Anda di halaman 1dari 8

SUKU ASMAT

I Pendahuluan
1.2 Letak Geografis
Suku Asmat mendiami daerah pesisir barat daya Irian Jaya dengan daerah dataran rendah yang
berawa-rawa dan berlumpur serta ditutupi dengan hutan tropis. Sungai-sungai yang mengalir di daerah
ini tidak terhitung banyaknya. Kebanyakan berwarna gelap karena tertutup lumpur. Lingkungan alam
di sekitarnya masih terpencil, ditumbuhi pohon bakau, nipa, sagu dan tumbuhan rawa lainnya.
Mulanya, orang Asmat tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke namun kemudian
menjadi kabupaten sendiri dan terbagi atas tujuh distrik, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, Pirimapun,
Ayam, Suator dan Basim (Fayit).
Batas-batas geografis daerah tempat tinggal suku Asmat, antara lain:
 Sebelah utara dibatasi oleh pegunungan dengan puncak-puncak bersalju abadi
 Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura
 Sebelah timur berbatasan dengan sungai Asewetsy
 Sebelah barat berbatasan dengan sungai Pomats. Pertemuan sungai Pomats, Undir (Lorentz)
dan Asewetsy menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir sungai
Asewetsy terletak Agats, pusat Kabupaten Agats-Asmat.

1.2 Asal-Usul Orang Asmat


Orang-orang Asmat percaya bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon,
Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Fumeripits kemudian
diselamatkan oleh sekelompok burung sehingga ia kembali pulih. Fumeripits hidup sendirian di sebuah
daerah baru. Akan tetpi karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan
patung-patung kayu, hasil ukirannya sendiri. Hal ini tidak berhasil mengusir rasa sepinya sehingga
akhirnya ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari.
Suatu hari, saat sedang menabuh tifa, bergeraklah patung-patung kayu itu. Keajaiban terjadi,
patung-patung itu berubah menjadi manusia. Mereka menari-nari mengikuti irama tifa, kedua kaki
mereka agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits
terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan
menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi nenek moyang orang Asmat saat ini.

1.1 Sejarah Proses Penemuan Daerah Asmat


Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat, pada tahun 1770 sebuah kapal yang
dinahkodai James Cook mendarat di sebuah teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba, muncul puluhan perahu
lesung panjang, didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna
merah, hitam dan putih. Mereka kemudian menyerang, melukai bahkan membunuh beberapa anak
buah James Cook.
Berabad-abad kemudian, tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, kapal S.S. Flamingo mendarat di
sebuah teluk di pesisir barat daya Irian Jaya. Para awak kapal S.S Flamingo juga didatangi oleh ratusan
laki-laki berkulit gelap dengan perahu lesung. Hanya saja, kali ini tidak terjadi kontak berdarah.
Sebaliknya, terjadi komunikasi yang menyenangkan diantara kedua belah pihak. Dengan
menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan pertukaran barang. Kejadian ini membuka
jalan untuk penyelidikan selanjutnya di daerah Asmat. Sejak saat itu, banyak orang dari luar datang
untuk melakukan ekspedisi, misalnya ekspedisi yang dilakukan oleh Hendrik A.Lorentz pada tahun
1907-1909.

1.2 Ciri-Ciri Fisik Orang Asmat


Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya, yang menetap di Pegunungan
Tengah atau di bagian pantai lainnya. Tinggi badan kaum laki-laki berkisar antara 1,67-1,72 meter
sedangkan, tinggi kaum perempuan berkisar antara 1,60-1,65 meter. Ciri-ciri bagian tubuh lainnya
adalah bentuk kepala yang lonjong (dolichocephalic), bibir tipis, hidung mancung dan kulit hitam.
Pada umumnya, orang Asmat tidak terlalu banyak berjalan jauh. Setiap saat, mereka berpergian
dengan menggunakan perahu dayung. Mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga otot-otot
tangan dan dada tampak tegak dan kuat. Tubuh kaum perempuan kelihatan kurus karena banyaknya
pekerjaan yang harus mereka lakukan.

II Unsur-Unsur Kebudayaan
2.1 Sistem Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh orang Asmat digolongkan oleh para ahli linguistik, sebagai “bahasa-
bahasa bagian selatan Irian Jaya” (language of the southern division). Bahasa ini pernah dipelajari dan
digolongkan oleh C.L. Voorhoeve menjadi filum bahasa-bahasa Irian Non-Melanesia.
Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai dan hilir sungai. Kemudian,
masih dibagi lagi menjadi sub-kelompok Pantai Barat Laut atau Pantai Flamingo, seperti bahasa
Kawenok, Joerat, Bismam, Simai dan Becemub, serta sub-kelompok Pantai Barat Daya atau
Kasuarina, seperti bahasa Batia dan Safan. Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub-kelompok Keenok
dan Kenakap.
2.2 Sistem Teknologi
2.2.1 Peralatan
Orang Asmat memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka memiliki
kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut
digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai.
Selain itu, orang-orang Asmat juga mengenal alat-alat tertentu yang dipakai untuk membuat ukir-
ukiran, seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput. Kapak batu merupakan benda yang sangat
berharga sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang, diberi nama sesuai
dengan nama leluhurnya (biasanya nenek dari pihak ibu). Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang
Asmat mulai mengenal dan menggunakan kapak dan pahat besi.

2.2.2 Senjata
Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah musuh dalam
peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Perisai terbuat dari akar besar pohon
bakau atau kayu yang lunak dan ringan sedangkan tombak terbuat dari kayu besi atau kulit pohon sagu.
Ujungnya tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh atau kuku burung kasuari.

2.2.3 Makanan
Orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka. Yang menjadi makanan
pokok orang Asmat adalah sagu. Pohon sagu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian dan isinya
ditumbuk hingga hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air sederhana
yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu yang diperoleh, diolah menjadi adonan.
Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semi-padat, supaya mudah dibawa dan
disimpan.
Sebagai makanan tambahan, orang Asmat juga mengumpulkan ulat sagu yang didapatkan di
dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu merupakan sumber protein dan lemak
yang lezat dan bergizi tinggi. Selain ulat sagu, telur-telur ayam hutan yang ditemukan di pasir pada
saat air pasang, juga dikumpulkan. Telur-telur itu akan dibungkus dengan daun dan dipanggang hingga
mengeras. Apapun yang ditemuka di hutan, seperti babi hutan, kus-kus, burung dan segala jenis daun
yang dapat dimakan, akan dimakan dengan sagu.
Dahulu, ketika peperangan dan kanibalisme masih sering terjadi, musuh yang telah mati ditombak
akan dibawa pulang ke kampung dengan perahu lesung diiringi nyanyian. Setiba di kampung,
mayatnya dipotong-potong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil
menyanyikan lagu kematian, kepala musuh dipotong dan dipanggang sedangkan otaknya dibungkus
dengan daun sagu untuk kemudian dipanggang.1
1
Kanibalisme di Asmat dipercaya berawal dari mitologi tentang kakak-beradik, Desoipits dan Biwiripits. Desoipits mendesak adiknya,
Biwiripits untuk memenggal kepalanya. Pada mulanya, sang adik enggan namun sang kakak terus mendesak sehingga kepalanya pun
dipenggal. Ajaibnya, setelah kepalanya putus, Desoipits masih hidup dan berbicara, menyuruh sang adik untuk memisahkan bagian-bagian
dari tubuhnya, untuk dibagikan sebagai makanan kepada para pahlawan yang kembali perang. Sejak saat itu, muncul kebiasaan memakan
2.2.4 Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari. Sesuai
kepercayaan, orang Asmat menghias diri mereka identik dengan burung, seperti misalnya memberi
titik-titik putih pada wajah. Sebagai hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau
kus-kus. Sekeliling mata, diwarnai merah bagaikan mata burung kakaktua hitam yang sedang marah.
Hiasan dahi terbuat dari kulit kus-kus, lambang dari si pengayau kepala yang perkasa. Hiasan hidung
terbuat dari semacam keong laut, kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau babi. Anting-anting
wanita terbuat dari bulu kus-kus sedangkan kalung diuntai dari gigi-gigi anjing.

2.2.5 Rumah
Menurut tradisi orang Asmat, dalam sebuah rumah kampung terdapat 2 macam bangunan, yaitu
rumah bujang dan rumah keluarga. Rumah bujang (jew) ditempati oleh para pemuda yang belum
menikah. Jew tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Jew dibangun di atas tiang-tiang
kayu sepanjang 30-60 meter dan lebar 10 meter. Jew biasanya digunakan untuk merencanakan suatu
pesta, perang dan perdamaian. Pada waktu senggang, rumah ini digunakan untuk menceritakan
dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap klen memiliki rumah bujang sendiri
Rumah keluarga didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri dari suami-istri dan anak-anaknya.
Jika seorang suami memiliki lebih dari satu istri, istri-istri tersebut tinggal dalam satu rumah beserta
anak-anak mereka. Setiap istri memiliki dapur, pintu dan tangga sendiri. Tiap lima tahun, rumah ini
akan dipugar. Atap rumah terbuat dari anyaman daun sagu, dinding rumah terbuat dari gaba-gaba dan
lantai tertutup tikar yang juga terbuat dari daun sagu.
Selain kedua jenis rumah di atas, biasanya di hutan, orang Asmat akan mendirikan semacam
rumah yang besar, bernama bivak. Bivak merupakan tempat tinggal sementara disaat seseorang sedang
mencari bahan makanan di hutan.

2.2.6 Alat Musik


Alat musik yang biasanya digunakan adalah tifa. Tifa terbuat dari selonjor batang kayu yang
dilobangi. Pahatan tifa berbentuk pola leluhur atau binatang yang dikeramatkan. Pada bagian atas,
dibungkus dengan kulit kadal, lalu diikat dengan rotan yang tahan api. Tifa biasanya diberi nama
sesuai dengan orang yang telah meninggal.
2.2.7 Transportasi
Sebagai alat transportasi, masyarakat Asmat menggunakan perahu lesung. Dahulu, pembuatan
perahu digunakan untuk mempersiapkan penyerangan dan pengayauan kepala. Bila persiapan sudah
beres, perahu dijadikan alat untuk memanas-manasi musuh untuk berperang. Kini, perahu lesung
digunakan untuk keperluan pengangkutan dan pencarian bahan makanan.

daging dan memenggal kepala manusia.


Setiap lima tahun sekali, perahu baru akan dibuat. Kendati daerah Asmat kaya akan berbagai jenis
kayu namun untuk membuat perahu dipilih kayu khusus, seperti kayu kuning (ti), ketapang, bitanggur
atau sejenis kayu susu (yerak). Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan
kedua ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu. Proses pembuatan perahu
membutuhkan waktu ± 5 minggu.
Ada dua macam perahu yang biasa digunakan. Pertama, perahu milik keluarga yang tidak terlalu
besar dengan panjang 4-7 meter dan memuat 2-5 orang. Kedua, perahu klen yang bisa menampung 20-
40 orang dengan panjang 10-20 meter. Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi.
Dayung tersebut selalu dipakai sambil berdiri maka ukuran dayung lebih panjang dibandingkan
dayung-dayung pada umumnya.

2.3 Sistem Mata Pencaharian


Mata pencaharian orang Asmat yang tinggal di daerah pantai adalah meramu sagu, berburu dan
mencari ikan. Terkadang, mereka juga menanam buah-buahan dan tumbuhan. Mereka menanamnya di
kebun-kebun kecil yang berada di tengah hutan. Dibandingkan dengan orang Asmat hulu yang di
daerahnya tidak memiliki pohon sagu lagi, lebih menggantungkan hidup pada kebun-kebunnya.
Dahulu, orang Asmat hidup di hutan-hutan. Mereka menetap di suatu tempat untuk beberapa
bulan kemudian pindah mencari tempat baru jika bahan makanan di sekitarnya sudah berkurang.

2.1 Sistem Organisasi Sosial


2.1.1 Sistem Kekerabatan
Sejak tahun 1930-an, manusia Asmat sudah hidup dalam kelompok-kelompok sosial masyarakat
tradisional, yakni masyarakat segementer. Nilai hidup yang menjadi landasan dan pemikat manusia
Asmat dalam kelompok sosial adalah nilai hidup kekerabatan dan garis keturunan. Nilai-nilai inilah
yang menjadi roh pemberi hidup bagi setiap klen sosialnya.
Ikatan kekerabatan dan garis keturunan menyatu dalam hidup bermasyarakat berdasarkan klen-
klen. Orang-orang Asmat menyebut klen-klen dengan nama jouse-jouse, jew ayi atau jew bopan (yang
terakhir adalah sebutan rumpun Simai).2 Kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan yang terbentuk
berdasarkan kekerabatan dan garis keturunan ini, tinggal tersebar atau terpisah di pinggiran sungai
karena merasa sebagai satu keturunan atau nenek moyang. Tujuannya adalah untuk memelihara
kekerabatan, keseimbangan atau keharmonisan dengan roh leluhur dan alam semesta. Jadi,
kekerabatan dan keharmonisan menjadi tujuan hidup masyarakat Asmat.
Setiap kelompok klen (jouse-jouse) menjalani hidupnya dengan mencari makan pada dusunnya
masing-masing. Seluruh aspek kehidupan diatur berdasarkan sistem kekerabatan dan garis keturunan.
Pembagian peran dan kerja setiap anggota dalam hidup sosial cukup jelas. Melalui ritus-ritus yang
dirayakan setiap klen, setiap pribadi mengungkapkan makna hidup religiusnya.3
2
Wawancara dengan Bpk. Daniel Jupimi dan pengamatan pribadi Moses Amiset.
3
Buletin Keuskupan Agats-Asmat. Tradisi dan Modernitas, No.9/III, Agustus.2005, hal 25-26.
2.1.2 Stratifikasi Hidup Sosial4
Stratifikasi sosial yang dianut oleh orang Asmat adalah stratifikasi berdasarkan klen-klen nenek
moyang, leluhur atau berasal dari satu moyang. Klen-klen ini kemudian mengalami
perkembangbiakan. Dimulai dari kelompok sosial jouse berkembang menjadi kelompok sosial jew
bopan. Jew bopan merupakan kelompok gabungan dari jouse-jouse.
Stratifikasi kelompok sosial sangat jelas terlihat di dalam jew karena di dalamya tedapat jouse-
jouse yang termasuk di dalam satu jew bopan atau klen. Dari beberapa jew bopan itu, mereka
bergabung dan membentuk kampung. Kampung-kampung yang merupakan satu rumpun itu bermukim
di sepanjang sungai atau kali. Secara umum, suku Asmat terdiri dari 12 rumpun antara lain rumpun
Simai, Joerat, Keenok, Unir Siraw dan Unir Epmak, Bismam, Becemub, Emari, Ducur, Safan,
Kenakap, Aramatak, Jupmakjain dan Bras.
Perkembangbiakan atau penambahan “kewargaan” dari setiap kelompok sosial terjadi melalui
perkawinan antar jouse, jew ayi, antar jew bopan atau antar rumpun. Perkawinan melintasi kelompok
sosial ditempuh dengan cara dijodohkan atau seorang tawanan dari klen atau kelompok sosial lain
dibawa pulang dalam keadaan hidup kemudian dibawa masuk ke dalam jew dan dikawinkan dengan
anggota-anggota jouse yang ada di jew bopan tersebut. Perkawinan juga memberi “bobot” kepada
anggota untuk berhak atas kali, dusun, prestise dan privilege dalam kelompok masyarakat klen yang
bersangkutan.

2.1.3 Kepemimpinan
Walaupun masyarakat tradisional Asmat hidup dalam ikatan garis keturunan namun kriteria
menjadi pemimpin bukan atas warisan orang tua atau leluhurnya. Seseorang dinyatakan sebagai
pemimpin jika memiliki kemampuan, keterampilan, kecakapan dan kepribadian baik yang ia tampilkan
dalam hidup bersama di dalam klen. Misalnya, seseorang dipandang sebagai kepala perang karena ia
hebat dalam pengayauan, memanah musuh dan selalu membawa kepala musuh saat pulang ke
kampung. Jadi, orang yang mempunyai kuasa, pengaruh di masyarakat serta dipandang sebagai
pemimpin adalah orang yang mampu menunjukkan kemampuan dan keteladanan kepada anggota klen.
Prinsip dalam kepemimpinan di Asmat bersumber pada nilai kekerabatan dan resiprositas.
Maksudnya, hubungan-hubungan kepemimpinan diungkapkan dalam pengertian-pengertian
kekerabatan. Sementara pada sisi lain, manipulasi-manipulasi kekerabatan juga merupakan salah satu
cara yang dipergunakan dalam strategi memperoleh kuasa dan previlege dalam kelompok.
Lingkup pengaruh atau kekuasaan menurut ciri orang Asmat adalah berkuasa atau menjadi
pemimpin hanya di dalam kelompok klennya sendiri. Jadi, belum tentu ia didengarkan oleh klen lain.
Oleh karena itu, setiap klen memiliki pemimpinnya sendiri-sendiri. Hubungan pemimpin dan setiap
anggota dalam klen memiliki dinamika saling balas-membalas atau menganut sistem resiprositas.5
4
Ibid, hal 26-27.
5
Ibid, hal 26-27.
2.2 Sistem Religi
2.2.1 Kepercayaan Terhadap Roh dan Kekuatan Magis
Kehidupan orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Orang Asmat memiliki
kepercayaan bahwa alam ini dihuni oleh roh-roh, jin-jin dan makhluk halus lainnya. Semuanya itu
dikategorikan dalam dua golongan besar, yaitu:
 Yi-ow : roh yang baik dan menjadi pelindung bagi keturunannya.
 Osbopan : roh yang membahayakan hidup, dapat mengancam nyawa atau jiwa seseorang.
Orang Asmat juga percaya akan kekuatan magis dan ilmu sihir yang kebanyakan dalam bentuk
tabu. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti pengumpulan bahan makanan, penangkapan ikan
dan pemburuan binatang, terdapat banyak pantangan yang wajib dilaksanakan agar tidak tertimpah
bencana. Kekuatan magis juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, menemukan
pelaku kejahatan dan ada pula yang dipakai untuk menguasai dan mengatur gejala-gejala alam.

2.2.2 Konsep dan Ritual Kematian


Dahulu, orang Asmat tidak mengenal penguburan mayat. Bagi mereka, kematian bukan hal yang
alamiah terlebih jika mati bukan karena dibunuh. Jika ada kematian karena sakit, kematian tiba-tiba
maka akan dianggap bahwa sihir hitam sedang bekerja. Jika bayi yang baru lahir meninggal,
kematiannya dianggap biasa karena dipercaya bahwa roh bayi itu ingin segera pergi ke alam roh-roh.
Sebaliknya, kematian orang dewasa akan mendatangkan duka cita yang amat mendalam.
Apabila ada orang dewasa yang sakit, keluarga dekat akan berkumpul di dekat si sakit sambil
menangis. Mereka percaya bahwa ajal akan datang menjemput sehingga tidak ada usaha untuk
memberi makan kepada si sakit bahkan tidak ada satu pun yang berani mendekat karena takut akan
dibawa pergi. Di sisi rumah di mana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon
nipa.
Ketika diketahui bahwa si sakit telah meninggal maka ratapan dan tangisan akan semakin
menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berusaha memeluk si sakit dan keluar rumah sambil
mengguling-gulingkan tubuhnya dalam lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah menutup
semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) untuk menghalang-halangi masuknya roh
jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian.
Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis sampai berbulan-bulan,
melumuri tubuhnya dengan lumpur, mencukur habis rambutnya, menutupi kepala dan wajahnya agar
tidak menarik bagi orang lain. Mayat orang yang telah meninggal akan diletakkan di atas para
(anyaman bambu) yang telah disediakan dan dibiarkan sampai membusuk. Kelak, tulang-belulang
dikumpulkan dan disimpan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan
sebagai bantal, pertanda cinta kasih pada yang telah meninggal. Mereka percaya bahwa orang-orang
yang telah meninggal masih berada di dalam kampung. Cara lain mengubur jenazah adalah dengan
meletakkannya di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian
dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut, menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian sedangkan jenazah wanita
dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat tidak memiliki pemakaman umum sehingga
jenazah biasanya dikubur di hutan, pinggir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Di mana pun jenazah
itu dikubur, keluarganya akan tetap dapat menemukan kuburannya.

2.3 Sistem Kesenian dan Budaya


Salah satu upacara budaya yang dikenal oleh masyarakat Asmat adalah upacara Bis. Upacara ini
berhubungan dengan pengukiran patung leluhur karena ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu,
upacara Bis diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh dan kematian itu
harus segera dibalas dengan membunuh keluarga pihak pembunuh.
Untuk membuat patung leluhur atau anggota keluarga yang telah meninggal, diperlukan waktu ±
6-8 minggu. Pengukiran dikerjakan di dalam rumah tersebut. Dalam masa-masa pengukiran, biasanya
terjadi tukar-menukar istri yang disebut papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan
persahabatan yang sangat diperlukan saat tertentu seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada
waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan pada sore hari.
Upacara perang-perangan bermaksud untuk mengusir roh jahat. Pada waktu itu juga, kaum wanita
diberi kesempatan untuk memukul pria yang dibenci atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini,
karena peperangan antar klen tidak ada lagi maka upacara Bis baru dilakukan bila terjadi malapetaka di
kampung atau terjadi krisis makanan.

Anda mungkin juga menyukai