Anda di halaman 1dari 3

SUKU KAMORO

I Pendahuluan
1.1 Lokasi dan Lingkungan Alam
Kabupaten Mimika terdiri dari beberapa suku dan salah satu suku terbesarnya adalah suku
Kamoro. Luas kabupaten Mimika adalah 19.592 km2 atau 4,77% dari luas wilayah Propinsi Papua.
Kabupaten ini terletak antara 4.0300 LS-4.0400 LS dan 136.0360 BT-136.0480 BT. Keadaan geografis
Kabupaten Mimika sangat bervariasi dan didominasi oleh dataran rendah yang berawa-rawa yang
terletak di sebelah selatan dan pegunungan di sebelah utara.
Suku Kamoro, kini menetap di sebelah selatan Timika, di sekitar 60 km dari Timika. Suku asli
Kamoro berasal dari pulau Atuka, di bagian selatan Papua. Sebagian besar masyarakat Kamoro tinggal
dan mendiami wilayah pesisir pantai. Mereka hidup dan menetap di wilayah dataran rendah sehingga
kebudayaan mereka dikenal dengan kebudayaan dataran rendah (low land culture). Dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari, penduduk suku Kamoro lebih banyak mengambil sumber daya alam secara
langsung daripada mengusahakan dan mengolahnya terlebih dahulu.
Suku Kamoro sering menyebut diri mereka sebagai orang Mimika. Wilayah suku Kamoro
terbentang mulai dari desa Potowaiburu hingga Otokwa. Sejak zaman Perang Dunia II dan misi
Katolik, secara teritorial wilayahnya terbagi dalam dua bagian. Desa-desa yang terletak antara desa
Keakwa sampai Otokwa disebut Mimika Timur dengan ibukota kecamatan Mapuru Jaya. Desa-desa
yang bermukim antara desa Kokonao, Migiwiya, Mimika, Kiyuna sampai desa Potowaiburu disebut
Mimika Barat dengan ibukota kecamatan Kokonao. Suku Kamoro teletak di bagian tenggara dari suku
tetangga, Amungme dan bagian barat dari suku Asmat.

1.2 Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa


Secara etimologis, nama suku Kamoro berasal dari mitos Wua Nani. Dikisahkan, suatu hari
ditemukan sebutir telur yang kemudian menetas menjadi seekor komodo. Hewan ini melahap seluruh
penduduk kampung kecuali seorang ibu yang bernama Mbirokoteya yang sedang mengandung.
Mbirokoteya melahirkan seorang anak laki-laki yang ketika dewasa berhasil membunuh komodo
tersebut. Penggalan daging komodo tersebut kemudian dilemparkan ke dua penjuru mata angin.
Penggalan daging pertama dilemparkan ke arah timur sambil berteriak, umurumel. Bagian ini yang
akhirnya menjadi nenek moyang orang Asmat dan Merauke. Penggalan daging kedua dilemparkan ke
arah barat sambil berteriak, komorowe. Bagian inilah yang kemudian menjadi orang Komoro.

II Unsur-Unsur Kebudayaan
2.1 Sistem Bahasa
Dari segi bahasa, suku Kamoro memiliki kedekatan dengan suku Asmat. Penduduk suku Kamoro
memiliki satu bahasa yang digunakan bersama yaitu bahasa Kamoro.

2.2 Sistem Religi


Masyarakat suku Kamoro memiliki mitos-mitos tentang adanya kekuatan adikodrati yang
mengatasi segala manusia. Salah satu mitos yang terkenal dalam masyarakat suku Kamoro adalah
Uwao Nani. Selain itu, masyarakat suku Kamoro meyakini bahwa alam dan benda-benda yang ada di
sekitar mereka memiliki kekuatan gaib. Salah satu benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib adalah
patung mbitoro yang terbuat dari kayu. Mbitoro adalah arwah yang diberi wujud patung, berukiran
gambar tokoh-tokoh masyarakat atau para leluhur yang telah meninggal dunia.
Sejak kedatangan pihak luar dan para misionaris Katolik, agama menjad salah satu aspek yang
cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Perubahan besar-besaran terjadi pada tahun
1925 ketika sebuah pos pemerintah kolonial Belanda dan misi Katolik didirikan di Kokonao.
Terjadilah pemindahan kepercayaan dari animisme dan dinamisme menjadi Katolik.
Para misionaris Fransiskan yang datang tidak bermaksud untuk meghilangkan agama asli
masyarakat setempat namun mereka masuk melalui pintu budaya dan memberikan pemahaman yang
mendalam tentang kekuatan supranatural yang ada. Para misionaris mengarahkan masyarakat setempat
bahwa kekuatan supranatural adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian, pemikiran masyarakat setempat
menjadi terbuka dan mereka bisa menerima ajaran agama Katolik sampai sekarang.

2.3 Sistem Teknologi


Pada umumnya, masyarakat suku Kamoro menggunakan sistem teknologi yang sederhana.
Peralatan-peralatan yang mereka miliki pada umumnya berasal dari bambu, kayu-kayu yang keras,
kulit kerang, tulang binatang dan batu pasir. Untuk membuat ukiran-ukiran, mereka telah
menggunakan pahat dari besi. Mereka mendapatkan besi-besi dari pertukaran barang dengan
pedagang-pedagang Ternate-Tidore. Meskipun jalur tukar-menukar barang terus berlangsung dalam
kehidupan mereka namun mereka masih tetap menggunakan teknologi sederhana. Peralatan-peralatan
yang menjadi andalan dalam kehidupan masyarakat suku Kamoro adalah kapak, mata panah dan pisau.
Kebanyakan masyarakat Kamoro tinggal di wilayah pantai sehingga sangat bergantung pada hasil
tangkapan laut maupun sungai. Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, masyarakat suku
Kamoro menggunakan perahu lesung. Dengan sistem teknologi yang sederhana, mereka berusaha
untuk tetap mempertahankan hidup. Mereka hanya mengandalkan parang dan kapak dalam menangkap
ikan di rawa berlumpur yang ditumbuhi oleh pohon-pohon bakau.

2.4 Sistem Mata Pencaharian


Pada saat-saat tertentu, masyarakat suku Kamoro berpindah tempat tinggal sesuai kebutuhan.
Selain mencari ikan, masyarakat Kamoro membuka ladang baru untuk memenuhi kebutuhan. Tanaman
yang ditanam pada umumnya adalah petatas, ketela atau jagung. Di waktu tertentu, masyarakat
Kamoro, khususnya desa Pigapu, kerap mencari tambelo (ko, dalam bahasa Pigapu). Tambelo hidup di
pohon bakau yang telah tumbang dan dipercaya dapat menjadi obat yang bisa menyembuhkan berbagai
penyakit. Selain itu, sebagian masyarakat lainnya mencari sagu yang dikerjakan oleh sebuah keluarga
atau kelompok. Hal ini dikarenakan makanan pokok mereka adalah sagu. Suku Kamoro juga suka
berburu. Jenis hewan yang diburu antara lain babi liar, kasuari, kus-kus, buaya, kadal dan beragam
jenis burung.
Tugas utama kaum wanita adalah menjamin agar setiap hari ada bahan makanan untuk tiap kali
santap. Mereka juga bertugas untuk mencari kayu bakar, udang dan moluska. Sejumlah bangsa
gastropoda juga dikumpulkan untuk dimakan. Ada cukup banyak jenis crustacea (binatang berkulit
keras) yang ditangkap terutama kepiting bakau untuk dijadikan makanan dan sebagian untuk dijual.

2.5 Sistem Organisasi Sosial


Kekerabatan yang terjalin mengikuti hubungan darah dan perkawinan. Relasi dan interaksi sosial
yang merupakan ciri khas masyarakat pedesaan pun berlangsung antara tetangga terdekat dan lebih
berpusat pada keluarga inti. Aktivitas bersama dalam wujud keluarga besar sudah mulai ditinggalkan.
Proses akulturasi budaya, antara budaya lokal dan budaya luar, menjerumuskan para anak muda
lokal menjadi pemabuk dan pelacur. Lokalisasi WTS dan praktek prostitusi yang teroganisir maupun
tidak, memporak-porandakan perkembangan moral remaja setempat. Hal lain juga ialah bahwa
masyarakat suku Kamoro telah beradaptasi dengan perubahan politik dan ekonomi sejak abad ke-17.
Lembaga yang ada di lokasi pemukiman Timika yang sangat dominan adalah lembaga-lembaga
formal. Pemimpin informal atau pemimpin adat sama sekali tidak menunjukkan peranannya sebab
tidak banyak berarti dalam mengayomi masyarakatnya dalam menghadapi perubahan yang sama sekali
asing.
2.6 Sistem Kesenian
2.6.1 Seni Ukir
Salah satu hasil seni ukir yang terkenal dalam masyarakat suku Kamoro adalah tifa. Tifa dipakai
saat diadakan upacara-upacara adat seperti pada waktu pengumuman masal (emakatiri) dalam ritus
inisiasi (karapo) yang ditandai dengan acara baumeke/bake iri. Selain mengukir tifa, masyarakat suku
Kamoro juga terkenal dengan ukiran patung Bis. Bis adalah arwah yang diberi wujud patung karena
pada potongan kayu yang utuh itu diukir tokoh-tokoh masyarakat atau leluhur yang telah meninggal
dunia.

2.2.1 Seni Tari


Tarian dilakukan saat diadakan upacara tertentu terutama upacara tifa duduk. Biasanya tarian ini
ditampilkan pada saat ritus inisiasi (karapao), pada tahap akhir tapena (masa pembukaan pemisahan
inisiasi).
2.2.2 Seni Musik
Salah satu alat musik yang terkenal adalah tifa. Tifa berfungsi dalam upacara-upacara adat dan
penjemputan tamu. Tifa terbuat dari kayu, kulit buaya atau soa-soa dan tali pengikat.

2.2.3 Seni Menganyam


Salah satu seni menganyam yang terkenal adalah noken. Dahulu, noken terbuat dari kulit genemo,
daun kopa (ball) dan buah tinta (ilam). Namun kini, bahannya sudah diganti dengan benang sulam
yang berwarna-warni, kertas tebal dan kesumba. Noken yang sudah dianyam tersebut akan dipakai
dalam upacara adat perkawinan. Selain itu, noken juga berfungsi untuk menetralkan pengaruh-
pengaruh luar, dalam ritus mengisi barang-barang yang berharga, seperti makanan (baik yang sudah
masak maupun yang masih mentah), tembakau, daging, ikan, udang, petatas, buah-buahan dan sayur-
mayur.
Selain noken, ada juga cawat (tauri). Cawat terbuat dari kulit kayu yang dianyam dan berfungsi
sebagai alat penutup kelamin. Tradisi menganyam bambu juga sering dilakukan untuk menutup
dinding rumah, tempat duduk di lantai, meja dan loteng. Selain itu, tradisi menganyam bulu hewan
juga sering dilakukan. Hasilnya berfungsi untuk menghiasi badan pada saat acara adat, penghias noken
dan rumah.

................................................ Daniel Gobay ..............................................................

Anda mungkin juga menyukai