PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dalam tahap
pembangunannya, berusaha membangun industri pariwisata sebagai salah satu
cara untuk mencapai neraca perdagangan luar negeri yang berimbang. Melalui
industri ini diharapkan pemasukan devisa dapat bertambah (Pendit, 2002).
Sebagaimana diketahui bahwa sektor pariwisata di Indonesia masih menduduki
peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional sekaligus
merupakan salah satu faktor yang sangat strategis untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat dan devisa negara, salah satunya dalam bidang kebudayaan. Hal ini
didukung oleh potensi Indonesia sebagai negara yang memiliki beraneka ragam
suku dengan berbagai adat istiadat yang tentunya memiliki karakteristik
kebudayaan tradisional yang bisa menjadi daya tarik dan identitas nasional. Salah
satunya dapat ditemukan di kampung adat.
Kampung adat adalah tempat yang masih memegang teguh kebudayaan yang
telah bertumbuh sejak dahulu. Keberadaan kampung adat di Indonesia masih
belum banyak diketahui. Kampung adat merupakan suatu komunitas tradisional
dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan
wilayah dimana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan
sosial dan tradisi yang ditata oleh suatu system budaya.(Surpha dalam Pitana
1994:139)
Salah satu hal yang menjadi identitas sebuah kampung adat adalah arsitektur
vernakulernya. Arsitektur vernakular merupakan arsitektur yang tumbuh dan
berkembang dari rakyat, lahir dari masyarakat etnik, dan berakar pada tradisi etnik
tersebut. Menurut Amos Rapopor ( 1969 ) arsitektur vernakular merupakan karya
arsitektur yang tumbuh dari segala macam tradisi dan mengoptimalkan atau
memanfaatkan potensi-potensi lokal seperti material, teknologi dan pengetahuan.
Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri dan karakteristik arsitektur tersendiri
yang membuat arsitektur di Indonesia sangat beragam. Pada satu pulau saja
terdapat beragam langgam arsitektur dimana salah satunya terletak di pulau Flores
tepatnya di Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada. Di desa Inerie
terdapat sebuah kampung yaitu kampung adat Maghilewa. Kampung adat
Maghilewa merupakan salah satu kampung yang memiliki nilai arsitektur
vernakular dari segi lansekap, kebudayaan, struktur dan ruang.
Sebagai sebuah kampung yang terletak di bawah kaki gunung dengan
kemiringan tertentu dan dengan kondisi alam tertentu, arsitektur Maghilewa
memiliki karakteristik tersendiri dalam menghadapi kondisi alam tersebut baik
melalui struktur rumah, pola perkampungan, proses membangun rumah maupun
material yang digunakan dalam pembangunan rumah. Selain itu adat istiadat pada
kampung adat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Hal ini tampak
dari beberapa hal, yakni pelaksanaan upacara-upacara adat pada berbagai
kegiatan, sistem matrilinear yang masih dianut, menjalankan tradisi dengan
berbagai macam larangan dan pantangan, dan lain sebagainya. Karakteristik inilah
yang menjadi kekayaan dari kebudayaan kampung adat Maghilewa yang perlu
dilestarikan.
Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin menjelaskan upaya melestarikan
arsitektur vernakular di Kampung Maghilewa melalui pengembangan potensi
pariwisata yang dilihat dari karakteristiknya.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pariwisata
Pariwisata telah dikenal di dunia sejak zaman prasejarah namun tentu saja
pengertian pariwisata pada zaman itu tidak seperti saat ini (modern). Sejak dahulu
kala bangsa-bangsa di dunia seperti Sumeria, Phoenisia, sampai dengan Romawi
sudah melakukan perjalanan, namun tujuannya masih untuk berdagang,
menambah pengetahuan ilmu hidup, ataupun ilmu politik. Selanjutnya setelah
modernisasi meluas di segala penjuru dunia, khususnya setelah terjadinya revolusi
industri di Inggris, maka muncul traveller traveller yang secara bergantian
melakukan perjalanan pariwisata seperti yang kita kenal saat ini.
Menurut Spilane (1987), Pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ke
tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai
usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagian dengan lingkungan
hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.
Fandeli (1995) mengemukakan bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek daya tarik wisata serta
usaha usaha yang terkait di bidang tersebut. Undang-undang Nomor 10 tahun
2009, menyebutkan pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, dengan demikian pariwisata
meliputi:
1. Semua kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan wisata.
2. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata seperti: kawasan wisata, Taman
rekreasi, kawasan peninggalan sejarah, museum, pagelaran seni budaya,
tata kehidupan masyarakat atau yang bersifat alamiah: keindahan alam,
gunung berapi, danau, pantai.
3. Pengusahaan jasa dan sarana pariwisata yaitu: usaha jasa pariwisata (biro
perjalanan wisata, agen perjalanan wisata, konvensi, perjalanan insentif
dan pameran, konsultan pariwisata, informasi pariwisata). Usaha sarana
pariwisata yang terdiri dari akomodasi, rumah makan, bar, angkutan
wisata.
4. Tujuan Pariwisata
Tujuan pariwisata telah dijabarkan oleh para ahli di bidang pariwisata
sebagai optimalisasi pemanfaatan dan pengembangan sumber-sumber daya
pariwisata. Daerah tujuan wisata menurut Surjanto (dalam A. hari Karyono,
1997:11) yaitu daerah-daerah yang berdasarkan kesiapan prasarana dan sarana
dinyatakan siap menerima kunjungan wisatawan di Indonesia. Daerah tujuan
wisata diharuskan memiliki objek wisata dan daya tarik wisata (atraksi wisata)
sebagai media untuk menarik minat wisatawan. Berkembangnya pariwisata di
suatu daerah akan membawa perubahan pada daerah tersebut. Perubahan yang
dimaksud dapat bernilai positif jika pengembangan pariwisata dilaksanakan
dengan mengikuti prosedur yang benar, yakni melalui perencanaan yang
cermat dan matang supaya sesuai dengan kondisi setempat. Namun demikian,
jika pelaksanaannya tidak direncanakan dengan baik maka justru akan
membawa kerugian atau berdampak negatif bagi daerah tempat pariwisata
berkembang.
B. Arsitektur Vernakular
1. Arsitektur
1.1 Pengertian
Berikut ini adalah beberapa pengertian Arsitektur menurut para
ahli
1. Menurut Marcus Polio Vitruvius
Arsitektur adalah kesatuan dari kekuatan atau kekokohan
(firmitas), keindahan (venustas), dan kegunaan (utilitas)
2. Menurut Banhart Cl. dan Jess Stein
Arsitektur adalah seni dalam mendirikan bangunan termasuk
didalamnya segi perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya;
sifat atau bentuk bangunan; proses mebangun; bangunan dan kumpulan
bangunan.
3. Menurut Francis D.K. Ching
Arsitektur membentuk suatu tautan yang mempersatukan ruang,
bentuk, teknik, dan fungsi.
4. Menurut Amos Rapoport
Arsitektur merupakan ruang tempat hidup manusia, yang lebih dari
sekedar fisik, tapi juga menyangkiut pranata pranata budaya dasar.Pranata
ini meliputi Tata atur kehidupan social dan budaya masyarakat yang
diwadahi sekaligus mempengaruhi arsitektur.
Dari pendapat-pendapat parta ahli diatas dapat dikatakan bahwa
arsitektur adalah ilmu yang mempersatukan ruang, bentuk, teknik, dan
fungsi dalam mendirikan bangunan termasuk didalamnya segi
perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya; sifat atau bentuk
bangunan; proses membangun; bangunan dan kumpulan bangunan yang
mencakup ruang tempat hidup manusia, yang lebih dari sekedar fisik, tapi
juga menyangkut pranata pranata budaya dasar.
2. Vernakular
2.1 Pengertian
Dalam ranah ilmu arsitektur, istilah vernakular baru diperkenalkan
tahun 1964 melalui karya Rudofsky yang berjudul Architecture Without
Architects: a short introduction to non-pedigreed architecture. Adapun
dalam literatur berbahasa Inggris istilah vernakular mulai digunakan pada
awal 1601 M dan diambil dari bahasa Latin; vernaculus (Merriam-
Webster's Online). Dalam Merriam-Webster's Online, vernakular berarti
bahasa ibu (native language) suatu kelompok masyarakat yang hidup di
suatu tempat tertentu. Dalam konteks karya sastra, literatur vernakular
berarti literatur yang menggunakan bahasa setempat sedangkan dalam
konteks kebahasaan, vernakular berarti bahasa yang digunakan oleh
sekelompok masyarakat di suatu tempat tertentu. Pengertian ini dalam
sejarah Eropa pada abad pertengahan berarti sesuatu yang tidak meng-
gunakan bahasa/ tulisan Latin. Oleh karenanya vernakular diartikan
sebagai lawan dari lingua franca karena pada masa tersebut bahasa
pergaulan adalah bahasa Latin.
3. Arsitektur Vernakular
3.1 Pengertian
Berikut ini adalah beberapa pengertian arsitektur vernakular menurut
para ahli.
1. Menurut Turan Dalam Buku Vernacular Architecture
Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan
berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan
berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan
pengalaman (trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta
merupakan jawaban atas setting lingkungan tempat bangunan tersebut
berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi.
2. Menurut Romo Manguwijaya
Arsitektur vernakular itu adalah pengejawentahan yang jujur dari
tata cara kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan sejarah dari
suatu tempat.
3. Menurut Oliver Dalam Bukunya Yang Berjudul Encyclopedia Of
Vernacular-Architecture Of The World
Arsitektur Vernakular sebagai suatu kumpulan rumah dan
bangunan penunjang lain yang sangat terikat dengan tersedianya sumber-
sumber dari lingkungan.
Dari pendapat-pendapat parta ahli diatas dapat dikatakan bahwa
arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat dan tata cara kehidupan
masyarakat yang merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat sehingga
membentuk suatu kumpulan rumah dan bangunan penunjang lain yang
sangat terikat dengan ciri khas kebudayaan masyarakat sekitar.
C. Kampung Adat
Menurut Kamus Bahasa Indonesia pengertian kampung adalah desa, dusun
atau kelompok rumah -rumah yang merupakan bagian kota dan biasanya
rumah-rumahnya kurang bagus. Kampung dalam pengertian kampung adat,
mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat istiadat.
Kampung Adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi
dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana
para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan
tradisi yang ditata oleh suatu sistem budaya. (Surpha dalam Pitana 1994: 139).
Ciri-ciri desa adat (Pitana, 1994:145):
1. Mempunyai batas -batas tertentu yang jelas. Umumnya berupa batas alam
seperti sungai, hutan, jurang, bukit atau pantai.
2. Mempunyai anggota dengan persyaratan tertentu.
3. Mempunyai rumah adat yang mempunyai fungsi dan peranan.
4. Mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam.
5. Mempunyai suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat)
sendiri.
Selain sebagai identitas, keberadaan Kampung Adat adalah sebuah
kekayaan ilmiah yang merupakan sumber untuk terus dipelajari guna
peningkatan pengetahuan. Banyak hal yang dapat dipelajari. Apalagi semakin
lama, perkembangan semua aspek kehidupan semakin cepat. Oleh karena
itu,perlu melestarikan kebudayaan bangsa dengan kreatifitas serta
mengembangkannya mengikuti kemajuan. Dengan ini kebudayaan bangsa
berkembang dan berkelanjutan tanpa kehilangan akarnya (Mantra, 1996:3)
b. Pola Perkampungan
Kampung adat Maghilewa berkonfigurasi linear dengan sumbu timur laut
dan barat daya, dengan muka kampung menghadap timur laut. Rumah rumah
tersusun secara linear saling berhadapan dengan arah barat laut dan tenggara
menghadap ture (halaman). Pada ture terdapat ngadhu dan bhaga yang
dibangun menghadap muka kampung,
d. Sistem Religi
Pada zaman dahulu masyarakat Maghilewa menganut kepercayaan
menyembah nenek moyang atau leluhur. Hal ini ditunjukkan dengan
pelaksanaan upacara-upacara adat sebagai bentuk penghormatan kepada
leluhur yang sampai saat ini masih dilaksanakan.
Agama Katolik masuk sebelum tahun 1919 ditandai dengan pembangunan
Gereja Katolik St. Familia pada tahun 1919. Pada saat yang bersamaan
dibangun juga sebuah sekolah dasar SDK St Familia.
f. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan pada kampung adat Jere meliputi :
Cara pengukuran
Sistem satuan ukur yang dipakai dalam membuat rumah adalah depa,
yakni pengukuran dengan cara merentangkan kedua tangan, bukan tangan
semua orang tetapi tangan sang wanita pemilik rumah.
Cara membangun rumah
o Masyarakat desa menjunjung kekerabatan dalam bermasyarakat.
Gotong royong diterapkan demi terselesaikannya suatu pekerjaan
demikian pula ketika membangun rumah
o Jaman dahulu bahan bangunan untuk konstruksi rumah diangkut
menggunakan tali (leke), dimana tali diikatkan pada potongan kayu
untuk kemudian ditarik menggunakan tenaga manusia.
o Bahan bangunan yg digunakan ialah kayu (mangga, kelapa) dan bambu
Bangunan
- Ngadhu (rumah pria)
Fungsi:
Fungsi religius: simbol roh dari leluhur laki-laki yang namanya
dijadikan sebagai nama ngadhu merupakan perantara antara
manusia (anak/cucu) dengan dewa
Fungsi sosial: roh dari leluhur laki-laki yg namanya dijadikan
sebagai nama ngadhu merupakan pelindung & pemersatu semua
anak & cucu yang bernaung dibawah ngadhu tersebut.
Fungsi lain: tempat sembelih hewan untuk ritual. Di depan ngadhu
ditancapkan batu tegak (peo) yang merupakan tempat mengikat
hewan yang kemudian ditarik menujuKeterangan
ngadhu.:
1. Akar ngadhu, bercabang 3 berada dalam
tanah
Gambar Ana Ie
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Gambar Ata
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
4. Sao dai
5. Sao kedhi
Sao kedhi atau sao keka artinya rumah
kecil. Rumah ini dibentuk dari bambu atau kayu bulat (Iie
bodha) dindingnya dari pelupuh bukan dari papan.
Gambar Mataraga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Pada kedua papan tegak itu diukir sedemikian rupa sehingga terdapat tiga
buah takik bergerigi yang disebut rete, gerigi pada rete atau takik itu disebut riti
(gigi-gigi kecil). Mataraga tersebut diletakkan pada dinding yakni pada papan
besar yang paling tengah (kedu) dari dinding paling dalam.
Gambar Bagian-Bagian Mataraga
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014 Universitas Nusa
Cendana, Juli 2016
Keterangan gambar.
1.) dua bilah papan tegak yangsejajar yang dihubungkan pasak atau baji
2.) lajasue atau lembing bercabang
3.) rete, semacam takik yang bergerigi (riti)
4.) sau kawa atau sau gae, parang pusaka atau parang keramat
5.) ehuja kawa atau gala gae (tombak atau lembing pusaka)
- Sua Uwi
Sua = tofa atau alat untuk menggali ubi atau untuk bekerja di kebun
Uwi = ubi
Jadi, suwa uwi adalah tofa dari bambu untuk menggali ubi. Tofa dari
bamboo dibuat tajam untuk menggali ubi atau untuk bekerja di kebun.
Tetapi di dalam rumah adat sua uwi adalah tofa dari bamboo, bersama
kobho sea dan bhoka Uwi digantung disebelah Mataraga, sebagai lambing
kepemilikan tanah adat.
- Kobho Uwi
Kobho Uwi adalah sebuah tempat dari tempurung kelapa yang
besar, yang dibuat licin. Dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai
tempat tuak sebelum dibagi-bagikan ke setiap orang yang hadir.
Perhiasan emas.
Emas dan perak disimpan oleh leluhur dengan upacara
suci.jadi benda itu dianggap keramat dan apabila sesekali harus
dikeluarkan dari tempatnya harus disertai upacara kecil, paling
kurang seekor ayam dibunuh untuk diadakan pau atau ria untuk
meminta restu leluhur.Dalam rumah adat terdapat beberapa perabot
sebagai berikut.
Kada, adalah sebuah tempat besar terbuat dari rotan atau dari
kulit batang bamboo, sebagai tempat menyimpan alat-alat
makan yang terbuat dari anyaman daun lontar atau dari daun
pandan.
Gambar Kada
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Gambar Wati
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Gambar Bereoka
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Sole : sama dengan wati to atau kaladai (Ana Monga) tetapi
ukurannya lebih besar dari kaladai fungsinya sama dengan
kaladai tetapi sole sering dibawa pada pesta yang lebih besar.
Bhodo : sama bentuknya dengan sole tapi ukurannya lebih
besar dari sole. Biasanya pada pesta-pesta besar,seperti pesta
rumah adat atau pesta ngadhu dan bhaga. Diatas bhodo sering
diletakan kepala babi dan dipikul oleh pemuda-pemuda sambil
menari disertai anggota keluarga yang ikut menari pula. Bhodo
diletakkan ditengah kampung.
Bere dawa, adalah tempat nasi berupa bere (anyaman dari daun
lontar atau daun pandan) yang tetap digantungkan di rumah
induk. Bere dawa ini berasal dari rumah-rumah pendukung
atau sao Teke sua. apabila ada pesta besar (pesta rumah
adat,atau pesta ngadhu dan bhaga), maka rumah-rumah
pendukung dating mengambil bere miriknya masing-masing
kemudian bere itu diisi nasi yang penuh,untuk dibawah ke
rumah induk berpesta. Disebut bere dawa karena bere itu
digantungkan berderet (dawa) pada rumah adat.
Kee,adalah semacam wati to,tetapi ukurannya sangat kecil
gunanya bukan untuk disumbangkan kepada yang berpesta
melainkan sebagai tempat nasi dan daging persembahan yang
diletakan dibawah mata raga/fii riti. Kee juga digunakan pada
waktu upacara kawin adat yang disebut rene. Nasi diisi penuh
hingga padat (rene : dipadatkan).
Gambar Kee
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan
2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Pedho,adalah tempat yang bertutupan yag terbuat dari
anyaman daun lontar sebagai tempat menyimpan pakaian adat
(pedho lawo/pedho lue).
Peralatan yang digunakan dalam membangun rumah adalah
sebagai berikut.
1. Parang
Sebagai alat potong atau alat tebas (terutama selak
belukar) kala penggunanya keluar masuk hutan. Parang
juga digunakan untuk pertanian.
Gambar Parang
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Gambar Ijuk
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler
angkatan 2014 Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
i. Bahasa
Bahasa yang digunakan penduduk Jere dalam kesehariannya adalah bahasa
Bajawa. Bahasa ini juga digunakan pada saat upacara adat.
j. Upacara-upacara adat
Masyarakat Jere memiliki beragam upacara adat yang dijabarkan sebagai
berikut.
1. Penerimaan dan pelepasan tamu
Masyarakat Jere melakukan upacara penerimaan dan pelepasan saat
kedatangan tamu. Upacara dilaksanakan di ruangan one dipimpin oleh
seorang juru adat (Ata Tau Kae) Jika jumlah tamu banyak, maka
perwakilannya diminta untuk bergabung di dalam ruang one sementara
tamu lainnya duduk di ruang teda one. Hal yang diperlukan pada upacara
ini adalah seekor ayam jantan, tuak (biasa disebut moke), dan nasi.
Upacara penerimaan dan pelepasan memiliki prosesi sebagai berikut.
Juru adat (Ata Tau Kae) memegang ayam yang telah disiapkan dan
kembali berbicara dalam bahasa adat. Ayam disembelih dan darahnya
ditempatkan pada sea tua yang telah disiapkan.
Gambar Penyembelihan Ayam
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2014
Universitas Nusa Cendana, Juli 2016
Pengolesan darah ayam pada beberapa bagian tertentu dari rumah adat
oleh mori sao, yakni keturunan laki-laki dari pemilik rumah adat yang
bersangkutan . Pengolesan ini harus dilakukan secara berurutan ke arah
kanan. Berikut ini merupakan area pengolesan darah ayam secara
berurutan.
Kedua bilah papan mataraga, kobho uwi, dan ketiga senjata pada
mataraga.
Tolo pena
Watu mangu
3. Ritual kelahiran
Pada masyarakat Bajawa secara umum kelahiran anak baik laki-laki
maupun perempuan adalah berkah dari leluhur. Karena itu kelahiran anak
selalu disyukuri dengan rangkaian upacara adat sebagai berikut.
Geka naja, yakni upacara yang dilakukan sesaat setelah seorang
anak lahir yang ditandai dengan pemotongan tali pusar (poro puse)
dan pemberi nama (tame ngaza). Untuk pemberian nama biasanya
semua daftar nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut
sampai sang bayi bersin. Bersin diyakini sebagai tanda kesepakatan
dari bayi. Pemberian nama melalui cara ini penting dilakukan. Jika
tidak, nak tersebut tidak akan bertumbuh dengan normal dan sehat.
dalam hal ini, kecocokan nama dan orang sangat menentukan masa
depannya.
Tere azi, yakni penempatan ari-ari pada suatu tempat yang tinggi
(di atas pohon). Masyarakat Bajawa memandang ari-ari sebagai
kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik.
Awalnya ari-ari ditempatkan di dasar rumah pokok.
Lawi Azi, Lawi ana, atau tau, yakni upacara yang bertujuan
mengesahkan kehadiran anak dalam keluarga besar dan
mensyukuri kelahiran anak yang ditandai dengan penyembelihan
babi untuk memberi makan kepada leluhur. Biasanya rambut anak
dicukur yang dikenal dengan istilah koi ulu.
4. Ritual pernikahan
Pergaulan antara rang atas dan rang bawah sangat dijaga. Dalam adat
perkawinan seorang laki-laki rang bawah dilarang kawin dengan seorang
perempuan dari rang atas. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan di
mana dewa akan marah dan leluhur akan mengirimkan malapetaka
terhadap kampung dari salah satu pihak yang melanggar adat kawin.
Malapetaka tersebut dapat berupa hujan yang tak pernah berhenti (rute
subhe), banjir dan tanah longsor. Ketika ada yang dicurigai melanggar adat
tersebut, dewa (nitu) akan mengumumkan nama si pelanggar adat dari
bukit yang terdekat. Sebenarnya yang disebut dewa atau nitu tersebut
adalah orang yang berasal dari rang atas yang menyamar.
Berikut merupakan tahapan pernikahan pada kampung adat Jere :
Peminangan laa tana, yakni upacara dimana pihak laki-laki
meminta persetujuan dari pihak wanita atau disebut sebagai acara
masuk minta.
Peku Meku, yakni acara bertemunya kedua orang tua mempelai di
rumah keluarga wanita untuk membahas waktu pernikahan. Selain
itu dikenal istilah tua kele manu kapu yang berarti keluarga
mempelai pria harus membawa ayam, tuak, dan kelapa. Acara ini
dinamakan idi nio manu. Makna upacara ini adalah sebagai tanda
penghargaan dari pihak pria kepada pihak wanita. Pada upacara ini
juga pihak pria menanyakan terkait besarnya weli (belis) yang
harus dibawa. Belis biasanya berupa hewan besar, kerbau, dan kuda.
Sebagai balasan, pihak wanita menyiapkan kain dan ternak kecil
(babi, anjing, ayam, dan kambing). Weli dibayar sebelum nikah dan
nilainya ditentukan oleh orang tua pihak wanita.
Idi ngawu, yakni acara pembayaran belis.
Upacara pernikahan
5. Ritual kematian
Dalam masyarakat Jere dikenal 2 jenis kematian, yakni kematian
wajar (mou waku) dan kematian tidak wajar (golo).
Kematian wajar (Mou Waku) dibagi kedalam beberapa ritual, yaitu:
1) Pasa sua : ritual dimana sebuah kayu ditikam ditanah tempat
jenazah disemayamkan
2) pasa peti : ritual memasukan jenazah kedalam liang kubur
3) sewo bemu : ritual setelah jenazah dimasukan ke liang kubur
4) kai boko: ritual akhir/penutup
Kematian tidak wajar (Golo) adalah kematian yang disebabkan karena
hal-hal yang dianggap tidak wajar seperti bunuh diri dan kecelakaan.
Sementara kematian wajar (Mou Waku) adalah kematian yang dianggap
wajar, misalkan seseorang yang meninggal karena sakit.
Pada ritual kematian tidak wajar (Golo), jenazah tidak diizinkan untuk
dibaringkan di teda one. Jenazah dibaringkan di luar rumah sepanjang
berlangsungnya upacara adat hingga penguburan. Sementara pada
kematian wajar (Mou Waku), jenazah dibaringkan di teda one.
6. Upacara Reba
Reba merupakan upacara syukuran atas hasil panen dan merupakan
syukuran akhir tahun.
Tahap-tahap upacara adat reba adalah sebagai berikut:
Reba Lanu, yakni upacara pembukaan seluruh rangkaian reba yang
dilakukan pada tempat khusus yang terletak di luar kampung, yang
disebut Lanu. Tahap ini bertujuan menghormati leluhur masyarakat di
kampung.
Dheke Reba, yakni upacara yang dilaksanakan pada malam pertama
reba. Pada kesempatan ini anggota-anggota suku dating ke rumah
pokok untuk merayakan reba melalui makan malam bersama yang
disebut Ka Maki Reba.
Tarian Reba, yakni kegiatan menari missal sambil menyanyikan lagu
reba yang disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan ini dilaksanakan
pada siang hari setelah malam Dheke Reba dengan peserta tarian
berpakaian adat lengkap.
Doya Uwi, yakni acara arakan ubi yang dilaksanakan di kampung.
Sui Uwi, yakni upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-
masing suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping kesan dan
pesan kepada anak cucu dan leluhur. Acara ini juga sekaligus menutup
seluruh rangkaian reba pada umumnya.
k. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari
ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia
menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga
perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni
patung/pahat, seni rupa, seni gerak, lukis, gambar, rias, vocal, musik/seni suara,
bangunan, kesusastraan, dan drama (Koentrajaningrat, 2002).
1. Tarian
Jai
Tarian ini biasa dipraktekan pada saat : gale ngani (pengambilan
material untuk pembuatan rumah adat), wae (pemasangan atap alang-
alang), dan api maru (rumah selesai dibangun).
Teke sao
2. Alat musik
Gendang
Gong
3. Ukiran
Ukiran rantai emas (terdapat pada sao, bhaga & ngadhu)
Ukiran ini bermakna hidup manusia harus murni.
b. View
c. Hasil alam