Keseluruhan peraturan tentang cara menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dalam suatu
bahasa termasuk masalah yang dibicarakan dalam ejaan. Yang dimaksud dengan ejaan adalah cara
melafalkan dan menuliskan huruf, kata, unsur serapan, dan tanda baca. Bahasa Indonesia
menggunakan ejaan fonemik, yaitu hanya satuan bunyi yang berfungsi dalam bahasa Indonesia yang
dilambangkan dengan huruf.
Ejaan yang berlaku dalam bahasa Indonesia sekarang menganut sistem ejaan fonemis, yaitu satu
bunyi dilambangkan dengan satu tanda (huruf). Akan tetapi, kenyataannya masih terdapat
kekurangan. Kekurangan tersebut terlihat pada adanya fonem (bunyi) yang masih dilambangkan
dengan dua tanda, yaitu /ng/, /ny/, /kh/, dan /sy/. Sebaliknya, ada dua fonem yang dilambangkan
dengan satu tanda saja, yaitu /e/ pepet dan /e/ taling. Hal ini dapat menimbulkan hambatan dalam
penyusunan ejaan bahasa Indonesia yang lebih sempurna.
A. Pelafalan
Salah satu hal yang diatur dalam ejaan ialah cara pelafalan atau cara pengucapan dalam bahasa
Indonesia. Pada akhir-akhir ini sering kita dengar orang melafalkan bunyi bahasa Indonesia dengan
keraguan. Keraguan yang dimaksud ialah ketidakteraturan pengguna bahasa dalam melafalkan
huruf. Kesalahan pelafalan dapat terjadi karena lambang (huruf) diucapkan tidak sesuai dengan
bunyi yang melambangkan huruf tersebut.
Kaidah pelafalan bunyi bahasa Indonesia berbeda dengan kaidah bunyi bahasa lain, terutama bahasa
asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Dalam bahasa tersebut, satu
bunyi yang dilambangkan dengan satu huruf, misalnya /a/ atau /g/, dapat diucapkan dengan
berbagai wujud bunyi bergantung pada bunyi atau fonem yang ada di sekitarnya. Lain halnya dengan
bahasa Indonesia, ketentuan pelafalan yang berlaku dalam bahasa Indonesia cukup sederhana, yaitu
bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia harus dilafalkan sesuai dengan apa yang tertulis. Tegasnya,
lafal dalam bahasa Indonesia disesuaikan dengan tulisan.
-energi Lafal yang salah: enerhi, enersi, enerji Lafal yang benar: energi [e n e r g i]
Masalah lain yang sering muncul dalam pelafalan ialah mengenai singkatan kata dengan huruf.
Sebaiknya pemakai bahasa memperhatikan pelafalan yang benar seperti yang sudah dibakukan
dalam ejaan.
-MTQ Lafal yang salah: [emtekyu], [emtekui] Lafal yang benar: [em te ki]
Hal yang perlu mendapat perhatian ialah mengenai pemakaian dan pelafalan huruf pada penulisan
dan pelafalan nama diri. Di dalam kaidah ejaan dikatakan bahwa penulisan dan pelafalan nama diri,
yaitu nama orang, badan hukum, lembaga, jalan, kota, sungai, gunung, dan sebagainya disesuaikan
dengan kaidah ejaan yang berlaku, kecuali kalau ada pertimbangan lain. Pertimbangan yang
dimaksud ialah pertimbangan adat, hukum, agama, atau kesejahteraan, dengan kebebasan memilih
apakah mengikuti Ejaan Republik (Soewandi) atau Ejaan yang Disempurnakan. Jadi, pelafalan nama
orang dapat saja diucapkan tidak sesuai dengan yang tertulis, bergantung pada pemilik nama
tersebut.
Demikian pula halnya dengan pelafalan unsur kimia, nama minuman, atau nama obat-obatan,
bergantung pada kebiasaan yang berlaku untuk nama tersebut. Jadi, pemakai bahasa dapat saja
melafalkan unsur tersebut tidak sesuai dengan yang tertulis. Hal tersebut memerlukan kesepakatan
lebih lanjut dari pakar yang bersangkutan.
Kaidah pelafalan yang perlu dibicarakan di sini ialah pelafalan bunyi /h/. Pelafalan bunyi /h/ ada
aturannya dalam bahasa Indonesia. Bunyi /h/ yang terletak di antara dua vokal yang sama harus
dilafalkan dengan jelas, seperti pada kata mahal, pohon, luhur, leher, sihir. Bunyi /h/ yang terletak
di antara dua vokal yang berbeda dilafalkan dengan lemah atau hampir tidak kedengaran, seperti
pada kata tahun, lihat, pahit. Bunyi /h/ pada kata seperti itu umumnya dilafalkan dengan bunyi
luncur /w/ atau /y/, yaitu tawun, liyat, payit. Aturan ini tidak berlaku bagi kata-kata pungut karena
lafal kata pungut disesuaikan dengan lafal bahasa asalnya, seperti kata mahir, lahir, kohir, kohesi.
B. Pemakaian Huruf
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan menggunakan 26 huruf didalam abjadnya, yaitu mulai
dengan huruf /a/ sampai dengan huruf /z/. Beberapa huruf di antaranya, yaitu huruf /f/, /v/, /x/,
dan /z/, merupakan huruf serapan dan sekarang huruf-huruf tersebut dipakai secara resmi di dalam
bahasa Indonesia. Dengan demikian, pemakaian huruf itu tetap dipertahankan dan jangan diganti
dengan huruf lain.
Contoh:
Meskipun huruf-huruf serapan sudah dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia, harus kita ingat
ketentuan pemakaian huruf /q/ dan /x/. Huruf /q/ hanya dapat dipakai untuk nama istilah khusus,
sedangkan untuk istilah umum harus diganti dengan huruf /k/. Demikian pula huruf /x/ dapat
dipakai untuk lambang, seperti xenon, sinar x, x, + y. Huruf /x/ apabila terdapat pada tengan kata
dan akhir kata diganti dengan huruf gugus konsonan /ks/.
Contoh:
Huruf /k/ selain untuk melambangkan bunyi /k/, juga digunakan untuk melambangkan bunyi huruf
hamzah (glotal). Ternyata masih ada pengguna bahasa yang menggunakan tanda ‘ain’ /’/ untuk
bunyi hamzah (glotal) tersebut.
Contoh:
Setiap suku kata bahasa Indonesia ditandai oleh sebuah vokal. Huruf vokal itu dapat didahului atau
diikuti oleh huruf konsonan. Persukuan atau pemisahan suku kata biasanya kita dapati pada
penggantian baris, yaitu terdapat pada bagian akhir setiap baris tulisan. Pengguna bahasa tidak
boleh melakukan pemotongan kata berdasarkan kepentingan lain, misalnya mencari kelurusan baris
pada pinggir baris setiap halaman atau hanya untuk memudahkan pengetikan. Penulisan harus
mengikuti kaidah-kaidah pemisahan suku kata yang diatur dalam Ejaan yang Disempurnakan seperti
berikut ini.
1) Apabila di tengah kata terdapat dua vokal berurutan, pemisahan dilakukan di antara vokal
tersebut. Contoh:
1. Apabila di tengan kata terdapat dua konsonan berurutan, pemisahan dilakukan di antara kedua
konsonan tersebut. Contoh :
2. Apabila di tengan kata terdapat konsonan di antara dua vokal pemisahannya dilakukan sebelum
konsonan. Contoh:
4. Imbuhan termasuk awalan yang mengalami perubahan bentuk partikel yang biasanya ditulis
serangkai dengan kata dasarnya, penyukuannya dipisahkan sebagai satu kesatuan. Contoh:
5. Pada akhir baris dan awal baris tidak diperkenankan ada huruf yang berdiri sendiri, baik vokal
maupun konsonan. Contoh:
Salah
ikut j-
uga
masalah i-
tu
Benar
ikut ju-
ga
masalah
itu
6. Tanda pemisah (tanda hubung) tidak diperkenankan diletakkan di bawah huruf dan juga tidak
boleh berjauhan dengan huruf, tetapi diletakkan di samping kanan huruf.
Contoh:
Salah Benar
pengam
bilan.
bela -
jar
Benar
pengam-
bilan .
bela-
jar
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Bahasa Indonesia yang digunakan saat ini
adalah Bahasa Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan. Sepanjang
perjalanannya, ejaan dalam Bahasa Indonesia mengalami berbagai
perkembangan yang cukup signifikan, mulai dari penulisan, pengucapan hingga
penempatan dalam tata bahasanya. Secara umum kita mengenali ada dua jenis
ejaan dalam Bahasa Indonesia, yaitu Ejaan Lama dan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Namun ternyata, ejaan yang digunakan dalam Bahasa
Indonesia bkan hanya dua jenis ejaan tersebut. Dalam perkembangannya,
terdapat lebih dari dua ejaan Bahasa Indonesia yang pernah digunakan oleh
bangsa Indonesia hingga akhirnya berakhir pada Bahasa Indonesia dengan
Ejaan Yang Disempurnakan. Dilansir dari beberapa sumber, berikut daftar
lengkapnya.
Ejaan ini diterbitkan pada tahun 1901 dalam Kitab Logat Melayu. Charles Adrian
van Ophuijsen adalah tokoh penting dibalik pengembangan ejaan ini,
dibantu oleh Muhammad Taib Said Sutan Ibrahim dan Engku Nawawi gelar
Sutan Makmur. Ejaan van Ophuijsen ini banyak dipengaruhi oleh ejaan Belanda,
sebab pada saat itu Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
Ciri dari ejaan ini adalah penggunaan huruf ‘J’ yang dibaca ‘Y,’ misalnya ‘Jang =
yang,’ huruf ‘oe’ yang dibaca ‘u’ (boelan : bulan), huruf ‘tj’ yang dibaca ‘c’ (Tjinta
: cinta), huruf ‘ch’ yang dibaca ‘kh’ (chidmat : khidmat), huruf ‘dj’ yang dibaca ‘j’
(djoedjoer : jujur). Selain itu, ejaan Van Ophuijsen ini juga menggunakan banyak
tanda diakritik seperti koma ain, koma wasla, dan tanda trema misalnya pada
kata so’al, ta’ pa’ dan sebagainya. Penggunaan tanda ini biasanya digunakan
ketika mengindonesiakan kata – kata dalam bahasa Arab.
Ejaan Van Ophuijsen (sumber :
putramelayu.web.id)
Disebut ejaan Soewandi karena yang meresmikan ejaan ini sebagai pengganti
ejaan Van Ophuijsen adalah Raden Soewandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan
dan Kebudayaan saat itu. Ejaan ini diresmikan pada 19 Maret 1947.
Pengubahan dari ejaan Van Ophuijsen ke ejaan Soewandi dimaksudkan agar
terdapat kemudahan dalam penyederhanaan bahasa yang digunakan. Beberapa
perubahan penting dalam ejaan Soewandi adalah :
Ejaan
Pembaharuan sering disebut Ejaan Prijono-Katoppo, merujuk pada sosok Prijono sebagai salah
satu penggagas (sumber : zenius.net)
Ejaan ini didasarkan pada keinginan untuk menyatukan Bahasa Melayu dan
Bahasa Indonesia. Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara yang
menggunakan bahasa Melayu pun bersama – sama ingin menyeragamkan ejaan
dalam penggunaan bahasa dua negara ini. sebagian besar perubahan pada
ejaan ini sama dengan apa yang ada pada ejaan pembaharuan, hanya saja pada
fonem ‘e’ pepet dalam sebuah kata harus diberikan garis di atasnya. Sayangnya,
ejaan ini gagal menjadi kenyataan karena konfrontasi politik antara kedua
negara.
Ejaan ini disusun oleh Panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen P dan K.
Beberapa perubahannya adalah sebagai berikut :
Huruf ‘tj’ diganti ‘c’, j diganti ‘y,’ ‘nj’ diganti ‘ny,’ ‘sj ‘menjadi ‘sy,’ dan ‘ch’
menjadi ‘kh.’
Huruf asing: ‘z,’ ‘y,’ dan ‘f’ disahkan menjadi ejaan Bahasa Indonesia. Hal
ini disebabkan pemakaian yang sangat produktif.
Huruf ‘e’ tidak dibedakan pepet atau bukan, alasannya tidak banyak kata y
ang berpasangan dengan variasi huruf ‘e’ yang menimbulkan salah
pengertian.
Ejaan ini juga tidak sempat diresmikan karena menimbulkan reaksi dari publik
karena dianggap meniru ejaan Malaysia, serta keperluan untuk mengganti ejaan
belum benar – benar mendesak.
(sumber :
jadiberita.com)
Perubahan cara baca abjad, dari a, ba, ca, da menjadi a, be, ce de, dan
seterusnya.
Kata majemuk ditulis terpisah. Misalnya kereta api, kamar tidur.
Akronim yang memiliki lebih dari dua huruf awal tidak memakai tanda titik.
Misalnya S.M.A menjadi SMA.
Penulisan ejaan ‘tj’ menjadi ‘c’ dan ‘nj’ menjadi ‘ny’
Peresmian penggunaan huruf asing yaitu ‘z,’ ‘f’ dan ‘v’
Penghilangan bunyi ‘w’ menjadi ‘ua.’ Misalnya kwalitas menjadi kualitas
Penjelasan akan pemenggalan kata di dalam konsonan, misalnya A-pril,
Ang-gur
Pemakaian huruf ‘x’ dan ‘q’ secara universal. Semula hanya digunakan
dalam kata – kata yang berhubungan dengan ilmu eksakta.
Penghilangan garis pembeda dalam pengucapan ‘e’ pepet dan ‘e’ biasa.