Anda di halaman 1dari 17

ARSITEKTUR NUSANTARA

RUMAH ADAT SUMBA

Kelompok 2
 Dinah Nurul Anissa – 41218210002
 Nunung Elisabid - 41218210010
GEOGRAFIS

Ratenggaro

• Pulau sumba adalah pulau di provinsi Nusa Tenggara Timur,


Indonesia. Pulau ini terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba
Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah,
dan Kabupaten Sumba Timur. Setiap kabupaten memiliki atap
menara dengan ketinggian yang berbeda-beda, namun yang paling
tinggi dimiliki oleh Kampung Ratenggaro yang terletak di Sumba
Barat Daya yang letaknya di pinggir pantai.
TOPOGRAFI dan LINGKUNGAN

Kabupaten Sumba Barat berupa pesisir, rangkaian pegunungan dan


bukit-bukit kapur yang curam. Sebagian besar wilayah pesisirnya
berada di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Ketinggian wilayahnya antara 0-800 meter diatas permukaan air laut
(mdpl). Sungai-sungai yang melintasi wilayah ini yaitu Sungai
Wanokaka (Sungai Labariri), Sungai Kadengar, Sungai Kalada, dan
Sungai Watupanggata.
BUDAYA
 Kuda Pasola
Sebuah festival penunggang kuda dengan
aksi melempar lembing antara dua kelompok
Kampung yang berlawanan, Pasola sendiri
bagi penganut Marapu merupakan upacara keagamaan besar,
sebagai bentuk rasa syukur, dan juga merekatkan hubungan antar
kampung yang terlibat dalam festival menunggang kuda.

 Kede – Upacara Kematian


Upacara kematian yang disebut dengan
kede ini diwarnai dengan penyerahan
hewan ternak oleh keluarga atau kerabat
kepada keluarga orang yang ditinggalkan.
Hewan-hewan ternak tersebut kemudian akan disembelih
kemudian dimasak dan disajikan kepada para pelayat .
Mata Pencaharian Masyarakat

Mata pencaharian masyarakat Sumba umumnya adalah bertani


ladang dan beternak. Karena keadaan tanahnya, tanaman cokelat
dan tembakau dapat tumbuh subur. Sektor peternakan juga
merupakan nafkah tambahan utama penduduk setempat. Kerbau
banyak digunakan dalam pelaksanaan upacara adat. Selain itu kerbau
juga digunakan untuk menggarap tanah pertanian.
Wujud Arsitektur
• Bentuk Fasad
Rumah adat dari Sumba Barat yang
dikenal dengan rumah menara adalah
salah satu rumah adat yang menarik
untuk dibahas. Rumah adat ini memiliki
ciri khas dari bentuk atap yang tinggi.
Menurut kepercayaan masyarakat Sumba, dunia terbagi menjadi tiga
bagian yaitu dunia atas sebagai tempat para dewa dan arwah leluhur,
dunia tempat kehidupan manusia dan dunia bawah sebagai tempat
hewan. Kepercayaan ini terwujudkan dalam struktur rumah adat
sumba yaitu bagian atap menara (uma deta) yang melambangkan
dunia atas, ruang dalam rumah (uma dei) sebagai tempat kehidupan
dan kolong rumah (kali kambunga) sebagai tempat hewan.
Wujud Arsitektur

• Struktur Rumah adat sumba


Secara struktural, rumah ini juga terbagi menjadi bagian atas yaitu
atap, bagian tengah adalah lantai, dan bagian bawah adalah pondasi.
Selain ketiga elemen struktural itu, ada juga elemen non-struktural
yaitu dinding. Rumah adat yang dikenal rumah adat menara menjadi
bahan/objek yang menarik untuk dianalisis dari segi konstruksi
bangunan yang tinggi dalam menahan beban angin, penggunaan
material lokal, dan menggunakan tenaga manusia untuk
membangunnya.
 Bagian atas : Atap

Struktur atap sumba di kampung Ratenggaro memiliki 7 lapis gording


sebagai simbol 7 lapis langit yang melambangkan keterbukaan
terhadap Tuhan. Balok utama (ring balok/ gording pertama)
menggunakan balok kayu kelapa, sedangkan jurai dan balok-balok
pembagi (gording dan kaso) menggunakan bambu utuh. Struktur
ruang didalamnya terdiri dari 6 tingkatan yang berfungsi sebagai
loteng utama. Ring balok dan gording pertama/murpalat
menggunakan balok kayu kelapa. Jurai dan balok pembagi berfungsi
sebagai gording dan kaso yang menggunakan bambu utuh. Rangka
atap menara berdiri diatas empat buah kolom utama. Sedangkan
rangka atap jurai berhubungan dengan konstruksi menara yang pada
pengakhirannya ditopang oleh kolom-kolom dari kayu dolken.
 Bagian Tengah : Kolom dan Dinding

Struktur rumah adat sumba pada umumnya, terdiri dari 4 (empat)


buah kolom utama (dapa koko pongga) yang terbuat dari kayu
kadiambil. Kolom tersebut menopang konstruksi atap menara dan
sekaligus berfungsi sebagai pondasi. Kolom-kolom penopang atap
jurai terbuat dari kayu biasa/kambaniru. Kolom-kolom tersebut
berdiri langsung diatas tanah atau hanya ditanam 50 cm kedalam
tanah, kemudian diurung batu cadas.
Dinding rumah adat ini menggunakan bambu-bambu yang disusun
secara horisontal yang kemudian dikakukan oleh kayu-kayu yang
berdiri secara vertikal dengan jarak tertentu sehingga bidang dinding
itu menjadi kuat dan tidak mudah melendut. dilakukan dengan cara
diikat dengan tali yang terbuat dari akar gantung pohon (kahikara)
yang didapat dari hutan. Dinding rumah di sumba tidak dilengkapi
jendela. Udara masuk melalui kisi-kisi bambu yang digunakan pada
dinding dan lantai rumah.
 Bagian Bawah : Lantai dan Pondasi

Pembalokan Lantai rumah adat di pulau Sumba terdiri dari balok anak
dan balok induk yang menggunakan material kayu. Pada bagian
atasnya ditutup dengan susunan bambu yang berfungsi sebagai
penutup lantai. Ketinggian teras Rumah ± 100 cm dari permukaan
tanah datar, sehingga dibutuhkan beberapa anak tangga yang juga
terbuat dari bambu untuk mencapai lantai. Ketinggian teras kedalam
rumah ± 30 cm. Pembalokan ditumpangkan pada kolom. Hubungan
kolom dengan balok diikat dengan akar gantung. Kolom dan balok
lantai terbuat dari kayu dolken.
Bagian bawah atau pondasi pada rumah Sumba menggunakan tiang
yang ditancapkan sedalam 50 cm ke dalam tanah yang kemudian
diurug dengan batu cadas agar tidak mudah rubuh. Dengan kata lain,
sistem pondasi yang digunakan pada rumah tradisional Sumba ini
merupakan pondasi dengan sistem join sendi terbatas. Pondasi
dengan join sendi ini, sebagai salah satu penyelesaian masalah
struktur bangunan terhadap gempa.
Wujud Arsitektur
 Pola Penataan Ruang
Rumah-rumah yang didirikan di dalam
kompleks pagar batu di Kampung Adat
Ratenggaro merupakan rumah-rumah
bermenara atau uma
mbatangu. Uma mbatangu dibangun
berdasarkan kosmologi masyarakat
Sumba yang membagi alam semesta ke dalam tiga lapisan. yaitu alam
bawah (tana wawa) yang dianggap sebagai tempat tinggal makhluk
halus, alam tengah/bumi (tana padua) sebagai tempat tinggal
manusia dan makhluk hidup lainnya, dan alam atas (tana dita)
sebagai tempat tinggal para dewa atau para marapu (Soeriadiredja,
2012).
Tata ruang pemukiman masyarakat Sumba
lebih memperhatikan topografi setempat.
Peletakan rumah menghadap timur dan
barat dihindari karena diyakini bila
menghadap barat, penghuni rumah
dapat susut, sebagaimana terbenamnya
matahari, bila menghadap timur diyakini
akan menjadi panas dan mendatangkan
bahaya.
Menurut Mross (1995), pola pemukiman Sumba terdiri dari rumah-
rumah yang diorganisir mengelilingi suatu ruang terbuka (plasa) yang
disebut Talora. Di dalam talora terdapat kubur batu, dolmen, meja
altar, monument batu yang berfungsi untuk upacara-upacara adat.
Rumah dengan status tertinggi selalu berhubungan dengan talora
dan terletak di posisi tanah yang terbaik, biasanya di posisi yang
tertinggi.
Denah Rumah Adat Sumba
A : Rapu atau perapian dengan 3 batu
B : Penalunu, area pria (male)
C : Kerihanuangu, area wanita (female)
tempat mencuci peralatan memasak
D : Bina penalunu, pintu untuk kaum
pria
E : Bina kerihanuangu, pintu untuk
kaum wanita
F : Hadoka, bagian depan rumah –
formal.
G : Halibar, bagian belakang rumah –
informal, tempat membersihkan
jenasah saat upacara.
H : Hedang kabala mata, bale-bale tempat menerima tamu
I : Pani deha, bale-bale dalam rumah
J : Pajalu, kendi atau gerabah tempat air bersih
K : Korung, ruang tidur (suami-istri)
L : Lenang kerihanuangu, beranda/teras untuk kaum wanita
M : Lenang penalunu, beranda untuk kaum pria –formal.
N : Keripani, tempat untuk menunggu ketika Rato berdoa.
O : Hedang, tempat untuk menyimpan peralatan memasak.
Ornamen dan Ragam Hias

Masyarakat Sumba juga berusaha menggambarkan keberadaan


nenek moyang mereka yang diyakini kepercayaan Marapu dalam
bentuk seni rupa. Marapu sendiri memiliki makna yang beragam.
Menurut L. Ovlee (dalam Wellem, 2004), kata marapu dapat berarti
‘sesuatu yang dihormati’. Sementara itu, A.A. Yewangoe (1980)
berpendapat bahwa marapu merupakan gabungan dari kata ma
(yang) dan rappu (tersembunyi) sehingga kata marapu bermakna
‘yang tersembunyi’. Selain itu, Yewangoe juga memperkirakan bahwa
marapu berasal dari mera (sama/serupa) dan apu (nenek moyang),
yaitu sesuatu yang menyerupai nenek moyang.
Daftar Pustaka
• https://temuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/01/TI2014-C-
p007-012-Sistem-Struktur-Rumah-Adat-Barat-Rattenggaro.pdf
• Winandari, M. I., Machdijar, L. K., Topan, M. A., Winardi, B. L., &
Sofian, I. (2006). Arsitektur Tradisional Sumba. Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti.
• Solihin, Lukman. 2018. Uma mbatangu arsitektur tradisional sumba
dikampung adat ratenggaro. Jakarta timur: Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa.
• Topan, M. A. (2005). Morfologi Arsitektur Sumba. Jurnal Penelitian
dan Karya Ilmiah Lemlit USAKTI 17, 69-83.
• Sularto, Robi dkk (1978). Laporan Pra Penelitian Sejarah Arsitektur
Indonesia: Studi Arsitektur Tradisional Sumba, Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai