Anda di halaman 1dari 8

BIOGRAFI SUKU ASMAT

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas PPKN

Disusun Oleh :
Nama : Ayudya Putri Surjadi
Kelas : IX-7
No. Absen : 09

SMP NEGERI 1 BALEENDAH


JL. Adipati Agung No.29 Baleendah
Asal Usul Suku Asmat
Suku Asmat adalah suku yang berasa dari Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil
ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir
pantai dan mereka yang tinggal di pedalaman.Pola hidup, cara berpikir, struktur sosial dan
keseharian kedua kategori suku Asmat tersebut sangat berbeda. Untuk mata pencaharian
misalnya, suku Asmat di pedalaman biasanya memiliki pekerjaan sebagai pemburu dan petani
kebun, sementara mereka yang tinggal di pesisir lebih memilih menjadi nelayan.Kesamaannya
adalah dari ciri fisik, di mana suku Asmat rata-rata memiliki tinggi sekitar 172 cm, untuk pria
dan 162 untuk perempuan. Warna kulit mereka umumnya hitam dengan rambut keriting.
Kesamaan ini disebabkan karena suku Asmat masih satu keturunan dengan warga Polynesia.

Suku Asmat tersebar mulai dari pesisir pantai Laut Arafuru, hingga Pegunungan Jayawijaya.
Secara keseluruhan, mereka menempati wilayah Kabupaten Asmat membawahi 7 kecamatan.
Luasnya wilayah Kabupaten Asmat, membuat jarak antar kampung atau kampung dengan
kecamatan menjadi sangat jauh. Belum lagi kontur tanah yang berawa-rawa, membuat perjalanan
dari antar kampung lainnya bisa memakan 1-2 jam dengan berjalan kaki. Suku Asmat sangat
terkenal dengan tradisi dan keseniannya. Mereka dikenal sebagai pengukir handal dan diakui
secara internasional. Ukiran ala suku Asmat sangat banyak jenis dan ragamnya. Biasanya, ukiran
yang mereka hasilkan menceritakan tentang sesuatu, seperti kisah para leluhur, kehidupan sehari-
hari, dan rasa cinta mereka kepada alam.

Selain seni ukir, suku Asmat menyenangi tari dan nyanyian yang biasa mereka tampilkan
ketika menyambuat para tetamu, menghadapi masa panen, atau pun ritual penghormatan kepada
roh para leluhur. Suku Asmat memang sangat menghormati leluhur mereka, terlihat dari tradisi
yang mereka miliki. Meski kebudayaan modern sudah banyak mempengaruhi kehidupan mereka,
tapi untuk urusan tradisi dan adat istiadat masih cukup kental dan sulit dihilangkan.
Suku Asmat memang sangat menghormati leluhur mereka, terlihat dari tradisi yang mereka
miliki. Meski kebudayaan modern sudah banyak mempengaruhi kehidupan mereka, tapi untuk
urusan tradisi dan adat istiadat masih cukup kental dan sulit dihilangkan.
1. Rumah Bujang

Rumah Bujang Dalam tradisi masyarakat suku Asmat dikenal juga bangunan bernama Rumah
Bujang atau biasa disebut dengan Jew. Rumah ini merupakan bagian penting yang tidak
terpisahkan dari kehidupan suku Asmat.

Jew merupakan rumah utama, tempat segala aktivitas suku Asmat dilakukan. Saking
pentingnya, ketika hendak mendirikan Jew harus diadakan upacara khusus terlebih dahulu.
Hanya para pria yang belum menikah yang boleh tinggal di rumah Jew. Kecuali ketika ada acara
besar, perempuan sesekali boleh masuk ke dalam Jew. Tokoh adat Distrik Atsj, Matias
Jakmenem menjelaskan kalau Jew merupakan salah satu rumah bujang bagi suku Asmat. Ini
karena, penghuninya semua adalah kelompok laki-laki (Beorpit). Setiap kampung memiliki Jew
dan menjadi pusat kehidupan suku Asmat. Perempuan dalam kalangan masyarakat Asmat hanya
boleh masuk ke dalam Jew, ketika ada pesta atau ritual adat. Jew merupakan rumah inisiasi, di
mana pemuda (laki-laki) dalam kalangan masyarakat Asmat mendapat inisiasi, seperti cara
berperang, memuku tifa, mencari ikan hingga kisah tentang leluhur. Dia menyebutkan dalam
bahasa Asmat, Jew berarti roh atau spirit. Maka, Jew juga bisa diartikan sebagai sukma atau jiwa
yang menghidupkan dan menggerakan kehidupan bersama. Sehingga, setiap kelompok
masyarakat tidak tercerai-berai. Jew dibuat dari kayu local dan rotan serta daun nipah sebagai
atap. Kulit kayu dimanfaatkan sebagai lantai rumah. Jew juga memiliki 7-10 pintu dengan satu
wair ( tungku utama), serta sejumlah tungku lain di bagian kanan dan kiri. Menurut Matias,
makna pintu dan tungku perapian menunjukan jumlah keluarga atau marga di setiap kampung.
Dalam adat istiadat masyarakat Asmat, setiap marga atau fam disediakan dua pintu dan dua buah
tungku perapian. Dalam tradisi masyarakat Asmat, Jew tidak dilihat dari sisi panjang dan lebar
atupun besarnya Jew. Itu karena, Jew sudah diwariskan dari nenek moyang dan leluhur
masyarakat Asmat. Rumah bujang itu tidak memiliki sekat atau ruangan yang memisahkan
antara tungku dan air. Perapian dan tungku justru menjadi simbol tempat untuk masing-masing
kelompok. Pada tiang rumah Jew dilengkapi ukiran kepala perang masing-masing kelompok
yang telah meninggal. Makna di balik penempatan ukiran kepala perang yang meninggal adalah
sebagai pedoman bagi masyarakat Asmat dari generasi ke generasi. Dengan begitu, warisan adat
tetap mengalir dalam kehidupan warga Asmat dari masa ke masa. Bahkan, ukiran kepala perang
itu melambangkan warisan tradisi Asmat yang dilestarikan. Setiap Jew yang dibuat masyarakat
Asmat selalu menghadap arah matahari terbit atau sejajar dengan aliran sungai. Sementara, posisi
rumah warga masyarakat berada di samping atau di bagian belakang Jew. Posisi Jew juga
sebagai penanda dan symbol lingkaran hidup dan cara berkomunikasi serta kebersamaan hidup
masyarakat suku Asmat.

2. Bahasa

Bahasa yang digunakan suku Asmat merupakan kelompok bahasa yang oleh para ahli bahasa
disebut sebagai language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Papua. Bahasa
ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi film bahasa-bahasa
Papua non-Melanesia. Ada beberapa bahasa yang digunakan oleh suku Asmat, seperti bahasa
Asmat Sawa, Asmat Bets Mbup, Asmat Safan (Asmat Pantai), Asmat Sirat, dan Asmat Unir
Sirau.

 Bahasa Asmat Sawa

Bahasa Asmat Sawa dituturkan oleh masyarakat Kampung Sawa, Distrik Sawaerma,
Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Menurut pengakuan penduduk, wilayah tutur bahasa Asmat
Sawa berbatasan dengan wilayah tutur bahasa Asmat Tomor di sebelah timur, bahasa Asmat
Yamas di sebelah barat, bahasa Asmat Buagani di sebelah utara Kampung Sawa. Di sebelah
selatan Kampung Sawa digunakan bahasa Asmat Sawa.

 Bahasa Asmat Bets Mbup

Bahasa Asmat Bets Mbup terdiri atas tiga dialek, yaitu bahasa Asmat dialek Bets Mbup,
bahasa Asmat dialek Bismam, dan bahasa Asmat dialek Simay. Persentase perbedaan ketiga
dialek tersebut adalah 51%-80%. Bahasa dialek Bets Mbup dituturkan oleh masyarakat
Kampung Atsi, Distrik Atsi, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Selain di kampung itu, bahasa
dialek Bets Mbup juga dituturkan oleh masyarakat Kampung Biwar Laut, Yasiu, Amanam Kay,
You, dan Omanasep. Bahasa dialek Bismam dituturkan oleh masyarakat di Kampung Bismam-
Ewer, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Masyarakat kampung lain yang
menuturkan bahasa Asmat dialek Bismam adalah Kampung Suru, Yepem, Peer, Us, dan Beriten.
Dialek Simay dituturkan oleh masyarakat Kampung Amborep, Distrik Akat, Kabupaten Asmat,
Provinsi Papua. Kampung lain yang menuturkan bahasa Asmat dialek Simay adalah Kampung
Warse, Paung, Sakam, dan Ayam.

 Bahasa Asmat Safan

Bahasa Asmat Safan (Asmat Pantai) dituturkan oleh etnik Asmat Safan di Kampung
Aworket, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Masyarakat yang berdomisili di
sebelah timur, yaitu Kampung Emene, di sebelah barat, yaitu Kampung Primapun, dan di sebelah
selatanKampung Aworket, yaitu Kampung Kayarin dituturkan juga bahasa Asmat Safan (Asmat
Pantai). Di sebelah utara Kampung Aworket, yaitu Kampung Saman dituturkan bahasa Attojin.

 Bahasa Asmat Sirat

Bahasa Asmat Sirat dituturkan oleh masyarakat Kampung Yaosakor, Distrik Sirets,
Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Menurut pengakuan penduduk, bahasa Asmat Sirat juga
dituturkan oleh masyarakat Kampung Awok, Kaimo, Pos, Waganu I, Waganu II, Jinak, Pepera,
dan Karpis. Di sebelah timur, yaitu Kampung Amborep dituturkan dialek Simay, di sebelah
barat, yaitu Kampung Biwar Laut dituturkan dialek Bets Mbup, dan di sebelah utara Kampung
Yaosakor, yaitu Kampung Kaimo dituturkan bahasa Asmat Sirat.

 Bahasa Asmat Unir Sinau

Bahasa Asmat Unir Sirau dituturkan oleh masyarakat Kampung Paar, Distrik Unir Sirau,
Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Bahasa ini juga dituturkan oleh masyarakat Kampung
Komor, Birip, Amor, Warer, Munu, Abamu, Tomor, Sagapo, Tii, Koba, dan Jipawer. di sebelah
barat Kampung Paar, yaitu Kampung Erma dituturkan bahasa Asmat Kenok dan sebelah selatan,
Kampung Yufri dituturkan bahasa Asmat Joirat.
3. Pakaian Adat

Selain terkenal dengan ukirannya, suku Asmat juga memiliki pakaian adat yang khas.
Seluruh bahan yang digunakan pakaian tersebut langsung berasal dari alam. Ini merupakan
representatif kedekatan suku Asmat dengan alam sekitarnya. Tidak hanya bahan, desain pakaian
tradisional suku Asmat pun juga terinspirasi dari alam. Pakaian tradisional laki-laki dibuat
menyerupai burung atau binatang lainnya karena dianggap sebagai lambang kejantanan.
Sementara rok dan penutup dada bagi perempuan dibuat dengan daun sagu, sehingga sekilas
mirip keindahan bulu burung kasuari. Bagian penutup kepala juga terbuat dari daun sagu dengan
bagian samping menggunakan bulu burung kasuari. Itu semua seolah menunjukkan betapa
dekatnya suku Asmat dengan alamnya.

4. Alat musik

Alat musik Seperti daerah-daerah di Indonesia lainnya, Papua juga memiliki alat musik
khas daerah. Tifa merupakan alat musik yang mirip dengan gendang, dan merupakan alat musik
khas daerah Maluku dan Papua. Alat musik ini terbuat dari kayu yang dilubangi tengahnya
dengan penutup. Biasanya menggunakan kulit rusa. Hal ini dimaksudkan untuk membuat bunyi-
bunyian yang indah. Alat musik ini biasa digunakan untuk acara-acara tertentu, seperti upacara
adat dan yang paling sering mengiringi tari-tarian peperangan. Layaknya sebuah genderang, tifa
digunakan untuk mengobarkan semangat masyarakat saat akan melakukan perang. Tifa juga
digunakan untuk mengiringi tari-tarian yang dilakukan sebelum perang.

5. Seni Ukir

Seni Ukir Ukiran merupakan kesenian yang paling terkenal dari suku Asmat. Ukiran-
ukiran suku Asmat tidak hanya terkenal di Indonesia namun juga di kalangan turis-turis asing.
Karakteristik ukiran suku Asmat adalah polanya yang unik dan bersifat naturalis. Dari segi
model, ukiran suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai,
tifa, telur kaswari sampai ukiran tiang. Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan
lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu binatang dan
orang berperahu, berburu dan lain-lain. Mengukir merupakan sebuah tradisi dan ritual yang
berkaitan erat dengan spiritualitas hidup suku Asmat, di mana kebanyakan masih menganut
kepercayaan dinamisme. Mereka tidak hanya sekedar mengukir namun juga mengekspresikan
cerminan dari sebuah kehidupan spiritual masyarakat suku Asmat sendiri. Masyarakat Asmat
terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri khas pada karya seni ukirnya. Begitu
juga dengan kayu yang digunakan. Ada sub etnis yang menonjol ukiran patungnnya, menonjol
ukiran salawaku atau perisai, ada pula yang memiliki ukiran untuk perhiasan dinding dan
peralatan perang.
6. Senjata Tradisional

Masyarakat suku Asmat juga memiliki senjata tradisional. senjata tradisional suku Asmat
adalah kapak batu yang terbuat dari batu hijau dan memberikan kesan artistik. Kapak ini
memiliki panjang sekitar 45 cm dengan panjang bilah batu kira-kira 20 cm, dan memiliki berat 1
kg. Meski berukuran lebih kecil dari kapak pada umumnya, namun kapak ini sangat kuat dan
menjadi salah satu benda paling berharga bagi suku Asmat. Biasanya, masyarakat Asmat
menggunakan kapak batu untuk menebang pohon dan membantu mereka dalam proses membuat
sagu. Bagi suku Asmat kapak batu bukan sekedar sebuah senjata, namun juga barang mewah. Ini
karena, cara membuatnya yang rumit dan bahan pembuatnya merupakan batu nefrit yang sulit
ditemukan.

Anda mungkin juga menyukai