Pusaka budaya Pura Tirta Empul merupakan representasi dari budaya lokal
masyarakat Desa Manukaya mengalami proses komodifikasi. Representasi lahir
dari dalam diri masyarakat (faktor internal) sendiri, sebagai tanggapan aktif
masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik
budaya Pura Tirta Empul sebagai teks yang hidup, tetapi di sisi lain faktor
eksternal secara signifikan mereduksi pemaknaan baru terhadap Pura Tirta
Empul dalam konteks pariwisata global.
Faktor Internal
Pura Tirta Empul mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sebelum tahun
1980-an pura ini belum populer dan hanya berfungsi sebagai tempat suci.
Keberadaan pura ini sebagai tempat suci dapat diketahui berdasarkan
keterangan Prasasti Manukaya tahun 960 yang dikeluarkan oleh Raja Bali Kuno
Jayasingha Warmadewa. Kini prasasti tersebut disimpan di Pura Sakenan di
Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar (Goris, 1954: 75-76). Selain Prasasti
Manukaya, sejarah Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan Kitab
Kakawin Usaha Bali karya Dang Hyang Nirartha, yang mengisahkan
pertempuran Mayadanawa dengan Dewa Indra yang akhirnya dimenangkan
oleh Dewa Indra beserta pasukannya (Kusuma, 2005 : 64-96). Tirta Empul
adalah ”air suci” yang diciptakan oleh tongkat Dewa Indra yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti membersihkan diri
(melukat), membuang aib, termasuk juga untuk kepentingan upacara
keagamaan.
Dari kedua sumber
tertulis tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada mulanya Pura Tirta Empul
jelas didirikan untuk kepentingan keagamaan. Dengan kata lain, Pura Tirta
Empul sebagai tempat suci berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan bagi
masyarakat Hindu di Bali, khususnya Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar.
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap
keyakinan adanya kekuatan gaib atau supernatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku
tertentu, seperti berdoa, memuja, serta menimbulkan sikap mental tertentu,
seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan
masyarakat yang mempercayainya (Agus, 2006: 1).
Sebagaimana tujuan utama penciptaan tirta (air suci) di Pura Tirta Empul
(menurut Kakawin Usana Bali) adalah untuk mengobati pasukan para Dewa dari
penderitaan akibat luka-luka setelah bertempur melawan pasukan Mayadanawa.
Air suci itu mempunyai khasiat yang luar biasa, selain menyembuhkan penyakit,
juga dapat menghidupkan kembali pasukan para Dewa yang sudah mati.
Keterangan Kitab Kekawin Usana Bali yang berkaitan dengan khasiat air suci
tersebut tampaknya menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat
melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, dengan harapan dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan keselamatan dalam kehidupan
ini.
Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang
menyebabkan orang ingin melakukan perjalanan wisata adalah adanya
keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di belahan dunia lain
serta keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata
mengakui peran budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata
lain, sumberdaya budaya dimungkinkan menjadi faktor utama yang menarik
wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009 : 75).
Para wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sudah tentu berharap
mendapatkan sesuatu yang memberikan kepuasan atau kesan yang mendalam.
Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan situs atau dari keunggulan mutu dari
benda-benda tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Para wisatawan dapat
memperoleh kesan mendalam mengenai suasana pura yang nyaman dan khas,
serta merasa puas karena mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang
ditemukan di dalam pura.
Sebagai daya tarik wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, Pura Tirta Empul
mendapat kunjungan wisatawan yang cukup banyak. Seiring dengan
meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali, jumlah kunjungan wisatawan ke
Pura Tirta Empul dalam dua tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel di bawah
ini.
Tabel Kunjungan Wisatawan Asing di Obyek Wisata Situs Pura Tirta Empul pada
tahun 2014-2015.
No Tahun Pengunjung
1. 2014 397.006
2. 2015/November 509.038
Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa Pura Tirta Empul mendapat kunjungan
wisatawan yang begitu banyak. Selain faktor keindahan alam, Pura Tirta Empul
juga didukung oleh daya tarik wisata lain yang berdekatan, seperti Pura
Mangening dan Istana Presiden Tampaksiring. Pura Tirta Empul sebagai salah
satu sumberdaya budaya dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten
Gianyar dibuka untuk para wisatawan. Namun demikian, setiap pengunjung
diharapkan tetap menaati ketentuan yang berlaku di Desa Adat Manukaya Let
yang menekankan pada unsur kesucian, mengingat Pura Tirta Empul adalah
sebuah tempat suci. Untuk pengamanan Pura Tirta Empul, siang dan malam
dijaga oleh petugas keamanan secara bergiliran yang ditunjuk berdasarkan
aturan yang menjadi landasan dalam pelaksanaannya. Para petugas, selain
memungut retribusi, juga menjaga kebersihan, keamanan, serta ketertiban di
objek dan daya tarik wisata.
Sebagai daerah wisata, desa ini tidak hanya memiliki kekayaan pusaka budaya
Pura Tirta Empul, tetapi juga berbagai komponen industri pariwisata lainnya.
Hanya, Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya di desa ini dapat dikatakan
modal terpenting kepariwisataan, sehingga tetap membutuhkan berbagai
komponen industri pariwiasta lainnya. Hal ini membutuhkan kerjasama bisnis
pariwisata dari semua pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat.
Kreatifitas Masyarakat
Faktor internal lain yang mendorong pemanfaatan Pura Tirta Empul adalah
kemampuan kreativitas masyarakat. Kreativitas adalah salah satu kemampuan
intelektual manusia atau proses berpikir, kemampuan memecahkan masalah,
berkaitan dengan usaha menciptakan gagasan-gagasan dan hal-hal baru yang
berguna. Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau
mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya, atau kreativitas adalah
kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2005 : 313).
Pura Tirta Empul sebagai suatu produk budaya masyarakat Manukaya, dalam
proses kehadirannya, tidak bisa dilepaskan dari berbagai kreativitas manusia
yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan. Kreativitas pengembangan
Pura Tirta Empul merupakan akumulasi dari pemikiranpemikiran kreatif manusia
sepanjang waktu sampai kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka
terhadap pemenuhan rasa keindahan yang terus-menerus.
Konsep tri hita karana diterapkan di Desa Adat Manukaya, yang merupakan
pedoman keseimbangan antara krama desa (warga desa), pekraman (teritorial
desa), dan parhyangan desa (tempat pemujaan desa). Sesuai dengan
maknanya, bahwa dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara
kedamaian rohani yang terkait dengan prinsip ketuhanan dengan penghuni
serta rumah termasuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Desakan dari prinsip
ekonomi yang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari menimbulkan sikap
hidup yang kurang mampu memisahkan antara pura sebagai tempat suci dan
sebagai objek komersial. Atau sekurang-kurangnya akan terjadi perubahan
dengan mengadakan variasi antara tata dasar dengan bentuk-bentuk baru.
Faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya budaya Pura Tirta
Empul ini telah menyebabkan komersialisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Tirta Empul di Desa Adat Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, yaitu
untuk pelestarian dan kepentingan Pura Tirta Empul. Seperti beaya
pemeliharaan atas warisan budaya ini agar tetap terjaga dan terlestarikan. Di
samping untuk penambahan pendapatan dengan memberi nilai ekonomis bagi
para pengelola/pengurus Pura Tirta Empul, juga demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitarnya atas pemanfaatan dan pengelolaan Pura
Tirta Empul sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata Bali.
Melihat hal-hal di atas, dan hasil dari beberapa wawancara yang dilakukan
dengan beberapa pihak terkait, maka faktor kebutuhan ekonomi dalam
pengelolaan Pura Tirta Empul menyebabkan terjadinya komersialisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata
budaya di Bali, telah membuka ruang dan peluang pura ini berfungsi sebagai
benda komoditi, sehingga sekat Pura Tirta Empul sebagai tempat suci yang
bersifat “ritual-magis” akhirnya menjadi kepentingan ekonomi praktis untuk
memperoleh keuntungan ekonomi dalam bentuk nilai uang. Apabila harapan
untuk meningkatkan mutu hidup dan memperbaiki pendapatan ekonomi,
menjadi inspirasi masyarakat lokal untuk meningkatkan taraf kesejahteraan
hidup dengan memanfaatkan potensi internal yang bersumber dari masyarakat
itu sendiri, maka memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat setempat,
khususnya di sekitar Pura Tirta Empul atas pemanfaatan warisan budaya Pura
Tirta Empul dalam pembangunan pariwisata Bali.
Selaku pemeran utama, masyarakat lokal Desa Adat Manukaya ikut terlibat
secara langsung atau tidak langsung dalam membuat keputusan-keputusan dan
melakukan kontrol-kontrol kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sosial
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, baik bagi para
pengurus/pengelola Pura Tirta Empul, serta membuka lapangan pekerjaan baru.
Maka pengelolaan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Tirta Empul yang
berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya di Desa Adat Manukaya dalam
pembangunan pariwisata budaya di Bali dilakukan secara optimal oleh
masyarakat lokal untuk memberikan ruang bagi kegiatan keseharian
masyarakat setempat sebagai pemilik kebudayaan lokal tersebut sehingga
menghasilkan motif ekonomi praktis untuk kebutuhan pengelolaan Pura Tirta
Empul sebagai sumber daya budaya demi pelestariannya serta mendatangkan
peningkatan kesejahteraan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa
Adat Manukaya, khususnya masyarakat di lingkungan sekitar Pura Tirta Empul.
Faktor Eksternal
Pariwisata
Pura Tirta Empul dewasa ini, selain berfungsi sebagai tempat suci umat Hindu,
juga dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya melalui kebijakan
kepariwisataan. Pariwisata budaya menurut Sedyawati (2007 : 213) dapat
dipilah ke dalam tiga jenis menurut sasarannya, yaitu (1) kebudayaan yang
hidup, (2) warisan budaya masa lalu yang bersifat benda, dan (3) bentang alam
budaya.
Tujuan wisata berupa kebudayaan yang hidup pada dasarnya diarahkan kepada
terjadinya suatu penghayatan pengalaman bagi para wisatawan, yang seringkali
merupakan sesuatu yang baru dan dirasakan unik. Daya tarik wisata budaya
jenis ini dapat berupa sajian kesenian, upacara keagamaan dengan berbagai
jenis persembahan, tata cara bersembahyang, dan lain-lain. Kebijakan dalam
hal ini adalah agar pada diri wisatawan tumbuh kesan yang dalam, serta
penghargaan yang baik terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu. Oleh
karena itu maka pemahaman nilai-nilai di balik semua ekspresi budaya yang
ditampilkan itu perlu dimiliki oleh para pemandu wisata, serta tertuang dalam
bahan-bahan informasi yang disediakan (Setiawan 2011: 236).
Jenis tujuan wisata budaya yang lain adalah warisan budaya masa lalu,
khususnya yang bersifat tangible. Inilah selanjutnya yang dapat dipilah ke
dalam struktur-struktur binaan yang “tak bergerak” (benteng, istana, candi,
pura, dan lain-lain), dan aneka benda “bergerak” yang dapat dipindah-
pindahkan. Yang disebutkan terakhir inilah yang dapat dijadikan koleksi dalam
suatu museum, meskipun mungkin pula bahwa bangunan museumnya sendiri
adalah juga sebuah warisan budaya.
Pusaka budaya Pura Tirta Empul sesungguhnya telah memiliki kriteria wisata
budaya, sehingga menarik untuk dikunjungi. Wisatawan secara umum
bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk mendapatkan kesenangan.
Dalam upaya memenuhi kepuasan wisatawan untuk menikmati produk
pariwisata budaya, sangat diperlukan tenaga profesional yang dapat
memberikan informasi yang akurat dan menarik kepada wisatawan. Para
pemandu wisata harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang budaya
Bali, baik mengenai budaya fisik maupun nonfisik.
Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya
memperlihatkan segala dan fenomena yang terkomodifikasi ke arah wujud yang
baru, sebagai alat politik, ekonomi, aset pariwisata, hiburan yang semuanya
telah ke luar dari sifat ketradisian. Namun pada masa kini Pura Tirta Empul
mengalami komodifikasi karena diciptakan untuk dijadikan barang dan jasa
dalam rangka memenuhi selera pasar. Perubahan Pura Tirta Empul sebagai
akibat pengaruh pariwisata global memang sudah dan sedang berlangsung
seperti adanya perubahan dari sakral ke profan dari ritual ke teatrikal, dan dari
ekspresi seremonial ke limitasi waktu temporal. Akibatnya, memudarnya nilai-
nilai sakral sebagai dampak modernisasi dan globalisasi.
Pemerintah Daerah
Kehadiran televisi (TV) merupakan tanda dari perubahan peradaban. Pada saat
TV mulai menggantikan institusi keluarga, teman, dan komunitas sebagai titik
pusat peradaban, maka titik interaksi dan pembentukan nilai berpusat pada TV.
Peran orang tua bergeser pada saat remote control berada di tangan seorang
penonton yang kemudian mengendalikan serangkaian nilai dengan cara
menghadirkan ”suatu” yang dia pilih dalam proses konsumsi waktu luang.
Selain TV, radio juga merupakan salah satu media elektronik yang bisa
dimanfaatkan oleh seseorang atau masyarakat untuk mengiklankan produk,
baik radio milik pemerintah maupun radio milik swasta. Radio mempunyai visi
dn misi yang cukup kompleks, tidak hanya sebagai lembaga penyampaian
berita, tetapi juga sebagai media pendidikan, media hiburan, serta media yang
bersifat sosial dan ekonomis.
TV, radio, dan internet dimanfaatkan oleh banyak pihak yang berkepentingan
untuk mengiklankan produknya, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul.
Media elektronik tersebut dimanfaatkan sebagai media untuk mempromosikan
Pura Tirta Empul dalam bentuk tayangan atau pengumuman yang dikemas
dalam acara sosial. Tujuannya tidak lain adalah agar dapat diketahui dan
sekaligus mampu menarik minat masyarakat, baik lokal maupun asing.
Tayangan produk budaya Pura Tirta Empul dalam Trans TV melalui acara “Titik
Peradaban”, TV One melalui acara ”Riwayatmoe Doeloe” dan TV lokal (Dewata
TV) melalui acara ”Prasasti Dewata”, dikemas sedemikian rupa sehingga
mampu menarik minat masyarakat untuk mengonsumsinya.
Selain media massa elektronik, media massa cetak juga digunakan untuk
mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul. Media massa cetak
mengutamakan pesan-pesan visual, dan umumnya media ini berbentuk
lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto bagian-bagian yang
menarik dari produk tersebut. Media cetak jenis ini terutama berbentuk surat
kabar, majalah, brosur, selebaran, dan poster.
Pura Tirta Empul sebagai produk budaya masyarakat Desa Manukaya juga telah
dipromosikan melalui media massa cetak. Beberapa media massa cetak telah
digunakan untuk mendistribusikan Pura Tirta Empul kepada konsumen.
Berbagai benda cetakan tersebut diantaranya ada yang berbentuk brosur,
koran, dan buku.