Orang Rimba
Orang Rimba adalah sebutan untuk sebuah suku bangsa yang hidup di pedalaman hutan Jambi.
Mereka tinggal di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Terdapat banyak
versi tentang asal-usul Orang Rimba. Namun, secara garis besar, Orang Rimba sendiri meyakini bahwa
leluhur mereka memiliki tiga ciri, yaitu orang yang kuat pendirian dan gagah berani, orang yang
sangat menghormati lingkungan (hutan), dan orang yang setiap hari berpakaian sederhana (memakai
cawat, rumah beratap rumbia, dan meminum air kali).
1. Asal-usul
Orang Rimba adalah sebutan untuk sebuah suku bangsa yang hidup di pedalaman hutan Jambi.
Mereka tinggal di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD.[1] Sebutan ini Orang
Rimba berasal dari Orang Rimba sendiri. Sedangkan Orang Rimba menyebut orang dari luar suku
mereka sebagai Orang Terang.
Orang Rimba sendiri menganggap bahwa sebutan Orang Rimba lebih tepat karena merujuk pada
tempat tinggal mereka di rimba. Hal ini juga dinyatakan oleh Butet Manurung (2007), yang
mengatakan bahwa sebutan Orang Rimba ini merujuk pada tiga hal, yaitu asal mereka dari rimba,
mereka tidak mau keluar dari rimba, dan karena mereka melakukan kegiatan sehari-hari berdasarkan
apa yang diberikan oleh rimba (hutan).
Berbeda dengan Orang Rimba, umumnya orang di luar suku Orang Rimba menyebut orang-orang suku
Orang Rimba dengan sebutan suku Kubu[2] atau suku Anak Dalam. Istilah Kubu merupakan sebutan
yang digunakan oleh para pegawai kolonial Belanda yang kemudian diikuti oleh sebagian besar
antropolog. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa Orang Rimba adalah kelompok masyarakat
terasing yang berasal dari kerajaan Pagaruyung. Mereka mengungsi ke dalam hutan karena mereka
tidak mau dikuasai dan diperintah oleh musuh. Di dalam hutan, mereka membuat pertahanan atau
kubu (http://www.jambiprov.go.id).
Sementara itu, sebutan Suku Anak Dalam merupakan sebutan yang digunakan oleh Departemen
Sosial Republik Indonesia. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di
pedalaman. Oleh karena itulah, dalam perspektif pemerintah, mereka harus dimodernkan dengan cara
mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat
Terasing (PKMT) (budayanusantara.blogsome.com).
Orang Rimba memiliki leluhur yang asal-usulnya sangat kompleks dan bahkan dapat dikatakan kabur.
Asal-usul tersebut dikatakan kompleks karena banyak sekali versi yang menyatakan tentang asal-usul
tersebut. Hal ini tentu saja membingungkan sekaligus menimbulkan rasa penasaran beberapa
pengkaji budaya. Dalam teori budaya, kompleksitas asal-usul leluhur Orang Rimba ini bisa jadi
merupakan salah satu wujud usaha mereka dalam menjaga identitas mereka agar tidak punah.
Versi-versi asal-usul leluhur Orang Rimba secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu asal-usul
yang berdasarkan sejarah dan asal-usul yang berdasarkan cerita atau mitos yang berkembang di
masyarakat atau di kalangan Orang Rimba sendiri. Versi-versi tersebut memiliki dasar masing-masing.
Kenyataan ini justru semakin menyulitkan untuk menentukan versi mana dari versi-versi tersebut
yang benar.
Orang Rimba sendiri meyakini bahwa terdapat tiga ciri umum pada leluhur mereka. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Orang Rimba meyakini bahwa leluhur mereka adalah orang yang kuat pendiriannya, gagah
berani, rendah hati, dan menghormati perempuan.
b. Leluhur Orang Rimba juga diyakini sebagai orang yang sangat menghargai alam sekitar
(hutan).
c. Leluhur Orang Rimba mempunyai kebiasaan sehari-hari yang alami, misalnya tidak
mengenakan pakaian kecuali cawat untuk menutup kemaluan, rumah mereka beratap rumbia
dan berdinding kayu, makan buah-buahan dari hutan, minum air sungai dengan bonggol kayu,
dan tidak makan hewan ternak tetapi mengkonsumsi kijang, ayam hutan, dan rusa.
2. Konsep Leluhur Orang Rimba
Orang Rimba merupakan suku yang unik dan mempunyai kebudayaan yang menarik untuk dikaji.
Salah satu aspek dari suku ini adalah asal-usul leluhurnya. Secara umum, asal-usul leluhur Orang
Rimba terbagi menjadi dua versi besar, yaitu versi sejarah dan versi cerita atau mitos.
a. Versi Sejarah
Leluhur Orang Rimba dimasukkan ke dalam golongan Melayu tua (Proto Melayu) yang berasal dari
Yunan (Muntholib, 1995). Golongan ini terdesak masuk ke hutan setelah kedatangan rombongan
Melayu Muda (Deutro Melayu). Pandangan yang sama disampaikan oleh Agus Ruliyanto (Tempo, April
2002:70). Sejumlah artikel menyatakan bahwa Orang Rimba merupakan kelompok Melayu Tua dari
rumpun Melanesia. Mereka disamakan dengan kelompok Melayu Tua lainnya di Indonesia seperti
orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok Melayu
Tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (dekat lembah sungai Yang Tze di Cina
Selatan) yang masuk ke Indonesia Selatan pada tahun 2000 SM. Mereka kemudian tersingkir dan lari
ke hutan antara tahun 2000 dan 3000 SM ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung
peradaban yang lebih tinggi.
J.C. Van Dongen (Arsip Museum Provinsi Jambi, n.d.) menyatakan bahwa dalam hubungannya dengan
dunia luar, Orang Rimba mempraktekkan silent trade. Mereka melakukan transaksi dengan
bersembunyi di dalam hutan dan melakukan tukar-menukar barang dengan cara meletakkan barang
dagangan di pinggir hutan, kemudian orang Melayu akan mengambil dan menukarnya dengan pakaian
atau kebutuhan lainnya. Gonggongan anjing merupakan tanda bahwa barang telah ditukar.
b. Versi Cerita atau Mitos
Munawir Muchlas (1975) menyatakan bahwa ada dua versi cerita atau mitos tentang asal-usul leluhur
Orang Rimba. Kedua versi tersebut adalah sebagai berikut.
1). Versi cerita tentang perang antara Jambi dan Belanda yang berakhir pada tahun 1904. Versi
ini menyebutkan bahwa pasukan Jambi pada saat itu dibela oleh pasukan Orang Rimba yang
dipimpin oleh Raden Perang. Dalam perang tersebut, Orang Rimba terkenal dengan sebutan
Orang Kubu, artinya orang yang tak mau menyerah kepada penjajah Belanda. Mereka inilah
konon yang menjadi cikal bakal Orang Rimba sekarang.
2). Versi peperangan antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak
dengan kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini konon
didengar oleh Raja Pagaruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang Masak. Raja Pagaruyung
kemudian memerintahkan anak dan pasukannya agar menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam.
Si anak menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum memenangkan peperangan
tersebut. Namun, karena jarak antara Kerajaan Pagaruyung dengan Kerajaan Jambi sangat jauh
dan mereka menempuh perjalanan hanya dengan berjalan kaki selama berhari-hari, mereka
kelelahan dan kehabisan persediaan bahan makanan mereka. Mereka kemudian bersepakat
untuk bertahan hidup di dalam rimba karena mereka malu jika harus kembali ke Pagaruyung.
Mereka inilah yang nantinya menamakan diri sebagai Orang Rimba.
Versi cerita dari Sumatera Tengah menyebutkan bahwa leluhur Orang Rimba merupakan satu
keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Mereka
hijrah karena terdesak oleh perang pada zaman Kesultanan Palembang dan pada masa
penjajahan kolonial Belanda (Depsos RI, 1998:55-56). Ada pula versi yang menyebutkan
bahwa leluhur Orang Rimba adalah orang Malau Sesat yang meninggalkan keluarga dan lari ke
hutan rimba di sekitar Air Hitam (TNBD), yang di kemudian hari dinamakan sebagai Moyang
Segayo (Kharis Sutarno di http://mamas86.wordpress.com).
Versi terakhir tentang leluhur Orang Rimba berasal dari kerajaan Melayu. Versi ini menceritakan
tentang peristiwa yang dialami oleh tiga orang bersaudara. Ketiga bersaudara ini terdiri dari dua
perempuan dan satu laki-laki. Mereka adalah putra-putri bangsawan Kerajaan Melayu pada
masa pemerintahan Raja Batu. Konon, ketiga bersaudara itu, bersama dengan sebuah
rombongan, kabur ketika Kerajaan Melayu diserbu oleh Kerajaan Sriwijaya, kira-kira sebelum
abad ke-15 M. Rombongan pelarian tersebut bermaksud pergi ke Batu Sangkar, namun mereka
tersesat di Air Hitam, sebuah kawasan hutan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Di
tempat itu, rombongan pelarian tersebut berpisah. Kedua saudara laki-laki berangkat pulang
sementara sang putri sulung menolak. Dalam perkembangan lebih lanjut, putri inilah yang
dianggap sebagai leluhur Orang Rimba sekarang. Orang Rimba menyebut putri tersebut sebagai
nenek (Priyono B Sumbogo dalam majalah.tempointeraktif.com).
Orang Rimba sendiri membayangkan leluhur mereka adalah orang-orang yang memiliki tiga buah ciri
yang mereka warisi dari leluhur mereka. Ketiga ciri tersebut adalah sebagai berikut.
1). Leluhur Orang Rimba adalah orang yang kuat pendirian, gagah berani, rendah hati, dan
menghormati perempuan. Pandangan ini tercermin dalam cerita tentang Bujang Parantau yang
justru diajak menikah oleh seorang putri bernama Puti Selaras Pinang Masak. Dari hasil
perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading,
dan Putri Selaro Pinang Masak (Muchlas, 1975).
2). Leluhur Orang Rimba juga diyakini sebagai orang yang sangat menghargai alam sekitar
(hutan). Hutan dan Orang Rimba dianggap sebagai dua hal yang berkaitan erat dan tidak dapat
dipisahkan. Barang siapa merusak hutan berarti merusak kehidupan Orang Rimba sendiri.
Aturan-aturan hidup ini telah diwujudkan dalam hukum adat mereka yang berbentuk seloko
(mantera) yang selalu dibacakan pada penyelenggaraan upacara adat atau jika terdapat
seseorang yang melanggar adat.
Orang Rimba yang melanggar adat akan mendapatkan sanksi adat dan kutukan leluhur. Hal ini
tercermin dalam seloko ini: Di bawah idak berakar, di atai idak bepucuk, kalo di tengah
ditebuk kumbang, kalau ke darat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo (Maknanya lebih
kurang adalah jika Orang Rimba melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka
hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan kesengsaraan).
3). Orang Rimba yakin bahwa pola kehidupan leluhur mereka adalah seperti yang tercermin
dalam seloko ini: Bertubuh onggok, berpisang cangko, beratap tikai, berdinding baner,
melemak buah betatal, minum air dari bonggol kayu, berkambing kijang,
berkerbau tenu,
bersapi ruso (Maknanya lebih kurang adalah sehari-hari tanpa baju, kecuali cawat untuk
menutup kemaluan, rumah beratap rumbia, berdinding kayu, makan buah-buahan dari hutan,
minum air sungai dengan bonggol kayu, tidak makan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan,
dan rusa) (http://www.gp-ansor.org/).
3. Pengaruh Sosial
Asal-usul Orang Rimba memberikan beberapa pengaruh terhadap kehidupan sosial mereka. Pengaruhpengaruh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pengaruh terhadap pelaksanaan hukum adat.
Leluhur Orang Rimba diyakini telah mewariskan aturan-aturan sosial yang dituangkan dalam
hukum adat yang mengambil bentuk sebagai seloko (mantera). Dalam konteks ini, leluhur
diposisikan sebagai orang yang dihormati keberadaannya. Salah satu wujud pernghormatan
tersebut adalah ketaatan terhadap perintah dan larangan yang termaktub dalam seloko.
Beberapa hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
1). Laki-laki dari luar rimba baru boleh masuk hutan tempat tinggal Orang Rimba jika ditemani oleh
salah seorang anggota suku Orang rimba. Ketika pertama kali masuk hutan, orang tersebut harus
terlebih dahulu meneriakkan semacam salam yang berbunyi Ado jentan kiuna? (Ada laki-laki di
sana?). Setelah memperoleh jawaban dari Orang Rimba, laki-laki tersebut baru boleh masuk.
2). Laki-laki dilarang bertelanjang bulat ketika mandi, melainkan harus tetap mengenakan penutup
alat vital. Jika ada orang yang melanggar aturan ini, maka pelaku akan dihukum dengan membayar
denda
berupa
sejumlah
kain.
3). Laki-laki dan perempuan dilarang berduaan. Laki-laki dan perempuan yang ketahuan sedang
berduaan akan dikawinkan secara paksa. Sebelumnya, badan mereka akan dipukuli dengan rotan
sebagai
hukuman
karena
telah
mempermalukan
orang
tua.
4). Upacara Besale dilaksanakan jika terdapat gangguan pada semangat atau jiwa manusia. Besale
merupakan istilah Orang Rimba yang secara umum berarti membangunkan semangat atau jiwa
manusia untuk dibersihkan dari pengaruh roh-roh jahat yang merasukinya (melayuonline.com).
b. Pengaruh terhadap pengelolaan sumber daya alam.
Leluhur Orang Rimba dikenal sebagai orang yang hidupnya berpindah-pindah. Hal ini dilakukan
karena mereka ingin mencari daerah yang dianggap dapat memberikan kehidupan yang lebih
baik dan juga untuk menjaga keseimbangan alam. Pola hidup seperti ini sampai sekarang masih
dilakukan oleh Orang Rimba sebagai ketaatan mereka terhadap adat warisan dari leluhur.
Leluhur Orang Rimba memiliki cara dan istilah tersendiri dalam mengolah hutan. Misalnya,
mereka
membedakan
antara hutan
(rimba),
sesap,
belukor
(belukar),
dan
benuaron
(melayuonline.com). Dalam konteks ini, ajaran leluhur menjadi pijakan pokok Orang Rimba
dalam menjaga kesimbangan hutan.
c. Pengaruh terhadap sistem kekerabatan.
Orang Rimba menganut sistem kekerabatan matrilineal. Mereka meyakini bahwa leluhur mereka
sangat menghormati kaum perempuan sebagaimana yang tercermin dalam cerita Putri Selaro
Pinang Masak. Bahkan, jika terjadi perkawinan antarkelompok, ada kencenderungan bahwa
pihak laki-laki akan mengikuti kelompok istrinya. Sistem kekerabatan ini masih berlaku hingga
sekarang. Hal ini menandakan bahwa Orang Rimba memposisikan perempuan dengan cukup
istimewa.
d. Pengaruh terhadap keyakinan akan rimba sebagai tempat tinggal yang sesuai
dengan petuah leluhur.
Kawasan hutan yang dipilih menjadi tempat tinggal oleh leluhur Orang Rimba adalah kawasan
yang sekarang dikenal sebagai Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Pemilihan tempat ini
konon disebabkan oleh keyakinan Orang Rimba bahwa jika mereka tinggal di TNBD, mereka
akan selalu dilindungi oleh roh leluhur yang tinggal di kawasan hutan tersebut.
4. Penutup
Orang Rimba menghormati leluhur mereka dengan cara melaksanakan berbagai upacara adat dan
mematuhi ketentuan-ketentuan adat yang ada agar keseimbangan alam tetap terjaga. Hal ini
menandakan bahwa ajaran leluhur masih dijaga dengan baik oleh Orang Rimba. Mengingat banyaknya
bencana banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan yang menimpa Indonesia akibat ulah orang-orang
yang tidak bertanggung jawab, maka ajaran leluhur Orang Rimba ini menemukan momentumnya
untuk terus dijaga dan diapresiasi. Yusuf Efendi (bdy/23/03-10).
Referensi
Agung Ruliyanto, 2002. Asal-usul Suku Anak Dalam. Majalah Tempo 18 April 2002.
Butet Manurung, 2007. Sokola Rimba. Yogyakarta: Insist Press.
C.J. Van Dongen, n.d. Orang Kubu (Suku Kubu). Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.
Dian Prihatini, 2007. Makalah kebudayaan Suku Anak Dalam. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi.
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Gerakan Pemuda Ansor. Mengunjungi Orang Rimba, Suku Anak Dalam di Jambi. Terdapat di
http://www.gp-ansor.org. (Diunduh pada tanggal 20 Maret 2010).
Kharis Sutarno. Suku Anak Dalam Jambi (Suku Kubu) http://mamas86.wordpress.com. (Diunduh pada
tanggal 21 Maret 2010).
Komunitas
Budaya
Nusantara.
Kebudayaan
Suku
Anak
Dalam.
http://budayanusantara.blogsome.com. (Diunduh pada tanggal 20 Maret 2010).
Terdapat
di
Lucky Ayu Wulandari, 2009. Konversi hutan Taman Nasional Bukit 12 menjadi media pendekatan
gradual terhadap upaya pengubahan pola hidup Suku Anak Dalam (Suku Kubu) Jambi. Jurusan
bahasa Inggris, jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Jambi.
Muzaiin
Arfa
Satria.
Asal-usul
dan
sejarah
suku
Anak
http://buletin73.blogspot.com. (Diunduh pada tanggal 20 Maret 2010).
Dalam.terdapat
di
Munawir Muchlas, 1975. Sedikit tentang kehidupan Suku Anak Dalam ( Orang Kubu) di Provinsi Jambi,
Jambi: Kanwil Depsos Provinsi Jambi.
Muntholib Soetomo, 1995. Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di
Makekal Provinsi Jambi. Bandung: Universitas Padjajaran.
Pemerintah
Provinsi
Jambi.
Mengenal
Suku
Anak
Dalam.
http://www.jambiprov.go.id [Diunduh pada tanggal 20 Januari 2010].
[Online]
Tersedia
di
Rimba.
[Online]
Tersedia
di
Yusuf Efendi, 2010. Halo Nio: dewa dunia dalam pengetahuan Orang Rimba Jambi. [Online] Tersedia
di http://melayuonline.com [Diunduh pada tanggal 27 Februari 2010].
Sumber foto: http://www.jambiprov.go.id
Terang.
1 Dipresentasikan pada Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan VI di Kabupaten
Wakatobi, 1-3
Desember 2008.
2 Ketua Jambi Writing Program, Program Officer Komunitas Humaniora Indonesia, dan Wakil
Ketua
Asosiasi Tradisi Lisan Daerah Jambi.
3 Pudentia, Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan ATL,
1998.
4 Menurut pengakuan Tarib, satu di antara tumenggung yang berdomisili di Air Hitam,
Kabupaten
Sarolangun, Jambi penamaan Orang Rimba untuk membedakan identitas dengan Orang Terang.
Yang
2
Model Pewarisan Tradisi Lisan Orang Rimba
Orang Rimba, sebagai masyarakat adat yang kental dengan tradisi lisan tentu saja
mengalami problem pelestarian dan pewarisan. Selain dikarenakan tidak adanya tradisi
keberaksaraan rendahnya tingkat partisipasi dalam pendidikan (meminjam bahasa
birokrasi). Pada sisi ini terdapat kontradiksi dalam memandang pendidikan, bagi Orang
Rimba pendidikan sering dijadikan sarana pembodohan yang dilakukan Orang Terang
terhadap Orang Rimba sedangkan bagi institusi terkait dan masyarakat di Jambi pada
umumnya beranggapan bahwa sarana untuk meningkatkan derajat Orang Rimba dari
ketertinggalan dan keterasingan adalah pendidikan. Dalam konteks ini dilakukan kreasi
tertentu untuk tujuan pelestarian dan pewarisan tradisi lisan.
Potensi pewarisan dilakukan oleh Orang Rimba melalui pewarisan yang bersifat internal
dan pewarisan eksternal. Maksud pewarisan internal adalah pewarisan tradisi lisan
dilakukan secara kolektif oleh Orang Rimba untuk memenuhi kondisi-kondisi tertentu
yang mempengaruhi dan menentukan keberlangsungan adat dan kebiasaan hidup
mereka. Pemilihan dan pelantikan tumenggung sebagai pemimpin kelompok Orang
Rimba misalnya dilakukan jika orang disiapkan (biasanya berasal dari lingkungan
keluarga) telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan tokoh adat yaitu kemampuan
dalam menghafal, memahami, dan mengaplikasikan hukum adat baik terhadap diri
sendiri, anggota kelompok/komunitas, atau terhadap Orang Terang. Persyaratan ini
merupakan satu dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebab apabila tidak
lengkap pewarisan dialihkan kepada orang lain (tetap mengacu pada garis keturunan).
Keharusan dan kemampuan menguasai tradisi lisan juga menjadi syarat wajib bagi
dukun yang ditentukan oleh komunitas. Hal ini dikarenakan pada tradisi pengobatan
Orang Rimba, pembacaan mantera biasanya menyertai proses pembuatan bahan-bahan
obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pada makalah ini dituliskan mantera
pengobatan penyakit asma yang dibacakan pada saat meramu dan merebus sejenis akarakaran
untuk diminum penderita asma.
dimaksudkan dengan Orang Terang adalah masyarakat yang berdomisili di luar rimba atau di
luar
kawasan Taman Nasional. Penamaan ini juga berlaku pada anggota masyarakat Orang Rimba
yang telah
beralih kepercayaan. Hal ini diterapkan oleh Tumenggung Tarib terhadap anak-anak beliau yang
menikah
dengan Orang Terang dan diharuskan keluar rimba atau minimal menetap di pinggir batas rimba.
Penamaan lain yaitu Orang Rimbo dikemukakan oleh Muntholib Soetomo dalam disertasinya
Orang
Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi,
Bandung:
Universitas Padjajaran, 1995, h.vi.
3
Bismillah
Tedung inggak tedung inggih
Tedung inggak tedung inggih
Aku menunduk menagari
Aku menyungak sekali lagi
Untung ku keno siang ka aku lagi idup
Kalau ku keno malom aku lah mati
Untung ku keno malom ka aku lagi idup
Kalau ku keno siang aku lah mati
laaillahaillallah
Pembacaan mantra untuk pengobatan dapat dilakukan secara langsung yaitu dibacakan
pada saat pengobatan atau secara tidak langsung melalui upacara bebale5. Ketentuan
pembacaan mantera pengobatan ini menunjukkan adanya mantra yang boleh diketahui
oleh orang lain dan mantra yang tidak boleh diketahui oleh orang lain.
Selain pewarisan melalui pengukuhan tokoh-tokoh adat dilakukan pewarisan dengan
menempatkan beberapa terminologi dalam tradisi lisan mereka baik sebagai aturan baru,
penamaan tempat, dan pemberian nama anak. Pada komunitas Orang Rimba terdapat
aturan baru dinamakan hompongan6 bermakna hadangan, menghadang, menghalangi.
Digunakan untuk memberi batas pada wilayah rimba/hutan dengan cara menanam karet.
Penggunaan istilah ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan adanya batas yang jelas
antara hutan rimba dan hutan produksi maka akan dapat dijaga kelestarian hutan yang
menjadi tempat hidup Orang Rimba. Pilihan menggunakan pohon karet sebagai batas
rimba didasari gagasan kognitif bahwa tanaman karet merupakan tanaman produktif.
Hasilnya dinikmati bersama-sama baik Orang Rimba dan Orang Terang (penduduk
dusun asal, pendatang, dan transmigrasi).7 Pada pola ini terlihat bahwa tradisi lisan tidak
hanya sekedar sarana pemenuhan kebutuhan kognitif saja tetapi juga sebagai untuk
menjaga kesejajaran manusia dengan alam dan kesetaraan antara sesama manusia.
Penghormatan Orang Terang (dalam hal ini masyarakat transmigrasi sangat baik karena
mereka diberi kepercayaan untuk menyadap karet dan menggelola hasil produksi.
5 Upacara bebale dapat diartikan sebagai upacara menghormati dewa-dewa dengan
menyiapkan
sembilan balai, ditempati seorang dukun dan sesaji. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya untuk
pengukuhan tumenggung tetapi juga untuk upacara pengukuhan dukun, perkawinan, pengobatan,
pengukuhan jenang (semacam penghubungan dengan Orang Terang). Hanya saja tidak ada
dokumentasi
upacara ini karena bersifat tertutup kecuali pada komunitas Orang Rimba yang menjadi Orang
Terang
melaksanakan upacara pengukuhan berdasarkan cara-cara formal.
kepergian
seseorang baik secara fisik dalam artian meninggal dunia maupun non fisik dalam artian menjadi
Orang
Terang.
5
Pewarisan internal ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, masyarakat adat lainnya
di Indonesia juga telah melakukan langkah yang sama. Pada pewarisan Nyanyi Panjang
Tombo lebih bersifat terbuka dengan memberikan kesempatan pada seluruh anggota
pesukuan untuk mempelajari dan memahami Tombo. 10 Pola/model internal seperti ini
menunjukkan bahwa kesadaran kolektif untuk melestarikan tradisi agar lebih dihargai
dan mendapat tempat yang sejajar dengan anggota masyarakat lainnya merupakan
motivasi utama Orang Rimba melakukan pewarisan tradisi lisan. Keinginan ini telah
terwujud dengan diikutsertakannya tumenggung sebagai pemimpin adat Orang Rimba
untuk menentukan keputusan-keputusan yang bersentuhan dengan hukum adat.
Hubungan sejajar ini membentuk kesepahaman antara Orang Rimba dan Orang Terang
untuk saling menjaga dan menghormati tradisi masing-masing meskipun di antara
Orang Terang juga terdapat Orang Rimba yang memilih keluar hutan, menikah dengan
masyarakat transmigrasi atau masyarakat dusun dan menentukan secara sadar pilihan
kepercayaan normatif.
Pewarisan eksternal merupakan model pewarisan yang dilakukan secara kolektif atau
individual oleh komunitas atau individu di luar sistem. Keterlibatan aktif dengan cara
berpartisipasi langsung dalam beberapa bagian atau keseluruhan aktifitas Orang Rimba
sehari-hari merupakan teknis yang sebaiknya digunakan. Pada umumnya penerapan
partisipasi aktif/keterlibatan aktif menimbulkan pola interaksi timbal balik karena
adanya saling kesepahaman. Teknik atau metode lainnya adalah keterlibatan pasif
dengan cara memposisikan sebagai pengamat semata. Aspek dokumenter merupakan
hasil maksimal dari penerapan partisipasi pasif/keterlibatan pasif.
Model pewarisan eksternal dengan menggunakan pendekatan partisipasi aktif dilakukan
oleh fasilitator pendidikan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI. Guru
Rimba11 menggunakan dongeng populer sebagai salah satu formula pada pengajaran
BTH (baca tulis hitung). Peningkatan kemampuan baca tulis disertai dengan pendekatan
yang manusiawi menimbulkan motivasi para murid dan kader12 untuk menceritakan dan
menulis dongeng rimba yaitu ande-ande yang telah mereka kenal sejak kanak-kanak.
10 Tenas Effendy, Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan, Yogyakarta: Yayasan
Bentang
Budaya, Toyota Foundation, 1997, h. 35.
11 Istilah lain dari fasilitator pendidikan. Menurut penulis istilah ini diciptakan untuk
menimbulkan
keterkaitan dan keterikatan emosionil antara fasilitator dengan Orang Rimba.
12 Kader merupakan Orang Rimba yang disiapkan sebagai penerus Guru Rimba untuk
melanjutkan
pengajaran BTH di komunitas masing-masing.
6
Proses penulisan yang mereka lakukan sendiri meski dengan ungkapan bahasa yang
sangat sederhana menunjukkan pemahaman mereka bahwa yang dilakukan merupakan
suatu kesadaran internal untuk memperkenalkan sekaligus mengabadikan tradisi yang
harus mampu memposisikan kesejajaran sesama. Selain itu seperti dikemukakan oleh
Moleong (2005) bahwa pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan yang jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka
dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.15
13 Pada komunitas Orang Rimba tertentu terdapat pemikiran bahwa pendidikan sering dijadikan
sebagai
alat pembodohan dan sebagai alat untuk menjauhkan Orang Rimba dari tradisi lama yang telah
mereka
jalani dan patuhi. Motif ekonomi, motif religius bahkan motif politik seringkali menyertai proses
pendidikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu.
14 Realitas ini menunjukkan bahwa pernyataan peneliti sastra lisan modern umumnya mengakui
bahwa
penghafalan karya panjang dalam masyarakat niraksara, jarang terdapat. Selanjutnya dapat
dibaca A
Teeuw, Indonesia Antara Kelisan dan Keberaksaraan. Jakarta, Pustaka jaya, 1994, h. 4.
15 Prof, Dr, Lexy J Moleong, MA, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, Bandung, PT.
Remaja
Rosda Karya, 2005, h. 9-10.
8
Referensi
Moleong, J Lexy, Prof, Dr, MA. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi.
Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
Murniatie, Sri Dewi. 2006. Bahasa Mantra Pengobatan Suku Anak Dalam di Desa
Hitam Ulu Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Skripsi (Belum Diterbitkan).
Jambi: Universitas Jambi.
Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
Yayasan ATL.
Rahmadi, ed. 2007. Kisah-kisah Anak Rimba. Jambi: Tim Publikasi KKI WARSI.
Soetomo, Muntholib. 1995. Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat
Terasing di Makekal, Provinsi Jambi. Disertasi (Belum Diterbitkan). Bandung:
Universitas Padjajaran, 1995, h.vi.
Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta, Pustaka Jaya.
Tenas Effendy. 1997. Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, Toyota Foundation.