Anda di halaman 1dari 10

Mengenal Sejarah Suku "KAMORO"

A. Sejarah Suku "KAMORO"


Kabupaten Mimika awalnya bernama Kaukanao, yang mana kauka berarti
perempuan dan nao berarti bunuh. Munculnya kata Kaukanao sendiri berasal dari
Perang Hongi, dimana semua perempuan harus dibunuh.
Kabupaten ini dibentuk pada tanggal 8 Oktober 1996. Setelah selama tiga tahun
berstatus administratif. Mimika secara resmi menjadi kabupaten definitif pada awal
tahun 2000. Dengan perubahan ini maka Mimika diharapkan dapat tumbuh
berkembang dengan kekuatannya sendiri seperti daerah lainnya.
Sepanjang laporan penelitian para informan dan berbagai laporan, tidak ada arti
yang jelas mengenai kata Kamoro, namun berdasarkan cerita yang diperoleh bahwa
kata Kamoro berasal dari hewan atau binatang komodo. Oleh karena itu, menurut
masyarakat Kamoro, mereka berasal dari daging hewan yang dibunuh dan
dipenggal-penggal oleh nenek moyang mereka dan kemudian daging tersebut
berubah wujud menjadi orang Kamoro. Ada versi lain, hukum adat Kamoro mulanya
berasal dari Udik Sungai Kamoro, yang kemudian menyebar luas memenuhi
sepanjang pantai Barat Daya Irian Jaya, yaitu Potowaiburu hingga ke sungai Otakwa.
Asal-usul suku Kamoro memiliki cerita sendiri-sendiri dari tiap-tiap
kampung. Ada cerita yang sempat dicopy oleh Stefanus Rahangiar(1995), yaitu
salah seorang peneliti yang mengemukakan bahwa orang Kamoro berasal dari
komodo yang terletak di sungai Binar di bagian Timur daerah Mimika. Cerita ini
bermula dari, ditemukannya sebutir telur oleh seorang anak kecil di tepi pantai.
Kemudian sianak membawa kerumahnya. Telur tersebut tidak dimasak, tidak juga
dirusak, malahan sianak menyimpan dan merawatnya. Selang beberapa hari
kemudian telur tersebut menetas. Tetasan tersebut adalah seekor Komodo . Hari
kehari, komodo tersebut bertumbuh dan lama-kelaman menjadi besar dan dewasa.
Komodo yang besar tersebut, diluar dugaan memakan seluruh penduduk
dikampung tersebut, yang tersisa hanya seorang ibu yang tengah hamil.
Setelah penduduk itu habis dimakan, Komodo itu beristirahat di sebuah pulau
dengan Sungai Binar. Pada saat itu, Ibu tersebut melahirkan seorang anak laki-laki
yang segera tumbuh menjadi seorang pemuda yang dewasa. Di sini anak tersebut
mendengar cerita dari Ibunya tentang kejadian yang menimpa keluarganya. Maka
timbul niat dari anak ini untuk balas dendam. Ibu itu bernama Mbirokateya
sedangkan anaknya bernama Mbirokateyau. Dalam upaya membunuh hewan
Komodo, Mbirokateyau mendapat petunjuk dari para leluhurnya lewat mimpi. Mimpi
ini mulai dijalankannya dengan mendirikan empat buah rumah berturut-turut, dari
arah tepi pantai ke bagian darat. Rumah pertama(Kewa Kame), rumah kedua(Tauri
Kame), rumah ketiga(Kaware Kame) dan rumah keempat(Ema Kame). Rumah
keempat ditempati oleh Ibunya dan rumah pertama ditempati oleh sianak ini sambil
memukul tifa dan bernyanyi seakan-akan sedang berpesta. Hal ini dilakukan untuk
memberi perhatian kepada Komodo tersebut, yang menyangka bahwa tidak ada
manusia lagi disekitarnya. Situasi ini mengundang Komodo ini menyerang rumah
tersebut. Saat hewan itu memporak-porandakan rumah, maka peralatan yang
digunakan untuk menghujani tubuh hewanlah yang telah menyelamatkan sianak
dari rumah kedua sampai rumah keempat, dan akhirnya Komodo ini mati terimpa
alat-alat perang. Kemudian sianak memotong dagingnya menjadi empat bagian

dengan ukuran yang sama besar dan melemparkannya ke empat penjuru mata
angin. Lemparan pertama kebagian Timur sambil berkata Umuru we yang kemudian
dipercaya telah menjadi orang Asmat di Merauke. Lemparan kedua diarahkan
kebagian Barat sambil berkata Kamoro we dan akhirnya tercipta manusia suku
Kamoro. Lemparan ketiga ke arah Utara yang akhirnya tercipta orang pegunungan
dan lemparan keempat diarahkan ke bagian Selatan sambil berkata Semopano we,
yang akhirnya menjadi suku Sempan di Timika.
Ada juga cerita lain menurut Bapak Frans Moperteyau yang berasal dari Keakwa
yang menyatakan bahwa orang Kamoro mula-mula bertempat tinggal di pulau yang
bernama Nawapinaro yang terletak dibagian timur daerah Mimika. Suatu saat
dilaksanakan pesta adat Karapao adalah tauri yang merupakan pesta inisiasi bagi
anak-anak yang hendak memasuki masa remaja(dewasa). Menurut adat yang
mengikuti pesta harus memiliki orang tua dan sanak saudara sebagaimana syaratsyarat pesta adat tersebut. Daiantara orang-orang itu, ada 2 orang kaka beradik
yaitu Aweyau dan Mimiareyau, yang hidup dalam pemeliharaan wali orang tuanya.
Sehingga mereka tidak diperkenankan mengikuti pesta adat tersebut. Mereka
tersisih dari teman sebayanya. Perasaan ini menimbulkan rasa cemburu dan
muncul ide untuk membuat keributan pada saat pesta berlangsung. Mereka berdua
mengenakan topeng setan untuk menakut-nakuti orang yang sedang berpesta.
Peserta pesta adat yang melihat itu, kemudian melarikan diri menuju arah barat
dengan menggunakan perahu, kemudian menempati sungai-sungai yang kini
merupakan daerah Mimika dari bagian timur hingga ke bagian barat jauh yang
sekarang sudah menjadi batas wilayah Kamoro.

C. Pola Hidup Suku Kamoro


Orang Kamoro memiliki ciri-ciri fisik seperti, wanita dan pria rata-rata memiliki
postur tubuh yang tinggi dan tegap karena keadaan alam (di pesisir pantai), warna
kulit hitam, hidung mancung dan rambut keriting.

>

Mata Pencaharian

Orang Kamoro tidak mengenal sistem pertanian sehingga mereka kembali kepada
kehidupan mereka sebagai nelayan dan hidup berpindah-pindah dari satu tempat
ketempat yang lain (nomaden). Mereka memiliki semboyan, yaitu
3S(sungai,sampan,sagu). Sungai merupakan salah satu arus utama aktivitas suku
Kamoro, sehingga mereka membutuhkan sampan untuk melakukan aktifitas seharihari.
Rasa sosial yang begitu kuat, membuat masyarakat Kamoro selalu berbagi dengan
sesamanya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kamoro sehari-hari, mereka
biasanya melakukan aktivitas seperti :
Memangkur sagu (amata wapuru)
Melaut (menangkap hasil laut)
meramu

>

Makanan Khas

Berbagai makanan khas masyarakat Suku Kamoro antara lain adalah sebagai
berikut :
Tambelo (ko)
Sagu (amata)

Ulat sagu (koo)

Siput (omoko)
Karaka

>

Agama

Pada awalnya, orang Kamoro menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.


Namun setelah masuknya agama Katolik pada tahun 1928 yang dibawa oleh
seorang pastor, masyarakat Kamoro mulai mengenal agama. Oleh sebab itu,
sebagian besar masyarakat Kamoro memeluk agama Kristen Katolik dan sebagian
kecilnya menganut agama Kristen Protestan, tetapi ada juga masyarakat yang
masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme dan hal itu masih berlanjut
hingga saat ini.

D. Adat Istiadat Suku Kamoro


Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Demikian halnya, dengan masyarakat suku Kamoro. Perkawinan
mempunyai arti yang sangat mendalam, tidak hanya bagi individu yang kawin,
tetapi juga lebih dari itu menyangkut harga diri, kehormatan, martabat keluarga
atau kerabat. Karena itu, perkawinan tidak lepas dari peranan keluarga atau
kerabat.
Ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang dimaksud mencakup hal-hal seperti :

>

Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan secara adat terdapat perbedaan-perbedaan antara satu


daerah dengan daerah lainnya. Larangan perkawinan pada orang Kamoro adalah
sebagai berikut :
Karena hubungan darah
Seorang laki-laki dilarang memilih pasangan atau kawin
dengan
perempuan yang masih mempunyai
hubungan darah.
Karena melangkahi saudara yang lebih tua
Seseorang dilarang kawin (baik laki-laki maupun perempuan), apabila ada
saudaranya yang lebih tua dari pihak laki-laki maupun perempuan yang belum
menikah.

>

Mas kawin

Mas kawin adalah sejumlah barang-barang perkawinan yang diminta oleh pihak
keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki guna kelangsungan suatu
perkawinan. Pada orang Kamoro mas kawin mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam suatu perkawinan, karena mas kawin merupakan suatu syarat
mutlak yang harus ada nilai guna kelangsungan perkawinan. Adapun benda-benda
yang digunakan sebagai mas kawin adalah sebagai berikut :
Perahu
Kampak, parang (alat-alat kebun)
Piring, kain
Uang

c.
-

d.
-

Syarat-syarat perkawinan
Kematangan jasmaniah dan rohaniah
Kesiapan harta
Izin orang tua
Memperhatikan larangan-larangan perkawinan

Upacara Adat
Upacara Pendewasaan (inisiasi) atau Upacara Karapao
Upacara Penobatan Kepala Suku
Upacara Pembuatan Mbitoro

E. Seni Budaya Tradisional Suku Kamoro


Adapun beberapa jenis seni budaya yang dimiliki oleh suku kamoro adalah sebagai
berikut :
1. Seni bangunan rumah
Suku kamoro mempunyai beberapa bentuk rumah tradisional, yang diberi nama
antara lain :

KAPIRI KAME

Kapiri adalah alat penutup rumah (atap) yang menjadi rumah tradisional suku
kamoro. Kapiri dibuat dari daun pandan hutan yang kuat, lebar dan panjang.
Meskipun begitu sekarang ini suku kamoro tidak lagi (jarang sekali) menempati

kapiri kame, mereka sudah membangun rumah yang permanen dengan


memanfaatkan gaba-gaba (pelepah sagu) sebagai dinding dan daun seng sebagai
atapnya. Banyak bentuk dari kapiri misalnya :
a.
Karapauw Kame
b.
Tauri Kame
c.
Kaota kame
d.
Kapiri Kame, dan lain-lain

2.

Seni Ukir

Suku kamoro mempunyai seni ukir yang cukup tinggi nilainya.


Motif-motif seni ukir suku kamoro didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu.
Pengalaman sejarah yang dialaminya diekspresikan dalam bentuk seni ukir yang
indah dan mempunyai makna ritual. Jenis-jenis seni ukir suku Kamoro antara lain :

a.

Mbitoro

Mbitoro adalah ukir-ukiran khas suku Kamoro yang menjadi dasar dari jenis ukirukiran.

b.

Kerangka Mbitoro
Uema ( ruas tulang belakang)
Uturu tani (awan putih berarak)
Wake biki (ekor kuskus pohon)
Oke mbare (lidah biawak)
Upau (kepala manusia)
Apakou upau (kepala ular)
Ereka kenemu (insang ikan)
Ema (tulang ikan)
Utu wau (tempat api atau perapian)

Ote Kapa (tongkat)

Ote kapa adalah seni ukir yang berbentuk tongkat dan biasanya di gunakan oleh
orang yang sudah lanjut usia. Ada 5 motif ukiran ote kapa yaitu :

Tako ema (tulang sayap kelelawar)

Ereka waititi (sirip ikan)

Uema (ruas tulang belakang)

Upau (kepala manusia)

c.

Pekaro (Piring Makan)

Pekaro dibuat dari jenis kayu yang ringan sehingga mudah dibawa pada saat
berkapiri.

Kerangka Pekaro :
Komai mbiriti (kepala burung enggang/paru burung enggang)
Tempat makanan yang berbentuk bulat telur
Mbiamu Upau (kepala kura-kura)

d.

Yamate (perisai)

Yamate adalah seni ukir yang dibuat dari beberapa tingkat sesuai dengan tingkat
tinggi orang yang memakainya. Biasanya dibuat empat tingkat yang semuanya
bermotif bagian- bagian tubuh buaya.
a. Kapiri (tikar)
b. Imi (jaring)
c. Etahema (noken)
d. Omotere (tikar pandan)

3.

Seni Suara dan Seni Tari Suku Kamoro

Menurut legenda lama adat kebudayaan suku Kamoro berasal dari dalam tanah dan
air. Konon ceritanya nenek moyang suku Kamoro hanya memberikan alat-alat
kebudayaan dan tidak mewariskan alat pertanian, sehingga suku kamoro lebih
pandai bermain musik dari pada mengolah tanah.
Seni tari dan seni suara oleh suku Kamoro dijadikan sebagai bahan media dalam
berbagai pesta untuk segala kepentingan. Orang yang memiliki keahlian menyusun
syair dan mendendangkannya disebut bakipiare. Bakipiare sangat peka dalam
memperoleh ilham dari keadaan alam sekitarnya. Ilham yang diterimanya kemudian
diimajinasikan dan diekspresikan dalam bentuk syair lagu.
Syair lagu itu kemudian dilagukan dengan ditimpa oleh bunyi tifa yang lembut dan
kadang-kadang menyentak iramanya. Jika irama lagu menyentak, iramanya akan
segera mendapat sambutan dari dnikiarawe (pengiring lagu), maupun jagwari
pikara (penegas atau penutup lagu). Alat-alat musik yang digunakan adalah tifa
(eme) dan kaiyaro (alat musik dari bambu). Kaiyaro ini biasa dibunyikan dalam
pesta adat karapao.
Jenis tari suku Kamoro seperti :

Tari Seka

Tari Ular

Tari Mbitoro
Jenis seni suara (lagu) suku Kamoro seperti :

Tapare Mimika Iwoto

Korani

Nikya Yesus

4.

Pakaian

Pakaian adat atau tradisional suku kamoro dibuat dari kulit peura (sejenis pohon
genemo) yang disebut waura. Waura digunakan untuk laki-laki yang dipakai sebagai
cawat disebut tapena. Ada juga yang terbuat dari daun sagu yaitu tauri, mono dan
piki. Tauri biasa digunakan oleh ibu-ibu. Mono yaitu daun sagu yang dikupas,
ditumbuk, dicuci yang kemudian dipakai. Sedangkan piki biasa digunakan oleh
bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak sebagai kain sarung. Kunjungan Dr. Kalman
Muller dan tim pada tanggal 8-9 September 2014 yang lalu merupakan sebuah

pengalaman menarik bagi warga FIB UGM, terutama bagi kami, mahasiswa baru
jurusan Antropologi Budaya. Dr. Kalman mengadakan seminar tentang kebudayaan
suku Kamoro di hari pertama dan dilanjutkan dengan pameran kriya etnik suku
Kamoro di hari kedua.
Suku Kamoro merupakan salah satu dari lebih dari 1.000 suku bangsa yang dimiliki
Indonesia dan merupakan suku asli tanah Papua Barat. Keberadaan suku ini
memang belum setenar suku Asmat dan suku Dani. Masyarakat suku Kamoro
berjumlah 18.000 jiwa dengan 50 kampung. Bisa dikatakan kepadatan
penduduknya hanya sekitar 1/km2. Tanah yang ditinggali oleh suku Kamoro masuk
ke dalam lingkup tanah yang digunakan oleh PT Freeport, sehingga PT Freeport
lewat Departemen Kebudayaannya mulai melakukan pendekatan pada Suku Kamoro
dan mencoba membantu suku tersebut untuk berkembang. Dipimpin oleh
Dr.Kalman Muller, tim mulai mencoba melihat bagaimana Suku Kamoro hidup dan
memfokuskan mereka dalam mengembangkan seni ukiran khas Kamoro.
Kehidupan
Pada awalnya orang Kamoro hidup secara semi nomaden dan berkelompok, hidup
secara berpindah-pindah untuk bisa memanfaatkan semua ketersediaan alam.
Namun pemerintah tidak suka dengan pola hidup yang tidak menetap karena
menyulitkan beberapa hal dalam masalah administrasi. Sejak tahun 1920-an, suku
Kamoro telah dibujuk untuk tinggal di kampung-kampung permanen. Tetapi tetap
saja, untuk menjamin ketersediaan makanan terkadang masyarakat Kamoro
meninggalkan kampung-kampung mereka dan tinggal di bangunan tidak permanen
yang ditempatkan di tiga ekosistem utama mereka, yaitu dekat pantai, dekat areal
tumbuhnya sagu dan di tepian hutan hujan tropis. Tempat tinggal sementara
masyarakat Kamoro masih dibuat dari batang dan cabang pohon bakau disatukan
dengan ikatan tali dari tumbuhan merambat yang sangat mudah ditemukan. Hanya
butuh waktu sejam lebih untuk pembangunannya dengan satu kelompok yang
terdiri dari beberapa laki-laki yang bekerja bersama.
Tak seperti yang kami bayangkan sebelumnya bahwa masyarakat suku Kamoro
merupakan masyarakat tradisional yang tertutup dengan dunia luar atau dunia
teknologi, justru sebaliknya. Walau masih memelihara pola hidup tradisional, namun
masyarakat suku Kamoro sama sekali tidak menutup diri dari dunia luar. Mereka
membuka diri pada teknologi dan benda-benda dari luar. Mereka sudah mau
menggunakan pakaian berbahan kain dan berkomunikasi dengan orang-orang di
luar hubungan kekerabatan suku. Suku Kamoro telah mengadopsi banyak benda
dan konsep-konsep dunia luar. Contohnya adalah penggunaan bahan terpal
beraneka warna yang tahan hujan untuk menggantikan atap tradisional dari daun
palem, alat komunikasi berupa handphone canggih, dll. Kini cukup banyak
masyarakat suku Kamoro yang telah merantau ke luar tanah Papua untuk menuntut
ilmu dan bekerja.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat suku Kamoro adalah mencari ikan. Jenis ikan
yang biasanya mereka tangkap adalah ikan lele, hiu sirip hitam, hiu martil muda,
dan ikan pari. Selain untuk makan, ikan yang mereka dapatkan dijual ke pasar
Timika. Mereka biasanya menjemur sirip ikan hiu kemudian di jual ke pasar Timika.
Selain mencari ikan, masyarakat Kamoro juga hidup dari berburu, berkebun,
bercocok tanam. Namun demikian, pertanian suku Kamoro masih merupakan
pertanian skala kecil karena memang mereka tidak begitu baik dalam hal bercocok

tanam. Mereka juga sering menjual hasil tangkapan seperti kepiting dan kerang ke
pasar Timika.

Makanan
Merupakan tugas seorang wanita dalam hal mencari makan, selain berburu. Para
wanita harus memastikan ia dan keluarganya makan hari ini.
Sebagai masyarakat pencari ikan, tentu saja ikan merupakan makanan pokok
masyarakat Kamoro, di samping sagu yang mereka anggap sebagai pohon
kehidupan makanan pokok masyarakat suku Kamoro. Selain itu mereka juga
memakan kepiting bakau, kerang, dan biawak yang biasa mereka temukan di rawarawa. Masyarakat Kamoro tahu persis di mana dan kapan mereka bisa menangkap
hewan-hewan tersebut. Selain untuk dikonsumsi sebagai makanan, kepiting bakau
dan kerang biasanya juga dijual ke pasar Timika, sedangkan biawak biasa mereka
pakai sebagai bahan pembuat pedang dan kulitnya dijadikan bagian pada
permukaan kendang.
Makanan-makanan yang telah tersebut di atas memang merupakan makanan yang
memang wajar dikonsumsi, namun ada satu jenis makanan yang sangat asing di
telinga kita, yaitu tambelo. Tambelo merupakan hewan sejenis kerang tanpa
cangkang dengan ukuran cukup panjang yang biasa mereka temukan di batang
pohon sagu. Menjijikkan, itu yang dipikirkan beberapa dari kami ketika ditunjukkan
gambar tambelo karena kami merasa asing dengan hewan putih lembek itu. Namun
demikian, tambelo juga berfungsi sebagai obat dan memiliki manfaat-manfaat lain.
Pada dasarnya tak terbatas hanya makanan-makanan di atas yang mereka makan,
mereka juga terkadang memakan makanan sebagaimana yang sudah tak asing di
mulut kita, seperti ayam atau fast food.
Upacara Adat dan Inisiasi
Sebelumnya, suku Kamoro merupakan suku dengan banyak upacara. Namun
pemerintah tidak begitu menyukai budaya suku Kamoro yang terlalu sering
berpesta. Akhirnya ada beberapa upacara yang tidak lagi dilakukan, atau hanya
dilakukan oleh sebagian kecil suku Kamoro. Begitu pula dengan inisiasi, pada
mulanya ada dua inisiasi yang dilakukan oleh suku Kamoro. Pertama, ketika anak
laki laki beranjak dewasa dalam artian akan mulai memasuki dunia bapak bapak,
bukan lagi dunia ibu ibu. Inisiasi tersebut dilakukan ketika anak berusia 5-6 tahun.
Kedua, inisiasi dilakukan ketika anak anak sudah berusia sekitar 17 atau 18 tahun.
Inisiasi inilah yang tak lagi dilakukan oleh masyarakat suku Kamoro.
Dalam pelaksanaannya upacara adat suku Kamoro selalu melibatkan roh nenek
moyang. Biasanya mereka akan memukul tifa untuk memanggil roh nenek moyang
mereka atau dengan membuat patung patung yang melambangnan roh nenek
moyang mereka. Selain itu hampir di semua upacara adat mereka selalu
membubuhkan bubuk putih yang berasal dari kerang.
Agama
Meskipun masyarakat suku Kamoro masih percaya pada hal mistik seperti roh
nenek moyang, namun mereka merupakan penganut agama Katolik yang taat.
Dalam beberapa hal mereka menggabungkan antara adat suku Kamoro dengan
ajaran Katolik. Sebut saja dalam masalah pernikahan dan perlakuan pada jenazah.

Mereka melakukan upacara adat dan juga upacara menurut ajaran agama mereka.
Gereja Katolik memiliki peran penting dalam memajukan peradaban suku Kamoro
sejak zaman kolonialisme.
Kriya
Masyarakat Kamoro memiliki cukup banyak kriya etnik yang mampu menarik
wisatawan domestik maupun mancanegara. Selain untuk kepentingan komersial
dan ajang promosi, kriya-kriya tersebut juga digunakan oleh mereka dalam
kehidupan. Ada beberapa macam kriya etnik yang sempat dipamerkan kepada
warga FIB UGM, antara lain patung dan ukiran, anyaman, hasil pilinan, senjata, dan
dipamerkan pula beberapa foto masyarakat suku Kamoro yang sedang beraktivitas.
Tak berhenti di situ, ada pula live performance dari keempat tamu dari suku
Kamoro. Ketiga lelaki menunjukkan kebolehannya dalam seni ukir sedangkan Mama
membuat besek dengan anyaman. Yang cukup menarik, dalam proses pengukiran
Kak Herman, Kak Daniel, dan Pak Joseph (tiga pria Kamoro) tak henti-hentinya
menabuh tifa. Hal tersebut dilakukan untuk memanggil roh nenek moyang agar
mereka terbantu dalam proses pembuatan ukiran.
Untuk seni ukiran dan patung, mereka biasanya memakai bahan dari kayu besi atau
kayu putih, sedangkan untuk anyaman mereka menggunakan rumput atau daun
pandan yang bisa diperoleh dari hutan. Hasil anyaman dapat berupa tas, manikmanik, tikar, pakaian, dll. Mereka juga membuat jaring ikan sendiri dari pilinan tali
khusus.
Karena sudah terbiasa, mereka tak butuh waktu lama untuk menghasilkan sebuah
karya seni. Mereka sudah dibiasakan oleh orang tua masing masing untuk bisa
berkarya sejak kecil. Sekitar usia 10 tahun anak laki-laki sudah diajarkan seni
ukiran, bahkan ada yang sudah mampu membuat ukiran sendiri, sedangkan di usia
yang sama anak perempuan sudah bisa membuat berbagai anyaman dan manikmanik. Semua anak kecil di suku Kamoro pasti diajarkan seni-seni tersebut untuk
terus menghidupkan karya seni Kamoro.
Dua hari yang spesial bagi kami, bertemu langsung dengan empat perwakilan suku
Kamoro dan berbincang dengan mereka. Tentu saja, kami belajar banyak hal. Hal
penting yang menurut kami pantas digarisbawahi dari kunjungan Dr. Kalman dan
tim adalah bahwa benar, Indonesia memiliki banyak suku bangsa dan budaya yang
sangat beragam yang belum terekspos sempurna. Merupakan tugas bagi kita
bangsa Indonesia untuk lebih mengapresiasi budaya kita sendiri, sebelum berteriak
ketika budaya kita dicomot bangsa lain. Mengutip dari perkataan Kak Arlan, orang
dari PT Freeport yang juga merupakan tim dari Dr. Kalman, Masyarakat kita terlalu
gengsi untuk mencintai budaya Indonesia. Orang luar saja cinta budaya Indonesia,
mengapa kita tidak?

Like the Post? Do share with your Friends.


Facebook
Twitter
Google+
Pinterest

StumbleUpon
Delicious
LinkedIn
Reddit
Technorati
2 komentar:
Dek Ayu

Anda mungkin juga menyukai