Anda di halaman 1dari 43

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat,

rahmat, dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah perkembangan arsitektur
dengan topik Arsitektur tradisional bugis ramah lingkungan dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah arsitektur lingkungan
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh dosen pengajar kepada mahasiswa Fakultas Teknik
jurusan Arsitektur.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini secara moril maupun materi, sehingga pembuatan makalah ini
dapat di selesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, karena
itu sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini.
Atas perhatian dan dukungan penulis mengucapkan terima kasih.

Makassar, 14 Oktober 2016

Penulis.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.. 1
DAFTAR ISI. 2
PENDAHULUAN. 3
PEMBAHASAN... 6
Konsep arsitektur tradisional Bugis Makassar...........9
A. Pola Penataan
Spatial...........................................................................................................................15
B. Pola Penataan
Stilistika.......................................................................................................................17
C. Pola Penataan Struktur ................................................................................................19
Perubahan Aktifitas Masyarakat Di Rumah Bugis.27
Rumah Bugis Sulawesi Selatan Dalam Adaptasi Pembangunan.....................................30
Perbedaan Metode Membangun Sistem Struktur Rumah Bugis..32
Kepaduan dalam Makna Simbolis dan Fungsi Rumah Bugis40
KESIMPULAN....41
DAFTAR PUSTAKA...43

PENDAHULUAN

Manusia beraktifitas mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan dimuka


bumi ini, berbekal kemampuan berfikir secara metaforik serta memanfaatkan seluruh
indranya. Kemampuan berfikir secara metaforik itu terwujud dalam kreativitas penciptaan
berbagai symbol, berisi ungkapan makna yang digunakan ketika berkomunikasi
menyampaikan pesan, kesan, harapan, pengalaman, bahkan ungkapan perasaan kepada
sesamanya.
Komunikasi secara simbolik itu dilakukan dengan efektif, etis dan manusiawi untuk
membangun kesepahaman. Dengan menggunakan simbol-simbol yang diciptakannya,
manusia dapat saling berhubungan baik secara langsung maupun tidak, hingga pergaulannya
kemudian semakian luas hingga menembus batas antar personal, komunitas, etnis, nasion
bahkan generasi pada suatu skala interaksi sosial budaya.
Ketika interaksi sosial budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan
kompleks jaringan yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial budaya yang
dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas diluarnya,
maka semakin besar pula peluang masyarakat tersebut untuk mengembangkan kebudayaannya. Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lintasan orbitasi sosial budayanya,
atau semakin mereka menutup diri dari pergaulan dengan luar komunitasnya, maka semakin
kuat pula hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan budayanya.
Kini, dimasa interaksi sosial budaya masyarakat semakin luas dan terbuka,
mengarahkan mereka menuju suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat semakin
mengabaikan batas geografis, etnografis, negara bahkan bangsa.
Ralp Linpton seorang antropolog kenamaan Amerika menyatakan bahwa didunia ini
tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa kebudayaannya masih asli.
Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang
diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan
unsur kebudayaan setempat biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh
pengaruh kontak budaya dengan pihak luar.
Di Indonesia, perkembangan semangat demokrasi dan reformasi menjadi fenomena
umum yang turut mendorong terjadinya pola interaksi sosial budaya baru. Masyarakat
semakin terbuka. Suka tidak suka, perkembangan demokrasi dan reformasi tersebut telah
mendorong pengaruh yang memberi dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan positif
yang telah terjadi adalah berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan
hak azasi, memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan
kemasyarakatan, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya, dampak negatif
juga pasti terjadi, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang mengantarkan
budaya baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara dini, keterbukaan dapat
mengakibatkan infiltrasi kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya
baik dan sesuai dengan nilai luhur yang dimiliki hingga dapat menimbulkan dekadensi
kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin terpuruk dan akhirnya porak
poranda kehilangan identitas. Kondisi ini, kian diperparah karena anutan model
pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan
ekonomi yang kapitalistis.

Dalam masyarakat kapitalistis, nilai ekonomis cenderung menjadi tujuan utama yang
sangat kuat menonjol, serta mempengaruhi sendi kehidupan secara keseluruhan. Sementara
disisi lain nilai-nilai non ekonomi, nilai-nilai batin dan nilai-nilai spiritual terus tergerogoti
hingga keberadaannya merosot tajam. Ukuran keberhasilan seseorang cenderung dinilai
dalam pencapaian skala materialistis -ekonomi kebendaan semata. Sementara nilai-nilai
moral, nilai-nilai batin dan spiritual, nilai kewibawaan, keadilan dan nilai-nilai kearifan
budaya leluhur terabaikan, bahkan nilai-nilai itu seolah menjadikan semacam komoditas
eceran.
Kondisi seperti itu diperparah lagi dengan kekurangsiapan sebagian besar masyarakat
Indonesia mengantisipasi kemajuan yang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Teknologi komunikasi dan teknologi informasi sudah semakin canggih.
Keberadaannya telah secara cepat menjadi katalisator yang sangat cepat, menarik dan
mentransformasi masuknya kebudayaan mancanegara. Orang-orang ingin serba bergegas
cepat. Tak heran jika yang nampak pesat berkembang kemudian adalah budaya opportunis
dan hedonis yang lebih mengunggulkan rasio-kebudayaan otak, berbanding terbalik dengan
sensitifitas kebudayaan rasa yang cenderung pelan karena segala sesuatu perlu proses dan
pengendapan, penghayatan. Kebudayaan rasa berintikan pada proses, solidaritas dan empati
bagi sesama. Suatu yang sesungguhnya memiliki tempat terhormat dalam kepribadian bangsa
Indonesia sebagai wujud dari nilai warisan nenek moyang bangsa.
Dampak berbagai dari kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah
menjadikan batas-batas antar bangsa sudah semakin tidak jelas, hampir semua aspek
kehidupan bangsa sudah saling berinteraksi secara bebas, bercampur. Komunitas etnis atau
masyarakat tradisional perlahan memudar, mereka sudah sangat sulit untuk hanya
mempertahankan ciri khas budaya lokalnya sebagai unggulan warisan leluhur mereka saja.
Keluhuran budaya lokal yang adiluhung dan bersahaja itu, kian tercemari nilai-nilai
kebendaan dan pragmatisme. Kenyataannya terlihat pada apa yang terjadi didunia
pendidikan, banyak orang yang mengabaikan mutu, sementara yang dikejar adalah
bagaimana cara memperoleh selembar ijazah. Ukuran terhormat bagi seseorang hanya dinilai
pada pencapaian prestasi sesaat, atau bagaimana memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya,
penguasaan power kekuasaan sebesar-besarnya tetapi mengabaikan bagaimana cara atau
proses mencapainya.
Padahal, masyarakat tradisional Indonesia sesungguhnya sangat percaya akan
pentingnya suatu proses yang membentuk tatanan, acuan tetap, yang mengatur segala apa
yang terjadi secara harmonis. Tatanan atau acuan itu bersifat Stabil, Selaras dan kekal
karena lahir dari proses yang panjang. Kepercayaan dan pemahaman akan tatanan dan acuan
yang mengatur itu kemudian mengendap, mengkristal, menjadi landasan nilai budaya,
menjadi sumber segala anutan, ukuran kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Sesungguhnya,
apapun yang dilakukan manusia haruslah sesuai atau selaras dalam harmoni tatanan
kehidupan alam sekitarnya. Bila tidak bertentangan dengan keselarasan dan harmoni alam,
niscaya hidup manusia akan tenang dan damai. Sebaliknya perbuatan manusia yang
menyimpang dari tatanan dan aturan itu, akan menjadi dosa, penyimpangan yang bisa
berakibat terjadinya sangsi, hukuman pembawa malapetaka.

Pada masyarakat tradisional Indonesia, perbuatan manusia itu selalu berdimensi dua
atau dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk mengungkap kepercayaan akan
makna hidup, manusia menggunakan tanda tanda atau simbol. Ada dua macam tanda
penting, pertama : mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian
masa lalu. Kedua : Ritual berupa upacara atau perlakuan simbolis yang berfungsi atau
dimaksudkan untuk memulihkan harmoni tatanan alam agar tetap selaras dengan manusia,
agar manusia dapat terhindar dari malapetaka dan mendapatkan keselamatan serta
kesejahteraan dalam kehidupan. Itulah dasar-dasar filosofi yang mewarnai Budaya
masyarakat tradisional Indonesia.
Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya
kosmologi yang menyeluruh. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas dan berpusat
pada kehidupan dirinya sendiri, Egocentrum. Kemudian manusia mengembangkan diri
melalui dorongan naluri dan nalarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan
egocentrum kemudian berubah menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya,
yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau kebudayaan.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hanya hidup dalam
suasana kepercayaan leluhur semata yang di pengaruhi oleh ethos budaya lokal yang
ekslusif serta mempunyai sifat-sifat khusus. Kekhususan itu ditandai dari cara mereka
mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat
sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, menjadi
pola pengendali hubungan antar manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya itu didasarkan pada anggapan bahwa eksistensi
hidup ada dalam rangkuman makrokosmos alam raya. Suatu tatanan yang selalu teratur,
tersusun dan berulang secara hirarkis otomatis dalam sebuah tatanan budaya yang
terjaga.Ketika bicara tentang kebudayaan secara komprehensif, maka arsitektur adalah
salah satu wujud hasil karya seni budaya. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan suatu
bangsa dengan arsitektur, tergambar pada telaahan masing masing unsurnya. Telaah
arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur unsur konsep, cara membangun dan
wujud nyata dari bangunan sebagai suatu lingkungan buatan dalam rekayasa lingkungan
sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran idea,
perbuatan, sikap dan prilaku behavior serta hasil karya seni artefak.
Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud
kebudayaan yang dapat dijadikan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke
masa.
Arsitektur sebagai unsur kebudayaan, laksana salah satu bentuk bahasa nonverbal manusia yang bernuansa simbolik. Arsitektur adalah alat komunikasi manusia secara
non verbal yang mempunyai nuansa sastrawi. Tidak jauh berbeda dengan sastra verbal
yang metaforik. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana metafor keindahan, dari
sudut pandang itu akan dikenali karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab
sastra lontara Bugis Makassar secara jelas dapat ditemukan relevansi antara lingkungan dan
kehidupan budaya manusia, hal tersebut terwujud pada penggambaran bentuk rumah adat
yang diciptakannya

PEMBAHASAN

Model dan bentuk bangunan (rumah) yang telah dibangun dan dimiliki oleh
berbagai suku bangsa di muka bumi, masing-masing memiliki nilai serta keunikan dalam
corak yang khas sebagai cermin budaya yang mereka miliki. Di samping itu model dan
bentuk bangunan juga mempunyai citra sendiri-sendiri, yang mewatakkan mental dan
jiwa seperti apa yang dimiliki oleh manusia atau bangsa pembuatnya. Kelahiran
arsitektur tradisional dari bangunan-bangunan tersebut biasanya dilatar-belakangi oleh
norma-norma agama, tradisi, peradaban serta keadaan geogratis daerah setempat; yang
akhirnya menjurus sebagai bagian dari kebudayaan dari bangsa yang dimaksud.
Kebudayaan tradisional tersebut lahir dan terbentuk karena adanya kepercayaan
kosmogoni dari mitologi purba, sehingga konsep kepercayaan selalu melandasi setiap
gerak kehidupan yang mereka jalankan di manapun mereka tinggal.
Mengamati bangunan tradisional yang ada di Sulawesi Selatan (khususnya yang
didiami oleh suku bangsa Bugis) yang sering disebut sebagai bangsa "bahari" (Oceanik),
model bangunannya pada umumnya berpanggung; artinya bangunan mereka
direncanakan berbentuk panggung yang disokong atau didukung oleh sejumlah tiangtiang "aliri" vertikalis dan pasak-pasak "pattolo" horisontalis secara struktural namun
tetap memiliki unsur
fleksibilitas. Syarif 1 dalam J.Crawfurd
menjelaskan bahwa
rumah-rumah rakyat di Hindia Belanda (Indonesia) dikelompokkan menjadi 2 (dua)
kategori. Pertama, rumah-rumah suku maritim (Sumatera/ Andalas, Kalimantan/Borneo,
Sulawesi/Celebes) yang berdiri di atas tiang-tiang dan berlokasi di tepi sungai atau taut.
Kedua, rumah-rumah agrikultur (Jawa/Java, Bali dan lain-lain) yang berdiri di atas tanah.
Menurut J. Crawfurd, suku maritim (bahari) umumnya hidup dalam situasi yang lebih
anarkis dan keras dibanding suku agrikultur.
Rumah berpanggung sebagai karya arsitektural produk arsitektur tradisional
yang terbangun tanpa arsitek (produk akademisi), merupakan salah satu bentukan
inovatif yang mempunyai adaptasi alamiah di lingkungan natural. Bahkan material
untuk struktural rumah panggung yang pada umumnya diperoleh dari lingkungan
setempat. Mengamati konsepsi dan prosesi perancangan bangunan dalam arsitektur
tradisionat dikalangan suku bangsa Bugis, sangat kental dengan berbagai falsafah dan ritual
yang mengacu pada budaya dasar setempat, terhadap tata nilai ruang serta tata bentuk
bangunan; dan bahkan banyak yang dikaitkan dengan konsep waktu. Langkah ini dijalankan
oleh seorang "Sanro Bola" yang berprofesi selaku arsitek; dengan tujuan utama mencari
bentuk keselarasan kehidupan antara manusia dengan alam, dan hubungan keharmonisan
antara manusia sesamanya serta manusia dengan penciptaNya.

Syarif, 2004, Arsitektur Rumah Bodo dalam Kajian Karakteristik Bangunan Tropis di Kota
Watampone dan Sekitarnya,Tesis tidak diterbitkan, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Menurut kebudayaan suku bangsa Bugis seorang Sanro Bola meyakini bahwa
wujud rumah yang tampak hanyalah dimensi rupa dari bentuk materi; selain itu ada wujud
rupa yang hanya bisa diungkapkan atau ditangkap oleh "rasa". Bentuk bahasa rasa ini
merupakan penampakan batin yang terkandung di dalam karakter sifat dan untuk kemudian
dipancarkan ke luar dalam bentuk nilai "shiny" (pamor). Menurut Mas Dian2 bahwa
rumah yang hanya mengandalkan dimensi rupa, dapat diibaratkan "tubuh yang tak
berjiwa", kesannya hambar dan kosong. Upaya untuk mengisi jiwa kehidupan dalam
wujud rumah; biasanya dilakukan dengan pendekatan secara ekosistem lingkungan
serta bahasan ruang dan waktu. Melalui ilmu Feng Shui (China), Petungan (Jawa)
sebagai
cara untuk
mencapai bentuk
keselarasan
dan keseimbangan. Apabila
mengamati bangunan-bangunan tradisional yang masih berdiri kokoh dan stuktural,
tentu akan menimbulkan
pertanyaan bahwa apa gerangan yang membuat bangunan
tersebut dapat berdiri tegar dan kuat Tentu dibalik semua itu ada fenomena-fenomena
yang bersifat "Intangible" serta berfungsi sebagai figura untuk melingkupinya.
Pemegang ilmu "Intangible" tersebut di atas diperankan oleh seorang "Sanro
Bola" (arsitek rumah tradisional) dan memiliki pengetahuan
tak teraga yang sering
disebut "Tacit knowledge" (ilmu yang tersembunyi). Peranan "Sanro Bola" selaku
arsitek alam yang menguasai filosofi-filosofi prinsip perencanaan dan ketata-laksanaan
pembangunan rumah tradisional. Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan
di atas dapat disimpulkan bahwa arsitek arsitektur tradisional Bugis, adalah diperankan
oleh seorang "Panrita Bola"/ "Sanro Bola" yang memiliki kemampuan "Intangible"
serta ilmu pengetahuan yang bersifat "Tacit Knowledge". Asumsi yang timbul adalah
sejauh mana peran dan fungsi seorang "Panrita Bola"/ "Sanro Bola" untuk melaksanakan
tugasnya berdasarkan nalar cerdasnya selaku "arsitek alam" yang berpedoman pada
unsur unsur kehidupan,
kebahagian dan kesejahteraan, berdasarkan filosofi serta
simbol-simbol yang bermakna simbolis dan diterap-aplikasikan
mulai dari prosesi
perencanaan, pembangunan serta sampai kepuma huni.
Bagaimana batasan arsitektur tradisional?
Arsitektur tradisional
tumbuh
dan berkembang
dari arsitektur rakyat, yang lahir dari masyarakat etnik dan
berjangkar pada tradisi etnik , Wiranto 3 Kemudian Djauhari4, menjelaskan
kata
"tradisi" mengandung arti suatu kebiasaan yang dilakukan dengan cara yang sama oleh
beberapa generasi tanpa atau sedikit sekali perubahan.

Mas Dian, 1999, Pengamatan TerhadapArsitektur Tradisional di Asia, (Naskah Arsitektur Nusantara, Jelajah
Penalaran Reflektif Arsitektural), Proseding Simposium Nasional, Surabaya
3

Wiranto, 1999, lnovasi Arsitektur Vernakular Indonesia sebagai Pilar Arsitektur Nusantara (Naskah Arsitektur
Nusantara, Jelajah Penalaran Refleksi Arsitektural), Proseding Simposium Nasional, Surabaya.
4

Djauhari, 1978, Kompendium Sejarah Arsitektur,

Bandung, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.

Dengan kata lain kebiasaan yang sudah menjadi adapt dan membudaya.
lzarwisma dkk5 menyatakan bahwa arsitektur tradisional adalah suatu unsure kebudayaan
yang bertumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu suku
bangsa ataupun bangsa. Budihardjo 6 bahwa identitas atau jati diri, yang melekat dan
menjadi sukma arsitektur tradisional yang khas di setiap daerah,sepantasnyalah
dijadikan bekal utama landasan berpijak dalam perencanaan dan perancangan
arsltektur.
Penelitian ini difokuskan pada daerah pusat-pusat konsentrasi suku etnik
Bugis di Sulawesi Selatan, khususnya dibidang ruang kehidupan mereka dalam
bentuk hunian rumah tinggalnya.
Rumah tinggal etnik Bugis yang didominasi
rumah berpanggung,
cukup menarik perhatian untuk diteliti.
Menghuni
cara
demikian mengingatkan pada fase-fase manusia memulai kehidupan secara wajar
dan telah berbudaya,
menghindari kondisi alam yang berpotensi mengganggu
jasmani dan rohani mereka. Hidup di atas rumah panggung dinilai lebih sehat, bersih,
aman dan privasi akan Jebih terjaga. Jenis sampel rumah panggung yang akan menjadi
fokus penelitian adalah meliputi sebagai berikut; (I) rum ah panggung yang sedang
di ban gun (2) rumah panggung yang baru dibangun dan (3) rumah panggung yang sudah
puma huni. Rumah-rumah tersebut di atas diupayakan masih dapat ditemui/dihubungi
para "panrita bola/sanro Bola" yang pemah terlibat langsung dalam prosesi rancang
bangun rumah-rurnah panggung tersebut.
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan masyarakat selalu dilakukan bersendikan adat istiadat. Adat istiadat menjadi
semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola kehidupan masyarakatnya.
Terwujud baik dalam tingkah laku, cara berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara
membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang mengisi inti
kebudayaan. Hal tersebut dipercaya sebagai warisan yang diterima langsung dari sang
pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah jalannya lembaga-lembaga sosial. Oleh
sebab itu berbagai upacara, pesta dan upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat
istiadat, tetap diadakan untuk menjaga kesinambungan dan pelestarikan prosesi budaya
bangsa. Termasuk tata cara atau prosesi pembuatan rumah.

lzarwisma, dkk, J..986, Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, Depdikbud, Ujung Pandang.

Budihardjo, 1997, Arsitektur sebagai Warlsan Budaya, Djambatan, Jakarta

Tata cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur tradisional Sulawesi Selatan,
merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari kepercayaan dan adat istiadat yang
dianut masyarakat Sulawesi Selatan; mulai dari pemilihan tempat, penentuan arah peletakan
rumah, bentuk arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses
membangunnya.
Hierarki kebutuhan manusia pada tingkatan ke 2, rumah merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia, rumah bukan hanya sebagai tempat berlindung dari hujan, angin,
panas matahari, gangguan binatang buas dan rumah haruslah mampu memberikan
ketenangan dan ke- tentraman hidup serta mampu mengekspresi- kan kepribadian
penghuninya (Abraham Maslow, 1983 dalam Imriyanti, dkk. 2008).
Rumah menjadi bagian jaringan lingkungan masyarakatnya dan perkembangan
kehidupan manusia terus berjalan dan berlanjut terus serta memiliki ikatan yang erat antara
lingkungan dan sosial masyarakatnya. Keadaan sosial masya- rakatnya merupakan bagian
dari akulturasi budaya yang mengarah pada kebiasaan peng- huni rumah dalam melakukan
aktifitasnya
Arsitektur tradisional dihasilkan oleh latar belakang budaya dan lingkungan masingmasing dimana determinasinya adalah alami, manusia masih tunduk kepada alam
(Izarwisman, dkk.,1985).
Rumah tradisional diwakili oleh rumah panggung, dimana bagi masyarakat suku
Makassar, konsep rumah tradisional tersebut tidaklah lahir begitu saja, namun syarat dengan
philosophi antara lain, konsistensi hidup penghuninya terhadap nilai-nilai tradisi, dan
bersandar kepada kepercayaan yang dianut.
Mengingat bentuk hunian diperkotaan yang mengarah pada bentuk modern dan tidak
sesuai dengan iklim daerah yaitu tropis maka penerapan arsitektur tradisional Makassar
seba- gai bangunan hunian diperkotaan dapat memberikan penjelasan permasalahan, yaitu
bagaimanakah penerapan arsitektur tradisional Makassar sebagai bangunan hunian
diperkotaan dan dari segi manakah arsitektur tradisional Makassar dapat dikatakan sebagai
bangunan yang berkelanjutan.
Konsep arsitektur tradisional Bugis Makassar
Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar, lalu disebut
kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Kebudayaan
tersebut mendiami bagian terbesar jasirah Selatan pulau Sulawesi, atau termasuk dalam
propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan sendiri terdiri dari empat
suku yaitu: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.
Bardasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu
Muda (Deutro Melayu) yang berasal dari India Belakang. Mereka datang ke kepulauan
Nusantara secara bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua yang merupakan
nenek moyang suku Toraja. Gelombang kedua, Melayu Muda merupakan nenek moyang
suku Bugis, Mandar, dan Makasar.

Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak
berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara,
sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10
sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet, menghadap Selatan atau Barat.
Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat
dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama) dengan suatu pohon
beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain
tempat keramat, suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok padat dan menyebar.
Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat persawahan, pinggir laut, dan
danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di pegunungan atau perkebunan. Selain itu
perkampungan orang Bugis juga dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1. Pallaon ruma (kampung petani)
2. Pakkaja (kampung nelayan)
3. Matowa (kepala kampung)
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung Bugis juga
terdapat pasar kampung, kuburan, dan masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur.
Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah: Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat
biasa), dan ata (sahaya)
Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang
disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa), adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan
(Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan
dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti, bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun
dua.
3. Bola, merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.
Konsep arsitektur masyarakat tradisional Bugis-Makassar bermula dari suatu
pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami alam semesta secara universal. Filosofi
hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut Sulapa Appa, menunjukkan
upaya untuk menyempurnakan diri. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan
manusia barulah sempurna jika berbentuk Segi Empat. Filosofi yang bersumber dari
mitos asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu : tanah, air,
api, dan angin.

Bagi masyarakat tradisional Bugis-Makassar yang berfikir secara totalitas, maka


rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman: Struktur kosmos dimana
alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas , alam tengah, dan alam bawah,. Abu
Hamid (1978:30-31) dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan menuliskan bahwa rumah
tradisional orang Bugis tersusun dari tiga tingkatan yang berbentuk segi empat, dibentuk
dan dibangun mengikuti model kosmos menurut pandangan hidup mereka, anggapannya
bahwa alam raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau banua
atas, alam tengah banua tengah dan alam bawah banua bawah .
Benua atas adalah tempat dewa-dewa yang dipimpin oleh seorang dewa tertinggi yang
disebut Dewata Seuwae (dewa tunggal), bersemayam di Botting-Langik (langit
tertinggi). Benua tengah adalah bumi ini dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi yang
mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi serta menggawasi jalannya tata tertib
kosmos. Benua bawah disebut Uriliyu (tempat yang paling dalam) dianggap berada di
bawah air. Semua pranata-pranata yang berkaitan dengan pembuatan atau pembangunan
rumah harus berdasarkan kosmologis yang diungkap dalam bentuk makna simbolis-filosofis,
yang diketahuinya secara turun-temurun dari generasi kegenerasi.
Menurut Mangunwijaya (1992:95-96), bahwa bagi orang-orang dahulu, tata wilayah
dan tata bangunan alias arsitektur tidak diarahkan pertama kali demi penikmatan rasa estetika
bangunan, tetapi terutama demi kelangsungan hidup secara kosmis. Artinya selaku bagian
integral dari seluruh kosmos atau semesta raya yang keramat dan gaib.
Beberapa hal yang penting diketahui bahwa dalam proses mendirikan rumah pada
masyarakat tradisional Bugis-Makassar, mereka selalu meminta pertimbangan dari Panrita
Bola atau Panre bola untuk pencarian tempat, menunjukkan arah yang dianggap cocok dan
baik. Panre Bola menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah; dimulai
dari pemilihan jenis kayu, menghitung berapa tiang (aliri), berapa pasak (pattolo) yang akan
dipakai, Termasuk pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga
akhirnya merekostruksi rumah yang diinginkan serta perlengkapannya.
Dalam hal ini peranan seorang Panrita Bola sangat menentukan melalui nasehatnasehat mereka yang akan menjadi pegangan bagi penghuni rumah; kepercayaan tentang
adanya pengaruh kosmologis sudah sangat dimaklumi masyarakat Bugis-Makassar.
Beberapa wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah rumah pada
masyarakat tradisional Bugis-Makassar misalnya: sebaiknya menghadap kearah terbitnya
matahari, menghadap kedataran tinggi, atau menghadap ke salah satu arah mata angin.
Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang selalu diperhitungkan adalah
pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik, biasanya
ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual. Pada
tahap selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan rumah dengan mengerjakan

pemancangan tiang pusat rumah yang disebut posibola terlebih dahulu, menyusul
pemasangan tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai dikerjakan secara keseluruhan.
Seperti kebanyakan rumah tradisional di indonesia, rumah Bugis Makassar juga
dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis-Makassar pada
dasarnya terwujud dalam beberapa macam yaitu :

Rumah Kaum Bangsawan Arung atau Karaeng.

Untuk rumah bangsawan Arung atau Karaeng yang memegang jabatan, pada
puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebih sambulayang /timpalaja. Tiang kesamping dan
kebelakang berjumlah 5 hingga 6 batang, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang
kesamping dan kebelakang 4 hingga 5 tiang.

Rumah Orang Kebanyakan Tosama,

Untuk rumah Tosama atau orang kebanyakan/masyarakat umum terdiri dari 4 buah
tiang kesamping dan kebelakang, puncak sambulayang/timpalaja hanya dua susun.

Rumah Hamba sahaya Ata atau Suro,

Bentuk rumah Ata atau Suro- hamba sahaya berukuran yang lebih kecil, biasanya
hanya terdiri dari tiga petak, dengan sambulayang/ timpalaja yang polos.
Pada umumnya rumah tradisional Bugis-Makassar berbentuk panggung dengan
penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu :
Rakkeang / Pammakkang, terletak pada bagian atas. Disini melekat plafond tempat
atap bertumpu dan menaungi, juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan padi sebagai
lambang kehidupan/kesejahteraan pemiliknya. Selain itu dimanfaatkan menjadi tempat
penyimpanan atribut adat kebesaran.
Ale bola / kale balla, terletak pada bagian tengah. Dibagian ini ada sebuah tiang
yang lebih ditonjolkan diantara tiang tiang lainnya. Ruangannya terbagi atas beberapa petak
dengan masing masing fungsinya. Biasanya ruang ini menjadi tempat pusat aktivitas
interaksi penghuni rumah.
Awaso / siring, terletak pada bagian bawah rumah. Bagian ini dimanfaatkan sebagai
tempat penyimpanan alat cocok tanam, alat bertukang, pengandangan ternak, dan lain lain.
Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu :

Lontang ri saliweng/padaserang dallekang, letaknya diruang bahagian depan.

Lontang ri tengnga/padaserang tangnga, terletak diruang bahagian tengah.

Lontang ri laleng / padaserang riboko, terletak diruang bahagian belakang.

Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan dibagian belakang
Annasuang atau Appalluang- ruang dapur, dan ruang samping yang memanjang pada
bagian samping yang disebut tamping, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut
lego-lego atau paladang- tempat berbincang atau bercengkerama.
Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis- Makassar,
memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah tradisional Bugis
Makassar terbagi atas :
a) Struktur bagian bawah
Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut:
Pattoddo (Makassar), Pattolo (Bugis), berfungsi untuk menghubungkan/menyambung
antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan arah melebar rumah. Bahan biasanya dari
kayu jati, batang kelapa, dan lain-lain. Palangga (Makassar), Arateng (Bugis), terbuat
dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari panjang rumah.
Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar, bambu dan lain-lain.
Fungsinya yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang rumah, dan Sebagai dasar tempat
meletakkan pallangga caddi/tunabbe sebagai dasar tumpuan lantai. Pada rumah bangsawan
jumlahnya biasanya 5 hingga 6 batang (sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang.
Pondasi/ Umpak, tempat meletakkan tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.
b) Struktur badan rumah
komponen komponen utama bagian ini adalah :
1. Lantai
berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk
golongan bangsawan Arung, lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya tamping
yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat
biasa Tosama umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja Ata umumnya dari
bambu.
2. Dinding
untuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan
jepit. Konstruksi balok anak, merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga
lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20 hingga 50 cm.
c) Struktur bagian bawah
Struktur dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang
merupakan suatu kesatuan yang kokoh dan stabil untuk menahan gaya.

Komponennya terdiri atas : Balok makelar soddu atau suddu. Terletak ditengah
antara balok pengerat dan balok skor, berfungsi sebagai tempat kedudukan balok bubungan
dan kaki kuda-kuda. Sistem konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian
disesuaikan dengan status penghuninya. Arung
= lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal
telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan Tosama = lebar rumah + 1 telapak tangan, Golongan
Ata = lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik.
Kaki Kuda kuda Pasolle. Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok
gording dan sebagai penahan bidang atap sistem konstruksinya menggunakan sistem ikat,
takik, dan paku pen. Balok pasolla berbentuk pipih 3/12 cm. Balok bangunan Coppo,
berfungsi sebagai tempat bertumpunya balok suddu, kaso, dan bahan atap. Sistem
konstruksinya, balok bubungan diletakkan diatas balok makelar yang ditakik kemudian
diperkuat dengan paku pen, dimensi balok 4/12 cm.
Balok pengerat Pattoddo riase atau Pannoddo, adalah balok yang
menghubungkan ujung atas tiang dari tiap baris arah lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit
dari lebar rumah, dimensi 4 x 12,5 x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari
bahan bambu maka tiang dan balok pengerat ditakik 1/3 dari diameter, kemudian diikat.
Bila segi empat, tiang dilubangi setebal penampang balok pengerat kemudian padongko di
tusuk pada setiap lubang dari tiang.
Bahan biasanya batang lontar, kelapa, jati, dan lain-lain. Balok blander Bare atau
Panjakkala, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dalam arah memanjang.
Fungsinya adalah sebagai ring balok, pendukung kaso, tempat memasang timpalaja dan
tempat meletakkan balok rakkeang.
Sistem konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak.
Barakapu, sebagai tempat memakukan / mengikat papan lantai Rakkeang atau
Pammakkang.
Rakkeang/Pammakkang, sebagai tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya
dapat berupa bambu atau papan. Sistem konstruksinya, jepit dan ikat.
Sambulayang atau Timpalaja, merupakan bagian konstruksi atas yang berupa
bidang segitiga dan dibuat berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang,
bertumpu pada balok nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok Pattikkeng.
Les plank Ciring, berupa papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang
atap. Fungsinya sebagai penahan angin yang berpegang pada balok gording dengan sistem
sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi hiasan Ornamen. Atap, bahan dari
nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan sudut antara 30 hingga
40.

Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari


beberapa segi sebagai berikut:
A. Pola Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum
adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir.
Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di
bawah atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang
pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping.
Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan
masuk oleh tuan rumah.
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam
Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian
berikut1:
1. Rakeang, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang
dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka.
Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan
berdandan.
2. Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan
dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3. Awaso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau
bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan
ternak.

Pandangan tiga tingkat rumah Bugis ini, sebagai bentuk ekspresi penyembahan
kepada tiga dewa yang menguasai tiga dunia dalam pandangan Bugis. Ketiga dewa itu
adalah: Dewa Langi, yaitu dewa yang menguasai langit, Dewa Malino yaitu dewa yang
menguasai bumi dengan segala isinya, dan Dewa UwaE yang menguasai tanah, sungai, dan
laut (Yunus, 1999: 198). Ketiga dewa ini merupakan dewa yang dihormati oleh suku Bugis
dan dipercaya hubungan yang terjalin dengan baik antara umat dengan dewa akan aman dan
sejahtera. Sebaliknya apabila hubungan baik itu hancur akibat kesalahan manusia kan disusul
oleh azab yang nampak dalam bencana alam, wabah, gempa bumi, kemarau panjang dan lainlain.
Oleh karena itu, agar hubungan umat dengan dewa tetap baik, maka perlu ada tata
laku penyembahan kepada tiga dewa tersebut. Dalam rumah Bugis penyembah Dewa Langi
diadakan di toleng rumah (rakkeang) dengan sesajen. Rakkeang sebagai tempat yang
tertinggi. Penyembahan Dewa Malino dianggap berdiam di Ale Bola (badan rumah) juga
dalam bentuk sesajen. Begitu pun Dewa UwaE, penyembahannya dalam bentuk sesajen dan
dianggap bersemanyam di Awa Bola (kolong rumah).

Dalam rumah Bugis, umumnya upacara-upacara keagamaan dilakukan pada bagian


ale bola (badan rumah), karena bagian ini dianggap sebagai dunia (alam semestalino).
Dalam kosmogonis suku Bugis, lino atau alam semesta digambarkan dalam bentuk sulapa
eppa (segi empat belah ketupat) (Anwar, 2007: 439). Sebagai simbol alam raya, adapun
upacara-upacara yang biasa dilakukan pada badan rumah ini adalah upacara mendre bola baru
(naik rumah baru), upacara mappanre tau mangngideng, upacara mattoana isi (menyambut
tumbuhnya gigi), upacara mappano bine (menabur benih) untuk menghormati Indo Pare
(Dewi SriDewi Padi), upacara mappanre Dewata (memberi makan Dewata), dan lain
sebagainya.
Beberapa upacara yang dilakukan pada bagian Ale Bola (badan rumah) itu, sesajennya
dipersembahkan (diserahkan) atau dalam bahasa Bugis Massorong sokko patanrupa
(menyerahkan nasi ketan dalam empat warna) sebagai simbol dari Sarwa Alam yang terdiri
dari Air, Api, Udara, dan Tanah (Anwar, 2007: 439). Massorong dilakukan dalam dua bentuk
yaitu Massorong Lao iase= penyerahan ke atas diperuntukkan kepada Dewa Langi yang
berada di Rakkeang (loteng rumah) dan Massorong Lao riawa atau penyerahan sesajen ke
bawah diperuntukkan pada Dewa UwaE di bawah rumah (kolong rumah) (Yunus, 1999: 200).
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah
Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
1. Lontang risaliweng (ruang depan), Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat
menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan
tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat
berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki
ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).
2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah. Sifat ruang private, berfungsi
untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan,
melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat
menonjol.
3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat tidur
anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu
perlindungan dari seluruh keluarga.

Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi:


1) Lego-lego
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk
tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.
2) Dapureng (jonghe)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan
menyimpan peralatan masak
B. Pola Penataan Stilistika
1. Atap
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas
(rakeang) baik untuk rumah bangsawan (Sao raja) maupun rumah rakyat biasa (Bola), terdiri
dari loteng dan atap. Atap berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak
Laja. Timpak laja memiliki bentuk yang berbeda antara sao raja dan bola. Bagian ini
diibaratkan sebagai kepala bangunan. Pada sao raja terdapat timpak laja yang bertingkattingkat antara tiga sampai lima. Timpak laja yang bertingkat lima menandakan rumah
tersebut kepunyaan bangsawan tinggi. Timpak laja bertingkat empat, adalah milik bangsawan
yang memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan tertentu. Bagi bangsawan yang tidak
memiliki jabatan pemerintahan timpak lajanya hanya bertingkat tiga.
Rakyat biasa yang diklasifikasikan ke dalam kelompok to maradeka dapat juga
memakai timpak laja pada atap rumahnya, tetapi hanya dibenarkan membuat maksimal dua
tingkatan timpak laja.
2. Bukaan
Dinding terbuat dari kayu yang disusun secara Salah satu bukaan yang terdapat pada
dinding depan ialah pintu (babang/tange). Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk rumah.
Tempat pintu biasanya selalu diletakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya ukuran rumah
7 (tujuh depa) maka pintu harus diletakkan pada depa yang ke 6 (enam) atau ke 4 (empat)
diukur dari kanan rumah. Bila penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, dapat
menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat.
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang
sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke
dalam ruangan. Peletakannya biasanya pada dinding diantara dua tiang. Pada bagian
bawahnya biasanya diberi tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk memperindah
biasanya ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan
jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah
terali 3-5 menunjuukan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah bangsawan.

3.

Ragam Hias

Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar,
biasanya berupa flora, fauna dan tulisan huruf Arab atau kaligrafi.

Ragam hias flora biasanya berupa bunga parengreng yang berarti bunga yang menarik. Bunga
ini hidupnya menjalar berupa sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya
ditempatkan pada papan jendela, induk tangga dan tutup bubungan. Makna bunga
parengreng ini diibaratkan sebagai rezeki yang tidak terputus seperti menjalarnya bunga
parengreng.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau dan bentuk ular naga.
Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk yang berarti baik-baik. Selain itu juga
sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan
atau belakang
Ragam hias kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial. Biasanya
ditempatkan pada pucuk depan atau belakang bubungan untuk rumah bangsawan.
Ragam hias naga atau ular besar melambangkan kekuatan yang dahsyat. Biasanya
ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk tangga.
Ragam hias yang berupa kaligrafi dan bulan sabit biasanya ditempatkan pada
bangunan peribadatan atau masjid.
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya
menggunakan teknik pahat tiga dimensi yang membentuk lobang terawang. Bentuk demikian
selain makin menampakkan keindahan karena adanya efek pencahayaan yang dibiaskan juga
dapat menyalurkan angin dengan baik.

Penempatan ragam hias ornamen tersebut utamanya pada : sambulayang/timpalaja,


jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias tersebut menandakan bahwa derajat
penghuninya tinggi.
C. Pola Penataan Struktur
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan
yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi,
Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng.
Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan
tidak menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya
langsung ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan
adalah pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang
pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua
dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang
pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:
1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak
atau 16 kolom (untuk bola)
2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang
biasa
3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting
dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada
deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.

4. Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:

a. Dipasang di ale bola atau di lego-lego.


b. Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau
bagaian belakang rumah
6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang
digunakan adalah papan atau bamboo.
7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan
9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga
diletakkan dengan cara sebagai berikut:
Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar
rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.
Akulturasi
Akulturasi dipahami sebagai fenomena yang akan terjadi tatkala kelompok-kelompok
individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam kontrak yang berlangsung secara
tangan pertama (langsung), disertai perubahan terus menerus, sejalan pola-pola budaya asal
dari kelompok itu atau dari kedua kelompok itu.
Menurut Koentjaraningrat (1996) akulturasi adalah istilah antropologi yang memiliki
beberapa makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai proses sosial yang timbul
apabila sekelompok manusia dengan sesuatu kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsurunsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu. Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan
senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
Akulturasi budaya dalam arsitektur tidak dapat dielakkan dan pasti terjadi. Bentuk dan
fungsi adalah dialektika yang terus-menerus saling tarik menarik di tangah kondisi sosialbudaya masyarakatnya. Dan arsitektur bukan semata-mata desain tetapi juga elemen non
desain yang dapat menggeser dan menggantikan sedemikian rupa setiap fakta budaya yang
sedang berlangsung. Perubahan bentuk dan fungsi dalam arsitektur dapat terjadi melalui
elemen budaya: teknologi, ekonomi, sosio ideologi dan aliran apapun yang berkeliaran dan
mampu menguasai gagasan, cara pandang dan jiwa masyarakat dalam jamannya.

Namun demikian pada akhirnya bentuk dan fungsi dalam arsitektur yang muncul
adalah pengalaman rasa yang diminati dan diyakini manfaatnya oleh sekelompok

masyarakatnya secara komunal. Setiap perubahan yang terjadi, bagaimana pun tidak akan
pernah begitu saja merubah cara hidup, respon dan persentuhan manusia dengan
lingkungannya ketika kekuatan-kekuatan psikis yang dimiliki masih melekat dengan rona
budaya sebelumnya.
2. Tata Letak Rumah
Denah rumah pada umumnya masih mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional
Bugis. Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau petak (lontang/latte), yang tetap
dibagi-bagi menjadi tiga bagian:
a. Lontang risaliweng (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat
tidur tamu (public)
b. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk
tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat
makan (private).
c. Lontang rilaleng (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan kamar
mandi.

Ruang
Tidur

Ruang
keluarga

Ruang
Tidur

Ruang
makan

Kamar
mandi

Lontang
rilaleng

Dapur

(Private)

R.Tidur
Utama

Lontang
retengngah
(Private)

Lontang
Risaliweng
(Semi
Private)

Ruang
Tamu

Tamping

Semi
publik

Gambar 4. Pembagian Ruang Rumah Orang Bugis


Tamping, pada umumnya hanya terletak di depan rumah. Tamping ini
memiliki fungsi sebagai tempat bersantai, mengobrol, maupun untuk ruang tamu sebelum

dipersilakan masuk. Bandingkan dengan rumah tradisional Bugis yang di TMII yang
memiliki dua tamping di depan dan belakang rumah.

Gambar 5. Tamping pada Rumah dan Tamping pada Rumah yang Terletak di
Depan dan Belakang Rumah (Kanan)
Menurut fungsinya rumah orang Bugis dibagi juga menjadi tiga bagian secara
vertikal, yaitu :
a. Rakkeang, bagian atas rumah di bawah atap. Bagian ini tidak lagi difungsikan
sebagai tempat penyimpanan.
b. Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang
tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu,
tidur, makan, dan dapur seperti pada gambar 3 di atas.

Rakkeang

Ale bola

Awa bola

c. Awaso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan
tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alatd. alat untuk mencari ikan.
Gambar 6. Pembagian Ruang Menurut Fungsi pada Rumah Orang Bugis

Gambar 7. Penggunaan Awaso (Kolong)

Awaso pada umumnya masih difungsikan sebagaimana yang terdapat di tempat


asalnya, yakni untuk penyimpanan alat-alat untuk mencari ikan, beternak, motor, atau tempat
untuk istirahat siang seperti pada gambar 7 di atas.
Orientasi rumah pada umumnya mengikuti arah jalan, dan tidak lagi memperhatikan
orientasi arah mata angin yang seharusnya menghadap ke Timur. Orientasi ini selain untuk
menangkap sinar matahari pagi juga dimaksudkan untuk menyesuaikan pada pola tidur
penghuni di bagian kanan ruang dalam bangunan dalam arah Selatan-Utara dan harus
meletakkan kepalanya pada arah Selatan serta kaki diarahkan ke sebelah kiri bangunan sesuai
dengan arah buangan segala kotoran dan ruh jahat.
Namun demikian pertimbangan lain berkaitan dengan sistem pembuangan air kotor
dan arah kaki ketika tidur masih mengikuti pola asal yaitu ke arah kiri bangunan.
Pola Stilistika

atap

Bagian atas (rakeang), terdiri dari loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari
seng dan sebagian asbes. Bentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja.
Timpak laja dibuat dari bahan seng dan sebagian kayu. Pola susunannya tidak diolah dalam
pola-pola tingkatan tertentu yang dapat membedakan status sosial penghuninya. Pada
umumnya penghuni adalah masyarakat Bugis yang berada pada kelas menengah ke bawah.
Selain karena keterbatasan lahan filosofi bentuk kurang memiliki makna dalam pandangan
masyarakatnya.

Gambar 8. Atap Rumah dan Miniatur Rumah Tradisional Bugis

2. Bukaan
Pada umumnya dinding menggunakan bahan kayu yang disusun secara melintang
horisontal dan dilapisi dengan cat kayu warna, hanya sebagian yang menggunakan seng
gelombang yang dipasang arah vertikal. Elemen penting pada dinding depan ialah pintu
(babang/tange). Pintu diletakkan pada depa ke empat, karena jumlah tiang pada bagian depan
berjumlah 5 (lima). Hal yang spesifik pada penyelesaian pintu adalah adanya dinding
pembatas setinggi lutut pada bagian bawah. Fungsi penyelesaian bukaan pintu demikian
bertujuan untuk melindungi anak-anak agar tidak jatuh ke bawah karena sebagian besar
lokasi rumah menempati daerah rawa.

Gambar 9. Pintu Masuk yang Ditinggikan


Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang
sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke
dalam ruangan. Jumlah jendela 3 (tiga) buah. Peletakannya pada dinding di antara dua tiang.
Pada bagian bawahnya terdapat terali kayu yang dipasang vertikal. Untuk memperindah dan
menjaga keamanan ditambahkan jeruji kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali 5
buah, hal ini sesuai dengan konsep rumah tradisional Bugis, untuk menunjukkan rumah
rakyat biasa.

Gambar 10. Bukaan Jendela


Pada bagian samping terdapat bukaan yang berupa lobang ventilasi dan pemasangan
papan kayu secara longgar untuk mengalirkan udara silang dari arah berbeda dari bukaan
jendela depan. Bukaan ini sangat sederhana namun tepat guna dan memiliki corak yang sama
berupa bentuk geometri segi enam sebanyak tiga buah.
3.

Ragam Hias

Ragam hias rumah di lokasi ini tidak begitu menonjol. Di bagian depan pada timpak
laja terdapat motif kayu tempel yang menyerupai motif sinar matahari. Maksudnya adalah
sebagai lambang pencerahan yang diilhami oleh elemen-elemen bentuk yang banyak
digunakan oleh simbol-simbol organisasi Islam.
Selain itu pada dinding samping lubang ventilasi dengan bentuk segi enam dan
penyusunan kayu yang tidak rapat memberikan efek pencahayaan yang cukup menarik bila
dilihat dari sisi dalam rumah. Lubang ini pada umumnya terletak di sisi Timur dan Barat.
Sinar matahari yang masuk secara tidak langsung juga menjadi alat pemandu waktu. Pagi
sebagai pertanda untuk bangun dan sore pertanda malam akan tiba.

Gambar 11. Lubang Ventilasi Pada Dinding Samping


Perubahan Aktifitas Masyarakat Di Rumah Bugis
Perubahan aktifitas masyarakat di rumah Bugis yang dimaksud dalam pembahasan ini
adalah gambaran umum terhadap fenomena bermukim di rumah Bugis pada kisaran waktu
tahun 1970-1980an. Muatan di bagian ini didasarkan dari keterangan Dewey dalam Denzin
dkk (2009) yang memandang pendidikan, pengalaman dan hidup tidak mungkin dapat
dipisahkan. Kajian pengalaman sama dengan mengkaji hidup. Seseorang dapat
memperoleh pendidikan bersumber belajar dari pengalaman.
Pada tahun 1970an ketika budaya masyarakat tani menuai padi menggunakan
ani-ani, yang mana padi diikat dalam satu ikatan yang disebut wesse kemudian padi
tersebut dibawa ke rumah dan dinaikkan ke atas loteng (rakkeang). Puluhan bahkan ratusan
ikat padi ditempatkan diloteng rumah di bawah atap. Di tempat inilah bahan untuk bibit
padi pada musim tanam yang akan datang, bahan makanan tahun berjalan dan sisa bahan
makanan tahun sebelumnya disimpan. Hal ini berakibat kepada beratnya beban hidup yang

terjadi di ruang rakkeang. Penempatan padi di ruang ini baik bagi padi yang masih
memerlukan pengeringan dan secara fisikalis tumpukan padi di rakkeang dapat menjadi
penyerap panas yang masuk ke dalam ruang huni di lantai tengah secara vertikal yang
membantu kesejukan di ruang hunian.
Padi yang disimpan di ruang atap di waktu tertentu diturunkan ke lantai bawah
untuk diolah menjadi beras sebagai bahan makanan. Pengolahan padi menjadi beras
hingga pada awal tahun 70an masih di lakukan dengan cara manual. Padi ditumbuk di dalam
palungeng (lesung) yang umumnya dilakukan di bawah kolong (awa bola).
Pengaruh struktural akibat kegiatan menempatkan padi di rakkeang adalah adanya
beban besar yang terkonsentrasi di bagian atas. Beban besar ini pada musim angin
kadang menjadikan rumah condong ke arah depan maupun belakang, tergantung
orientasi rumah dan arah angin. Akhirnya pada waktu tertentu setelah musim angin
berakhir dilakukan acara maggetteng mpola atau acara menarik rumah agar kembali di
posisi normal (tegak).
Dalam hal ini peranan sistem struktur di bagian atas yang menopang beban besar
secara struktural dapat dijadikan sebagai bagian dari perhatian unsur kestabilan struktur.
Secara arsitektural dapat dibaca bahwa aktifitas menumbuk padi di bawah kolong
memberikan sumbangan yang penting terhadap pembentukan rumah berbentuk panggung.
Tinggi manusia dan gerakan ayunan alu (alat penumbuk padi) menjadi faktor penentu
tingginya ruang bawah kolong.
Perkembangan selanjutnya sekitar akhir tahun 1970an dan awal 1980an, metode
panen padi berubah dari menggunakan ani-ani menjadi panen dengan cara massampa
(membanting) mengakibatkan hasil panen berubah dari padi ikatan menjadi padi butiran.
Hasil panen dengan metode ini adalah gabah kering yang telah dimasukkan dalam karung.
Berat dan volume hasil dengan cara membanting lebih ramping dan lebih besar dibanding
dengan metode panen dengan ani-ani. Konsekuensinya adalah karung padi hanya
dinaikkan kelantai 2 dan bahkan sebagian besar ditempatkan di bawah kolong atau
dibuatkan lumbung tersendiri. Fenomena ini telah menggeser kesesuaian pandangan
masyarakat Bugis yang memandang ruang kolong (awa bola) sebagai ruang kotor pada jaman
dahulu, kini digunakan sebagai tempat benda yang dianggap suci. Pada masa inilah
terjadi perpindahan fungsi ruang secara vertikal di rumah Bugis.
Perkembangan industri bahan bangunan menggeser penggunaan atap berbahan
daun nipa menjadi atap berbahan lembaran seng digunakan pada awal tahun 1970an
membawa pengaruh peningkatan panas yang terjadi di bagian badan rumah dan memberi
kecenderungan penghuni mendiami kolong rumah pada siang hari. Selain penggunaan
bahan seng sebagai atap, bahan lembaran plastik digunakan sebagai bahan penutup
plafon dan lantai. Penggunaan kedua bahan ini menghalangi aliran sirkulasi udara yang
berhembus melalui sela-sela lantai dari bawah kolong dan dari atas atap yang mengakibatkan
peningkatan suhu dalam ruang.

Pelaksanaan pembangunan rumah hingga pada era 1970an, umumnya dilaksanakan


dengan cara swadaya yang dipercayakan kepada seorang kepala tukang pembuat rumah
(panre bola) sebagai manajer konstruksi dalam istilah industri kontruksi modern. Seluruh
kebutuhan material pengadaannya diusahakan oleh pemilik rumah. Jumlah batang dan
jenis kayu yang diperlukan biasanya dibantu atau ditentukan oleh tukang. Jenis konstruksi
yang akan digunakan diserahkan sepenuhnya kepada panre bola. Pelaksanaan mendirikan
rumah dilaksanakan secara gotong royong oleh sebagian besar masyarakat dalam lingkungan
dimana rumah tersebut akan dibangun. Pada tahun selanjutnya era
1990an terjadi peralihan pembangunan rumah dengan cara pengelolaan yang
meniru cara bisnis (trademan).
Perkembangan budaya huni dapat disebutkan bahwa orang Bugis pada awalnya,
melakukan aktifitas sosialisasi di rumah dengan cara duduk bersila.
Keadaan ini kemudian berkembang menjadi duduk dengan menggunakan kursi.
Demikian pula cara tidur, di masa lalu dilakukan dengan cara menggelar kasur atau tikar yang
diletakkan langsung di atas lantai, saat ini telah berubah dengan cara menggunakan kursi,
tempat tidur, dan sejumlah peralatan jaman modern sebagai peralatan rumah tangga yang
terpengaruh oleh perkembangan teknologi.
Perubahan pola hidup seperti dijelaskan membawa efek terhadap pola distribusi
beban. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa ketika masyarakat tidur di atas lantai,
seluruh beban berat badan dan berat kasur terbagi dan terdistribusi pada sejumlah papan yang
ada dibawahnya. Setelah menggunakan tempat tidur (ranjang) maka beban berat manusia
dan tempat tidur akan terpusat pada titik tertentu di lantai rumah. Demikian pula halnya
pada proses dari duduk bersila menjadi duduk berkursi akan memberikan pengaruh
pembebanan yang sama pada sistem struktur.
Dalam perkembangan ini proporsi tinggi dan dimensi ruang akan menjadi kurang
seimbang. Kesan ruang dalam keadaan duduk bersila dibanding dengan kesan ruang dengan
duduk berkursi adalah berbeda. Demikian halnya fleksibilitas ruang dari penggunaan
kasur menjadi ranjang menciptakan keterbatasan pergerakan yang lebih besar. Fenomena
ini bila ditinjau secara arsitektural telah merubah tatanan pola ruang yang dianut masyarakat
Bugis.
Secara struktural dapat dilihat bahwa penyaluran beban pada masa lalu masih
dapat ditolerir sebagai beban merata. Penggunaan berbagai peralatan jaman modern pada
saat ini menjadikan peranan beban merata terhadap lantai rumah panggung vernakular
bugis tidak lagi berperan dengan baik. Fenomena perubahan sistem pembebanan telah
berubah namun dalam sistem arsitektur relatif tetap menjadi dasar untuk dilakukan
pengembangan penelitian dalam pola pengembangannya.

Penduduk Sulawesi Selatan didominasi oleh etnis Bugis dan Makassar. Etnis
dengan jumlah terbanyak adalah Bugis, mendiami kabupaten; sebagian Luwu, Wajo,
Sidrap, Pinrang, Pare-pare, Soppeng, Bone, Sinjai dan Barru. Kawasan ini terdapat
hamparan karya arsitektur rakyat berupa rumah tinggal yang berbentuk panggung
Rumah Bugis Sulawesi Selatan Dalam Adaptasi Pembangunan
Rumah vernacular Bugis sangat dinamis dalam melayani fungsi dan perubahan
situasi yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Kemampuan adaptasi terhadap kebutuhan
pembangunan sangat dinamis. Terlihat pada pelaksanaan pembangunan jalan poros MakassarPare (2011) di wilayah Kabupaten Barru ditemukan adanya fenomena rumah terpotong
dan terbelah yang terjadi akibat tuntutan pembanggunan jalan yang ada didepannya dan
keterbatasan lahan yang ada dibelakangnya. Rumah rumah tersebut telah berubah dari
bentuk awalnya secara proporsional. Rumah ini dibangun kembali dengan ekspresi bentuk
yang sama. Bentuk yang lahir kelihatan ganjil bila dibandingkan dengan bentuk pada
umumnya. Kenyataan diatas diperlihatkan di gambar 3 di bawah.
Gambar rumah sebelah kiri adalah rumah terbelah, sementara gambar kanan
adalah gambar rumah terpotong.
Fenomena lain adalah kegiatan masyarakat di wilayah Kabupaten Wajo yang
memindahkan rumahnya secara utuh dari suatu lokasi lama ke lokasi yang baru. Pemindahan
rumah dilakukan dengan cara manual yaitu dengan mengangkatnya secara bergotong royong.
Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di daerah permukiman daratan tetapi juga dapat
ditemukan di daerah permukiman berair.
Pemindahan rumah di kawasan berair
menggunakan cara yang berbeda dengan pemindahan rumah di daratan. Kegiatan
pemindahan rumah di daerah berair dilakukan dengan cara membuat pelampung sebagai
alat bantu penngangkat beban.

Gambar 3. Foto survei 2011, rumah Bugis terpotong dan terbelah akibat desakan
lahan

Gambar 4 berikut adalah suasana yang memperlihatkan kegiatan memindahkan


rumah. Rumah yang akan diangkat dibuatkan rangka khusus yang bersifat sementara.
Rangka ini terdiri dari bagian horizontal yang disesuaikan dengan tinggi efektif
penggotong dan bagian vertikal sebagai penopang rumah yang dihubungkan pada struktur
balok bawah.

Gambar 4. Foto survei 2011, rumah Bugis dipindahkan ke tempat lain secara manual

Fenomena perubahan sistem struktur ditemukan di lapangan adalah adanya


penambahan dan pengurangan batang di sistem struktur. Penambahan sistem struktur
berupa pembangunan rumah dengan ketinggian yang tidak lazim. Rumah bertingkat 3
dengan konstruksi kayu. Pengurangan sistem struktur yang ditemukan menunjukkan
adanya kegiatan pemotongan bagian tiang rumah untuk memenuhi tuntutan fungsi dan
aktifitas. Kedua fenomena di atas memberikan tanda adanya perubahan penggunaan
sistem struktur pada rumah Bugis.

Gambar 5. Foto survei 2011, rumah tingkat dan tiang dipotong

Gambar 5 kiri di atas memperlihatkan bangunan rumah Bugis yang dibuat bertingkat
3 sebagai simbol kesuksesan pemiliknya. Gambar tengah dan kanan adalah rumah tiang
terpotong, kolom di gambar tengah sengaja dipotong untuk kebutuhan penyimpanan mobil,
kolom terpotong di gambar kanan dipotong kemudian karena pertimbangan keterbatasan
ruang gerak.
Rumah Bugis dalam perjalanan waktu telah mengalami perubahan menuju ke suatu
titik tujuan yang belum dapat dipastikan. Fenomena perubahan seperti ini juga terjadi di
bangunan tradisional Jepang. Perkembangan budaya huni yang dipengaruhi oleh gaya
hidup barat dan perkembangan peralatan hidup modern menyebabkan sistem dan tatanan
ruang yang sangat cemerlang pada masa lalu menjadi tidak memuaskan lagi (Engel 1994).
Perbedaan Metode Membangun Sistem Struktur Rumah Bugis
Masyarakat Bugis di Provinsi Sulawesi Selatan khsusunya di pelosok daerah ternyata
membangun rumahnya menggunakan sistem struktur yang tidak sama. Perbedaan metode
membangun sistem ditemukan setelah mengadakan mini tour di beberapa daerah domisili
etnis Bugis sebagai rangkaian kegiatan mata kuliah pada semester sebelumnya (mata
kuliah pemodelan struktur, struktur dan konstruksi kayu dan studi empiris arsitektur
vernacular Bugis). Kegiatan ini dilakukan di kawasan kecil di dua daerah kabupaten yaitu
Kabupaten Wajo di pesisir timur dan Kabupaten Barru di pesisir barat. Pada kegiatan mini
tour ini ditemukan adanya beberapa perbedaan sistem struktur yang digunakan untuk
mewujudkan bentuk fisik bangunannya.
Bangunan rumah yang ditemukan ada di antaranya telah berumur ratusan tahun.
Bangunan tua dengan bahan utama kayu sebagian besar tidak dihuni lagi meskipun masih
ada yang tetap dipelihara dan dihuni. Bangunan yang ditinggalkan umumnya hampir
roboh karena serangan rayap dan termakan usia, sementara bangunan yang ditempati masih
kelihatan utuh dan bersahaja namun telah terjadi perubahan.
Gambar 6 di bawah adalah gambar beberapa rumah Bugis dilengkapai dengan
gambar sistem struktur yang digunakannya. Gambar ini diperoleh setelah melakukan survei
pendahuluan. Gambar point (a) adalah sistem struktur dan konstruksi yang ditemukan di
Kabupaten Barru. Gambar point (b) hingga (e) ditemukan di bagian utara Kabupaten Wajo.
Sistem struktur yang menopang berdirinya bangunan rumah vernacular Bugis ternyata ada
beberapa jenis. Pada pengamatan sepintas telah ditemukan 5 (lima) jenis sistem struktur.
Jumlah ini diyakini akan bertambah, mengingat masih ada 6 (enam) wilayah adminitratif
kabupaten yang belum diamati.

e
Gambar 6. Foto survei 2011 dan rekonstruksi tipe sistem struktur rumah Bugis tua
sebagai indikasi awal adanya perbedaan

Di gambar 6 di atas secara sekilas dapat dilihat adanya perbedaan dalam komposisi
batang pembentuk sistem strukturnya. Komposisi batang penyususn sistem struktur di
bagian bawah relatif tidak mengalami perubahan. Komposisi batang penyusun sistem
struktur di bagian tengah sedikit mengalami perubahan. Sistem struktur bagian atas
khususnya pada sistem pertemuan struktur atap dan badan bangunan mengalami banyak
perbedaan.
Perbedaan prinsip penggunaan hubungan pangkal tiang dengan tanah di bagian
bawah dalam hal ini sistem pondasi tidak ditemukan. Pada bagian tengah sistem struktur
penopang lantai ditemukan adanya perbedaan dalam hal posisi dan jumlah batang yang
digunakan. Sistem struktur pertemuan badan bangunan dengan atap ditemukan berbedaan
dalam bentuk prinsip sambungan, jumlah dan orientasi arah batang.
Setiap jenis sistem struktur yang ditampilkan diatas tentunya memiliki keunggulan
dan kelemahan. Bagaimana keuntungan dan kelemahan dari sistem struktur tersebut akan
terungkap dibagian akhir penelitian ini.

Fleksibilitas Sistem Struktur Rumah Bugis Dalam Upacara Adat


Fenomena sistem struktur bangunan rumah Bugis dalam melayani aktifitas budaya
dan sosial masyarakatnya ditemukan dalam kegiatan penyelenggaraan upacara adat seperti
upacara pernikahan dan rangkaian upacara kematian. Upacara pernikahan dan upacara
kematian adalah salah satu kegiatan yang disakralkan masyarakat Bugis. Kegiatan ini
melibatkan seluruh anggota keluarga, kerabat dan seisi kampung. Prosesi upacara ini
memerlukan biaya, ruang dan waktu yang lebih banyak dibanding dengan upacara lainnya.
Pembahasan akan menjelaskan penyelesaian kebutuhan ruang untuk keperluan
upacara pernikahan dan rangkaian upacara kematian. Kedua upacara ini termasuk kategori
acara terbesar bagi masyarakat Bugis. Luas ruang dilantai utama rumah tidak akan cukup
untuk menampung seluruh aktifitas sehingga diperlukan ruang tambahan.
Ruang tambahan sementara sebagai perluasan lantai bangunan rumah untuk keperluan
upacara adat disebut soPuu sompung = menyambung, menyambung
rumah utama untuk memenuhi tuntutan kebutuhan aktifitas yang melibatkan orang
banyak. Letak perluasan ruang lantai tambahan dapat dibuat diseluruh sisi bangunan.
Tambahan luas ruang lantai di sisi samping dan sisi depan biasanya untuk keperluan tamu
yang datang.
Tambahan di sisi belakang biasanya untuk keperluan penyiapan dan
pengolahan bahan makanan. Tinggi permukaan lantai tambahan disamakan dengan tinggi
tampingnya.

Sketsa sompung samping

Sompung depan
Gambar 7. Foto survei 2013 dan ilustrasi sompung di rumah Bugis untuk kebutuhan
upacara adat

Bangunan tambahan ini terbuat dari tiang lantai dan atap, dinding tidak terlalu
diutamakan, kadang hanya ditutup dengan kain. Lantai sompung biasanya menggunakan
dinding samping yang terdekat dengan ruang tambahan.
Kondisi penambahan ruang secara struktural diakomodasi oleh struktur dinding.
Dinding rumah bagian samping dan belakang biasanya dibuat secara sederhana. Papan
dipasang hanya dengan paku atau dengan cara diikat.
Struktur dinding sederhana seperti ini memungkinkan penggunaan bahan dapat
dialihfungsikan tanpa merusak sistem struktur utama. Penambahan sistem struktur bangunan
tambahan ini tidak mengganggu sistem struktur bangunan utama bahkan seolah dirancang
untuk saling melengkapi. Dengan demikian secara struktural bangunan rumah Bugis
dirancang fleksibel untuk mengantisipasi kegiatan budaya dan kegiatan sosial
kemasyarakatan. Gambar 7 di atas memperlihatkan sketsa dan gambar luar suasana rumah
Bugis yang diberi tamping untuk keperluan upacara adat
Lontaraq Sebagai Warisan Budaya Bugis
Masyarakat Bugis memiliki aksara dan menjadi tradisi membuat warisan tertulis
tentang kondisi masa lalu yang memuat sejarah dan pesan hidup berkehidupan. Catatan
kuno tersebut beberapa di antaranya masih dapat ditemukan hingga saat ini.
Catatan kuno ini populer disebut lontaraq. Lontaraq Bugis yang paling terkenal
adalah lontaraq galigo, tercatat sebagai MOW (Memory of the World) kedua setelah
Negarakertagama yang diakui oleh UNESCO (Jakarta post 28 april 2012). Bahkan
ditengarai sebagai karya sastra kuno terpanjang didunia. Lontaraq lainnya masih banyak
tersimpan dalam museum di negeri Belanda dan sebagian masih dipegang oleh masyarakat
Bugis secara pribadi.
Lontaraq lain yang di temukan dalam survei adalah lontaraq ATRW, lontaraq
MPL,lontaraq Bone, dan lontaraq Pananrang. Lontaraq ATRW adalah lontaraq milik Hajji
Andi Sumangerukka mantan Datu Pattojo yang telah ditransliterasi oleh Bapak H. A.
Zainal Abidin, SH. Lontaraq MPL adalah lontaraq yang telah dikaji oleh Prof. Dra.
Nurhayati Rahman. Lontaraq Bone adalah lontaraq yang diperoleh dalam koleksi
Laboratorium Sastra Daerah Universitas Hasanuddin Makassar. Lontaraq pananrang adalah
lontaraq milik keluarga Bapak Madeali di Keera Kabupaten Wajo. Kandungan isi
lontaraq tersebut dipilih tentang hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan ataupun ketentuan
yang ada kaitannya dengan bangunan rumah Bugis.
Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Dalam Konteks Ketahanan Budaya Lokal.
Pemanfaatan model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini, ternyata sering
dianggap tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat.
Seringkali dianggap terjadi ketidakserasian antara keberadaan model arsitektur tradisional
yang boleh dikatakan cenderung stagnan, dengan dinamika tuntutan kehidupan moderen yang
selalu cepat berubah dengan variasi-variasinya. Pada banyak kasus, karena penerapan model
arsitektur tradisional yang salah, tidak mengabaikan kaidah-kaidah sebagaimana mestinya

mengakibatkan bangunan atau rumah itu bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang
mendasari pertimbangan hingga penerapan model baru pada arsitektur rumah atau bangunan
masa kini dengan corak kekinian pula, tidak mau mengadopsi potensi arsitektur rumah
tradisional. Kalau pun ada upaya-upaya menyerap model arsitektur rumah tradisional, maka
proses adopsi itu secara umum masih belum cukup memuaskan karena hadir hanya sebagai
tempelan artistik pemanis, sebatas ornamen ringan semata, bukan karena pertimbangan
aktualisasi kekayaan arsitektur tradisional.
Ada pula paradigma yang menilai bahwa dalam konteks waktu, tradisional
diidentikkan dengan masa lalu yang kuno dibanding dengan modern, ultra modern atau pasca
modern yang sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru. Itu salah satunya yang
menyebabkan rumah berarsitektur tradisional yang mengandung berbagai kearifan itu dinilai
kuno, ketinggalan zaman hingga pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku kepentingan.
Padahal, sangat penting disadari bahwa transformasi model arsitektur tradisional ke
arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara baik dalam penataan ruang dan
lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal tersebut terus dilakukan dalam kesadaran
tinggi. Mencari wujud arsitektur tradisional untuk rumah yang baru dengan penerapan secara
bijak dan mematuhi kaidah-kaidah dengan tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan
semakin besar dan efektif manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari
pemikiran; pentingnya berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan
memahami kembali kearifan dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur rumah
tradisional. Kearifan dan keunggulan yang mulai tak diabaikan, ditinggalkan atau bahkan
cenderung dilupakan itu. Ini perlu segera direvitalisasi.
Hasil penelusuran, pengkajian dan pelestarian kearifan lokal dalam yang masih
dimiliki, perlu ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan yang
sangat diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur, untuk generasi sekarang dan generasi
penerus, serta bagi kelestarian alam dan lingkungan.
Penerapan wujud identitas dan karakter budaya lokal pada arsitektur rumah tradisional
diberbagai kawasan wisata, seharusnya terus menerus dilakukan secara konsepsional. Agar
dapat terlihat secara jelas bagaimana esensi kearifan budaya lokal yang diterapkan itu
ternyata masih bisa sangat fungsional. Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada
kawasan wisata budaya lokal, bisa berperan menjadi transformator atas nilai yang ingin
diwariskan untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional.
Perlu pula selalu diperhitungkan, bagaimana penataan suatu kawasan wisata budaya
dan sekitarnya yang menyatu dalam konsep arsitektur rumah tradisional setempat. Misalnya
dengan penataan secara menyeluruh atas bangunan dan lingkungan diseputar Bola Soba dan
juga Balla Lompoa rumah khas Bugis Makassar. Di kawasan itu, perlu dengan sengaja
ditata suatu lanskap yang berorientasi pada arsitektur etnis Bugis-Makassar nan harmonis,
misalnya; dengan menanam pohon lontara atau pohon pandan di tamannya sebagai salah satu
cara mempertahankan aura masa lalu.

Suatu obyek arsitektur memang dapat menyandang lebih dari satu atribut kategorisasi,
bergantung dari sudut pandang yang menilainya: Jika Rumah Tradisional Bugis Makassar
seperti : Balla Lompoa, Bola Soba, dalam kenyataannya bahwa dibangun oleh masyarakat
tradisional Bugis-Makassar berdasarkan kaidah budaya Bugis-Makassar, maka itu merupakan
Arsitektur etnis Bugis Makassar; demikian pula bila mengingat Balla Lompoa tercipta
berdasarkan kaidah dari bakuan teknik arsitektur yang telah diwariskan secara turun-temurun,
maka itu merupakan arsitektur tradisional; Jika ditilik dari strata masyarakat bangsawan
yang membangun dan menggunakannya maka Balla Lompoa masuk dalam kategori
arsitektur klasik
untuk mewujudkan ketahanan budaya dan konteks pelestarian Esensi dan
pengembangan Substansi arsitektur tradisional Sulawesi Selatan maka;
-Perlu upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan
sebagai warisan budaya.
-Perlu upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk
dikembangkan ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi
yang bergerak ke masa depan.
-Bahwa mempertahankan jatidiri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah
deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat ikut
ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki.
-Hidup dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun
perubahan lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula
terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan sekaligus
dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.
Semakin cepat dilakukan kajian untuk menggali nilai dari kearifan arsitektur
tradisional lokal dampaknya akan semakin baik, termasuk upaya-upaya transformasi,
pewarisan nilai dan teknologi arsitektur tradisional dari para sesepuh, cerdik cendekia bidang
budaya, sosiologi dan arsitek rumah tradisional akan sangat baik sebelum mereka terlanjur
berpulang.
Diharapkan dengan terwujudnya kelestarian arsitektur tradisional lokal Sulawesi
Selatan dapat merajut kembali kejayaan masa lalu yang bermanfaat menjadi kebanggan masa
kini. Warisan itu diwujudkan dalam explicit knowledge, yang sangat kita perlukan dalam
memantapkan konsepsi ketahanan budaya lokal etnis oleh generasi masa kini dan generasi
penerus dalam menghadapi tantangan masa mendatang.

Kepaduan dalam Makna Simbolis dan Fungsi Rumah Bugis


Para filsuf awal ketika membicarakan tentang seni, maka mereka mengaitkannya
dengan apa yang mereka sebut keindahan. Dan kemudian dikenallah pengetahuan ini
sebagai filsafat keindahan (Sumardjo, 200: 24), termasuk di dalamnya keindahan alam dan
keindahan karya seni. Jadi, objek materil filsafat seni adalah mempersoalkan karya seni atau
benda seni atau artefak yang disebut seni (Sumardjo, 2000: 25).
Lebih lanjut Sumardjo (2000: 22) mengatakan bahwa konteks filsafat seni Indonesia,
peleburan diri (kehilangan kesadaran diri) dalam keindahan karya seni adalah syarat mutlak
dalam mencapai taraf kebenaran dan susila dunia religius para dewa dan roh. Pengalaman
seni identik dengan pengalaman religius. Nilai seni setaraf dengan nilai religius. Argumentasi
ini menguatkan tentang bagaimana konstruksi sebuah karya senirumah panggung manusia
Bugis, memiliki makna simbolis sekaligus memiliki sisi fungsional di dalamnya.
Pelras (2006: 265) mengatakan bahwa rumah tradisional Bugis merupakan contoh
model rumah Asia Tenggara, yaitu rumah panggung dari kayu, yang atapnya berlereng dua,
dan kerangkanya berbentuk huru H terdiri dari tiang dan balok yang dirakit tanpa pasak
atau paku; tianglah yang menopang lantai dan atap sedangkan dinding hanya diikat pada
tiang luar.

KESIMPULAN
Suku Bugis salah satu suku yang mendiami daerah Sulawesi Selatan, sistem
kekerabatan suku Bugis ialah Bilateral atau lebih tepat parental, dimana hubungan
kekerabatan melalui dua jalur, yaitu hubungan kerabat sedarah yang disebut seajing taua
sampunglolo, dan hubungan kerabat karena perkawinan yang disebut siteppa-teppa, selain
kewajiban mengurus masalah.
Sedangkan kerabat siteppa-teppa berperan apabila keluarga luas mengadakan upacaraupacara perkawinan, kelahiran, pendirian rumah baru, dan sebagainya. Antara religi dan adat
istiadat masyarakat Bugis memiliki hubungan satu sama lain dimana adat memberikan peran
pada religi begitu sebaliknya serta sebagian besar masyarakat Bugis memeluk agama Islam
dan sisanya memeluk agama Kristen atau Katholik. Karya seni tidak hanya menghasilkan
sesuatu yang indah tetapi memiliki makna simbolis dan fungsional di dalamnya. Hal tersebut
nampak pada konstruksi rumah Bugis. Di mana nilai idea direpresentasikan ke dunia riil
sebagai wujud pemaknaan akan hidup yang religius dan memberikan manfaat pada pelaku
seni tersebut. Bangunan rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi juga
memberi nilai estetik yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para
pemiliknya. Hal tersebut terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai dengan
pandangan kosmologis mereka.
Rumah Bugis dibangun memiliki makna simbolis yang sangat kuat, di mana
konstruksi rumah dibangun dalam tiga ruang yang mewakili tiga makna. Makna yang
diwakili tersebut merupakan cerminan akan tiga dunia yang diyakini manusia Bugis, yaitu
dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Sedangkan secara fungsional, rumah Bugis
memiliki fungsi yang menjelaskan bagaimana kehidupan itu harus dibangun dan sosialitas
mereka terhadap keluarga, masyarakat dan lingkungan mereka. Fungsi ruang-ruang dalam
rumah Bugis juga mewakili konsep kosmologis mereka. Ruang Rakkeang dijadikan sebagai
tempat menyimpan padi, jagung dan hasil panen dari pertanian mereka. Ruang Ale Bola
dijadikan tempat tinggal bagi pengguninya. Dan ruang Awa Bola dijadikan tempat untuk alatalat pertanian dan segala kebutuhan perekonomian mereka.
Analisis simbolis yang dilakukan dalam melihat karya seni berupa rumah Bugis
tersebut sangat membantu dalam mengungkap idea sebuah karya seni. Rumah Bugis yang
dilihat dari pendekatan simbolis telah memberi gambaran yang lebih komprehensif tentang
bagaimana sebuah karya seni dinilai. Karya seni tidak hanya dinilai dari segi keindahan
semata, tetapi penilaian tersebut sepatutnya pula melihat makna dibalik mengapa sebuah
karya seni dibuat. Dan hal demikian menjadi padu dalam karya seni orang Bugis berupa
rumah panggung. Di mana unsur estetika nampak dan makna-makna simbolis juga sangat
kuat di dalamnya.
Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan
pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat
istiadat Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan
struktural. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut :

a.
b.
c.
-

Dari segi Spatial


Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang kurang memiliki ikatan
emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat heterogen).
Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk secara fungsional dan
kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga (khususnya remaja)
terhadap pola rumahnya yang berbentuk panggung.
Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih privat, sehingga ruang-ruang
disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan pola penataan
ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur Bugis.
Dari segi Stilistika
Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen bentuk stilistik. Rancangan
bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional semata.
Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar filosofi bentuk
disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang mengikat nilai-nilai ini.
Dari segi Struktural
Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman sehingga
harganya sangat mahal.
Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya abrasi
pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat difungsikan
sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang bawah rumah makin
berkurang karena tuntutan pengurugan.
Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih baik dalam
perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga dianggap menunjukkan
tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Agrest, D, (1996), Design Versus Non-Design, Oppositions 6, 1976 in Kate Neisbitt (ed)
Theorizing a New Agenda for Architecture, Princeton Architecture, New York:, p771776
Crowe, N, (1995), Nature and the Idea of a Man-Made World: an Investivigation into the
Evolutionary Roots of Form and Order in the Built Environment, MIT Press,
Massachusetts.
Koentjaraningrat (1999), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Pallasma, J (1996), The Geometry of Feeling, A Look at the Phenomenology of
Architecture, Scala : Nordic Journal of Architecture and Art, in Kate Neisbitt (ed)
Theorizing a New Agenda for Architecture, Princeton Architecture, New York, p.447452
Rapoport, A, (1969), House, Form and Culture, Prentice Hall, New York.
Rudovsky, B, (1964), Architecture Without Architects, Academy Editions, London.
Schultz, C, N, (1988), Architecture: Meaning and Place, Rizzoli, New York.
Sumintardja, D, (1981), Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan
Masalah Banagunan, Bandung.
Sutrisno, R, (1984). Bentuk Struktur Bangunan Dalam Arsitektur Modern,Gramedia, Jakarta.
Tanudjaja, F,C,J,S, (1998). Kerangka Makna di Dalam Arsitektur, Penerbit UAJY,
Yogyakarta.
Mattulada (1982), Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Depdikbud
Nasrul Baddu (1990), Rumah tradisional Bugis Makassar
Tjahjono, G. Editor. (2001). Indonesian Heritage. Vol. 6. Architecture.
Tuan, Y.F. (1974).Topophilia. A Study of Environmental Perception, Attitudes, and Values.
Rinwar Karim, Muktahim, Adnin Sakti, (1992), Arsitektur tradisional Bugis Makassar.
Yudono Ananto, Prof, DR, Ir, MSc, (2008) Kearifan arsitektur tradisional rumah panggung
dalam hunian modern.

Anda mungkin juga menyukai