Anda di halaman 1dari 5

Bahasa Simalungun

Secara linguistik bahasa Simalungun digolongkan ke dalam salah satu sub bahasa Batak,
Petrus Voorhoeve (1955: 88) memposisikan bahasa Simalungun berada pada rumpun tengah
di antara rumpun selatan (Toba, Mandailing, Angkola) dan utara (Pakpak, Karo, Alas).
Namun menurut Adelaar (1981: 55), bahasa Simalungun sebenarnya adalah salah satu cabang
dari rumpun selatan, yang berpisah dengan bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebelum
ketiga bahasa tersebut terbentuk. Dari ungkapan Adelaar ini menyiratkan bahwa bahasa
Simalungun telah berwujud sebelum lahirnya ketiga bahasa rumpun selatan lainnya yang
kemudian berpisah dan membentuk rumpun tersendiri. Geoff Wollams dalam penelitiannya
tentang bahasa Karo menemukan bahwa dari 207 kosa kata dasar yang ia bandingkan antara
bahasa Karo dan bahasa Simalungun ternyata dalam kedua bahasa tersebut terdapat kesamaan
sebesar 80%.

Gambar 6: Skema pembagian bahasa Batak menurut Adelaar (1981: 55)

Bahasa Simalungun menjadi media tutur bagi masyarakat pribumi yang mendiami tanah
Simalungun meliputi Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, Deli Serdang, Serdang
Bedagai, dan Tebing Tinggi, namun pada zaman dahulu wilayah penyebaran Bahasa
Simalungun meluas sampai ke Langkat, Medan, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Hal
ini diketahui dari banyaknya nama tempat yang menggunakan bahasa Simalungun di
sepanjang pesisir timur mulai dari Langkat hingga Labuhan Batu. Luasnya penyebaran
Bahasa Simalungun tidak terlepas dari perjalanan sejarah suku Simalungun itu sendiri, di
mana mereka telah melalui berbagai fase dalam menapaki lintasan sejarah. Kebesaran suku
Simalungun diawali pada masa Kerajaan Nagur yang pada masa kejayaannya menguasai
sebagian besar daerah di pesisir Sumatera Timur mulai dari Aceh hingga sungai Rokan.
Namun seiring berjalannya waktu terjadi pasang surut kekuasaan, Kerajaan Nagur mengalami
berbagai rongrongan baik dari dalam maupun dari luar sehingga perlahan Nagur mengalami
kemunduran dan daerah-daerah koloninya banyak dicaplok oleh sejumlah dinasti baru seperti
Haru, Perlak, Pasai, Aceh, Johor, dan Siak.

Bila ditinjau dari bentuknya, Bahasa Simalungun telah mengalami beberapa fase dalam
pembentukannya, mulai dari Bahasa Simalungun kuno (Proto Simalungun), Simalungun
pertengahan (Middle Simalungun), dan Simalungun baru (Neo Simalungun). Bahasa
Simalungun masih banyak mewarisi bentuk-bentuk asli dari Bahasa Austronesia kuno,
diantaranya adanya vokal rangkap (diftong) "ui', ou, dan ei" dan memiliki anak surat
(diakritik) tersendiri dalam bentuk verbal, masing-masing bernama hatulungan /ou/,
hatalingan /ei/, dan hatuluyan /ui/, hal ini akan penulis jelaskan satu persatu secara rinci.
Eksistensi vokal rangkap ini semakin memperkaya ragam vokal bahasa Simalungun menjadi
8 bentuk yaitu /a, i, u, e, o, ui, ou, ei/. Pada saat ini terdapat banyak keragaman dialek dalam
Bahasa Simalungun dan pada beberapa lokasi ada kecenderungan upaya pengaburan bentuk-
bentuk asli warisan Bahasa Austronesia kuno tersebut terutama di kawasan Simalungun Atas
dan Simalungun Horisan. Di samping bahasa Simalungun, fonem /ou/ dan /ei/ ini juga
banyak dijumpai pada bahasa-bahasa rumpun Melayu, Karo, dan Alas di Aceh Tenggara serta
bahasa Keluet di Aceh Selatan dan fonem /ui/ selain dalam Bahasa Simalungun dikenal juga
dalam Bahasa Alas.

Dalam bahasa Simalungun, fonem /ou/ dapat dilihat pada kata horbou, pisou, magou,
kahou, sopou, lahou, lopou, babou, dilou. Kemudian fonem /ei/ pada kata lobei, hitei,
bogei, dogei, atei, buei. Sementara fonem /ui/ terdapat pada kata tondui, langui, apui,
sungui, babui, tului, ampodui, surui, haluhui. Dalam bahasa Alas di Aceh Tenggara, bentuk
kata berdiftong tersebut dapat dilihat dari kata-kata berikut endou, enggou, idou, benei,
melohei, awei, kelukui, tendui, apui. Demikian juga pada bahasa Keluet yang hanya
mengenal fonem /ou/ dan /ei/ saja, seperti pada kata kou, kerbou, tangkou, benei, kunei,
awei, atei, mbuei. Sedangkan dalam bahasa Karo diwakili oleh kosa kata berikut dilau,
belau, sapau, rimau, ayau, namau, payau, matai, berai, isai, keina, benai, lumai. Namun
pola penggunaan diftong ini hanya berlaku di wilayah Karo yang berbatasan dengan
Simalungun dan Melayu, tidak meluas hingga ke wilayah Karo lainnya seperti pada dialek
Gunung dan juga Kabanjahe. Hal ini terjadi akibat adanya kontak secara berkesinambungan
dan berlangsung lama dengan suku Simalungun di perbatasan dan Melayu di Deli Serdang
dan Langkat.

Bila dilihat padanannya dengan bahasa bahasa Batak yang lain seperti bahasa Toba,
Mandailing, Angkola, dan Pakpak; fonem /ou/ ini biasa berbunyi /o/ seperti pada kosa kata
berikut horbo, piso, mago, sopo, laho, babo, tangko, dilo; /ei/ berbunyi /e/ tampak pada
kosa kata hite, bege, dege, ateate; sedangkan diftong /ui/ akan berbunyi /i/ seperti kata
tondi, langi, api, babi, suri, halihi. Selain itu bahasa Simalungun juga mengenal fonem
akhir /h/ seperti pada kata daroh, babah, roh, dilah, soh, gogoh; fonem ini tidaklah khusus
dalam bahasa Simalungun, karena fonem akhir ini juga terdapat pada bahasa Pakpak, Karo,
Alas, dan juga Keluet; namun tidak untuk bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola --
ketiganya sama sekali tidak mengenal sedikitpun akan penggunaan fonem ini, bagi mereka
kata babah akan berbunyi "baba", roh akan berbunyi ro, dilah akan berbunyi
dila, dan gogoh akan berbunyi gogo.

Keragaman fonem lainnya yang tidak ditemukan dalam Bahasa Batak lainnya adalah /d/, /g/,
dan /b/, ketiga fonem ini menjadi penutup dalam sebuah kata. Ahli bahasa Belanda Dr. Petrus
Voorhoeve (1955: 88) pernah mengulas tentang fonem penutup /d/, /g/, dan /b/ ini, ia merasa
terkesima karena bahasa Simalungun satu-satunya etnis Batak yang mengenal bentuk fonem
seperti ini. Menurut Voorhoeve, fonem ini erat hubungannya dengan bahasa Sanskerta. Pola
penggunaannya tidak mengalami perubahan baik dalam bentuk lisan (oral) maupun tulisan
(verbal). Fonem /d/ tampak pada kata bod, saud, towod, agad, sogod, bagod, sarad, alud.
Sedang fonem akhir /g/ diwakili oleh kata dolog, pusog, balog, gijig, ubag, lanog, gilog,
borgog, bolag, bogbog, pag, ulog. Sementara fonem akhir /b/ muncul pada kata dob,
rongkob, dorab, tayub, langkob, sab. Kosa kata yang sama ditemukan juga pada bahasa
Pakpak dan Karo, namun fonem penutup /d/ mengalami perubahan menjadi /n/, dan /g/
menjadi /ng/, di mana kata bod berubah menjadi bon/ben, saud menjadi sahun,
towod menjadi tiwen, sogod menjadi cegen, sarad menjadi saran, dan
alud menjadi alun. Kemudian kata dolog menjadi deleng, pusog menjadi
puseng, balog menjadi baleng, lanog menjadi laneng, borgog menjadi
bergeng, bolag menjadi belang, dan pag menjadi pang. Sementara untuk fonem
/b/ penulis belum dapat menentukan bentuk perubahannya.
Pada bahasa etnis Batak lainnya seperti Toba, Mandailing, dan Angkola fonem /d/ akan
berbunyi /t/ seperti tampak pada kosa kata berikut bodbot, saudsaut, tuodtot, agadagat,
sogodsogot, bagodbagot, saradsarat, aludarut; /g/ akan berbunyi /k/ seperti dolog
dolok, balogbalok, lanoglanok, bolagbolak, ulogulok; sedang untuk fonem /b/ penulis
juga belum dapat menentukan bentuk perubahannya. Gorys Keraf dalam bukunya Linguistik
Bandingan Historis mengemukakan, bahwa fonem /d/, /g/, dan /b/ merupakan fonem yang
dianggap bermasalah pada sejumlah bahasa, tidak hanya pada bahasa nusantara, namun
berlaku pula pada bahasa di belahan bumi Eropa. Karena fonem /d/, /g/, dan /b/ ini secara
deskriptif biasanya mengalami proses netralisasi ketika berada di posisi akhir, dan berganti
dengan fonem /t/, /k/, dan /p/. Padahal sebenarnya fonem tersebut dapat muncul pada posisi
awal, tengah, dan akhir. Hal itulah yang menjadi masalah, karena saat ini banyak bahasa yang
tidak lagi menampilkan gejala tersebut. Hal ini mengundang pertanyaan mengapa bahasa
Simalungun masih menampilkan gejala tersebut?

Dalam bahasa Simalungun ternyata terdapat cukup banyak kosa kata yang bukan produk hasil
kreasi nenek moyang suku Simalungun. Kosa kata itu umumnya diadopsi dari bahasa
Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil. Hal ini tentu tidak pernah disadari oleh para penutur
bahasa Simalungun, mereka umumnya merasa semua kosa kata yang mereka tuturkan adalah
warisan langsung dari nenek moyang mereka. Adapun kata serapan dari bahasa Sanskerta, di
antaranya digunakan untuk penyebutan nama-nama dewa seperti bisnu, sori, hala, borma
yang tidak lain adalah perubahan bentuk dari kata whisnu, sri, kala, brahma. Demikian
juga untuk menyebut gugusan bintang dengan mesa, morsoba, mituna, harahata, singa,
hania, tula, mortiha, dahanu, mahara, humba, mena yang bentuk aslinya dalam bahasa
Sanskertanya adalah mesa, vrisabha, mithuna, karkata, singha, kanye, tule, vrstika, dhanu,
makara, kumbha, mina. Kemudian untuk menyebut nama-nama hari seperti ditia, suma,
anggara, mudaha, boraspati, sihora, samisara dalam bahasa sanskerta berbunyi aditya,
soma, anggara, budha, brihaspati, syukra, syanaiscara. Selanjutnya untuk menyebut nama-
nama mata angin (deisa na waluh) seperti purba, pastima, otara, daksina, agoni, nariti,
manabia, irisanna yang merupakan perubahan bentuk dari kata purva, pastjima, uthara,
daksina, agni, nairti, wajawia, dan aisana.

Tidak hanya itu, untuk kosa kata yang bersifat umum bahasa Sanskerta juga banyak yang
diserap dan mengalami perubahan seperti kata "boniaga" yang berasal dari kata "vanijya",
"naibata" dari kata "devata", "purba" dari kata "purva", "porsaya" dari kata "pratyaya",
"dousa" dari kata "dosha", "bangsa" dari kata "wamsa", "susian" dari kata "sisya", "horja"
dari kata "karya", "arga" dari kata "argha", "halani" dari kata "karana", "rupa" dari kata
"rupa", "ugama" dari kata "agama", "nagori" dari kata "nagari", "basa" dari kata "waca",
"balei" dari kata "walaya", "banua" dari kata "wanua", "barita" dari kata "wrtta",
"nanggurdaha" dari kata "garuda", "gajah" dari kata "gaja", "husapi" dari kata "kacchapi",
"huta" dari kata "kuta", dan masih banyak lagi yang lain. Selanjutnya serapan dari bahasa
Arab seperti kata "pingkir" yang diserap dari kata "fikr", "adat" dari kata "adat", "dunia" dari
kata "dunya", "uhum" dari kata "hukm", "sibolis" dari kata "iblis". Kemudian serapan dari
bahasa Persia seperti kata "saluar" yang berasal dari kata "shalwar", "sarunei" yang berasal
dari kata "surnai", "pinggan" yang berasal dari kata "pinggan". Dan yang terakhir serapan
dari bahasa Tamil seperti kata "bodil" yang diserap dari kata "badil", "sohei" dari kata Tamil
"cukkai", "mandihei" dari kata Tamil "komattikai". Penulis belum dapat menentukan secara
definitif bagaimana proses penyerapan kosa kata ini terjadi, apakah memang langsung diserap
dari bahasa Sanskerta, Arab, Persia, dan Tamil atau melalui bahasa lain yang memang pernah
mengadakan kontak langsung dengan keempat bahasa asing tersebut.
Dialek Bahasa Simalungun
Dalam perkembangannya bahasa Simalungun banyak mengalami dinamisasi akibat terjadinya
perpindahan dan pengaruh dari penutur bahasa lain. Fenomena ini akhirnya membentuk
pengelompokan dalam penerapan Bahasa Simalungun yang ditandai dengan kemunculan
sejumlah dialek dalam bahasa Simalungun seperti dialek Sin Raya, Sin Dolog, Sin Purba, Sin
Panei, dan Sin Bandar. Namun, Henry Guntur Tarigan membedakan dialek bahasa
Simalungun hanya ke dalam 4 macam dialek, yaitu Silimakuta, Raya, Topi Pasir (Horisan),
dan Jaheijahei (pesisir pantai timur). Dari sekian dialek tersebut, para peneliti bahasa
cenderung memilih dialek Sin Raya yang dijadikan sebagai tolok ukur (standarisasi) dalam
mengkaji Bahasa Simalungun, dialek ini dituturkan oleh masyarakat Simalungun yang
berdomisili di Kecamatan Raya. Seluruh dialek tersebut di atas pada awalnya adalah sama,
namun karena terjadinya perpindahan dari kediaman bahasa induknya sehingga perlahan
mengalami pergeseran, ditambah derasnya pengaruh dari penutur bahasa lain di sekitar
wilayah Simalungun juga cukup berperan dalam memudarkan keorisinilan bahasa
Simalungun. Fakta ini dialami langsung oleh orang Simalungun yang bermukim di sepanjang
daerah pesisir danau Toba (Horisan), seperti di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon,
Sidamanik, Pamatang Sidamanik, Dolog Pardameian, Haranggaol Horisan, dan Purba; akibat
kerapnya mengadakan interaksi dengan penutur bahasa Toba yang datang dari pulau Samosir
dan sekitarnya, maka bahasa Simalungun di daerah ini banyak bercampur dengan bahasa
Toba.

Di Kecamatan Panei dan Panombeian Panei juga demikian, dialek bahasa Simalungun yang
digunakan juga sudah terkontaminasi dengan bahasa Toba. Berbeda halnya dengan
masyarakat Simalungun yang berdiam di Kecamatan Dolog Silou, Silimakuta, Gunung
Mariah, Bangun Purba, Silindak, dan Kota Rih; akibat kerapnya bersentuhan dengan penutur
Bahasa Karo, maka dinamika penyerapan bahasa antara keduanya pun tidak dapat dielakkan.
Lain lagi dengan masyarakat Simalungun yang berdomisili di daerah Jahei-jahei seperti di
Kecamatan Bandar, Pamatang Bandar, Bandar Masilam, Bandar Huluan, Gunung Malela,
Gunung Maligas, dan Dolog Batu Nanggar, daerah ini dihuni oleh masyarakat Simalungun
yang mayoritas beragama Islam dan sejak ratusan tahun sudah mengadakan kontak dengan
suku Melayu di Batubara dan Asahan, baik dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan juga
perdagangan, secara tak sengaja anasir bahasa Melayu menyerap ke dalam bahasa
Simalungun. Kondisi berbeda dialami masyarakat Simalungun yang menetap di antara
komunitas suku Jawa seperti di Kecamatan Bandar Huluan, Gunung Malela, Gunung
Maligas, Tapian Dolog, dan Dolog Batu Nanggar. Sejak masuknya imigran Jawa ke tanah
Simalungun yang dibawa oleh Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan, persentuhan
budaya dan bahasa antara komunitas Jawa dan Simalungun sudah terjadi secara
berkesinambungan. Berakhirnya sistem feodalisme di Simalungun semakin memberikan
peluang seluasnya-luasnya bagi mereka untuk menduduki berbagai tempat di tanah
Simalungun. Peran mereka dalam memudarkan identitas dan penggunaan Bahasa Simalungun
sangat besar dan sulit untuk dibendung. Nama-nama tempat di Simalungun juga banyak yang
berubah bentuknya akibat mengikuti pola bahasa mereka.

Penutup
Dari uraian ini diperoleh sebuah deskripsi bahwa Bahasa Simalungun memiliki sejumlah
keistimewaan baik dalam bentuk maupun posisinya, kendati demikian bahasa Simalungun
bukanlah bahasa yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan Bahasa Batak yang lain.
Bahasa Simalungun takkan dapat menarik diri bila dikatakan memiliki kesamaan dengan
bahasa Toba, Mandailing, dan Angkola sebagai Rumpun Selatan. Dan tidak dapat disangkal
pula bila bahasa Simalungun banyak memiliki kemiripan dengan bahasa Pakpak, Karo, Alas,
dan Keluet yang berada pada Rumpun Utara. Kondisi ini terjadi dikarenakan posisi Bahasa
Simalungun berada pada rumpun tengah, sehingga bahasa Simalungun menjadi perwakilan
atau mediasi bagi seluruh Bahasa Batak.

Daftar Pustaka:
Kozok, Uli. Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak. Jakarta: Gramedia. 1999
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, India: The Christian Literature
Society. 1978
Voorhoeve, Petrus. Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra. s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff. 1955
Adelaar, K.A. Reconstruction of Proto-Batak Phonology. NUSA 10:1-20. 1981
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. 1984
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996

Anda mungkin juga menyukai