Bahasa Jawa
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa
Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki
fonem-fonem berikut:
Vokal:
i u
e ə o
(ɛ) (ɔ)
Konsonan:
Letupan pb td ʈɖ tʃ dʒ k g ʔ
Frikatif s (ʂ) h
Likuida &
w l r j
semivokal
Sengau m n (ɳ) ɲ ŋ
Penjelasan Vokal:
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi
tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ].
Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/
(sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi
tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan
sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai
[k'aɲcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada
posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu)
dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih
dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada
posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] ,
tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada
posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] ,
tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].
Penjelasan Konsonan:
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila
berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem
sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian
apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem
sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ],
lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan
sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau
berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan
sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/
dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].
Fonotaktik
Contoh:
• a
• an
• pan
• prang
• njlen
Kelompok Barat
1. dialek Banten
2. dialek Cirebon
3. dialek Tegal
4. dialek Banyumasan
5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok Tengah
1. dialek Pekalongan
2. dialek Kedu
3. dialek Bagelen
4. dialek Semarang
5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. dialek Blora
7. dialek Surakarta
8. dialek Yogyakarta
9. dialek Madiun
Kelompok Timur
1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng
endi?”
3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas
Budi kuwi, nèng ndi?”
4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku,
teng pundi?”
5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi
niku, teng pundi?”
6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa,
dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi
punika, wonten pundi?”
8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa,
dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*
nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan
kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Baha
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
sa
rw tel ene wal san sapul
Kuna sa pat lima pitu
a u m u ga uh
panc sap ast naw
Kawi eka dwi tri catur sad dasa
a ta a a
Kram setung kali tig sekaw gang ene wol san sedas
pitu
a gal h a an sal m u ga a
Ngok lor tel ene wol san sepul
siji papat lima pitu
o o u m u ga uh
Angka Ngoko Krama
11 sewelas setunggal welas (sewelas)
12 rolas kalih welas
13 telulas tiga welas
14 patbelas sekawan welas
15 limalas gangsal welas
16 nembelas enem welas
17 pitulas pitulas
18 wolulas wolulas
19 sangalas sangalas
20 rong puluh kalih dasa
21 selikur selikur/kalih dasa setunggal
22 rolikur kalih likur
23 telulikur tigang likur
24 patlikur sekawan likur
25 selawé selangkung
26 nemlikur nemlikur
30 telung puluh tigang dasa
31 telung puluh siji tigang dasa setunggal
32 telung puluh loro tigang dasa kalih
40 patang puluh sekawan dasa
41 patang puluh siji sekawan dasa setunggal
42 patang puluh loro sekawan dasa kalih
50 sèket sèket
51 sèket siji sèket setunggal
52 sèket loro sèket kalih
60 swidak swidak
61 swidak siji swidak setunggal
62 swidak loro swidak kalih
70 pitung puluh pitu dasa
80 wolung puluh wolu dasa
90 sangang puluh sanga dasa
100 satus setunggal atus
101 satus siji setunggal atus setunggal
102 satus loro setunggal atus kalih
120 satus rong puluh setunggal atus kalih dasa
121 satus selikur setunggal atus kalih dasa setunggal
200 rong atus kalih atus
500 limang atus gangsal atus
1.000 sèwu setunggal èwu
1.001 sèwu siji setunggal èwu setunggal
1.002 sèwu loro setunggal èwu kalih
1.500 sèwu limang atus setunggal èwu gangsal atus
sèwu limang atus rong setunggal èwu gangsal atus kalih
1.520
puluh dasa
1.550 sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
1.551
siji setunggal
2.000 rong èwu kalih èwu
5.000 limang èwu gangsal èwu
10.000 sepuluh èwu sedasa èwu
100.00
satus èwu setunggal atus èwu
0
500.00
limang atus èwu gangsal atus èwu
0
1.000.0
sayuta setunggal yuta
00
sayuta limang atus setunggal yuta gangsal atus swidak
1.562.1
swidak loro èwu satus kalih èwu setunggal atus sèket
55
sèket lima gangsal
Fraksi
* Jawanisme
Beberapa contoh:
"(O)ra isó" : "Tidak bisa" menjadi: "(E)ndak isa" atau "(E)ndak isó"
"Kuwi jarané isih ning njaba": "Itu kudanya masih di luar", menjadi: "Itu
kudané misi(h) di luar"
Ekspresi-ekspresi yang sering dipakai adalah 'lho', 'lha', 'to', 'kok', 'ki',
'no', dan sebagainya
sebagai contoh:
• "Lho, I already bought that book !": "Lho, aku uwis tuku buku
kuwi!", yang berarti "Loh, saya ternyata sudah beli buku ini!"
• "Kok, buying again ?": "Kok tuku manéh?", yang berarti
"Mengapa beli lagi?"
• "I told you many times to !": "Wis tak kandhéni ping piro to?",
yang berarti "Sudah saya beritahu berapa kali, sih!"
• "Lha, I didn't know ... how ki ?": "Lha aku yó ora ngerti, piyé
(i)ki?", yang berarti "Ya saya tidak mengerti, bagaimana dong?"
• "Don't be like that, no....": "Ojo ngono, no...", yang berarti
"Jangan begitu, dong..."
* Sastra Jawa
Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang
ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya
disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah
tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk
tembang mulai dari awal bahkan sampai saat ini. Untuk informasi lebih
lanjut silakan lihat artikel: Tembang dalam Sastra Jawa.
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna
meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode
kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai
dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk
prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup
genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad),
dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam
bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat
teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti
ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi
catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk
Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam
bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis
pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra
Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra
Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks
Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti
sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau
pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi
merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra
Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan
sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang
dipakai.[2]
Tradisi penurunan
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar
diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang
berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli
seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan
tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua
dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan
merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah
prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari
tahun 856 Masehi.
Tinjauan umum
Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9
sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan
teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa
dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah
abad ke-11.
1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa, 996
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna
Candakarana
Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini
memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang
membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir
abad ke-8 Masehi.
Brahmandapurana
Agastyaparwa
Isi
• Cerita Rahwana
o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau
Rawana
o Cerita Serat Arjunasasrabahu
Adiparwa
Bagian-bagian
Priyamba
Nahusa
da
Yayat Sarmis
Dewayani
i ta
Turwa An
Yadu Druhyu Puru
su u
Yadu Puru
menurunkan menurunkan
wangsa wangsa
Yadawa Paurawa
Puru
Wangsa
Paurawa
Generasi
Paurawa
Sakuntal
Duswanta
a
Bharata Watsa
Keluarga
Bharata
Yasodari Hasti
Para Raja
Hastinapu
ra
Kuru Yamadi
Dinasti
Kuru
Sunanda Pratipa
Gang
Santanu Satyawati
ga
Pandaw
Korawa
a
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian
seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah
sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun
hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak
pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan
ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana,
sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah
mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang
membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak
melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata,
"Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia menoleh,
alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa
hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak
mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri[1].
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan
lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang
Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah
menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak
sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang
anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap
sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah
karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian
mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-
lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan
ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang
Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais
(kuir) kereta Dewa Surya[1].
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri
Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda
bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau
Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut
putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda
tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena
berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya
salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan
warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-
anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan
kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun
cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-
anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya
warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk
melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas.
Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan
api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja
Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan
perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda
Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam.
Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata
harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah
burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang
Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati
ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang
Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga
sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu
menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus
perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu
membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan
dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang
ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan
bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih
dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan,
tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena
dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya
mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun
ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya
tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat
tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena
merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Adiparwa versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan
diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1990
Sabhaparwa
Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu
dengan Korawa
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai
ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di
Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi
undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan
pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di
Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh
Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian
menuju ke arena perjudian.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada
Dropadi, berkata, "Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di
antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka
perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu
bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu
muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah
memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan
kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi
Dropadi tidak sah!"
Sabhaparwa di Indonesia
Wirataparwa
Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin
menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa
membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka
ketahuan.
Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari
negeri Astina. Para Pandawa berperang melawan mereka, membela
Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan. Tetapi mereka
sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.
Udyogaparwa
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana
yang salah, Kresna mencoba untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang
menjadi kusir Arjuna, memberikan wejangan-wejangan suci kepada
Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Kresna juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna,
agar segala keraguan di hatinya sirna, sehingga ia mau melanjutkan
pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya
kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.
Pembantaian Bisma
Keberanian Bima
Asramawasanaparwa
Mosalaparwa
Para pemuda membawa Samba yang menyamar sebagai wanita hamil
ke hadapan para resi.
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri
kitab Mahabharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para
Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka
(Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga
menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Prasthanikaparwa
Swargarohanaparwa
Kuñjarakarna
Ringkasan
Jawa Kuna[1] Terjemahan tan asuwé ring awan, Maka tak lama mereka
berada di jalan dhateng ta ya ring bumipata<l>a, hana ta ya srijati
dumilah sadakala lonya sêndriya, sêndriya ngaranya, sôlih ing mata
tumingal, hana ta babahan kapanggiha denira sang Kuñjarakarna,
inĕbnya tambaga, lereganya salaka, tuwin ku<ñ>cinya mas, Dan
sampailah di dunia bawah. Maka adalah sebuah pohon jati yang
senantiasa menyala. Tebal batangnya satu indera. Maksudnya hanya
satu pemandangan mata. Lalu sang Kuñjarakarna melihat ada pintu,
panelnya dari tembaga, lacinya dari perak, dan kuncinya dari emas.
ta<m>bak lalénya w<e>si, ikang hawan sad<e>pa saroh lonya,
temboknya dari besi, jalannya selebar satu depa dan satu roh inurap
rinata-rata ginomaya ring tahining le<m>bu kanya, dibersihkan,
diratakan dan dibersihkan dengan tinja sapi perawan betina tinaneman
ta ya handong bang, kayu puring, kayu masedhang asinang, winoran
asep dupa, mrabuk arum ambunika sinawuran kembang ura, pinujan
kembang pupungon, diberi tanaman andong merah, puring dan pohon-
pohon yang sedang berbunga harum. Berbaurlah dengan asap dupa,
harum semerbuk dan ditebar dengan bungan sebaran. Bunga-bunga
yang sedang berkembang diberikan sebagai kehormatan ya ta
matanyan maruhun-ruhunan ikang watek papa kabèh winalingnya
itulah sebab para orang berdosa berbondong-bondong semua. Salah
pikiran mereka, dalan maring swarga ri hidhepnya dikira jalan menuju
ke sorga.
Bahasa Kawi
Terdapat 2 Jenis Bahasa Krama yakni, Krama inggil alus dan krama
madya. Krama Inggil merupakan bahasa jawa yang paling tinggi, biasa
digunakan untuk menghormati orang-orang yang lebih tua atau lebih
berilmu. sedangkan krama madya adalah bahasa jawa yang setingkat
berada dibawah krama inggil, biasa digunakan kepada orang yang
setingkat namun untuk menunjukkan sikap yang lebih sopan.
Ngoko
Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa
ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya
dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang
yang lebih tua.
1. Tantu Panggelaran
2. Calon Arang
3. Tantri Kamandaka
4. Korawasrama
5. Pararaton
Tantu Panggelaran
Perkembangan kisah
2. Penciptaan Manusia
Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Batara Guru ingin membuat
manusia sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan
Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia. Mereka
menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk
manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-
laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian
kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka
hidup saling mengasihi.
Analisis
Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini
juga terdapat dalam dunia teologis orientalis. Ishak dipersembahkan di
gunung Moria (Yerusalem). Zarathustra atau Zoroaster ketika
berkotbah juga naik ke gunung. Firaun membuat piramida yang juga
melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga
membuat punden berundak-undak yang juga melambangkan gunung.
Calon Arang
Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali
dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini.
Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di
Bijdragen Koninklijke Instituut.
Kisah
Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada
suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang
menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang
mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan
memutuskan untuk melawan Empu Baradah. Tanpa bantuan Dewi
Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan, desa tersebut pun
aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.
Perkembangan kisah
Prolog
Awal Permasalahan
Epilog
Analisis
Pararaton
Pendahuluan
Analisa naskah
1. Kakawin Dewaruci
2. Kidung Sudamala
3. Kidung Subrata
4. Kidung Sunda
5. Kidung Panji Angreni
6. Kidung Sri Tanjung
Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa
Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar
berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari
Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau
menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama.
Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya
harus tunduk kepada orang Majapahit (baca orang Jawa). Kemudian
terjadi perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan tempat berlabuhnya
rombongan Sunda. Dalam peristiwa ini orang Sunda kalah dan putri
Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.
1. Kidung Sunda
2. Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)
Pupuh I
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda.
Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke
tanah Sunda untuk melamarnya.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran
patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya,
terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Pupuh II (Durma)
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha"
berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka
akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah
kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa
berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini,
gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya
sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan
dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang
hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-
orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan
secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi
Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca
terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa
dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali
mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan
dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama,
lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada
orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan
dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam
Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin
Nagarakretagama.
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan
pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda
dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada.
Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang
Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan
(Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang) dan
Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai
dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut
sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti.
Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut
Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda
Alihbahasa:
Alihbahasa:
Kidung Sri Tanjung adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa
Pertengahan dalam bentuk kidung. Karya ini dibuat oleh orang
Banyuwangi. Cerita ini termasuk cerita legenda pendirian kota
Banyuwangi. Selain itu, cerita juga terkenal karena bisa dipakai untuk
meruwat.
Maka, benarlah, Sri Tanjung ditikam, tetapi yang keluar bukan darah
segar, melainkan air yang berbau wangi. Maka sampai sekarang
ibukota bumi Blambangan namanya Banyuwangi.