Anda di halaman 1dari 50

PENGEMBANGAN POTENSI PARIWISATA DALAM UPAYA

PELESTARIAN ARSITEKTUR VERNAKULAR DI KAMPUNG


ADAT MAGHILEWA

PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam tahap
pembangunannya, berusaha membangun industri pariwisata sebagai salah satu
cara untuk mencapai neraca perdagangan luar negeri yang berimbang. Melalui
industri ini diharapkan pemasukan devisa dapat bertambah (Pendit, 2002).
Sebagaimana diketahui bahwa sektor pariwisata di Indonesia masih menduduki
peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional sekaligus
merupakan salah satu faktor yang sangat strategis untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat dan devisa negara, salah satunya dalam bidang kebudayaan. Hal ini
didukung oleh potensi Indonesia sebagai negara yang memiliki beraneka ragam
suku dengan berbagai adat istiadat yang tentunya memiliki karakteristik
kebudayaan tradisional yang bisa menjadi daya tarik dan identitas nasional. Salah
satunya dapat ditemukan di kampung adat.
Kampung adat adalah tempat yang masih memegang teguh kebudayaan yang
telah bertumbuh sejak dahulu. Keberadaan kampung adat di Indonesia masih
belum banyak diketahui. Kampung adat merupakan suatu komunitas tradisional
dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan
wilayah dimana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan
sosial dan tradisi yang ditata oleh suatu system budaya.(Surpha dalam Pitana
1994:139)
Salah satu hal yang menjadi identitas sebuah kampung adat adalah arsitektur
vernakulernya. Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang tumbuh dan
berkembang dari rakyat, lahir dari masyarakat etnik, dan berakar pada tradisi etnik
tersebut. Menurut Amos Rapopor ( 1969 ) arsitektur vernakular merupakan karya
arsitektur yang tumbuh dari segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau
memanfaatkan potensi-potensi lokal seperti material, teknologi dan pengetahuan.
Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri dan karakteristik arsitektur tersendiri
yang membuat arsitektur di Indonesia sangat beragam. Pada satu pulau saja
terdapat beragam langgam arsitektur dimana salah satunya terletak di pulau Flores
tepatnya di Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada. Di desa Inerie
terdapat sebuah kampung yaitu kampung adat Maghilewa. Kampung adat
Maghilewa merupakan salah satu kampung yang memiliki nilai arsitektur
vernakular dari segi lansekap, kebudayaan, struktur dan ruang.
Sebagai sebuah kampung yang terletak di bawah kaki gunung dengan
kemiringan tertentu dan dengan kondisi alam tertentu, arsitektur Maghilewa
memiliki karakteristik tersendiri dalam menghadapi kondisi alam tersebut baik
melalui struktur rumah, pola perkampungan, proses membangun rumah maupun
material yang digunakan dalam pembangunan rumah. Selain itu adat istiadat pada
kampung adat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Hal ini tampak
dari beberapa hal, yakni pelaksanaan upacara-upacara adat pada berbagai
kegiatan, sistem matrilinear yang masih dianut, menjalankan tradisi dengan
berbagai macam larangan dan pantangan, dan lain sebagainya. Karakteristik inilah
yang menjadi kekayaan dari kebudayaan kampung adat Maghilewa yang perlu
dilestarikan.
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin menjelaskan upaya melestarikan
arsitektur vernakular di Kampung Maghilewa melalui pengembangan potensi
pariwisata yang dilihat dari karakteristiknya.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pariwisata
Pariwisata telah dikenal di dunia sejak zaman prasejarah namun tentu saja
pengertian pariwisata pada zaman itu tidak seperti saat ini (modern). Sejak dahulu
kala bangsa-bangsa di dunia seperti Sumeria, Phoenisia, sampai dengan Romawi
sudah melakukan perjalanan, namun tujuannya masih untuk berdagang,
menambah pengetahuan ilmu hidup, ataupun ilmu politik. Selanjutnya setelah
modernisasi meluas di segala penjuru dunia, khususnya setelah terjadinya revolusi
industri di Inggris, maka muncul traveller traveller yang secara bergantian
melakukan perjalanan pariwisata seperti yang kita kenal saat ini.
Menurut Spilane (1987), Pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ke
tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai
usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagian dengan lingkungan
hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.
Fandeli (1995) mengemukakan bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek daya tarik wisata serta
usaha usaha yang terkait di bidang tersebut. Undang-undang Nomor 10 tahun
2009, menyebutkan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, dengan demikian pariwisata
meliputi:
1. Semua kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan wisata.
2. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata seperti: kawasan wisata, Taman
rekreasi, kawasan peninggalan sejarah, museum, pagelaran seni budaya,
tata kehidupan masyarakat atau yang bersifat alamiah: keindahan alam,
gunung berapi, danau, pantai.
3. Pengusahaan jasa dan sarana pariwisata yaitu: usaha jasa pariwisata (biro
perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, konvensi, perjalanan insentif
dan pameran, konsultan pariwisata, informasi pariwisata). Usaha sarana
pariwisata yang terdiri dari akomodasi, rumah makan, bar, angkutan
wisata.

1. Pariwisata ditinjau dari daya tariknya


Menurut Fandeli (1995) ditinjau dari daya tariknya, pariwisata dapat
dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Daya Tarik Alam
Pariwisata daya tarik alam yaitu wisata yang dilakukan dengan
mengunjungi daerah tujuan wisata yang memiliki keunikan daya tarik
alamnya, seperti laut, pesisir pantai, gunung, lembah, air terjun, hutan dan
objek wisata yang masih alami.

2. Daya Tarik Budaya


Pariwisata daya tarik budaya merupakan suatu wisata yang
dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat yang memiliki keunikan
atau kekhasan budaya, seperti kampung naga, tanah toraja, kampung adat
banten, kraton kasepuhan Cirebon, kraton Yogyakarta, dan objek wisata
buidaya lainnya.

3. Daya Tarik Minat Khusus


Pariwisata ini merupakan pariwisata yang dilakukan dengan
mengunjungi objek wisata yang sesuai dengan minat seperti wisata
olahraga, wisata rohani, wisata kuliner, wisata belanja, dengan jenis-jenis
kegiatannya antara lain bungee jumping.

2. Jenis Jenis Pariwisata


Spillane (1987 : 28), membedakan jenis-jenis pariwisata menjadi sebagai
berikut :

1. Pariwisata untuk Menikmati Perjalanan (Pleasure Tourism)


Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang
meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur, untuk mencari udara
segar yang baru, untuk memenuhi kehendak ingin tahunya, untuk
mengendorkan ketegangan sarafnya, untuk melihat sesuatu yang baru,
untuk menikmati keindahan alam, atau bahkan untuk mendapatkan
ketenangan dan kedamaian di daerah luar kota.
2. Pariwisata untuk Rekreasi (Recreation Tourism)
Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang menghendaki
pemanfaatan hari-hari liburnya untuk beristirahat, untuk memulihkan
kembali kesegaran jasmani dan rohaninya, yang ingin menyegarkan
keletihan dan kelelahannya.
3. Pariwisata untuk Kebudayaan (Cultural Tourism)
Jenis pariwisata ini dilakukan karena adanya keinginan untuk
mempelajari adat istiadat, kelembagaan, dan cara hidup rakyat daerah
lain,selain itu untuk mengunjungi monumen bersejarah, peninggalan
peradaban masa lalu, pusat-pusat kesenian, pusat-pusat keagamaan, atau
untuk ikut serta dalam festival-festival seni musik, teater, tarian rakyat,
dan lain-lain.
4. Pariwisata untuk Olahraga (Sports Tourism)
Jenis ini dapat dibagi dalam dua kategori :
1) Big Sports Event, pariwisata yang dilakukan karena adanya peristiwa-
peristiwa olahraga besar seperti Olympiade Games, World Cup, dan
lain-lain.

2) Sporting Tourism of the Practitioner, yaitu pariwisata olahraga bagi


mereka yang ingin berlatih dan mempraktekan sendiri, seperti
pendakian gunung, olahraga naik kuda, dan lain-lain.

5. Pariwisata untuk Urusan Usaha Dagang (Business Tourism)


Perjalanan usaha ini adalah bentuk professional travel atau
perjalanan karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan yang tidak
memberikan kepada pelakunya baik pilihan daerah tujuan maupun pilihan
waktu perjalanan.
6. Pariwisata untuk Berkonvensi (Convention Tourism)
Konvensi sering dihadiri oleh ratusan dan bahkan ribuan peserta
yang biasanya tinggal beberapa hari di kota atau negara penyelenggara.

3. Komponen Komponen Pariwisata


Perjalanan wisata akan dipengaruhi oleh berbagai komponen pariwisata
yang terdapat di daerah atau objek wisata tersebut. Komponen-komponen
pariwisata dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu komponen penawaran
(supply) dan komponen permintaan (demand) dari pariwisata.
1) Penawaran (supply) Pariwisata
Yang dimaksud dengan penawaran (supply) pariwisata adalah
produk dan jasa yang ditawarkan kepada wisatawan. Produk wisata adalah
semua produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang
selama melakukan kegiatan wisata (Freyer, 1993). Melalui mekanisme
pasar, produk dijual kepada wisatawan. Adapun yang dimaksud dengan
jasa tidak lain adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka
memanfaatkan produk tersebut. Jasa ini biasanya tidak tampak
(intangible), bahkan seringkali tidak dirasakan. Jasa merupakan akumulasi
waktu, ruang dan personal yang memungkinkan wisatawan dapat
menggunakan produk wisata. Elemen penawaran wisata yang sering
disebut sebagai triple As yang terdiri dari atraksi, aksessibilitas, dan
amenitas.
Secara singkat atraksi dapat diartikan sebagai objek (baik yang
bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada
wisatawan. Menurut Yoeti (1996) dan Salah Wahab (1976), penawaran
pariwisata dapat bersifat alamiah, budaya dan buatan manusia.
Aksessibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi
yang menghubungkan wisatawan dari, ke dan selama di daerah tujuan
wisata (Inskeep, 1991) mulai dari darat, laut sampai udara. Akses ini tidak
hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan
waktu, kenyamanan dan keselamatan.
Amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung
terkait dengan pariwisata, tetapi sering menjadi bagian kebutuhan
wisatawan, seperti Bank, Money Changer, telekomunikasi dan lain
sebagainya. Semakin lengkap dan terintegrasinya ke tiga unsur tersebut di
dalam produk wisata maka semakin kuat posisi penawaran dalam sistem
kepariwisataan (Plog, 2001 dalam Damanik, J dan Helmut F. Weber,
2006).

2) Permintaan (demand) Pariwisata


Menurut Salah Wahab (1976), yang dimaksud dengan permintaan
pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan jumlah
wisatawan secara kuantitatif, dimana permintaan pariwisata tersebut
dapat dibagi menjadi permintaan yang potensial dan permintaan yang
sebenarnya. Yang dimaksud dengan permintaan potensial adalah sejumlah
orang yang secara potensial akan sanggup dan mampu dalam melakukan
perjalanan wisata. Sedangkan yang dimaksudkan dengan permintaan
sebenarnya adalah sejumlah orang yang sebenarnya berkunjung pada suatu
daerah tujuan wisata, artinya sejumlah wisatawan yang secara nyata
sedang berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata. Selanjutnya Yoeti
(1983) dan Salah Wahab (1976) menyatakan bahwa permintaan pariwisata
memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1. Elastisitas (elasticity)
2. Kepekaan (sensitivity)
3. Musim (seasonality)
4. Perluasan (expansion)
Aspek permintaan terhadap pariwisata dipengaruhi oleh biaya,
daerah tujuan wisata, bentuk perjalanan, waktu dan lama berwisata,
akomodasi yang digunakan, moda transportasi dan lainya. Kesemua aspek
ini menjadi pertimbangan bagi wisatawan sebelum mengambil keputusan
untuk melakukan perjalanan wisata.

4. Tujuan Pariwisata
Tujuan pariwisata telah dijabarkan oleh para ahli di bidang pariwisata
sebagai optimalisasi pemanfaatan dan pengembangan sumber-sumber daya
pariwisata. Daerah tujuan wisata menurut Surjanto (dalam A. hari Karyono,
1997:11) yaitu daerah-daerah yang berdasarkan kesiapan prasarana dan sarana
dinyatakan siap menerima kunjungan wisatawan di Indonesia. Daerah tujuan
wisata diharuskan memiliki objek wisata dan daya tarik wisata (atraksi wisata)
sebagai media untuk menarik minat wisatawan. Berkembangnya pariwisata di
suatu daerah akan membawa perubahan pada daerah tersebut. Perubahan yang
dimaksud dapat bernilai positif jika pengembangan pariwisata dilaksanakan
dengan mengikuti prosedur yang benar, yakni melalui perencanaan yang
cermat dan matang supaya sesuai dengan kondisi setempat. Namun demikian,
jika pelaksanaannya tidak direncanakan dengan baik maka justru akan
membawa kerugian atau berdampak negatif bagi daerah tempat pariwisata
berkembang.

5. Pariwisata Sebagai Suatu Industri


Industri pariwisata adalah serangkaian perusahaan yang satu sama lainnya
terpisah, sangat beraneka ragam dalam skala, fungsi, lokasi dan bentuk
organisasi, namun mempunyai kaitan fungsional terpadu dalam menghasilkan
berbagai barang atau jasa bagi kepentingan kebutuhan wisatawan dalam
perjalanan dan keperluan lainnya yang berkaitan. Dalam hal ini perusahaan
primer mengurus keperluan transportasi, akomodasi, makanan dan minuman
untuk persiapan perjalanan, sedangkan perusahaan sekunder memasok
cendramata dan barang lain keperluan wisatawan, menyediakan hiburan dan
kegiatan asuransi, jasa bank dan lain sebagainya. Disamping itu, terdapat pula
lembaga-lembaga lain seperti pemasok keperluan perusahaan primer,
perusahaan penghasil keperluan umum dan perusahaan yang
menyelenggarakan penggalakan pariwisata, biro iklan, jasa konsultasi bagi
perusahaan pariwisata lainnya. Dengan kata lain, industri pariwisata adalah
semua usaha yang berhubungan dengan kegiatan perjalanan wisatawan dari
mulai pergi dari tempat asal sampai ke tempat tujuannya. Keberhasilan dari
suatu industri pariwisata pada suatu daerah tidak akan terlepas dari besarnya
pengaruh atau dampak yang diberikan terhadap pengelola obyek dan daya tarik
wisata, masyarakat dan pemerintah yang bersangkutan. Dampak yang
diberikan dapat bersifat positif maupun negatif dalam bidang ekonomi, sosial
dan budaya.

1) Dampak positif industri pariwisata


Menurut Soekadijo (1995), industri pariwisata akan memberikan
dampak positif bagi masyarakat dan pemerintah tempat beradanya obyek
wisata. Dampak tersebut antara lain adalah:
a. Dampak ekonomi
Memberikan multiplier effect dan pendapatan bagi suatu
negara/ daerah yang mengembangkan pariwisata sebagai industri.
Multiplier effect dapat diartikan sebagai penciptaan lapangan kerja
bagi masyarakat sekitar, fasilitas, peningkatan ekonomi dan standar
hidup masyarakat lokal serta pembangunan ekonomi.

b. Dampak sosial budaya


Dampak sosial budaya akibat adanya industr pariwisata pada
suatu negara/daerah adalah meningkatnya interaksi sosial,
meningkatnya mobilitas sosial ke tempat yang kegiatan
pariwisatanya tinggi, meningkatnya pengetahuan masyarakat
terhadap bidang-bidang lain, misalnya transportasi, akomodasi,
bahasa, etnik, gaya hidup dan lain sebagainya.
c. Dampak lingkungan
Pada umumnya dengan adanya industri pariwisata di suatu
daerah, akan menimbulkan rasa peduli terhadap lingkungan pada
masyarakat sekitar obyek wisata. Misalnya adalah penataan taman
yang lebih terawat, melindungi punahnya tanaman-tanaman langka
seperti bunga raflesia, anggrek dan lain sebagainya yang menjadi ciri
khas daerah tersebut karena dapat dijadikan sebagai obyek wisata.

2) Dampak Negatif Industri Pariwisata


Selain dampak positif di atas, industri pariwisata juga dapat
memberikan dampak negatif, diantaranya seperti yang diungkapkan oleh
Soekadijo (1995) yaitu:
a) Dampak ekonomi
Dampak negatif yang diberikan suatu industri pariwisata
terhadap perekonomian suatu negara/ daerah adalah tidak stabilnya
ekonomi suatu negara/ daerah yang menjadikan industri pariwisata
sebagai sektor utama/ unggulan dalam PAD dikarenakan sektor ini
mudah dipengaruhi oleh ekonomi dan keamanan global dalam suatu
negara. Selain itu juga dampak negatif lainnya adalah terjadinya
kebocoran (leakages) yang dipengaruhi oleh letak geografis, struktur
perekonomian, ukuran negara dan lain sebagainya.
b) Dampak sosial budaya
Dampak negatif yang diberikan suatu industri pariwisata
terhadap sosial budaya suatu negara/ daerah adalah adanya
kesenjangan sosial yang menyebabkan kecemburuan sosial antara
wisatawan dengan penduduk lokal, way of life (attitude) dari
wisatawan yang ditiru oleh masyarakat lokal sehingga dapat
merubah nilai-nilai sosial/ nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat,
terjadinya komersialisasi budaya, timbulnya perjudian, pelacuran,
narkoba, dan minuman keras, dan yang terakhir adalah hilangnya
identitas seni akibat mengikuti permintaan pasar.
c) Dampak lingkungan
Dampak negatif yang diberikan suatu industri pariwisata
terhadap lingkungan suatu negara/ daerah adalah pencemaran udara,
tanah, dan air serta timbulnya kemacetan lalu lintas. Terjadinya alih
fungsi lahan, terutama pertanian, sebagai akibat adanya
pembangunan sarana dan prasarana pariwisata yang tidak pada
tempatnya, misalnya untuk pembangunan hotel.

B. Arsitektur Vernakular
1. Arsitektur
1.1 Pengertian
Berikut ini adalah beberapa pengertian Arsitektur menurut para
ahli
1. Menurut Marcus Polio Vitruvius
Arsitektur adalah kesatuan dari kekuatan atau kekokohan
(firmitas), keindahan (venustas), dan kegunaan (utilitas)
2. Menurut Banhart Cl. dan Jess Stein
Arsitektur adalah seni dalam mendirikan bangunan termasuk
didalamnya segi perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya;
sifat atau bentuk bangunan; proses mebangun; bangunan dan kumpulan
bangunan.
3. Menurut Francis D.K. Ching
Arsitektur membentuk suatu tautan yang mempersatukan ruang,
bentuk, teknik, dan fungsi.
4. Menurut Amos Rapoport
Arsitektur merupakan ruang tempat hidup manusia, yang lebih dari
sekedar fisik, tapi juga menyangkiut pranata pranata budaya dasar.Pranata
ini meliputi Tata atur kehidupan social dan budaya masyarakat yang
diwadahi sekaligus mempengaruhi arsitektur.
Dari pendapat-pendapat parta ahli diatas dapat dikatakan bahwa
arsitektur adalah ilmu yang mempersatukan ruang, bentuk, teknik, dan
fungsi dalam mendirikan bangunan termasuk didalamnya segi
perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya; sifat atau bentuk
bangunan; proses membangun; bangunan dan kumpulan bangunan yang
mencakup ruang tempat hidup manusia, yang lebih dari sekedar fisik, tapi
juga menyangkut pranata pranata budaya dasar.

1.2 Kriteria Arsitektur


Menurut Vitruvius di dalam bukunya De Architectura (merupakan
sumber tertulis paling tua yang masih ada hingga sekarang), bangunan
yang baik haruslah memiliki :
1. Keindahan/Estetika (Venustas)
2. Kekuatan (Firmitas)
3. Keguanaan/Fungsi (Utilitas)

2. Vernakular
2.1 Pengertian
Dalam ranah ilmu arsitektur, istilah vernakular baru diperkenalkan
tahun 1964 melalui karya Rudofsky yang berjudul Architecture Without
Architects: a short introduction to non-pedigreed architecture. Adapun
dalam literatur berbahasa Inggris istilah vernakular mulai digunakan pada
awal 1601 M dan diambil dari bahasa Latin; vernaculus (Merriam-
Webster's Online). Dalam Merriam-Webster's Online, vernakular berarti
bahasa ibu (native language) suatu kelompok masyarakat yang hidup di
suatu tempat tertentu. Dalam konteks karya sastra, literatur vernakular
berarti literatur yang menggunakan bahasa setempat sedangkan dalam
konteks kebahasaan, vernakular berarti bahasa yang digunakan oleh
sekelompok masyarakat di suatu tempat tertentu. Pengertian ini dalam
sejarah Eropa pada abad pertengahan berarti sesuatu yang tidak meng-
gunakan bahasa/ tulisan Latin. Oleh karenanya vernakular diartikan
sebagai lawan dari lingua franca karena pada masa tersebut bahasa
pergaulan adalah bahasa Latin.

2.2 Enam faktor pengaruh bentuk dan model vernakular (Amos


Rapoport, 1969)
1. bahan
2. kontruksi
3. teknologi
4. iklim
5. lahan
6. sosial-budaya

3. Arsitektur Vernakular
3.1 Pengertian
Berikut ini adalah beberapa pengertian arsitektur vernakular menurut
para ahli.
1. Menurut Turan Dalam Buku Vernacular Architecture
Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan
berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan
berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan
pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta
merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut
berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.
2. Menurut Romo Manguwijaya
Arsitektur vernakular itu adalah pengejawentahan yang jujur dari
tata cara kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan sejarah dari
suatu tempat.
3. Menurut Oliver Dalam Bukunya Yang Berjudul Encyclopedia Of
Vernacular-Architecture Of The World
Arsitektur Vernakular sebagai suatu kumpulan rumah dan
bangunan penunjang lain yang sangat terikat dengan tersedianya sumber-
sumber dari lingkungan.
Dari pendapat-pendapat parta ahli diatas dapat dikatakan bahwa
arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat dan tata cara kehidupan
masyarakat yang merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat sehingga
membentuk suatu kumpulan rumah dan bangunan penunjang lain yang
sangat terikat dengan ciri khas kebudayaan masyarakat sekitar.

3.2 Karakteristik arsitektur vernakular


Arsitektur vernakular tidak mengacu pada hal lain dari budaya,
berkembang mengadopsi arsitektur regional dan mewujudkan budaya
setempat
a) Menurut Kingston, 2003
1. diproduksi individu untuk digunakan sendiri
2. bersifat lokal
3. kontraktor/pembangunannya anonym dengan menggunakan pemula
atau aturan dari tradisi yang diadaptasi secara lokal
b) Menurut Paul Groth, 2000
1. bentuk keseharian akrab dengan daerah tertentu dari populasi
2. sering dibuat dengan bahan yang tersedia disekitarnya untuk
diaplikasi pada fungsi bangunan

C. Kampung Adat
Menurut Kamus Bahasa Indonesia pengertian kampung adalah desa, dusun
atau kelompok rumah -rumah yang merupakan bagian kota dan biasanya
rumah-rumahnya kurang bagus. Kampung dalam pengertian kampung adat,
mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat.
Kampung Adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi
dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana
para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan
tradisi yang ditata oleh suatu sistem budaya. (Surpha dalam Pitana 1994: 139).
Ciri-ciri desa adat (Pitana, 1994:145):
1. Mempunyai batas -batas tertentu yang jelas. Umumnya berupa batas alam
seperti sungai, hutan, jurang, bukit atau pantai.
2. Mempunyai anggota dengan persyaratan tertentu.
3. Mempunyai rumah adat yang mempunyai fungsi dan peranan.
4. Mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam.
5. Mempunyai suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat)
sendiri.
Selain sebagai identitas, keberadaan Kampung Adat adalah sebuah
kekayaan ilmiah yang merupakan sumber untuk terus dipelajari guna
peningkatan pengetahuan. Banyak hal yang dapat dipelajari. Apalagi semakin
lama, perkembangan semua aspek kehidupan semakin cepat. Oleh karena
itu,perlu melestarikan kebudayaan bangsa dengan kreatifitas serta
mengembangkannya mengikuti kemajuan. Dengan ini kebudayaan bangsa
berkembang dan berkelanjutan tanpa kehilangan akarnya (Mantra, 1996:3)

D. Kampung Adat Maghilewa


a. Kondisi Geografis
Kampung Maghilewa merupakan sebuah kampung yang terletak dibawah
kaki gunung Inerie yang merupakan gunung berapi di desa Inerie, kecamatan
Inerie, kabupaten Ngada, Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur.
Batas- batas dari kampung adat Maghilewa adalah sebagai berikut :
1. Sebelah utara berbatasan dengan hutan
2. Sebelah selatan terdapat kebun pisang
3. Sebelah timur, yaitu jalan setapak, hutan
4. Sebelah barat terdapat kebun pisang dan kemiri serta jalan
Kampung adat Maghilewa terletak 449,27 m di atas permukan laut.
Kampung ini memiliki luas 10263 m2 . Kampung Maghilewa memiliki anak
kampung yang bernama Jere. Kedua kampung ini dipisahkan oleh gereja
Katolik St Familia. Luasan kampung induk Maghilewa adalah 6363 m2
sementara kampung Jere memiliki luasan 3900 m2.
Kontur tanah pada perkampungan adat mencapai kemiringan sekitar 10
yang terbagi menjadi 8 trap, baik di kampung Maghilewa maupun kampung
Jere. Kondisi tanah pada kampung adat Maghilewa sangat subur, berwarna
hitam serta memiliki kandungan pasir yang merupakan hasil dari letusan
gunung api.

b. Pola Perkampungan
Kampung adat Maghilewa berkonfigurasi linear dengan sumbu timur laut
dan barat daya, dengan muka kampung menghadap timur laut. Rumah rumah
tersusun secara linear saling berhadapan dengan arah barat laut dan tenggara
menghadap ture (halaman). Pada ture terdapat ngadhu dan bhaga yang
dibangun menghadap muka kampung,

c. Sejarah Kampung adat Maghilewa


Kampung Jere didirikan oleh kakek Soba Nau, orang tertua dari salah satu
suku (woe) dalam desa yakni suku kemo (suku tertua). Desa ini ditempati oleh
4 suku (woe) yakni, kemo, turu, kutu, dan fugu. Suku kemo merupakan suku
tertua sedangkan suku kutu, turu & fugu merupakan suku-suku yang muncul
setelahnya. Ke-empat suku memiliki ikatan kekerabatan berdasarkan kesamaan
darah (hubungan genealogis). Setiap suku menganggap dirinya sama tanpa ada
perbedaan terhadap status atau semacamnya. Pandangan inilah yang
melatarbelakangi desa dinamai jere (arti; rata).

d. Sistem Religi
Pada zaman dahulu masyarakat Maghilewa menganut kepercayaan
menyembah nenek moyang atau leluhur. Hal ini ditunjukkan dengan
pelaksanaan upacara-upacara adat sebagai bentuk penghormatan kepada
leluhur yang sampai saat ini masih dilaksanakan.
Agama Katolik masuk sebelum tahun 1919 ditandai dengan pembangunan
Gereja Katolik St. Familia pada tahun 1919. Pada saat yang bersamaan
dibangun juga sebuah sekolah dasar SDK St Familia.

e. Sistem Organisasi dan Kemasyarakatan


Rata-rata penduduk Jere ialah rakyat jelata, sehingga tidak diterapkan
strata sosial /kasta dalam masyarakat. Penduduk jere menganut prinsip
matrilineal (suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari
pihak ibu), dengan pembagian tugas :
Perempuan: menjaga ,mengatur setiap urusan dalam rumah
Laki-laki: memberi ijin terhadap suatu hal terkait urusan dalam rumah
Berikut bagan struktur organisasi kemasyarakatan kampung Jere

Gambar Bagan Struktur Organisasi Kemasyarakatan Kampung Adat


Jere
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

f. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan pada kampung adat Jere meliputi :
Cara pengukuran
Sistem satuan ukur yang dipakai dalam membuat rumah adalah depa,
yakni pengukuran dengan cara merentangkan kedua tangan, bukan tangan
semua orang tetapi tangan sang wanita pemilik rumah.
Cara membangun rumah
o Masyarakat desa menjunjung kekerabatan dalam bermasyarakat.
Gotong royong diterapkan demi terselesaikannya suatu pekerjaan
demikian pula ketika membangun rumah
o Jaman dahulu bahan bangunan untuk konstruksi rumah diangkut
menggunakan tali (leke), dimana tali diikatkan pada potongan kayu
untuk kemudian ditarik menggunakan tenaga manusia.
o Bahan bangunan yg digunakan ialah kayu (mangga, kelapa) dan bambu
Bangunan
- Ngadhu (rumah pria)
Fungsi:
Fungsi religius: simbol roh dari leluhur laki-laki yang namanya
dijadikan sebagai nama ngadhu merupakan perantara antara
manusia (anak/cucu) dengan dewa
Fungsi sosial: roh dari leluhur laki-laki yg namanya dijadikan
sebagai nama ngadhu merupakan pelindung & pemersatu semua
anak & cucu yang bernaung dibawah ngadhu tersebut.
Fungsi lain: tempat sembelih hewan untuk ritual. Di depan ngadhu
ditancapkan batu tegak (peo) yang merupakan tempat mengikat
hewan yang kemudian ditarik menujuKeterangan
ngadhu.:
1. Akar ngadhu, bercabang 3 berada dalam
tanah

2. Susunan batu mengelilingi pangkal ngadhu


untuk memperkuat berdirinya ngadhu

3. Batang ngadhu berukir 3 sekmen

4. Singa ngadhu (telinga ngadhu)

5. Mata ngadhu dari kulit siput

6. Gubu ngadhu (atap berbentuk kerucut)

7. Mangu ngadhu (tiang tengan atap


ngadhu)

8. Orang-orang sambungan dari mangu


ngadhu berada diatas atap

9. Peo (batu tegak yang tertanam dibelkang


Gambar Ngadhu ngadhu)
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur
vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016

Tiang ngadhu terbuat dari batang pohon sebu/hebu yg


memiliki tekstur keras & tahan air
Tiang ngadhu diberi atap alang-alang berbentuk kerucut
Untuk memperkuat berdirinya batang ngadhu akar ngadhu
dan batang ngadhu dalam tanah dibungkus rapat dengan
ijuk, hal ini mencegah hancurnya pangkal ngadhu
Ukiran pada batang ngadhu terdiri atas 3 bagian/sekmen
(nai telu) sebagai simbol pakaian laki-laki terhormat yang
terdiri atas 3 helai kain yang dijahit bersambung. Tiap
sekmen dibatasi oleh ukiran bergerigi yg disebut riti (gerigi)

Gambar Batang Ngadu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Pada ngadhu diikatkan kelapa. Kelapa ini diikat setelah


selesai pengerjaan ngadhu (menadakan ngadhu selesai
dibuat) air & daging buah kelap diminum oleh yg
mengerjakan, sisanya diikat pada ngadhu

Gambar Bagian Ngadhu yang Diikatkan Kelapa


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Dibelakang ngadhu 3 atau 4 m ditanam sebuah batu
tegak yg dinamakan peo. Pada saat kerbau disembelih tali
kerbau dimasukan pada ujung atas batang ngadhu dan
diteruskan pada peo. Peo perlu ditopang dengan bambu agar
tidak roboh. Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat
jika peo sampai roboh akan mendatangkan kesialan dan
bahkan bisa menimbulkan kematian bagi pemilik rumah
adat.

Gambar 3.3.3.3 Peo


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

- Bhaga (rumah perempuan)

Bhaga merupakan rumah adat yang berukuran


kecil/mini dan berdiri didepan ngadhu (berhadapan dengan
ngadhu). Dinding bhaga bagian depan setengah terbuka dan
tidak mempunyai pintu. Sementara itu bagian bawah bhaga
diletakan batuan ceper sebagai tempat menaruh sesajian.
Gambar 3.3.3.4 Bhaga
Sumber : Dokumetasi kelompok kerja arsitektur vernakular
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Bhaga memiliki beberapa fungsi, yakni :


Fungsi Religius: sebagai simbol roh dari leluhur
perempuan yg namanya dijadikan sebagai nama bhaga
merupakan perantara antara manusia (anak,cucu)
dengan dewa
Fungsi sosial: roh dari leluhur perempuan yg namanya
dijadikan sebagai nama bhaga merupakan pelindung
semua anak & cucu yang bernaung dibawah ngadhu
tersebut.
Fungsi lainnya sebagai tempat penyembahan leluhur &
sesajian
- Sao (rumah tinggal)

Sao berarti rumah/tempat tinggal. Selain sebagai


bangunan tempat tinggal sao merupakan suatu lembaga
kekeluargaan sebagai satu bagian yang bernaung dibawah
satu ngadhu dan bhaga dibawah naungan 1 woe (suku).
Sebagai suatu struktur kekeluargaan sao memiliki
tingkatan dari yang lebih tinggi sampai pada tingkat yang
lebih rendah;
1. Sao peka puu / sao saka puu

Secara harafiah sao berarti rumah, peka berarti


letak/posisi., Puu berarti pangkal/pusat. Jadi Sao peka
puu adalah rumah adat /rumah besar yang statusnya
sebagai induk/pangkal /pusat dari rumah adat lainnya.
Dalam hidup sehari-hari ia mengurus rumah tangganya
sendiri. Namun untuk urusan adat seperti tanah adat,
ngadhu & bhaga ketua dari Sao peka puu lah yang
memimpinnya.
Dilihat dari bentuk fisiknya Sao peka puu
memilki bentukan yang sama dengan rumah adat lain yang
membedakan ialah pada puncak bubungan rumahnya
ditempatkan sebuah rumah-rumahan mini yang disebut
Ana Ie. Ana Ie adalah simbol dari istri/ibu. Demikian
juga bagian paling dalam rumah adat lebih luas dari rumah
adat yang lain.

Gambar Ana Ie
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

2. Sao peka lobo / sao saka lobo

Secara harafiah sao berarti rumah, peka


berarti letak/posisi, lobo berarti ujung. Bangunan ini
merupakan rumah adat yang statusnya /posisinya berada
diujung (lobo) sebagai lawan dari pangkal (puu). Didalam
urusan adat seperti tanah, ngadhu dan bhaga, ia
menduduki posisi kedua setelah Sao peka puu (sebagai
wakil). Sao peka puu dan Sao peka lobo merupakan
simbol hubungan suami-istri karna Sao peka puu adalah
rumah dari bhaga (istri) dan Sao peka lobo adalah rumah
adat dari ngadhu (suami).
Dilihat dari bentuk fisiknya Sao peka lobo
memilki bentukan yang sama dengan rumah adat lain yang
membedakan ialah pada puncak bubungan rumahnya
ditempatkan sebuah patung kayu berbungkuskan ijuk yang
disebut Ata yg berarti orang. Ata adalah symbol dari
suami/laki-laki. Selain itu bagian paling dalam rumah adat
lebih luas dari rumah adat yang lain.

Gambar Ata
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

3. Sao wua ghao

Secara harafiah Sao berarti rumah, Wua berarti


muat (memuat), Ghao berarti menggendong/memangku.
Jadi Sao wua ghao adalah rumah adat yang berfungsi
mendukung, merangkul / memberikan dorongan/nasihat
Selain itu Sao wua ghao bergungsi sebagai pelerai terjadi
perselisihan antara Sao peka puu dan Sao peka lobo.
Sao wua ghao adalah rumah kepunyaan peo
(leluhur laki2 yang hidupnya paling kurang 3 generasi
sebekum ngadhu (leluhur laki2 hidup). Peo berdiri tegak
dibelakang ngadhu sebagai simbol pelindung ngadhu
sekaligus bhaga dan pelindung seluruh keturunan yang
bernaung di bawah ngadhu dan bhaga.
Dilihat dari bentuk fisiknya Sao wua ghao
memilki bentukan yang sama dengan rumah adat lain. Hal
yg membedakan ialah pada puncak bubungan rumahnya
tidak ditempatkan ata (patung orang) & ana ie (rumah
mini).
Gambar Sao Wua Ghao
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

4. Sao dai

Sao dai mempunya arti mendukung/mendampingi


/membantu. Sao Dai bertindak sebagai pendamping Sao
peka puu dan Sao peka lobo dalam urusan adat. Bentuk
fisik dari Sao Dai tidak berbeda dengan sao lainnya, yg
berbeda ialah sao dai tidak mempunyai Ana Ie (rumah
mini) dan Ata (patung orang). Selain itu ukuran rumahnya
juga lebih kecil.

Gambar Sao Dai


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur
vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

5. Sao kedhi
Sao kedhi atau sao keka artinya rumah
kecil. Rumah ini dibentuk dari bambu atau kayu bulat (Iie
bodha) dindingnya dari pelupuh bukan dari papan.

Gambar Sao Kedhi atau Sao Keka


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

6. Keke uma dan keke tua

Pengetahuan lainnya, yakni terdapat rangkaian rahang hewan sembelihan


yang digantung dengan tali di bagian depan sao (rumah tinggal).
Rangkain tulang ini menandakan bahwa sao (rumah) bersangkutan
memiliki hutang hewan (babi/kerbau) sebanyak jumlah tulang yang ada.

Gambar Rahang Hewan Sembelihan


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

g. Sistem Mata Pencaharian Hidup


Mata pencaharian masyarakat Jere adalah berkebun. Hasil utama
perkebunannya berupa kelapa, kakao, pisang, kemiri, dan bengkuang.
Gambar Perkebunan Jere : (Kiri-Kanan) Pisang, Kelapa, Cokelat
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas
Nusa Cendana, Juli 2016

Masyarakat Jere melakukan acara adat sebelum membuka kebun baru.


Acara adat ini dikenal dengan istilah keaea uma musi.

h. Sistem Teknologi dan Peralatan


Di dalam Sao Meze (rumah besar) setiap rumah adat kampung Jere harus
dilengkapi dengan benda-benda keramat sebagai simbol kehadiran Roh leluhur
sebagai pengantara antara manusia dengan dewa (Tuhan). Benda-benda
keramat itu adalah mataraga, sua uwi, kobho uwi, bokha uwi.
- Mataraga merupakan benda keramat yang terdiri dari dua bilah papan yang
sejajar yang dihubungkan dengan pasak atau baji, yakni mistar dari papan
agar kedua bilah papan yang berdiri tegak lurus itu sejajar.

Gambar Mataraga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Pada kedua papan tegak itu diukir sedemikian rupa sehingga terdapat tiga
buah takik bergerigi yang disebut rete, gerigi pada rete atau takik itu disebut riti
(gigi-gigi kecil). Mataraga tersebut diletakkan pada dinding yakni pada papan
besar yang paling tengah (kedu) dari dinding paling dalam.
Gambar Bagian-Bagian Mataraga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016
Keterangan gambar.
1.) dua bilah papan tegak yangsejajar yang dihubungkan pasak atau baji
2.) lajasue atau lembing bercabang
3.) rete, semacam takik yang bergerigi (riti)
4.) sau kawa atau sau gae, parang pusaka atau parang keramat
5.) ehuja kawa atau gala gae (tombak atau lembing pusaka)

- Sua Uwi
Sua = tofa atau alat untuk menggali ubi atau untuk bekerja di kebun
Uwi = ubi
Jadi, suwa uwi adalah tofa dari bambu untuk menggali ubi. Tofa dari
bamboo dibuat tajam untuk menggali ubi atau untuk bekerja di kebun.
Tetapi di dalam rumah adat sua uwi adalah tofa dari bamboo, bersama
kobho sea dan bhoka Uwi digantung disebelah Mataraga, sebagai lambing
kepemilikan tanah adat.

Gambar Sua uwi


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Gambar Sua uwi
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Keterangan.
1. Sua uwi
2. Kobho sea atau kobho uwi (tempat minum atau tempat makan terbuat
dari tempurung kelapa yang dilicinkan
3. Bhoka uwi adalah sejenis buah labu yang keras kulitnya. Dahulu
digunakan sebagai tempat penyimpanan bibit tanaman seperti bibit
kacang-kacangan, biji labu (lie besi),dll
4. Tali penghubung antara sua uwi, kobho uwi dan bhoka uwi
5. Bere kobho

- Kobho Uwi
Kobho Uwi adalah sebuah tempat dari tempurung kelapa yang
besar, yang dibuat licin. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai
tempat tuak sebelum dibagi-bagikan ke setiap orang yang hadir.

Gambar Kobho Uwi


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
- Bokha Uwi
Adalah sebuah jenis labu yang kulitnya keras. Bhoka yang besar
dapat dipergunakan untuk menyimpan bibit kacang-kacangan, jewawut,
dll.
Bhoka uwi adalah benda budaya yang keramat sebagai simbol
leluhur perempuan, yakni ketika masih hidup adalah istri dari leluhur laki-
laki, yang namanya diabadikan pada kobho uwi.
Selain benda-benda tersebut di atas terdapat beberapa benda
keramat lainnya, yakni :
Senjata keramat
Bhuja kawa (tombak pusaka), gala gae (lembing keramat),
sau gae (parang keramat). Apabila diadakan upacara yang sesuai
atau untuk menari, senjata-senjata itu dapat dipergunakan. Tetapi
setiap harinya senjata itu disimpan melintang di mataraga atau
zeguraga atau fiI riti. Bhoka ulu artinya bhoka lambing tengkorak
musuh. Bhoka ini berbeda dengan bhoka uwi. Bhoka ulu
mempunyai jumlah yang sesuai dengan jumlah musuh yang
dibunuh oleh leluhur keluarga itu pada zaman perang dahulu.
Bhoka ulu selalu digantungkan diatas iru diatas dari para-para.

Perhiasan emas.
Emas dan perak disimpan oleh leluhur dengan upacara
suci.jadi benda itu dianggap keramat dan apabila sesekali harus
dikeluarkan dari tempatnya harus disertai upacara kecil, paling
kurang seekor ayam dibunuh untuk diadakan pau atau ria untuk
meminta restu leluhur.Dalam rumah adat terdapat beberapa perabot
sebagai berikut.
Kada, adalah sebuah tempat besar terbuat dari rotan atau dari
kulit batang bamboo, sebagai tempat menyimpan alat-alat
makan yang terbuat dari anyaman daun lontar atau dari daun
pandan.
Gambar Kada
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Wati /wati riti adalah tempat nasi (sebagai pengganti piring).


Pinggir atasnya bergerigi (riti)

Gambar Wati
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Wati to : sama dengan wati tetapi pinggir atasnya tidak


bergerigi. Wati to mempunyai tutupan. Gunanya sebagai
tempat nasi untuk dibawa (to) sebagai sumbangan bagi
keluarga yang berpesta.
Wati mini
Kaladai adalah sebuah tempat mirip dengan wati to tetapi
ukurannya sedikit lebih kecil. Disebut pula Ana Monga
yang berfungsi sebagai tempat nasi untuk dibawa (to) ke pesta
sebagai sumbangan.
Gambar Kaladai
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Sea tua : tempat yang terbuat dari tempurung kelapa dan


digunakan untuk minum moke.

Gambar Sea Tua


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Bereoka : tempat untuk menyimpan siri pinang dan apabila


terjadi kematian maka tempat ini digunakan untuk menyimpan
beras.

Gambar Bereoka
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Sole : sama dengan wati to atau kaladai (Ana Monga) tetapi
ukurannya lebih besar dari kaladai fungsinya sama dengan
kaladai tetapi sole sering dibawa pada pesta yang lebih besar.
Bhodo : sama bentuknya dengan sole tapi ukurannya lebih
besar dari sole. Biasanya pada pesta-pesta besar,seperti pesta
rumah adat atau pesta ngadhu dan bhaga. Diatas bhodo sering
diletakan kepala babi dan dipikul oleh pemuda-pemuda sambil
menari disertai anggota keluarga yang ikut menari pula. Bhodo
diletakkan ditengah kampung.
Bere dawa, adalah tempat nasi berupa bere (anyaman dari daun
lontar atau daun pandan) yang tetap digantungkan di rumah
induk. Bere dawa ini berasal dari rumah-rumah pendukung
atau sao Teke sua. apabila ada pesta besar (pesta rumah
adat,atau pesta ngadhu dan bhaga), maka rumah-rumah
pendukung dating mengambil bere miriknya masing-masing
kemudian bere itu diisi nasi yang penuh,untuk dibawah ke
rumah induk berpesta. Disebut bere dawa karena bere itu
digantungkan berderet (dawa) pada rumah adat.
Kee,adalah semacam wati to,tetapi ukurannya sangat kecil
gunanya bukan untuk disumbangkan kepada yang berpesta
melainkan sebagai tempat nasi dan daging persembahan yang
diletakan dibawah mata raga/fii riti. Kee juga digunakan pada
waktu upacara kawin adat yang disebut rene. Nasi diisi penuh
hingga padat (rene : dipadatkan).

Gambar Kee
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Pedho,adalah tempat yang bertutupan yag terbuat dari
anyaman daun lontar sebagai tempat menyimpan pakaian adat
(pedho lawo/pedho lue).
Peralatan yang digunakan dalam membangun rumah adalah
sebagai berikut.

1. Parang
Sebagai alat potong atau alat tebas (terutama selak
belukar) kala penggunanya keluar masuk hutan. Parang
juga digunakan untuk pertanian.

Gambar Parang
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

2. Ijuk, sebagai alat pengikat bahan bangunan

Gambar Ijuk
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

3. Gergaji, hamar, mistar, pemukul


Gambar Gergaji, Hamar, Mistar, Pemukul
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Gergaji digunakan sebagai alat memotong kayu, hamar


digunakan sebagai alat pemukul paku, pahat digunakan
sebagai alat memahat kayu, mistar digunakan sebagai alat
ukur bahan, alat pemukul digunakan sebagai alat pemukul
pahat.

i. Bahasa
Bahasa yang digunakan penduduk Jere dalam kesehariannya adalah bahasa
Bajawa. Bahasa ini juga digunakan pada saat upacara adat.

j. Upacara-upacara adat
Masyarakat Jere memiliki beragam upacara adat yang dijabarkan sebagai
berikut.
1. Penerimaan dan pelepasan tamu
Masyarakat Jere melakukan upacara penerimaan dan pelepasan saat
kedatangan tamu. Upacara dilaksanakan di ruangan one dipimpin oleh
seorang juru adat (Ata Tau Kae) Jika jumlah tamu banyak, maka
perwakilannya diminta untuk bergabung di dalam ruang one sementara
tamu lainnya duduk di ruang teda one. Hal yang diperlukan pada upacara
ini adalah seekor ayam jantan, tuak (biasa disebut moke), dan nasi.
Upacara penerimaan dan pelepasan memiliki prosesi sebagai berikut.

Setelah semua pihak yang terkait berkumpul di ruang one dan


selebihnya di ruang teda one, juru adat (Ata Tau Kae) memegang
moke dan mulai berbicara dalam bahasa adat (bahasa setempat, yakni
bahasa bajawa ). Sebelumnya juga telah disediakan nasi yang
ditempatkan pada beberapa wadah yang disebut wati. Moke yang telah
didoakan kemudian dibagikan kepada seluruh pengikut upacara di one
maupun di teda one dengan arah memutar ke kanan dan semua peserta
upacara harus mendapat bagian. Moke dibagikan oleh seseorang yang
ditunjuk secara bebas. Setelah minum, semua pengikut upacara
dipersilahkan menikmati nasi yang telah disiapkan. Pada acara
pelepasan, makanan dibagikan oleh seseorang yang ditunjuk.

Gambar Moke dan Makanan yang Telah Siap Didoakan


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Gambar Makanan Untuk Leluhur Di Tempat Khusus (Kiri);


Pembagian Makanan Oleh Seorang yang Telah Ditunjuk (Kanan)
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Juru adat (Ata Tau Kae) memegang ayam yang telah disiapkan dan
kembali berbicara dalam bahasa adat. Ayam disembelih dan darahnya
ditempatkan pada sea tua yang telah disiapkan.
Gambar Penyembelihan Ayam
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Pengolesan darah ayam pada beberapa bagian tertentu dari rumah adat
oleh mori sao, yakni keturunan laki-laki dari pemilik rumah adat yang
bersangkutan . Pengolesan ini harus dilakukan secara berurutan ke arah
kanan. Berikut ini merupakan area pengolesan darah ayam secara
berurutan.
Kedua bilah papan mataraga, kobho uwi, dan ketiga senjata pada
mataraga.

Gambar Pengolesan Darah Ayam Pada Mataraga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Ke empat sudut rumah yang disebut bhisu.


Gambar Pengolesan Darah Ayam Pada Bhisu (empat sudut rumah)
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Para-para dan tungku

Gambar Pengolesan Darah Ayam Pada Para-para dan Tungku


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Tolo pena

Gambar Pengolesan Darah Ayam Pada Tolo Pena


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Watu Pali Wai


Gambar Pengolesan Darah Ayam Pada Watu Pali Wai
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Watu mangu

Gambar Pengolesan Darah Ayam Pada Watu mangu


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Ayam yang telah dipanggang disembelih untuk dilihat uratnya. Dari


tahapan ini dapat diketahui apakah kedatangan tamu di kampung Jere
diterima dengan baik atau tidak.
.
Gambar Membaca Makna dari Urat Ayam
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

2. Pesta-pesta selama membangun rumah adat


Basa Mata Taka
Basa mata taka secara harafiah berarti membasahi mata
kapak. Arti secara luasnya adalah membasahi kapak dan alat
tukang dengan darah babi sebelum alat-alat itu dipergunakan
sebagai alat menebang kayu yang akan digunakan sebagai material
rumah. Pohon yang telah ditebang dibiarkan beberapa bulan agar
kering sehingga dapat digergaji untuk dijadikan balok dan papan
sesuai kebutuhan.
Se Suna
Se suna disebut juga Gbhe puu kaju. Se suna berarti
membersihkan serbuk sesudah selesai digergaji. Gbhe puu kaju
berarti menutup pangkal pohon yang telah ditebang. Berdasarkan
kepercayaan, pokok bekas batang pohon yang telah ditebang untuk
bahan rumah tidak boleh tumbuh lagi sehingga harus ditutup
dengan serbuk dan daun-daun kering untuk dibakar.
Se suna atau gbhe puu kaju pada dasarnya merupakan
syukuran pada leluhur dan dewa karena pekerjaan penggergajian
telah selesai. Hewan korban yang disembelih adalah seekor babi
diiringi dengan upacara ria ura ngana (doa sebelum babi
disembelih).
Papan dan balok yang telah siap diangkut ke kampung oleh
pemuda dan pemudi kampung. Sesampainya di kampung semua
pihak yang terlibat dalam pengerjaan serta semua orang di
kampung harus diberi makan daging, nasi dan tuak sebagai ucapan
terimakasih. Acara ini disebut mege bue soga dan dapat juga
disebut sebagai muku manu yang berarti pisang/ayam sebagai
simbol babi untuk memberi makan pemuda dan pemudi.
Pengadaan tiang rumah adat
Sebuah rumah adat yang dibangun pada tempat yang rata
dengan kolong rumah rendah biayanya tidak mahal karena tiang
rumah itu terbuat dari batu yang disebut lke watu. Lke watu tidak
diangkut dari tempat yang jauh sehingga tidak perlu membutuhkan
tenaga dan biaya. Apabila di bangun pada tanah yang miring serta
membutuhkan tiang yang tinggi , maka rumah adat tersebut
membutuhkan tiang kayu yang berasal dari pohon juar (dalu) yang
memiliki kayu yang sangat keras yang sulit dimakan semut
ataupun anai-anai.
Pohon juar adatu dalu biasanya tumbuh jauh dari kampung.
Pada zaman dahulu pohon juar yang telah dibersihkan dan dipahat
mendekati tiang rumah, dipikul beramai-ramai oleh masyarakat
kampung (dikenal dengan istilah bhei lke). Apabila di jalan yang
lebar dan rata, tiang rumah tersebut ditarik beramai-ramai yang
disebut ghoro lke.
Sebelum tiang rumah ditarik atau dipikul oleh masyarakat ,
tiang tersebut terlebih dahulu dipikul dari hutan tempat penebangan
menuju jalan besar oleh laki-laki tanpa bersuara dan diusahakan
agar tidak dilihat oleh orang lain. Tiang-tiang yang dibawa ini
dihiasi potongan kain warna-warni. Kegiatan ini disebut bhagu
lke.
Sehari sebelum tiang-tiang rumah adat dibawa dari hutan ke
kampung, perempuan-perempuan di dalam kampung menghias alu
dan lesung dengan potongan-potongan kain warna-warni dan
beramai-ramai menumbuk padi. Pada malam itu juga diadakan
upacara kecil yang disebut sero kipi, yakni satu tandan pisang dan
satu batang tebu lengkap dengan akar dan daunnya yang
disandarkan pada dinding di dalam rumah (one). Sero kipi disebut
juga pei muku twu (menyandarkan tandan pisang dan batang
tebu).
Gere Ngia
Arti harafiahnya adalah membersihkan tempat. Sesuai arti
itu, tukang-tukang (lima pade) mengukur tempat yang telah
diratakan, yakni menentukan titik-titik sudut. Dan pada titik-titik
sudut itulahakan ditanam tiang-tiang rumah (lke). Dibuat pula
hajat dengan upacara pau ura ngana sebagai upacara mohon restu
leluhur.
Titk-titik sudut itu ditentukan dengan alat yang disebut,
suru nuba yakni dua bilah bamboo yang sama panjangnya, diikat
bersilang ditengahnya. Kedua bilah bamboo yang diikat itu
mempunyai jari-jari yang sama panjangnya. Kemudian diletakan
pada bidang yang menjadi tempat rumah itu.
Bila ujung-ujung bambu itu dihubung-hubungkan, maka
terjadilah sebuah segiempat sama sisi (bujur sangkar). Pada ujung
bambu itulah menjadi titik-tiik untuk ditanami tiang-tiang rumah
itu.
Kage Lke
Adalah suatu hajat yang ada yang agak besar, yang dihadiri
seluruh kampung. Kage Lke adalah acara memulainya
menanamkan tiang-tiang rumah, pada titik-titik yang telah
ditentukan. Acara ini diawali dengan acara soka lke
Gose Wisu
Gose Wisu sebenarnya adalah menanamkan (menancapkan)
tiang-tiang sudut dalam (wisu). Jadi Gose Wisu adalah hajat untuk
meminta restu leluhur agar pemasangan tiang-tiang sudut itu
berjalan lancar.
Seperti telah disebutkan diatas, ujung bagian bawah dari
tiang sudut dipahat lancip dan ditanam pada balok dasar (loki)
(bagian yang lancip itu disebut, lasu wisu). Bagian atasnya, dipahat
kecil atau lancip disesuaikan dengan lubang pada balok atas yang
disebut, ngani.
Ketika ke-empat tiang sudut itu selesai dipasang pada loki
dan bagian atasnya pada ngani, (pada lubang yang tepat), maka
badan rumah adat tersebut dapat terikat kuat serta dapat berdiri
tegak.
Kobo Ube
Arti harafiah dari kata, kobo ube adalah memukuli atau
merotani papan. Tetapi yang sebenarnya adalah, upacara syukur
karena pemasangan papan pada rumah adat telah selesai.
Pemasangan dinding pada rumah adat, tidak mempergunakan paku,
melainkan ujung bawah papan dipahat agak kecil sesuai dengan
sponing pada balok dasar yakni pada loki. Ujung papan itu seakan
tertanam kuat pada loki tersebut.
Demikian pula, ujung atas papan dibuat agak kecil sehingga
dapat dimasukkan ke dalam sponing pada balok atas yang disebut
ngani. Karena itu, papan-papan itu berdiri tegak dan rapat.
Gose tudhi atau bahasa tudhi
Arti lurusnya adalah menancapkan pisau atau membasahi
pisau. Tetapi sebenarnya adalah suatu hajat dan upacara syukur,
karena tiang Iru ( semacam loteng ) selesai dipasang.
Tudhi atau tiang Iru diukir yang baik sebagai symbol
pelindung barang-barang perhiasan emas yang tersimpan di Iru
(loteng). Karena itu, harus diadakan upacara syukur.
Paja wae
Paja wae artinya mengerjakan rangka atap. Sedangkan
wae adalah mengatapi rumah dengan alang-alang. Untuk
mengerjakan rangka atap dan atap alang-alang, melibatkan seluruh
kampung serta anggota keluarga yang tinggal di kampung lain.
Karena itu semua orang-orang itu harus diberi makan dagin, nasi
dan tuak yang banyak.
Penyediaan alang-alang, biasanya melibatkan seluruh
kampung yang disebut ke keri yakni semacam arisan alang-
alang. Setiap rumah baik rumah besar maupun rumah kecil,
diundang makan ( yang tidak hadir makan bagian dging dan nasi
dibawa ke rumahnya), dan ditentukan jumlah ikatan alang-alang
yang harus disediakan oleh setiap rumah.
Pada hari pengerjaan atap rumah adat, alang-alang yang
terkumpul di tengah kampung terlebih dahulu dibuat upacara
khusus, sebelum alang-alang itu dipergunakan. Yakni dua atau tiga
orang pemiik rumah berpakaian adat lengkap menari mengelilingi
kumpulan alang-alang itu sebanyak tiga putaran. Hal ini disebut,
jai liko keri yang artinya , menari mengitari alang-alang. Tarian
itu didahului Sa Ngaza (teriakan memuji) sebelum gong dan
gendang dibunyikan.
Robo keri
Robo keri berarti memotong atau menggunting ujung
alang-alang pada sisi kiri dan kanan atap yang berarti merapikan
atap sehingga kelihatan indah. Arti yang lebih luas adalah memberi
makan kepada masyarakat kampung dan semua yang telah
menyelesaikan pengatapan rumah adat tersebut.
Pesta peresmian rumah adat
Pesta ini merupakan pesta besar yang diiringi tarian jai dan
bunyi gong dan gendang.

3. Ritual kelahiran
Pada masyarakat Bajawa secara umum kelahiran anak baik laki-laki
maupun perempuan adalah berkah dari leluhur. Karena itu kelahiran anak
selalu disyukuri dengan rangkaian upacara adat sebagai berikut.
Geka naja, yakni upacara yang dilakukan sesaat setelah seorang
anak lahir yang ditandai dengan pemotongan tali pusar (poro puse)
dan pemberi nama (tame ngaza). Untuk pemberian nama biasanya
semua daftar nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut
sampai sang bayi bersin. Bersin diyakini sebagai tanda kesepakatan
dari bayi. Pemberian nama melalui cara ini penting dilakukan. Jika
tidak, nak tersebut tidak akan bertumbuh dengan normal dan sehat.
dalam hal ini, kecocokan nama dan orang sangat menentukan masa
depannya.
Tere azi, yakni penempatan ari-ari pada suatu tempat yang tinggi
(di atas pohon). Masyarakat Bajawa memandang ari-ari sebagai
kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik.
Awalnya ari-ari ditempatkan di dasar rumah pokok.
Lawi Azi, Lawi ana, atau tau, yakni upacara yang bertujuan
mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan
mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan
babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak
dicukur yang dikenal dengan istilah koi ulu.

4. Ritual pernikahan
Pergaulan antara rang atas dan rang bawah sangat dijaga. Dalam adat
perkawinan seorang laki-laki rang bawah dilarang kawin dengan seorang
perempuan dari rang atas. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan di
mana dewa akan marah dan leluhur akan mengirimkan malapetaka
terhadap kampung dari salah satu pihak yang melanggar adat kawin.
Malapetaka tersebut dapat berupa hujan yang tak pernah berhenti (rute
subhe), banjir dan tanah longsor. Ketika ada yang dicurigai melanggar adat
tersebut, dewa (nitu) akan mengumumkan nama si pelanggar adat dari
bukit yang terdekat. Sebenarnya yang disebut dewa atau nitu tersebut
adalah orang yang berasal dari rang atas yang menyamar.
Berikut merupakan tahapan pernikahan pada kampung adat Jere :
Peminangan laa tana, yakni upacara dimana pihak laki-laki
meminta persetujuan dari pihak wanita atau disebut sebagai acara
masuk minta.
Peku Meku, yakni acara bertemunya kedua orang tua mempelai di
rumah keluarga wanita untuk membahas waktu pernikahan. Selain
itu dikenal istilah tua kele manu kapu yang berarti keluarga
mempelai pria harus membawa ayam, tuak, dan kelapa. Acara ini
dinamakan idi nio manu. Makna upacara ini adalah sebagai tanda
penghargaan dari pihak pria kepada pihak wanita. Pada upacara ini
juga pihak pria menanyakan terkait besarnya weli (belis) yang
harus dibawa. Belis biasanya berupa hewan besar, kerbau, dan kuda.
Sebagai balasan, pihak wanita menyiapkan kain dan ternak kecil
(babi, anjing, ayam, dan kambing). Weli dibayar sebelum nikah dan
nilainya ditentukan oleh orang tua pihak wanita.
Idi ngawu, yakni acara pembayaran belis.
Upacara pernikahan

5. Ritual kematian
Dalam masyarakat Jere dikenal 2 jenis kematian, yakni kematian
wajar (mou waku) dan kematian tidak wajar (golo).
Kematian wajar (Mou Waku) dibagi kedalam beberapa ritual, yaitu:
1) Pasa sua : ritual dimana sebuah kayu ditikam ditanah tempat
jenazah disemayamkan
2) pasa peti : ritual memasukan jenazah kedalam liang kubur
3) sewo bemu : ritual setelah jenazah dimasukan ke liang kubur
4) kai boko: ritual akhir/penutup
Kematian tidak wajar (Golo) adalah kematian yang disebabkan karena
hal-hal yang dianggap tidak wajar seperti bunuh diri dan kecelakaan.
Sementara kematian wajar (Mou Waku) adalah kematian yang dianggap
wajar, misalkan seseorang yang meninggal karena sakit.
Pada ritual kematian tidak wajar (Golo), jenazah tidak diizinkan untuk
dibaringkan di teda one. Jenazah dibaringkan di luar rumah sepanjang
berlangsungnya upacara adat hingga penguburan. Sementara pada
kematian wajar (Mou Waku), jenazah dibaringkan di teda one.
6. Upacara Reba
Reba merupakan upacara syukuran atas hasil panen dan merupakan
syukuran akhir tahun.
Tahap-tahap upacara adat reba adalah sebagai berikut:
Reba Lanu, yakni upacara pembukaan seluruh rangkaian reba yang
dilakukan pada tempat khusus yang terletak di luar kampung, yang
disebut Lanu. Tahap ini bertujuan menghormati leluhur masyarakat di
kampung.
Dheke Reba, yakni upacara yang dilaksanakan pada malam pertama
reba. Pada kesempatan ini anggota-anggota suku dating ke rumah
pokok untuk merayakan reba melalui makan malam bersama yang
disebut Ka Maki Reba.
Tarian Reba, yakni kegiatan menari missal sambil menyanyikan lagu
reba yang disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan ini dilaksanakan
pada siang hari setelah malam Dheke Reba dengan peserta tarian
berpakaian adat lengkap.
Doya Uwi, yakni acara arakan ubi yang dilaksanakan di kampung.
Sui Uwi, yakni upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-
masing suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping kesan dan
pesan kepada anak cucu dan leluhur. Acara ini juga sekaligus menutup
seluruh rangkaian reba pada umumnya.

k. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari
ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia
menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga
perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni
patung/pahat, seni rupa, seni gerak, lukis, gambar, rias, vocal, musik/seni suara,
bangunan, kesusastraan, dan drama (Koentrajaningrat, 2002).
1. Tarian
Jai
Tarian ini biasa dipraktekan pada saat : gale ngani (pengambilan
material untuk pembuatan rumah adat), wae (pemasangan atap alang-
alang), dan api maru (rumah selesai dibangun).
Teke sao

2. Alat musik
Gendang
Gong

3. Ukiran
Ukiran rantai emas (terdapat pada sao, bhaga & ngadhu)
Ukiran ini bermakna hidup manusia harus murni.

Gambar Ukiran Rantai Emas


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Ukiran sawa/naga (terdapat pada sao) sebagai simbol


pahlawan

Gambar Ukiran Sawa/Naga


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

Ukiran ayam/manu (terdapat pada sao) sebagai lambang


musyawarah mufakat.
Gambar Ukiran Ayam/Manu
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

4. Pakaian adat untuk Wanita

Gambar Pakaian adat untuk Wanita


Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016

ANALISIS DAN SINTESIS


Keberadaan adat istiadat, kelembagaan, cara hidup rakyat, arsitektur,
peninggalan masa lalu, serta kesenian pada kampung adat Maghilewa akan mengarah
pada pengembangan pariwisata dengan jenis pariwisata kebudayaan (cultural tourism).
Daya tarik pada kampung adat Maghilewa terdiri atas 2, yakni :
1. Daya tarik alami
a. Letak
Letak Kampung adat Maghilewa sedikit jauh dari ibukota
kabupaten Ngada yaitu Bajawa. Dari Bajawa perjalanan menuju kampung
dapat ditempuh dengan jarak 49,8 km dan dalam waktu 1 jam 28 menit.
Sementara dari bandara dapat ditempuh dengan jarak 68,3 km dan dalam
waktu 2 jam 4 menit. Dari pelabuhan Aimere dapat ditempuh dengan jarak
14,9 km dan dalam waktu 30 menit.
Kampung maghilewa terletak dibawah kaki gunung Inerie. Hal ini
mengakibatkan kontur tanah cenderung landai. Tanah yang landai
mengakibatkan kampung dibuat bertingkat (terassering) mengikuti bentuk
kaki gunung.

b. View

View pada kampung adat Maghilewa terbagi atas 2, yakni view di


dalam kampung dan view ke luar kampung.
Kondisi tanah pada Kampung adat yang dibuat bertingkat membuat view
di dalam kampung baik dari area tertinggi ke rendah maupun sebaliknya
menjadi lebih menarik.

Pengunjung dapat menikmati keindahan gunung Inerie dari


kampung. Sepanjang jalan menuju kampung adat, pengunjung dapat
menikmati pemandangan alam pedesaan berupa pantai, tebing,
perkebunan, hutan.

c. Hasil alam

Maghilewa merupakan daerah dengan kondisi tanah yang subur


karena mengandung material-material hasil letusan gunung berapi
sehingga menjadikan daerah ini sebagai daerah yang cocok untuk
berkebun. Hal ini menjadikan mata pencaharian utama penduduk kampung
maghilewa adalah berkebun. Hasil kebun yang mendominasi berupa
kakao, kelapa, pisang, bengkuang.

2. Daya tarik budaya


a. Adat-istiadat
Adat-istiadat pada kampung Maghilewa masih sangat kental. Salah
satunya dapat dilihat dari antusias masyarakat dalam melaksanakan
upacara-upacara adat. Selain itu juga dalam pembangunan rumah dan
monumen masyarakat kampung adat ini melakukan setiap tahapan
pembangunan secara berurutan sesuai dengan adat-istiadat yang
berlaku.
b. Arsitektur
Dalam bidang arsitektur kampung ini memiliki keunikan tersendiri.
Rumah-rumah pada kampung adat ini sebagian besar merupakan rumah
panggung dan secara keseluruhan menggunakan material-material yang
digunakan secara turun-temurun. Konstruksi yang digunakan pada
bangunan ini tidak menggunakan paku atau material sambungan
modern lainnya melainkan menggunakan sistem ikat pada konstruksi
atap serta sistem pasak pada persambungan kayu. Proses pembangunan
rumah pada kampung adat ini memakan biaya yang besar karena masih
terikat dengan adat istiadat yang mereka percaya.
Pada kampung ini terdapat monumen yang mewakili tiap suku
yang ada, yakni bhaga dan ngadhu. Keberadaan monumen ini
menandakan jumlah suku yang ada baik di Maghilewa maupun Jere.
Pembangunan monumen ini lebih mahal daripada pembangunan rumah.
c. Sistem Kepercayaan
Masyarakat Maghilewa menganut agama Katolik. Kepercayaan ini
dibawa oleh bangsa Portugis dan sudah ada sebelum tahun 1919. Hal
ini dibuktikan dengan adanya gereja Katolik St Familia yang dibangun
pada tahun 1919 dan terletak diantara kedua kampung tersebut. Gereja
ini merupakan gereja paroki pertama di desa Inerie
Upaya-upaya pengembangan potensi pariwisata dalam melestarikan
arsitektur vernakular kampung adat Maghilewa:
- Menjadikan kampung adat Maghilewa sebagai cagar budaya
(penjabaran)
- Mempertahankan kondisi jalan/akses menuju kampung adat Maghilewa
dan bekerja sama dengan pemerintah dalam penyediaan kendaraan.
(penjabaran)
- Mengembangkan pusat kerajinan tenun dan ukir
(penjabaran)
- Menjadikan keaslian kampung adat Maghilewa sebagai sarana edukasi.
(penjabaran)

KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai