Anda di halaman 1dari 25

Paradigma berpikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan

pemilik nilai budaya lokal, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi, didukung dengan industri pariwisata global yang mendunia
mengalami sangat pragmatis dan berinteraksi terhadap perubahan
lingkungannya, sehingga konsepsi tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser
dan menjadi terfokus pada nilai-nilai materialistik, di mana religiusitas pura
mengalami perubahan nilai secara dramatis (Pujaastawa, 2008: 406).

Pusaka budaya Pura Tirta Empul merupakan representasi dari budaya lokal
masyarakat Desa Manukaya mengalami proses komodifikasi. Representasi lahir
dari dalam diri masyarakat (faktor internal) sendiri, sebagai tanggapan aktif
masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik
budaya Pura Tirta Empul sebagai teks yang hidup, tetapi di sisi lain faktor
eksternal secara signifikan mereduksi pemaknaan baru terhadap Pura Tirta
Empul dalam konteks pariwisata global.

Di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya


komodifikasi Pura Tirta Empul, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor internal terdiri atas tersedianya sumber daya budaya, kreativitas
masyarakat, dan keinginan mendapatkan manfaat ekonomi. Selanjutnya faktor
eksternal terdiri atas perkembangan pariwisata, intervensi pemerintah daerah
dan peranan media massa.

Faktor Internal

 Tersedianya Sumber Daya Budaya

Pura Tirta Empul mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sebelum tahun
1980-an pura ini belum populer dan hanya berfungsi sebagai tempat suci.
Keberadaan pura ini sebagai tempat suci dapat diketahui berdasarkan
keterangan Prasasti Manukaya tahun 960 yang dikeluarkan oleh Raja Bali Kuno
Jayasingha Warmadewa. Kini prasasti tersebut disimpan di Pura Sakenan di
Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar (Goris, 1954: 75-76). Selain Prasasti
Manukaya, sejarah Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan Kitab
Kakawin Usaha Bali karya Dang Hyang Nirartha, yang mengisahkan
pertempuran Mayadanawa dengan Dewa Indra yang akhirnya dimenangkan
oleh Dewa Indra beserta pasukannya (Kusuma, 2005 : 64-96). Tirta Empul
adalah ”air suci” yang diciptakan oleh tongkat Dewa Indra yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti membersihkan diri
(melukat), membuang aib, termasuk juga untuk kepentingan upacara
keagamaan.
Dari kedua sumber
tertulis tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada mulanya Pura Tirta Empul
jelas didirikan untuk kepentingan keagamaan. Dengan kata lain, Pura Tirta
Empul sebagai tempat suci berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan bagi
masyarakat Hindu di Bali, khususnya Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar.
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap
keyakinan adanya kekuatan gaib atau supernatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku
tertentu, seperti berdoa, memuja, serta menimbulkan sikap mental tertentu,
seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan
masyarakat yang mempercayainya (Agus, 2006: 1).

Proses internasionalisasi yang terjadi melalui aktivitas pariwisata, telah


menjadikan Bali sebagai masyrakat dunia yang multibudaya. Namun demikian
pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang arahnya berlawanan, yaitu
suatu proses ke dalam mencari identitas yang bisa disebut sebagai proses
tradisionalisasi. Proses ini antara lain ditandai dengan meningkatnya kegairahan
beragama atau religiusitas masyarakat. Kegairahan religiusitas dapat dilihat
melaui indikator antara lain adanya intensitas pelaksanaan ritual, intensitas
keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan
manusia, dan keyakinan akan adanya benda/objek sakral (Pitana, 2005 : 147-
148).

Keyakinan akan kekuatan gaib dan kekuatan supranatural yang mempengaruhi


kehidupan manusia masih sangat kuat di antara masyarakat Hindu dewasa ini.
Seiring dengan keyakinan itu, berbagai simbol dan objek diyakini mempunyai
kekuatan yang tidak mampu dijelaskan dengan logika rasional, dan objek
tersebut bagi masyarakat adalah wujud sekala dari berbagai kekuatan niskala,
sehingga objek tersebut benar-benar disakralkan. Perilaku masyarakat Bali
(Hindu) terhadap objek sakral ini dengan mudah dapat diamati dalam setiap
kegiatan ritual. Banyak masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religious
sebagaimana dipraktikkan dalam berbagai aliran pendalaman agama, seperti
kelompok-kelompok spiritual, kelompok tirta yatra, dan sejenisnya.

Kolam suci tempat


melakukan pengelukatan
Pura Tirta Empul adalah salah satu tempat suci yang banyak mendapat
kunjungan dari kelompok spiritual tersebut di atas. Keberadaan Pura Tirta
Empul sebagai tempat peribadatan dan penyucian diri (melukat) memungkinkan
masyarakat atau kelompok-kelompok spiritual melakukan prosesi ritual
keagamaan. Belakangan ini prosesi pembersihan diri (melukat) sangat ramai
dilakukan masyarakat di kolam suci Pura Tirta Empul. Tidak terhitung jumlah
orang yang datang menyucikan diri di kolam suci di kompleks pura tersebut,
mulai dari anak-anak, orang dewasa, orangtua, bahkan para turis dari
mancanegara.

Secara umum, melukat (penyucian diri) dilakukan dengan tujuan untuk


menyucikan badan jasmani dan rohani. Sehubungan dengan adanya air yang
dianggap suci (tirta) di Pura Tirta Empul, proses melukat yang dilakukan oleh
masyarakat (lokal, asing) tidak hanya untuk membersihkan jasmani dan rohani,
tetapi juga untuk tujuan tertentu, misalnya penyembuhan penyakit, kelancaran
rejeki, keselamatan perjalanan, dan sebagainya.

Sebagaimana tujuan utama penciptaan tirta (air suci) di Pura Tirta Empul
(menurut Kakawin Usana Bali) adalah untuk mengobati pasukan para Dewa dari
penderitaan akibat luka-luka setelah bertempur melawan pasukan Mayadanawa.
Air suci itu mempunyai khasiat yang luar biasa, selain menyembuhkan penyakit,
juga dapat menghidupkan kembali pasukan para Dewa yang sudah mati.
Keterangan Kitab Kekawin Usana Bali yang berkaitan dengan khasiat air suci
tersebut tampaknya menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat
melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, dengan harapan dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan keselamatan dalam kehidupan
ini.

Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang
menyebabkan orang ingin melakukan perjalanan wisata adalah adanya
keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di belahan dunia lain
serta keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata
mengakui peran budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata
lain, sumberdaya budaya dimungkinkan menjadi faktor utama yang menarik
wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009 : 75).

Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang memanfaatan sumberdaya budaya


sebagai modal utama dikenal sebagai pariwisata budaya. Jenis pariwisata ini
memberi variasi yang lebih luas menyangkut budaya mulai dari seni
pertunjukkan, seni rupa, festival makanan tradisional, dan lain-lain termasuk
juga bangunan bersejarah. Pariwisata budaya dapat dilihat sebagai peluang
bagi wisatawan untuk mengalami, memahami, dan menghargai kekayaan atau
keragaman budayanya. Pariwisata budaya memberi kesempatan kontak pribadi
secara langsung dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan khusus
tentang suatu objek budaya. Pura Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat
suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Seperti diketahui
bahwa wisata budaya memanfaatkan aspek budaya sebagai daya tarik.

Para wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sudah tentu berharap
mendapatkan sesuatu yang memberikan kepuasan atau kesan yang mendalam.
Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan situs atau dari keunggulan mutu dari
benda-benda tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Para wisatawan dapat
memperoleh kesan mendalam mengenai suasana pura yang nyaman dan khas,
serta merasa puas karena mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang
ditemukan di dalam pura.

Wisata budaya secara umum bertujuan mendekatkan bangsa-bangsa, baik pada


dimensi kultural maupun kemanusiaannya. Sudah tentu dari segi penyelenggara
pariwisata sendiri yang penting adalah keuntungan yang dapat diperoleh.
Namun untuk menjamin kepercayaan konsumen atau wisatawan, maka kualitas
layanan merupakan prasyarat yang tidak dapat dianggap remeh. Pura Tirta
Empul dewasa ini selain sebagai tempat suci, telah berkembang menjadi daya
tarik wisata.

Sebagai daya tarik wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, Pura Tirta Empul
mendapat kunjungan wisatawan yang cukup banyak. Seiring dengan
meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali, jumlah kunjungan wisatawan ke
Pura Tirta Empul dalam dua tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel di bawah
ini.
Tabel Kunjungan Wisatawan Asing di Obyek Wisata Situs Pura Tirta Empul pada
tahun 2014-2015.

No Tahun Pengunjung

1. 2014 397.006

2. 2015/November 509.038

Sumber: Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, 2015

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa Pura Tirta Empul mendapat kunjungan
wisatawan yang begitu banyak. Selain faktor keindahan alam, Pura Tirta Empul
juga didukung oleh daya tarik wisata lain yang berdekatan, seperti Pura
Mangening dan Istana Presiden Tampaksiring. Pura Tirta Empul sebagai salah
satu sumberdaya budaya dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten
Gianyar dibuka untuk para wisatawan. Namun demikian, setiap pengunjung
diharapkan tetap menaati ketentuan yang berlaku di Desa Adat Manukaya Let
yang menekankan pada unsur kesucian, mengingat Pura Tirta Empul adalah
sebuah tempat suci. Untuk pengamanan Pura Tirta Empul, siang dan malam
dijaga oleh petugas keamanan secara bergiliran yang ditunjuk berdasarkan
aturan yang menjadi landasan dalam pelaksanaannya. Para petugas, selain
memungut retribusi, juga menjaga kebersihan, keamanan, serta ketertiban di
objek dan daya tarik wisata.

Untuk membantu umat yang akan melakukan persembahyangan di Pura Tirta


Empul, Desa Adat Manukaya Let menugaskan tiga orang pemangku. Mereka
bertugas secara bergiliran setiap hari mulai sekitar pukul 09.00 hingga 17.00
Wita, kecuali pada hari-hari tertentu (hari-hari besar Hindu) disesuaikan dengan
kehadiran umat yang datang bersembahyang. Dengan bantuan
sejumlah prejuru adat, pemangku berkewajiban memimpin upacara serta
mengawasi semua kegiatan ritual di pura tersebut.
Dewasa ini Pura Tirta Empul telah menjadi daya tarik wisata budaya unggulan
di Kabupaten Gianyar. Mengingat sifatnya sebagai pusaka budaya, maka obyek
tersebut pada pertamanya harus digarap sebagai sumber ilmu, sumber belajar,
sumber informasi, dan bukan sebagai tempat hiburan (Sedyawati, 2008 : 249).
Kalaulah harus memiliki kualifikasi rekreasi, maka haruslah rekreasi yang
bermanfaat dan terjaga tingkat akurasi informasinya. Perlu diingat bahwa
wisatawan tidak semata-mata terdiri dari orang-orang dangkal yang hanya
mencari hiburan. Tidak sedikit di antara mereka mungkin tergolong
sebagai special interest tourists yang bepergian ke luar dari tempat tinggalnya
untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang suatu kebudayaan.

Masyarakat Desa Manukaya telah mencoba mentransformasikan modal budaya


(Pura Tirta Empul) menjadi modal ekonomi (economic capital) dalam
pengembangan pariwisata budaya. Kawasan pariwisata berbasis pusaka budaya
di Desa Manukaya sebagai modal ekonomi mengintegrasikan beberapa
komponen industri pariwisata.

Sebagai daerah wisata, desa ini tidak hanya memiliki kekayaan pusaka budaya
Pura Tirta Empul, tetapi juga berbagai komponen industri pariwisata lainnya.
Hanya, Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya di desa ini dapat dikatakan
modal terpenting kepariwisataan, sehingga tetap membutuhkan berbagai
komponen industri pariwiasta lainnya. Hal ini membutuhkan kerjasama bisnis
pariwisata dari semua pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat.

Pusaka budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai modal pengembangan


pariwisata, merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam posisinya
sebagai bagian dari sistem pembangunan daerah. Untuk itu, proses tersebut
dapat dijelaskan dengan teori komodifikasi, karena ada upaya secara sengaja
dan penuh kesadaran untuk menjadikan produk budaya tersebut menjadi
barang dagangan yang siap dijual bagi wisatawan. Pura Tirta Empul mengalami
proses komodifikasi karena menjadi komoditas. Menurut Barker (2005 : 408),
komoditas adalah suatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar.
Hancurnya batas-batas budaya dan ekonomi, sebagaimana yang sudah lama
terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan dengan pariwisata budayanya,
menjadi penanda penting posmodernitas.

 Kreatifitas Masyarakat

Faktor internal lain yang mendorong pemanfaatan Pura Tirta Empul adalah
kemampuan kreativitas masyarakat. Kreativitas adalah salah satu kemampuan
intelektual manusia atau proses berpikir, kemampuan memecahkan masalah,
berkaitan dengan usaha menciptakan gagasan-gagasan dan hal-hal baru yang
berguna. Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau
mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya, atau kreativitas adalah
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2005 : 313).

Pura Tirta Empul sebagai suatu produk budaya masyarakat Manukaya, dalam
proses kehadirannya, tidak bisa dilepaskan dari berbagai kreativitas manusia
yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan. Kreativitas pengembangan
Pura Tirta Empul merupakan akumulasi dari pemikiranpemikiran kreatif manusia
sepanjang waktu sampai kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka
terhadap pemenuhan rasa keindahan yang terus-menerus.

Berbagai kreativitas ditunjukkan melalui berbagai bentuk dan variasi hiasan


yang ditampilkan pada bangunan suci Pura Tirta Empul. Pola massa spasial
bangunan suci adalah bentuk massa (bangunan) dan tata letak massa dalam
lingkungan mandala. Bentuk massa berpengaruh terhadap fungsi secara
keseluruhan. Perubahan pola ruang dan pola massa berpengaruh terhadap
perubahan spasialnya. Sebelum tahun 1980, bentuk dan massa bangunan yang
mengalami renovasi total mencerminkan kesederhanaan, tetapi tetap
mencerminkan nilai-nilai kesucian.
Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan Pura Tirta Empul
Selain dari segi bangunan kreativitas masyarakat dalam pengembangan dan
pemanfaatan Pura tirta Empul juga ditunjukkan dengan penataan taman-taman
dihalaman Pura Tirta Empul. Taman-taman ini ditata dengan rapi sehingga
menambah daya tarik Pura Tirta Empul sebagai objek wisata yang menyajikan
pemandangan yang indah dan sejuk.

Konsep tri hita karana diterapkan di Desa Adat Manukaya, yang merupakan
pedoman keseimbangan antara krama desa (warga desa), pekraman (teritorial
desa), dan parhyangan desa (tempat pemujaan desa). Sesuai dengan
maknanya, bahwa dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara
kedamaian rohani yang terkait dengan prinsip ketuhanan dengan penghuni
serta rumah termasuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Desakan dari prinsip
ekonomi yang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari menimbulkan sikap
hidup yang kurang mampu memisahkan antara pura sebagai tempat suci dan
sebagai objek komersial. Atau sekurang-kurangnya akan terjadi perubahan
dengan mengadakan variasi antara tata dasar dengan bentuk-bentuk baru.

Sulitnya kehidupan ekonomi serta peluang pariwisata yang cukup menjanjikan


kehidupan yang lebih baik, berpengaruh terhadap dinamika kesadaran budaya
masyarakat, seperti munculnya konsepsi dan orientasi bahwa ruang dalam
konteks ini adalah Pura Tirta Empul, adalah situs untuk mendapatkan uang atau
keuntungan dalam bentuk lain. Konsep tersebut semakin berkembang dan
membentuk identitas ke arah komersialisasi, yang ditandai dengan sikap
promosi. Sikap itu dapat dilihat dalam realita seperti merenovasi pura,
memperindah pura dengan berbagai ornamen dan ragam hias, penataan
lingkungan, pembuatan taman, dan lain-lain yang dieksplotir untuk kepentingan
komersial.

Koperasi yang dikelola oleh Desa Adat Manukaya


Bersamaan dengan perkembangan pola komersial, hadirnya teknologi juga
memberikan corak tertentu terhadap kesadaran tentang konsepsi pura. Dari
fungsi sakral sampai dengan fungsi komersial, telah menyajikan suatu bentuk
pelayanan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Bangunan dengan
bahan yang berkualitas rendah diganti dengan bahan yang berkualitas tinggi,
atap bangunan dari alang-alang diganti dengan ubin atau ijuk, lantai bangunan
dari tanah diganti dengan keramik, ruang-ruang dengan bentangan lebar, yang
sebelumnya tidak mungkin dibuat dengan bahan kayu, diganti dengan beton
cor. Sejalan dengan desakan komersialisasi dan didukung oleh teknologi
mutakhir, serta komunikasi yang intensif dengan pihak luar melalui pariwisata
dan mediamedia informasi, mempertegas pergeseran pusaka budaya Pura Tirta
Empul sebagai situs komersial.

Kreativitas adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi


dalam merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Manusia
dituntut kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalaman
untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang originial dan mampu
menjadikan pengalaman baru yang unik dan estetik bagi orang lain
(Wirakusuma, 2005 : 30-31).

Dalam perkembangannya, inovasi dan kreativitas masyarakat banyak


ditentukan oleh para sponsor, yaitu penguasa ekonomi dan penguasa politik
yang mempunyai kepedulian dan kepentingan dengan Pura Tirta Empul.
Lembaga atau instansi pemerintah yang secara langsung terlibat adalah Dinas
Pariwisata Kabupaten Gianyar. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah,
Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah dengan
giat mencari berbagai farmasi yang mungkin bisa dikembangkan untuk
menambah pemasukan daerah. Salah satunya adalah pemanfaatan Pura Tirta
Empul sebagai modal dalam upaya pengembangan pariwisata. Aset Pura Tirta
Empul menjadi semacam ”magnet” yang dipakai untuk mengajak setiap elemen
masyarakat mendukung dan menerima kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
terkait dengan aset daya tarik wisata Pura Tirta Empul.
Globalisasi yang sedang merambah masyarakat dewasa ini tampaknya bagi
sebagian masyarakat memahaminya sebagai peristiwa atau proses kebudayaan
dalam arti luas. Di satu sisi globalisasi menuntut keseragaman, tetapi di sisi lain
membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas. Dengan
demikian kreaktivitas masyarakat untuk pembaharuan merupakan salah satu
faktor pendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.

 Keinginan Mendapatkan Manfaat Ekonomi

Sejumlah studi menunjukkan bahwa masyarakat miskin di pedesaan masih


cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan
kultur pedesaan. Mereka umumnya belum mempunyai pendapatan yang cukup
untuk bebas dari kekurangan. Mereka masih dililit oleh ketidakberdayaan.
Ideologi dan teknologi baru yang diperkenalkan kepada mereka acapkali di
respon secara negatif, terutama karena tidak memiliki jaminan sosial yang
cukup untuk menghadapi resiko kegagalan (Usman, 1998 : 32).
Loket penjualan tiket masuk Pura Tirta Empul
Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah
kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perencanaan dan implementasi
pembangunan hendaknya berisi usaha untuk memberdayakan masyarakat
sehingga mereka mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Untuk
mengatasi hal itu, pemerintah sesungguhnya telah mencanangkan berbagai
macam program pembangunan pedesaan. Salah satu diantaranya adalah
pembangunan melalui pengembangan pariwisata. Tidak dapat dimungkiri bahwa
ketika suatu situs dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, sebuah proses
transaksi ekonomi harus terjadi. Realita seperti itu secara nyata terjadi atas
situs Pura Tirta Empul. Arus manusia dari berbagai penjuru dunia datang
berkunjung untuk menikmati apa sesungguhnya yang ada di area situs
tersebut.
Tempat Pemakaian Selendang sebelum memasuki areal pura
Masyarakat sebagai salah satu komponen pendukung pariwisata juga harus
dilibatkan dan mendapatkan keuntungan dari pariwisata, jangan sampai hanya
dapat dinikmati oleh kapitalis sebagai pemilik modal tanpa dapat dinikmati oleh
masyarakat, tetapi masyarakat lokal sebagai pemilik sumber daya budaya dan
pelaku kegiatan aktivitas pariwisata itu berlangsung harus juga menikmati
keuntungan atas industri pariwisata dengan cara memaksimalkan proporsi
pendapatan ekonomi yang dikelola secara lokal beserta keuntungan-
keuntungan lainnya pada masyarakat lokal untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat (Ardika, 2007: 120).

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa salah satu faktor


yang menyebabkan terjadinya pemanfaatan warisan budaya Pura Tirta Empul di
Desa Adat Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar adalah
memberi kebebasan masyarakat lokal untuk mengembangkan aset warisan
budaya berupa peninggalan monumen, dalam hal ini Pura Tirta Empul itu
sendiri. Selain berfungsi sebagai tempat suci, juga difungsikan sebagai objek
wisata cagar budaya dengan daya tariknya sebagai daya tarik wisata budaya
yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pura Tirta
Empul sebagai akibat pengaruh industri pariwisata global. Adanya faktor-faktor
nilai ekonomis selalu mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat yang
berusaha memperbaiki kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Manukaya, khususnya
masyarakat di daerah sekitar Pura Tirta Empul. Terjadinya kesempatan ruang
dan waktu, yang berkorelasi dengan pengembangan pariwisata budaya
berkelanjutan di Bali, yang bertumpu pada tiga landasan pokok, yaitu
berkualitas (quality), berkelanjutan (continuity), dan berkesinambungan
(balancy), akan melahirkan motivasi dan kreativitas masyarakat lokal sebagai
pemilik kebudayaan untuk mempromosikan tinggalan pusaka budaya sebagai
suatu komoditi, yang memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat
lokal (Ardika, 2007: 50).

Faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya budaya Pura Tirta
Empul ini telah menyebabkan komersialisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Tirta Empul di Desa Adat Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, yaitu
untuk pelestarian dan kepentingan Pura Tirta Empul. Seperti beaya
pemeliharaan atas warisan budaya ini agar tetap terjaga dan terlestarikan. Di
samping untuk penambahan pendapatan dengan memberi nilai ekonomis bagi
para pengelola/pengurus Pura Tirta Empul, juga demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya atas pemanfaatan dan pengelolaan Pura
Tirta Empul sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata Bali.
Melihat hal-hal di atas, dan hasil dari beberapa wawancara yang dilakukan
dengan beberapa pihak terkait, maka faktor kebutuhan ekonomi dalam
pengelolaan Pura Tirta Empul menyebabkan terjadinya komersialisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
budaya di Bali, telah membuka ruang dan peluang pura ini berfungsi sebagai
benda komoditi, sehingga sekat Pura Tirta Empul sebagai tempat suci yang
bersifat “ritual-magis” akhirnya menjadi kepentingan ekonomi praktis untuk
memperoleh keuntungan ekonomi dalam bentuk nilai uang. Apabila harapan
untuk meningkatkan mutu hidup dan memperbaiki pendapatan ekonomi,
menjadi inspirasi masyarakat lokal untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
hidup dengan memanfaatkan potensi internal yang bersumber dari masyarakat
itu sendiri, maka memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat setempat,
khususnya di sekitar Pura Tirta Empul atas pemanfaatan warisan budaya Pura
Tirta Empul dalam pembangunan pariwisata Bali.

Perkembangan industri pariwisata Bali dengan kebijakan-kebijakan institusi


formal yang lebih mementingkan manfaat-manfaat nilai ekonomi, di mana
unsur-unsur palemahan (lingkungan alamiah), seperti gunung, hutan, sawah,
sungai, danau, pantai dan kawasan suci pura, yang dianggap sakral/suci
sekalipun, kini terusik dan ternoda oleh keserahkahan naluri bisnis pariwisata,
dimana kearifan-kearifan budaya lokal yang telah diwariskan turun temurun,
sekarang mulai terabaikan atas nama peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya (Pujaastawa, 2008: 418). Berorientasi pada nilai ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka faktor kebutuhan
ekonomi dalam pengelolaan Pura Tirta Empul dengan daya tariknya sebagai
warisan budaya lokal atas pemanfaatannya yang berfungsi sebagai objek wisata
cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali menjadi faktor relevansi
dalam wewenang aktivitas masyarakat Desa Adat Manukaya untuk
memanfaatkan kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya
budaya lokal yang dimilikinya demi pelestarian dan pemeliharaan warisan
budaya tersebut serta penambahan pendapatan demi meningkatkan ekonomi
dan taraf kesejahteraan.

Selaku pemeran utama, masyarakat lokal Desa Adat Manukaya ikut terlibat
secara langsung atau tidak langsung dalam membuat keputusan-keputusan dan
melakukan kontrol-kontrol kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sosial
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, baik bagi para
pengurus/pengelola Pura Tirta Empul, serta membuka lapangan pekerjaan baru.
Maka pengelolaan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Tirta Empul yang
berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya di Desa Adat Manukaya dalam
pembangunan pariwisata budaya di Bali dilakukan secara optimal oleh
masyarakat lokal untuk memberikan ruang bagi kegiatan keseharian
masyarakat setempat sebagai pemilik kebudayaan lokal tersebut sehingga
menghasilkan motif ekonomi praktis untuk kebutuhan pengelolaan Pura Tirta
Empul sebagai sumber daya budaya demi pelestariannya serta mendatangkan
peningkatan kesejahteraan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa
Adat Manukaya, khususnya masyarakat di lingkungan sekitar Pura Tirta Empul.

komersialisasi sering menjadi isu utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan


pura sebagai daya tarik wisata, selain dijadikannya tempat suci, juga berfungsi
sebagai objek wisata cagar budaya. Ini merupakan fakta terjadinya
komersialisasi kebudayaan dalam industri pariwisata budaya di Bali, karena
berubahnya atau bertambahnya fungsi kesenian atau monumen/objek cagar
budaya tersebut (Ardika, 2007: 52). Adanya faktor demi pelestarian dan
meningkatkan kesejahteraan di sini, berfungsi sebagai penambahan pendapatan
dana pemeliharaan, juga kesejahteraan para pengurus/pengelola Pura Tirta
Empul. Di mana segala bentuk keuangan yang masuk, seperti sumbangan
sukarela dari wisatawan/pengunjung, iuran-iuran pura, saricanang (sesari),
pemasukan atas pemanfaatan jaba Pura Tirta Empul sebagai areal parkir bagi
masyarakat dan wisatawan mancanegara. Kemudian sumbangan dari kegiatan
sosial bila ada yang menggunakan wantilan pura. Keseluruhan hal di atas, uang
yang masuk selalu digunakan untuk kebutuhan Pura Tirta Empul dengan segala
keperluan pura ini. Misalnya; pemugaran/konservasi bangunan/pelinggih jika
ada kerusakan/diperbaiki, untuk upacara keagamaan yang berhubungan
dengan odalan hari raya, piodalan pura, dan berbagai kebutuhan upacara,
bantuan/ honorarium untuk pengelola/pengurus pura setiap bulan, di samping
kesejahteraan masyarakat secara keselurahan atas pemanfaatan dan
pengelolaan warisan budaya Pura Tirta Empul yang di fungsikan sebagai objek
wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

Faktor Eksternal
 Pariwisata

Pariwisata mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap komodifikasi,


karena pariwisata meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan wisata,
pengusaha, daya tarik wisata, serta usaha lainnya yang terkait. Pembangunan
pariwisata pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengembangkan dan
memanfaatkan daya tarik wisata yang berbentuk keindahan alam, keragaman
flora dan fauna, kemajemukan tradisi dan budaya, serta peninggalan sejarah
dan purbakala atau pusaka budaya. Pemaduan daya tarik wisata dengan
pengembangan usaha jasa dan sarana pariwisata, akan berfungsi meningkatkan
daya tarik wisatawan maupun pengembangan obyek wisata baru dan daya
tariknya.

Kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul


Pariwista atau etnoschapes adalah salah satu dimensi gerakan yang
dikemukakan oleh Appadurai dari lima dimensi gerakan globalisasi, yaitu
pergerakan manusia, baik untuk menetap maupun sebagai turis, dari satu
tempat ke tempat lain, dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari suatu negara
ke negara lain. Kehadiran manusia sebagai individu atau berkelompok ke suatu
tempat yang dilakukan untuk sementara waktu, tidak untuk tujuan menetap
dan mencari pekerjaan, namun semata-mata sebagai konsumen untuk
menikmati dan memenuhi kebutuhannya, diartikan sebagai pariwisata
(Ismayanti, 2010 : 3).

Pura Tirta Empul dewasa ini, selain berfungsi sebagai tempat suci umat Hindu,
juga dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya melalui kebijakan
kepariwisataan. Pariwisata budaya menurut Sedyawati (2007 : 213) dapat
dipilah ke dalam tiga jenis menurut sasarannya, yaitu (1) kebudayaan yang
hidup, (2) warisan budaya masa lalu yang bersifat benda, dan (3) bentang alam
budaya.

Tujuan wisata berupa kebudayaan yang hidup pada dasarnya diarahkan kepada
terjadinya suatu penghayatan pengalaman bagi para wisatawan, yang seringkali
merupakan sesuatu yang baru dan dirasakan unik. Daya tarik wisata budaya
jenis ini dapat berupa sajian kesenian, upacara keagamaan dengan berbagai
jenis persembahan, tata cara bersembahyang, dan lain-lain. Kebijakan dalam
hal ini adalah agar pada diri wisatawan tumbuh kesan yang dalam, serta
penghargaan yang baik terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu. Oleh
karena itu maka pemahaman nilai-nilai di balik semua ekspresi budaya yang
ditampilkan itu perlu dimiliki oleh para pemandu wisata, serta tertuang dalam
bahan-bahan informasi yang disediakan (Setiawan 2011: 236).

Jenis tujuan wisata budaya yang lain adalah warisan budaya masa lalu,
khususnya yang bersifat tangible. Inilah selanjutnya yang dapat dipilah ke
dalam struktur-struktur binaan yang “tak bergerak” (benteng, istana, candi,
pura, dan lain-lain), dan aneka benda “bergerak” yang dapat dipindah-
pindahkan. Yang disebutkan terakhir inilah yang dapat dijadikan koleksi dalam
suatu museum, meskipun mungkin pula bahwa bangunan museumnya sendiri
adalah juga sebuah warisan budaya.
Pusaka budaya Pura Tirta Empul sesungguhnya telah memiliki kriteria wisata
budaya, sehingga menarik untuk dikunjungi. Wisatawan secara umum
bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk mendapatkan kesenangan.
Dalam upaya memenuhi kepuasan wisatawan untuk menikmati produk
pariwisata budaya, sangat diperlukan tenaga profesional yang dapat
memberikan informasi yang akurat dan menarik kepada wisatawan. Para
pemandu wisata harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang budaya
Bali, baik mengenai budaya fisik maupun nonfisik.

Pariwisata sebagai sebuah upaya yang sengaja, bertujuan untuk mendapatkan


suatu pengalaman khusus di tempat lain, di luar kawasan hunian para
wisatawan, untuk kemudian kembali pulang, adalah suatu konsep yang pertama
kali muncul di kalangan orang-orang Barat. Kini pariwisata telah menjadi
kegiatan umum yang dikenal dan dijalankan di hampir semua negara yang ada
di dunia ini. Jenis kegiatan ini pun telah berkembang dalam suatu jaringan
kerjasama lintas bangsa dengan dilandasi azas saling menguntungkan.

Pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali, termasuk Pura Tirta Empul


tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global. Dikatakan
demikian, karena sejak dua dekade terakhir ini di Eropa mulai digalahkan
kembali pariwisata budaya (cultural tourism) (Ardika, 2004 : 23). Komponen
budaya dianggap sebagai produk dikemas sedemikian rupa untuk dikonsumsi
oleh para wisatawan. Daya tarik wisata budaya Pura Tirta Empul yang
mendapat banyak kunjungan wisatawan tidak jarang dikemas dalam bentuk
tampilan untuk turis dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Berbagai
komponen produk wisata seperti taman, bangunan suci, kolam pemandian
ditata sedemikian rupa, dimodifikasi, diperbaharui, demi menambah daya tarik
untuk menarik kunjungan wisatawan. Dalam konteks ini, komodifikasi budaya
tidak dapat dihindari.

Pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru mampu menghasilkan


pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, dapat menyediakan lapangan pekerjaan,
meningkatkan penghasilan dan standar hidup, serta dapat mendorong
timbulnya bidang-bidang kegiatan baru atau menstimulasi sektor-sektor
produktivitas lainnya. Kondisi itu dapat dilihat di sekitar area Pura Tirta Empul,
secara otomatis bermunculan usaha-usaha baru yang bersentuhan langsung
dengan pariwisata. Hal itu dapat dilihat antara lain pada maraknya
perkembangan berbagai macam kerajinan tangan, baik secara kuantitas,
kualitas, variasi, dan gayanya.

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan


melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap
masyarakat setempat. Terlebih lagi, kalau yang dikembangkan adalah
pariwisata budaya. Pariwisata budaya pada hakikatnya merupakan salah satu
bentuk industri budaya, karena dalam sistem pariwisata budaya ada proses
produksi, distribusi, presentasi, dan konsumsi. Pariwisata budaya merupakan
salah satu bentuk “pemanfaatan” berbagai aspek kebudayaan secara massal.

Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya
memperlihatkan segala dan fenomena yang terkomodifikasi ke arah wujud yang
baru, sebagai alat politik, ekonomi, aset pariwisata, hiburan yang semuanya
telah ke luar dari sifat ketradisian. Namun pada masa kini Pura Tirta Empul
mengalami komodifikasi karena diciptakan untuk dijadikan barang dan jasa
dalam rangka memenuhi selera pasar. Perubahan Pura Tirta Empul sebagai
akibat pengaruh pariwisata global memang sudah dan sedang berlangsung
seperti adanya perubahan dari sakral ke profan dari ritual ke teatrikal, dan dari
ekspresi seremonial ke limitasi waktu temporal. Akibatnya, memudarnya nilai-
nilai sakral sebagai dampak modernisasi dan globalisasi.

 Pemerintah Daerah

Keterlibatan pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar


dalam upaya pengembangan pariwisata mendorong pemanfaatan Pura Tirta
Empul. pemanfaatan Pura Tirta Empul dalam upaya pengembangan pariwisata
berhasil dibungkus oleh pemerintah melalui wacana yang segera mendapat
persetujuan masyarakat setempat. Janji pemberdayaan ditebarkan dalam
wacana tersebut, seperti membuka lapangan kerja, kesempatan berusaha, yang
akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Satu hal pada era reformasi
yang menyebabkan sebuah kabupaten mengalami objektivikasi pembangunan
yang berlebihan adalah upaya kabupaten itu sendiri untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD).

Pembangunan dijadikan kesempatan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar untuk


memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Pembangunan direduksi menjadi
sekadar pembangunan ekonomi dengan cara memanfaatkan produk budaya
dalam pengembangan pariwisata. Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar
melalui Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gianyar mendapat persetujuan
kelompok dalam hal ini masyarakat Desa Adat Manukaya. Kelompok berkuasa
yakni Pemda Gianyar tidak ditentang oleh kelompok yang dikuasai yakni
masyarakat Desa Adat Manukaya.

Upaya-upaya pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat untuk


pengembangan pariwisata merupakan salah satu faktor penting dalam
pemanfaatan Pura Tirta Empul. Dalam konteks penelitian ini, Pura Tirta Empul
sebagai bangunan bersejarah dan bernilai arkeologis yang menjadi produk
utama pariwisata budaya mengalami objektivasi dan menjadi daya tarik wisata
sebagai dagangan yang dijual untuk kepentingan mendapatkan uang dari
pemenuhan kepuasan wisatawan.

Dalam komodifikasi pengembangan pariwisata, semua pihak yang terlihat,


termasuk usaha kecil dan menengah, serta masyarakat banyak potensial
memperoleh pendapatan yang layak. Hal ini karena pembangunan pariwisata
yang diharapkan pada dasarnya berbasis masyarakat. Pendapatan yang
diperoleh dari kantong wisatawan, dalam banyak hal, dapat digunakan untuk
membantu upaya pelestarian pusaka budaya. pemanfaatan Pura Tirta Empul
yang terkait dengan pengembangan pariwisata budaya di Desa Manukaya
bersifat saling memberi dan menunjukkan suatu model simbiosis mutualisme
yang baik dengan upaya pelestarian produk budaya yang menjadi modal
pariwisata.
 Media Massa

Di zaman ini, setelah kebudayaan manusia dikatakan telah mengalami lonjakan


perkembangan ilmu informatika, maka ranah informasi menjadi berfungsi
strategis bagi proses pembentukan kebudayaan dalam berbagai skala. Benda-
benda hasil industri pun dapat diisi dengan informasi budaya, sehingga
berkembanglah apa yang secara umum diberi label ”industri budaya”. Benda-
benda ini melalui kandungan isinya, mempunyai dampak budaya terhadap siapa
pun yang menjadi konsumennya. Perdagangan produk-produk industri budaya
di satu sisi dapat menyumbangkan kepada pertumbuhan ekonomi, namun di
sisi lain dapat merupakan penyelinapan budaya yang dapat menggerogoti
jatidiri budaya suatu daerah yang diposisikan sebagai konsumen bagi
kebudayaan asing (Sedyawati, 2008 : vii).

Kehadiran televisi (TV) merupakan tanda dari perubahan peradaban. Pada saat
TV mulai menggantikan institusi keluarga, teman, dan komunitas sebagai titik
pusat peradaban, maka titik interaksi dan pembentukan nilai berpusat pada TV.
Peran orang tua bergeser pada saat remote control berada di tangan seorang
penonton yang kemudian mengendalikan serangkaian nilai dengan cara
menghadirkan ”suatu” yang dia pilih dalam proses konsumsi waktu luang.

Selain TV, radio juga merupakan salah satu media elektronik yang bisa
dimanfaatkan oleh seseorang atau masyarakat untuk mengiklankan produk,
baik radio milik pemerintah maupun radio milik swasta. Radio mempunyai visi
dn misi yang cukup kompleks, tidak hanya sebagai lembaga penyampaian
berita, tetapi juga sebagai media pendidikan, media hiburan, serta media yang
bersifat sosial dan ekonomis.

TV, radio, dan internet dimanfaatkan oleh banyak pihak yang berkepentingan
untuk mengiklankan produknya, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul.
Media elektronik tersebut dimanfaatkan sebagai media untuk mempromosikan
Pura Tirta Empul dalam bentuk tayangan atau pengumuman yang dikemas
dalam acara sosial. Tujuannya tidak lain adalah agar dapat diketahui dan
sekaligus mampu menarik minat masyarakat, baik lokal maupun asing.
Tayangan produk budaya Pura Tirta Empul dalam Trans TV melalui acara “Titik
Peradaban”, TV One melalui acara ”Riwayatmoe Doeloe” dan TV lokal (Dewata
TV) melalui acara ”Prasasti Dewata”, dikemas sedemikian rupa sehingga
mampu menarik minat masyarakat untuk mengonsumsinya.

Selain media massa elektronik, media massa cetak juga digunakan untuk
mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul. Media massa cetak
mengutamakan pesan-pesan visual, dan umumnya media ini berbentuk
lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto bagian-bagian yang
menarik dari produk tersebut. Media cetak jenis ini terutama berbentuk surat
kabar, majalah, brosur, selebaran, dan poster.

Pura Tirta Empul sebagai produk budaya masyarakat Desa Manukaya juga telah
dipromosikan melalui media massa cetak. Beberapa media massa cetak telah
digunakan untuk mendistribusikan Pura Tirta Empul kepada konsumen.
Berbagai benda cetakan tersebut diantaranya ada yang berbentuk brosur,
koran, dan buku.

Anda mungkin juga menyukai