Anda di halaman 1dari 4

KEUNIKAN BAHASA ENDE

Kabupaten Ende adalah salah satu dari belasan kabupaten yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten Ende terletak hampir tepat berada di tengah-tengah Pulau Flores. Kabupaten yang
merupakan tempat lahirnya falsafah Negara Indonesia ini mempunyai dua suku, yaitu: Suku Ende dan
Suku Lio. Suku Ende tersebar hampir di sepanjang daerah pesisir barat kabupaten Ende sedangkan
Suku Lio tersebar di daerah pegunungan dan sebagiannya tersebar di wilayah bagian timur pantai
selatan Kabupaten Ende.

Bahasa Ende dibagi menjadi dua, yaitu Bahasa Ende dan Bahasa Lio. Bahasa Ende digunakan oleh
masyarakat Suku Ende, sedangkan Bahasa Lio digunakan oleh masyarakat Suku Lio. Kedua suku ini
mempunyai bahasa yang hampir sama. Ingat, hampir sama tidak berarti sama, karena kedua bahasa
ini mempunyai dialek dan aksen yang berbeda. Akan tetapi, kedua bahasa ini mempunyai kosakata
yang mirip, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pada huruf konsonan yang digunakan dalam
banyak kata, misalnya, lambu (Bahasa Lio) dan zambu (Bahasa Ende) untuk baju, selake(Bahasa Lio)
dan sezake (Bahasa Ende) untuk celana, lako (Bahasa Lio) dan zako (Bahasa Ende) untuk
anjing, zera(Bahasa Ende) dan leja (Bahasa Lio) untuk terik, raza dan jala (Bahasa Lio) untuk
jalan, iza (Bahasa Ende) dan ila(Bahasa Lio) untuk lampu, raka (Bahasa Ende) dan jaka (Bahasa
Lio) untuk rebus atau merebus, dan masih banyak lainnya. Perhatikan pada contoh di atas. Konsonan
L pada sebagian kata-kata dalam Bahasa Lio biasanya diganti dengan konsonan Z pada sebagian kata
dalam Bahasa Lio, ataupun sebaliknya. Begitu juga dengan konsonan R pada sebagian kata dalam
Bahasa Ende diganti dengan konsonan J pada sebagian kata dalam Bahas Lio. Unik bukan? *Saya tau
anda bingung. Silahkan baca lagi paragraf ini. Hehehe*
Apa itu dialek? Dan apa itu aksen? Sebagian orang menafsirkan dialek adalah intonasi atau gaya
bicara dari orang-orang yang mendiami suatu wilayah tertentu. Itu bukan dialek tetapi aksen. Menurut
Wikipedia, sebuah dialek dibedakan berdasarkan kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan (fonologi),
jika pembedaannya berdasarkan pengucapan, maka istilah yang tepat adalah aksen, bukan dialek.
Bahasa Ende mempunyai beberapa aksen, diantaranya aksen Ende (Mbongawani, Paupanda, Rukun
Lima, dan sekitarnya), aksen Pulau Ende, aksen Nangapanda, aksen Onekore, aksen Potu, dan lainnya
yang dimana mempunyai perbedaan dalam bunyi ucapan atau intonasi serangkaian kata-kata dalam
kalimat. Perhatikan bagaimana orang yang bertempat tinggal di Paupanda dan orang yang bertempat
tinggal di Nangapanda berbicara, beda kan? Kata-kata yang diucapkan sama, hanya saja
kedengarannya beda karena nada atau intonasi yang digunakan. Itulah aksen.

Lain halnya dengan Bahasa Lio. Bahasa Lio tidak hanya memiliki aksen yang beragam, tetapi juga
memiliki dialek yang beragam. Aksen Bahasa Lio seperti aksen Nggela, aksen Ngalupolo, aksen Jopu,

aksen Moni, dan lain sebagainya. Kalau penasaran, coba perhatikan orang Ngalupolo dan orang Nggela
berbicara. Perbedaan aksennya akan sangat jelas terlihat.

Dialek dalam Bahasa Lio umumnya ada dua, yaitu dialek Lio dan dialek Wolowaru/Mbuli. Berbicara
mengenai dialek, diksi atau pemilihan kata yang dipakai berbeda-beda untuk suatu hal yang sama,
misalnya, holo dan kolo. Kedua kata ini mempunyai arti yang sama yaitu kepala. Orang Mbuli ataupun
Wolowaru menggunakan kata holo untuk kepala, sedangkan orang Lio kebanyakan menggunakan
kata kolo untuk kepala. Contoh lain adalah koro (Lio kebanyakan) danhoro (Wolowaru/Mbuli)
untuk lombok/cabai atau pedis. Newallo (Lio kebanyakan) dan kaderro (Wolowaru/Mbuli)
untuk sebentar, hee Wolowaru/Mbuli) dan kee (Lio kebanyakan) untuk diam, raI Wolowaru/Mbuli)
dan mai (Lio kebanyakan) untuk datang, dan masih banyak yang lainnya.
Pada umumnya, kekayaan kosakata dari sebuah bahasa tergantung dari letak geografis, alam yang
dimilikinya, dan ikatan social dari suatu daerah. Bentangan alam dan ikatan social yang dimiliki
Kabupaten Ende mempengaruhi keragaman bahasa yang dimilikinya. Dulunya wilayah Kabupaten
Ende yang boleh dibilang agak tandus dan kurang subur ini membuat banyak tanaman seperti apel,
anggur, teh, strawberry, cherry, durian, rambutan, dan yang lainnya tidak dapat tumbuh di tanah
Ende. Begitu pula dengan hewan. Kabupaten Ende, yang termasuk daerah peralihan dalam pembagian
persebaran hewan secara geografis ini, mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk bisa dihuni
oleh hewan-hewan seperti gajah, harimau, badak, singa, kanguru, koala, kuskus, dan lainnya. Hal ini
sangat mempengaruhi keberagaman kosakata dalam Bahasa Ende untuk hewan-hewan dan
tumbuhan-tumbuhan dimaksud. Tidak ada kosakata yang menggambarkan apel, strawberry, anggur,
rambutan, singa, gajah, badak, harimau, dan sebagainya. Sedangkan untuk tumbuhan yang banyak
tumbuh di Ende dan hewan yang banyak hidup di Ende misalnya kelapa, mangga, pisang, jagung,
singkong, papaya, kuda, kambing, ayam, semut dan yang lainnya mempunyai kosakata dalam Bahasa
Ende. Mangga=pau, pisang=muku, papaya=uta baI, singkong=waai, jagung=jawa, kuda=jara,
semut=metu, manu=ayam, dan lainnya.

Dari sudut pandang ikatan social, dulunya orang Ende mempunyai ikatan social yang cukup tinggi dan
mereka menganggap bahwa semua orang Ende adalah saudara. Bagi mereka sesama saudara
mempunyai kewajiban untuk saling berbagi dan saling memperhatikan satu dengan yang lainnya
sehingga rasa terima kasih jarang atau bahkan tidak diungkapkan. Karena memperhatikan saudara
atau sesama orang Ende adalah sebuah kewajiban. Adakah kosakata dalam Bahasa Ende yang
menyatakan rasa terima kasih? Jawabannya tidak ada. Orang Ende tidak mempunyai bahasa yang
spesifik untuk mengungkapkan rasa terima kasih. Selain itu, adakah kosakata dalam Bahasa Ende
yang mengungkapkan permohonan maaf? Jawabannya tidak ada. Mae gera yang artinya jangan
marah memang ada dalam Bahasa Ende sebagai ungkapan untuk meminta maaf. Akan tetapi tidak
ada kata yang spesifik untuk kata maaf.

Bahasa Ende adalah bahasa yang unik, bukan? Yang lebih unik lagi, semua kosakata dalam Bahasa
Ende dan Bahasa Lio berakhir dengan huruf vocal (a, i, u, e, dan o), dan tidak ada satupun kosakata
kedua bahasa ini berakhir dengan konsonan. Silahkan dicek!

Selain memiliki bahasa yang bersifat homonim dan sinonim, suku ende juga memiliki bahasa yang bersifat
idiom atau satuan satuan bahasa baik berupa kata, frase, maupun kalimat yang maknanya dapat
diramalkan dari makna lesikal (kamus), unsur unsurnya, maupun gramatikal (menurut tata bahasa) satuan
satuan tersebut.
Beberapa contoh kalimat dalam Bahasa Ende yang bersifat idiom seperti kuru metta ae zemmbo. Secara
langsung
kita
bisa
mengartikan kuru
(rumput),
metta
(hijau),
ae
(air),
dan zemmbo
(genangan/tergenang). Rumput yang di genangi air. Akan tetapi maksud dari kalimat tersebut adalah
seorang lelaki dari suku yang berbeda menikah dengan gadis dari suku Ende dan kemudian menetap di
wilayah suku Ende. Maka lelaki tersebut pernikahanny dikategorikan seperti itu (kuru metta ae zemmbo).
Contoh lainnya seperti buku palulu. Secara harafiah buku palulu artinya membungkus saputangan. Akan
tetapi makna dari kalimat tersebut tidak seperti itu, melainkan seorang jejaka beserta keluarga besarnya
datang bertandang kerumah seorang gadis dengan maksud meminang secara resmi.
Ada pula contoh lain seperti tezo seteka. Dilihat dari kosa kata yang sering digunakan keseharian kalimat ini
berarti sepotong telur atau satu bagian dari belahan sebutir telur yang sudah di rebus. Namun makna yang
sebenarnya adalah seekor ayam. Kalimat ini di gunakan sebagai tuntutan permintaan secara halus tanpa
mengurangi rasa hormat pada pihak kedua (yang dituntut) agar bersedia memberikan seekor ayam kepada
pihak pertama (penuntut) pada saat hari upacara atau hajatan yang telah ditentukan oleh pihak pertama
(tuntutan tersebut hanya berlaku dalam lingkaran keluarga atau hanya dapat diberlakukan terhadap pihak
yang masih berhubungan darah saja).

Anda mungkin juga menyukai