Anda di halaman 1dari 95

* Suku Jawa *

Suku Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya


mungkin ada sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan
terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di
provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di
Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya
merupakan orang-orang Jawa yang berbahasa dan berbudaya Jawa. Di
Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara populasi mereka juga
cukup banyak. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan
Tengger.

Bahasa Jawa

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam


bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah
Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang
Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka
sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia
secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi


berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang
dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki
pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang
Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku


bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota
Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang,
Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir
utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten
Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.

Penyebaran Bahasa Jawa

Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa


dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan
pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa,
padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga
tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam
persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra
Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus
masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para
kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan
tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai
Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera).
Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui
program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman
penjajahan Belanda.

Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam


jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara
keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan
Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke
wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke
Korea, Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga
memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa
dipastikan kelestariannya.
Fonologi

Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa
Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki
fonem-fonem berikut:

Vokal:

Dep Teng Belaka


an ah ng

i u

e ə o

(ɛ) (ɔ)

Konsonan:

Labi Den Alveo Retrofl Palat Vel Glot


al tal lar eks al ar al

Letupan pb td ʈɖ tʃ dʒ k g ʔ

Frikatif s (ʂ) h
Likuida &
w l r j
semivokal

Sengau m n (ɳ) ɲ ŋ

Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon.

Penjelasan Vokal:

Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari


belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai
vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata
terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila
sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap
mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan
sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai
[paj'aranan].

Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi
tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ].
Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/
(sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]

Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi
tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan
sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai
[k'aɲcel].

Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada
posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu)
dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih
dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].

Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada
posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] ,
tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].

Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada
posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] ,
tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

Penjelasan Konsonan:

Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan


sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].

Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila
berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem
sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian
apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem
sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ],
lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan
sebagai [w'arɳɔ].

Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau
berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan
sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/
dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].

Fonotaktik

Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk


seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:

• (n) adalah fonem sengau homorgan.


• K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
• (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul
kalau K1 berbentuk eksplosiva.
• V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka
fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
• K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan
retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.

Contoh:

• a
• an
• pan
• prang
• njlen

Variasi dalam bahasa Jawa

Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M.


Uhlenbeck (1964) . Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan
[1]

Hatley memiliki pendapat yang berbeda.[rujukan?]

Kelompok Barat

1. dialek Banten
2. dialek Cirebon
3. dialek Tegal
4. dialek Banyumasan
5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.

Kelompok Tengah

1. dialek Pekalongan
2. dialek Kedu
3. dialek Bagelen
4. dialek Semarang
5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. dialek Blora
7. dialek Surakarta
8. dialek Yogyakarta
9. dialek Madiun

Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau


Mataraman. Dialek Surakarta dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi
pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).

Kelompok Timur

1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)


2. dialek Surabaya
3. dialek Malang
4. dialek Jombang
5. dialek Tengger
6. dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).


Register (undhak-undhuk basa)

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian


integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa.
Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa
bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa
bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa
Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam
sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.

Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya


("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini
terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan
"perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah
registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan
lawan bicara. Status ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal
lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan
berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang
tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem
semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun.
Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa
semacam ini.

Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang


keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan
keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko
andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan,
kedhaton.

Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya


bahasa yang berbeda-beda ini.
• Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di
mana?"

1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng
endi?”
3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas
Budi kuwi, nèng ndi?”
4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku,
teng pundi?”
5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi
niku, teng pundi?”
6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa,
dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi
punika, wonten pundi?”
8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa,
dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”

*
nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan
kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.

Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang


secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan
status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang
dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa
mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal
ngoko dan sejenis madya.
Bilangan dalam bahasa Jawa

Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa


memiliki sistem bilangan yang agak rumit.

Baha
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
sa
rw tel ene wal san sapul
Kuna sa pat lima pitu
a u m u ga uh
panc sap ast naw
Kawi eka dwi tri catur sad dasa
a ta a a
Kram setung kali tig sekaw gang ene wol san sedas
pitu
a gal h a an sal m u ga a
Ngok lor tel ene wol san sepul
siji papat lima pitu
o o u m u ga uh
Angka Ngoko Krama
11 sewelas setunggal welas (sewelas)
12 rolas kalih welas
13 telulas tiga welas
14 patbelas sekawan welas
15 limalas gangsal welas
16 nembelas enem welas
17 pitulas pitulas
18 wolulas wolulas
19 sangalas sangalas
20 rong puluh kalih dasa
21 selikur selikur/kalih dasa setunggal
22 rolikur kalih likur
23 telulikur tigang likur
24 patlikur sekawan likur
25 selawé selangkung
26 nemlikur nemlikur
30 telung puluh tigang dasa
31 telung puluh siji tigang dasa setunggal
32 telung puluh loro tigang dasa kalih
40 patang puluh sekawan dasa
41 patang puluh siji sekawan dasa setunggal
42 patang puluh loro sekawan dasa kalih
50 sèket sèket
51 sèket siji sèket setunggal
52 sèket loro sèket kalih
60 swidak swidak
61 swidak siji swidak setunggal
62 swidak loro swidak kalih
70 pitung puluh pitu dasa
80 wolung puluh wolu dasa
90 sangang puluh sanga dasa
100 satus setunggal atus
101 satus siji setunggal atus setunggal
102 satus loro setunggal atus kalih
120 satus rong puluh setunggal atus kalih dasa
121 satus selikur setunggal atus kalih dasa setunggal
200 rong atus kalih atus
500 limang atus gangsal atus
1.000 sèwu setunggal èwu
1.001 sèwu siji setunggal èwu setunggal
1.002 sèwu loro setunggal èwu kalih
1.500 sèwu limang atus setunggal èwu gangsal atus
sèwu limang atus rong setunggal èwu gangsal atus kalih
1.520
puluh dasa
1.550 sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
1.551
siji setunggal
2.000 rong èwu kalih èwu
5.000 limang èwu gangsal èwu
10.000 sepuluh èwu sedasa èwu
100.00
satus èwu setunggal atus èwu
0
500.00
limang atus èwu gangsal atus èwu
0
1.000.0
sayuta setunggal yuta
00
sayuta limang atus setunggal yuta gangsal atus swidak
1.562.1
swidak loro èwu satus kalih èwu setunggal atus sèket
55
sèket lima gangsal

Fraksi

• 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)


• 1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
• 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
• 1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)

* Jawanisme

Jawanisme adalah sebuah fenomena atau gejala dalam bahasa


Indonesia di mana seorang penutur, biasanya penutur ibu bahasa Jawa
terpengaruh oleh bahasa ibunya.

Pengaruh ini meliputi bidang sintaksis dalam bahasa Indonesia.

Beberapa contoh:

• "Kamu datêng-ó sini!" atau "Kamu datêng sini-ó!" untuk "Kamu


datanglah kemari!" atau "Kamu datang kemarilah!" dari bahasa
Jawa: "Kowe maraa réné!" atau "Kowé mara rénéa"
• "Nanti barangé tak-ambil(é)." untuk "Nanti barangnya kuambil."
dari bahasa Jawa: "Mengko barangé tak-jupuk(é)."
• "Jalané pelan bangêt." untuk "Jalannya pelan sekali." dari bahasa
Jawa: "Mlaku alon bangêt."
• "Itu bukuné adékku!" untuk "Itu buku adik saya!" dari bahasa
Jawa: "Iku bukuné adhek kulo!"

Selain itu masih banyak pengaruh dalam kosakata bahasa Indonesia.


Yang unik dari Jawanisme adalah sedikit sekali orang Jawa (pribumi)
yang benar-benar mengalami Jawanisme ini. Yang mengherankan
adalah banyak orang-orang Tionghoa (terutama yang hidup di
kawasan Semarang dan Salatiga serta Solo dan juga Jogja ) yang
mengalami gejala Jawanisme.

sebagai contoh: "Rene ó!" : "Kesinilah" atau "Kemarilah" dalam ujaran


bahasa Tionghoa-Indonesia menjadi : "Sini ó"

"(O)ra isó" : "Tidak bisa" menjadi: "(E)ndak isa" atau "(E)ndak isó"

"Kuwi jarané isih ning njaba": "Itu kudanya masih di luar", menjadi: "Itu
kudané misi(h) di luar"

Fenomena Jawanisme dalam bahasa Inggris

Sebagai kelanjutan fenomena Jawanisme dalam bahasa Indonesia,


penutur bahasa Jawa yang belajar bahasa Inggris atau tinggal di
komunitas pemakai bahasa Inggris seringkali terdengar menggunakan
istilah-istilah bahasa Jawa dalam kalimat bahasa Inggris ketika
bercakap-cakap dengan penutur yang berasal dari wilayah yang sama.

Ekspresi-ekspresi yang sering dipakai adalah 'lho', 'lha', 'to', 'kok', 'ki',
'no', dan sebagainya

sebagai contoh:

• "Lho, I already bought that book !": "Lho, aku uwis tuku buku
kuwi!", yang berarti "Loh, saya ternyata sudah beli buku ini!"
• "Kok, buying again ?": "Kok tuku manéh?", yang berarti
"Mengapa beli lagi?"
• "I told you many times to !": "Wis tak kandhéni ping piro to?",
yang berarti "Sudah saya beritahu berapa kali, sih!"
• "Lha, I didn't know ... how ki ?": "Lha aku yó ora ngerti, piyé
(i)ki?", yang berarti "Ya saya tidak mengerti, bagaimana dong?"
• "Don't be like that, no....": "Ojo ngono, no...", yang berarti
"Jangan begitu, dong..."

* Sastra Jawa

Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan


di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang
biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret
tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.

Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856


M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang
tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).

Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:

• Sastra Jawa Kuna


• Sastra Jawa Tengahan
• Sastra Jawa Baru
• Sastra Jawa Modern

Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra


Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-
Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.

Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang


paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya.
Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak
dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang
diutamakan.

Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara


Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal
bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai
sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-
15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa
Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa
datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa
Jawa.

Kategori sastra Jawa

Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang
ditulis dalam bentuk prosa atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya
disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut dengan istilah
tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk
tembang mulai dari awal bahkan sampai saat ini. Untuk informasi lebih
lanjut silakan lihat artikel: Tembang dalam Sastra Jawa.

Sastra Jawa Kuno

Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna
meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode
kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai
dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk
prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup
genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad),
dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam
bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat
teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti
ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi
catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.

Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk
Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam
bahasa Jawa Kuno.

Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis
pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra
Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra
Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks
Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.

Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada


abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-
Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain
sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan
setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau
mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.

Mengenai istilah Jawa Kuno

Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti
sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau
pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi
merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra
Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan
sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang
dipakai.[2]
Tradisi penurunan

Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar
diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang
berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli
seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan
tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua
dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan
merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah
prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari
tahun 856 Masehi.

Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun


nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat.
Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal
dari abad ke-11.

Tinjauan umum

Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9
sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan
teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa
dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah
abad ke-11.

Puisi Jawa lama

Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa

1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa, 996
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna

Candakarana

Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut


ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis
pada abad ke-8 Masehi.

Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini
memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang
membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir
abad ke-8 Masehi.

Sang Hyang Kamahayanikan

Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam


bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorang raja
Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur mulai
dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.

isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan


mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayana
dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi
Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.

Brahmandapurana

Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk


prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan
oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan
berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan.

Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan


adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan
Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu)
Siwa.

Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan


jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana,
ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana
(caturasrama) dan lain-lain.

Agastyaparwa

Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa.


Isinya mirip Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam
bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa
Sansekerta.

Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu


yang berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang
bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan adalah soal
mengapa seseorang naik ke surga atau jatuh ke neraka.
Uttarakanda

Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini


merupakan tambahan. Kitab Uttarakanda dalam bentuk prosa
ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak diketemukan
dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada
referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh.

Isi

• Cerita Rahwana
o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau
Rawana
o Cerita Serat Arjunasasrabahu

• Cerita Dewi Sita


o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi
Rama
o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
o "Kematian" Sita

Adiparwa

Adiparwa (Sansekerta ) adalah buku pertama atau bagian (parwa)


pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi
ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai
latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga
masa muda Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam
sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga
tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar
Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan
Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Adiparwa versi Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan
Daerah Tingkat I provinsi Bali

Bagian-bagian

Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya:

• Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya


pemandian Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah
Mahabharata oleh Begawan Waisampayana (Waiçampāyana).
Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan maharaja
Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit
(Parīkşit) dan cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud
menghibur sang maharaja atas kegagalan kurban ular
(sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga
Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.

o Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan


delapan belas parwa yang menyusun Mahabharata; jumlah
bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing parwa.
• Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang
berakibat kegagalan kurban yang dilangsungkan oleh sang
maharaja.
• Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang
Arunika, sang Utamanyu dan sang Weda. Dilanjutkan dengan
ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang Uttangka murid
sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya
sang Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk
melaksanakan sarpayajña atau upacara pengorbanan ular.
• Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala
sesuatu, apa saja dapat dibakarnya, dengan tidak memilah-milah.
Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk mengikuti jejak sang
Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja
Janamejaya.
• Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang
Nāgini (naga perempuan) dan beranakkan sang Astika, kisah
lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh ibunya
agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan
garuda, hingga upaya para naga menghindarkan diri dari kurban
ular.

o Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya


para dewa untuk mendapatkan tirta amrta atau air
kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan bulan.
• Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan
karenanya mati digigit naga Taksaka.
• Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan
bagaimana Begawan Astika mengurungkan kurban ular ini.
• Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa.
Kisah Sakuntala (Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang
kemudian menurunkan keluarga Bharata. Sampai kepada sang
Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang
mendirikan Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang
berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya Begawan Byasa (Byâsa
atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada lahirnya
Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –
ayah para Pandawa, dan sang Widura.
• Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa.
Permusuhan Kurawa dan Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona,
hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
• Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah
sang Bima (Bhîma) mengalahkan raksasa Hidimba dan
mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran Gatutkaca,
kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya
negara Hâstina menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa,
pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun dalam hutan, lahirnya
Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya
hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.

Catatan: Cerita-cerita ini dianyam dalam bentuk cerita bingkai.


Ringkasan isi Kitab Adiparwa

Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut


bermula ketika Sang Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang
sedang melakukan upacara di hutan Nemisa[1]. Sang Ugrasrawa
menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah
kumpulan kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah
kisah perselisihan Pandawa dan Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari
penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar keluarga Bharata
tersebut (Mahābhārata).

Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita


yang penting atau akhir kisahnya.

Mangkatnya Raja Parikesit

Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang


Abimanyu, yang bertahta di Hastinapura. Ia merupakan keturunan
Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada suatu hari, beliau
berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan
jejak. Di hutan beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama
Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya
pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal
tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia mengambil bangkai ular,
kemudian mengalungkannya di leher sang pendeta.

Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut


dari penjelasan Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk
Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah
kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut,
maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan
ketat oleh prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara juga telah
siap para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari ketujuh, yaitu
hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang
bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang
dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang Raja mangkat setelah
digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu[1].

Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular

Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama


Janamejaya menggantikan tahtanya. Pada waktu itu beliau masih
kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian, dan wajah
yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan
Kasi, bernama Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan
adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap musuh pasti dapat
ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila,
Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya
yang benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa
penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.

Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya


membenarkan cerita Sang Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk
mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga
Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan
upacara dan mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk
membantu proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan upacara
tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang
Astika untuk menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima
tugas tersebut lalu pergi ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-
nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja membatalkan
upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap
Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon
diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari
upacara tersebut.

Wesampayana menuturkan Mahabharata

Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna,


meminta Bagawan Byasa untuk menceritakan kisah leluhurnya,
sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di Kurukshetra.
Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan
Wesampayana disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa,
penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai
keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan
sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir,
kisah Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah
silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah
leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati,
Puru, Kuru), kemudian kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.

Garis keturunan Maharaja Yayati


Silsilah Dinasti Kuru dan Yadu

Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru


dan Yadu bernama Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri,
namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani melahirkan Yadu dan
Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru.
Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru
disebut Paurawa.[1]

Priyamba
Nahusa
da
Yayat Sarmis
Dewayani
i ta

Turwa An
Yadu Druhyu Puru
su u

Yadu Puru
menurunkan menurunkan
wangsa wangsa
Yadawa Paurawa

Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta,


menikahi Sakuntala, yang kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang
Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya kemudian dikenal
sebagai Bharatawarsha[1]. Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata.
Dalam Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah
tempat yang disebut Kurukshetra, kemdian menurunkan Kuruwangsa,
atau Dinasti Kuru[1].

Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi


tahta Hastinapura. Prabu Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi
Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma, sedangkan
Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena
Chitrāngada wafat di usia muda dan Bhisma bersumpah tidak akan
mewarisi tahta, maka Wicitrawirya melanjutkan pemerintahan
ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika dan
Ambalika. Dari Ambika lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah
Pandu. Drestarastra memiliki seratus putera yang disebut Korawaçata
(seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang disebut
Panca Pandawa (lima putera Pandu).

Puru

Wangsa
Paurawa

Generasi
Paurawa

Sakuntal
Duswanta
a

Bharata Watsa

Keluarga
Bharata

Yasodari Hasti

Para Raja
Hastinapu
ra
Kuru Yamadi

Dinasti
Kuru

Sunanda Pratipa

Gang
Santanu Satyawati
ga

Bism Citrāngg Ambali


Wicitrawirya Ambika
a ada ka

Pand Dretaras Gand


Madri Kunti
u tra ari

Pandaw
Korawa
a
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya

Prabu Santanu jatuh cinta kepada Satyawati, anak nelayan (dilukis


oleh Raja Ravi Varma)

Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah


satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura.
Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha dari Kerajaan
Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut,
Santanu dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi
Gangga, kemudian berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain
ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya
yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh
Sang Raja. Puteranya tersebut bernama Dewabrata, namun di
kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah sekali lagi
dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati
melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia
muda pada suatu pertempuran melawan seorang Raja Gandharva,
pemerintahannya digantikan oleh adiknya, Wicitrawirya[1]. Wicitrawirya
menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah
pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan,
kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh
Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta
sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah
Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara
tersebut melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit
pincang[1]. Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus
putera yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti
melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan
Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.

Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa

Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura.


Bagawan Drona mendidik mereka semasa kanak-kanak, bersama
dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu mereka diasuh
pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat,
kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan.
Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak mencalonkan
Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap
iri hati dalam diri Duryodana, salah satu Korawa. Tingkah laku Bima
yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering membuat
Duryodana dan adik-adiknya kesal.

Terbakarnya rumah damar

Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk


dapat meneruskan tahta Dinasti Kuru apabila sepupunya masih ada.
Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau yang
dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan
yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul
dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta ibunya.

Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan


mengangkat Yudistira sebagai putra mahkota tetapi ia langsung
menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak
memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri
hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima
beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh
mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat
bangunan yang megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka
berlibur dan akan membakar bagunan itu di tengah malam pada saat
pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah
direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan
paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah
diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan
ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah
berwaspada terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya
Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan diri ke
hutan rimba.

Pandawa mendapatkan Dropadi

Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan


Raja Drupada di Kerajaan Panchala. Sayembara tersebut
memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru
Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai
seorang Brāhmana. Sebuah sasaran diletakkan di tengah-tengah
arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut dengan
tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu
ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah
dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut serta, ia berhasil
memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk
menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih
rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal terhadap Dropadi.

Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian
seperti Brāhmana. Ketika ia tampil ke muka, ia berhasil memanah
sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi miliknya. Namun
hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak
pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan
ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi dengan para ksatria di sana,
sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan Dropadi ke rumah
mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang
membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak
melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata,
"Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia menoleh,
alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa
hasil meminta-minta, namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak
mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk berbagai istri[1].

Arjuna mengasingkan diri ke hutan

Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka


juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang
bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa.
Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan
selama 12 tahun.

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di


Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa
pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna yang merasa
memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil
senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana
Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi
kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak
mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di
kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani
pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut
dengan ikhlas.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi


penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Selama masa
pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah:
Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya
dengan Subadra anaknya bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya
bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya bernama Babruwahana.

Kisah lain dalam Kitab Adiparwa

Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan


kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai,
sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan
meloncat-loncat[1].

Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita


yang penting atau akhir kisahnya.

Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya

Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di


Ayodhya. Ia memiliki 3 murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang
Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji kesetiaannya oleh Sang
Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang
Arunika merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang
tumbuh, datanglah hujan membawa air bah yang kemudian merusak
pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak
tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air.
Berkali-kali usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia
merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk
menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan
anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang


Utamanyu tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia
sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang
digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang
Utamanyu menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan
dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak tahu jalan
sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang
Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika
dicari, didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur.
Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang Utamanyu.
Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan
mantra sakti yang mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan
Dhomya.

Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk


menyediakan hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu
menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala
perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda
dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan
kecerdasan.

Kisah Sang Winata dan Sang Kadru

Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa,


putera bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan
daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama:
Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira,
Parwa, Mregi, Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri
tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki anak. Mereka berdua
kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru
memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua
anak. Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu
butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua
puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.

Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan
lahirlah para Naga. Yang terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang
Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang Kadru sudah
menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak
sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang
anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap
sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah
karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian
mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru berlebih-
lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan
ibunya dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang
Aruna, karena tidak memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais
(kuir) kereta Dewa Surya[1].

Kisah pemutaran Mandaragiri

Kurma Awatara sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri


Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa
mengadakan rapat untuk mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang
Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut berada di dasar
laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan
tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira.
Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut gunung Mandara
(Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung
tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar
menjadi penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung
tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya, sedangkan
rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di
puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.

Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi


Sri, Dewi Lakshmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya
berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah Dhanwantari
membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta
tersebut menjadi milik mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat
bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para Dewa memikirkan
cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah
wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para
rakshasa dan detya. Para rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi
terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita cantik
itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali
menjadi Dewa Wisnu.

Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian


terjadilah pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya.
Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya. Senjata
chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para
rakshasa-detya. Banyak dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-
luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut dan masuk ke dalam
tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.

Kisah Sang Garuda dan para Naga

Lukisan Garuda karya I Made Tlaga, seniman Bali, abad ke-19.


Sekarang lukisan ini disimpan di Universitas Leiden.

Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri
Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda
bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau
Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut
putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda
tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena
berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya
salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan
warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-
anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan
kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun
cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-
anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya
warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk
melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas.
Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan
api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja
Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan
perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda
Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam.
Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata
harus menjadi budaknya.

Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah
burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang
Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati
ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang
Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga
sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu
menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus
perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu
membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan
dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.

Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan


dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin
mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang
Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah
kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak
selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti
daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati,
sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah
yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu
untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-
panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga
akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda
terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta
tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan
bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai
mandi.

Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang
ingin segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan
bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih
dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan,
tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena
dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya
mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun
ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya
tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat
tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena
merasa sudah menebus perbudakan ibunya.

Bahasa dan sejarah


Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula
dituliskan dalam bahasa Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci
bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat kapan persisnya kisah ini
masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam
bagian pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin
ke dalam bahasa Jawa kuna atau juga dikenal sebagai bahasa Kawi
pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (kerajaan Kediri,
tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).

Adiparwa versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan
diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1990

Pengaruh dalam budaya

Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa


Jawa Kuno atau Bahasa Kawi, banyak digubah menjadi cerita
pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa
Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon
pewayangannya, yang kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi
kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa.[2] Hal ini disebabkan
oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah
alam pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India
menjadi Jawa Asli[2]. Jika Hastinapura sebenarnya terdapat di India,
maka nama-nama seperti Jonggringsalaka, Pringgandani, Indrakila,
Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa[2].

Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi


aslinya mereka terdiri dari lima orang, maka dalam pewayangan
mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono dalam
artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan
Pewayangan Jawa”, ia menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita
tentang Pancawala antara kitab Mahabharata dengan cerita dalam
pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di
tanah Jawa[3]. Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam
kitab Adiparwa. Jika dalam Adiparwa ia bersuami lima orang, maka
dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh Islam) Dropadi
hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang
wanita tidak boleh memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita
Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi asli yang bercorak Hindu
menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga
ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan
ajaran Islam[3]. Pancawala yang sebenarnya merupakan lima putera
Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang merupakan putera
Yudistira saja[3].

Sabhaparwa

Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan


alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus
masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar
selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka
berjudi dan kalah dari Duryodana.

Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa

Niat licik Duryodana dan Sangkuni

Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung


memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan
yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana
milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya.
Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa,
namun dicegah oleh Sangkuni.

Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia


tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku
adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah
dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas
nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu
denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda
impikan".

Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama


Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk
mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan
sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin
mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun
karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka
Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.

Pandawa dan Korawa main dadu

Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu
dengan Korawa
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai
ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di
Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi
undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan
pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di
Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh
Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian
menuju ke arena perjudian.

Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik.


Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena
sering terjadi tipu-menipu sesama lawan". Setelah mendengar
perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Ma'af paduka Prabu. Saya
kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab
kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka
kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika
Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia
karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika
rencana ini kita jalankan?"

Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni.


Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana
yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau
diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira.
Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.

Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah.


Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal.
Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan.
Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan
prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan
kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan
dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan,
Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia
juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan
Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik
Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.

Dropadi dihina di muka umum

Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi,


namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena
mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna

Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya


menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi,
nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga
dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam
membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan
rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi
Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun
mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun
Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena
Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk
menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat
peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi.
Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk
menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh
Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis
dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi,
tempat suami dan para iparnya berkumpul.

Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak


mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak.
Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang
melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah,
memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar
Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua
yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena
tersinggung dan malu.

Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada
Dropadi, berkata, "Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di
antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka
perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu
bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu
muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah
memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan
kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi
Dropadi tidak sah!"

Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya.


Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei
Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-
orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih
bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang.
Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua?
Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan
Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami
sampai lima orang?"

Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena


sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta
untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak.
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi.
Dropadi berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri
Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi
secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi,
sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang
dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana
menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna
disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna
pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

Pandawa dibuang ke tengah hutan

Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak


dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum
darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan
serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra
mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia
segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta
Dropadi.
Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu,
segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi
kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan
gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha".

Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta


istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan
ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih,
Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah,
maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan
rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil
kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya
adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12
tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-
13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-
14, barulah boleh kembali ke istana.

Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana


untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai
dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya
mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama
12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa
penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk
memperoleh kerajaannya.

Sabhaparwa di Indonesia

Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.

Wirataparwa

Wirataparwa menceritakan kisah ketika para Pandawa harus


bersembunyi selama setahun setelah mereka dibuang selama
duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan di
Wanaparwa.

Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka


ketahuan, maka harus dibuang selama 12 tahun lagi. Di sana sang
Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka.
Sang Werkodara menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat
bernama Balawa. Lalu sang Arjuna menyamar sebagai seorang wandu
yang mengajar tari dan nyanyi. Sang Nakula menjadi seorang
penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala sapi. Lalu
Dewi Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.

Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin
menikahinya. Tetapi ia ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa
membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran mereka
ketahuan.

Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari
negeri Astina. Para Pandawa berperang melawan mereka, membela
Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan. Tetapi mereka
sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.

Udyogaparwa

Dalam Udyogaparwa, buku kelima Mahabharata ini sang Kresna


berperan sebagai duta untuk menengahi konflik antara para Korawa
dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil dan akhirnya
akan menjadi perang Bharatayuddha.
Bhismaparwa

Para Raja dan Ksatria meniup terompet kerang mereka tanda


pertempuran akan segera dimulai

Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata


karena kitab keenam ini mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam
Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan, pasukan Korawa
dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum
Bharatayuddha dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna
berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun bisa melihat bala tentara
Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih
karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi
Arjuna teringat bagaimana mereka pernah dididik bersama-sama
sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain sebagai
musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya
ini disebut dengan nama Bhagawad Gita atau "Gita Sang Bagawan",
artinya adalah nyanyian seorang suci.
Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para
Pandawa dan Korawa. Bisma mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia
bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu ia memilih
untuk tetap tidur terbentang saja pada "tempat tidur panahnya"
(saratalpa) sampai perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena
panah banyak sekali sampai ia terjatuh tetapi tubuhnya tidak
menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.

Ringkasan isi Kitab Bhismaparwa

Janamejaya bertanya, "Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru,


Pandawa, dan Somaka, beserta para rajanya yang berasal dari
berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk bertempur?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Wesampayana menguraikan dengan


detail, kejadian-kejadian yang sedang berlangsung di medan perang
Kurukshetra.

Suasana di medan perang, Kurukshetra

Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi


daratan Kurukshetra. Para Raja terkemuka pada zaman India Kuno
seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja, Bahlika, Salya, Wirata,
Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit, Kuntibhoja,
dan lain-lain turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran
tersebut. Bisma, Sang sesepuh Wangsa Kuru, mengenakan jubah putih
dan bendera putih, bersinar, dan tampak seperti gunung putih. Arjuna
menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dan
dikemudikan oleh Kresna, yang mengenakan jubah sutera kuning.

Pasukan Korawa menghadap ke barat, sedangkan pasukan Pandawa


menghadap ke timur. Pasukan Korawa terdiri dari 11 divisi, sedangkan
pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi. Pandawa mengatur pasukannya
membentuk formasi Bajra, formasi yang konon diciptakan Dewa Indra.
Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa,
dan formasinya lebih menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh
Drona, Bisma, Aswatama, Bahlika, dan Kripa yang semuanya ahli
dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh formasi, para
Raja merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya.
Yudistira sempat gemetar dan cemas melihat formasi yang
kelihatannya sulit ditembus tersebut, namun setelah mendapat
penjelasan dari Arjuna, rasa percaya dirinya bangkit.

Turunnya Bhagawad Gita

Sebelum pertempuran dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet


kerangnya yang menggemparkan seluruh medan perang, kemudian
disusul oleh para Raja dan ksatria, baik dari pihak Korawa maupun
Pandawa. Setelah itu, Arjuna menyuruh Kresna yang menjadi kusir
keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya
Arjuna bisa melihat siapa yang sudah siap bertarung dan siapa yang
harus ia hadapi nanti di medan pertempuran.

Di tengah medan pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya,


teman, saudara, ipar, dan kerabatnya berdiri di medan pertempuran,
siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna menjadi lemas setelah melihat
keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka semua. Ia ingin
mengundurkan diri dari medan pertempuran.

Arjuna berkata, "Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan


dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk
bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya
gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika
membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita
membunuh para putera Dretarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna,
suami Lakshmi Dewi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana
mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita
sendiri?"

Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana
yang salah, Kresna mencoba untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang
menjadi kusir Arjuna, memberikan wejangan-wejangan suci kepada
Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Kresna juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna,
agar segala keraguan di hatinya sirna, sehingga ia mau melanjutkan
pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya
kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.

Wejangan suci yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian


disebut Bhagavad Gītā, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Ajaran tersebut
kemudian dirangkum menjadi kitab tersendiri dan sangat terkenal di
kalangan umat Hindu, karena dianggap merupakan pokok-pokok
ajaran Hindu dan intisari ajaran Veda.

Penghormatan sebelum perang oleh Yudistira

Setelah Arjuna sadar terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan


pertarungan karena sudah mendapat wejangan suci dari Kresna, maka
pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat busur panahnya
yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita.
Pasukan kedua pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan
terompet tanduk, memukul tambur dan genderang. Para Dewa, Pitara,
Rishi, dan penghuni surga lainnya turut menyaksikan pembantaian
besar-besaran tersebut.

Pada saat-saat menjelang pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira


melepaskan baju zirahnya, meletakkan senjatanya, dan turun dari
keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke arah pasukan
Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para
Pandawa mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun
Yudistira diam membisu, hanya terus melangkah. Di saat semua pihak
terheran-heran, hanya Kresna yang tersenyum karena mengetahui
tujuan Yudistira. Pasukan Korawa penasaran dengan tindakan
Yudistira. Mereka siap siaga dengan senjata lengkap dan tidak
melepaskan pandangan kepada Yudistira. Yudistira berjalan
melangkah ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia
menjatuhkan dirinya dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat
dihormatinya.

Yudistira berkata, “Hamba datang untuk menghormat kepadamu, O


paduka nan gagah tak terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka
dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka dalam hal ini, dan
kami pun memohon doa restu paduka”.

Bisma menjawab, “Apabila engkau, O Maharaja, dalam menghadapi


pertempuran yang akan berlangsung ini engkau tidak datang
kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan Bharata, agar
menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan
dapatkan kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin
kaucapai dalam pertempuran ini? Pintalah suatu berkah dan restu, O
putera Pritha. Pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku itu
pastilah, O Maharaja, kekalahan tidak akan menimpa dirimu. Orang
dapat menjadi budak kekayaan, namun kekayaan itu bukanlah budak
siapa pun juga. Keadaan ini benar-benar terjadi, O putera bangsa Kuru.
Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah mengikat diriku...”

Setelah Yudistira mendapat doa restu dari Bisma, kemudian ia


menyembah Drona, Kripa, dan Salya. Semuanya memberikan doa
restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan mendoakan agar
kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat doa restu
dari mereka semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap
untuk memulai pertarungan.

Yuyutsu memihak Pandawa

Setelah tiba di tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua


pasukan yang saling berhadapan, Yudistira berseru, “Siapa pun juga
yang memilih kami, mereka itulah yang kupilih menjadi sekutu kami!”

Setelah berseru demikian, suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara


pasukan Korawa terdengar jawaban yang diserukan oleh Yuyutsu.
Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa, Yuyutsu berseru, ”Hamba
bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan
paduka sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun
apabila paduka raja berkenan menerima! Demikianlah, O paduka Raja
nan suci!”

Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua


ingin bertempur menghadapi saudara-saudaramu yang tolol itu! O
Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami lima bersaudara
menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa,
berjuanglah bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan
Dharma! Rupanya hanya anda sendirilah yang menjadi penerus garis
keturunan Dretarastra, sekaligus melanjutkan pelaksanaan upacara
persembahan kepada para leluhur mereka! O putera mahkota nan
gagah, terimalah kami yang juga telah menerima dirimu itu!
Duryodana yang kejam dan berpengertian cutak itu segera akan
menemui ajalnya!”

Setelah mendengar jawaban demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan


Korawa dan bergabung dengan para Pandawa. Kedatangannya
disambut gembira. Yudistira mengenakan kembali baju zirahnya,
kemudian berperang.

Pembantaian Bisma

Pertempuran dimulai. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap.


Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai.
Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan membinasakan
apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut
dan menyuruh paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba
menyerang Bisma dan para pengawalnya. Namun usaha para ksatria
Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.
Putera Raja Wirata, Uttara dan Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di
hari pertama. Kekalahan di hari pertama membuat Yudistira menjadi
pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan sesungguhnya
akan berada di pihak Pandawa.

Duel Arjuna dengan Bisma

Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang


didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma
dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling
Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga
meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak
membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian
besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu
seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit.
Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan
mematahkan panahnya berkali-kali. Duryodana mengirim pasukan
bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun
serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua.
Setyaki yang bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma
sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma
menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat
kekalahan.

Habisnya kesabaran Kresna

Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin menghabisi Bisma dengan


tangannya sendiri, namun dicegah oleh Arjuna

Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa


membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai
panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana
melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan
lagi. Sementara itu para Pandawa mengantisipasinya dengan
membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna sebagai
pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan
penyerangannya kepada Arjuna, namun banyak pasukan Korawa yang
tak mampu menandingi kekuatan Arjuna. Abimanyu dan Setyaki
menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara
milik Sangkuni. Bisma yang terlibat duel sengit dengan Arjuna, masih
bertarung dengan setengah hati. Duryodana memarahi Bisma yang
masih segan untuk menghabisi Arjuna. Perkataan Duryodana membuat
hati Bisma tersinggung, kemudian ia mengubah perasaanya.
Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma
sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna
masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna
menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah
tak bisa bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku
sendiri," lalu ia mengambil chakra-nya dan berlari ke arah Bisma.
Bisma menyerahkan dirinya kepada Kresna dengan pasrah. Ia merasa
beruntung jika gugur di tangan Kresna. Arjuna berlari mengejarnya dan
mencegah Kresna untuk melakukannya. Arjuna memegang kaki
Kresna. Pada langkah yang kesepuluh, Kresna berhenti.

Arjuna berkata, “O junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka


tempat kami berlindung. Baiklah, hari ini hamba bersumpah, atas
nama dan saudara-saudara hamba, bahwa hamba tidak akan menarik
diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik Dewa Indra,
atas perintah paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan
bangsa Kuru!”

Mendengar sumpah tersebut, Kresna puas hatinya. Kemarahannya


mereda, namun masih tetap memegang senjata chakra. Kemudian
mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan banyak
pasukan Korawa.

Keberanian Bima

Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan


keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk
bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang.
Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul
pada saat yang genting tersebut lalu menyerang para kstria Korawa
dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan pasukan gajah untuk
menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke
arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu
dengan gada baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah
pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria Korawa dan
membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan
tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa
sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati bahwa tidak
ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu
menyuruh pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana kehilangan
banyak saudara-saudaranya.

Perbantaian terus berlanjut

Pada hari kelima, pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa


dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bima berada di
garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya.
Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak
untuk bertarung dan pergi. Sementara itu, Setyaki membinasakan
pasukan besar yang dikirim untuk menyerangnya. Pertempuran
dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas
dan kemudian Setyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi
genting. Melihat hal itu, Bima datang melindungi Setyaki dan
menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan
membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk
menyerangnya.

Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke


hari selama pertempuran berlangsung. Hari keenam merupakan hari
pembantaian yang hebat. Drona membantai banyak prajurit di pihak
Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak
pecah. Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera
Dretarastra. Putera Arjuna — Irawan — terbunuh oleh para Korawa.
Pada hari kesembilan Bisma menyerang pasukan Pandawa dengan
membabi buta. Banyak laskar yang tercerai berai karena serangan
Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari Bisma, pendekar
tua nan sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar
berlari ke arah Bisma. Arjuna dan Bisma terlibat dalam pertarungan
sengit, namun Arjuna bertarung dengan setengah hati sementara
Bisma menyerangnya dengan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali
lagi Kresna menjadi marah. Ia ingin mengakhiri riwayat Bisma dengan
tangannya sendiri. Ia meloncat turun dari kereta Arjuna, dengan mata
merah menyala tanda kemarahan memuncak, bergerak berjalan
menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna
membidik Bisma. Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun
semakin merasa bahagia jika gugur di tangan Kresna. Melihat hal itu,
Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk
menghentikan langkahnya.

Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa


(Kresna), janganlah paduka memalsukan kata-kata yang telah paduka
ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji bahwa tidak
akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka
melanjutkan niat paduka, orang-orang akan mengatakan bahwa
paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini, hambalah
yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek
yang terhormat itu!...”

Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi


dengan menahan kemarahan ia naik kembali ke atas keretanya. Kedua
pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.
Gugurnya Bisma

Resi Bisma tidur di "ranjang panah" (saratalpa)

Para Pandawa tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkan Bisma.


Pada malam harinya, Pandawa menyusup ke dalam kemah Bisma.
Bisma menyambutnya dengan doa restu. Pandawa menjelaskan
maksud kedatangannya, yaitu mencari cara untuk mengalahkan
Bisma. Kemudian Bisma membeberkan hal-hal yang membuatnya
tidak tega untuk berperang. Setelah mendengar penjelasan Bisma,
Arjuna berdiskusi dengan Kresna. Ia merasa tidak tega untuk
mengakhiri riwayat kakeknya. Kemudian Kresna mencoba
menyadarkan Arjuna, tentang mana yang benar dan mana yang salah.

Pada hari kesepuluh, pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di


garis depan. Srikandi menyerang Bisma, namun ia tidak dihiraukan.
Bisma hanya tertawa kepada Srikandi, karena ia tidak mau menyerang
Srikandi yang berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma
menghindari Srikandi, Arjuna memanah Bisma berkali-kali. Puluhan
panah menancap di tubuh Bisma. Bisma terjatuh dari keretanya.
Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja hari. Kedua
belah pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi
Bisma yang berbaring tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh
panah-panah. Bisma menyuruh para ksatria untuk memberikannya
bantal, namun tidak satu pun bantal yang mau ia terima. Kemudian ia
menyuruh Arjuna memberikannya bantal. Arjuna menancapkan tiga
anak panah di bawah kepala Bisma sebagai bantal. Bisma merestui
tindakan Arjuna, dan ia mengatakan bahwa ia memilih hari kematian
ketika garis balik matahari berada di utara.

Asramawasanaparwa

Asramawasanaparwa adalah nama dalam bahasa Jawa kuna untuk


menyebut kitab Asramawasikaparwa. Dalam naskah-naskah manuskrip
Jawa, buku ini biasanya digabung dengan Mosalaparwa,
Prasthanikaparwa dan Swargarohanaparwa menjadi
Caturasramawasaparwa.

Mosalaparwa
Para pemuda membawa Samba yang menyamar sebagai wanita hamil
ke hadapan para resi.
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri
kitab Mahabharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para
Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka
(Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga
menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.

Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah


memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Ia telah melihat
tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu
bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama
dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan
berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa,
dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang
minum minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana

Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke


Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk
mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna
dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu
dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian
salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang
Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi
yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian
mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau
perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi
marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan
Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan,
melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!"
(mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada


besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu
kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari
senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi
kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya
dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang
minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut
kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman
seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan
pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh
seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada
seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan
potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan
besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa

Perkelahian antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di


Prabhasatirtha.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan,


datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk.
Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan
perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan
upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa
tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak
sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma,
kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau
telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan
Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau
lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari
Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki.
Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh
Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan
laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki
mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan
Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki.
Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah
beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan
Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan
menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang
tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman
tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai
senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling
membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan
anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna
menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran
mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam
rumput eruka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak
kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia
melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa
yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri
riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di


Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan
beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan
Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana
yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau
mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah menyaksikan
kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata
kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di
dalam hutan. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang
masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberitahu berita
kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.

Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga


dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan
naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna
mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia
berbaring di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara
tidak sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong besi
yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika sadar
bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta ma'af
kepada Kresna. Kresna tersenyum dan berkata, "Apapun yang akan
terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan hidupku". Sebelum
Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi
ke Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa
Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna
wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.

Hancurnya Kerajaan Dwaraka

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para


keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah
binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan
hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih
tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak
ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju
Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah


sepi. Ia juga berjumpa dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para
suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna melindungi
mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang
lunglai. Setelah menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa
mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna
mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke
Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota
Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia
wafat.

Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang


oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh
lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa
takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang
berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di
Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.

Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui


kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta
Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk
meninggalkan kehidupan duniawi.

Prasthanikaparwa

Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku


Mahabharata yang ketujuh belas. Dalam buku ini diceritakan
bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri
dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini
karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para Pandawa dan
Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.
Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa

Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura

Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi

Akhirnya prabu Yudistira ditemani seekor anjing dan mendengar suara


dari angkasa yang berkata akan mengangkatnya ke surga tanpa harus
meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga diperbolehkan ikut.
Hal ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan
akhirnya dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin
mengetesnya.

Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat saudara-saudaranya dan


dewi Dropadi, ternyata mereka berada di neraka. Lalu beliau menuntut
supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan sorga adalah sia-sia
tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di
buku ke 18 Swargarohanaparwa

Swargarohanaparwa

Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam


buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke
surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga
dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya,
para Pandawa dan dewi Dropadi.

Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat


saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba
sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada
berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah
berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa
pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih
banyak, sehingga beginilah hukumannya.

Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa

Kuñjarakarna

Naskah nipah Kuñjarakarna yang disimpan di Universitas Leiden


sebagai naskah Orientalis 2266, halaman 1 verso
Kuñjarakarna adalah sebuah teks prosa Jawa Kuna yang menceritakan
seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita
ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.

Ringkasan

Pada suatu hari Kuñjarakarna bertapa di gunung Mahameru supaya


pada kelahiran berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia
berparas baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana.

Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di


sana ia mendapat kabar bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal
dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.

Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi.


Akhirnya ia diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya
terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali ke bumi dan
berpamitan dengan istrinya.
Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya
ratusan tahun. Lalu ia diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan
bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di lereng gunung
Mahameru.

Amanat cerita: barangsiapa mendengarkan dan tahu akan hukum


dharma, maka ia akan diselamatkan.

Contoh teks cerita

Jawa Kuna[1] Terjemahan tan asuwé ring awan, Maka tak lama mereka
berada di jalan dhateng ta ya ring bumipata<l>a, hana ta ya srijati
dumilah sadakala lonya sêndriya, sêndriya ngaranya, sôlih ing mata
tumingal, hana ta babahan kapanggiha denira sang Kuñjarakarna,
inĕbnya tambaga, lereganya salaka, tuwin ku<ñ>cinya mas, Dan
sampailah di dunia bawah. Maka adalah sebuah pohon jati yang
senantiasa menyala. Tebal batangnya satu indera. Maksudnya hanya
satu pemandangan mata. Lalu sang Kuñjarakarna melihat ada pintu,
panelnya dari tembaga, lacinya dari perak, dan kuncinya dari emas.
ta<m>bak lalénya w<e>si, ikang hawan sad<e>pa saroh lonya,
temboknya dari besi, jalannya selebar satu depa dan satu roh inurap
rinata-rata ginomaya ring tahining le<m>bu kanya, dibersihkan,
diratakan dan dibersihkan dengan tinja sapi perawan betina tinaneman
ta ya handong bang, kayu puring, kayu masedhang asinang, winoran
asep dupa, mrabuk arum ambunika sinawuran kembang ura, pinujan
kembang pupungon, diberi tanaman andong merah, puring dan pohon-
pohon yang sedang berbunga harum. Berbaurlah dengan asap dupa,
harum semerbuk dan ditebar dengan bungan sebaran. Bunga-bunga
yang sedang berkembang diberikan sebagai kehormatan ya ta
matanyan maruhun-ruhunan ikang watek papa kabèh winalingnya
itulah sebab para orang berdosa berbondong-bondong semua. Salah
pikiran mereka, dalan maring swarga ri hidhepnya dikira jalan menuju
ke sorga.

Bahasa Kawi

Bahasa Kawi adalah suatu jenis bahasa yang pernah berkembang di


Pulau Jawa pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan dipakai
dalam penulisan karya-karya sastra. Dalam tradisi Jawa, bahasa Kawi
juga disebut dengan istilah bahasa Jawa Kuna. Meskipun demikian,
bahasa Kawi sendiri bukan bahasa Jawa Kuna murni, karena telah
mendapat pengaruh bahasa Sansekerta.

Istilah kawi sendiri bermakna "penyair". Sedangkan karya sastra yang


dihasilkan oleh Sang Kawi disebut dengan nama kakawin. Biasanya
kakawin berupa rangkaian puisi yang mengikuti pola-pola tertentu.
Krama

Krama adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa.


Bahasa ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa.
Pemakaiannya kurang baik untuk berbicara dengan orang yang
dihormati atau orang yang lebih tua.

Terdapat 2 Jenis Bahasa Krama yakni, Krama inggil alus dan krama
madya. Krama Inggil merupakan bahasa jawa yang paling tinggi, biasa
digunakan untuk menghormati orang-orang yang lebih tua atau lebih
berilmu. sedangkan krama madya adalah bahasa jawa yang setingkat
berada dibawah krama inggil, biasa digunakan kepada orang yang
setingkat namun untuk menunjukkan sikap yang lebih sopan.

Contoh dari bahasa ngoko

• Angka dalam bahasa Jawa krama

Ngoko

Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa
ini paling umum dipakai di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya
dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati atau orang
yang lebih tua.

Contoh dari bahasa ngoko

• Angka dalam bahasa Jawa ngoko


Sastra Jawa Pertengahan

Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari


abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa
Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.

Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum


Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.

Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa

1. Tantu Panggelaran
2. Calon Arang
3. Tantri Kamandaka
4. Korawasrama
5. Pararaton

Tantu Panggelaran

Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan


tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa dan segala aturan
yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa
Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat
penting telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.

Perkembangan kisah

Perkembangan kisah dalam Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi


beberapa Babak:

1. Awal Keberadaan Pulau Jawa


Pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan
khaotis, karena pulau Jawa selalu bergoncang (bandingkan dengan
batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh karena itu,
pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak
bergoncang lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang
khaotis ini adalah Gunung Dihyang (atau Gunung Dieng, lihat artikel
tentang Gunung Dieng). Proses pengaturannya berjalan sebagai
berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung
Semeru) dari India dan ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa.
Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit dan sebelah
timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa
memindahkannya ke sebelah timur, tetapi dalam perjalanan
pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut berceceran
di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi,
Arjuna, Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan
pulau Jawa tidak bergoncang lagi.

2. Penciptaan Manusia

Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Batara Guru ingin membuat
manusia sebagai penghuni pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan
Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia. Mereka
menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk
manusia berdasarkan rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-
laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan, yang kemudian
kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka
hidup saling mengasihi.

3. Proses Terjadinya Peradaban Manusia

Pada mulanya manusia telanjang karena tidak dapat membuat


pakaian, tidak tinggal di dalam rumah, tidak dapat berbicara, oleh
karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang tinggal di
pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi
tugas oleh Batara Guru untuk "memberi pelajaran" kepada manusia,
supaya mereka dapat membuat pakaian, membuat rumah, dapat
berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para dewa mengajar
manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang dikutip
dari kitab Tantu Panggelaran untuk Babak ini:

Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru):

• Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah


benda-benda tajam, misalnya: panah, parang, pahat, pantek,
kapak, beliung, segala pekerjaan manusia. Engkau akan disebut
pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu
di tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu)
kedua kakimu mengapit dan menggembleng, besi anak panah
dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki, maka
dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-
besi, karena ibu jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh
karena itu, tukang pandai-besi disebut empu, karena ibu jari
kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada
anakku.

• Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau


Jawa membuat rumah, biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu,
engkau dinamai Hundahagi (membangun).

• Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia


ajaran berkata-kata dengan bahasa, apalagi ajaran tentang
Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan Pancasiska (lima
hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala
desa, sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa.
• Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah
segala perintahmu dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu
ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru manusia, hendaknya
engkau menguasai bumi.

• Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa.


Hendaknya engkau menjadi tukang pandai emas dan pembuat
pakaian manusia.

• Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai


perhiasan, serta membuat hiasan yang serupa dengan ciptaan,
menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu engkau
akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.

Analisis

Tantu Panggelaran berisi tentang etiologi alam semesta. Tantu


Panggelaran ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
etiologis, misalnya, mengapa ada gempa bumi, mengapa ada gerhana
matahari, mengapa ada gunung-gunung yang tersebar di pulau Jawa,
mengapa ada manusia di pulau Jawa, mengapa ada biji hijau, hitam,
putih, tetapi tidak ada biji kuning, mengapa ada bahasa, mengapa
manusia membuat rumah, pakaian, dsb. Pertanyaan-pertanyaan
etiologis ini dijawab dalam cerita Tantu Panggelaran. Cerita yang
menjawab pertanyaan etiologis ini banyak terdapat dalam dunia
oriental kuna. Contoh yang paling mudah didapat adalah di dalam
kitab suci umat Kristen (Alkitab). Di sana diceritakan juga, bahwa
manusia dibuat dari tanah liat dan menurut rupa Tuhan, manusia
semula berbahasa satu dan berkumpul bersama di Babel membangun
menara (lihat artikel Zikkurat dalam Wiki Inggris), yang kemudian
menyebar ke seluruh penjuru bumi, dan pertanyaan-pertanyaan
etiologis banyak dijawab dalam mitos-mitos tersebut.
Selain itu cerita ini mementingkan proses pengaturan alam semesta,
dari dunia yang khaos menjadi dunia yang teratur (kosmos). Hal ini
juga dapat ditemui dalam cerita-cerita orientalis kuna. Para Dewa
sangat menghargai dunia yang teratur. Motif ini dijumpai dari cerita-
cerita Yunani kuna sampai cerita-cerita India.

Juga terdapat motif "pembangunan masyarakat beradab" atau cerita


etiologis tentang munculnya peradaban manusia. Hal ini juga dapat
dibandingkan dengan Kodex Hammurabi di Babilonia yang berisi
hukum-hukum bagi keteraturan masyarakat setempat.

Di samping itu terdapat perbedaan teologis antara cerita Jawa


Pertengahan ini dengan teologi Hindu di India. Di dalam kisah ini
diceritakan bahwa Batara Guru adalah ayah dari dewa-dewa yang
lainnya.

Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini
juga terdapat dalam dunia teologis orientalis. Ishak dipersembahkan di
gunung Moria (Yerusalem). Zarathustra atau Zoroaster ketika
berkotbah juga naik ke gunung. Firaun membuat piramida yang juga
melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga
membuat punden berundak-undak yang juga melambangkan gunung.

Calon Arang

Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali
dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini.
Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di
Bijdragen Koninklijke Instituut.
Kisah

Diceritakan bahwa Calon Arang adalah seorang janda penguasa ilmu


hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan
datangnya penyakit. Ia mempunyai seorang puteri bernama Ratna
Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang
suami karena orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang
dihadapi puterinya, Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas
dendam dengan menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa
ke sebuah kuil untuk dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya,
banjir besar melanda desa tersebut dan banyak orang meninggal
dunia. Penyakit pun muncul.

Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta


bantuan penasehatnya, Empu Baradah untuk mengatasi masalah ini.
Empu Baradah lalu mengirimkan seorang muridnya bernama Empu
Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya menikah besar-
besaran dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh malam, dan
keadaan pun kembali normal.

Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada
suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang
menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang
mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan
memutuskan untuk melawan Empu Baradah. Tanpa bantuan Dewi
Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan, desa tersebut pun
aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.
Perkembangan kisah

Cerita ini dapat dibagi dalam beberapa babak:

Prolog

Pada mulanya suasana di wilayah Kerajaan Daha (Kadiri) sangat


tentram. Raja di Daha bernama Airlangga. Di sana hidup seorang
janda, yang bernama Calon Arang, yang mempunyai anak yang cantik,
yang bernama Ratna Manggali. Mereka berdua tinggal di desa Girah, di
wilayah Kerajaan Daha.

Awal Permasalahan

Meskipun cantik, banyak pria di kerajaan tersebut yang tidak mau


meminangnya. Ini disebabkan oleh ulah ibunya yang senang
menenung. Hal ini menyebabkan kemarahan Calon Arang. Oleh sebab
itulah dia membacakan mantra tulah, sehingga muncul mala-petaka
dahsyat melanda desa Girah, dan pada akhirnya melanda Daha. Tulah
tersebut menyebabkan banyak penduduk daerah tersebut sakit dan
mati. Oleh karena tulah tersebut melanda Daha, maka Raja Airlangga
marah dan berusaha melawan. Namun kekuatan Raja tidak dapat
menandingi kesaktian Calon Arang, sehingga Raja memerintahkan
Empu Baradah untuk melawan Calon Arang.

Siasat Empu Baradah

Untuk mengalahkan Calon Arang, Empu Baradah mengambil siasat.


Dia memerintahkan muridnya, Bahula, untuk meminang Ratna
Manggali. Setelah menjadi menantu Calon Arang, maka Bahula
mendapatkan kemudahan untuk mengambil buku mantra Calon Arang
dan diberikan kepada Empu Baradah.

Epilog

Setelah bukunya didapatkan oleh Bahula, Calon Arang pun ditaklukkan


oleh Empu Baradah.

Analisis

Seringkali di dalam dunia cerita ini hanya disoroti tentang kekejaman


dan kejahatan Calon Arang. Dia digambarkan sebagai nenek sihir yang
mempunyai wajah yang seram. Namun dewasa ini muncul analisis-
analisis yang lebih berpihak kepada Calon Arang. Dia adalah korban
masyarakat patriarkal pada zamannya. Cerita Calon Arang merupakan
sebuah gambaran sekaligus kritik terhadap diskriminasi kaum wanita.

Pararaton

Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-


Raja"), adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang
digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32
halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah
sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga
dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta
juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang
menunjukkan siapa penulis Pararaton.

Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu


tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222–1292).[1][2] Selanjutnya hampir
setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan
hidupnya, sampai ia menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran pada
naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian
dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam
urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan
penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah
menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai
silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.

Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan


melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang
ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa
Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai
Ken Angrok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada
lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi),
diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan
antara tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih
mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.

Pendahuluan

Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana


Ken Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi
seorang raja.[1] Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan dirinya kurban
persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa
penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas
kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan
kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk
ke dalam surga Wisnu.

Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma


melalui seorang wanita dusun yang baru menikah. Ibunya
meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja melahirkan;
dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki
Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong
mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya, serta
mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat
dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah
disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan
melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung
Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru
menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya, dan telah ditetapkan
akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.

Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai


pertemuan Ken Arok dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang
datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara Guru dapat
terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui
Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi
berberapa saat, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk
mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan
Singhasari.

Analisa naskah

Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-


fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta
khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar misalnya C.C.
Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan
supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk
merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di
masa depan.[3] Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat
menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan
memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-
inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta menerima lingkup
referensi naskah tersebut dimana suatu interpretasi yang valid dapat
ditemukan.[1]
Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman
kerajaan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi
seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan
masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya
yang tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup
kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara
keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari
keadaan makrokosmos.[1] Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti)
dianggap memiliki derajat kedewaan, dimana kedudukannya jauh lebih
tinggi daripada orang biasa.

J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan


Prasasti Canggal (732), Prasasti Śivagŗha (Siwagrha) (856), Calcutta
Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Perbandingan tersebut
menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur
dan fungsi dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks
historiografi Melayu[4]

Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi

1. Kakawin Dewaruci
2. Kidung Sudamala
3. Kidung Subrata
4. Kidung Sunda
5. Kidung Panji Angreni
6. Kidung Sri Tanjung

Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa
Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar
berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari
Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau
menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama.
Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya
harus tunduk kepada orang Majapahit (baca orang Jawa). Kemudian
terjadi perang besar-besaran di Bubat, pelabuhan tempat berlabuhnya
rombongan Sunda. Dalam peristiwa ini orang Sunda kalah dan putri
Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.

Versi kidung Sunda

Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. C.C. Berg, menemukan


beberapa versi KS. Dua di antaranya pernah dibicarakan dan
diterbitkannya:

1. Kidung Sunda
2. Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)

Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada


Kidung Sundâyana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi dan versi
iniliah yang dibahas dalam artikel ini.

Pupuh I

Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk


dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru
Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka
membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik
hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda
cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia
kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang
paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di
sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan
mereka belum menikah.

Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda.
Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke
tanah Sunda untuk melamarnya.

Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari


kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih
raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak
banyak berkomentar.

Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda


dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka
bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan
jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.

Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal


semacam ini.

Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal


yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar
(Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait
1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan
kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa
Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang.
Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong
mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa
tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong
seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia
seorang musuh yang menyamar.

Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran
patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya,
terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.

Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung


tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun
mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke Majapahit. Ia
disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang
ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja
Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar
janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan
supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal
Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan
kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka
berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan
terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.

Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia


berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi
tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi
membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina
orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya
dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan
niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan
bersikeras ingin tetap menemani sang raja.

Pupuh II (Durma)

Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang


Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit.
Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat
dihindarkan.

Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian


para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk
dan kedua pamannya.

Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang


gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-
habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada
sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja
Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang
masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu
Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan
putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua
istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh
diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.

Pupuh III (Sinom)

Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan


ini. Ia kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri
Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin
dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para
arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu
Hayam Wuruk yang merana.

Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai,


maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah
Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan
membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan.
Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka
beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan
melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak
terlihat menuju ketiadaan (niskala).

Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha"
berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka
akan peristiwa memilukan yang terjadi.

Analisis

Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah
kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa
berdasarkan kejadian faktual.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini,
gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya
sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan
dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang
hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-
orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan
secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi
Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca
terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa
dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali
mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan
dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama,
lihat pula bawah ini.

Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada
orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan
dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam
Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin
Nagarakretagama.

Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung


Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda
dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka.

Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan
pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda
dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada.
Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang
Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan
(Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang) dan
Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai
dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut
sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti.
Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut
Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda

(bait 1. 66b – 1. 68 a.)


Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki
mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti,
mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki,
durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa
ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong
Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu
gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar
wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir
patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing
urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya
purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi
sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang
sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

Alihbahasa:

• “Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar


terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri,
sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti?
Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum
pernah kami kalah berperang.

• Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang,


bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat
peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda
datang kembali dan bala tentaramu mundur.
• Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan
mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di
jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera,
siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek
minta tetap hidup.

• Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut


jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan
dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin
menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang
berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”

Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait


2.69 – 2.71)
[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata,
aturana jiwa bakti, wangining sĕmbah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita
potusan, warahĕn tuhanira, nora ngong marĕka malih,
angatĕrana, iki sang rajaputri.
Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri,
norengsun ahulap, rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan
apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.

Alihbahasa:

• [...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri


Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu,
keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan
Putri.
• Maka ini terdengar oleh Sri Raja <Sunda> dan beliau menjadi
murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu
bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan
Putri!”
• “Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau
hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang
Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya
mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).

Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang


telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)
Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng
made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira
akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang
nata dadi atěmah laywan.
Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati
angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning
srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal
kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning
parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta
kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang,
kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy
angawasa.
Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng
paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang
rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis,
sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang
katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini,
matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang,
tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung
lukar.
Alihbahasa:

• Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat


Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka
datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna
hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang
Prabu karena sudah menjadi mayat.

• Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya


indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis,
seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia
menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda
(?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.

• Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat


mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang.
Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu,
wahai Rajaku, mungkin <hamba> masih hidup dan sekarang
dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!

• Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah,


berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk.
Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan
begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang
disapa menjadi bingung dan merana.

• Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya


terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya
semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka
kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang.
Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas
terurai bagaikan kabut.
Sri Tanjung

Kidung Sri Tanjung adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa
Pertengahan dalam bentuk kidung. Karya ini dibuat oleh orang
Banyuwangi. Cerita ini termasuk cerita legenda pendirian kota
Banyuwangi. Selain itu, cerita juga terkenal karena bisa dipakai untuk
meruwat.

Ceritanya secara pendek adalah sebagai berikut: Adalah seorang


ksatria bernama raden Sidapaksa yang pergi dari tempat tinggalnya,
lalu mengabdi sang raja di negeri Sinduraja. Lalu, ia menikahi Dewi Sri
Tanjung.

Maka suatu hari, raden Sidapaksa sangat marah, mengira istrinya


berselingkuh. Lalu Sri Tanjung bersumpah bahwa apabila ia dibunuh,
jika yang keluar bukan darah, tetapi air harum, maka dia tak salah.

Maka, benarlah, Sri Tanjung ditikam, tetapi yang keluar bukan darah
segar, melainkan air yang berbau wangi. Maka sampai sekarang
ibukota bumi Blambangan namanya Banyuwangi.

Anda mungkin juga menyukai