Anda di halaman 1dari 5

BAHASA TOLAKI

1. BEBERAPA CIRI KHAS BAHASA TOLAKI


Penelitian terhadap bahasa Tolaki belum banyak dilakukan oleh para Sarjana, kecuali H. van der Klift
yang pernah menulis karangan dengan judul Mededeelingen overde tua/ van Mekongga (1918),"' dan
suatu naskah yang ditulis oleh M.J. Gouveloos dengan judul Spraakkunsl der Tolaki*") yang tak
diterbitkan. Saya sendiri, atas permintaan Lembaga Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah,
pernah menulis sebuah karangan yang berjudul Imbuhan dalam Bahasa Tolaki (1973) untuk menjadi
bahan seminar yang pada waktu itu diadakan di Jakarta. Atas biaya Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan, J.F. Pattiasina dkk. telah meneliti bahasa Tolaki ini dan menulis
dua karangan dengan judul Struktur Bahasa Tolaki (1978), dan Morfologi dan Sintaksis Bahasa Tolaki
(1982).
Dari beberapa bahan hasil penelitian tersebut, khususnya penelitian saya sendiri dan Pattiasina dkk.
ada suatu kesimpulan sementara sebagai berikut:
a. Ciri-ciri fonologi dalam bahasa Tolaki itu adalah ciri-ciri yang menunjukkan bahwa bahasa ini
adalah bahasa vokalis.
b. Di dalam pembentukan kata maka yang digunakan adalah imbuhan (affixes) yang terbagi atas
awalan <prefix), akhiran (suffix), dan sisipan (infix), serta sejumlah imbuhan kombinasi
(simulfix). Contoh: ka + awalan mo- menjadi: monggu (makan); ka + sisipan -in- menjadi: kina
(nasi); ka + akhiran -/' menjadi: kui (makanlah), ka + imbuhan kombinasi: me- , -in- , -ako
menjadi: mekina'ako (nasi sebagai bekal). Masing-masing imbuhan tersebut terdiri atas: 17 buah,
2 buah, 6 buah, dan 15 buah. Selain itu terdapat juga sejumlah imbuhan persona, yang meliputi:
persona nominatif 11 buah, persorta akusatif enam buah, dan persona posesif 11 buah, serta
beberapa morfem aspek yang terletak pada sebelum dan sesudah imbuhan persona.
c. Dalam proses pembentukan kata ditemui bentuk perubahanperubahan morfofonemis yang
menyangkut: p, t, k, menjadi: mb, nd, ngg, apabila diawali dengan morfem mo-, po-, atau di dalam
gabungan kata tertentu sebagai kompositum (lihat Lampiran III). Contoh itu adalah sebagai
berikut: /p/ - paku - mombakw, /t/ - ta'a - monda'; /k/ - ka - mongga\ /p/ - paku - pow&aku; /t/ -
ta'a - ponda'a; /k/ - ka - pongga.
d. Ciri-ciri struktur kalimat dalam bahasa Tolaki adalah ciri-ciri yang menunjukkan gejala inversi,
reduplikasi. Gejala inversi tampak tidak hanya pada struktur (SP) dan (SPO) tetapi juga pada
struktur (WSPOL), yaitu: waktu (keterangan waktu), Subyek, Obyek, dan Lokasi (keterangan
tempat). Sedangkan gejala reduplikasi tampak pada struktur hubungan kalimat dengan kalimat
dalam suatu konteks cerita. Selain ciri-ciri tersebut di atas, tampak juga bahwa kalimat
diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu kalimat inti, dan kalimat turunan. Kalimat inti
dengan struktur klausa intransitif, transitif, dan ekuasional; dan kalimat turunan adalah kalimat
yang diturunkan dari pola kalimat inti melalui proses sintaksis transformasi. Kalimat ini dapat
membentuk kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat negatif atau kalimat pasif (lihat Lampiran
IV).
2. BAHASA TOLAKI DAN PERSEBARANNYA

Bahasa Tolaki adalah salah satu bahasa yang tergolong dalam keluarga bahasa Bungku-
Laki (Kruijt 1921). Di dalam keluarga bahasa itu termasuk pula bahasa Mori. Bahasa Tolaki
bersama dengan bahasa Mapute, Landawe, Moronene, dan bahasa Laiwui termasuk kelompok
bahasa Bungku (Esser 1927). Sedangkan bahasa Tolaki itu sendiri mempunyai paling sedikit dua
dialek, yaitu dialek bahasa Konawe, dan dialek bahasa Mekongga. Bahasa Mori terdiri atas
bahasa-bahasa di sekitar Danau Matana.
Penduduk yang berbahasa Tolaki sebagai cabang dari keluarga bahasa Bungku-Laki yang
berpusat di wilayah sekitar Danau Matana bergeser ke arah selatan di hulu Sungai Lasolo dan
Konawe'eha yang mula-mula berlokasi di Andolaki, lokasi pemukiman pertama orang Tolaki.
Selanjutnya bahasa ini bergeser' ke timur sampai di pesisir Sungai Lasolo dan Sungai Lalindu di
Kecamatan Asera; ke tenggara sampai di wilayah-wilayah Kecamatan Mowewe, Tirawuta,
Lambuya, Una'aha, Wawotobi, Lasolo, Sambara, Mandonga, Kendari, Ranome'eto, Pu'unggaluku,
Tinanggea, Moramo, dan Wawoni'i; ke selatan sampai di wilayah Kecamatan Wundulako dan
Kolaka; dan ke barat sampai di wilayah Kecamatan Lasusua dan Pakue.

3. PENGGUNAAN BAHASA TOLAKI DAN PENGGOLONGANNYA

Ditinjau dari segi lapisan sosial pemakainya, dalam bahasa Tolaki seperti juga banyak
bahasa yang lain, tampak bervariasi ke dalam beberapa gaya. Orang Tolaki sendiri membedakan
adanya tiga jenis bahasa Tolaki, yaitu: tulura anakia (bahasa golongan bangsawan), tulura lolo
(bahasa golongan menengah), dan tulura ata (bahasa golongan budak).
Bahasa golongan bangsawan adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antara
sesama golongan bangsawan. Jikalau seorang dari golongan menengah atau dari golongan budak
berbicara yang ditujukan kepada seseorang golongan bangsawan maka ia juga menggunakan kata-
kata dalam bahasa bangsawan. Contoh bahasa bangsawan misalnya perkataan: ipetaliando
inggomiu mombe'ihi, artinya: wahai engkau yang dipertuan dipersilakan mengisi. Maksudnya:
silakan makan. Jika kata "silakan makan" ini diucapkan dalam bahasa golongan menengah yang
dilakukan oleh seorang golongan menengah untuk sesamanya, maka akan demikian: leundo
ponga, artinya: marilah makan. Contoh lain: ipe'ekato inggomiu mekoli, artinya: silakan tuan naik
keranjang untuk beristirahat, maksudnya: tidur; jika kata "tidur" ini diucapkan dalam bahasa
golongan menengah, maka akan berbunyi: lakoto poi'so artinya: pergi tidur. Bahasa bangsawan ini
dalam wujudnya penuh dengan aturan sopan santun. Bahasa ini juga disebut bahasa mombokulaloi
(melebihkan, meninggikan), bahasa mombe'owose (membesarkan), bahasa metabea (memohon),
dan bahasa mombona'ako (menghargai). Bahasa bangsawan pada hakekatnya adalah pelahiran
suatu pandangan yang melihat golongan bangsawan sebagai manusia yang lebih dalam banyak hal
karena darah keturunannya, ilmunya, dan kekuasaannya yang lebih tinggi.
Bahasa golongan menengah adalah bahasa yang dipakai di kalangan umum masyarakat.
Berbeda dengan bahasa golongan bangsawan yang penuh dengan perasaan melebihkan,
meninggikan, membesarkan, pada bahasa ini antara pembicara dengan pendengar tak ada
perbedaan derajat meskipun berbeda umur, dan status sosial dalam masyarakat. Contoh bahasa
golongan menengah misalnya: leundo atopongga, artinya: mari kita makan: akuto mo'iso, artinya:
saya sudah akan tidur; imbe nggo lako'amu, artinya ke mana hendak Kau pergi.
Bahasa golongan budak adalah bahasa yang dipakai dalam kalangan budak. Bahasa ini
disebut juga bahasa dalo langgai (bahasa orang bodoh-bodoh), maksudnya: bahasa yang kurang
mengikuti aturan bahasa umum agar mudah dipahami oleh pendengarnya. Bahasa ini tampak
dalam wujud tulura bendelaki (bahasa gagah tetapi sesungguhnya kosong isinya), tulura magamba
(bahasa yang menunjukkan kesombongan) dan dalam wujud tulura te'oha-oha (bahasa yang paling
kasar kedengarannya) sebagai lawan dari bahasa sopan santun, seperti yang berlaku pada bahasa
golongan bangsawan. Contoh dari bahasa golongan budak ini adalah misalnya: akuto mongga
me'aroakuto, artinya: saya sudah akan makan karena saya sudah lapar; akutolako merumbahako
mokombo'i songguto, artinya: saya sudah akan pergi berbaring karena saya sudah mengantuk.*)
Ditinjau dari segi teknik berbicara dan makna pembicaraan serta maksud dan tujuan
pembicaraan, tentu juga ada dalam bahasa Tolaki, berbagai gaya bahasa seperti bahasa resmi,
bahasa akrab, bahasa kiasan dan sebagainya, tetapi yang khusus dalam bahasa Tolaki adalah
bahasa lambang kalo, yaitu bahasa isyarat dengan menggunakan kalo sebagai alat ekspresi dan
komunikasi. Tanpa berkata-kata, penerima bahasa lambang kalo telah dapat memahami maksud
dan tujuan dari pemakai bahasa lambang kalo, karena kalo itu sendiri mengandung makna
tertentu.
Selain dari gaya bahasa seperti di atas, orang Tolaki juga mengenal adanya bahasa yang
disebut tulura ndonomotuo (bahasa orang tuatua), tulura mbandita atau tulura andeguru
(bahasaulama), tulura ndolea atau tulura mbabitara (bahasa upacara adat), dan tulura mbu'akoi
(bahasa dukun). Bahasa orang tua-tua adalah bahasa yang dipakai oleh orang tua-tua dalam
memberikan nasihat, petuah, ajaran-ajaran leluhur bagi hidup dan kehidupan, terutama kepada
generasi muda. Bahasa ulama adalah bahasa seorang ulama dalam berbicara mengenai ilmu dan
pengetahuan tentang dunia hakiki, dunia metafisika, dunia gaib dan dunia akhirat. Bahasa upacara
adat adalah bahasa yang dipakai oleh juru bicara dalam urusan adat perkawinan dan urusan
peradilan. Dalam peradilan adat bahasa ini tampak dalam wujud harapan-harapan agar pihak yang
bersengketa dapat damai. Sedangkan dalam urusan perkawinan misalnya dalam peminangan
bahasa ini tampak dalam wujud kata-kata mempertemukan agar kedua belah pihak dapat saling
cocok dalam apa yang harus diputuskan menurut wajarnya sesuai dengan ketentuan adat yang
berlaku. Seorang juru bicara dalam urusan perkawinan biasanya mengemukakan pernyataan-
pernyataan yang banyak memperdengarkan pujian terhadap pihak keluarga wanita, dan
merendahkan pihak keluarga pria, serta kata-kata yang melukiskan hal-hal yang lucu sehingga
upacara menjadi lebih ramai dan lebih akrab. Bahasa dukun adalah bahasa seorang dukun yang
tampak baik terutama pada upacaraupacara yang bersifat ritual maupun dalam saat-saat
membicarakan mengenai makhluk halus dan dunia gaib. Bahasa dukun banyak mengandung
pernyataan-pernyataan menyembah, memuja, memuji, dan minta perlindungan terhadap makhluk
halus, roh nenek moyang, dewa, dan Tuhan, agar dirinya, dan banyak orang, serta khususnya
orang yang diupacarakan menjadi terhindar dari aneka-ragam bala dan bencana, serta
mengharapkan berkali- dari mereka. Bahasa dukun ini disebut juga tulura mesomba (bahasa
menyembah) dan tulura mongoni-ngoni (bahasa minta berkah.*'
Pembicaraan mengenai penggunaan bahasa Tolaki dan penggolongannya terurai di atas
adalah varietas linguistik. Hubungan sistematik dengan faktor-faktor sosiolinguistik yang
menentukan seleksi dari salah satu varietas itu tampak pada peranan dan status peserta dalam
interaksi (pembicara dan pendengar), dan pada topik yang dibicarakan. Kerangka inilah yang saya
gunakan dalam melukiskan jenis-jenis bahasa Tolaki terurai di atas, misalnya ulama mempunyai
status dan peranan tertentu dan oleh karena itu menggunakan jenis bahasa tertentu dengan yang
mempunyai status dan peranan yang berbeda. Demikian pula dengan topik: untuk bahasa ilmu
pengetahuan misalnya. Peranan peserta baik pembicara maupun pendengar dalam saat tertentu
dapat konstan, dan pada saat yang lain peserta dapat berubah. Demikian halnya topik yang
dibicarakan dapat konstan dan dapat pula divariasikan. Perbedaan-perbedaan yang nampak pada
variasi bahasa Tolaki menurut lapisan sosial pemakainya terurai di atas adalah
perbedaanperbedaan yang beisifat gramatikal, dan ungkapan-ungkapan yang dipakai hanya
terbatas pada penggunaan dalam masing-masing golongan dan tidak dipakai di luar golongan yang
bersangkutan, di mana struktur gramatikal dan penggunaan kata dan ungkapan tersebut sama
untuk semua golongan. Adapun perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain
merupakan perbedaan isi atau makna saja disebabkan oleh perbedaan status sosial: bangsawan
mempunyai perhatian berbeda dengan rakyat, ulama berorientasi pada agama, sedangkan
cendekiawan pada ilmu pengetahuan, dukun karena pekerjaannya lebih banyak berbicara tentang
pengobatan, dan lain-lain. Contoh kata dan ungkapan dari tiap variasi bahasa terurai di atas, saya
berikan dalam teks bahasa Tolaki yang saya terjemahkan secara harfiah.

4. BAHASA TOLAKI SEBAGAI ALAT EKSPRESI DAN KOMUNIKASI DAN


HUBUNGANNYA DENGAN KALO

Bagaimana sekarang hubungan antara bahasa Tolaki dengan bahasa lambang yaitu bahasa
kalo, yang telah disebut di atas? Hubungan antara asas bahasa Tolaki itu dengan kalanya, menurut
hemat saya sebaiknya dilihat dari dua segi, yakni segi bahasa sebagai alat ekspresi dan segi bahasa
sebagai alat komunikasi (Langer 1951: 103-104; Mussen dan Rosezweig 1971: 408).
Bahasa kalo sebagai bahasa simbolik adalah ekspresi orang Tolaki mengenai segala
sesuatu yang dipersepsikan sebagai sepotong rotan yang dibentuk menjadi lingkaran dengan kedua
ujungnya diikat dengan suatu simpul. Bentuk lingkaran atau bulat ini adalah gambaran segala
sesuatu yang bulat dan mula penciptaannya oleh pencipianya, yang selanjutnya mengalami
perubahan dari yang bulat menjadi terbagi-bagi ke dalam unsur-unsur. Dengan segala sesuatu di
sini saya maksud manusia dengan segala aspeknya, alam dengan segala unsurnya, masyarakat
dengan segala aspek-aspek sosialnya, demikian juga hewan dan tumbuhan, dan segala benda
alamiah dan budaya.
Menurut orang Tolaki unsur-unsur dari segala sesuatu tersebut di atas masing-masing pada
dasarnya hanya terdiri atas dua atau tiga unsur. Adapun unsur-unsur yang terdiri atas empat, lima,
dan seterusnya, kata orang Tolaki, hal itu merupakan penjabaran dari unsur-unsur dasar dua dan
tiga di atas. Namun segala sesuatu tersebut terdiri dari unsur-unsur tetapi kata mereka hal itu
"tidak harus dipisah-pisahkan," melainkan "harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat
yang satu saling mengikat yang lain.""' Bentuk-bentuk ekspresi inilah yang disimpulkan oleh
orang Tolaki di dalam kalonya.
Kalo sebagai alat komunikasi adalah alat yang dipakai oleh orang Tolaki dalam
berkomunikasi secara timbal-balik antara orang seorang, keluarga dengan keluarga, golongan
dengan golongan dalam konteks kehidupan sosial, dan dalam berkomunikasi dengan unsurunsur
alam dan lingkungan sekitarnya serta dengan dunia gaib. Komunikasi-komunikasi tersebut, kata
mereka, harus dilakukan untuk mewujudkan dan mempertahankan prinsip-prinsip kesatuan dan
persatuan atau integrasi dan solidaritas masyarakat pada khususnya seperti yang disimbolkan di
dalam kalo itu sendiri, agar tidak timbul oposisi dan ketidak-serasian dalam tala kehidupan
mereka sehari-hari sebagai suatu masyarakat.
Penampilan kalo sebagai wujud ekspresi dan alat komunikasi tersebut nampak pada
peristiwa-peristiwa seperti yang digambarkan sebagai berikut:
1) Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa sangat malu atas perlakuan seseorang
lainnya yang tidak sopan terhadapnya di depan umum, melakukan reaksi keras berupa
ancaman penganiayaan terhadap orang yang memperlakukannya demikian untuk membela
harga dirinya. Dalam situasi yang demikian muncullah pihak ketiga menampilkan kalo di
antara keduanya yang sedang ancam-mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari
ketiganya, peristiwa ancam-mengancam tersebut berhenti secara otomatis di mana
keduanya lalu saling maaf-memaafkan satu sama lain karena bagi mereka kalo itu adalah
identik dengan perkataan: "jangan, mohon maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita
sekalian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan tiga di dalam satu." Menganiaya dia
berarti menganiaya dirimu sendiri, dan menganiaya aku serta kita sekaliannya. Dengan
tampilnya kalo itu dalam suasana demikian maka damailah keduanya. Bila ternyata salah
s^tu dari keduanya atau kedua-duanya menolak adanya kalo dalam peristiwa itu, maka ia
telah dipandang terkutuk dan akibatnya mereka harus dikeluarkan dari warga orang Tolaki
atau menghukum mereka dengan ketentuan adat yang berlaku. Namun hal ini konon jarang
terjadi.
2) Peristiwa di mana dua orang utusan yang datang kepada suatu keluarga untuk maksud
menyampaikan undangan sesuatu pesta atau pekabaran mengenai adanya orang meninggal
dengan menggunakan kalo. Sesungguhnya utusan itu tanpa mengatakan apa maksud
kedatangannya, keluarga yang dikunjungi secara otomatis telah memahami bahwa maksud
mereka adalah pekabaran mengenai adanya orang meninggal, atau pemberitahuan
mengenai akan adanya perkawinan, karena kalo itu sendiri dengan atributnya telah
menunjukkan tanda atau simbol yang bermakna "orang mati" atau makna "laki dan
perempuan." Namun untuk memperjelas keterangan mengenai hal itu masih perlu ada
suatu dialog antara kedua belah pihak, misalnya menanyakan: siapa yang meninggal,
kapan dimakamkan, atau siapa yang akan kawin dan kapan diselenggarakan.
3) Peristiwa di mana kalo itu digunakan dalam upacara-upacara. Tanpa banyak komentar
kecuali bahasa yang formal saja, peserta upacara telah memahami maksud dan jalannya
upacara karena kalo itu sendiri telah diperlakukan sebagai berbicara sehingga memberi
keterangan kepada peserta upacara akan upacara apa yang sedang dilakukan dan apa
maksudnya, bahwa upacara yang sedang dilakukan itu adalah upacara perkawinan, atau
upacara kematian, atau upacara penyambutan raja, dan atau upacara pelantikan raja
misalnya.
Penampilan-penampilan kalo pada peristiwa-peristiwa terurai di atas, bagi orang
Tolaki, merupakan cara-cara yang paling baik dan terpuji untuk menyatakan ekspresi alam
pikirannya, perasaannya, dan kehendaknya di satu pihak, dan untuk menyampaikan
maksudnya di lain pihak. Orang, atau keluarga, atau golongan masyarakat yang selalu
menggunakan kalo untuk menyampaikan maksud tertentu kepada orang atau keluarga dan
atau golongan lain dipandang merou, me'irou (sopan santun, berakhlak baik, terpuji,
terhormat, tahu adat, tahu aturan, berbudi pekerti yang tinggi). Singkatnya ia adalah
manusia yang sesungguhnya. Sebaliknya mereka yang tidak berlaku demikian dipandang
tidak sopan, tidak tahu adat, te'oha-oha (sombong, berlagak pintar). Di sini nampak kalo
sebagai asas dari adatistiadat dalam berbahasa.
Kini kalo sebagai bahasa lambang orang Tolaki telah pula mengalami perubahan
dalam cara pemakaiannya. Perubahan itu tampak pada gejala adanya sedikit penjelasan
yang menyertai kalo itu sehingga makna kalo sebagai bahasa lambang itu lebih cepat
diresapi oleh terutama mereka yang telah mulai tidak mengenal apa makna kalo itu,
misalnya kalangan pemuda orang Tolaki, dan oleh mereka dari kalangan yang bukan orang
Tolaki, karena sekarang ini upacara perkawinan misalnya sering juga dihadiri oleh pihak
dari luar. Perubahan itu tampak juga pada gejala di mana seseorang menggunakan
kupiahnya sebagai pengganti kalo untuk menyatakan maksudnya, karena pada saat itu
sangat mendesak dan ia sedang tidak membawa kalo. Kupiah itu diperlakukan sebagai
kalo.

Anda mungkin juga menyukai