Anda di halaman 1dari 8

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua Selatan.

Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran


kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua, yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai
dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain
dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi
ke dalam dua bagian, yaitu suku Bisman yang berada di antara Sungai Sinesty, dan suku Simai
di Sungai Nin.[1]

Etimologi[sunting | sunting sumber]


Suku Asmat adalah nama dari sebuah suku yang ada di Papua Selatan, Indonesia. Suku Asmat
dikenal dengan hasil ukiran kayu tradisional yang sangat khas. Beberapa ornamen/motif yang
sering kali digunakan dan menjadi tema utama dalam proses pemahatan patung yang dilakukan
oleh penduduk suku asmat adalah mengambil tema nenek moyang dari suku mereka, yang
biasa disebut mbis. Namun tak berhenti sampai disitu, sering kali juga ditemui ornamen / motif
lain yang menyerupai perahu atau wuramon, yang mereka percayai sebagai simbol perahu
arwah yang membawa nenek moyang mereka di alam kematian. Bagi penduduk asli suku
asmat, seni ukir kayu lebih merupakan sebuah perwujudan dari cara mereka dalam melakukan
ritual untuk mengenang arwah para leluhurnya.

Kondisi Alam[sunting | sunting sumber]


Wilayah yang ditempati Suku Asmat adalah dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring laba-
laba sungai. Wilayah yang ditinggali Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan
nama Kabupaten Asmat dengan 7 Kecamatan atau Distrik. Hampir setiap hari hujan turun
dengan curah 3000-4000 mm/tahun. Setiap hari juga pasang surut laut masuk kewilayah ini,
sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur. Jalan
hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah yang lembek. Praktis tidak semua
kendaraan bermotor bisa lewat jalan ini. Orang yang berjalan harus berhati-hati agar tidak
terpeleset, terutama saat hujan.

Persebaran[sunting | sunting sumber]

Perahu Lesung, alat transportasi suku Asmat.


Suku Asmat tersebar dan mendiami wilayah disekitar pantai Laut Arafuru dan Pegunungan
Jayawijaya, dengan medan yang lumayan berat mengingat daerah yang ditempati adalah hutan
belantara, dalam kehidupan suku Asmat, batu yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat
berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai maskawin. Semua itu
disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit
menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu,
dan sebagainya.

Kampung Asmat[sunting | sunting sumber]


Saat ini, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung memiliki satu
rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan
upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai
kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia.
Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah.

Ciri Fisik[sunting | sunting sumber]


Penduduk Asmat pada umumnya memiliki ciri fisik yang khas, berkulit hitam dan berambut
keriting. Tubuhnya cukup tinggi. Rata-rata tinggi badan orang Asmat wanita sekitar 162 cm dan
tinggi badan laki-laki mencapai 172 cm.

Mata Pencaharian[sunting | sunting sumber]


Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya
di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. Suku Asmat Darat, suku Citak dan suku
Mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan
seperti, ular, kasuari, burung, babi hutan, dll. Mereka juga selalu meramu/menokok sagu sebagai
makanan pokok. Adapun nelayan mencari ikan dan udang untuk dimakan. Kehidupan dari ketiga
suku ini ternyata telah berubah.
Sehari-hari orang Asmat bekerja di lingkungan sekitarnya, terutama untuk mencari makan,
dengan cara berburu maupun berkebun, dengan menggunakan metode yang cukup tradisional
dan masih sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan kita. Masakan istimewa bagi
mereka adalah ulat sagu. Namun kehidupan sehari-sehari mereka hanya memanggang ikan
atau daging binatang hasil buruan.
Dalam kehidupan suku Asmat, “batu” yang biasa kita lihat di jalanan ternyata sangat berharga.
Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai maskawin. Semua itu disebabkan karena tempat
tinggal suku Asmat yang membentuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu
jalanan yang berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.

Makanan Pokok[sunting | sunting sumber]


Makanan pokok orang Asmat adalah sagu. Hampir setiap hari mereka makan sagu yang dibuat
jadi bulatan-bulatan yang dibakar dalam bara api. Kegemaran lain adalah makan ulat sagu yang
hidup di batang pohon sagu, biasanya ulat sagu dibungkus dengan daun nipah, ditaburi sagu,
dan dibakar dalam bara api. Selain itu, sayuran dan ikan bakar dijadikan pelengkap. Namun
yang memprihatinkan adalah masalah sumber air bersih. Air tanah sulit didapat karena wilayah
mereka merupakan tanah berawa. Mereka terpaksa harus menggunakan air hujan dan air rawa
sebagai air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Pola Hidup[sunting | sunting sumber]


Satu hal yang patut ditiru dari pola hidup penduduk asli suku Asmat adalah mereka merasa
dirinya sebagai bagian dari alam. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati dan menjaga
alam sekitar. Bahkan, pohon di sekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran
dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala, dan akar
menggambarkan kaki mereka.

Cara Merias Diri[sunting | sunting sumber]


Suku Asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri. Mereka hanya
membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. Untuk menghasilkan warna putih
mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. Sedangkan warna hitam berasal
dari arang kayu yang dihaluskan. Cara menggunakannya cukup simpel, hanya dengan
mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunakan untuk
mewarnai tubuh.

Adat Istiadat[sunting | sunting sumber]


Seperti masyarakat pada umumnya, dalam menjalankan proses kehidupannya, masyarakat suku
Asmat pun melalui berbagai proses, yaitu:

 Kehamilan, selama proses ini berlangsung, bakal generasi penerus dijaga dengan
baik agar dapat lahir secara selamat dengan bantuan ibu kandung atau ibu mertua.
 Kelahiran, tidak lama setelah jabang bayi lahir, dilaksanakan upacara selamatan
secara sederhana dengan acara pemotongan tali pusar yang menggunakan sembilu,
alat yang terbuat dari bambu yang dilanjarkan. Selanjutnya, diberi ASI sampai
berusia 2 tahun atau 3 tahun.
 Pernikahan, proses ini berlaku bagi pria maupun wanita yang telah berusia 17 tahun,
dilakukan oleh pihak orang tua lelaki setelah kedua belah pihak mencapai
kesepakatan dan melalui uji keberanian untuk membeli wanita dengan maskawinnya
berupa piring antik yang berdasarkan pada nilai uang kesepakatan kapal perahu
Johnson, apabila ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka
pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang
melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
 Kematian, apabila kepala suku atau kepala adat yang meninggal, maka jasadnya
disimpan dalam bentuk mumi dan dipajang di depan joglo suku ini, sedangkan
masyarakat umum jasadnya dikuburkan. Proses ini dijalankan dengan iringan
nyanyian berbahasa Asmat dan pemotongan ruas jari tangan dari anggota keluarga
yang ditinggalkan.

Unik[sunting | sunting sumber]


Dalam memenuhi kebutuhan biologis, baik kaum pria maupun wanita melakukan hubungan intim
di ladang atau kebun, saat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di
ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya yakni anak babi disusui oleh wanita suku ini
hingga berumur 5 tahun.

Rumah Adat[sunting | sunting sumber]


Rumah tradisional suku Asmat adalah Jeu dengan panjang sampai 25 meter. Sampai sekarang
masih dijumpai rumah tradisional ini jika kita berkunjung ke Asmat pedalaman. Bahkan masih
ada juga di antara mereka yang membangun rumah di atas pohon.

Agama[sunting | sunting sumber]


Masyarakat suku Asmat beragama Katolik, Protestan, dan Animisme yakni suatu ajaran dan
praktik keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung. Bagi suku
Asmat ulat sagu merupakan bagian penting dari ritual mereka. Setiap ritual ini diadakan, dapat
dipastikan, banyak sekali ulat yang dipergunakan. (Kal Muller, Mengenal Papua, 2008, hal.31)

Kepercayaan Dasar[sunting | sunting sumber]


Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal dari dunia mistik
atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam setiap sore hari. Mereka yakin bila
nenek moyangnya pada zaman dulu melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan.
Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga macam roh yang
masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat namun mati. Berdasarkan mitologi
masyarakat Asmat berdiam di Teluk Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis. Orang Asmat
yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka
bagi dalam 3 golongan.

 Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.
 Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
 Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.
Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh
komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini:

 Mbismbu (pembuat tiang)


 Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
 Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
 Yamasy pokumbu (upacara perisai)
 Mbipokumbu (Upacara Topeng)
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan
mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka,
demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat
patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta
perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

Roh-roh dan Kekuatan Magis[sunting | sunting sumber]


 Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka memiliki
kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang
semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori:
1. Setan yang membahayakan hidup. Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang
Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan
perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang
membawa penyakit dan bencana (Osbopan).
2. Setan yang tidak membahayakan hidup. Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat
Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka
menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya
baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-
ow

 Kekuatan magis dan Ilmu sihir


Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah
dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-
hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan
pemburuan binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian
ataupun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan
magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.

Sumber Alam dan Potensi Alam[sunting | sunting sumber]


Selain ikan, cucut, kepiting, udang, teripang, ikan penyu, cumi-cumi, dan hewan lainnya yang
melimpah ruah. Daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam yang amat luar biasa,
nseperti: rotan, kayu, gahar, kemiri, kulit masohi, kulit lawang, damar, dan kemenyan.

Wanita Dalam Pandangan Suku Asmat[sunting | sunting sumber]


Simbolisasi perempuan dengan Flora & Fauna yang berharga bagi masyarakat Asmat
(pohon/kayu, kuskus, anjing, burung kakatua dan nuri, serta bakung), seperti kata Asmat di atas,
menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat menempatkan perempuan yang
sangat berharga bagi mereka. Hal ini tersirat juga dalam berbagai seni ukiran dan pahatan
mereka. Namun dalam gegap gempitanya serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat.
Tersembunyi suatu realita derita para Ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar dari dunia luar.
Derita perempuan Asmat menjadi pelakon tunggal dalam menghidupi suku tersebut. Setiap
harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya, mulai dari
mencari ikan, udang, kepiting, dan tembelo sampai kepada mencari pohon sagu yang tua,
menebang pohon sagu, menokok, membawa sagu dari hutan, memasak dan menyajikan.
Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat masak termaksud mengambil air dari telaga
atau sungai yang jernih untuk keperluan minum keluarga.
Sementara itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan yang
disediakan istrinya, mengisap tembakau, dan berjudi. Kadang suami membuat rumah atau
perahu, namun dengan batuan istri. Ada pula suami yang mau menemani istrinya mencari kayu
bakar. Sayangnya mereka hanya benar-benar menemani. Mendayung perahu, menebang kayu,
dan membawanya pulang adalah tugas istri. Suami yang cukup berbaik hati akan membantu
membawakan kapak istrinya.
Jika istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan, maka istri akan menjadi
korban luapan kemarahan. Jika mereka kalah judi, maka istri pula yang akan dijadikan objek
kekesalan. Mereka yang tinggal di Agats, kini terbiasa pula untuk mabuk, mereka lebih rentan
untuk mengamuk, sehingga istripun yang akan lebih banyak menerima tindak kekerasan.
Kadang kala laki-laki Asmat mengukir, jika mereka ingin tau atau jika hendak menyelenggarakan
pesta. Ketika laki-laki mengukir, maka tugas perempuan akan semakin bertambah. Perempuan
harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain yang diinginkan suami mereka agar
dapat terus bertenaga untuk mengukir. Semakin lama laki-laki mengukir, semakin banyak pula
makanan yang harus mereka sediakan. Hal itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat,
karena harus memangur, meramah, dan mengolah sagu, dan bahkan menjaring ikan, lebih
tragisnya lagi, jika ukiran itu dijual, maka uangnya hanya untuk suami yang membuatnya,
perempuan Asmat tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya menyediakan
makanan. Padahal tanpa makanan itu,satu ukiranpun tidak akan selesai dibuat. (Dewi
Linggasari, 2004, Yang Perkasa Yang Tertindas. Potret Hidup Perempuan Asmat. Yogyakarta:
Bigraf Publishing, bekerjasama dengan Yayasan Adhikarya IKAPI dan The Fourt Foundation.
Hal. 22).

Mitologi[sunting | sunting sumber]


Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun
dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap
hari. Menurut keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu
tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat
yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan.
Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya
Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya
raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi,
ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang
mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, Desa Syuru sekarang. Untung ada seekor burung
Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew
dan mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat sebuah genderang Em, yang
sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan
kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang
diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka
kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.

Upacara Adat[sunting | sunting sumber]


Tengkorak nenek moyang Asmat.
Ritual hari Kematian[sunting | sunting sumber]
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi
mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka
percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru
lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena
mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang
dewasa mendatangkan dukacita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu
muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan
kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah
meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran
kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir
abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap
sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa
kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota
keluarga yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil
menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk
mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani
mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam
pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan
tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk si sakit dan keluar
rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah
kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan
maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang
kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari
sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya.
Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi)
dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah
disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan
dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai
bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang
yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang
itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain
yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan
ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju
peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan
beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa
menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian.
Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di
pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap
dapat menemukan kuburannya.

Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung[sunting | sunting


sumber]
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses
pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih,
ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk
diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik
dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu
semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat
Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan
bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian
kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan
suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah
berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau
berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu.
Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru
bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di
kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan
tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan
perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu
burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan
suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan
pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan
maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang.
Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.

Upacara Bis[sunting | sunting sumber]


Upacara Bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab
berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (Bis) apabila ada permintaan dalam suatu
keluarga. Dulu, upacara Bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati
terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak
yang membunuh.
Untuk membuat patung leluhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8
minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan
patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-
masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis.
Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan
pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-
perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini,
wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya.
Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan
tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah
meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara
sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri
di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan
warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan
mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar
roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga
memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya,
patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.

Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang


(yentpokmbu)[sunting | sunting sumber]
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je).
Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan
sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat
nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, tetapi apabila ada suatu penyerangan yang
akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk.
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri
oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan
upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.

Kepustakaan[sunting | sunting sumber]


 Koentjaraningrat (1998) Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: Rineka Cipta
 Koentjaraningrat (1980) Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press
 Sudarman, Dea (1993) Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Jakarta:
Delata

Bibliografi[sunting | sunting sumber]


 http;//www.scribd.com/Suku_Asmat/5-11-2011
 http;//www.ksupointer.com/Suku_Asmat_Sosok_Budaya_Indonesia_diPapua/5-11-
2011
 http;//www.lestariweb.com/Indonesia/Papua_People_Asmat/5-11-2011

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ "Suku Asmat Suku Asli Papua". www.kompas.com. Diakses tanggal 9 Juli 2023.

Anda mungkin juga menyukai