Risalah Kebijakan
Nomor 5, Juni 2021
Ringkasan
• Selama masa pandemi, tingkat kesulitan mental emosional
sebagian besar siswa (64,4%) berada pada kategori normal,
namun 16,6% siswa yang lain berstatus abnormal.
Konteks
Kondisi Pandemi COVID-19 menyebabkan sebagian besar satuan pendidikan mengubah
pembelajaran tatap muka menjadi aktivitas belajar dari rumah (BDR), serta mendorong
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun
2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19 pada
24 Maret 2020. Pola kehidupan yang berubah secara drastis dan pembatasan aktivitas sosial
karena pandemi berpotensi menimbulkan dampak psikologis, khususnya pada anak-anak.
Patrick, et al. (2020), dalam survei nasional yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan,
sebanyak 27% orang tua melaporkan kesehatan mental mereka memburuk selama pandemi dan
14% lainnya melaporkan perilaku anak-anak mereka juga memburuk. Jiao, et al. (2020) melalui
kajian permulaan di China mengungkapkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah epidemiologi
tinggi cenderung memiliki tingkat ketakutan, kecemasan, dan persoalan emosi yang tinggi.
Selama pandemi, anak-anak juga cenderung mengalami persoalan psikologis karena kurangnya
perjumpaan fisik, merasa kurang diperhatikan, dan emosional (Jiao, et al., 2020).
Di Indonesia, riset mengenai dampak COVID-19 terhadap pendidikan umumnya lebih banyak
difokuskan pada pelaksanaan pembelajaran dari rumah. Berbagai studi telah dilakukan untuk
memahami interaksi yang dilakukan dalam pembelajaran, hambatan yang dialami, kemampuan
guru dalam memanfaatkan media digital, keterbatasan sarana dan prasarana belajar, dukungan
dari pemerintah, dinas pendidikan, sekolah, dan orang tua, serta potensi learning loss selama
pandemi (Puslitjak, 2020a; SMERU, 2020; World Bank, 2020). Kondisi psikologis siswa selama
penyelenggaraan belajar dari rumah relatif belum banyak dibahas. Padahal, hasil survei
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menemukan bahwa
sebesar 58% anak tidak menyukai kegiatan BDR (Mashabi, 2020).
Untuk memetakan kondisi psikologis siswa selama proses BDR tersebut, Pusat Penelitian
Kebijakan bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia melakukan survei terhadap
15.840 siswa. Penentuan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling dengan
populasi siswa berusia 9–17 tahun, yaitu siswa SD (kelas 4, 5, dan 6), SMP, SMA dan SMK yang
tersebar di 24 kabupaten/kota di 12 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa
Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Papua, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah. Pada setiap kabupaten/kota dipilih secara acak 16
sekolah yang terdiri dari: 4 SD, 4 SMP, 4 SMA, dan 4 SMK. Survei dilakukan pada 2–13 November
2020.
Untuk keperluan risalah kebijakan ini, data survei yang digunakan berasal dari dua instrumen, yaitu
Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) dan Psychological Wellbeing Scale (PWB). SDQ
merupakan instrumen asesmen psikologis yang dikembangkan untuk mengukur gangguan mental
emosional yang dialami individu. Instrumen ini mengukur lima aspek, yaitu: permasalahan
emosional, permasalahan perilaku (kenakalan), permasalahan hubungan sebaya, permasalahan
hiperaktivitas-inatensi, dan permasalahan pada perilaku prososial. Sedangkan instrumen PWB
digunakan untuk mengukur kondisi kesejahteraan psikologis. Instrumen ini terdiri dari enam
aspek, yaitu: otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery),
perkembangan diri (personal growth), hubungan positif (positive relationship), tujuan hidup (life
purpose), dan penerimaan diri (self acceptance).
Tingkat kesulitan mental emosional sebagian besar siswa berada pada kategori
normal, namun perhatian perlu diberikan pada 16,6% siswa yang berkategori
abnormal.
SDQ mengukur kekuatan dan kesulitan yang dialami individu pada lima aspek yang terdiri atas
empat aspek kesulitan, yaitu: permasalahan emosi, permasalahan perilaku, permasalahan
hiperaktivitas-inatensi, dan permasalahan hubungan sebaya, serta satu aspek kekuatan, yaitu
perilaku prososial. Semakin tinggi skor SDQ seseorang menunjukkan bahwa semakin besar
kesulitan mental emosional yang dihadapi. Untuk memaknai skor lebih lanjut, maka dilakukan
kategorisasi skor SDQ ke dalam tiga kelompok, yaitu: normal untuk skor 0–15, perbatasan untuk
skor 16–19, dan abnormal untuk skor 20–40. Individu yang mendapatkan skor dalam kategori
abnormal dapat diartikan bahwa secara umum individu tersebut mengalami kesulitan mental dan
emosional. Meski begitu, perlu dilakukan analisis lebih lanjut terkait pada aspek apa kesulitan
mental emosional tersebut terjadi.
2
Hasil survei menunjukkan bahwa rerata skor Kesulitan Mental Emosional pada level total berada
pada skor 13,05. Berdasarkan kategorisasi SDQ, nilai ini berada pada kategori normal. Mendalami
lebih lanjut pada variabel demografis responden, ditemukan bahwa menurut jenis kelamin,
responden perempuan memiliki rerata skor SDQ lebih tinggi dibandingkan responden laki-laki
(Tabel 1). Hal ini dapat diartikan bahwa responden perempuan cenderung mengalami kesulitan
mental emosional lebih besar daripada responden laki-laki.
Perempuan 13,98
Menurut variabel cara pembelajaran, terlihat perbedaan skor SDQ antara siswa yang belajar dari
rumah, belajar tatap muka di sekolah, dan metode campuran, di mana secara umum pembelajaran
campuran memiliki skor SDQ paling tinggi (Tabel 2). Hal tersebut dapat diartikan bahwa tingkat
kesulitan mental emosional yang dialami oleh responden yang melaksanakan pembelajaran secara
campuran adalah paling tinggi dibandingkan dua cara pembelajaran lainnya. Selanjutnya, menurut
variabel jenjang pendidikan terlihat bahwa responden pada jenjang SMA memiliki skor SDQ paling
tinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya (Tabel 3). Hal ini dapat diartikan bahwa responden
pada jenjang SMA secara umum mengalami kesulitan mental emosional lebih tinggi dibandingkan
responden pada jenjang pendidikan lainnya.
Tabel 2 Tabel 3
Rerata Skor Kesulitan Mental Emosional Menurut Cara Belajar Rerata Skor Kesulitan Mental Emosional menurut
Jenjang Pendidikan
SMK 13,82
16,61%
Abnormal
Grafik 1
19,00% Perbatasan Persentase Siswa menurut Kategori
64,39% Kesulitan Mental Emosional
Normal
Salah satu disrupsi yang terjadi selama pandemi COVID-19 bagi anak-anak adalah beralihnya
pembelajaran tatap muka ke pembelajaran jarak jauh melalui kebijakan pembelajaran dari rumah
(BDR). Pada kegiatan BDR, peran guru sebagian besar beralih pada orang tua. Orang tua menjadi
salah satu komponen penting agar pembelajaran dapat terlaksana dengan baik di rumah. Melihat
lebih jauh terkait dengan status pendampingan responden selama BDR (yakni apakah responden
didampingi atau tidak selama BDR), ditemukan bahwa pada responden yang tidak didampingi,
proporsi responden yang masuk dalam kategori abnormal lebih tinggi dibandingkan responden
yang selama BDR didampingi. Hal ini dapat diartikan bahwa pendampingan orang tua selama
pembelajaran dari rumah di masa Pandemi COVID-19 ini dapat menjadi faktor penting yang dapat
melindungi anak-anak dari terjadinya permasalahan mental emosional, khususnya yang terkait
dengan pembelajaran. Yulianingsih dkk. (2021) menegaskan pentingnya orang tua dalam
mendampingi anak selama pembelajaran dari rumah, terutama melalui bagaimana orang tua
membantu mengatasi kesulitan belajar yang dialami anak, membantu menjelaskan materi
pembelajaran kepada anak, dan bagaimana orang tua membantu mengelola pembelajaran anak.
60,40%
Tidak didampingi 20,69%
18,91% Normal
Perbatasan
Didampingi 68,12% Abnormal
17,42%
14,46%
Grafik 2 Persentase Kategori Kesulitan Mental Emosional Siswa menurut Status Pendampingan Orang Tua selama BDR
Hasil olah data SDQ juga menunjukkan tingkat kesulitan mental emosional berdasarkan
aspek-aspeknya. Pada lima aspek SDQ, terungkap bahwa aspek kesulitan emosional dan aspek
kesulitan perilaku adalah dua aspek kesulitan mental emosional yang paling banyak dialami oleh
responden, yakni dialami oleh sebanyak 24,50% dan 13,40% responden (Grafik 3). Penelitian lain
dalam konteks yang sama menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Mayasari dkk. (2021) dalam
penelitian pada responden siswa sekolah dasar swasta di Sleman, D.I. Yogyakarta menemukan
aspek kesulitan perilaku sebagai aspek paling bermasalah diikuti oleh aspek kesulitan emosional.
Hal ini juga ditemukan oleh Vallejo-Slocker dkk. (2021) pada penelitiannya pada populasi
anak-anak pada kondisi rentan di Spanyol.
24,50%
13,40%
9,80%
5,20%
1,60%
Perempuan 52,93
Pada variabel jenjang pendidikan, responden di jenjang SMK memiliki kesejahteraan psikologis
paling tinggi, diikuti oleh responden jenjang SD, responden jenjang SMA, dan responden SMP
sebagai kelompok yang mengalami kesejahteraan psikologis paling rendah (Tabel 5). Hal ini dapat
dimengerti mengingat siswa SMP berada dalam fase puncak perubahan fisik dan hormonal yang
sangat cepat sehingga mengakibatkan perubahan emosi yang tak terduga (Dianandra, 2018).
Masa remaja ini sering diistilahkan sebagai “storm and stress” yang sering tidak dipahami oleh
orang dewasa di sekitarnya sehingga mengakibatkan seringnya konflik antara remaja dan orang
dewasa, terutama orang tua dan guru.
Tabel 5 Tabel 6
Jenjang Pendidikan
Rata-rata Skor PWB menurut Jenjang Pendidikan Rata-rata Skor PWB menurut Cara Belajar
SMK 53,31
Berdasarkan cara belajar, meski dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan, responden yang
melaksanakan pembelajaran secara campuran mempunyai rata-rata skor kesejahteraan psikologis
paling tinggi diikuti oleh responden yang melaksanakan belajar tatap muka di sekolah. Sedangkan
responden yang melaksanakan belajar dari rumah mengalami kesejahteraan psikologis paling
rendah (Tabel 6). Metode belajar yang berganti-ganti antara di rumah dan di sekolah dapat
berpengaruh pada kondisi psikologi anak karena mereka tetap dapat melakukan interaksi sosial
secara langsung, sekaligus waktu belajar di dalam kelas jadi berkurang (Graham dan Bonks,
2006).
Berdasarkan sebaran kategorisasi tingkat kesejahteraan psikologis, sebagian besar responden
(71,62%) memiliki kesejahteraan psikologis kategori sedang, 14,88% responden kategori tinggi,
dan 13,50% kategori rendah (Grafik 4). Angka terakhir mengindikasikan bahwa di masa pandemi,
sebagian siswa memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah sehingga perlu mendapat
perhatian.
14,88% 13,50%
Rendah Grafik 4
Sedang Persentase Siswa menurut
Kategori Kesejahteraan
Tinggi Psikologis
71,62%
Hasil survei juga menunjukkan bahwa siswa yang tidak didampingi selama BDR berpotensi lebih
besar mengalami kesejahteraan psikologis rendah dibandingkan dengan siswa yang didampingi
(Grafik 5). Riset menunjukkan, peran orang tua dalam mendampingi anak ketika belajar
mempunyai beberapa keuntungan, antara lain membuat anak menjadi lebih berprestasi dan
konsisten menyelesaikan pekerjaan rumah, menumbuhkan harga diri, disiplin, dan memiliki
motivasi belajar yang tinggi (Olsen dan Fuller, 2021).
13,40%
Tidak didampingi 71,22%
15,38% Tinggi
Sedang
Didampingi 16,26%
Rendah
71,99%
11,75%
Grafik 5 Persentase Kesejahteraan Psikologis Rendah menurut Status Pendampingan Orang Tua selama BDR
20,40%
14,97%
10,42% 8,80% 8,54% 8,40%
Grafik 6 Persentase Siswa dengan Kategori Abnormal menurut Aspek Kesejahteraan Psikologis
Rekomendasi
Berdasarkan temuan-temuan di atas, penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut.
1. Guru dan sekolah perlu memberi perhatian terhadap kesejahteraan psikologis siswa dan
turut melatih keterampilan sosial-emosional siswa melalui pembelajaran.
Proses pembelajaran diharapkan tidak hanya fokus pada capaian akademis untuk mengejar
ketuntasan kurikulum, melainkan juga menjamin kondisi kesejahteraan psikologis siswa. Selain
itu, guru dan sekolah juga perlu melatih keterampilan siswa dalam mengelola emosi dan
perilaku, memiliki empati dan menunjukkan perhatian kepada orang lain, menyelesaikan
masalah secara efektif, membuat keputusan yang bertanggung jawab, dan menjaga hubungan
yang sehat dengan orang lain. Melatih keterampilan semacam ini menjadi bagian dari
penguatan pendidikan karakter yang dapat terintegrasi dalam setiap sesi pembelajaran.
Perhatian guru terhadap kondisi psikologis siswa dapat memitigasi persoalan psikologis yang
berpotensi muncul yang dapat menghambat perkembangan siswa.
2. Sekolah perlu membuat program yang berkelanjutan untuk mempromosikan kesehatan
mental dan emosional siswa dengan mengoptimalkan kepemimpinan guru bimbingan
konseling dan melibatkan peran semua warga sekolah.
Sebagai langkah preventif, sekolah perlu menyusun program untuk mempromosikan kesehatan
mental dan emosional anak, terutama terkait dengan kondisi pandemi COVID-19. Dalam hal ini,
guru bimbingan konseling dapat menjadi pemimpin yang memandu peran setiap warga
sekolah dan menyusun strategi pendampingan bagi guru dan siswa yang memerlukan
dukungan psikologis dalam pembelajaran, termasuk memberikan edukasi kepada orang tua
dalam mengatasi potensi hambatan psikologis siswa yang mungkin muncul saat mendampingi
selama BDR. Sekolah dapat mendistribusikan berbagai materi edukatif dalam bentuk pamflet,
buku saku, atau aplikasi yang berisi referensi cara mendeteksi permasalahan psikologis pada
siswa, meningkatkan kondisi psikologis siswa, dan menangani permasalahan psikolgis tersebut.
3. Dinas pendidikan bersama sekolah perlu mendorong peran aktif dan kreatif dari setiap orang
tua dalam mendampingi anak saat belajar di rumah.
Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan pendampingan selama
belajar memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami persoalan psikologis. Oleh karena itu,
kegiatan pendampingan orang tua ini perlu secara terus menerus dipromosikan melalui
berbagai strategi seperti membuat group media sosial, mengadakan forum konsultasi rutin
orang tua, atau melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat dan perangkat desa. Dinas
pendidikan dan sekolah juga perlu selalu memperkuat kapasitas orang tua dalam mendampingi
melalui komunikasi rutin dengan guru, membagikan modul belajar khusus pegangan orang tua
seperti yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek, atau memberikan bahan-bahan edukatif
lainnya.
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2019). Laporan Nasional Riskesdas 2018. Jakarta:
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Dianandra. (2018). Psikologi remaja dan permasalahannya. Istighna, Vol. 1, Nomor 1, Januari 2018. Diakses
dari http://e-journal.stit-islamic-village.ac.id/index.php/istighna pada 28 Mei 2021.
Fitri, Susi., Meithy Intan Rukia Luawo, dan Ranchia Noor. (2017). Gambaran kesejahteraan psikologis pada
remaja laki-laki di SMA negeri se-DKI Jakarta. Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6 (1) Juni 2017.
Diakses dari http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/ insight/article/view/3177/2261 pada 12 Juli 2021.
Graham, Charles R. dan Curtis J. Bonk. (2006). The handbook of blended learning global perspectives.
Local Designs. ISBN: 978-0-7879-7758-0 Publisher: John Wiley & Sons, Inc. Pfeiffer diakses dari
Researchgate.net/publication/26872610_The_Handbook_of_Blended_Learning_Global_Perspectives
_Local_Designs/link/024adb000cf25bc6d4a1e2ef/download pada tanggal 12 Juli 2021.
Matud, M. P., M. López-Curbelo & D. Fortes (2019). Gender and psychological well-being. International
Journal of Environmental Research and Public Health, 16(19), 3531.
Mayasari, E. D., L. A. Evanjeli, B. E. T. Anggadewi, & P. Purnomo. (2021). Elementary school students'
mental health during the Corona Virus Pandemic (COVID-19). Journal of Psychology and Instruction,
5(1), 5-17.
Olsen, G. & M. L. Fuller. (2021). The benefits of parent involvement: What research has to say.
http://www.education.com/reference/article/benefits-parent-involvementresearch/
Vallejo-Slocker, L., J. Fresneda, & M. A. Vallejo. (2020). Psychological wellbeing of vulnerable children
during the COVID-19 pandemic. Psicothema, 32(4), 501-507.
Yulianingsih, W., S. Suhanadji, R. Nugroho, & M. Mustakim (2020). Keterlibatan orang tua dalam
pendampingan belajar anak selama masa Pandemi COVID-19. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini, 5(2), 1138-1150.