Tanah Minang pernah menjadi ajang perang Paderi yang terjadi pada tahun
1803 - 1838[5], dan merupakan salah satu perang penaklukan terlama yang
dilancarkan Belanda dalam politik ekspansinya di abad ke-19 di Nusantara.
Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan tanah Minang berada di
bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sejak tahun 1838, dan
berakhir pada tahun 1942 seiring dengan penyerahan kekuasaan kepada
Jepang.
Etimologi
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal sebagai tambo.
Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa
ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan
penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat
mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan
menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat
setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan
pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu menyangka
kerbau besar tersebut adalah induknya dan ingin menyusui maka anak
kerbau kecil langsung menanduk serta mencabik-cabik perut kerbau besar
tersebut. Kemenangan tersebut menginspirasikan masyarakat setempat
memakai nama Minangkabau[6] (dalam bahasa Indonesia yang maknanya
sama dengan Menang-Kerbau).
Asal Usul
Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang
berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut
terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif
perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan
Portugis.
Sosial Kemasyarakatan
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan
daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada
kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah
nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat
yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari
pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini
disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan
mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat
untuk nagari itu dihasilkan.
Suku Koto
Suku Piliang
Suku Bodi
Suku Caniago
Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat
dikatakan kata-kata tersebut berasal dari Bahasa Sansekerta, sebagai contoh
koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang berasal
dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan, bodi
berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago
berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.
Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku
tersebut tentu berasal dari bahasa sansekerta dengan pengaruh agama Hindu
dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan
berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena
perkembangan bahasa minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam
dan pendatang-pendatang asing yang menetap di Kerajaaan Pagaruyung.
Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan
suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari hubungannya dengan suku induk. Di
antara suku-suku tersebut adalah:
# Suku Koto
Suku koto merupakan satu dari dua klan induk dalam suku Minangkabau.
Suku minangkanbau memiliki dua klan (suku dalam bahasa orang minang)
yaitu Klan/suku Koto Piliang dan Klan/suku Bodi Chaniago
Sejarah
Gelar Datuk Suku Koto
Diantara gelar datuk Suku Koto adalah :
Tanjung Koto
Koto Piliang di nagari Kacang, Solok
Koto Dalimo,
Koto Diateh,
Koto Kaciak,
Koto Kaciak 4 Paruaik di Solok Selatan
koto Tigo Ibu di Solok Selatan
Koto Kampuang,
Koto Kerambil,
Koto Sipanjang
koto sungai guruah di Nagari Pandai Sikek (Agam)
koto gantiang di Nagari Pandai Sikek (Agam)
koto tibalai di Nagari Pandai Sikek (Agam)
koto limo paruik di Nagari Pandai Sikek (Agam)
koto rumah tinggi di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto rumah gadang, di nagari Kamang Hilir (Agam)
kotosariak, di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto kepoh, di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto tibarau, di nagari Kamang Hilir (Agam)
koto tan kamang/koto nan batigo di nagari Kamang Hilir (Agam)
Koto Tuo di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu
koto Baru di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu
# Suku Piliang
Suku Piliang adalah salah satu suku (marga) yang terdapat dalam kelompok
suku Minangkabau. Suku ini merupakan salah satu suku induk yang
berkerabat dengan suku Koto membentuk Adat Ketumanggungan yang juga
terkenal dengan Lareh Koto Piliang
Etimologi
Menurut AA Navis, kata Piliang terbentuk dari dua kata yaitu 'Pele' artinya
'banyak' dan 'Hyang' artinya 'Dewa atau Tuhan'.[1] jadi Pelehyang artinya
adalah banyak dewa. Ini menunjukkan bahwa di masa lampau, suku Piliang
adalah suku pemuja banyak dewa, yang barangkali mirip dengan
kepercayaan Hindu.
Pemekaran
Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:
Persebaran
Suku ini banyak menyebar ke berbagai wilayah Minangkabau yaitu Tanah
Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Solok, Riau, Padang dan beberapa daerah
lainnya.
Dari beberapa sumber, diketahui tidak terdapat suku ini di Pesisir Selatan
dan Solok Selatan.
Kerabat
Di bawah payung suku Koto-Piliang, terdapat banyak suku lain yang
bernaung, diantaranya adalah :
1. suku Tanjung
2. suku Guci
3. Suku Sikumbang
4. Suku Malayu
5. Suku Kampai
6. Suku Panai
7. Suku Bendang
Suku Bodi
Suku Bodi adalah salah satu suku (marga) dalam kelompok etnis Minang
yang juga merupakan sekutu Suku Caniago membentuk Adat Perpatih atau
Lareh Bodi Caniago. Kelarasan Bodi-Caniago ini didirikan oleh Datuk
Perpatih Nan Sebatang.
Etimologi
Bodi berasal dari bodhi (sansekerta) yang maknanya berarti yang telah
mendapat petunjuk[1]. Bodi dapat dirujuk kepada pohon Bodhi, sebuah
pohon yang sering dijadikan oleh pertapa Buddhist. Konon dulu suku ini
adalah penganut Buddha yang taat, suku ini sudah menempati wilayah
Minang jauh sebelumnya datangnya agama Islam. Bahkan dapat dikatakan
bahwa suku ini termasuk pendiri suku asal nenek moyang orang Minang.
Penghulu Adat
Diantara gelar datuk suku Bodi adalah Datuk Sinaro Nan Bandak, Datuk
Rambayan di Air Tabit.
Persebaran
Suku ini banyak tersebar di wilayah Minang yang lain seperti halnya saudara
dekatnya sendiri yaitu Suku Caniago, Suku Koto dan Suku Piliang. Suku ini
kebanyakan terdapat di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Lima Puluh
Kota.
Pemekaran
Suku Bodi dan suku Caniago tidak banyak melakukan pemekaran suku
sebagaimana suku lainnya. Suku ini terkenal kompak, barangkali disebabkan
faktor adat Perpatih yang mereka anut.
Suku Bodi di daerah lain ada yang disebut dengan Suku Budi Caniago atau
Suku Bodi Caniago, misalnya di Kenagarian Lubuk Jambi, Kuantan Mudik,
Riau.
Suku Caniago
Suku Caniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Perpatih Nan
Sebatang yang merupakan salah satu induk suku di Minangkabau selain
suku Piliang. Suku Caniago memiliki falsafah hidup demokratis, yaitu
dengan menjunjung tinggi falsafah "bulek aia dek pambuluah, bulek kato
dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan"
artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Dengan
demikian pada masyarakat suku caniago semua keputusan yang akan
diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses musyawarah
untuk mufakat.
Falsafah tersebut tercermin pula pada bentuk arsitektur rumah adat bodi
Caniago yang ditandai dengan tidak terdapatnya anjuang pada kedua sisi
bangunan Rumah Gadang. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kasta
seseorang tidak membuat perbedaan perlakuan antara yang tinggi dengan
yang rendah. Hal yang membedakan tinggi rendahnya seseorang pada
masyarakat suku Caniago hanyalah dinilai dari besar tanggung jawab yang
dipikul oleh orang tersebut.
Salah satu falsafah lain untuk mencari kata kesepakatan dalam mengambil
keputusan pada suku caniago adalah "aia mambasuik dari bumi" artinya
suara yang harus didengarkan adalah suara yang datang dari bawah atau
suara itu adalah suara rakyat kecil, baru kemudian dirembukkan dalam
sidang musyawarah untuk mendapatkan sebuah kata mufakat barulah
pimpinan tertinggi baik raja maupun penghulu yang menetapkan keputusan
tersebut.
Minangkabau Perantauan
Jumlah Perantau
Rumah Gadang
Gelombang Rantau
Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah
mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, dimana banyak pedagang-
pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan
perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan
Malayu.[13] Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak
keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke
Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah
timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat
Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan koloni-
koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal
dengan sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke
Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai
pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan
Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi. [14] Gelombang
migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau
mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.
Perantauan Intelektual
Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah
untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan
Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat
gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh
Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur
Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim
Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi.
Sebab Merantau
Faktor Budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah
sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka
dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini
cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih
untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak
hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti
karier dan melanjutkan pendidikan.
Faktor Ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan
bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian
dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi
keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan
utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan
bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah
tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan
pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang
Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan
pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu
di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru
ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari
ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan
Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis
Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya
Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan
seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah
yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan
Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-
proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang
Minangkabau duduk sebagai perdana menteri (Sutan Syahrir, Mohammad
Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat),
seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi
pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di
antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim.
Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian
RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu
memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di
pemerintahan, di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi
oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan
ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.
Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan
Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan
Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir,
Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain
mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-
buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis pergerakan. Buku-buku bacaan
utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa
Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya
Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan
Kita karya Sutan Sjahrir.
Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai
sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser
ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan
menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan
karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah
dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang, seperti Lewat Djam Malam,
Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena
Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.
Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah
berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di
sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat
Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung.
Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan
sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Dan akhirnya
runtuh pada masa Perang Padri.
Replika Istana Pagaruyung di Sumatera Barat
Sejarah
Berdirinya Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat
diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat
Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-
peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai
pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya.
Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman,
menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri
tersebut.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian
belakang Arca Amoghapasa[1] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman
memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman
merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti
Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti
yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih
Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang[2].
Pengaruh Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira
pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu
oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman
dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan
cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya[5].
Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh
Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca
Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang
termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Prasasti Adityawarman
Pengaruh Islam
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu
melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh
dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf
Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah
ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di
Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat
Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat
diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang
terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya
adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Quran.
Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat
masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara
yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum
Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam
peperangan ini[6].
Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal
dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo
Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa
Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib),
Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah
yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah
Pandito (pendeta).
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon
dimana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda
dan berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795
sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi
Pagaruyung di tahun 1818, dimana saat itu sudah mulai terjadi peperangan
antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa
ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.
Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda di tahun 1814, maka
Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda
memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung,
dengan ditanda-tanganinya Traktat London di tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang
perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir
barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan
praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada
raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring
itu dibeberapa negeri dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan
puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815. Dan Sultan Muning Alamsyah terpaksa
menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan[10].
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat,
berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah
Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo,
Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau
Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam
tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung)
adalah sebagai berikut:
Sistem pemerintahan
Aparat pemerintahan
Pada awalnya Adityawarman menyusun sistem pemerintahannya mirip
dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit[14] pada masa itu dan
kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan
kerajaan Dharmasraya dan Sriwijaya yang pernah ada pada masyarakat
setempat. Dimana ibukota diperintah secara langsung oleh Raja, sementara
daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat[15].
Dan kemudian setelah masuknya Islam, raja Pagaruyung, yang disebut juga
sebagai Raja Alam, melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya dengan
bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang
berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur
Kudus. Bersama, mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, yang artinya tiga
orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-
masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama.
Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung.
Selain kedua raja tadi, Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai,
artinya "orang besar" (menteri-menteri utama) yang berempat. Mereka
adalah:
Darek
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung (Luhak Nan Tigo,
yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Tanah Data, Luhak Agam
dan Luhak Limopuluah), umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para
penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari
tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari
mengendalikan pemerintahan melalui para penghulu mereka. Keputusan
pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah
dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung ini,
Raja Pagaruyung hanya bertindak sebagai penengah meskipun ia tetap
dihormati.
Pembagian daerah darek adalah sebagai berikut:
Sapuluah Koto di
Ateh
Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh
membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini
meliputi Pasaman, Kampar, Rokan, Indragiri dan Batanghari. Wilayah
rantau pada awalnya merupakan tempat mencari kehidupan bagi suku
Minangkabau.
Anduriang Kayu
Tanam
Guguak Kapalo
Hilalang
Sicincin
Toboh
Pakandangan
Duo Kali Sabaleh
Anam Lingkuang
Tujuah Koto
Sungai Sariak.
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang
terletak di wilayah Malaysia sekarang, yaitu Rantau Nan Sambilan (Negeri
Sembilan). Nagari-nagarinya adalah
Jelai
Jelebu
Jehol
Kelang
Naning
Pasir Besar
Rembau
Segamat
Sungai Ujong
Datuk
Datuk adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah orang di berbagai
kebudayaan.
Asal Usul
Datuak atau Datuk atau Dato' berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu datu
yang bermakna sama dengan raja. Hal ini dapat dirujuk dari Prasasti Telaga
Batu, dimana pada baris 11 terdapat kata kedatuan yang ditafsirkan sama
dengan kedaton atau keraton yakni istana raja, sehingga kedatuan dapat
disamakan dengan wilayah datu.[1]. Selanjutnya kata datu ini berubah
penuturan menjadi "datuk", suatu gelaran yang masih digunakan sampai saat
ini di Minangkabau, Malaysia, dan Brunei.
Datuk di Minangkabau
Datuk dilafalkan dengan dialek Minang sebagai "Datuak", adalah
merupakan gelar adat yang diberikan kepada seseorang melalui kesepakatan
suatu kaum atau suku yang ada di Negeri Minangkabau (provinsi Sumatra
Barat sekarang) dan selanjutnya disetujui sampai ke tingkat rapat adat oleh
para tokoh pemuka adat setempat (Kerapatan Adat Nagari biasa disingkat
dengan KAN). Gelar ini sangat dihormati dan hanya dipakai oleh kaum
lelaki Minang yang akan atau telah menjadi pemangku adat/tokoh pemuka
adat atau Penghulu (nama lain dari Datuk) bagi suatu suku atau kaum
tertentu di Minangkabau. Dan sebelum gelar ini disandang seseorang, mesti
dilakukan suatu upacara adat atau malewa gala (Bahasa Minang), dengan
sekurangnya memotong seekor kerbau dan kemudian diadakan jamuan
makan. Dan jika calon Datuk tersebut tidak mampu untuk mengadakan acara
tersebut, maka dia tidak berhak untuk menyandang gelar Datuk tersebut.
Jika suatu suku telah berkembang dengan banyak, dan kemudian telah
berpencar secara kelompok ke daerah lain, dan jika suku tersebut merasa
perlu mengangkat Datuk yang baru, maka biasanya gelar Datuk sebelumnya
tetap dipakaikan dengan menambah satu atau dua kata lagi sesudah nama
Datuk sebelumnya. Misalnya nama Datuk sebelumnya adalah Datuak
Bandaro maka gelar Datuk belahannya adalah Datuk Bandaro Putiah atau
Datuak Bandaro nan Putiah. Dan setiap suku dapat melakukan pemekaran
bergantung dari kesepakatan suku masing-masing.
1. Datuak Ketumanggungan
2. Datuak Parpatiah nan Sabatang
3. Datuak Bandaro
4. Datuak Mangkudun
5. Datuak Indomo
6. Datuak Sinaro
Datuk di Malaysia
Di Malaysia, Datuk atau Dato' adalah gelar kehormatan yang
dianugerahkan oleh Sultan atau Raja atau Yang di-Pertuan Besar. Gelar ini
setaraf dengan gelaran "Sir" di Britania Raya. Gelar ini dapat juga diberikan
selain kepada laki-laki tetapi juga kepada perempuan, dan tak jarang
ditambahkan dengan gelar yang lain seperti sri, maka jadilah "datuk sri...".
Dan yang agak bergeser sedikit adalah pemakaian gelar datuk atau dato' di
Malaysia tidak lagi diberikan hanya bagi orang asli Melayu tapi juga dapat
diberikan pada etnis yang lain, seperti dari etnis China, India ataupun lain
sebagainya.
Pedagang Minangkabau
Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat
yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan
ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi
perantau Minangkabau setibanya di perantauan.
Sejarah
Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah menjejakan kakinya sejak
abad ke-7.[1] Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di
pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pedagang Minang banyak menjual
hasil bumi seperti lada, yang mereka bawa dari pedalaman Minangkabau ke
Selat Malaka melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Indragiri, dan
Batang Hari. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang
Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Di sepanjang pantai barat
Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos perdagangannya di kota-kota
utama dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh, Barus, Tiku,
Pariaman, Padang, dan Bengkulu. Peranan pedagang Minangkabau mulai
menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh.[2]
Kultur
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat
Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya sekedar
mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk
eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang
yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.
Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah,
bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin
kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi
kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar
masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara
memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan
berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan
kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang
mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih
berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada
harus kerja kantoran, yang acap kali di suruh dan di marah-marahi.
Restoran
Usaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh
pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan
restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, bahkan hingga
ke Malaysia dan Singapura. Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang
memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari
daerah tertentu. Pedagang asal Kapau, Agam biasanya menjual nasi ramas
yang dikenal dengan Nasi Kapau. Pedagang Pariaman banyak yang menjual
Sate Padang. Sedangkan pedagang asal Kubang, Lima Puluh Kota menjadi
penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang. Restoran
Sederhana yang dirintis oleh Bustamam menjadi jaringan restoran Padang
terbesar dengan lebih dari 60 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. [4] Di
Malaysia, Restoran Sari Ratu yang didirikan oleh Junaidi bin Jaba, salah
satu restoran Padang yang sukses.
Tekstil
Di pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau
banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang
Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti
Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar
Bendungan Hilir. Dominansi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di
Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau
mendominasi Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di
Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di Surabaya, pedagang tekstil asal Minang
banyak dijumpai di Pasar Turi.
Kerajinan
Orang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para
pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak, emas, dan sepatu.
Kebanyakan dari mereka berasal dari Silungkang, Sawahlunto dan Pandai
Sikek, Tanah Datar.
Percetakan
Bisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh
pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan
undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi
usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti
oleh pedagang asal Sulit Air, Solok. Salah satu tokoh sukses yang
menggeluti bisnis percetakan ini ialah H.M Arbie yang berbasis di kota
Medan.[6]
Pendidikan
Bisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini
biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada
sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa
mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang
akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta, setidaknya terdapat tiga
universitas milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya didirikan oleh
Moeslim Taher, Universitas Persada Indonesia YAI didirkan oleh Julius
Sukur, dan Universitas Borobudur didirikan oleh Basir Barthos.
Media
Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah
melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia. Antara lain ialah
koran Oetoesan Melajoe yang didirikan oleh Sutan Maharaja pada tahun
1915, majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Hamka, koran Pedoman
yang didirikan oleh Rosihan Anwar, koran Waspada yang didirikan oleh Ani
Idrus, majalah Kartini yang didirikan oleh Lukman Umar, majalah Femina
yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, dan jaringan
televisi TV One yang didirikan oleh Abdul Latief.
Keuangan
Bisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga
merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang,
Sutan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan
Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang
pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping
Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan
mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis perbankan, ada
pengusaha Minang lainnya, Anwar Sutan Saidi, yang mendirikan Bank
Nasional pada tahun 1930.[8]
Silaturahmi pedagang
Untuk membangun jaringan dan silaturahmi antar pedagang Minangkabau,
maka diadakanlah pertemuan yang dikenal dengan Silaturahmi Saudagar
Minang. Silaturahmi ini pertama kali diadakan di Padang pada tahun 2007
yang dihadiri tak kurang dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia.[9]
Pedagang sukses
Djohor Soetan Perpatih, menjadi seorang pedagang sukses di tahun
1930-an. Bersama saudaranya Djohan Soetan Soelaiman, dia
mendirikan toko Djohan Djohor yang terkenal dengan aksi mendiskon
barang yang menyebabkan toko-toko Tionghoa di Pasar Senen, Pasar
Baru, dan Kramat (ketiganya berada di Jakarta) menurunkan harga
dagangannya.[10]
Hasyim Ning merupakan pengusaha Minang sejak era Orde Lama.
Bisnisnya bergerak di bidang otomotif, yaitu sebagai agen tunggal
pemegang merek mobil-mobil asal Eropa dan Amerika Serikat.
Hasyim pernah dijuluki pers sebagai "Raja Mobil dan Henry Ford
Indonesia". Dia sempat dituding sebagai boneka kapitalis ketika pada
tahun 1954 perusahan yang dipimpinnya, Indonesia Service
Company, mendapat kredit lunak sebesar 2,6 juta dollar AS dari
Development Loan Fund.[11] Selain itu bisnis Hasyim juga merambah
perhotelan dan biro perjalanan.[12]
Abdul Latief merupakan sosok sukses pengusaha Minangkabau di
Jakarta. Bisnis Abdul Latief meliputi properti dan media dibawah
bendera ALatief Corporation. Pasaraya dan TV One merupakan
perusahaan terbesar milik Latief. Selain sukses sebagai pengusaha,
Latief juga menjabat sebagai menteri Tenaga Kerja di pemerintahan
Orde Baru.
Basrizal Koto merupakan pengusaha asal Pariaman yang menggeluti
bisnis media, hotel, pertambangan, dan peternakan. Basrizal yang
dikenal dengan Basko memiliki hotel yang berbasis di Pekan Baru dan
Padang. Selain itu dia memiliki peternakan sapi terbesar di Asia
Tenggara.[13]
Rahimi Sutan, pengusaha Minangkabau yang sukses menggeluti
bisnis travel, biro perjalanan, dan rumah makan. Saat ini Natrabu
Tour, perusahaan travel miliknya, bertebaran di seluruh daerah tujuan
wisata di Indonesia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.[14]
Fahmi Idris merupakan salah satu pengusaha Minang yang juga
seorang politisi. Fahmi mendirikan grup bisnis Kodel yang bergerak
dibidang perdagangan, industri, dan investasi. Fahmi yang telah
berbisnis sejak tahun 1967, sempat berhenti kuliah dari FEUI untuk
mulai berwirausaha.[15]
Datuk Hakim Thantawi, merupakan pengusaha yang bergerak di
bidang pertambangan dan perdagangan di bawah bendera Grup
Thaha.
Tunku Tan Sri Abdullah, merupakan pengusaha Minang-Malaysia
yang cukup sukses. Dibawah bendera Melewar Corporation, bisnisnya
meliputi produksi baja dan manufaktur.
Adat Minangkabau
Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau hukum adat
yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama
yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatera Barat. Dalam batas
tertentu, Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat
Minang yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau.
Adat adalah landasan bagi kekuasaan para Raja dan Penghulu, dan dipakai
dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Semua peraturan hukum dan
perundang-undangan disebut Adat, dan landasannya adalah tradisi yang
diwarisi secara turun-temurun serta syariat Islam yang sudah dianut oleh
masyarakat Minangkabau.
Di bawah ini adalah ikhtisar Adat Minang, sering disebut Undang nan
Empat, sebagaimana dipahami dan hidup dalam masyarkat Minangkabau.
Luhak bapangulu
Rantau barajo
Bajalan samo indak tasundak
Malenggang samo indak tapampeh
Undang-undang Nagari
Nagari bakaampek suku
Dalam suku babuah paruik
Basawah baladang
Babalai bamusajik
Balabuah batapian
Disyaratkan paling kurang ada empat suku yang akan bergabung dalam
Nagari dan masing-masing suku itu harus cukup besar -- dikatakan terdiri
dari beberapa paruik atau kelompok yang satu keturunan dari seorang nenek.
Para Penghulu keempat suku itu secara kolektif menjadi Pimpinan Nagari.
Perkawinan hanya berlaku secara eksogami, yaitu antara warga suku yang
berlainan.
Harta benda tidak bergerak seperti sawah ladang dan rumah dimiliki secara
bersama-sama oleh kaum perempuan dalam suatu suku, dan menjadi pusaka
yang dimiliki secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Laki-laki
mengawasi dan mendayagunakan harta benda. Semua warga suku dapat
mengambil manfaat dari harta benda.
Selain prasarana ekonomi seperti sawah dan ladang, jalan dan jembatan,
serta sarana kebersihan, Nagari juga harus mampu mendirikan sebuah
Masjid unutuk tempat ibadah dan sebuah Balairung tempat para Penghulu
bersidang.
Untuk menjaga hubungan yang harmonis dan saling tolong menolong antar
semua warga, anggota masyarakat Nagari selalu berusaha berkomunikasi
dengan semua orang dengan bahasa yang tidak langsung, disebut baso-basi.
Selain itu, pada rites of passage seperi kelahiran, khitanan, perkawinan, dan
kematian selalu diadakan acara adat dengan format yang khusus dan baku,
tetapi dapat sedikit berbeda antara satu Nagari dengan Nagari lainnya, sesuai
dengan prinsip adat selingkar Nagari.
Termasuk dalam undang-undang dalam Nagari adalah adat-istiadat yang
menyangkut hiburan dan rekreasi, seperti Randai, pertandingan layang-
layang dan buru babi.
Kejahatan yang dituduhkan atau diduga dilakukan hanya dapat dihukum jika
terbukti secara meyakinkan.
Budaya Minangkabau
Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di
Minangkabau serta daerah rantau Minang. Hal ini merujuk pada wilayah di
Indonesia meliputi propinsi Sumatera Barat, bagian timur propinsi Riau,
bagian selatan propinsi Sumatera Utara, bagian timur propinsi Jambi, bagian
utara propinsi Bengkulu, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Berbeda dengan
kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau
menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan
dan sebagainya.
Wilayah budaya
Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo,
yang meliputi Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten
Lima Puluh Kota sekarang. Kemudian budaya tersebut menyebar ke wilayah
rantau di sisi barat dan timur Luhak Nan Tigo. Batas-batasnya biasa
dinyatakan dalam ungkapan Minang berikut ini :
1. Sumatera Barat
2. Bagian barat Riau : Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan,
Inderagiri Hulu
3. Bagian selatan Sumatera Utara : Natal, Kabupaten Mandailing Natal
4. Bagian timur Jambi : Kabupaten Kerinci, Bungo
5. Bagian utara Bengkulu : Kabupaten Mukomuko
Sistem Adat
Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh
suku Minangkabau yaitu :
Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola
matrilineal yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat
dunia yang menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola
matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang
menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku
Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta
pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan
garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta
pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.
Namun dewasa ini semua sistem adat diatas sudah diterapkan secara
bersamaan dan tidak dikotomis lagi.
Reformasi Budaya
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18,
telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan
hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum
tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama
yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh
mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang
sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha,
untuk berkiblat kepada syariat Islam.
Harta Pusaka
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta
pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan
warisan turun-temurun yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum,
sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang
diwariskan menurut hukum Islam.
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya
sudah telat.
Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak
dan lapuk sehingga tidak layak huni.
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya
untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
Kontroversi Hukum Islam
Menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang
sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di
Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada anggota
keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan
kontoversi dari sebagian ulama.
Produk Budaya
Demokratis
Produk budaya Minangkabau yang cukup menonjol ialah sikap demokratis
pada masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan
karena sistem pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari, dimana
pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat.
Selain itu tidak adanya jarak antara pemimpin dan rakyat, menjadi faktor
lain tumbuh suburnya budaya demokratis ditengah masyarakat Minang. Hal
ini terdapat dalam pernyataan adat bahwa "pemimpin itu didahulukan
selangkah dan ditinggikan seranting". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish
Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya
politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
ditengarai berasal dari semangat demokrasi Minangkabau, yang mana
rakyat/masyarakatnya hidup ditengah-tengah permusyawaratan yang
terwakilkan.
Novel
Novel yang beredar luas serta menjadi pengajaran bagi pelajar di seluruh
Indonesia dan Malaysia, merupakan novel-novel berlatarbelakang budaya
Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke
Deli dan Dibawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, Salah Asuhan karya
Abdul Muis, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Robohnya Surau Kami
karya Ali Akbar Navis.
Kesenian
Randai
Rabab Pasisie
Silek (Silat Minangkabau)
Saluang
Talempong
Tari Piring
Tari Payung
Tari Pasambahan
Tari Indang
Sambah Manyambah
Ukiran
Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak Nagari di Minangkabau, namun
saat ini seni ukir ini berkembang di Pandai Sikek (Pandai Sikat). Nagari
Pandai Sikek terletak di antara Kota Padang Panjang dan Bukittingi,
tepatnya di kaki Gunung Singgalang, termasuk ke dalam wilayah Kecamatan
X Koto, Kabupaten Tanah Data.