Jombang merupakan Kabupaten yang berada di provinsi Jawa Timur. Di Kabupaten inilah Banyak
tokoh terkenal Indonesia yang dilahirkan, di antaranya adalah Presiden Republik Indonesia ke-4 yaitu KH
Abdurrahman Wahid, pahlawan nasional KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim, tokoh intelektual
Islam Nurcholis Madjid, serta budayawan Emha Ainun Najibdan seniman Cucuk Espe.
Dahulu kala, kata Jombang merupakan akronim dari kata berbahasa Jawa yaitu ijo (Indonesia:
hijau) dan abang (Indonesia: merah). Ijo (hijau) mewakili kaum santri (agamis), dan abang (merah)
mewakili kaum abangan (nasionalis/kejawen). Kedua kelompok tersebut hidup berdampingan, dan
harmonis di Kabupaten Jombang. Bahkan kedua elemen ini digambarkan dalam warna dasar lambang
daerah Kabupaten Jombang.
Penemuan fosil Homo mojokertensis di lembah Sungai Brantas menunjukkan bahwa seputaran
wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang diduga telah dihuni sejak ratusan ribu tahun yang lalu.
Tahun 929, Raja Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur, diduga karena letusan Gunung Merapi atau serangan Kerajaan Sriwijaya. Beberapa literatur
menyebutkan pusat kerajaan yang baru ini terletak di Watugaluh. Suksesor Mpu Sindok adalah Sri Isyana
Tunggawijaya (947-985) dan Dharmawangsa (985-1006). Tahun 1006, sekutu Sriwijaya menghancurkan
ibukota kerajaan Mataram, dan menewaskan Raja Dharmawangsa.
Airlangga, putera mahkota yang ketika itu masih muda, berhasil meloloskan diri dari serbuan
Sriwijaya, dan ia menghimpun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan yang telah runtuh. Bukti
petilasan sejarah Airlangga sewaktu menghimpun kekuatan kini dapat dijumpai di Sendang Made,
Kecamatan Kudu. Tahun 1019, Airlangga mendirikan Kerajaan Kahuripan, yang kelak wilayahnya
meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali; serta mengadakan perdamaian dengan Sriwijaya.
Pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini Kabupaten Jombang merupakan gerbang
Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah
Desa Ngrimbi,
Kecamatan Bareng. Hingga ini banyak dijumpai nama-nama desa/kecamatan yang diawali
dengan prefiks mojo, di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojotrisno,
Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di
Kecamatan Bareng.
Jombang juga menjadi bagian dari wilayah gerakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Etnis
Tionghoa juga berkembang dengan adanya tiga kelenteng di wilayah Jombang, dan sampai sekarang
masih berfungsi. Etnis Arab juga cukup signifikan berkembang. Hingga kini pun masih ditemukan
sejumlah kawasan yang mayoritasnya adalah etnis Tionghoa, dan Arab, terutama di kawasan perkotaan.
Tahun 1811, didirikan Kabupaten Mojokerto, di mana meliputi pula wilayah yang kini adalah
Kabupaten Jombang. Jombang merupakan salah satu residen di dalam Kabupaten Mojokerto. Bahkan
Trowulan (di mana merupakan pusat Kerajaan Majapahit), adalah masuk dalam kawedanan Jombang.
Selain itu Jombang juga dikenal dengan sebutan Kota Santri, karena banyaknya sekolah
pendidikan Islam (pondok pesantren) di wilayahnya. Bahkan ada pameo yang mengatakan Jombang
adalah pusat pondok pesantren di tanah Jawa karena hampir seluruh pendiri pesantren di Jawa pasti
pernah berguru di Jombang.
Pondok tersebut Di antaranya yang terkenal adalah Tebuireng, Denanyar, Tambak Beras,
Pesantren Attahdzib (PA), dan Darul Ulum.
Tahun 1910, Jombang memperoleh status Kabupaten, yang memisahkan diri dari Kabupaten
Mojokerto, dengan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat sebagai Bupati Jombang pertama. Masa
pergerakan nasional, wilayah Kabupaten Jombang memiliki peran penting dalam menentang
kolonialisme.
Itulah sedikit sejarah tentang Berdirinya kabupaten Jombang, semoga bermanfaat untuk kita
semua.
CERITA MITOS
Nganjuk, dan Kediri. Menurut legenda yang berkembang di masyarakat Jombang, asal-usul
Kabupaten Jombang berasal dari legenda pertarungan Kebo Kicak dan Surontanu. Wilayah
Terdapat banyak versi legenda yang beredar di masyarakat yang menceritakan kisah
Kebo Kicak. Salah satu legenda yang beredar di kalangan cerita dari mulut ke mulut menyatakan
bahwa karena sifatnya yang durhaka pada orang tua, maka Kebo Kicak dikutk oleh orang tuanya
sehingga memiliki kepala kebo (kerbau). Dengan demikian muncul sebtan Kebo Kicak. Setelah
dikutuk memiliki kepala kebau dengan tetap berbadan manusia, Kebo Kicak berguru kepada
seorang kyai yang sakti mandraguna. Setelah bertahun-tahun belajar pada kyai tersebut, akhirnya
Kebo Kicak pun menjadi orang yang sholeh dan sadar akan kesalahannya di masa lalu. Kebo
Kicak memiliki kemampuan yang luar biasa, baik dari segi agama maupun kesaktian.
Pada masa itu, di sebuah Kadipaten Majapahit yang kelak disebut Kabupaten Jombang,
terdapat seorang perampok yang sakti bernama Surontanu. Surontanu adalah penjahat nomor
satu dan paling ditakuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Jombang tidak ada atu orang
pun yang mampu menangkap Surontanu. Alkisah, Kebo Kicak mendengar terjadinya huru-hara
di masyarakat kemudian diperintahkan oleh gurunya untuk membasma angkara murka. Kebo
Kicak turun gunung dan menghentikan kejahatan Kebo Kicak. Setelah petualangan beberapa
hari, Kebo Kicak berhasil menemukan Surontanu dan keduanya beradu ilmu kesaktian.
Pertarungan tersebut brlangsung lma sekali hingga Surontanu dengan kesaktiannya berhasil
masuk k dalam rawa tebu. Kebo Kicak pun menyusul dan masuk ke dalam rawa yang terletak di
wilayah Jombang sekarang. Baik Surontanu maupun Kebo Kicak yang masuk ke dalam rawa
Salah satu versi lain mengisahkan bahwa Kebo Kicak adalah sosok ksatria dan berani
mengobrak-abrik Kerajaan Majapahit untuk mencari ayah kandungnya yang bernama Patih
Pangulang Jagad. Setelah Kebo Kicak bertemu dengan Patih Pangulang Jagad, sang ayah
mengajukan syarat agar Kebo Kicak menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar anaknya.
Pembuktian dilakukan dengan mengangkat baju hitam di sungai Brantas sehingga Kebo Kicak
harus berkelahi dengan Bajul Ijo. Sesudah berhasil membuktikan bahwa dirinya anak kandung
Patih Pangulang Jagad, maka Kebo Kicak diberi wewenang menjadi penguasa wilayah Barat.
Namun, sepak terjang Kebo Kicak tidak sampai di situ, ambisi kekuasaannya yang tinggi
membuat dia rela bertarung dengan saudara seperguruannya, Surantanu. Kebo Kicak berkelahi
dengan Surantanu karena memperebutkan pusaka banteng yang sudah diakui sebagai milik
Surantanu. Lokasi pertarungan Kebo Kicak dan Surantanu berpindah-pindah. Sebagian besar
wilayah pertarungan mereka kemudian diabadikan menjadi nama daerah. Konon ceritanya,
pertempuran dua saudara tersebut berlangsung dengan dahsyat. Keduanya saling beradu
kesaktian hingga memunculkan cahaya ijo (hijau) dan abang (merah). Dari penggabungan kata
Dari dua versi asal usul terjadinya Kabupaten Jombang di atas, masyarakat lebih banyak
yang percaya kepada versi kedua. Sementara itu, kata “Jombang = Ijo Abang“. Ada banyak
pemaknaan yang bisa dan biasa dibuat manusia atas sebuah warna maupun beberapa
kombinasinya. Bahkan, selain dimaknai, elemen warna sering pula dijadikan semacam instrumen
untuk memaknai sesuatu. Sederhananya, selain dimaknai, warna juga bisa memaknai suatu
fenomena. Proses pemaknaan serupa juga terjadi pada Kabupaten Jombang yang dalam simbol
Dari kedua warna itu pulalah muncul akronim kata Jombang, yang terdiri dari ijo (hijau)
dan abang (merah). Hingga saat ini, kedua warna tadi dipercaya sebagai mula asal kata Jombang,
singkatan dari ijo dan abang. Dalam sebuah literatur resmi keluaran pemerintah daerah (pemda)
setempat, Monografi Kabupaten Jombang, ijo bermakna kesuburan serta sikap bakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sementara abang dimaknai sebagai sifat berani, dinamis, atau sikap
kritis. Akan tetapi, berbeda dengan “pengartian resmi” tadi, masyarakat Jombang memiliki cara
tersendiri untuk memaknai keberadaan serta latar belakang budaya mereka. Ijo mewakili kultur
santri, kaum agamawan, atau lebih spesifik lagi Islam, yang berasal dari masyarakat pesisir.
Sementara abang dipercaya mewakili kultur masyarakat abangan berpaham nasionalis, yang
berasal dari masyarakat daerah pedalaman dan berlatar sejarah Mataraman (kejawen).