Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Pesona Dewata pernah memang habis Pulau tidak untuk

dinikmati dan tak akan lekang di makan waktu. Berbagai warisan budaya di Bali masih kokoh

bertahan walau digempur arus globalisasi. Tak heran jika pulau seluas 5.634 km persegi tersebut selalu menjadi lokasi tujuan wisata baik wisatawan mancanegara maupun turis lokal. Salah satu warisan budaya dari pulau kelahiran Untung Suropati ini adalah Pura Tirta Empul Tampak Siring. Pura yang masuk dalam wilayah Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar dimaksud berada tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring. Secara etimologi, Tirta Empul berarti air suci yang menyembul keluar dari tanah. Air tersebut kemudian mengalir ke sungai Pakerisan. Sumber air ini kerap digunakan untuk Upacara Melukat oleh ribuan penduduk Bali dengan makna sebagai perlambang pembersihan manusia dari berbagai hal-hal negatif. Pura Tirta Empul Tampak Siring merupakan mata air yang disucikan oleh umat Hindu di Bali yang berlokasi sekitar 39 Km dari Denpasar. Mata Air yang disakralkan ini diyakini dapat menetralisir pengaruh negatif atau kata lainnya

mata air

disini

diyakini

bisa membersihkan diri

kita dari kekuatan

jahat. Keyakinan itu muncul karena banyak orang yang sakit dan sudah berobat ke berbagai dokter dan tidak kunjung sembuh, setelah mandi di Mata Air Tirta Empul dengan menghaturkan sesajen, penyakitnya langsung sembuh. Dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih lengkap tentang sejarah Pura Tirta Empul.

1.2

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penulisan makalah ini ialah untuk membahas mengenai sejarah Pura Tirta Empul.

1.3

Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk mengetahui mengenai

sejarah Pura Tirta Empul.

1.4

Metode Penulisan Metode penulisan makalah ini ialah dengan cara pengumpulan data

melalui media internet kemudian penulis uraikan kembali dengan menggunakan kata-kata sendiri.

1.5

Tinjauan pustaka

Pengertian Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan. Jenis Pura Terdapat beberapa jenis pura yang berfungsi khusus untuk menggelar beberapa ritual keagamaan Hindu dharma, sesuai penanggalan Bali. 1. Pura Kahyangan Jagad: pura yang terletak di daerah pegunungan. Dibangun di lereng gunung, pura ini sesuai dengan kepercayaan Hindu Bali yang memuliakan tempat yang tinggi sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan hyang. 2. Pura Segara: pura yang terletak di tepi laut. Pura ini penting untuk menggelar ritual khusus seperti upacara Melasti. 3. Pura Desa: pura yang terletak dalam kawasan desa atau perkotaan, berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat Hindu dharma di Bali.

Sad Kahyangan Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad, adalah enam pura utama yang menurut kepercayaan masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali. Masyarakat Bali pada umumnya menganggap pura-pura berikut sebagai Sad Kahyangan:

1. Pura Besakih di Kabupaten Karangasem. 2. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem. 3. Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung. 4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung. 5. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan. 6. Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik) di Kabupaten Gianyar. Selain pura-pura Sad Kahyangan tersebut di atas, masih banyak pura-pura di lainnya di berbagai tempat di pulau Bali, sesuai salah satu julukannya Pulau Seribu Pura.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Lokasi Pura Pura Tirta Empul dan permandiannya terletak di wilayah Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Tampaksiring adalah nama dan sebuah desa yang terletak 36 km dari Denpasar. Pura sebagai Tirta Empul

peninggalan

Kerajaan di Bali, salah satu dari beberapa peninggalan purbakala untuk diketahui yang disaksikan di desa menarik dan ini.

Disebelah Barat Pura tersebut pada ketinggian adalah Istana Presiden yang dibangun pada pemerintahan Presiden Soekarno.

2.2

Sejarah Pura Pura Tirta Empul ini juga merupakan salah satu situs peninggalan sejarah

di Bali khususnya Gianyar. Oleh karena itu pula, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan sebuah Istana Presiden tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring. Para presiden Indonesia yang datang ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana Presiden Tampak Siring tersebut. Saat ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat melukat tersebut merupakan salah satu lokasi wisata unggulan di kabupaten Gianyar.

Diperkirakan nama Tampaksiring berasal dari (bahasa Bali) kata tampak yang berarti "telapak" dan siring yang bermakna "miring". Makna dari kedua kata itu konon terkait dengan sepotong legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah daun lontar, yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki seorang raja bernama Mayadenawa. Menurut lontar "Mayadanawantaka", raja ini merupakan putra dari Bhagawan Kasyapa dengan Dewi Danu. Namun sayang, raja yang pandai dan sakti ini memiliki sifat durjana, berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan. Terlebih ia mengklaim dirinya sebagai Dewa yang mengharuskan rakyat untuk menyembahnya. Alkisah, lantaran tabiat buruk yang dimilikinya itu, lantas Batara Indra marah, kemudian menyerbu dan menggempurnya melalui bala tentara yang dikirim. Sembari berlari masuk hutan, Mayadenawa berupaya mengecoh pengejarnya dengan memiringkan telapak kakinya saat melangkah. Sebuah tipuan yang ia coba tebar agar para pengejar tak mengenali jejaknya. Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bisa berubah-ubah wujud atau rupa. Namun, sepandai-pandai ia menyelinap, tertangkap juga oleh para pengejarnya, kendati -- sebelumnya -- ia sempat menciptakan mata air beracun, yang menyebabkan banyak bala tentara menemui ajal usai mandi dan meminum air itu. Lantas sebagai tandingan, Batara Indra menciptakan mata air penawar racun itu. Air penawar itulah yang kemudian disebut dengan Tirta Empul (air suci). Sedangkan kawasan hutan yang dilewati Mayadenawa -- dengan berjalan memiringkan telapak kakinya -- dikenal dengan sebutan Tampaksiring.

Lalu, bagaimana dengan keberadaan arsitektur Pura Tirta Empul beserta permandiannya itu? Ktut Soebandi, dalam buku "Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali" menyebutkan, Permandian Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, dan hal ini dapat diketahui dari adanya sebuah piagam batu yang terdapat di desa Manukaya yang memuat tulisan dan angka yang menyebutkan bahwa permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, sekitar Oktober tahun 962 Masehi. Lantas, bagaimana pula dengan Pura Tirta Empul-nya, apakah dibangun bersamaan dengan permandiannya? Ternyata (masih dalam buku tersebut) antara lain dinyatakan bahwa Pura Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli berkuasa dan memerintah di Bali. Hal ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali. Isi dari lontar itu disebutkan artinya sebagai berikut: "Tatkala itu senang hatinya orang Bali semua, dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa gembira, semua rakyat sama-sama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan lainnya, seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring". Dalam Prasasti Sading ada disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun Iaka 1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada perbedaan waktu sekitar 216 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul dengan pembangunan puranya.

2.3

Struktur Pura Seperti biasa pura pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian yang

merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut

mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat

menghadap ke Selatan. Masing masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun). Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Jika dikaji dari perbedaan waktu dan fungsi dari ruang arsitektural, menunjukkan bahwa ruang telah mendahului kesadaran visual manusianya. Dalam hal ini setiap objek memiliki suatu hubungan dengan ruang. Objek selaku sumber mata air berhubungan dengan ruang, yakni ruang untuk mandi, citra ruang sebagai tempat -- religius -- untuk membersihkan diri secara alam sekala (nyata) maupun niskala (tak nyata). Dalam suatu tatanan spasial, jika suatu objek -- tempat mandi -- berdaya guna secara optimal, terciptalah suatu tatanan dari Ruang-Waktu. Permandian adalah ruang. Hubungan-hubungan yang dibangun oleh bentuk dan ruang akan

menentukan ritme, nilai estetika, dan religius dari bangunan itu. Di mana ruang mandi ini bukan semata membersihkan badan-ragawi, namun juga rohani, yang dalam bahasa-spiritual-Bali disebut juga ngelukat. Ruang sebagai suatu ide spiritual telah menjadi dorongan hakiki bagi ekspresi dalam pernyataan-pernyataan artistik, filosofis, etis, dan ritual. Kesatuan antara ruang dan waktu memberi kepada arsitektur tampilan yang wadahnya menampung kegiatan-kegiatan di dalamnya secara optimal. Ruang estetis-religius dari permandian dan puranya boleh dikata seni pembentukan ruang abstrak dan pengalaman ruang, lantaran ruang yang terbentuk penuh "daya hidup", salah satunya muncul melalui kucuran air -- yang diyakini punya vibrasi suci -- dari dalam pancurannya. Hal lain bila lebih dicermati lagi dari nilai historisnya, menurut Bernard M Feilden dalam buku "Conservation of Historic Buildings", bahwa ada beberapa nilai pada prinsipnya terkandung dalam arsitektur yang bernilai sejarah yakni (1) nilai-nilai emosional seperti keajaiban, identitas, kontinyuitas, spiritual dan simbolis; (2) nilai-nilai kultural yang meliputi pendokumentasian, sejarah, arkeologi, usia dan kelangkaan, estetika dan simbolis, arsitektural, tata kota, pertamanan dan ekologikal; dan (3) nilai-nilai penggunaan seperti fungsional, ekonomi, sosial dan politik. Bagaimana pemandangan di sekitar pura? Jika mengamati lingkungannya dari sisi tebing yang menghubungkan Istana Tampaksiring dengan Pura Tirta Empul dan permandiannya, di kejauhan utara terlihat kebiruan Gunung Batur dan keelokan panorama Gunung Agung di sebelah timur. Di sekitarnya juga nampak permukiman penduduk serta pemandangan persawahan berterasering di

kemiringan pebukitan. Di sela-sela bangunan terhampar lansekap yang bernas oleh rimbun dedaunan dan tanaman hias, dengan rerumputan hijau berpaut pepohonan-pepohonan tua, menambah suasana keteduhan dan ketenangan di kawasan pura ini. Secara arsitektural, Permandian dan Pura Tirta Empul ini memiliki nilai sejarah, bervibrasi spiritual, berkarakter khas, serta akrab dan ramah terhadap lingkungan. Tampilan arsitekturnya bernafaskan tradisi, serta menyatu terhadap kondisi alam di sekitarnya. Ruang-ruangnya pun menyiratkan makna yang religius.

10

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1) Pura Tirta Empul dan permandiannya terletak di wilayah Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Tampaksiring adalah nama dan sebuah desa yang terletak 36 km dari Denpasar. 2) Nama Tampaksiring berasal dari (bahasa Bali) kata tampak yang berarti "telapak" dan siring yang bermakna "miring". Makna dari kedua kata itu konon terkait dengan sepotong legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah daun lontar, yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki seorang raja bernama Mayadenawa. 3) Ketut Soebandi, dalam buku "Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali" menyebutkan, Permandian Tirta Empul dibangun pada zaman

pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, dan hal ini dapat diketahui dari adanya sebuah piagam batu yang terdapat di desa Manukaya yang memuat tulisan dan angka yang menyebutkan bahwa permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, sekitar Oktober tahun 962 Masehi. 4) Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan. Masing masing pancuran itu menurut tradisi

11

mempunyai

nama

tersendiri

diantaranya

pancuran

Pengelukatan,

Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun).

3.2

Saran Pura merupakan salah satu tempat suci warisan dari leluhur, khususnya

Pura Tirta Empul yang sarat dengan nilai sejarah. Sebagai generasi muda sudah sepatutnya kita ikut menjaga dan melestarikan Pura agar tidak punah oleh jaman. Pihak pemerintah sebagai pihak eksekutif juga harus ambil bagian dalam upaya pelestarian pura dengan cara membuat aturan dan hukuman yang jelas bagi orang yang dengan sengaja maupun tidak merusak atau berusaha memusnahkan pura.

12

DAFTAR PUSTAKA

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=721&Ite mid=99 http://palingindonesia.com/pura-tirta-empul-tampak-siring/ http://imadewira.com/pura-tirta-empul-tampak-siring/ http://www.babadbali.com/pura/plan/tirta-empul.htm

13

Anda mungkin juga menyukai