial. Oleh karena yang
dilakukan Pemerintah sebagai upaya pemerataan pendidikan di Indonesia melalui
program pendidikan seperti sistem zonasi, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Inovasi
Kurikulum, Penggunaan APBN.

Kata Kunci: pendidikan, pemerataan pendidikan, upaya pemerataan pendidikan

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan bagian integral dari pembangunan. Proses pembentukan
tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Kelangsungan hidup dan
kemajuan suatu bangsa, terutama negara berkembang, sangat bergantung pada
pendidikannya. Hal ini membuat peran pendidikan begitu penting bagi semua negara.
Sebagai warga negara Indonesia, menurut UUD 1945, pendidikan adalah hak setiap
bangsa. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mewujudkan hak warga negara atas
pendidikan guna menentukan kualitas hidup bangsa di masa depan. Pendidikan
merupakan pondasi yang kuat yang diperlukan untuk mencapai kemajuan bangsa dan
diperlukan dalam setiap prosesnya sebagai langkah preventif dalam menghadapi
perkembangan zaman yang menjadi perhatian khususnya bagaimana memberikan akses
tersebut. Akses yang sama terhadap pendidikan memiliki dua dimensi yang perlu
diperhatikan. Yaitu kesetaraan kesempatan pendidikan – akses ke pendidikan yang
menguntungkan semua penduduk usia sekolah. Kedua, pemerataan akses pendidikan di
masyarakat, yaitu pemerataan pendidikan antar suku, agama, dan golongan. Dalam
menegakkan pemerataan pendidikan, kita menemukan bahwa sekolah-sekolah di kota-
kota besar memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang sangat maju, sedangkan desa
dan daerah terpencil mengandalkan sarana dan prasarana ad hoc. Sarana dan prasarana
merupakan salah satu sumber daya terpenting yang menunjang proses pembelajaran di
sekolah, dan pengelolaan sarana dan prasarana sekolah yang baik dapat meningkatkan
mutu pendidikan. Faktanya, masalah ini tidak hanya di desa, tetapi juga di perkotaan, di
mana sistem pendidikan tidak merata.
Adanya masalah tersebut perlu adanya peningkatan cakupan pendidikan, terutama
bagi masyarakat yang kurang mampu dan terpencil. Meskipun program pemerintah terus
mengalami kemajuan sejak pemerataan program pendidikan dasar dimulai pada tahun
1884, pada tahun 1994 program wajib belajar sembilan tahun diperkenalkan, lanjutan dari
program wajib belajar enam tahun.Penawaran Program Beasiswa Selanjutnya. Salah
satunya adalah partisipasi masyarakat yang dibiayai oleh Gerakan Nasional Asuh,
dilanjutkan dengan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dll. Orang tua asuh,
kemudian masuk ke dana bantuan operasional sekolah (BOS). Maka dari itu, perlu adanya
kajian dengan judul “Upaya Pemerataan Pendidikan di Indonesia”.

METODE
Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif induktif.
Pendekatan ini menggunakan metode kualitatif yang menitikberatkan pada penelitian
kepustakaan atau library research. Tujuan artikel ini adalah untuk mengkaji data melalui
buku-buku referensi dan jurnal penelitian serta sekaligus melakukan analisis. Sumber
data berasal dari referensi dari buku, jurnal, dan penelitian terkait. Teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah studi kepustakaan, studi buku ahli, dan jurnal ilmiah yang
relevan. Menurut metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai
berikut.
1. Data yang diperoleh akan dianalisis pada langkah-langkah berikut. dari sumber
datanya.
2. Penyajian data berupa penyajian sekumpulan informasi yang terstruktur untuk
memberikan kesempatan menarik kesimpulan.
3. Untuk menarik kesimpulan atau mengkaji data penelitian.
Analisis data dilakukan dengan mencari, mengumpulkan dan membandingkan
secara kualitatif berbagai wawasan yang diperoleh. Temuan penelitian ini dilakukan
secara komprehensif dan berkaitan dengan berbagai konsep dan studi literatur yang
relevan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mendemonstrasikan dan mengenali
berbagai upaya pemerataan pendidikan di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menciptakan lingkungan dan proses belajar
bagi peserta didik untuk secara aktif mengembangkan kekuatan mental keagamaan,
kedisiplinan diri, budi pekerti, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan bagi dirinya dan masyarakat, serta upaya yang terencana. (Rizki, 2013). Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(selanjutnya ditulis UU Sisdiknas) menyatakan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan sengaja untuk menciptakan lingkungan dan
proses belajar yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memperoleh kekuatan agama, disiplin diri, akhlak, kecerdasan, akhlak
mulia, dan kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat, bangsa, dan negara”.
Dalam pengertian yang lebih sederhana dan lebih umum, pendidikan adalah usaha
manusia untuk mengembangkan dan mengembangkan potensi bawaan seseorang, lahir
dan batin, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan budaya. Pendidikan
yang baik bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi
sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mutlak tidak mungkin suatu kelompok masyarakat
dapat hidup dan berkembang sesuai dengan cita-cita (cita-citanya) agar dapat maju,
sejahtera, dan bahagia konsep hidupnya. Secara umum, tujuan pendidikan adalah untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Secara khusus, tujuan pendiidkan
(Hakim, 2016) adalah untuk:
1. Meningkatkan keterlibatan, kualitas, keahlian dan keterampilan
2. Menciptakan kesamaan pikiran.
3. Penciptaan dan pengembangan metode identifikasi yang lebih baik.
4. Pengembangan masyarakat.
Misi pendidikan mendukung pembangunan nasional dalam arti yang seluas-
luasnya, yaitu menghasilkan tenaga pembangunan yang terampil dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam menjawab kebutuhan pembangunan, sedangkan proses
pendidikan pada hakekatnya adalah proses pemberdayaan, suatu proses yang
mengungkapkan potensi manusia untuk eksis sebagai individu yang dapat berkontribusi
dalam pemberdayaan masyarakat dan bangsanya.

Penyebab Rendahnya Pendidikan


Sebagai sebuah sistem, permasalahan yang muncul dalam sistem pendidikan
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang membentuk sistem pendidikan itu sendiri. Faktor-
faktor tersebut adalah guru, siswa, kurikulum, metode, sarana dan prasarana, dan bahan
ajar. Faktor eksternal seperti tuntutan masyarakat dan pengambil kebijakan pendidikan
formal (mulai dari rumusan GBHN hingga arahan teknis pelaksanaan kurikulum) juga
turut berperan dalam munculnya permasalahan di atas (Lestari, 2020). Penyebab
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia antara lain masalah efektivitas, efisiensi dan
standardisasi pendidikan. Hal ini masih menjadi masalah dalam pendidikan Indonesia
pada umumnya. Isu-isu khusus dalam pendidikan (Rizki, 2013) meliputi kesenjangan
antara institusi perkotaan dan pedesaan, loyalitas dan pengabdian guru rendah, prestasi
siswa rendah, prevalensi peristiwa yang melibatkan siswa, kebutuhan pendidikan dan
relevansi rendah, dan biaya pendidikan yang tinggi.
Masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pendidikan, (Al-Jawi, 2006) sebagai berikut.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Sebagai contoh, banyak sekolah dan perguruan tinggi kita yang mengalami
kerusakan gedung, kepemilikan dan pemanfaatan media pembelajaran yang
rendah, dan buku perpustakaan yang tidak lengkap. Laboratorium tidak standar,
tetapi penggunaan teknologi informasi tidak tepat. Bahkan masih banyak sekolah
yang belum memiliki gedung, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain.
2. Rendahnya Kualitas Guru Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.
Sebagian besar guru memiliki profesionalisme yang memadai untuk
memenuhi kewajibannya berdasarkan Pasal 39 UU No 20/2003, yaitu
perencanaan pembelajaran, pengajaran, evaluasi hasil belajar, pendampingan,
pelatihan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, saya belum
memilikinya. Selain itu, beberapa guru di Indonesia telah dinyatakan tidak
memenuhi syarat untuk mengajar. Berikut persentase guru menurut kualifikasi
guru di berbagai satuan pengajaran dari tahun 2002 hingga 2003: 21,07%
(nasional) dan 28,94% (swasta) di sekolah dasar di mana orang hanya memenuhi
syarat untuk mengajar, 54,12% (nasional) dan 60, 99% (swasta) di Realschule,
65,29% (umum) dan 64,73% (umum) di SMA swasta), 55,49% (negeri) dan
58,26% (swasta) untuk SMK yang memiliki izin mengajar. Kelayakan mengajar
jelas berkaitan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Departemen Riset
dan Pengembangan Depdiknas (1998) menunjukkan bahwa hanya 13,8% dari
sekitar 1,2 juta guru SD/MI yang berpendidikan diploma D2 atau lebih tinggi.
Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SMP/MTs, hanya 38,8% yang berpendidikan
diploma D3 atau lebih tinggi. Di tingkat sekolah menengah, hanya 57,8% dari
337.503 guru yang memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi. Di tingkat universitas,
hanya 18,86% dari 181.544 dosen yang bergelar master atau lebih (3,48
mahasiswa PhD). Guru dan pelatih bukan satu-satunya penentu keberhasilan
pendidikan, tetapi karena pendidikan adalah pusat pendidikan dan kualifikasi,
guru, sebagai cermin kualitas, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
kualitas pendidikan yang bertanggung jawab. Rendahnya kualitas guru dan dosen
juga dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kepedulian guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer
di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu,
terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang
mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek,
pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya
(Republika, 13 Juli, 2005). Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali
kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah
memberikan jaminan kelayakan hidup. Pasal ini menyatakan bahwa guru dan
instruktur memperoleh penghasilan yang wajar dan layak, termasuk gaji pokok,
gaji tambahan, tunjangan profesi dan/atau khusus, serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Orang-orang yang telah ditunjuk sebagai daerah
khusus oleh pemerintah kota juga dapat pindah ke perumahan umum. Namun,
kesenjangan kebahagiaan antara guru swasta dan negeri telah muncul sebagai
masalah lain. Di lingkungan pendidikan swasta, masih sulit untuk membawa
masalah kesejahteraan ke tingkat yang ideal.. Diberitakan Pikiran Rakyat 9
Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dalam keadaan seperti ini (kualitas fisik yang buruk, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru), kinerja siswa menjadi tidak memuaskan. Sebagai contoh,
prestasi siswa Indonesia dalam bidang fisika dan matematika sangat rendah di
dunia internasional. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS)
2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam
hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi
sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan
Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Dalam hal prestasi, 15
September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga
telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di
seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report
2004. Dalam laporan tahunan ini, Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari
177 negara. Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia jauh tertinggal.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement)
di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD
berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5
(Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia). Anak-anak di Indonesia baru menguasai 30.000 bacaan dan sangat
sulit menjawab pertanyaan deskriptif yang membutuhkan penalaran. Ini mungkin
karena kita sudah terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Menurut hasil survei The Third International Mathematical and Science Study-
Repeat (TIMSS), 1999 (IEA, 1999), di antara 38 negara peserta, siswa SMP
Indonesia menduduki peringkat 32 sains dan 32 matematika. Di dunia pendidikan
tinggi, dari 77 perguruan tinggi yang disurvei di kawasan Asia-Pasifik, empat
besar perguruan tinggi Indonesia hanya menempati peringkat 61, 68, 73 dan 75
menurut Asia Week.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan untuk mengenyam pendidikan tingkat sekolah dasar masih terbatas.
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal
Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni
(APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni
Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Di sisi lain,
peluang pendidikan anak usia dini masih sangat terbatas. Kurangnya
perkembangan pada usia dini tentu menghambat perkembangan manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan
pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut 3.6.
Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan tersebut terlihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional pada tahun 1999, sekitar 3 juta anak putus sekolah setiap
tahun dan tidak mampu, yang menyebabkan masalah pekerjaan. Ketidaksesuaian
antara hasil pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja disebabkan kurikulum yang
kurang memiliki materi praktis tentang keterampilan yang dibutuhkan untuk
memasuki dunia kerja.
6. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan yang baik membutuhkan biaya. Ungkapan ini seringkali dipandang
sebagai pembenaran atas mahalnya biaya yang harus ditanggung masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan, sehingga masyarakat terpaksa harus bersekolah.
Orang miskin tidak bisa sekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk
TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000.
Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai
Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Mahalnya biaya pendidikan saat ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Bahkan, MBS Indonesia dimaknai sebagai upaya penggalangan dana. Oleh karena
itu, pengurus MBS, Dewan Pendidikan/Dewan Pendidikan, harus selalu memiliki
unsur kewirausahaan. Premisnya adalah pengusaha memiliki akses permodalan
yang lebih luas. Akibatnya, setelah pembentukan dewan sekolah, semua biaya
selalu berkedok "sebagaimana ditentukan oleh dewan sekolah". Namun, pada
tataran implementasi, hal ini tidak transparan karena administrator dan dewan
sekolah terpilih adalah orang-orang yang dekat dengan kepala sekolah.
Akibatnya, dewan sekolah hanya legitimasi kebijakan kepala sekolah, dan MBS
adalah legitimasi yang melepaskan negara dari tanggung jawab atas masalah
pendidikan penduduknya. Keadaan ini diperparah dengan adanya Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Jelas, perubahan status
pendidikan dari kepemilikan publik menjadi badan hukum memiliki implikasi
ekonomi dan politik yang sangat besar. Perubahan status memungkinkan
pemerintah dengan mudah mengalihkan tanggung jawab mendidik warga negara
kepada pemilik badan hukum yang jumlahnya tidak diketahui. Perguruan Tinggi
Negeri juga diubah menjadi Badan Usaha Milik Negara (BHMN). Munculnya
BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang
kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan
di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran
negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan
untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40
persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi
pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar Dari APBN 2005
hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana
untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana pemerintah untuk memprivatisasi pendidikan
dibenarkan oleh sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-Undang Perusahaan Pendidikan, Rancangan
Keputusan (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang
Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam
Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa
dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan demikian, sekolah memiliki
otonomi untuk mengatur sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Tentu saja,
sekolah membebankan biaya yang setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
menjaga kualitas. Akibatnya, akses masyarakat miskin terhadap pendidikan
berkualitas terbatas dan masyarakat semakin terbagi menjadi kaya dan miskin
berdasarkan status sosial. Ekonom Revrisond Bawsir mengatakan hal yang sama.
Menurutnya, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalis global yang telah
lama direncanakan oleh negara-negara donor melalui Bank Dunia. Melalui
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kemudian menjadi Satuan
Hukum Pendidikan (BHP) dan harus mencari sumber pendanaan sendiri. Ini
berlaku untuk semua sekolah umum, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Beberapa PTN yang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) telah menjadi bencana bagi individu tertentu. Jika alasannya karena
pendidikan berkualitas itu mahal, maka argumen ini unik di Indonesia. Jerman,
Prancis, Belanda, dan negara berkembang lainnya memiliki banyak universitas
yang bagus, tetapi dengan biaya kuliah yang rendah. Bahkan, beberapa negara
memiliki biaya pendidikan nol.

Manajemen Pendidikan
Manajemen berasal dari kata “manus” yang berarti “tangan” dan berarti
mengolah, mengatur dan berbuat sesuka hati, dengan menggunakan segala sumber daya
yang ada. Menurut Donnely Gibson dan Ivancevich (1971:4), manajemen adalah proses
dimana individu dan kelompok dikoordinasikan untuk mencapai tujuan bersama.
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani “educare” yang berarti membawa keluar yang
tersimpan, untuk di tuntut agar tumbuh dan berkembang. Dan dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah “tarbiyah”, berasal dari kata “raba-yarbu” yang berarti mengembang,
tumbuh. Menurut Ivan Illich, pendidikan adalah pengalaman belajar sepanjang hayat
dalam setting apapun. Dengan mudah dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan
adalah bidang studi dan praktik yang berkaitan dengan organisasi pendidikan. Melalui
kegiatan manajemen pendidikan ini diharapkan tujuan pendidikan dapat terlaksana secara
efektif dan efisien. Kamus Belanda-Indonesia Manajemen Pendidikan menyebutkan
bahwa istilah manajemen berasal dari kata “administrasi” yang berarti pengelolaan
(Fardiansyah et al., 2022).

Pemerataan Pendidikan
Pemerataan dalam pendidikan mencakup dua aspek penting, yaitu persamaan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keadilan dalam memperoleh pendidikan
yang sama dalam masyarakat. Akses yang sama terhadap pendidikan berarti bahwa semua
penduduk usia sekolah memiliki akses ke pendidikan, tetapi jika semua kelompok
memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, akses terhadap pendidikan adalah adil.
Pendidikan yang sama penting dan seharusnya tidak hanya untuk akses pendidikan, tetapi
juga untuk diperlakukan sama setelah lulus agar mereka dapat dididik dan berkembang
secara akademis secara optimal (Risna et al., 2020)
Pada tingkat pendidikan formal formal pada umumnya, perluasan akses
pendidikan dan peningkatan pemerataan pendidikan masih menjadi isu utama. Dalam hal
ini, anak yang membutuhkan pengasuhan khusus (children with special needs) belum
mendapatkan pendidikan yang memadai, termasuk pendidikan dasar. Anak-anak yang
termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang memiliki potensi fisik, emosional,
mental, sosial dan/atau intelektual dan bakat khusus yang merupakan kebijakan publik
yang dilaksanakan oleh kedua pemerintah daerah. Perluasan dan pemerataan pendidikan
adalah sinonim yang artinya hampir sama. Perluasan pendidikan menyoroti bagaimana
pemerintah bermaksud menyediakan sarana dan prasarana pendidikan, dan penyediaan
sarana dan prasarana tersebut menjangkau setiap pelosok nusantara dan pelosok.
Pendidikan yang setara berimplikasi pada upaya pemerintah untuk menjamin pemerataan
akses pendidikan bagi semua. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara kaya dan
miskin, kota dan negara (Hakim, 2016)

Faktor yang Mempengaruhi Ketidakmerataan Pendidikan di Indonesia


Faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor moneter
atau finansial. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula biaya yang
dikeluarkan oleh individu. Indonesia adalah negara berkembang dan kebanyakan orang
menjalani kehidupan di bawah standar. Orang berpikir bahwa pergi ke sekolah jauh lebih
penting daripada membuang-buang uang. Selain itu, meskipun biaya pendidikan di
Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain, beberapa jenjang pendidikan
dibebaskan dari biaya pendidikan. Isu-isu ini termasuk keterbatasan kapasitas, kerusakan
infrastruktur, kekurangan guru, proses pembelajaran tradisional, dan keterbatasan
anggaran. Ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi pendidikan bagi masyarakat
miskin (Rizki, 2013).

PEMBAHASAN
Sistem Zonasi
Program zonasi memberi setiap siswa kesempatan untuk mengenyam pendidikan
di mana saja tanpa adanya batasan. Semua siswa menerima bagian biaya mereka di mana
pun mereka tinggal. Tantangan berikutnya adalah bagaimana sekolah dapat bersaing
untuk meningkatkan kualitas sekolah staf lokal. Sekolah perlu mampu menghasilkan
pembelajaran yang kompetitif dan mengayomi agar tercipta lingkungan belajar yang baik
(Safarah & Wibowo, 2018). Program zonasi ini juga memberikan berbagai manfaat bagi
siswa (Risna et al., 2020) antara lain:
1. Dengan adanya kebijakan sekolah sistem zonasi ini, memungkinkan siswa
berangkat menggunakan sepeda dan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi
terlalu banyak. Siswa juga diharapkan tidak datang terlambat ke sekolah karena
dekat dengan rumah dan terkena macet sehingga siswa masih fresh ketika
menerima pelajaran.
2. Menghemat waktu sehingga tidak lagi keteteran. Para orangtua dan juga siswa
merasa semakin mudah mendatangi sekolah karena tidak terlalu jauh dari sekolah
sehingga orangtua lebih mudah dalam mengontrol anak-anaknya ketika berada di
sekolah. Siswa siswi pun semakin aktif mengikuti berbagai ekstrakurikuler.
3. Pemberlakuan kebijakan bersekolah di area tempat tinggal juga dipercaya dapat
lebih meningkatkan kualitas akademik dari siswa-siswi, hal ini dikarenakan oleh
berkurangnya intensitas gangguan dari lingkungan luar yang dipercaya sedikit
banyak dapat memberikan dampak negatif bagi akademik siswa. Dengan adanya
penerapan sistem zonasi ini dapat menyediakan ruang pengawasan bagi setiap
orangtua kepada anaknya pasca kegiatan kegiatan belajar mengajar di sekolat
telah selesai.
4. Pemerintah pasti akan memberikan pemerataan juga terhadap kualitas guru dan
perbaikan sarana prasarana. Sehingga nanti fasilitas sekolah akan sama. Guru
sekolah favorit akan dirotasi ke sekolah pinggiran, begitu juga untuk kepala
sekolah sehingga sekolah manapun sama saja.
5. Mampu meminimalkan adanya image sekolah favorit karena kebijakan sekolah
sistem zonasi ini memang bertujuan untuk menghapuskan “Kastanisasi” antar
sekolah sehingga dapat mengubah sikap mental serta persepsi masyarakat
mengenai anggapan adanya sekolah favorit dan sekolah non favorit.

KIP (Kartu Indonesia Pintar)


Pemberlakuan kebijakan Kartu Indonesia Pintar justru menciptakan siswa dari
keluarga kurang mampu dalam hal pembiayaan pendidikan. Dengan Kartu Indonesia
Pintar, siswa dapat berkembang dan jika uang sakunya menipis, mereka dapat mengisi
kembali uang sakunya untuk menutupi kekurangan perlengkapan sekolah. Dana Kartu
Indonesia Pintar bertujuan untuk mendanai pendidikan anak-anak dari keluarga miskin
dan kurang mampu, memastikan bahwa mereka bersekolah di sekolah yang layak seperti
anak-anak lainnya. Dana tersebut akan digunakan untuk membeli seragam sekolah, alat
tulis, uang saku, dan transportasi siswa dari dan ke sekolah (Septiani, 2019)

Inovasi Kurikulum
Kurikulum pendidikan didefinisikan secara sempit, mencakup program
pendidikan dan perangkatnya sebagai pedoman pelaksanaan dan pengajaran pendidikan
di sekolah. Oleh karenanya, kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian integral dari
proses belajar mengajar di sekolah, dan kurikulum memainkan peran yang sama dengan
elemen pendidikan lainnya dalam reformasi pendidikan. Tanpa kurikulum, tanpa
mengikuti program-program di dalamnya, reformasi pendidikan tidak akan berjalan
sesuai dengan tujuannya sendiri. Oleh karena itu, perubahan reformasi pendidikan harus
berbarengan dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum yang diikuti dengan
reformasi pendidikan. Untuk mendukung tercapainya pembentukan manusia Indonesia
baru yang diinginkan, disampaikan beberapa usulan perubahan yang pernah di sajikan
dalam seminar pendidikan (Lestari, 2020), meliputi:
1. Mengubah kebijakan pendidikan dan budaya oleh Departemen Pendidikan
Nasional bahwa pembangunan pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia
Indonesia yang memiliki kepribadian yang kuat dan pembangunannya secara
menyeluruh sesuai dengan kepentingan pribadi, masyarakat, dan bangsa,
memiliki kecerdasan global dan daya saing global.
2. Menanamkan proses belajar mengajar, khususnya pada jenjang pendidikan dasar
seperti sekolah dasar, dengan memberikan hak kepada anak untuk menjalani masa
kanak-kanak sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Anak-
anak harus didorong sejak dini untuk mengekspresikan diri secara kreatif, baik
secara lisan maupun tertulis, yang harus diukur dengan sifat perkembangan
potensi manusia yang mungkin tidak seragam karena perbedaan dalam Kualitas
mungkin sama, tetapi penampilan/kinerja mungkin berbeda.
Inovasi dalam kurikulum dan jenis pembelajaran digunakan untuk
mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan, pemerintah perlu terus melakukan
berbagai reformasi dan perbaikan di bidang pendidikan dan kurikulum. Berikut beberapa
pembaruan (inovasi) yang telah dilakukan:
1. Implementasi Kurikulum Sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun
2013, kurikulum Indonesia telah dikembangkan secara terpusat sejak lama, terdiri
dari kurikulum matriks sampai waktu distribusi. K13 merupakan kurikulum
operasional yang dirancang dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan.
Dilihat dari perubahan sistem manajemen kurikulum, pengenalan K13 merupakan
salah satu bentuk inovasi kurikulum di Indonesia.
2. Pelaksanaan Sekolah Menengah Terbuka (SLTPT) SLTPT terbuka meliputi
sekolah menengah yang kegiatan pembelajarannya secara tradisional dilakukan
terutama di luar gedung sekolah dan di mana pendidikan telah dilakukan dengan
menggunakan berbagai media atas nama pendidik dan guru. Ini termasuk
penggunaan paket pembelajaran modular dan penggunaan media elektronik
seperti radio. Open SLTPT bertujuan untuk mendorong pemerataan pendidikan.
Secara khusus menargetkan lulusan sekolah dasar yang melanjutkan pendidikan
tetapi tidak dapat mencapai tujuannya karena faktor ekonomi, sosial atau
geografis.
3. Pembelajaran Modular Pembelajaran modular merupakan salah satu bentuk
inovasi pendidikan yang ada di Indonesia dan biasanya digunakan dalam berbagai
kegiatan pendidikan formal maupun informal. Yang perlu dicapai adalah metode
pembelajaran, mata rantai pembelajaran atau mata rantai kegiatan pembelajaran
yang dilakukan siswa, mulai dari materi pembelajaran hingga penilaian, pedoman
yang digunakan untuk menilai keberhasilannya. Oleh karena itu siswa dapat
belajar secara mandiri melalui modul (belajar mandiri) tanpa bantuan guru.

Penggunaan APBN
Untuk mengikuti perkembangan dunia pendidikan, baik dari segi kualitas
pendidikan maupun alokasi anggaran dibandingkan negara lain, UUD 1945
mengamanatkan bahwa dana pendidikan, selain gaji guru dan biaya pendidikan
masyarakat, paling sedikit 20% dari penerimaan negara. wajib mendistribusikan.
Anggaran Alokasi Sektor Pendidikan (APBN) dan minimal 20% dari APBD. Dengan
semakin banyaknya alokasi anggaran pendidikan, diharapkan pembenahan sistem
pendidikan nasional terutama dengan memutakhirkan visi, misi dan strategi
pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan Nasional memiliki visi untuk
mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa yang
memungkinkan seluruh rakyat Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas.
“Dinyatakan bahwa Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi
pendidikan yang dianggarkan melalui Kementerian Negara/Lembaga, alokasi anggaran
pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui
pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik tetapi tidak termasuk anggaran
pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah (pasal 1 butir 48). Dengan demikian, jelaslah sudah penerima
manfaat anggaran pendidikan 20% adalah Pemerintah Pusat (19 K/L), Pemerintah Daerah
(Pemda Prov/Kab/kota, sebagai dana transfer), dan Lembaga Pengelola Dana
Pembiayaan/BLU (pengelola dana pembiayaan berupa Dana Pengembangan Pendidikan
Nasional/DPPN)”.
Dengan adanya anggaran untuk pendidikan diharapkan permasalahan pendidikan
yang terjadi di negara Indonesia khususnya permasalah pemerataan pendidikan untuk
masyarakat kurang mampu dapat teratasi. (Rizki, 2013)
KESIMPULAN
Pada dasarnya Pemerintah telah berupaya melakukan pemerataan pendidikan di
Indonesia yaitu melalui beberapa program speerti:
1. Sistem Zonasi, program zonasi memberi setiap siswa kesempatan untuk
mengenyam pendidikan di mana saja tanpa adanya batasan. Semua siswa
menerima bagian biaya mereka di mana pun mereka tinggal.
2. Kartu Indonesia Pintar (KIP), pemberlakuan kebijakan Kartu Indonesia Pintar
justru menciptakan siswa dari keluarga kurang mampu dalam hal pembiayaan
pendidikan.
3. Inovasi Kurikulum, tanpa kurikulum dan tanpa mengikuti program-program di
dalamnya, reformasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuannya
sendiri.
4. Penggunaan APBN, dengan semakin banyaknya alokasi anggaran pendidikan,
diharapkan pembenahan sistem pendidikan nasional terutama dengan
memutakhirkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jawi, M. S. (2006). Pendidikan di Indonesia: Masalah dan Solusinya. Makalah Dalam
Seminar Nasional Potret Pendidikan Indonesia: Antara Konsep Realiti Dan Solusi,
Diselenggarakan Oleh Forum Ukhwah Dan Studi Islam (FUSI) Universitas Negeri
Malang, 11(May 2006), 8.

Fardiansyah, H., Octavianus, S., Abduloh, A. Y., Ahyani, H., Hutagalung, H., Sianturi,
B. J., Situmeang, D., Nuriyati, T., Arifudin, O., Morad, A. M., Ahmad, D., Putri, D.
M., Lasmono, S., & Rini, P. P. (2022). Manajemen Pendidikan (E. Damayanti (ed.);
Juni, 2022). Widina Media Utama.

Hakim, L. (2016). Pemerataan akses pendidikan bagi rakyat sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[Improving access to education as mandated by Law No. 20, 2003 on National
Education System]. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 2(1), 53–
64. http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/edutech/article/view/575
Lestari, H. D. (2020). Pemerataan pendidikan dan pembaharuan pendidikan di indonesia.
Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Malang, 1(1), 1–10.

Risna, Lisdahlia, & Edi, S. (2020). Analisis Implementasi Kebijakan Zonasi Dalam
Pemerataan Pendidikan. Mappesona, 2(1), 1.
https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/viewFile/44799/28330

Rizki, N. F. (2013). Upaya Pemerataan Pendidikan Bagi Masyarakat Kurang Mampu.


PLS-UM, 1(1), 1–10. http://imadiklus.com/upaya-pemerataan-pendidikan-bagi-
masyarakat-kurang-mampu/

Safarah, A. A., & Wibowo, U. B. (2018). Program Zonasi Di Sekolah Dasar Sebagai
Upaya Pemerataan Kualitas Pendidikan Di Indonesia. Lentera Pendidikan : Jurnal
Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan, 21(2), 206. https://doi.org/10.24252/lp.2018v21n2i6

Septiani, A. R. (2019). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KARTU INDONESIA PINTAR


DALAM UPAYA PEMERATAAN PENDIDIKAN TAHUN PELAJARAN 2015/ 2016
DI SMP N 1 SEMIN - Lumbung Pustaka UNY. 21–27.

Anda mungkin juga menyukai