Anda di halaman 1dari 91

PERANCANGAN RUMAH SINGGAH ANAK JALANAN

DENGAN PENDEKATAN INFILL DESIGN

Landasan Konseptual dan Pra-rancangan

PRA TUGAS AKHIR


Program Studi S-1 Arsitektur

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai


Gelar Sarjana Teknik

Disusun oleh :
Niswatush Sholihah Anggraini
12/329720/TK/39026

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
PERANCANGAN RUMAH SINGGAH ANAK JALANAN
DENGAN PENDEKATAN INFILL DESIGN

Landasan Konseptual dan Pra-rancangan

PRA TUGAS AKHIR


Program Studi S-1 Arsitektur

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai


Gelar Sarjana Teknik

Disusun oleh :
Niswatush Sholihah Anggraini
12/329720/TK/39026

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

PERANCANGAN RUMAH SINGGAH ANAK JALANAN


DENGAN PENDEKATAN INFILL DESIGN

Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan

PRA TUGAS AKHIR


Program Studi Arsitektur

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai


Gelar Sarjana Teknik

Diajukan Oleh:
Niswatush Sholihah Anggraini
12/329720/TK/39026

Yogyakarta, 8 Maret 2016

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

Ardhya Nareswari, S.T., M.T., Ph.D.


NIP: 196909141997022001

Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan


Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
Ketua,

Dr. Eng. Ir. Ahmad Sarwadi, M. Eng.


NIP: 196612051992031001

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat limpahan
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan Pra Tugas Akhir berjudul “Rumah Singgah Anak
Jalanan dengan Pendekatan Infill Design” dengan tepat waktu dan hasil yang baik. Pra
Tugas Akhir disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana teknik di
Universitas Gadjah Mada.
Dalam penyusunan Pra Tugas Akhir ini, banyak sekali pihak yang telah
membantu, membimbing serta mendukung penulis. Oleh karena itu dengan segenap
ketulusan hati, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Allah SWT yang selalu memberi jalan terbaik hingga saat ini.
2. Bapak, Ibu, Dik Wildan, dan keluarga besar yang menjadi alasan utama penulis untuk
terus berprogres, yang tidak hentinya memberi semangat, dukungan motivasi, dan
menjadi tempat pulang paling nyaman di sela pengerjaan Pra Tugas Akhir.
3. Bapak Labdo Pranowo selaku koordinator Pra Tugas Akhir.
4. Bapak Sarwadi selaku pimpinan jurusan Teknik Arsitektur.
5. Ibu Ardhya Nareswari selaku dosen pembimbing yang selalu membimbing, memberi
masukan dan semangat selama bimbingan Pra Tugas Akhir.
6. Brillian Kenya Lareki, Fauzia Nur Hanifah, dan Fakhriyyah Khairunnida, teman
dalam segala hal yang selalu memberi motivasi dan dukungan, serta menjadi teman
diskusi yang membangun.
7. Anisa Yulia, Eka Pradhistya, Aryo Akbar, Haidar Rifki, dan Muhammad Arief yang
selalu ada dengan guyonan segar dan segala pembicaraannya tentang masa depan
sehingga menjadi sumber semangat untuk terus maju.
8. Segenap teman-teman angkatan 2012 yang selalu memberi energi positif dan suasana
belajar yang baik serta banyak memberi dorongan semangat untuk menyelesaikan
penulisan Pra Tugas Akhir.
9. Teman-teman asisten PT. Global Rancang Selaras yang senasib sepenanggungan dan
tidak jarang menjadi inspirasi penulis untuk menjadi lebih baik.
10. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
mendukung dan membantu dalam penulisan Pra Tugas Akhir.

iii
Penulis menyadari bahwa penulisan Pra Tugas Akhir ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-
besarnya dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, semoga Pra
Tugas Akhir ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak khususnya di bidang pendidikan
arsitektur. Terima kasih.

Yogyakarta, Januari 2016

Penulis

iv
v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR TABEL xii
ABSTRAKSI xiii

BAB I
PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.1.1 Fenomena Anak Jalanan di Indonesia 1
1.1.2 Rumah Singgah sebagai Salah Satu Solusi Penanganan Anak Jalanan 2
1.1.3 Surakarta dan Anak Jalanan 3
1.1.4 Surakarta sebagai Kota Layak Anak 4

1.2 Permasalahan 5

1.3 Tujuan dan Sasaran Pembahasan 5


1.3.1 Tujuan 5
1.3.2 Sasaran 5

1.4 Ruang Lingkup Penulisan 5

1.5 Metodologi Penulisan 6


1.5.1 Pengumpulan Data 6
1.5.2 Analisis 6
1.5.3 Sintesis 6

1.6 Sistematika Penulisan 6


1.6.1 Bab I : Pendahuluan 6
1.6.2 Bab II : Studi Pustaka 6
1.6.3 Bab III : Tinjauan Lokasi 6

vi
1.6.4 Bab IV : Pendekatan Konsep 6
1.6.5 Bab V : Konsep Desain 7

1.7 Keaslian Penulisan 7

BAB II
STUDI PUSTAKA 8

2.1. Anak Jalanan 8


2.1.1 Pengertian anak jalanan 8
2.1.2 Pengelompokan Anak Jalanan 8
2.1.3 Karakteristik anak jalanan 10
2.1.4 Penyebab Munculnya Anak Jalanan 11
2.1.5 Aktivitas Spasial Anak Jalanan 15
2.1.6 Pilihan Ruang Aktivitas Anak Jalanan 18
2.1.7 Penanganan Anak Jalanan 19

2.2. Rumah Singgah 20


2.2.1. Pengertian Rumah Singgah 20
2.2.2. Fungsi Rumah Singgah 21
2.2.3. Tujuan Rumah Singgah 21
2.2.4. Prinsip Rumah Singgah 22

2.3. Infill Design 24


2.3.1 Pengertian Infill Design 24
2.3.2 Latar Belakang Kemunculan Infill Design 25
2.3.3 Tujuan Infill Design 25

BAB III
TINJAUAN LOKASI 26

3.1. Tinjauan Kota Solo 26


3.1.1. Letak Administratif 26

3.2. Tinjauan Lokasi Tapak 27


3.2.1. Alasan Pemilihan Tapak 30
3.2.2. Kondisi Sekitar Tapak 32

vii
BAB IV
PENDEKATAN KONSEP 34

4.1. Input 34

4.2. Proses 41

4.3. Output 44

4.4. Pendekatan Infill Design 46


4.4.1. Tujuan Infill Design 46
4.4.2. Kriteria Pemilihan Tapak 46

4.5. Guideline Infill Design 47


4.5.1. Analisis Tapak 47
4.5.2. Konteks Area 48
4.5.3. Pengembangan Tapak 49
4.5.4. Penataan Bangunan dan Desain 51

4.6. Lingkup Solusi dan Pendekatan 52

BAB V
KONSEP DESAIN 54

5.1. Konsep Makro 54


5.1.1. Konsep Keterjangkauan terhadap Tapak 54

5.2. Konsep Meso 55


5.2.1. Konsep Programatik Bangunan 55
5.2.2. Konsep Zonasi Tapak 58
5.2.3. Konsep Sirkulasi Tapak 59
5.2.4. Konsep Tata Massa 60
5.2.5. Konsep Fasad 61
5.2.6. Konsep Material 62
5.2.7. Konsep Landscape 63
5.2.8. Konsep Utilitas 64

5.3. Konsep Mikro 64

viii
5.3.1. Konsep Zonasi Bangunan 64
5.3.2. Konsep Sirkulasi Bangunan 66
5.3.3. Konsep Pengalaman Ruang 70
5.3.4. Konsep Kenyamanan Thermal 74
5.3.5. Konsep Pencahayaan 75

DAFTAR PUSTAKA 76

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Diagram Jumlah Anak Jalanan di Indonesia (2002-2015) 1


Gambar 1. 2. Diagram Peningkatan Anak Jalanan di Kota Surakarta 3
Gambar 3. 1. Peta Administratif Kota Surakarta 26
Gambar 3. 2. Landmark di Sekitar Tapak 29
Gambar 3. 3. Diagram Skema Tapak Keseluruhan 32
Gambar 3. 4. Keadaan Sekitar Tapak Sumber : Dokumentasi Pribadi (2015) 30
Gambar 4. 1. Diagram Skema Kerangka Konsep 34
Gambar 4. 2. Sifat Anak Jalanan dan Sifat Ruang yang Dibutuhkan 35
Gambar 4. 3. Diagram Skema Perilaku Spasial Anak Jalanan 36
Gambar 4. 4. Diagram Skema Siklus Permasalahan Munculnya Anak Jalanan 37
Gambar 4. 5. Dimensi Terkait Desain Bangunan dan Furnitur : Perbandingan 38
Gambar 4. 6. Dimensi Terkait Desain Bangunan dan Furnitur : Perbandingan Berdasarkan
Ketinggian Manusia 39
Gambar 4. 7. Contoh penerapan Adjustable Furniture 40
Gambar 4. 8. Diagram Skema Metode Center Based sebagai Penyelesaian Masalah Anak
Jalanan 41
Gambar 4. 9. Diagram Skema Metode Community Based sebagai Penyelesaian Masalah
Anak Jalanan 42
Gambar 4. 10. Diagram Skema metode Street Based sebagai Penyelesaian Masalah Anak
Jalanan 43
Gambar 4. 11. Diagram Skema Metode Shelter Based sebagai Penyelesaian Masalah Anak
Jalanan 43
Gambar 4. 12. Diagram Skema Metode Pendekatan Infill Design 44
Gambar 5. 1. Skema Keterjangkauan terhadap tapak 54
Gambar 5. 2. Skema Penjangkauan Anak Jalanan Terhadap Tapak 55
Gambar 5. 3. Skema Programatik Ruang Rumah Singgah 58
Gambar 5. 4. Diagram Skema Zonasi Tapak 58
Gambar 5. 5. Skema Zonasi Tapak 59
Gambar 5. 6. Ruang Terbuka sebagai Pusat Aktivitas dan Interaksi 59
Gambar 5. 7. Skema Sirkulasi Tapak untuk Pengguna 60
Gambar 5. 8. Diagram Skema Massa Bangunan 60

x
Gambar 5. 9, Ketinggian Bangunan di Sekitar Tapak 61
Gambar 5. 10. Skema Ketinggian Massa Bangunan Satu Lantai 61
Gambar 5. 11. Skema Ketinggian Massa Bangunan Dua Lantai 61
Gambar 5. 12. Skema Outline Fasad yang Selaras dengan Lingkungan Sekitar 62
Gambar 5. 13. Material Dominan Pada Bangunan di Sekitar Tapak 62
Gambar 5. 14. Diagram Material yang Digunakan Pada Bangunan 62
Gambar 5. 15. Skema Eco-material 63
Gambar 5. 16. Skema Orientasi Landscape 63
Gambar 5. 17. Skema Orientasi Landscape 64
Gambar 5. 18. Skema Hubungan Landscape dan Bangunan 64
Gambar 5. 19. Diagram Skema Konsep Zonasi Bangunan Utama 65
Gambar 5. 20. Konsep Zonasi Bangunan Pendukung 1 65
Gambar 5. 21. Konsep Zonasi Bangunan Pendukung 2 66
Gambar 5. 22. Diagram Skema Konsep Sirkulasi Pengunjung Umum 66
Gambar 5. 23. Skema Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Utama 67
Gambar 5. 24. Konsep Sirkulasi Pengelola Bangunan Utama 67
Gambar 5. 25. Skema Konsep Sirkulasi Pengelola Bangunan Utama 68
Gambar 5. 26. Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Pendukung 1 68
Gambar 5. 27. Skema Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Pendukung 1 69
Gambar 5. 28. Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Pendukung 2 69
Gambar 5. 29. Skema Konsep Sirkulasi Bangunan Pendukung 2 69
Gambar 5. 30. Ruang dengan Pilihan Aktivitas dan Mudah dalam Kontrol Visual 70
Gambar 5. 31. Fleksibilitas Ruang 71
Gambar 5. 32. Ruang yang Bersinergi dengan Alam 71
Gambar 5. 33. Ruang yang Rileks 72
Gambar 5. 34. Ruang Tidur yang Tidak Terlalu Tertutup 72
Gambar 5. 35. Ilustrasi Ruang Pelatihan Outdoor 73
Gambar 5. 36. Ilustrasi Zona Publik pada Bangunan Utama 73
Gambar 5. 37. Ilustrasi Ruang Publik pada Bangunan Utama 74
Gambar 5. 38. Ilustrasi Kamar Tidur 74

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Karakteristik Anak Jalan 11


Tabel 4. 1. Standar Pemilihan Tapak 46
Tabel 4. 2. Standar Pemilihan Tapak 47
Tabel 4. 3. Standar Analisa Konteks Tapak 48
Tabel 4. 4. Standar Analisa Konteks Tapak 49
Tabel 4. 5. Lingkup Solusi dan Pendekatan 52
Tabel 5. 1. Tabel Kebutuhan Ruang berdasarkan Model Penyelesaian Anak Jalanan 55
Tabel 5. 2. Tabel Kebutuhan Luas Bangunan 57

xii
ABSTRAKSI

Fenomena anak jalanan merupakan hal yang umum dijumpai hampir di setiap
kota di Indonesia. Saat ini jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai angka 300.000. Di
Surakarta sendiri anak jalanan mengalami kenaikan hingga angka 357 anak pada tahun
2010 yang hingga saat ini tidak diimbangi dengan solusi yang tepat dalam penanganan
anak jalanan.
Di sisi lain anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa sekaligus
merupakan investasi terbesar bagi keberlangsungan suatu negara. Anak adalah aset dan
salah satu pilar pembangunan negara yang harus dijaga. Fakta mengenai jumlah anak
jalanan yang begitu besar membutuhkan solusi tepat untuk menekan jumlah anak jalanan
pada tahun-tahun berikutnya.
Rumah singgah merupakan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan anak
jalanan di Indonesia. Rumah singgah sebagai tempat penampungan sementara memberikan
bermacam fasilitas sebagai daya tarik, yang dapat digunakan oleh anak-anak jalanan untuk
beristirahat, membersihkan diri, mencuci pakaian, makan, berteduh, tidur, bermain, dan
lain sebagainya. Selain fasilitas, anak-anak jalanan di rumah singgah juga memperoleh
beragam pelayanan berupa program bimbingan anak, bimbingan keluarga, dan pendidikan
jalanan.
Surakarta sendiri saat ini belum memiliki rumah singgah anak jalanan dengan
daya tampung yang memenuhi. Dengan visi yang sejalan dengan Program Solo Kota
Layak Anak, rumah singgah ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi
penanggulangan anak jalanan dan dapat dijadikan percontohan dengan konsepnya yang
infill.

xiii
ABSTRACT

The phenomenon of street children is commonly found in almost every city in


Indonesia. Currently the number of street children in Indonesia has reached 300,000 while
in Surakarta itself the number has increased to 357 by 2010. However the government of
Surakarta does not provide the right solution to suppress its increasing number.

On the other hand, children as the next generation of a nation play the important
role as the success key for a nation's continuity. Children are assets and one of many pillars
of a nation who have to be taken good care of. The great number of street children need the
right solutions to reduce the number of street children in the following years.

Street children halfway house is one of many solution addressing the problems of
street chilren Indonesia. Halfway house as temporary shelter provide various facilities as
the main attraction to street children which can be used to rest, clean up, do laundry, eat,
sleep, play, and so forth. In addition to the facilities, street children also get a variety of
services such as formal and informal education program, family counseling, and street
guidance.

Currently Surakarta does not have street children halfway house which meet the
requirement in capacity. Carrying a vision in accordance with the government of
Surakarta's program, Solo Kota Layak Anak, this halfway house is expected to be the right
solution to decrease street children problem and be the model concept of children halfway
house with its infill concept.

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Fenomena Anak Jalanan di Indonesia
Anak jalanan adalah seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang
menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya
(Shalahuddin, 2000). Tidak jauh berbeda, Departemen Sosial RI mendefenisikan
anak jalan sebagai anak yang sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalana atau di tempat umum lainnya.
Fenomena anak jalanan merupakan hal yang umum dijumpai hampir di
setiap kota di Indonesia. Saat ini jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai angka
300.000. Berdasarkan hasil Susenas yang diselenggarakan pada tahun 2002 oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusdatin Kementrian Sosial, tercatat ada 94.647
anak jalanan di Indonesia. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah anak jalanan
meningkat menjadi 154.681. Jumlah ini meningkat sebanyak 64% dibandingkan pada
tahun 2002. Dengan metode konservatif, terdapat kenaikan jumlah anak jalanan
sebesar 10.6% setiap tahunnya sehingga pada tahun 2015 jumlah anak jalanan
mencapai 313.403 anak. Dari jumlah tersebut Badan Pusat Statistik menyatakan
sebagian besar berada di Jakarta, sisanya tersebar di kota-kota besar seperti Medan,
Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja, Surabaya, Malang, Semarang, dan
Makasar.
350000
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
2002 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Gambar 1.1. Diagram Jumlah Anak Jalanan di Indonesia (2002-2015)


Sumber : Badan Pusat Statistik (2015)

1
Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa sekaligus merupakan
investasi terbesar bagi keberlangsungan suatu negara. Anak adalah aset dan salah
satu pilar pembangunan negara yang harus dijaga. Kekurangan pendidikan
berdampak pada pola pikir dan pola berperilaku anak sedangkan kehidupan yang
tidak memadai berdampak pada kesehatan. Kedua hal tersebut adalah hal yang tidak
jarang dialami oleh anak jalanan dan berpotensi menciptakan siklus kehidupan baru
yang berdampak buruk. Jika kondisi dan kualitas hidup anak berada di bawah
standar, maka masa depan negara berada pada titik bahaya. Bahkan, tidak tertutup
kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi
yang hilang). Fakta mengenai jumlah anak jalanan yang begitu besar membutuhkan
solusi tepat untuk menekan jumlah anak jalanan pada tahun-tahun berikutnya.

1.1.2 Rumah Singgah sebagai Salah Satu Solusi Penanganan Anak Jalanan
Rumah singgah anak jalanan adalah suatu tempat yang dipersiapkan sebagai
perantara untuk anak-anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka,
rumah singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana resosialisasi
anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sumber lain mengatakan bahwa rumah singgah anak jalanan adalah : tempat
beristirahat sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu
memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses lebih
lanjut (Konferensi Nasional II Masalah Pekerja Anak, 1996)
Menurut pasal 9 ayat (1) UU tahun 2002 tentang perlindungan anak :
“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat termasuk
anak jalanan. Hak asasi anak terlantar dan anak jalanan pada hakekatnya adalah sama
dengan manusia pada umumnya seperti tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang
pengesahan Convention on The Right of The Child”.
Rumah singgah merupakan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan
anak jalanan di Indonesia. Rumah singgah sebagai tempat penampungan sementara
memberikan bermacam fasilitas sebagai daya tarik, yang dapat digunakan oleh anak-
anak jalanan untuk beristirahat, membersihkan diri, mencuci pakaian, makan,

2
berteduh, tidur, bermain, dan lain sebagainya. Selain fasilitas, anak-anak jalanan di
rumah singgah juga memperoleh beragam pelayanan berupa program bimbingan
anak, bimbingan keluarga, dan pendidikan jalanan.
Keberadaan rumah singgah sebagai perentas anak jalanan pada saat ini
masih sangat kurang jumlahnya. Sebagai sampel adalah Jakarta sebagai Ibukota
Indonesia dengan angka anak jalanan paling tinggi. Badan Pusat Statistik mencatat
terdapat 7.315 anak jalanan di Jakarta sedangkan rumah singgah yang dimiliki
Pemprov DKI Jakarta sebanyak 26 rumah singgah. Lima rumah singgah di Jakarta
Pusat, 5 rumah singgah di Jakarta Utara, 4 rumah singgah di Jakarta Barat, 4 rumah
singgah di Jakarta Selatan dan 8 rumah singgah di Jakarta Timur. Jumlah tersebut
masih jauh dari cukup untuk memberi efek signifikan terhadap jumlah anak jalanan
yang ada.

1.1.3 Surakarta dan Anak Jalanan


Menurut data dari Badan Pusat Statistik Surakarta, pada tahun 2009 terdapat
234 anak jalanan di Surakarta dan meningkat menjadi 357 anak jalanan pada tahun
2010.

400

300

200

100

0
2009 2010

Gambar 1.2. Diagram Peningkatan Anak Jalanan di Kota Surakarta


Sumber : Badan Pusat Statistik Surakarta (2010)

Namun menurut artikel yang dirilis oleh Tempo Interaktif pada Mei 2011,
Solo dinilai belum memiliki penyelesaian terkait permasalahan anak jalanan. Ketua
lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja, Retno Heni
Pujiati, mengatakan sebenarnya Surakarta memiliki berbagai program berpihak pada
hak anak tetapi faktanya anak jalanan belum tersentuh. "Hanya karena program
itulah Kota Surakarta dinilai baik mengembangkan kota layak anak," kata Retno.

3
Menurutnya, satu-satunya kegiatan yang dilakukan pemerintah kota terhadap anak
jalanan hanyalah razia. "Itu sama sekali tak menyentuh akar persoalan," kata Retno.
Padahal, anak jalanan juga harus bisa menikmati fasilitas dari pemerintah, seperti
pendidikan dan kesehatan. Menurut Retno, pemerintah belum punya perspektif yang
komprehensif dalam memandang dan memperlakukan anak jalanan. "Belum bisa
menganggap anak jalanan adalah korban realita sosial," kata dia. Jadi, anak jalanan
lebih sering dipandang sebagai penyakit masyarakat.
Seperti yang ditulis koran Suara Merdeka pada Oktober 2013, Solo masih
belum memiliki rumah singgah dengan jumlah yang mencukupi. Kepala Seksi
Rehabilitasi Bidang Sosial Disnosnakertrans, Bambang Yunianto menyebutkan
selama ini di pemerintah Kota Solo memiliki tiga rumah singgah yaitu : Pamardi
Yoga yang diperuntukkan bagi anak-anak jalanan, lalu Panti Werda untuk orang tua
dan lansia, serta Panti Wanita Utama yang lebih dipakai untuk menampung para
waktu pekerja seks komersil (PSK). “Biasanya ketika ditangkap kami data dan
dikembalikan ke daerahnya masing-masing. Ini tidak bisa menumbuhkan efek jera
karena mereka pasti bisa kembali lagi," tutur Bambang. Selain minimnya kapasitas,
Bambang juga pusing ketika menangkap PGOT yang masuk dalam usia produktif.
Akhirnya karena belum ada rumah singgah bagi kelompok ini, lagi-lagi petugas
hanya mendata dan memulangkan. Tidak bisa untuk memberikan pelatihan buat
bekal mereka.

1.1.4 Surakarta sebagai Kota Layak Anak


Pemkot Surakarta mencanangkan menjadi kota Surakara menjadi kota layak
anak pada 2015. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan
Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Surakarta, Anung Indro
Susanto, mengatakan “Salah satu indikator layak anak berarti tidak ada lagi anak
jalanan pada 2015”, pada saat deklarasi kelurahah layak anak di Taman Cerdas.
Namun setelah ditinjau pada draft percepatan Solo Kota Layak Anak yang
dijadikan sumber patokan penyusunan program, anak jalanan sama sekali tidak
disebutkan sebagai permasalahan dan tidak ada acuan penyelesaian terhadap hal
tersebut. Oleh karena itu, rumah singgah sebagai penyelesaian permasalahan anak
jalanan dirasa perlu sebagai program back up solusi permasalahan anak jalanan.

4
1.2 Permasalahan
1.2.1 Permasalahan Umum
Bagaimana mewujudkan rangcangan rumah singgah yang dapat
mengajarkan norma bermasyarakat kepada anak jalanan dan menghidupkan
kawasan?

1.2.2 Permasalahan Arsitektural


a. Bagaimanan mewujudkan rancangan bangunan rumah singgah di
kawasan kampung marginal?
b. Bagaimana mewujudkan rancangan bangunan rumah singgah yang
tanggap teknologi baik dari stuktur dan material namun ramah terhadap
lingkungan dan merespon konteks kawasan?

1.3 Tujuan dan Sasaran Pembahasan


1.3.1 Tujuan
Merumuskan konsep perencanaan dan perancangan rumah singgah anak
jalanan dengan pendekatan infill design yang dapat memfasilitasi anak
jalanan melalui program pengembangan anak, desain rumah singgah yang
terintegrasi dengan lingkungan sekitar, dan menyelesaikan permasalahan
sosial anak jalanan dengan tujuan anak jalanan secara psikologis merasa
terdukung dan diterima oleh masyarakat sehingga model rumah singgah ini
dapat menjadi acuan bagi perancangan rumah singgah yang lain.
1.3.2 Sasaran
Mewujudkan desain bangunan rumah singgah anak jalanan sebagai
bangunan yang membaur dengan masyarakat di mana interaksi masyarakat
dan anak jalanan menjadi fokus utama aktivitas.

1.4 Ruang Lingkup Penulisan


Perumusan konsep perencanaan dan perancangan rumah singgah anak
jalanan sebagai tempat pengembangan diri anak jalanan dengan pendekatan infill
design sebagai jawaban akan kurangnya lahan dan kurangnya integrasi rumah
singgah dengan lingkungan sekitar. Rumah singgah ini akan berfokus pada interaksi
anak jalanan dengan masyarakat sebagai dorongan moral utama bagi anak jalanan.

5
1.5 Metodologi Penulisan
1.5.1 Pengumpulan Data
a. Studi literatur
Studi literatur dilakukan untuk mencari data mengenai standard
kebutuhan ruang rumah singgah, program pokok rumah singgah, sirkulasi, dan
zonasi, yang mendukung fungsi bangunan.
b. Survey lapangan
Survey lapangan dilakukan terhadap site yang telah dipilih untuk
mendapatkan data-data berupa foto, ukuran, serta konteks lingkungan dan
pengaruhnya terhadap tapak dan bangunan.
1.5.2 Analisis
Analisis secara kualitatif dan kuantitatif terhadap data-data telah
dikumpulkan melalui metode penelitian : studi literatur, survey lapangan, dan studi
kasus mengenai rumah singgah anak jalanan.
1.5.3 Sintesis
Sintesis merupakan proses transformasi analisis menjadi rumusan-rumusan
konsep dengan sumber data dan pendekatan desain.

1.6 Sistematika Penulisan


1.6.1 Bab I : Pendahuluan
Pemaparan latar belakang, permasalahan, tujuan, sasaran, lingkup
penelitian, metodologi, sistematika pembahasan, dan keaslian penulisan.
1.6.2 Bab II : Studi Pustaka
Studi pustaka mengenai anak jalanan, rumah singgah dan peranannya dalam
penyelesaian masalah anak jalanan, dan Infill design secara umum.
1.6.3 Bab III : Tinjauan Lokasi
Pembahasan mengenai pemilihan tapak dan analisis tapak yang digunakan
untuk rumah singgah baik secara makro, meso, dan mikro.
1.6.4 Bab IV : Pendekatan Konsep
. Pembahasan mengenai sistem kerja rumah singgah yang diterapkan dengan
pendekatan Infill design.

6
1.6.5 Bab V : Konsep Desain
Penjelasan detail gagasan arsitektural sebagai aspek desain rumah singgah
yang merupakan jawaban dari pendekatan Infill design.

1.7 Keaslian Penulisan


Karya tugas akhir yang sudah ditulis sebelumnya digunakan sebagai
pembanding kesamaan maupun perbedaan yang diangkat dalam penulisan karya
tugas akhir. Konsep pendekatan Infill design berbeda dengan karya tugas akhir
sebelumnya yang sama-sama menjadikan rumah singgah sebagai objek desain.
Beberapa karya tugas akhir yang dijadikan pembanding adalah :

Tabel 1. 1. Tabel Keaslian Penulis


Judul Penulis Tahun

Rumah Singgah Sebagai Tempat Transit dan Yeni Setiawan 1999


Resosialisasi Anak Jalanan di Jakarta
Perilaku Spasial Anak Jalanan di Kota Jimly Ali Faraby 2009
Yogyakarta
Rumah Singgah Anak Jalanan Penekanan Pada Yuli Susanti 2010
Karakter Bebas Anak Jalanan`
Panti Sosial Bina Karya di Yogyakarta Tobias Kea 2012
Psikologi Arsitektur Sebagai Upaya Suksmalana
Rehumanisasi

7
BAB II
STUDI PUSTAKA

2.1. Anak Jalanan


2.1.1 Pengertian anak jalanan
Menurut Departemen Sosial RI, anak jalanan adalah anak yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari
di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat
umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri berusia antara lima sampai delapan
belas tahun, melakukan kegiatan atau sekedar berkeliaran di jalan dengan
penampilan kusam dan pakaian tidak terurus.

Selain itu, Direktorat Kesejahteraan Anak, Keluarga, dan Lanjut Usia,


Departemen Sosial memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian
besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau
tepat-tempat umum lainnya dengan usia berkisar dari lima sampai delapan belas
tahun. Adapun waktu yang dihabiskan di jalan adalah lebih dari empat jam dalam
sehari. Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan demi mencari
nafkah baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang tuanya.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak
berusia enam sampai delapan belas tahun yang menghabiskan sebagian besar
waktunya di jalanan untuk mencari nafkah atau sekedar berkeliaran saja.

2.1.2 Pengelompokan Anak Jalanan

Menurut Surbakti dkk (1997:59) berdasarkan hasil kajian di lapangan,


secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Children on the Street
Children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan
ekonomi sebagai pekerja anak di jalan tetapi masih mempnyai hubungan yang
kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka yang dijalankan
pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi

8
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung
namun tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.

b. Children of the Street


Children of the Street adalah anak-anak yang berpartisipasi penuh di
jalanan baik sevara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih
mempunyai hubungan dengan orang tuanya dengan frekuensi pertemuan yang
tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu
sebag lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian penunjukkan bahwa anak-
anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial,
emosional, fisik, maupun seksual.

c. Children from Families of the Street


Children from families of the street adalah anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan
kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu
tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari
kategori ini adalah penampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi,
bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan
mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang
rel kereta api, dan pinggiran sungai dan secara kuantitatif jumlahnya belum
diketahui secara pasti.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Sosial Republik RI dan


UNDP di Jakarta dan Surabaya (BKSN, 2000), anak jalanan dikelompokkan dalam
empat kategori, yaitu :
a. Anak jalanan yang hidup di jalan dengan kriteria :
 Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya.
 Delapan hingga sepuluh jam berada di jalanan untuk bekerja dan sisanya
menggelandang atau tidur
 Tidak bersekolah
 Rata-rata berusia di bawah empat belas tahun
b. Anak jalanan yang bekerja di jalan dengan kriteria :
 Berhubungan tida teratur dengan orang tuanya

9
 Delapan hingga enam belas jam berada di jalanan
 Mengontrak kamar sendiri bersama teman, orang tua, atau saudara
umumnya di daerah kumuh
 Tidak lagi sekolah
 Pekerjaan pada umumnya adalah penjual koran, pengasong, pencuci bus,
pemulung, penyemir sepatu, dan lain-lain.
 Rata-rata berusia di bawah enam belas tahun
c. Anak yang rentan menjadi anak jalanan dengan kriteria :
 Bertemu teratur setiap hari dan tinggal atau tidur dengan keluarganya
 Empat hingga lima jam bekerja di jalanan
 Masih bersekolah
 Usia rata-rata di bawah empat belas tahun
d. Anak jalanan berusia di atas enam belas tahun dengan kriteria :
 Tidak lagi berhubungan atau berhubungan tidak teratur dengan keluarganya
 Delapan hingga dua puluh empat jam berada di jalanan
 Tidur di jalanan atau rumah orang tua
 Sudah tamat pendidikan dasar atau menengah namun tidak bersekolah lagi

2.1.3 Karakteristik anak jalanan


Karakteristik yang menonjol pada anak jalanan (BSKN, 2000) adalah :
1. Nampak kumuh, kotor, tapi tidak gembel
2. Memandang orang lain sebagai orang yang dimintai uang
3. Mandiri, tidak menggantungkan diri pada orang lain terutama untuk tidur,
mandi, maupun makan.
4. Muka atau mimik wajah yang memelas ketika berhadapan dengan orang lain
5. Tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik bercakap-cakap ataupun
sekedar berbicara sedikir dengan siapapun
6. Malas mengerjakan peerjaan anak rumahan misalnya tidur dan mandi secara
teratur
Adapun ciri anak jalanan secara umum dapat dibedakan menjadi dua
karakteristik utama yaitu fisik dan psikis.

10
Tabel 2. 1. Karakteristik Anak Jalan
Ciri Fisik Ciri Psikis

1. Warna kulit kusam 1. Acuh tak acuh


2. Pakaian tidak terurus 2. Mobilitas tinggi
3. Rambut kusam 3. Penuh curiga
4. Kondisi badan tidak terurus 4. Sensitif
5. Kreatif
6. Semangat hidup tinggi
7. Berwatak keras
8. Berani menanggung resiko
9. Mandiri

Sumber : BKSN (2000)

2.1.4 Penyebab Munculnya Anak Jalanan

Faktor penyebab keberadaan anak jalanan ada tiga tingkatan (BKSN, 2000:
26) yaitu pada tingkat mikro, tingkat meso, dan tingkat makro.
a. Tingkat Mikro
Pada tingkat mikro, faktor yang berpengaruh adalah hubungan anak dan
keluarga. Sebab-sebab yang dapat diidentifikasi dari anak dan keluarga saling
berkaitan tetapi dapat juga berdiri sendiri yaitu :
- Lari dari keluarga, tuntutan bekerja oleh keluarga bagi yang masih sekolah
atau putus sekolah, keinginian untuk berpetualang, bermain-main atau
terpengaruh ajakan teman.
- Penyebab dari keluarga: terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan
kebutuhan dasar, kemiskinan, pengangguran, ditolak orang tua, salah
perawatan atau terjadi kekerasan di rumah, kawin muda, perceraian,
kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan
orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak
yang berakibat anak menghadapi masalah fisik, psikis dan sosial.
b. Tingkat Meso
Pada tingkat meso, faktor utama yang berpengaruh adalah
hubungan anak dengan masyarakat sekitar.

11
- Pada masyarakat miskin yaitu anak adalah aset untuk membantu
peningkatan ekonomi keluarga
- Pada masyarakat lain yaitu urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak yang
mengikuti orang tua
- Penolakan masyarakat dan anggapan bahwa anak jalanan selalu
melakukan tindakan tidak terpuji
c. Tingkat Makro
Pada tingkat makro faktor utama yang mempengaruhi adalah
struktur masyarakatnya. Penyebab yang dapat diidentifikasi adalah :
- Ekonomi : adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu
membutuhkan modal dan keahlian
- Pendidikan : biaya sekolah yang tinggi dan perilaku guru yang
diskriminatif
- Penggusuran dan pengusiran keluarga mskan dari tanah atau rumah
mereka dengan alasan pembangunan
- Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan,
sebagian berpandangan anak jalanan merupakan kelompo yang
memerlukan perawatan (pendekatan kesejahrteraan) dan sebagian yang
lain memandang anaka jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan
keamanan)

Secara lebih detail Odi Shalahudin (2004:71) menjelaskan adanya tiga


faktor yang menyebabkan timbulnya anak jalanan. Ketiga faktor tersebut adalah :
a. Faktor keluarga
- Keluarga miskin
Hampir seluruh anak jalanan di Semarang berasal dari keluarga
miskin. Sebagian besar dari mereka saat ini berasal dari perkampungan-
perkampungan urban yang tidak jarang menduduki lahan-lahan milik negara
dengan membangun rumah-rumah petak yang sempit yang sewaktu-waktu
dapat digusur. Status keluarga miskin tersebut mengakibatkan anak dari
keluarga miskin harus ikut berjuang membantu orang tuanya untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi adalah dengan mencari penghidupan di jalanan.

12
- Perceraian dan kehilangan orang tua
Perceraian atau berpisahnya orang tua yang kemudian menikah lagi
atau memiliki teman hidup baru tanpa ikatan pernikahan seringkali
membuat anak menjadi frustasi. Rasa frustasi ini akan semakin bertambah
ketika anak dititipkan ke salah satu anggota keluarga orangtua mereka atau
ketika anak yang biasanya lebih memilih tinggal bersama ibunya merasa
tidak mendapatkan perhatian, justru mendapatkan perlakuan buruk dari ayah
tiri atau pacar baru ibunya. Situasi semacam ini akan membuat anak merasa
tidak betah hidup di lingkungan keluarga dan berusaha mencari ketenangan
dan kebahagiaan di tempat lain di mana salah satunya adalah hidup di
jalanan.
- Kekerasaan keluarga
Kekerasan keluarga merupakan merupakan faktor resiko yang paling
banyak dihadapi oleh anak-anak sehingga mereka memutuskan keluar dari
rumah dan hidup di jalanan. Kekerasan dalam keluarga tidak hanya bersifat
fisik saja, melainkan juga bersifat mental dan seksual.
- Keterbatasan ruang dalam rumah
Adanya rumah-rumah petak yang didirikan secara tidak permanen
dan seringkali menggunakan bahan-bahan bekas seadanya dengan ruang
yang sangat sempit, kadang hanya berukuran 3 X 4 meter saja. Bentuk dan
ukuran bangunan yang tidak layak disebut rumah itu kenyataannya dihuni
oleh banyak orang. Situasi semacam ini yang membuat anak-anak, biasanya
yang sudah berumur diatas lima tahun memilih atau dibiarkan oleh
orangtuanya untuk tidur diluar rumah, seperti di tempat ibadah (mushola
atau masjid) yang ada di kampung tersebut, pos ronda, atau ruang-ruang
publik yang berdekatan dengan kampung mereka.
- Eksploitasi ekonomi
Anak-anak yang turun ke jalanan karena didorong oleh orangtua atau
keluarganya sendiri biasanya bersifat eksploitatif. Anak ditempatkan sebagai
sosok yang terlibat di dalam pemenuhan kebutuhan keluarga.
- Keluarga homeless
Seorang anak menjadi anak jalanan bisa pula disebabkan karena
terlahirkan dari sebuah keluarga yang hidup di jalanan tanpa memiliki

13
tempat tinggal tetap. Kecenderungan yang tampak biasanya mereka bukan
merupakan keluarga yang utuh, melainkan seorang ibu bersama anak-
anaknya.
b. Faktor Lingkungan
- Terpengaruh oleh teman
Teman di sini bisa berarti teman-teman di lingkungan sekitar tempat
tinggal anak atau teman-teman di sekolahnya yang telah lebih dahulu
melakukan kegiatan di jalanan. Keterpengaruhan akan sangat cepat apabila
sebagian besar teman-temannya sudah berada di jalanan.
- Bermasalah dengan tetangga atau komunitas
Anak yang turun ke jalanan karena memiliki masalah dengan
tetangga atau komunitasnya, biasanya berawal dari tindakan anak yang
melakukan tindakan kriminal seperti pencurian.
- Ketidakpedulian atau toleransi lingkungan terhadap keberadaan anak di
jalanan
Ketidakpedulian komunitas di sekitar tempat tinggal anak atau
adanya toleransi dari mereka terhadap keberadaan anak-anak di jalanan
menjadi situasi yang turut mendukung bertambahnya anak-anak untuk turut
ke jalanan. Biasanya ini terjadi pada komunitas-komunitas masyarakat
miskin yang sebagian besar warganya bekerja di jalanan terutama sebagai
pengemis.
c. Faktor Lain
- Korban penculikan
Korban penculikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
anak-anak berada di jalanan. Kasus penculikan yang menimpa anak-anak
untuk dijadikan sebagai anak jalanan hampir terjadi setiap tahun.
Tampaknya kasus ini luput dari perhatian mengingat jumlah kasusnya
memang tidak besar.
- Dampak program
Niat baik tidaklah selalu menghasilkan hal baik. Program-program
anak jalanan yang dilakukan oleh berbagai pihak tentunya tidak
dimaksudkan untuk mempertahankan anak-anak di jalanan melainkan
dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan, kesempatan

14
mendapatkan hak-haknya dan yang terpenting adalah untuk mengeluarkan
anak dari dunia jalanan yang dinilai sangat tidak layak untuk diarungi oleh
mereka. Berbagai program bantuan kepada kelompok masyarakat miskin,
termasuk kepada anak jalanan dan keluarganya, di beberapa perkampungan
miskin yang menjadi basis tempat tinggal anak jalanan Semarang justru
mempengaruhi keluarga-keluarga lainnya untuk mendorong anak turun ke
jalanan dengan harapan bisa mendapatkan bantuan serupa. Hal ini bisa
dikatakan sebagai respon yang besar kemungkinan dapat terjadi di manapun
sehingga pihak-pihak yang terlibat untuk memberikan bantuan seharusnya
berhati-hati dan mengembangkan mekanisme pelaksanaan program yang
bisa mengantisipasi dampak buruk yang bisa bertolak belakang dari tujuan
program.
- Korban bencana
Bencana alam seperti banjir, gunung meletus dan sebagainya
ataupun bencana yang terjadi karena disebabkan oleh suatu akibat dari
kebijakan pembangunan seperti penggusuran perkampungan miskin ataupun
bencana yang ditimbulkan karena adanya konflik, yang kesemuanya itu
dapat menyebabkan komunitas tersebut harus pindah dari tempat tinggal
asalnya dan menjadi pengungsi. Situasi di dalam pengungsian dengan
fasilitas dan persediaan bahan pangan yang terbatas menyebabkan anak-
anak melakukan kegiatan di jalanan seperti menjadi pengemis.

2.1.5 Aktivitas Spasial Anak Jalanan

Untuk memahami perilaku anak jalanan yang berkaitan dengan ruang,


Jimly Ali Faraby melakukan penelitian dengan metode induksi kualitatif. Dengan
metode ini, perilaku anak jalanan dalam memanfaatkan ruang kota dapat dieksplorasi
secara lebih jauh untuk mengkonstruksi konsep lokal tentang perilaku pemanfaatan
ruang kota oleh kelompok anak jalanan. Berikut ini adalah perilaku spasial anak
jalanan hasil amatan :

a. Menunggu Kendaraan
Lokasi anak-anak jalanan menunggu kendaraan selalu berada di sisi
jalan. Sisi jalan yang dimaksud di sini dapat berupa trotoar maupun median

15
jalan. Dalam melakukan kegiatan menunggu kendaraan, anak jalanan ternyata
mencari ruang-ruang yang memiliki aksesibilitas yang baik, yang mencakup dua
hal yaitu :
- Kedekatan, yaitu dekat dengan deretan kendaraan
- Kemudahan, yaitu tidak adanya hambatan berarti untuk mencapai deretan
kendaraan tersebut
Selain itu, kriteria umum ruang yang dimanfaatkan oleh anak jalanan
sebagai tempat menunggu kendaraan, yaitu :
- Ukuran yang cukup, yaitu cukup dalam pandangan anak jalanan itu sendiri
meskipun menanggung bahaya
- Tidak terdapat aktivitas yang sibuk atau ramai pada titik tersebut.
Selain kedua kriteria umum ruang tersebut, dari sisi anak jalanan itu
sendiri ada beberapa perilaku yang dapat diamati dalam kaitannya dengan
aktivitas mereka menunggu kendaraan, yaitu :
- Cenderung mencari tempat yang teduh jika memang ada
- Menyenangi desain ruang yang membentuk sandaran atau dudukan
b. Istirahat
Aktivitas istirahat yang dimaksud di sini adalah sengaja menghentikan
kegiatan utama mereka sejenak untuk menghilangkan penat, agar setelah pulih
dapat kembali melanjutkan aktivitasnya.
Dalam memilih ruang untu beristirahat, ternyata dijumpai kriteria
pilihan ruang oleh anak jalanan. Pilihan tersebut terkait dengan dua aspek utama,
yaitu :
- Aksesibilitas, yaitu kedekatan dan kemudahan untuk kembali ke titik
aktivitas. Ruang istirahat anak jalanan selalu berada ridak jauh dari tempat
mereka menunggu kendaraan
- Kenyamanan dengan kriteria :
 Adanya perlindungan dari sengatan sinar matahari. Perlindungan dari
sinar matahari pada ruang-ruang tersebut dapat terbentuk akibat
pepohonan di titik tersebut, desain ruang buatan tersebut, dan arah
bayangan yang terbentuk akibat posisi relatif terhadap matahari
 Ukuran yang cukup

16
 Tidak ada gangguan aktivitas lain di titik tersebut yang dapat
disebabkan oleh desain ruang yang memang tidak memungkinkan atau
tidak mendukung terjaddinya aktivitas lain dan distribusi pemanfaatan
ruang tersebut. Desain ruang memungkinkan untuk terjadinya aktivitas
lain, namun aktivitas tersebut tidak berlangsung di titik tempat anak
jalanan beristirahat, melainkan pada bagian ruang yang lain.
c. Berkumpul dan ngobrol
Titik-titik yang dipergunakan oleh anak jalanan sebagai tempat
berkumpul dan ngobrol pada umumnya merupakan titik-titik untuk beristirahat
dan menunggu kendaraan karena aktivitas berkumpul dan ngobrol pada dasarnya
terjadi ketika anak-anak jalanan sedang beristirahat, ataupun ketika mereka
mengisi kekosongan sambil menunggu kendaraan-kendaraan berhenti saat lampu
merah.
Oleh karena itu, karakter ruang ilihan yang digunakan oleh anak-anak
jalanan sebagai tempat untuk berkumpul dan ngobrol mengikuri pilihan mereka
terhadap ruang untuk beristirahat, sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, yaitu menekankan pada aspek kenyamanan dan aksesibilitas.
d. Menyimpan Barang
Ketika beroperasi di jalanan, tidak jarang anak-anak jalanan membawa
serta sejumlah barang-barangnya ke jalanan. Barang-barang yang biasa mereka
simpan selama beroperasi di perempatan ini biasanya berupa makanan ataupun
barang-barang lain yang mereka bawa. Faktor yang dipertimbangkan oleh anak
jalanan untuk menentukan tempat menyimpan barang-barang di jalanan yaitu :
- Keamanan, tercermin dalam lokasi penyimpanan atau peletakan barang-
barang yang berada dalam jangkauan pengawasan mereka ketika mereka
beraktivitas di jalanan
- Aksesibilitas, yaitu dekatnya lokasi penyimpanan atau peletakan barang-
barang dari tempat aktivitasnya memudahkan mereka dalam mengakses
barang tersebut jika sewaktu-waktu mereka butuhkan ketika sedang
beraktivitas
e. Bermain

17
Pada beberapa kesempatan ditemukan kejadian di mana anak jalanan
bermain. Aktivitas ini biasanya terjadi secara insidental dan biasanya dilakukan
secara spontan di sela-sela aktivitas mereka mencari uang.
Dilihat dari lokasinya, maka aktivitas ini pada dasarnya dapat terjadi di
mana saja. Tidak dilihat adanya pola tertentu dari lokasi ruang tempat mereka
bermain. Meskipun demikian, dapat diamati bahwa ada kesesuaian antara jenis
permainan dang ruang yang dimanfaatkan sebagai tempat bermain. Permainan
yang dimainkan anak-anak jalananini disesuaikan dengan ukurang ruang yang
tersedia saat itu. Apabila ruang yang tersedia cukup luas, maka mereka
menyesuaikan dengan ukuran ruang tersebut.

2.1.6 Pilihan Ruang Aktivitas Anak Jalanan


Bila memperhatikan pilihan ruang anak jalanan terhadap ruang bagi
aktivitasnya, maka dapat dilihat adanya kecenderungan anak jalanan untuk
memanfaatkan ruang-ruang sisa sebagai wadah aktivitasnya di jalanan. Ruang sisa
yang dimaksud di sini adalah ruang-ruang yang pada hakiktnya ada akan tetapi tidak
termanfaatkan dan cenderung menjadi ruang yang menganggur (Jimly Ali Faraby,
2009). Ruang-ruang sisa ini ada beberapa macam, yaitu :
a. Ruang yang secara desain ataupun lokasi memang tidak memngkinkan untuk
dimanfaatkan dan menjadi ruang sisa. Misalnya kolong-kolong kecil.
b. Ruang yang memang sengaja dibuat untuk suatu fungsi, namun tidak
untukdimanfaatkan bagi aktivitas. Contohnya adalah ruang-ruang pada median
jalan.
c. Ruang yang diperuntukkan bagi suatu dungsi, ruang tersebut dimanfaatkan bagi
fungsi tersebut, akan tetapi ada bagian ruang yang tidak termanfaatkan.
Misalnya ruang trotoar diperuntukkan sebagai jalur pedestrian. Namun demikian
ada sebagian dari ruang tersebut yang tidak termanfaatkan. Ruang inilah yang
cenderung akan digunakan oleh anak jalanan.
d. Ruang yang diperuntukkan bagi suatu fungsi namun tidak termanfaatkan bagi
fungsi tersebut. Contohnya adalah trotoar yang sama sekali tidak termanfaatkan
bagi pejalan kaki.

18
Pilihan ruang-ruang sisa yang dimanfaatkan oleh anak jalanan tidak harus
berupa ruang publik dan fasilitas umum, namun mereka juga dapat memanfaatkan
ruang-ruang milik privat. Ini menunjukkan bahwa cakupan pemanfaatan ruang yang
dilakukan oleh anak jalanan sangat fleksibel. Selama tidak ada penghalang ataupun
hambatan untuk memanfaatkan ruang tersebut, maka mereka bisa saja
memanfaatkannya bagi kepentingan mereka, tanpa memperdulikan kepemilikan
ruang tersebut.
Perilaku anak-anak jalanan untuk memanfaatkan ruang-ruang sisa ini juga
dapat dipandang sebagai suatu wujud upaya penyesusaian diri untuk mengakomodasi
kebutuhan mereka terhadap yang tidak terakomodasi dalam bentuk penyediaan ruang
bagi mereka.
Dalam tataran yang lebih mendasar lagi, perilaku ini dapat dipahami sebagai
bentuk aplikasi dari salah satu nilai yang dianut oleh anak jalanan. Nilai ini ialah
keinginan uttuk tidak dianggap sebagai pengganggu bagi masyarakat luas. Nilai ini
terwujud dalam bentuk perilaku mereka untuk memanfaatkan ruang-ruang sisa, yaitu
ruang-ruang yang selama ini tidak dimanfaakan oleh orang lain. Dalam anggapan
mereka, perilaku seperti ini merupakan benruk upaya mereka untuk tidak menggangu
orang lain.

2.1.7 Penanganan Anak Jalanan

Dalam garis besar, alternatif metode penanganan anak jalanan mengarah


kepada beberapa jenis model (Suharto, 2006) yaitu :

1. Street-based Intervention
Street-based Intervention merupakan penanganan anak jalanan yang
dipusatkan di jalan di mana anak-anak jalanan biasa beroperasi. Metode ini
bertujuan untuk dapat menjangkau dan melayani anak di lingkungan
terdekatnya, yaitu di jalan.
2. Shelter-based Intervention
Pendekatan shelter-based intervention ini mencakup tempat berlindung
sementara berupa rumah singgah atau open house yang menyediakan fasilitas
panti dan asrama adaptasi bagi anak jalanan.
3. Family-centered Intervention

19
Family-centered Intervention merupakan penanganan anak jalanan yang
difokuskan pada pemberian bantuan sosial atau pemberdayaan keluarga
sehingga dapat mencegah anak-anak agar tidak menjadi anak jalanan atau
dengan kata lain menarik anak jalanan kembali kepada keluarganya.
4. Center-Based Intervention
Center-based Intervention merupakan penanganan anak jalanan yang
dipusatkan di lembaga (panti) baik secara sementara dalam bentuk menyiapkan
reunifikasi dengan keluarganya maupun secara permanen apabila anak jalanan
sudah tidak memiliki orang tua atau kerabat.
5. Community-based Intervention
Community-based Intervention merupakan penanganan anak jalanan
yang dipusatkan di sebuah komunitas. Metode ini melibatkan program-proram
community development untuk memberdayakan masyarakat atau penguatan
kapasitas lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking
melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial
masyarakat. Pendekatan ini juga mencakup CSR (Corporate Social
Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan.

2.2. Rumah Singgah


2.2.1. Pengertian Rumah Singgah
Dalam pengertian rumah singgah secara terminologi rumah berarti
bangunan untuk tempat tinggal, sedangkan singgah adalah mampir atau berhenti
sebentar di suatu tempat ketika dalam perjalanan. Dari pengertian diatas rumah
singgah bisa diartikan sebagai bangunan atau tempat tinggal yang di tempati dalam
waktu yang tidak lama. Sedangkan secara etimologi, rumah singgah adalah suatu
wahana yang di persiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak
yang membantu mereka Dari pengertian diatas rumah singgah merupakan proses
informal yang memberikan suasana resosialisasi kepada anak jalanan terhadap sistem
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat setempat. Rumah Singgah merupakan
tahap awal bagi seorang anak untuk memperoleh pelayanan selanjutnya, oleh
karenanya penting menciptakan rumah singgah sebagai tempat yang aman, nyaman,
menarik, dan menyenangkan bagi anak jalanan sehingga anak akan selalu di Rumah
Singgah.

20
2.2.2. Fungsi Rumah Singgah
Adapun menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional, rumah singgah
mempunyai beberapa fungsi yaitu :
a. Tempat pertemuan pekerja sosial dengan anak jalanan untuk menciptakan
persahabatan, mengkaji kebutuhan, dan melakukan kegiatan
b. Tempat untuk mengkaji kebutuhan dan masalah anak serta menyediakan rujukan
untuk pelayanan lanjutan
c. Perantara antara anak jalanan dengan keluarga, panti, keluarga pengganti, dan
lembaga lainnya
d. Perlindungan bagi anak dari kekerasan/penyalahgunaan seks, ekonomi, dan
bentuk lainnya yang terjadi di jalanan
e. Pusat informasi berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan anak jalanan
seperti data dan informasi tentang anak jalanan, bursa kerja, pendidikan, kursus
ketrampilan, dll
f. Mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak dimana para pekerja sosial
diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak jalanan dan menumbuhkan
keberfungsisosialan anak. Cara-cara penanganan profesional dilakukan antara
lain menggunakan konselor yang sesuai dengan masalahnya.
g. Jalur masuk kepada berbagai pelayanan sosial dimana pekerja sosial membantu
anak mencapai pelayanan tersebut
h. Pengenalan nilai dan norma sosial pada anak. Lokasi Ruamh Singgah berada di
tengah-tengah lingkunagn masyarakat sebagai upaya mengenalkan kembali
norma, situasi, dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Pada sisi lain
mengarah pada pengakuan, tanggung jawab, dan upaya warga masyarakat
terhadap penanganan masalah anak jalanan ini

2.2.3. Tujuan Rumah Singgah


Menurut Departemen Sosial RI (2002:7), tujuan umum rumah singgah
menurut adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan
menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya . Sedangkan tujuan
khususnya adalah:

21
a. Membentuk kembali sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku di masyarakat
b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti
dan lembaga lainnya jika diperlukan
c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak
dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang
produktif.
Adapun tujuan Rumah Singgah secara umum dapat dijabarkan sebagai
wahana terhadap pembinaan anak-anak jalanan yang dilandasi dengan sikap
pembentukan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku
termasuk pembentukan anak atas nilai-nilai atau norma-norma termasuk nilai-nilai
atau norma-norma agama.

2.2.4. Prinsip Rumah Singgah


Prinsip-prinsip Rumah Singgah disusun sesuai dengan karakteristik pribadi
maupun kehidupan anak jalanan untuk memenuhi fungsi dan mendukung strategi
yang telah disebutkan sebelumnya. Prinsip-prinsip tersebut menurut Departemen
Sosial RI (1999:16-20) adalah:
a. Semi Institusional
Dalam bentuk ini anak jalanan sebagai penerima layanan boleh bebas
keluar masuk baik untuk tinggal sementara maupun hanya mengikuti kegiatan.
Sebagai perbandingan, dalam bentuk institusional (panti) anak-anak di
tempatkan dalam panti dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam bentuk non
institusional (non panti) anak-anak tinggal dengan orang tuanya dan pemberi
pelayanan mendatangi mereka atau anak mendatangi lemabaga.
b. Pusat Kegiatan
Rumah Singgah merupakan tempat kegiatan, pusat informasi, dan akses
seluruh kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di luar Rumah Singgah
c. Terbuka 24 jam
Rumah Singgah terbuka 24 jam bagi anak. Mereka boleh datang kapan
saja, siang hari maupun malam hari terutama bagi anak yang baru mengenal
Rumah Singgah. Anak-anak yang sedang dibina, dilatih datang pada jam yang
telah ditentukan, misalnya paling malam jam 22.00 waktu setempat. Hal ini

22
memberikan kesempatan kepada anak jalanan untuk memperoleh perlindungan
kapanpun. Para pekerja sosial siap dikondisikan untuk menerima anak dalam 24
jam tersebut, oleh karena itu harus ada pekerja sosial yang tinggal di Rumah
Singgah.
d. Hubungan Informal
Hubungan-hubungan yang terjadi di Rumah Singgah bersifat informal
seperti perkawanan atau kekeluargaan. Anak jalanan di bimbing untuk merasa
sebagai anggota keluarga besar dimana para pekerja sosial bereperan sebagai
teman, saudara/kakak atau orang tua. Hubungan ini membuat anak merasa
diperlakukan seperti anak lainnya dalam sebuah keluarga dan merasa sejajar
karena pekerja sosial menempatkan diri sebagai teman dan sahabat. Dengan cara
ini diharapkan anak-anak mudah mengadukan keluhan, masalah, dan
kesulitannya sehingga memudahkan penanganan masalahnya.
e. Bermain dan Belajar
Di Rumah Singgah anak dibebaskan untuk bermain, tidur, bercanda,
bercengkrama, mandi, belajar kebersihan diri, dsb. Perilaku yang negatif seperti
perjudian, merokok, minuman keras dan sejenisnya harus dilarang. Dengan cara
ini diharapkan anak-anak betah dan terjaga dari pengaruh buruk. Peraturan
dibuat dan di sepakati bersama anak-anak.
f. Rumah Persinggahan
Rumah Singgah merupakan persinggahan anak jalanan dari situasi
jalanan menuju situasi lain yang dipilih dan ditentukan oleh anak, misalnya
kembali ke rumah, ikut saudara, masuk panti, kembali bersekolah, alih kerja di
tempat lain, dan sebagainya. Adapun penjabaran singgah sendiri adalah :
- Anak jalanan boleh tinggal sementara untuk tujuan perlindungan, misalnya
karena tidak punya rumah, ancaman atau kekerasan dari orang tua, dll.
Biasanya hal ini dihadapi anak yang hidup di jalanan yang tidak mempunyai
tempat tinggal.
- Pada saat tinggal sementara mereka akan memperoleh penanganan yang
terus menerus dari pekerja sosial untuk menemukan situasi-situasi seperti
tertera diatas. Sehingga mereka tidak tergantung terus kepada Rumah
Singgah.

23
- Anak jalanan datang sewaktu-waktu untuk bercakap-cakap, istirahat,
bermain, mengikuti kegiatan
- Rumah Singgah tidak memperkenankan anak jalanan untuk tinggal
selamanya
- Anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tua atau saudaranya atau
sudah mempunyai tempat tinggal tetap sendirian maupun berkelompok tidak
di perkenankan tinggal menetap di Rumah Singgah kecuali ada beberapa
situasi yang bersifat darurat. Anak jalanan yang sudah mempunyai tempat
tinggal tetap merupakan kondisi yang lebih bagus dibandingkan dengan
mereka yang membutuhkan Rumah Singgah sebagai tempat tinggal
sementara, seperti kelompok anak yang hidup dijalanan.
g. Partisipasi
Kegiatan yang dilaksanakan di Rumah Singgah didasarkan pada prinsip
partisipasi dan kebersamaan. Pekerja sosial dengan anak memahami masalah,
merencanakan, dan merumuskan kegiatan. Anak dilatih belajar mengatasi
masalahnya dan merasa memiliki atau memikirkan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan
h. Belajar Bermasyarakat
Anak jalanan seringkali menunjukan sikap dan perilaku yang berbeda
dengan norma masyarakat karena lamanya mereka tinggal dijalanan. Rumah
Singgah ditempatkan di tengah tengah masyarakat agar mereka kembali belajar
norma dan menunjukan sikap dan perilaku yang normatif.

2.3. Infill Design


2.3.1 Pengertian Infill Design
Secara harfiah, infill design berarti desain yang mengisi, menambahkan,
memasukkan suatu fungsi baru ataupun lama dalam konteks bangunan maupun
kawasan (Roger Trancik, Finding Lost Space, 1986) sehingga dalam pelaksanaannya
dapat diterjemahkan menjadi usaha mengisi sebuah bangunan atau kawasan dengan
desain baru. Kegiatan tersebut merupakan penambahan arsitektur, dimana site lama
diberi tambahan berupa suatu desain yang baru. Definisi lain dari infill design adalah
pembangunan bangunan-bangunan baru multifungsi yang sesuai dengan kebutuhan
masa kini dengan kepadatan yang tinggi pada lahan ataupun bangunan dikawasan

24
kota yang padat dan diharapkan dapat menghidupkan kawasan tersebut. (Kwanda,
2004).

2.3.2 Latar Belakang Kemunculan Infill Design


Latar belakang kemunculan infill design dimulai dari munculnya problem
perkuatan kota secara horizontal dan sprawling incremental menuju pinggiran dan
desa-desa. Hal ini mengakibatkan kurangnya densitas pada kota-kota dan memakan
lahan-lahan hijau dipinggiran. Sedangkan di Kota, perluasan ini menyebabkan
munculnya ruang-ruang hilang atau lost space yang tidak digunakan untuk aktivitas
positif dan permanen. Perluasan kota juga menyebabkan bertambahnya beban
transportasi dan energy untuk sirkulasi dari pinggiran kota ke pusat kota, dimana
masyarakat bekerja dipusat kota dan tinggal dipinggiran kota.
Dari sinilah muncul metode infill design dengan tujuan memadatkan ruang-
ruang sisa kota dan memaksimalkan FAR (Floor Area Ratio), beserta metode mix-
use maupun superimposisi berbagai fungsi dan aktivitas kedalam sebuah bangunan
yang terpadu. infill design seringkali digunakan pula untuk revitalisasi kawasan
dengan cara preservasi bangunan-bangunan bersejarah yang ada, seringkali infill
design disebut sebagai “the architecture of addition” (Byard, 1998).

2.3.3 Tujuan Infill Design


Infill design pada hakekatnya bertujuan untuk memadatkan ruang-ruang
kota, pada kawasan heritage, infill design berkaitan dengan konservasi dan
revitalisasi, memberi nyawa baru pada suatu bangunan/kawasan. Pada skala
bangunan, infill design memberi fungsi baru dan menyatu dengan bangunan
sekitarnta terkadang menjadi sebuah landmark baru ataupun menguatkan landmark
yang sudah ada. Dalam praktiknya, infill design terbagi menjadi beberapa tujuan :
a. Menghubungkan dua atau lebih bangunan
b. Mengisi lahan antara atau sisa (in between space)
c. Melengkapi sebuah bangunan atau kompleks bangunan
d. Meneruskan sebuah bangunan

25
BAB III
TINJAUAN LOKASI

3.1. Tinjauan Kota Solo


3.1.1. Letak Administratif
Secara geografis wilayah Kota Surakarta berada antara 110º45’15”-
110º45’35” BT dan 7º36’00”- 7º56’00”LS memiliki luas wilayah 44,04 Km² dengan
batas-batas sebagai berikut :
Batas Utara : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali
Batas Selatan : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar
Batas Timur : Kabupaten Sukoharjo
Batas Barat : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar
Kota Surakarta terletak di Jawa Tengah yang dilalui oleh jalan regional jalur
selatan. Selain batas administrasi, Kota Surakarta juga memiliki pembatas fisik
berupa gapura yang terdapat sebagai pintu masuk Kota Surakarta. Tidak hanya pada
pintu masuk tapi juga pintu keluar penghubung ke wilayah sekitarnya.

Gambar 3.1. Peta Administratif Kota Surakarta


Sumber : Dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Surakarta
Kota Surakarta (Sala) memiliki topografi ralatif datar serta memiliki
ketinggian dari permukaan air laut ± 92 m dan di tengah-tengah kota melintasi

26
Sungai Pepe, Jenes, Premulung dan Sungai Anyar. Kota Surakarta memiliki suhu
rata-rata 21,9ºC - 32,5ºC, dengan rata-rata tekanan udara sekitar 1.010,9 MBS,
kelembaban udara rata-rata antara 71%, kecepatan angin sekitar 4 knot dan arah
angin 240º, serta curah hujan terbesar sebesar 595 mm jatuh pada bulan Februari, dan
curah hujan terendah pada bulan Oktober mencapai 31,6 mm per hari.
Wilayah administrasi Kota Surakarta terdiri 5 kecamatan dan 51 kelurahan,
dengan dibantu oleh masyarakat dalam bentuk organisasi Rukun Warga sebanyak
601 Rukun Warga (RW) dan sejumlah 2.705 Rukun Tetangga (RT).
a. Kecamatan Laweyan dengan luas 8.638 m2
b. Kecamatan Serengan dengan luas 3.194 m2
c. Kecamatan Pasar Kliwon dengan luas 4.815 m2
d. Kejamatan Jebres dengan luas 12.582 m2
e. Kecamatan Banjarsari dengan luas 14.811 m2

3.2. Tinjauan Lokasi Tapak


Tapak berada di Kelurahan Manahan bagian utara berbatasan dengan
Kelurahan Gilingan dan Manahan. Tapak terletak di jantung kota sehingga mudah
terjangkau dari segala arah.

Gambar 3. 2. Lokasi Tapak Rumah Singgah


Sumber : Google Earth (diakses pada 12 Desember 2015)

27
Gambar 3. 3. Lokasi Tapak Berada Pada Wilayah Jantung Kota
Sumber : http://solokotakita.org/alat-perencanaan/ (diakses pada 8 Maret 2016)
Tapak berada pada kampung marginal di pusat kota Surakarta sehingga
selain dekat dengan anak yang rawan menjadi anak jalanan, diharapkan program
rumah singgah yang bersinergi dengan kampung dapat meningkatkan kesejahteraan
penduduk kampung. Menurut data dari Badan Pusat Statistik Surakarta, angka
kemiskinan di sekitar tapak tergolong tinggi yaitu lebih dari 30%. Angka kemiskinan
juga ditunjukkan pada pengguna WC umum wilayah tersebut. Setidaknya terdapat
dua puluh hingga tiga puluh keluarga yang menggunakan WC umum.

Gambar 3. 4. Presentase Penduduk Miskin di Sekitar Tapak


Sumber : http://solokotakita.org / (diakses pada 8 Maret 2016)

28
Gambar 3. 5. Jumlah Pengguna WC Umum di Sekitar Tapak
Sumber : http://solokotakita.org / (diakses pada 8 Maret 2016)

Tapak berada di bibir Sungai Bengawan Solo sebelah selatan. Sebelah


selatan berbatasan dengan Terminal Tirtonadi Solo dan di sebelah timur terdapat
Taman Tirtonadi.

Sungai Bengawan Solo

Terminal Tirtonadi

Taman Tirtonadi

Stasiun Solo Balapan

Gambar 3.6. Landmark di Sekitar Tapak

29
Sumber : 1. Google Maps (2015)
2. Gambar Sungai Bengawan solo: Dokumen Pribadi (2015)
3. Gambar Terminal Tirtonadi : http://www.suaramerdeka.com/v1 /index.php/read
/news_solo/2013/04/05/151750/Pembangunan-Lantai-Dua-Terminal-Tirtonadi-Butuh-Rp-
30-M- (Diakses pada 1 Januari 2016)
4. Gambar Taman Tirtonadi : http://www.jalansolo.com/wisata/menikmati-manfaat-taman-
tirtonadi-surakarta/ (Diakses pada 1 Januari 2016)
5. Gambar Stasiun Balapan Solo : http://tentangsolo.web.id/stasiun-balapan.html (Diakses
pada 1 Januari 2016)

3.2.1. Alasan Pemilihan Tapak


3.2.1.1. Konteks Area
Tapak berada di tengah area kampung marginal dengan penduduk yang
memiliki ekonomi menengah ke bawah. Seperti yang sudah diuraikan pada landasan
teori, anak jalanan muncul karena berbagai permasalahan yang mengakar pada
permasalahan keluarga dan permasalahan ekonomi. Pemilihan tapak ini akan
membantu fungsi rumah singgah sebagai pencegah munculnya anak jalanan karena
memiliki akses langsung terhadap elemen terkait penyebab munculnya anak jalanan
sehingga dapat melakukan program yang tepat.

Gambar 3. 7. Keadaan Sekitar Tapak

3.2.1.2. Aksesibilitas
Pemilihan lokasi tapak ini berdasarkan pertimbangan kedekatan akses dari
terminal sebagai tempat yang rawan anak jalanan. Terminal merupakan titik yang
rawan karena gerbang utama anak jalanan masuk kota mengingat banyaknya anak

30
jalanan yang bukan dari solo. Selain itu anak jalanan cenderung memilih tempat yang
dekat dengan akses umum dan transportasi umum. Tapak juga berada dekat dengan
taman kota yaitu Taman Tirtonadi yang sering dijadikan tempat beraktivitas anak
jalanan. Dengan tapak yang berada dekat dengan kedua tempat aktivitas anak
jalanan, diharapkan anak jalanan dapat mengakses rumah singgah dengan mudah.

Terminal Tirtonadi

Taman Tirtonadi

Gambar 3. 8. Titik Aktivitas Anak Jalanan


Sumber : 1. Google Maps (2015)
2. Gambar Terminal Tirtonadi : http://www.suaramerdeka.com/v1 /index.php/read
/news_solo/2013/04/05/151750/Pembangunan-Lantai-Dua-Terminal-Tirtonadi-Butuh-Rp-
30-M- (diakses pada 1 Januari 2016)
4. Gambar Taman Tirtonadi : http://www.jalansolo.com/wisata/menikmati-manfaat-taman-
tirtonadi-surakarta/ (diakses pada 1 Januari 2016)

3.2.1.3. Potensi dan Batasan Fisik


Pemilihan tapak didasarkan pada potensi tapak yang ingin diolah dan
batasan fisik yang menjadi tantangan desain. Potensi fisik dari tapak adalah :
a. Tapak berbatasan langsung dengan sungai bengawan solo
b. Tapak terletak di pusat kampung dengan empat orientasi fasad
c. Tapak memiliki vegetasi pendukung
Sedangkan batasan fisik dari tapak adalah :
a. Ketinggian bangunan sekitar tidak lebih dari satu lantai
b. Visual appearance bangunan sekitar yang tidak beraturan

31
c. Bangunan sekitar yang cenderung berdempetan dan tidak mengikuti aturan
sempadan
d. Belum adanya akses jalan aspal ke tapak

3.2.2. Kondisi Sekitar Tapak


.

Lokasi Tapak Jalan Lingkungan


Kampung Marginal Vegetasi

Gambar 3.9. Diagram Skema Tapak Keseluruhan


Terdapat tiga tapak terpilih yang tersebar di kampung. Pemilihan ini
bertujuan untuk menciptakan rumah singgah yang membaur dengan lingkungan
kampung. Tapak untuk bangunan utama terletak di pusat kampung dan berhubungan
langsung dengan sungai sehaingga cocok dijadikan pusat kegiatan interaksi.

Gambar 3. 10. Tapak Bangunan

Akses menuju tapak cukup sulit untuk kendaraan besar karena jalannya
yang cukup sempit. Material jalan sebagian besar masih berupa tanah sehingga licin

32
ketika musim hujan, berdebu ketika musim kemarau, dan ada juga yang berupa cor
beton.

Gambar 3. 11. Akses Menuju Tapak

33
BAB IV
PENDEKATAN KONSEP

Penyusunan konsep desain rumah singgah didasarkan pada permasalahan anak


jalanan. Pendekatan Infill design merupakan solusi jalan tengah sebagai respon dari
permasalahan anak jalanan dan permasalahan minimmya rumah singgah. Infill design
diterapkan pada pengembangan rumah singgah yang berada pada penyelesaian
permasalahan anak singgah dengan metode shelter based. Konsep rumah singgah secara
makro, meso, dan mikro merupakan wadah penyelesaian permasalahan anak jalanan dari
ketiga metode penyelesaian yang lain yaitu : community based, street based, dan center
based. Dengan integrasi empat metode permasalahan anak jalanan yang diterapkan pada
satu kawasan rumah singgah terpadu diharapkan dapat menjadi penyelesaian yang tepat
terhadap masalah anak jalanan.

Gambar 4.1. Diagram Skema Kerangka Konsep

4.1. Input
Untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan, tahapan yang harus dilalui adalah
penelaahan data yang selanjutnya akan dicari solusinya. Pada tahapan input, dapat
disimpulkan bahwa terdapat permasalahan-permasalahan yang mendasari rancangan rumah
singgah. Permasalahan tersebut adalah :
a. Konsep diri anak jalanan
Permasalahan ini terkait pada sifat anak jalanan dan ruang yang harus
dibentuk. Sifat anak jalanan sangat penting untuk menentukan apa saja yang dapat

34
dianggap sebagai potensi dan apa saja yang dapat dianggap sebagai ancaman. Potensi
yang ada dimanfaatkan dan ancaman dihilangkan melalui ruang yang dibentuk.

Gambar 4. 2. Sifat Anak Jalanan dan Sifat Ruang yang Dibutuhkan


Sumber : Tobias Kea Suksmalana (2012)

b. Perilaku spasial anak jalanan


Terdapat dua dimensi yang mempengaruhi perilaku spasial anak jalanan,
yaitu dimensi abstrak dan dimensi empiris. Dimensi abstrak adalah dimensi tidak
terukur yang berkaitan dengan psikologis dan hakikat anak jalanan. Karakter anak
jalanan dipengaruhi oleh motivasi anak menjadi anak jalanan, yaitu kebutuhan
ekonomi dan kebutuhan bertahan hidup. Anak jalanan terpaksa keluar dari rumah dan
memanfaatkan fasilitas yang bukan milik mereka yaitu jalanan umum sehingga pada
umumnya anak jalanan mempunyai nilai yang dianut yaitu tidak ingin dianggap
sebagai pengganggu oleh masyarakat sehingga mereka dapat terus bertahan hidup.
Dimensi empiris adalah dimensi terukur yang berkaitan dengan aktivitas anak
jalanan. Aktivitas yang dilakukan anak jalanan akan menentukan ruang yang mereka
butuhkan dan kriteria ruang yang mereka gunakan untuk beraktivitas.
Kedua dimensi ini membentuk perilaku spasial anak jalanan yaitu
memanfaatkan ruang sisa di sekitar titik aktivitas. Ruang-ruang sisa ini yang akan
mengakomodasi kehidupan mereka di jalanan.

35
Gambar 4. 3. Diagram Skema Perilaku Spasial Anak Jalanan
Sumber : Jimly Al Faraby (2009)

c. Solo minim rumah singgah


Di Solo hanya terdapat tiga rumah singgah dan hanya satu yang merupakan
rumah singgah untuk mengatasi anak jalanan. Ketiga rumah singgah itu adalah Rumah
Singgah Pamardi Yoga, Panti Werda, dan Panti Wanita Utama. Rumah Singgah
Pamardi Yoga adalah satu-satunya rumah singgah untuk anak jalanan. Rumah Singgah
Pamardi Yoga merupakan rujukan setelah pemerintah kota melakukan razia terhadap
pengamen, gelandangan, orang gila, dan anak terlantar (PGOT). Karena kapasitas
rumah singgah tidak mencukupi untuk menampung jumlah anak yang terkena razia,
rumah singgah hanya mendata dan memulangkan mereka. Tidak ada program yang
dijalankan untuk menangani permasalahan anak jalanan sehingga anak jalanan yang
sudah dipulangkan sangat mungkin untuk kembali ke jalanan lagi. Pemerintah kota
belum memiliki solusi yang tepat untuk masalah anak jalanan hingga sekarang.
Di samping itu, Surakarta mempunyai taget untuk menjadi kota layak anak di
tahun mendatang. Namun berdasarkan guideline percepatan Surakarta sebagai Kota
Layak Anak, anak jalanan sama sekali tidak disinggung. Hal ini menunjukkan
kurangnya kepedulian pemerintah terhadap peretasan anak jalanan.

36
Gambar 4.4. Diagram Skema Siklus Permasalahan Munculnya Anak Jalanan

d. Standar Antropometri

Dengan pengguna yang memiliki rentang usia nol hingga delapan belas tahun
ke atas, maka ukuran antropometri menjadi hal yang harus diperhatikan. Berdasarkan
data antropometri yang berkaitan dengan bangunan pendidikan dan desain furnitur
yang dikeluarkan oleh Unesco Regional Office for Education in Asia and the Pacific,
terdapat standar ukuran antropometri furnitur bangunan yang menyesuaikan dengan
target usia pengguna.

37
Gambar 4. 5. Dimensi Terkait Desain Bangunan dan Furnitur : Perbandingan
Berdasarkan Ketinggian Manusia
Sumber : Unesco Regional Office for Education in Asia and the Pacific (1980)

38
Gambar 4. 6. Dimensi Terkait Desain Bangunan dan Furnitur : Perbandingan
Berdasarkan Ketinggian Manusia
Sumber : Unesco Regional Office for Education in Asia and the Pacific (1980)

Pada rumah singgah, pengguna dikelompokkan menjadi empat golongan usia


berdasarkan pada rujukan yang sama, yaitu : usia enam hingga delapan tahun,
delapan hingga dua belas tahun, dua belas hingga empat belas tahun, empat belas

39
hingga tujuh belas, dan tujuh belas tahun ke atas. Pengelompokan ini terkait dengan
desain antropometris yang akan diterapkan di bangunan.

Salah satu penyelesaian yang lain adalah dengan penerapan adjustable


furniture di mana furnitur dapat diatur sesuai kenyamananan pengguna. Di bawah ini
adalah desain pop-up furniture yang dapat diatur sesuai kenyamanan dan kebutuhan
pengguna rancangan Carmela Bogman dan Rogier Martens.

Gambar 4. 7. Contoh penerapan Adjustable Furniture


Sumber : http://babyology.com.au/furniture/pop-up-furniture.html (disakses pada 8
Januari 2016)
Contoh lain adalah desain ruang yang dapat mengakomodasi pengguna dari
berbagai usia rancangan Jérémie Koempgen Architecture yang berada di Paris,
Perancis.

Gambar 4. 8. Contoh Penerapan Furnitur Multi Pengguna


Sumber : http://architizer.com/blog/building-of-the-day-nifty-pop-up-street-furniture-perfect-
for-picnics/ (diakses pada 8 Januari 2016)

40
4.2. Proses
Proses yang dilakukan merupakan solusi dari permasalahan yang telah ditemukan.
Konsep utama dari solusi tersebut adalah rumah singgah yang dapat menyelesaikan
permasalahan anak jalanan dengan pendekatan Infill design yang menanggapi
permasalahan kurangnya lahan dan memaksimalkan interaksi dengan masyarakat setempat
sehingga diharapkan kegiatan dan program motivasi dapat dijalankan dengan efektif dan
maksimal.
a. Center Based
Center Based merupakan penanganan anak jalanan berbasis satu pusat
bangunan (center). Center ini dijalankan oleh satu lembaga pengelola sebagai inti dari
center. Tedapat tiga penggerak utama lembaga ini yaitu pemerintah, komunitas, dan
swasta. Pemerintah berperan sebagai pelindung hukum dan pendukung dari sisi
konstitusional. Komunitas berperan sebagai pihak yang menjalankan lembaga. Swasta
berperan dalam pendanaan rumah singgah melalui program CSR perusahaan.
Lembaga pengelola akan mengontrol anak jalanan melalui program. Dengan
melihat berbagai latar belakang munculnya anak jalanan, program yang disusun harus
mampu mendorong anak jalanan untuk kembali ke rumah. Program tersebut adalah
program kesehatan, bantuan yuridis, pendidikan informal berupa soft skill, dan
pendidikan formal berupa bantuan beasiswa.

Gambar 4. 9. Diagram Skema Metode Center Based sebagai


Penyelesaian Masalah Anak Jalanan

41
b. Community Based
Community Based merupakan metode penyelesaian masalah anak jalanan
berbasis komunitas. Komunitas di sini adalah masyarakat sekitar anak jalanan sebagai
moral support bagi anak jalanan untuk dapat kembali ke rumah. Masyarakat sekitar
anak jalanan adalah masyarakat di sekitar tempat tinggal dan masyarakat di sekitar
rumah singgah. Kedua masyarakat ini berperan penting dalam penyelesaian masalah
anak jalanan.
Rumah singgah merupakan media komunikasi antar anak jalanan dan
masyarakat sekitar. Oleh karena itu, diperlukan program dan rancangan yang dapat
memaksimalkan interaksi antara masyarakat dan anak jalanan.

Gambar 4. 10. Diagram Skema Metode Community Based sebagai Penyelesaian Masalah
Anak Jalanan

c. Street Based
Street Based merupakan metode penyelesaian masalah anak jalanan yang
dilakukan di jalan sebagai ruang aktivitas hidup utama anak jalanan. Pada metode ini
yang harus diperhatikan adalah safety dan security dari fasilitas jalan. Safety adalah
keamanan dari kecelakaan ketika berada di jalan. Misalnya trotoar yang memadai
untuk menghindari adanya kecelakaan anak jalanan atau zebra cross sebagai fasilitas
menyeberang yang aman digunakan. Security adalah keamanan dari tindak kriminal
misalnya penerangan yang memadai di tempat umum untuk menghindari kekerasan
terhadap anak jalanan atau visibilitas ruang yang tinggi sehingga tidak terjadi
perpeloncoan anak jalanan. Kedua aspek ini sebenarnya merupakan aspek dasar

42
perancangan fasilitas jalan yang harus dipenuhi tidak hanya untuk keamanan anak
jalanan namun juga keamanan publik.
Di satu sisi, jalanan tidak boleh didesain nyaman untuk ditinggali untuk
mencegah bertambahnya PGOT, khususnya anak jalanan. Oleh karena itu, rumah
singgah harus menjadi tempat yang lebih menarik bagi anak jalanan untuk
menghabiskan waktunya. Diharapkan rumah singgah dapat mengarahkan aktivitas
anak jalanan ke arah yang positif, dapat memberi bekal berupa skill tambahan, dan
mendorong anak jalanan untuk kembali ke rumah.

Gambar 4. 11. Diagram Skema metode Street Based sebagai


Penyelesaian Masalah Anak Jalanan

d. Shelter Based
Shelter Based merupakan metode penyelesaian masalah anak jalanan dengan
berbasis shelter atau tempat berlindung berupa rumah singgah. Rumah singgah dapat
dikategorikan dalam campuran metode center based dan shelter based. Pada metode
ini, rumah singgah digunakan sebagai wadah aktivitas anak jalanan pengganti jalan
dan tempat umum. Di sini, aktivitas yang dilakukan anak jalanan dapat diarahkan oleh
lembaga pengelola. Rumah singgah harus dapat mewadahi aktivitas penyelesaian anak
jalanan dengan ketiga metode di atas.

Gambar 4. 12. Diagram Skema Metode Shelter Based sebagai


Penyelesaian Masalah Anak Jalanan

43
e. Infill design
Infill design merupakan jawaban penyelesaian arsitektur karena permasalahan
lahan sempit dan kebutuhan akan interaksi dengan masyarakat sebagai solusi dari
permasalahan anak jalanan. Definisi dari infill design adalah pembangunan bangunan-
bangunan baru multifungsi yang sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan kepadatan
yang tinggi pada lahan ataupun bangunan dikawasan kota yang padat dan diharapkan
dapat menghidupkan kawasan tersebut.
Metode infill design diterapkan baik pada sistem rumah singgah maupun pada
arsitektur rumah singgah. Pada sistem infill, anak jalanan yang merupakan anggota
masyarakat tambahan akan bekerja sama dengan masyarakat untuk sama-sama
mendapatkan keuntungan. Anak jalanan diuntungkan dari segi moral dan material
sedangkan masyarakat diuntungkan dari segi ekonomi dengan diadakannya kerjasama
bisnis usaha kecil dan menengah antara anak jalanan dan masyarakat.
Pada arsitektur infill, bangunan baru yang merupakan bangunan tambahan
pada struktur kampung marginal yang sudah terbentuk harus menanggapi konteks area
di sekitar baik dari segi bentuk, material, fasad, lansekap, dan elemen arsitektur yang
lain. Bangunan ini juga dapat menjadi contoh terhadap masyarakat mengenai
bagaimana berarsitektur sederhana melalui inovasi material, struktur, sistem
penghawaan, dan sebagainya sehingga dapat meningkatkan kualitas ruang hidup
masayarakat sekitar.

Gambar 4. 13. Diagram Skema Metode Pendekatan Infill Design

4.3. Output
Terdapat dua tujuan utama dari rumah singgah yang didesain yairu tujuan jangka
pendek dan tujuan jangka panjang. Adapun tujuan jangka pendek adalah :
a. Ruang yang layak untuk anak jalanan

44
Sesuai dengan analisa perilaku spasial anak jalanan, anak jalanan cenderung
memanfaatkan ruang sisa yang tidak memiliki fungsi maupun ruang yang memiliki
fungsi namun tidak berfungsi dengan baik. Rumah singgah diharapkan dapat menjadi
pengganti ruang-ruang tersebut untuk anak jalanan melakukan aktivitas utamanya
b. Sosialisasi dan moral support untuk anak jalanan
Rumah singgah merupakan media berinteraksi dengan masyarakat dan
pekerja sosial yang ada. Dengan adanya interaksi ini, anak jalanan akan mendapat
moral support untuk mengatasi permasalahan utama yang mendorong mereka untuk
menjadi anak jalanan.
c. Pendidikan untuk anak jalanan
Rumah singgah sebagai wadah pendidikan informal untuk anak jalanan. Di
sini anak jalanan mendapatkan pendidikan keterampilan yang dapat digunakan untuk
mendongkrak penghasilan ekonomi sehingga tidak lagi mengamen. Sangat mungkin
pada proses ini anak jalanan menemukan minatnya yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber mata pencaharian dan meninggalkan pekerjaan serabutan yang biasa dilakukan
anak jalanan.
d. Penerimaan anak jalanan oleh masyarakat
Selama ini anak jalanan seringkali dianggap mengganggu oleh masyarakat.
Selain karena visual anak jalanan yang kumuh dan tidak terawat, perilaku anak jalanan
juga dianggap meresahkan. Namun dengan adanya rumah singgah diharapkan anak
jalanan mendapatkan fasilitas yang lebih layak dan penyimpangan perilaku dapat
diminimalkan dengan adanya program-program dari rumah singgah.
Adapun tujuan jangka panjang dari adanya rumah singgah ini adalah sebagai
berikut:
a. Peretasan Anak Jalanan
Dengan adanya rumah singgah diharapkan dapat mengurangi jumlah anak
jalanan
b. Solo Kota Layak Anak
Rumah singgah merupakan salah satu penunjang program Solo Kota Layak
Anak. Permasalahan anak jalanan tidak seharusnya dipandang sebelah mata apabila
ingin diselesaikan dengan tuntas. Selama ini penyelesaian masalah anak jalanan di
Solo hanya diselesaikan dengan razia dan pemulangan saja. Dengan adanya rumah
singgah diharapkan

45
4.4. Pendekatan Infill Design
4.4.1. Tujuan Infill Design
Tujuan dari perancangan infill yang baik adalah untuk menciptakan
pengembangan bangunan yang fungsional, menarik, memperkuat nilai lokal
komunitas, secara arsitektural dan visual dapat dikatakan estetis, dan menanggapi
lingkungan sekitar. Guideline yang tertulis di bawah bertujuan untuk mencapai
tujuan di atas dengan menyediakan standar pengembangan yang jelas, berfokus pada:
a. Potensi dan hambatan pengembangan pada lingkungan site
b. Kebutuhan ruang
c. Sirkulasi dan sistem parkir yang aman dan efisien
d. Hubungan antara pengembangan eksisting dan pengembangan yang baru
e. Bagaimana bangunan baru menanggapi karakteristik arsitektural dan historikal
lingkungan sekitar
f. Desain penunjang seperti landscape, penerangan, signage, dan street furniture.

4.4.2. Kriteria Pemilihan Tapak


Pemilihan tapak Infill design sebaiknya berdasarkan kriteria yang dijabarkan
di bawah ini. Proses pemilihan site merupakan proses awal yang penting sehingga
site yang dipilih cocok untuk Infill development yang diusulkan.

Tabel 4. 1. Standar Pemilihan Tapak


Aspek yang Diperhatikan Standar yang Harus Dipenuhi

Konteks Lokasi tapak infill development harus dievaluasi


berdasarkan fungsi bangunan yang diusulkan dan
memperhatikan pemanfaatan lahan sekitar.

Aksesibilitas Lokasi tapak infill development harus dievaluasi


akesibilitasnya terkait akses pejalan kaki,
transportasi publik, dan akses kendaraan.

Potensi dan Batasan Fisik Lokasi tapak infill development harus


memperhatikan potensi site dan juga barasan fisik

46
dari site.

Sumber : New Jersey Department of Community Affairs Divison of Codes and


Standards (2006)

4.5. Guideline Infill Design


4.5.1. Analisis Tapak
Analisis tapak harus dapat mengidentifikasi potensi dan batasan fisik
lingkungan maupun pengembangan. Faktor-faktor yang menentukan adalah :

Tabel 4. 2. Standar Pemilihan Tapak


Aspek yang Diperhatikan Standar yang Harus Dipenuhi

Kondisi tanah dan Mengidentifikasi jenis tanah, bebatuan, kemampuan


geologis tanah, kedalaman air tanah, kedalaman maksimal
tanah.

Topografi dan drainase Mengidentifikasi kemiringan lahan, pola drainase


lingkungan, arah aliran air, wilayah rawan banjir.

Flora dan Fauna Mengidentifikasi vegetasi eksisting, spesies hewan


yang ada, mengidentifikasi vegetasi dengan diameter
lebih dari 10 inci, dan habitat hewan liar jika ada.

Pengembangan oleh Mengidentifikasi struktur eksisting, lahan terbuka,


Manusia area untuk pengembangan selanjutnya, struktur dan
visual kawasan, landmark, artefak historis jika ada.

Elemen Visual Mengidentifikasi elemen visual positif pada area


sekitar termasuk view dan vista, focal point,
landmark, dan elemen alam maupun penunjang.
Elemen visual negatif pada area sekitar termasuk
perkabelan, view tidak menguntungkan, dan masalah
terkait.

Kondisi Lingkungan Mengidentifikasi lahan tidak digunakan yang tidak


diberi penghijauan, polusi oleh industri, dan area

47
yang terkontaminasi.

Sumber New Jersey Department of Community Affairs Divison of Codes and


Standards (2006)

4.5.2. Konteks Area


Analisis kontekstual dilakukan pada tapak sekitar pada radius tertentu dan
harus memperhatikan tanpa terbatasi oleh hal-hal di bawah ini:

Tabel 4. 3. Standar Analisa Konteks Tapak


Aspek yang Diperhatikan Standar yang Harus Dipenuhi

Struktur dan Tata Guna Mengidentifikasi tata guna lahan dan struktur
Lahan termasuk ukuran, ketinggian, material, vegetasi, area
terbuka, dan lahan parkir umum.

Zoning dan Rencana Tata Mengidentifikasi RTRW lokal maupun regional


Ruang dan Wilayah yang dapat mempengaruhi lahan seperti pelebaran
jalan, rencana traffic management, rencana ruang
terbuka, rencana desain urban, dan lain-lain.

Utilitas Mengidentifikasi utilitas yang tersedia pada area


tapak.

Sistem Sirkulasi Area dan Mengidentifikasi dan memetakan sistem transportasi


Akses Terhadap Tapak baik pada site maupun area sekitar. Mengidentifikasi
titik poin yang paling aksesibel. Analisis harus
menyertakan sistem sirkulasi sepedan dan pejalan
kaki, termasuk prediksi sistem untuk masa
mendatang.

Fasilitas Umum Mengidentifikasi dan memetakan fasilitas publik


pada area tapak termasuk street furniture, rambu lalu
lintas, penerangan, dan signage termasuk linkage
potensial dari tapak ke area sekitar dan ke wilayah
yang lebih besar. Area terbuka, trotoar, parkir umum,
dan fasilitas yang lain juga harus diperhatikan dan

48
diidentifikasi.

Elemen Visual Mengidentifikasi elemen visual positif maupun


negatif (hampir sama dengan identifikasi elemen
visual pada analisis site) yang mungkin memberi
dampak pada tapak. Apabila tapak berada pada
kawasan bersejarah maka nilai sejarah kawasan juga
harus menjadi bahan pertimbangan.

Kondisi Lingkungan Mengidentifikasi lahan tidak termanfaatka, area


industri, dan lokasi serupa yang dapat menyebabkan
terkontaminasinya area tapak di masa mendatang

Peta Konteks Tapak Kesimpulan dari analisa tapak dan konteks area
disajikan dalam infografik yang mudah dimengerti.

Sumber : New Jersey Department of Community Affairs Divison of Codes and


Standards (2006)

4.5.3. Pengembangan Tapak


Pengembangan tapak dengan pendekatan infill design diarahkan
menyesuaikan kondisi sekitar tapak berdasarkan temuan pada tahap analisis tapak
dan analisis konteks area.

Tabel 4. 4. Standar Analisa Konteks Tapak


Aspek Temuan Arahan Desain

Pada Proses Analisis 1. Batasan pengembangan terkait geologi dan tanah


Tapak harus diidentifikasi.
2. Desain pada tapak harus sebisa mungkin
meminimalkan perubahan topografi dan apabila
memang diperlukan tidak boleh memberi dampak
negatif bagi lingkungan sekitar. Sistem drainase harus
sejalan dengan pola sistem drainase lingkungan.
3. Landscape area sekitar dipertahankan dengan
meminimalkan penebangan pohon dan pengerukan

49
tanah
4. Orientasi bangunan harus memperhatikan kenyamanan
thermal secara pasif, proteksi terhadap angin dan
cahaya matahari, dan faktor desain mikroiklim.
5. Tapak terdesain harus terintegrasi dengan sistem
aksesibilitas area (akses pejalan kaki maupun dengan
kendaraan), dalam hal massa bangunan dan skala,
penggunaan material, olah lansekap, dan utilitas.
6. Elemen visual yang mencolok seperti view, vista,
pepohonan, perairan, bentuk lahan, landmark, harus
dipertahankan dan terintegrasi dengan Infill design
yang diusulkan

Pada Proses Analisis 1. Infill development dalam hal penyusunan program


Konteks Area ruang dan struktur sebaiknya saling mendukung
dengan lingkungan melalui penggunaan dan struktur
yang serupa.
2. Infill development sebaiknya menyesuaikan
masterplan lokal dan regional dan tidak boleh
mengganggu pengembangan lahan sekitar
3. Infill development sebaiknya memperhatikan
infrastruktur utilitas untuk memenuhi standar yang
berlaku dan efisiensi. Hal ini termasuk dalam
penentuan sanitasi drainase, pengolahan sampah,
linkage utilitas bawah tanah, penanggulangan banjir,
dan sebagainya.
4. Infill development sebaiknya memperhatikan
hubungan dengan sistem sirkulasi pada area setempat
termasuk akses pejalan kaki, kendaraan pribadi
maupun umum, dan harus memperhatikan sistem yang
efisien untuk akses ke bangunan.
5. Infill Development sebaiknya mempertimbangkan
jarak tempuh dari tapak ke fasilitas umum di sekitar

50
lingkungan. Pertimbangan ini termasuk koneksi ke
ruang terbuka, pejalan kaki, parkir umum, dan fasilitas
umum yang lain.
6. Infill development sebaiknya tidak menghindari
karakteristik elemen visual yang seharusnya
dimanfaatkan dan harus memiliki integrasi yang baik
antara tapak dan elemen visual positif
7. Infill development sebaiknya terintegrasi dengan
elemen di bawah ini untuk memperkuat hubungannya
dengan komunitas sekitar :
1. Trotoar yang terhubung dengan jaringan trotoar
eksisting lingkungan
2. Jalan lingkungan yang terhubung dengan jalan
eksisting
3. Mempertahankan struktur yang secara arsitektural
signifikan apabila memungkinkan
4. Memperhatikan street furniture, penerangan, dan
tata lansekap yang berorientasi pada pejalan kaki
5. Sempadan, kulit bangunan, penggunaan, dan sistem
parkir yang kompatibel dengan lingkungan sekitar.

Sumber : New Jersey Department of Community Affairs Divison of Codes and


Standards (2006)

4.5.4. Penataan Bangunan dan Desain


4.5.4.1. Konsep Desain secara Keseluruhan
a. Semua bangunan dengan konsep infill sebaiknya berhubungan secara harmonis
dengan elemen alam sekitar dan struktur penting yang mempunyai hubungan
visual dengan desain yang diajukan. Untuk mencapai hal tersebut sebaiknya
memasukkan elemen enclosure dari sebuah ruang yang terhubung dengan
bangunan eksisting
b. Setiap bangunan dengan konsep infill harus didesain untuk menjadi bagian dari
komposisi yang lebih besar dari area lokasi tapak.

51
4.5.4.2. Penataan Bangunan
a. Semua struktur dengan konsep infill harus memiliki akses pintu masuk utama
yang berorientasi ke jalan dengan integrasi dengan jalur pedestrian
b. Bangunan pada tapak dengan konsep infill sebaiknya disusun untuk mengurangi
jarak berjalan antar bangunan
c. Penempatan bangunan dengan konsep infill sebaiknya dengan pertimbangan
elemen alam.
4.5.4.3. Proporsi Bangunan
a. Bangunan baru dengan konsep infill sebaiknya memiliki hubungan yang
harmonis terhadap struktur yang ada di sekitar tapak dalam hal ketinggian dan
ukuran
b. Ketinggian dan ukuran bangunan baru sebaiknya mempunyai ukuran yang tidak
jauh berbeda dengan sekitarnya atau dapat diartikulasikan dengan tata massa
yang kurang lebih sama dengan struktur yang ada untuk mempertahankan ritme
arsitektur yang sudah ada.
c. Ketinggian dan orientasi bangunan harus selaras dengan bangunan di sekitar
tapak.
4.5.4.4. Elemen Desain
Pemilihan elemen desain dari bangunan dengan konsep infill material,
warna, tekstur, grid pada fasad, dan sebagainya harus selaras dengan kondisi yang
sudah ada.

4.6. Lingkup Solusi dan Pendekatan

Tabel 4. 5. Lingkup Permasalahan, Solusi, dan Pendekatan


No. Permasalahan, Solusi, dan Implikasi terhadap Makro Meso Mikro
Pendekatan Konsep Arsitektur
1. Konsep diri anak jalanan Konsep Pengalaman v
Ruang
2. Community Based sebagai Konsep Programatik v
solusi masalah anak jalanan. Bangunan
Konsep Zonasi Tapak v
Konsep Zonasi v

52
Bangunan
Konsep Sirkulasi Tapak
Konsep Sirkulasi
Bangunan
3. Center Based sebagai solusi Konsep Programatik v
masalah anak jalanan. Bangunan
Konsep Zonasi v
Bangunan
Konsep Sirkulasi Tapak v
Konsep Sirkulasi v
Bangunan
4. Street Based sebagai solusi Konsep Pencapaian v
masalah anak jalanan. terhadap Tapak
5. Shelter Based sebagai solusi Konsep Programatik v
masalah anak jalanan. Bangunan
Konsep Zonasi v
Bangunan
Konsep Sirkulasi v
Bangunan
6. Infill design sebagai Konsep Zonasi Tapak v
pendekatan arsitektural Konsep Sirkulasi Tapak v
rumah singgah Konsep Tata Massa v
Konsep Fasad v
Konsep Material v
Konsep Lansekap v
Konsep Utilitas v

53
BAB V
KONSEP DESAIN

5.1. Konsep Makro


5.1.1. Konsep Keterjangkauan terhadap Tapak
Konsep keterjangkauan terhadap site terkait dengan alasan pemilihan tapak.
Sebisa mungkin rumah singgah berada di kawasan rawan anak jalanan sehingga
mudah dijangkau. Terdapat dua akses utama untuk mencapai rumah singgah. Pada
kedua pintu utama dibuat signage sehingga anak jalanan cenderung tertarik ke arah
signage.
Konsep signage yang diterapkan adalah signage yang dapat digunakan
untuk beraktivitas misal gerobak buku gratis. Pada titik ini anak jalanan mendapat
arahan dari petugas pengelola mengenai keberadaan rumah singgah. Signage
berfungsi sebagai pintu sosialisasi pertama untuk merangkul anak jalanan sebelum
anak jalanan ke rumah singgah. Selain itu, titik ini juga berfungsi sebagai
pengawasan pihak pengelola terhadap aktivitas anak jalanan yang sedang melakukan
aktivitas di jalanan.

Gambar 5. 1. Skema Keterjangkauan terhadap tapak

54
Gambar 5. 2. Skema Penjangkauan Anak Jalanan Terhadap Tapak

5.2. Konsep Meso


5.2.1. Konsep Programatik Bangunan
Berdasarkan model penanganan anak jalanan dapat ditarik ruang apa saja
yang dibutuhkan pada rumah singgah. Pada lingkup center based, ruang yang
dibutuhkan adalah kantor pengelola, ruang konsultasi kesehatan, ruang lembaga
banatuan hukum, dan ruang pelatihan. Pada lingkup community based, ruang yang
dibutuhkan adalah ruang yang menitikberatkan interaksi antar anak jalanan dan
masyarakat sekitar seperti playground dan ruang baca. Pada lingkup street based
ruang yang dibutuhkan adalah taman duduk sederhana untuk tahap awal pengenalan
rumah singgah. Sedangkan pada lingkup shelter based ruang yang dibutuhkan adalah
ruang kebutuhan anak jalanan sehari-hari seperti ruang tidur, kamar mandi, dan loker
penyimpanan barang.

Tabel 5. 1. Tabel Kebutuhan Ruang berdasarkan Model Penyelesaian Anak Jalanan


No Model Detail Kegiatan Kebutuhan Ruang
Penyelesaian
1. Center Based Pengelola menjalankan Kantor pengelola
keberlangsungan rumah
singgah
Pengelola dan pemegang Ruang rapat
kepentingan mengadakan rapat
Anak jalanan melakukan Ruang kesehatan
konsultasi kesehatan
Anak jalanan melakukan Ruang Lembaga Bantuan

55
konsultasi yuridis bila Hukum
dibutuuhkan
Pengelola atau anak jalanan Ruang tamu
menerima tamu
Pengelola menjalankan Ruang tata usaha
administrasi rumah singgah
Pengelola dengan shift malam Ruang tidur pengelola
tidur
Anak jalanan mengikuti Ruang pelatihan
kegiatan pelatihan dan
berinteraksi dengan warga
2. Community Anak jalanan berinteraksi baik Playground
Based dengan anak jalanan lain, Ruang baca
masyarakat setempat, maupun
pengelola.
Anak jalanan mengekspresikan
emosi maupun menenangkan
pikiran
Anak jalanan dan masyarakat Innercourt
setempat melakukan acara
bersama
3. Street Based Pengelola melakukan Taman duduk
pengenalan pertama ke anak
jalanan mengenai rumah
singgah sekaligus pengawasan
terhadap anak jalanan di jalan
4. Shelter Based Anak jalanan bermalam Ruang tidur
Anak jalanan menyimpan Loker umum
barang-barangnya
Anak jalanan membersihkan Kamar mandi
diri

Pengguna bangunan terdiri pengelola, anak jalanan, dan masyarakat umum.


Ketiga pengguna memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga ruang yang ada
di rumah singgah diklasifikasikan menjadi tiga jenis ruang yaitu: ruang yang diakses
oleh anak jalanan, masyarakat dan pengelola; ruang yang dapat diakses oleh anak
jalanan dan pengelola; ruang yang ohanya dapat diakses oleh pengelola.
Ruang yang dapat diakses oleh anak jalanan, pengelola, dan masyarakat
adalah ruang yang berfungsi sebagai pusat interaksi antar ketiga pengguna. Anak
jalanan dan masyarakat diharapkan dapat dengan maksimal berinteraksi namun tetap

56
dalam pengawasan pengelola. Ruang tersebut adalah playground, hall berkumpul,
ruang baca, admisi, ruang pelatihan, dan toilet umum.
Ruang yang dapat diakses oleh anak jalanan dan pengelola cenderung
berfungsi sebagai area servis dan area kebutuhan anak jalanan seperti kebutuhan
untuk melakukan konsultasi. Ruang tersebut adalah locker barang, dapur bersama,
ruang makan, ruang konsultasi, dan aula.
Ruang yang dapat diakses oleh pengelola adalah ruang yang berhubungan
dengan pengelolaan panti seperti kantor pengelola untuk pengelola dan pekerja
sosial, ruang rapat, ruang lembaga bantuan hukum, ruang rapat, ruang dokumen,
ruang tidur untuk pengelola dan pekerja sosial, dan toilet pengelola.
Dengan perthitungan di bawah ini, tapak dapat menampung tiga puluh anak
jalanan dengan sepuluh orang pengelola terdiri dari kepala pengelola, pengurus
harian, pengurus keuangan, staff kesehatan, staff bantuan yuridis, dan tata usaha.
Dengan luasan lahan

Tabel 5. 2. Tabel Kebutuhan Luas Bangunan


Nama Ruang Detail Ruang Kapa- Dimensi Sirkulasi Luas
sitas Manusia dan Minimal
Perabot
Kantor Ruang kerja 3 875x878 80% 4,1 m2
Pengelola Ruang duduk 4 1280x875 40% 6,2 m2
WC 1 710x625 80% 0,8 m2
Ruang Rapat Ruang Rapat 10 875x878 80% 13,7 m2
Ruang Ruang Konsultasi 2 2000x625 60% 4 m2
Kesehatan
Ruang LBH Ruang Konsultasi 2 875x875 80% 2,7 m2
Ruang Tata Ruang Tata 2 875x875 80% 2,7 m2
Usaha Usaha
Ruang Tidur Ruang Tidur 4 2000x625 60% 8 m2
Pengelola
WC 1 710x625 80% 0,8 m2
Ruang Tamu Ruang Tamu 5 1280x875 40% 7,8 m2
WC 1 710x625 80% 0,8 m2
Ruang Baca Ruang Baca 30 1280x875 40% 47 m2
Playground Playground 50 3,14x1200 80% 406 m2
Ruang Pelatihan Ruang Pelatihan 30 875x875 80% 18,3 m2
WC Umum WC 6 710x625 80% 4,8 m2
Locker Barang Locker Barang 30 875x875 80% 41,3

57
Ruang Makan Ruang Makan 50 875x875 80% 68,9 m2
Dapur 5 875x875 80% 6,9 m2
Ruang Tidur Ruang Tidur 30 2000x625 60% 60 m2
WC 6 710x625 80% 4,7 m2
Total Luas Bangunan + 20% Sirkulasi 851,4 m2

Gambar 5. 3. Skema Programatik Ruang Rumah Singgah

5.2.2. Konsep Zonasi Tapak


Zonasi tapak ditentukan dengan jenis aktivitas yang terjadi pada rumah
singgah. Aktivitas dibedakan menjadi dua yaitu aktivitas indoor dan aktivitas
outdoor. Aktivitas indoor lebih dititikberatkan di aktivitas pengelola dan aktivitas
penunjang lainnya. Terdapat satu pusat aktivitas di mana anak jalanan diharapkan
melakukan aktivitas di luar dan berinteraksi dengan masyarakat yaitu.

Gambar 5. 4. Diagram Skema Zonasi Tapak

58
Outdoor
Anak Jalanan, Masyarakat, & Pengelola
Anak Jalanan & Pengelola
Pengelola

Gambar 5. 5. Skema Zonasi Tapak


Ruang terbuka terletak pada pusat kampung berfungsi sebagai pemicu
interaksi antara warga dan warga maupun warga dan anak jalanan. Ruang ini
merupakan ruang pemantik sosialisasi yang menguntungkan baik warga kampung
maupun anak jalanan. Kampung menjadi lebih hidup dan terbina hubungan yang
membangun antara warga dan anak jalanan.

Gambar 5. 6. Ruang Terbuka sebagai Pusat Aktivitas dan Interaksi

5.2.3. Konsep Sirkulasi Tapak


Sirkulasi pada tapak memanfaatkan sirkulasi yang sudah ada. Salah satu
keuntungan dari terpisahnya massa bangunan adalah bertambahnya ruang interaksi
antara warga dengan anak jalanan yang terjadi di sepanjang sirkulasi tapak.

59
Gambar 5. 7. Skema Sirkulasi Tapak untuk Pengguna

5.2.4. Konsep Tata Massa


Ditinjau dari denah, terdapat tiga massa utama yang terintegrasi dengan satu
massa bangunan utama dan dua bangunan pendukung. Pemecahan massa dilakukan
untuk memperluas area interaksi antara anak jalanan dan masyarakat. Dengan
dipecahnya massa, anak jalanan akan memiliki ruang interaksi yang lebih panjang
dilakukan di jalan. Hal ini sama dengan prinsip Infill design yang bertujuan untuk
menghidupkan komunitas di sekitar area tapak.

Gambar 5. 8. Diagram Skema Massa Bangunan

Ditinjau dari ketinggian massa bangunan, bangunan rumah singgah


merupakan transisi penyeimbang visual ketinggian bangunan. Hal ini sesuai dengan
arahan Infill development yang telah diuraikan pada bab selanjutnya, bahwa
ketinggian bangunan harus menyesuaikan ketinggian bangunan pada area sekitar
tapak.

60
Gambar 5. 9, Ketinggian Bangunan di Sekitar Tapak
Sumber : Dokumentasi Pribadi (2015)

Gambar 5. 10. Skema Ketinggian Massa Bangunan Satu Lantai

Gambar 5. 11. Skema Ketinggian Massa Bangunan Dua Lantai


dengan Jarak Transisi

5.2.5. Konsep Fasad


Konsep fasad bangunan mengambil elemen fasad yang ada pada lingkungan
area sekitar tapak. Elemen fasad dapat berupa outline bangunan, grid yang secara
tidak langsung terbentuk dari elemen fasad lingkungan, tekstur, maupun material
bangunan. Rumah singgah menggunakan pola-pola elemen fasad yang diolah
sehingga desain fasad estetis secara visual tanpa meninggalkan karakteristik
lingkungan.

61
Gambar 5. 12. Skema Outline Fasad yang Selaras dengan Lingkungan Sekitar

5.2.6. Konsep Material


Material bangunan dominan menggunakan material yang ada pada
lingkungan sekitar tapak yang diolah untuk mencapai kenyamanan thermal
bangunan. Material bangunan dipilih dengan kriteria mudah perawatannya, murah,
dan mudah dipasang. Eco-material digunakan pada rumah singgah berdasarkan
kriteria di atas.

Gambar 5. 13. Material Dominan Pada Bangunan di Sekitar Tapak


Sumber : Dokumentasi Pribadi (2015)

Gambar 5. 14. Diagram Material yang Digunakan Pada Bangunan

62
LOCAL ECO

Gambar 5. 15. Skema Eco-material

5.2.7. Konsep Landscape


Landscape yang diolah adalah landscape pada bangunan utama
memanfaatkan vista ke sungai bengawan solo. Bangunan rumah singgah diletakkan
sejajar dengan jalan. Lantai satu merupakan open plan yang merupakan lahan hijau.
Lantai dua merupakan lantai fungsional yaitu pusat aktivitas. Lantai pertama adalah
lansekap yang diolah dalam bentuk playground. Selain digunakan untuk interaksi
anak jalana, juga dapat digunakan untuk event-event tertentu. Bangunan diletakkan
pada lantai kedua di layer pertama bangunan dari jalan. Hal ini dimaksudkan agar
hubungan antara landscape playground dengan view ke sungai tidak terganggu.

Gambar 5. 16. Skema Orientasi Landscape

63
Gambar 5. 17. Skema Orientasi Landscape

Gambar 5. 18. Skema Hubungan Landscape dan Bangunan

5.2.8. Konsep Utilitas


Utilitas yang ada seperti kelistrikan, sanitasi dan drainase, menggunakan
sistem konvensional dan terhubung dengan jaringan utilitas yang sudah ada.

5.3. Konsep Mikro


5.3.1. Konsep Zonasi Bangunan
Zonasi dalam bangunan dibagi menjadi tiga, yaitu zonasi bangunan utama,
zonasi bangunan pendukung 1, dan zonasi bagian pendukung 2. Pada bangunan
utama terdapat lima zonasi utama. Zona pertama adalah playground outdoor, lalu
selanjutnya adalah hall berkumpul. Zona berikutnya terdapat zona edukasi, zona
ruang makan, dan zona pengelola yang terhubung oleh admisi. Zona edukasi terdiri
dari ruang baca, ruang pelatihan, dan lavatory umum. Zona ruang makan terdiri dari
ruang makan dan dapur bersama. Zona pengelola terdiri dari kantor pengelola, ruang
rapat, ruang kesehatan, ruang lembaga bantuan hukum, ruang dokumen dan arsip,
ruang tidur petugas jaga, dan lavatory pengelola.

64
Gambar 5. 19. Diagram Skema Konsep Zonasi Bangunan Utama

Bangunan pendukung 1 berfungsi sebagai tempat tidur anak jalanan dan


locker penyimpanan barang. Locker dan ruang tidur dapat diakses dari admisi.

Gambar 5. 20. Konsep Zonasi Bangunan Pendukung 1


Bangunan pendukung 1 berfungsi sebagai ruang pelatihan dan locker
penyimpanan barang. Locker dan ruang tidur dapat diakses dari admisi.

65
Gambar 5. 21. Konsep Zonasi Bangunan Pendukung 2

5.3.2. Konsep Sirkulasi Bangunan


Sirkulasi pada bangunan utama dibedakan menjadi dua yaitu sirkulasi
publik yang diakses oleh masyarakat umum dan sirkulasi privat yaitu sirkulasi yang
hanya dapat diakses oleh pengelola saja. Playground memiliki akses langsung
menuju hall berkumpul dan admisi. Dari admisi akan dikontrol siapa saja yang
masuk ke ruang makan, dapur bersama, ruang baca, ruang pelatihan, maupun
lavatory umum

Gambar 5. 22. Diagram Skema Konsep Sirkulasi Pengunjung Umum


Bangunan Utama

66
Gambar 5. 23. Skema Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Utama

Untuk sirkulasi pengelola pada bangunan utama, pengelola masuk dari


playground ke admisi lalu ke area pengelola yaitu kantor pengelola, ruang rapat,
ruang kesehatan, ruang lembaga bantuan hukum, ruang dokumen, ruang tidur
petugas jaga, dan lavatory pengelola

Gambar 5. 24. Konsep Sirkulasi Pengelola Bangunan Utama

67
Gambar 5. 25. Skema Konsep Sirkulasi Pengelola Bangunan Utama

Sirkulasi bangunan penunjang 1 dan 2 relatif sama, yaitu dari halaman


depan menuju admisi, lalu dari admisi dapat mengakses locker, ruang tidur, lavatory,
dan ruang pelatihan.

Gambar 5. 26. Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Pendukung 1

68
Gambar 5. 27. Skema Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Pendukung 1

Gambar 5. 28. Konsep Sirkulasi Pengunjung Bangunan Pendukung 2

Gambar 5. 29. Skema Konsep Sirkulasi Bangunan Pendukung 2

69
5.3.3. Konsep Pengalaman Ruang
5.3.4.1 Sifat Ruang Rumah Singgah
Berdasarkan penjabaran sifat ruang yang harus dipenuhi pada rumah
singgah guna memaksimalkan potensi dan membantu rehabilitasi mental anak
jalanan, dapat disimpulkan bahwa rumah singgah membutuhkan ruang yang :
a. Ruang yang bebas, dapat memberikan pilihan
b. Ruang yang mudah dalam kontrol visual
c. Ruang yang fleksibel
d. Ruang yang bersinergi dengan alam
e. Ruang yang rileks
f. Kebutuhan ruang kooperasi dan ruang komunal
g. Pencitraan kamar tidak terlalu tertutup
h. Setting ruang yang membangkitkan semangat kerja

Gambar 5. 30. Ruang dengan Pilihan Aktivitas dan Mudah dalam Kontrol Visual

Ruang yang bebas dan dapat memberikan pilihan adalah ruang yang dapat
memberi alternatif bagi anak jalanan baik dari segi aktivitas maupun dari segi
kenyamanan gerak mengingat bangunan digunakan oleh pengguna dari rentang usia
anak hingga dewasa. Ruang memiliki kontrol visual yang baik. Pengelola dapat
mengawasi aktivitas yang ada pada area rumah singgah dengan mudah.

70
Gambar 5. 31. Fleksibilitas Ruang
Sumber : Vriesia Tissa Florika (2013)

Ruang yang fleksibel adalah ruang yang memperhatikan ekspansibilitas,


versabilitas, dan atau konvertabilitas. Ekspansibilitas adalah ruang yang fleksibel dari
segi kemampuannya menampung penambahan jumlah pengguna dengan cara
perluasan. Versabilitas adalah ruang yang fleksibel dari segi kemampuan ruang
dalam yang dapat diubah tata aturnya. Sedangkan konvertabilitas adalah ruang yang
fleksibel dari segi kemampuannya untuk dapat menampung berbagai fungsi.
Ekspansibilitas dapat diterapkan pada innercourt, versabilitas dapat diterapkan pada
ruang pelatihan, sedangkan konvertibilitas dapat diterapkan pada ruang publik indoor
bangunan utama.

Gambar 5. 32. Ruang yang Bersinergi dengan Alam

Ruang bersinergi dengan alam sekitar tapak. Pada kasus ini, rumah singgah
harus dapat menanggapi beberapa elemen alam sekitar yang penting yaitu
keberadaan sungai, kontur pada pemukiman yang berada di bawah level jalan
lingkungan, dan kondisi pemukiman sekitar.

71
Gambar 5. 33. Ruang yang Rileks

Ruang yang bersifat rileks namun dapat membangkitkan semangat kerjja


dapat dikaitkan dengan beberapa unsur yaitu degree of enclosure dari ruang, warna,
serta ambience yang ditimbulkan. Ruang yang rileks memiliki degree of enclosure
yang rendah sehingga tidak menimbulkan tekanan bagi anak jalanan. Warna yang
digunakan adalah warna asli material dengan skema warna cokelat sesuai dengan
lingkungan sekitar. Sedangkan ambience yang ingin ditimbulkan adalah suasana
ramah pemukiman di mana anak jalanan diterima oleh masyarakatnya sehingga
menimbulkan efek psikologis positif dan membangun semangat kerja.

Gambar 5. 34. Ruang Tidur yang Tidak Terlalu Tertutup

Ruang tidur merupakan ruang privat anak jalanan namun perlu adanya
pengawasan baik dari masyarakat maupun pengelola. Sirkulasi dalam bangunan
dibuat terbuka ke lingkungan sedangkan area tidur yang berhubungan langsung
dengan sirkulasi walaupun dibuat tertutup masih dapat dikontrol oleh masyarakat dan
pengelola.

5.5.4.2. Alternatif Penerapan Sifat Ruang Rumah Singgah

72
Gambar 5. 35. Ilustrasi Ruang Pelatihan Outdoor

Sketsa di atas menunjukkan ruang pelatihan outdoor yang menanggapi


kontur sekitar. Setting ruang fleksibel sehingga anak jalanan yang cenderung tidak
teratur dapat memilih posisi nyaman untuk menerima program pelatihan.

Gambar 5. 36. Ilustrasi Zona Publik pada Bangunan Utama

Sketsa di atas menunjukkan zona publik pada bangunan utama. Terdapat


dinding pemisah antara zona publik dan zona semi publik untuk memperjelas zonasi.
Fungsi pada zona publik ini lebih fleksibel: dapat dijadikan ruang pelatihan sekaligus
ruang baca. Levelling adalah salah satu solusi fleksibilitas ruang itu sendiri. Ketika
pada level lantai ruang pelatihan sedang digunakan untuk sesi pelatihan, orang lain
dapat mengerti bahwa dia tidak boleh naik ke atas. Selain fleksibilitas, levelling juga

73
akan memudahkan kontrol visual pengelola ke pengguna bangunan. Ruang tanpa
sekat lebih memudahkan akses pengguna dan juga cenderung memberi kesan rileks
atau tanpa tekanan.

Gambar 5. 37. Ilustrasi Ruang Publik pada Bangunan Utama

Sketsa di atas menunjukkan ruang publik pada bangunan utama yang


mewadahi fungsi ruang kooperasi. Innercourt merupakan pusat interaksi anak
jalanan dengan warga sekitar sekaligus dapat digunakan sebagai tempat acara
bersama.

Gambar 5. 38. Ilustrasi Kamar Tidur

Kamar tidur anak jalanan binaan didesain tidak tertutup namun masih
memiliki privasi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kontrol perilaku baik
oleh pengelola maupun warga sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

5.3.4. Konsep Kenyamanan Thermal

74
Secara suhu, bangunan harus nyaman ditinggali. Rumah singgah
menggunakan prinsip passive cooling sehingga bangunan terdesain nyaman secara
thermal namun tetap murah perawatan. Rumah singgah memperhatikan bukaan udara
masuk dan udara keluar. Banyak bukaan untuk angin masuk dan memberi ketinggian
yang cukup sehingga udara panas yang mengalir ke atas tidak mengganggu suhu
ruang aktivitas di bawahnya.

Gambar 1. Aliran Udara Pada Rumah dengan Prinsip Passive Cooling


Sumber : Lechner (2001)
5.3.5. Konsep Pencahayaan
Rumah singgah pada siang hari mengandalkan pencahayaan alami. Bukaan
yang ada memaksimalkan cahaya yang masuk ke ruangan. Selain itu warna dan
material bangunan juga dipilih menggunakan material yang terang sehingga
persebaran cahaya matahari alami dapat maksimal.

Gambar 2. Pemaksimalan Cahaya Matahari yang Masuk Pada Bangunan


Sumber : Lechner (2001)

75
DAFTAR PUSTAKA

_______. 2000. Anak Jalanan di Indonesia : Permasalahan dan Penanganannya. Jakarta :


Badan Kesejahteraan Sosial Nasional.
_______. 1980. Educational Building Digest. Bangkok : Unesco Regional Office for
Education in Asia and the Pacific.
_______. 2006. Infill Development Standards and Policy Guide. New Jersey : New Jersey
Department of Community Affairs Divison of Codes and Standards
_______. 1999. Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah
Singgah. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial
RI.
_______. 2002. Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. 2002.
Jakarta : Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Direktorat Jendral Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial, Departemen Sosial RI.
Subhansyah, Aan T. Anak Jalanan di Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Lembaga Sosial
Humana
Lechner. Norbert. 2001. Heating, Cooling, Lighting : Design Methods for Architects.
Wiley.
Shalahudin, Odi. 2004. Di Bawah Bayang-bayang Ancaman (Dinamika Kehidupan Anak
Jalanan). Semarang : Yayasan Setara
Surbakti dkk.eds. 1997. Prosiding Lokakarya Persiapan Survey Anak Rawan : Study
Rintisan di Kotamadnya Bandung. Jakarta : BPS dan UNICEF

76

Anda mungkin juga menyukai