Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Rumah adat Karampuang merupakan salah satu arsitektur


vernakuler Indonesia yang terletak di kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Komunitas adat ini terletak di Dusun Karampuang Desa Tompobulu
Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai Kondisi geografis kampung
Karam-puang terletak di atas pegunungan dengan ketinggian sekitar 618
meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 75 mm dan suhu udara
rata-rata 23°C.
Rumah adat Karampuang terletak dalam kawa-san adat dengan
berbagai peraturan-peraturan adat yang berlaku serta berbagai acara-acara
adat yang masih sering berlangsung di kawasan ini yang diikuti oleh
penduduk kawasan adat dan masarakat sekitar kawasan adat tersebut. Ru-
mah adat ini berdiri dengan Segala cerita dan keyakinan yang
mendasarinya, yang belum banyak orang ketahui. Bangunan utama pada
kawasan adat Karam-puang ini tediri atas dua rumah adat, yaitu rumah
Puang To Matoa (rumah raja) dan rumah Puang Gella (rumah perdana
menteri) (gambar 2). Kedua rumah inilah yang selalu dijadikan pusat
kegiatan adat dan ditinggali oleh 2 pemu-ka adat, Puang To Matoa, dan
Puang Gella. Kedua rumah adat ini terletak tidak berjauhan, jaraknya ± 50
meter, dan memiliki batasan yang jelas berupa batu yang disusun.
Kedua bangunan ini memiliki orientasi yang ber-beda, dimana rumah
Puang Matoa kearah barat dan rumah Puang Gella ke arah timur. Kedua
bangunan ini memiliki orientasi berbeda berda-sarkan filosofi dari fungsi
jabatan masing-masing penghuninya. Dimana barat berarti tem-pat
berpulang kita kepada sang pencipta, dan Puang To Matoa bertugas
mengajarkan tentang kebajikan dan pesan-pesan moral sebagai bekal
menghadap sang pencipta. Juga sebagai hakim untuk berbagai persoalan
dalam masyarakat. Sedangkan timur berarti kehidupan, dan Puang Gella
mengajarkan dan menangani perihal kehi-dupan, seperti
pertanian/bercocok tanam, masa-lah rumah tangga, pertikaian, dan
memimpin berburu babi hutan.
KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG
1
Kedua rumah tersebut memiliki bentuk yang berbeda dan ornamen
yang bermacam macam yang tentunya dibuat berdasarkan pengalaman,
budaya dan kehidupan sosial mereka. Untuk itu-lah permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah simbolisme kedua rumah adat tersebut
dan faktor faktor apakah yang membentuknya

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa


permasalahan yaitu:
1. Bagaimana sistem kosmologi rumah adat karampuang ?
2. Bagaimana filosofi atau makna dari rumah tradisional karampuang ?
3. Bagaimana struktur dan konstruksi rumah tradisional karampuang ?
4. Bagaimana peruangan dalam rumah tradisional karampuang ?
5. Apa saja ornament dan ciri khas rumah tradisional karampuang?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan dari makalah Arsitektur Tradisional Sumatra


ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem kismologi rumah adat
karampuang ?
2. Untuk mengetahui filosofi atau makna dari rumah tradisional
karampuang ?
3. Untuk mengetahui bagaimana struktur dan konstruksi rumah tradisional
karampuang ?
4. Untuk mengetahui peruangan dalam rumah tradisional karampuang ?
5. Untuk mengetahui ornament dan ciri khas rumah tradisional
karampuang ?
1.4 MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dalam penulisan makalah Arsitektur Indonesia ini


adalah:
1. Dapat mengenal dan mengetahui arsitektur tradisional rumah
adat di sinjai
2. Dapat mengetahui bagaimana konstruksi dan struktur pada
rumah adat sinjai

KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG


2
BAB II
PEMBAHASAN

Arsitektur tradisional berkembang mencapai bentuknya yang sekarang melalui


proses dalam kurun waktu lama dan sukar diketahui secara pasti sejarah dan konsep-
konsep bentuk bangunannya karena diturunkan dari generasi ke generasi tanpa
peninggalan baik berupa gambar maupun tulisan.
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku masing-masing mempunyai budaya adat
kebiasaan bahkan bahasa, kepercayaan, terungkap secara fisik antara lain dalam bentuk
seni, artefak dan arsitektur yang khas. Di banyak tempat, arsitektur tradisional di
Indonesia menarik perhatian, selain karena keunikan juga karena keindahannya.
Kemajuan teknologi, komunikasi, perhubungan, berbagai arsitektur tradisional mengalami
perubahan-perubahan yang cenderung meninggalkan keasliannya. Perubahan-perubahan
tersebut akan mengurangi bahkan dapat menghilangkan keaslian, keunikan dan
keindahan yang sebetulnya justru menjadi daya tariknya (Sumalyo). Proses atau
kecendrungan semacam ini berlangsung di banyak tempat termasuk di Karampuang,
Kabupaten Sinjai.

KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG


3
Rumah adat To Matoa Rumah adat gella

1. Sistem Kosmologi
Bentuk rumah adat berbentuk rumah panggung tidak lepas dari pandangan kosmologis
bahwa dunia ini menjadi tiga bagian atau tiga tingkat, yakni botting langi untuk dunia atas
tempat bersemayamnya Dewata Seuae atau PatotoE, ale kawa untuk dunia tengah yang
dihuni oleh manusia, serta paratiwi yang terdiri dari tujuh susun pula sebagai tingkatan
terbawah yakni tempat bersemayamnya orang-orang telah tiada, sehingga rumah adatnya
tidak beralas dan tiangnya ditanam ke dalam tanah (Muhanis, 2009:124) (gambar 4).

Botting
Langi

Ale Kawa

Paratiwi

Gambar 3: Sistem Kosmologi Pada


Rumah Adat Karampuang Sumber: Hasil Wawancara, 2013

2. Filosofi Bentuk Bangunan


Bentuk penampilan rumah adat Karangpuang di Kab. Sinjai secara garis besarnya kedua-
duanya mempunyai filosofi bentuk yang melambangkan tubuh seorang perempuan yang
disebut Nene’ Makkunrai Indo ri Karangpuang (seorang nenek yang dijadikan Ibu di
Karangpuang). Ibu dari Karangpuang ini dimaksudkan sebagai seorang dewi yang pertama
ada di Karangpuang sebagai To Manurung (orang suci yang tidak diketahui asalnya dari
mana). (menurut Keterangan Puang Mattang, Sanro bola masyarakat biasa Di
Karangpuang)
Rumah yang ada sekarang sudah mengalami perubahan bentuk beberapa kali. Bentuk
awal rumah adatnya disebut dengan langkeang, yakni rumah adat yang bertiang satu
bentuknya seperti payung, kemudian rumah bertiang tiga di Toanja, dan selanjutnya
karena Agama Islam telah memasuki wilayah Karampuang dengan membawa ajaran yang
baru, maka rumah adatnya juga disesuaikan dengan ajaran yang baru itu. Untuk itu maka
rumah Adat itu dipindahkan lagi ke lokasi baru dan rumah adat yang dahulunya

KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG


4
jumlahnya hanya satu unit ditambah menjadi dua unit dengan ukuran yang lebih besar
dan bentuk yang lebih baik, sampai bentuk seperti yang sekarang dan telah diperkaya
dengan simbol-simbol Islam.
3. Proses Pembangunan
Pembangunan rumah adat Karampuang tidak diketahui secara pasti tahunnya kapan
rumah itu mulai ada. Berdasarkan keterangan Puang Gella, rumah yang sekarang ini mulai
dibangun kembali oleh Puang Gella pada tahun 1967 karena rumah sebelumnya habis
terbakar pada zaman pemberontakan DI/TII. Akan tetapi bentuk, serta simbol-simbol
yang ada tidak ada yang diubah.
4. Orientasi bangunan
Rumah adat yang ditempati oleh Arung (Raja) mempunyai orientasi kearah Barat
(Akhirat). Filosofi orientasi ini dikarenakan Arung sebagai pemimpin tertinggi dalam adat
dan sekaligus sebagai orang tua akan selalu berorientasi kearah kehidupan selanjutnya
(akhirat). Arung yang akan memberikan pesan-pesan moral, wejangan-wejangan untuk
selalu berbuat baik, sebagai bekal kita menghadap sang pencipta, serta memberikan
pesan kepada masyarakat untuk tetap selalu melestarikan adat. Dengan kata lain bahwa
pada rumah adat To Matoa-lah tempat membicarakan hal-hal yang ritual. Rumah adat
Puang Gella (Perdana Menteri) mempunyai orientasi ke arah Timur (Duniawi). Ini
melambangkan bahwa matahari terbit dari timur, tanda dimulainya kehidupan. Tempat
untuk membicarakan hal-hal yang besifat dunia. (gambar 4)
Rumah
Puang Gella Rumah
Puang Matoa

5. Material
Material yang digunakan kedua rumah adat, baik rumah To Matoa maupun rumah Gella
semuanya bersumber dari dalam hutan adat. Mulai dari tiang, lantai, dinding, sampai
atap. Jenisjenis material bangunan rumah adat antara lain: untuk tiang rumah (Alliri)
menggunakan kayu Bitti, lantai rumah memakai bambu, atap rumah memakai daun Enau,
dan ada dari rumpu ilalang, dinding memakai kayu Bitti dan dari bambu, dan pengikat
memakai rotan dan tali dari rakitan ijuk pohon enau.
Saat ini, telah terjadi perubahan dalam penggunaan bahan, khususnya pada penggunaan
pengikat. Dulu semuanya diikat dengan rotan ataupun tali dari ijuk, namun karena
material semakin langka utamanya rotan yang sudah hampir tidak ada lagi di hutan adat,
makanya sudah menggunakan material yang modern. Berupa tali dari bahan plastik.
Keadaan ini juga diperparah dengan peraturan pemerintah, dimana masyarakat tidak
boleh lagi menebang pohon termasuk mengambil rotan dari dalam hutan, sekalipun
dalam hutan adat.
6. Tata ruang (fungsi ruang, tata letak, makna ruang, )
KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG
5
Rumah adat Karampuang, secara umum mempunyai tata ruang yang hampir sama,
perbedaannya terletak pada perbedaan tata ruang pada jumlah kamarnya.
a. Tata Ruang Rumah Adat Puang Matoa
Pembagian ruang-ruang pada rumah adat Tomatoa terdiri dari paruhung, Sonrong ri olo,
Elle’/Lontang riolo, Elle’ ri tengnga, Elle ri monri, dan Sonrong Ri monri. Pada bagian
Sonrong ri monri mempunyai 4 unit kamar tidur (bili’) masing-masing untuk ana’ malolo
arung, guru, puang tomatoa, dan puang sanro (gambar 5).
b. Tata Ruang Rumah Adat Puang Gella
Seperti halnya rumah Puang Tomatoa, secara vertikal rumah puang Gella terbagi atas 3
bagian, yaitu rakkeang, ale bola, dan paratiwi. Pembagian ruang-ruang pada rumah adat
Gella pada prinsipnya sama dengan pembagian ruang pada rumah adat Puang Matoa.
Yang membedakan adalah jumlah kamar atau bili’ pada bagian Sonrong ri monri yang
hanya terdiri dari dua unit kamar (bili’) saja yang masing-masing untuk ana’ malolo gella
dan Puang Gella sendiri (gambar 6).

Gambar 5: Tata ruang rumah Puang Matoa

KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG


6
Pembagian ruang-ruang pada rumah adat Puang Gella pada prinsipnya sama dengan
pembagian ruang pada rumah adat Puang Matoa. Yang membedakan adalah jumlah
kamar atau bili’ pada bagian Sonrong ri monri yang hanya terdiri dari dua unit kamar
(bili’) saja yang masingmasing untuk ana’ malolo gella dan Puang Gella sendiri.
Secara vertikal, pembagian ruang pada rumah puang Gella terdiri atas:
• Rakkeang sebagai tempat menyimpan padi
(ase), alat-alat dari logam/besi (bessi)
• Ale Bola sebagai tempat tinggal
• Paratiwi sebagai kolong, tempat memelihara ternak
(lihat gambar 7)

KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG


7
Rakkeang

Ale bola

Paratiwi

Gambar 7: Tata ruang rumah Puang Gella (secara


Vertikal)

Ukuran untuk rumah adat ataupun rumah tradisional vernacular tidak ada yang
menggunakan alat ukur modern (meteran), tetapi menggunakan organ tubuh manusia
dan biasanya yang digunakan adalah organ tubuh penghuninya. Untuk rumah adat
Karampuang juga menggunakan system pengukuran seperti itu.
Ukuran-ukuran yang dipakai di Karampuang antara lain: depa (reppa), siku (sikku),
jengkal (jakka), dan kepal (kekkeng tuo). Semua jumlah ukurannya ganjil. Ukuran panjang
Rumah Puang Tomatoa adalah 17 depa, sedangkan rumah Puang Gella 13 depa.
Jumlah tiang rumah sebanyak 30 tiang, yang melambangkan jumlah juz dalam al-quran.
Jumlah tiang yang membujur dari utara ke selatan sebanyak 5 tiang melambangkan
jumlah rukun Islam. Jumlah tiang yang melintang dari barat ke timur sebanyak 6 tiang
melambangkan rukun iman. Ini merupakan pengaruh agama Islam sebagai agama yang
dianut oleh masyarakat adat Karampuang.
Perlu diketahui bahwa selain melakukan penelitian tim peneliti dilarang mengukur
objek penelitian (rumah adat dan kawasannya) menggunakan alat ukur modern dengan
menggunakan meteran. Jadi yang dipakai mengukur adalah tinggi badan atau ukuran
tubuh manusia. Proses konversi ukuran dari antropometri ke dalam satuan centimeter
(cm), menggunakan format foto (JPEG) yang kemudian dikonversikan dengan software
AutoCAD untuk mengetahui ukuran-ukuran yang ada dalam denah yang di rekonstruksi
oleh tim. Sehingga didapatkan ukuran-ukuran yang tidak sama setiap jarak antar tiang
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Simbolisme kedua rumah adat dapat dilihat pada pandangan


kosmologi bahwa dunia ini menjadi tiga bagian yaitu: dunia atas, dunia
tengah dan paratiwi. Bentuk rumah disimbolkan sebagai bentuk tubuh
seorang perempuang, hal ini terlihat pada simbol simbol pada rjumah
tersebut. Orientasi rumah puang Matoa ke arah Barat, sebagai simbol akan
hari akhirat, sedangkan orientasi rumah Puang Gella ke arah Timur sebagai
KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG
8
tempat matahari terbit sebagai simbol kehidupan. Jumlah tiang sebanyak
30 tiang yang melambangkan jumlah juz dalm Al quran, dimana jumlah
tiang menyamping sebanyak 5 tiaang yang melambangkan rukun Islam dan
6 tiang kebelakang yang melambangkan rukun Iman.
Kawasan adat Karampuang di Kabupaten Sinjai mempunyai struktur
dan lembaga adat yang terdiri dari Tomatoa, Gella, Sanro, dan Guru.
Masing-masing pemangku adat mempunyai tugas dan tanggung jawab
yang berbeda. Ada beberapa ritual yang dipimpin oleh para pemangku
adat. Acara Adat yang paling besar yaitu Mappogau Sihanua yang
merupakan pesta rasa syukur yang biasa dilaksanakan pada saat setelah
panen.
Simbolisme ini pada kedua ruamh adat di karampuang Sinjai masih
dipengaruhi oleh kepercayaan dan kehidupan sosial budaya yang sampai
saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakatnya, tersimpan baik di dalam
kehidupan mereka. Selain itu pengaruh agama Islam masih keliatan dalam
perwujudan kedua rumah adat tersebut.

3.2 SARAN

Perkembangan arsiektur masa kini sangat mempengaruhi budaya


arsitektur tradisional. Sehingga diperlukan adanya perhatian dan
pengawasan serta pelestarian terhadap rumah-rumah adat di daerah
Indonesia. Seperti halnya pada sulawesi selatan, yang memiliki beragam
rumah tradisional dengan masing-masing keunikannya. Hal tersebut perlu
diperhatikan guna melestarikan arsitektur tradisional budaya Indonesia.

KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG


9
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Gemala . (2010). Arsitektur Vernakular Minangkabau: Kajian Arsitektur dan Eksistensi
Rumah Gadang Dilihat dari Pengaruh serta Perubahan Nilai Budaya (Skripsi). Depok: Universitas
Indonesia.

Ira Mentayani, Ika Putra. (2012). MENGGALI MAKNA ARSITEKTUR VERNAKULAR: Ranah, Unsur,
dan Aspek-Aspek Vernakularitas, LANTING Journal of Architecture, Volume 1, Nomor 2, Agustus
2012, (Halaman 68-82 ISSN 2089-8916)

Muhannis. (2009). Karampuang dan Bunga Rampai Sinjai, Ombak:Yogyakarta

Oliver, Paul. (2006). Built to Meet Needs. Cultural Issues in Vernacular Architecture. Oxford &
Burlington, MA: Architectural Press.

Rudofsky, Bernard (1964), Architecture without Architect. New York: The Museum of Modern Art.

Rapoport, Amos (1969), House Form and Culture. Prentice Hal, Inc.

Suharjanto, Gatot (2011). Membandingkan Istilah Arsitektur Tradisional Versus Arsitektur


Vernakular: Studi Kasus Bangunan Minangkabau dan Bangunan Bali. Jurnal ComTech Vol.2 No. 2
Desember 2011: 592-602.

Sumalyo, Yulianto. Bahan Ajar Perkembangan Arsitektur 1. Arsitektur : Universitas Hasanuddin,


Makassar

Tim Eksekursi Arsitektur FT-UI (2008), Laporan Eksekursi Arsitektur Kampung Bali Aga, Tenganan,
Bali. Depok: Universitas Indonesia.

Tuan, Yi-Fu (1974), Man and Nature. London: University of Minnesota Press.
Wibowo, Arif Sarwo (2012), Arsitektur Vernakular dalam Perubahan: Kajian terhadap Arsitektur

KELOMPOK 6 RUMAH ADAT KARAMPUANG


10

Anda mungkin juga menyukai