I Pendahuluan
1.2 Letak Geografis
Suku Asmat mendiami daerah pesisir barat daya Irian Jaya dengan daerah dataran rendah yang
berawa-rawa dan berlumpur serta ditutupi dengan hutan tropis. Sungai-sungai yang mengalir di daerah
ini tidak terhitung banyaknya. Kebanyakan berwarna gelap karena tertutup lumpur. Lingkungan alam
di sekitarnya masih terpencil, ditumbuhi pohon bakau, nipa, sagu dan tumbuhan rawa lainnya.
Mulanya, orang Asmat tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke namun kemudian
menjadi kabupaten sendiri dan terbagi atas tujuh distrik, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, Pirimapun,
Ayam, Suator dan Basim (Fayit).
Batas-batas geografis daerah tempat tinggal suku Asmat, antara lain:
Sebelah utara dibatasi oleh pegunungan dengan puncak-puncak bersalju abadi
Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura
Sebelah timur berbatasan dengan sungai Asewetsy
Sebelah barat berbatasan dengan sungai Pomats. Pertemuan sungai Pomats, Undir (Lorentz)
dan Asewetsy menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir sungai
Asewetsy terletak Agats, pusat Kabupaten Agats-Asmat.
II Unsur-Unsur Kebudayaan
2.1 Sistem Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh orang Asmat digolongkan oleh para ahli linguistik, sebagai “bahasa-
bahasa bagian selatan Irian Jaya” (language of the southern division). Bahasa ini pernah dipelajari dan
digolongkan oleh C.L. Voorhoeve menjadi filum bahasa-bahasa Irian Non-Melanesia.
Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai dan hilir sungai. Kemudian,
masih dibagi lagi menjadi sub-kelompok Pantai Barat Laut atau Pantai Flamingo, seperti bahasa
Kawenok, Joerat, Bismam, Simai dan Becemub, serta sub-kelompok Pantai Barat Daya atau
Kasuarina, seperti bahasa Batia dan Safan. Asmat hulu sungai dibagi menjadi sub-kelompok Keenok
dan Kenakap.
2.2 Sistem Teknologi
2.2.1 Peralatan
Orang Asmat memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka memiliki
kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut
digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai.
Selain itu, orang-orang Asmat juga mengenal alat-alat tertentu yang dipakai untuk membuat ukir-
ukiran, seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput. Kapak batu merupakan benda yang sangat
berharga sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang, diberi nama sesuai
dengan nama leluhurnya (biasanya nenek dari pihak ibu). Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang
Asmat mulai mengenal dan menggunakan kapak dan pahat besi.
2.2.2 Senjata
Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah musuh dalam
peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan. Perisai terbuat dari akar besar pohon
bakau atau kayu yang lunak dan ringan sedangkan tombak terbuat dari kayu besi atau kulit pohon sagu.
Ujungnya tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh atau kuku burung kasuari.
2.2.3 Makanan
Orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka. Yang menjadi makanan
pokok orang Asmat adalah sagu. Pohon sagu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian dan isinya
ditumbuk hingga hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air sederhana
yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu yang diperoleh, diolah menjadi adonan.
Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semi-padat, supaya mudah dibawa dan
disimpan.
Sebagai makanan tambahan, orang Asmat juga mengumpulkan ulat sagu yang didapatkan di
dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu merupakan sumber protein dan lemak
yang lezat dan bergizi tinggi. Selain ulat sagu, telur-telur ayam hutan yang ditemukan di pasir pada
saat air pasang, juga dikumpulkan. Telur-telur itu akan dibungkus dengan daun dan dipanggang hingga
mengeras. Apapun yang ditemuka di hutan, seperti babi hutan, kus-kus, burung dan segala jenis daun
yang dapat dimakan, akan dimakan dengan sagu.
Dahulu, ketika peperangan dan kanibalisme masih sering terjadi, musuh yang telah mati ditombak
akan dibawa pulang ke kampung dengan perahu lesung diiringi nyanyian. Setiba di kampung,
mayatnya dipotong-potong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil
menyanyikan lagu kematian, kepala musuh dipotong dan dipanggang sedangkan otaknya dibungkus
dengan daun sagu untuk kemudian dipanggang.1
1
Kanibalisme di Asmat dipercaya berawal dari mitologi tentang kakak-beradik, Desoipits dan Biwiripits. Desoipits mendesak adiknya,
Biwiripits untuk memenggal kepalanya. Pada mulanya, sang adik enggan namun sang kakak terus mendesak sehingga kepalanya pun
dipenggal. Ajaibnya, setelah kepalanya putus, Desoipits masih hidup dan berbicara, menyuruh sang adik untuk memisahkan bagian-bagian
dari tubuhnya, untuk dibagikan sebagai makanan kepada para pahlawan yang kembali perang. Sejak saat itu, muncul kebiasaan memakan
2.2.4 Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari. Sesuai
kepercayaan, orang Asmat menghias diri mereka identik dengan burung, seperti misalnya memberi
titik-titik putih pada wajah. Sebagai hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau
kus-kus. Sekeliling mata, diwarnai merah bagaikan mata burung kakaktua hitam yang sedang marah.
Hiasan dahi terbuat dari kulit kus-kus, lambang dari si pengayau kepala yang perkasa. Hiasan hidung
terbuat dari semacam keong laut, kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau babi. Anting-anting
wanita terbuat dari bulu kus-kus sedangkan kalung diuntai dari gigi-gigi anjing.
2.2.5 Rumah
Menurut tradisi orang Asmat, dalam sebuah rumah kampung terdapat 2 macam bangunan, yaitu
rumah bujang dan rumah keluarga. Rumah bujang (jew) ditempati oleh para pemuda yang belum
menikah. Jew tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Jew dibangun di atas tiang-tiang
kayu sepanjang 30-60 meter dan lebar 10 meter. Jew biasanya digunakan untuk merencanakan suatu
pesta, perang dan perdamaian. Pada waktu senggang, rumah ini digunakan untuk menceritakan
dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap klen memiliki rumah bujang sendiri
Rumah keluarga didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri dari suami-istri dan anak-anaknya.
Jika seorang suami memiliki lebih dari satu istri, istri-istri tersebut tinggal dalam satu rumah beserta
anak-anak mereka. Setiap istri memiliki dapur, pintu dan tangga sendiri. Tiap lima tahun, rumah ini
akan dipugar. Atap rumah terbuat dari anyaman daun sagu, dinding rumah terbuat dari gaba-gaba dan
lantai tertutup tikar yang juga terbuat dari daun sagu.
Selain kedua jenis rumah di atas, biasanya di hutan, orang Asmat akan mendirikan semacam
rumah yang besar, bernama bivak. Bivak merupakan tempat tinggal sementara disaat seseorang sedang
mencari bahan makanan di hutan.
2.1.3 Kepemimpinan
Walaupun masyarakat tradisional Asmat hidup dalam ikatan garis keturunan namun kriteria
menjadi pemimpin bukan atas warisan orang tua atau leluhurnya. Seseorang dinyatakan sebagai
pemimpin jika memiliki kemampuan, keterampilan, kecakapan dan kepribadian baik yang ia tampilkan
dalam hidup bersama di dalam klen. Misalnya, seseorang dipandang sebagai kepala perang karena ia
hebat dalam pengayauan, memanah musuh dan selalu membawa kepala musuh saat pulang ke
kampung. Jadi, orang yang mempunyai kuasa, pengaruh di masyarakat serta dipandang sebagai
pemimpin adalah orang yang mampu menunjukkan kemampuan dan keteladanan kepada anggota klen.
Prinsip dalam kepemimpinan di Asmat bersumber pada nilai kekerabatan dan resiprositas.
Maksudnya, hubungan-hubungan kepemimpinan diungkapkan dalam pengertian-pengertian
kekerabatan. Sementara pada sisi lain, manipulasi-manipulasi kekerabatan juga merupakan salah satu
cara yang dipergunakan dalam strategi memperoleh kuasa dan previlege dalam kelompok.
Lingkup pengaruh atau kekuasaan menurut ciri orang Asmat adalah berkuasa atau menjadi
pemimpin hanya di dalam kelompok klennya sendiri. Jadi, belum tentu ia didengarkan oleh klen lain.
Oleh karena itu, setiap klen memiliki pemimpinnya sendiri-sendiri. Hubungan pemimpin dan setiap
anggota dalam klen memiliki dinamika saling balas-membalas atau menganut sistem resiprositas.5
4
Ibid, hal 26-27.
5
Ibid, hal 26-27.
2.2 Sistem Religi
2.2.1 Kepercayaan Terhadap Roh dan Kekuatan Magis
Kehidupan orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Orang Asmat memiliki
kepercayaan bahwa alam ini dihuni oleh roh-roh, jin-jin dan makhluk halus lainnya. Semuanya itu
dikategorikan dalam dua golongan besar, yaitu:
Yi-ow : roh yang baik dan menjadi pelindung bagi keturunannya.
Osbopan : roh yang membahayakan hidup, dapat mengancam nyawa atau jiwa seseorang.
Orang Asmat juga percaya akan kekuatan magis dan ilmu sihir yang kebanyakan dalam bentuk
tabu. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti pengumpulan bahan makanan, penangkapan ikan
dan pemburuan binatang, terdapat banyak pantangan yang wajib dilaksanakan agar tidak tertimpah
bencana. Kekuatan magis juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, menemukan
pelaku kejahatan dan ada pula yang dipakai untuk menguasai dan mengatur gejala-gejala alam.