Anda di halaman 1dari 132

TESIS

KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA


MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

OLEH

MUHAMMAD HARUN
NIM: 105041102816

PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

i
TESIS

KESANTUNAN BERBAHASA INDONESIA


MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

OLEH

MUHAMMAD HARUN

NIM: 105041102816

PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021

ii
i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Harun

NIm : 105 04 11 02816

Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian

hari terbukti hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Makassar, 18 November 2021

Muhammad Harun

iv
iii
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam penulis
sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas
segala petunjuk dan pertolongan-Nya sehingga tesis ini penulis selesaikan
sebagaimana mestinya. Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu
persyaratan akademik untuk mengikuti ujian seminar hasil Megister
Pendidikan pada Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penyusun tesis ini menemui banyak tantangan dan hambatan.
Namun berkat bantuan, bimbingan, saran dan dorongan dari berbagai
pihak, semua itu dapat diatasi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini, terutama kepada. Dr.
Munirah, M. Pd. masing-masing sebagai Pembimbing I dan Dr. Abdul
Munir K. M. Pd selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya
untuk memberikan saran serta memotivasi penulis sejak penyusunan
proposal sampai tahap penyelesaian tesis.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada kedua orang tua, serta seluruh
keluarga yang senantiasa mendoakan penulis agar dapat meraih
kesuksesan.
Akhirnya penulis berharap semoga tesisini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca dan dapat diteruskan ketahap penyusunan
tesis. Semoga Allah Swt. Senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kita. Amin.

Makassar, 18 November 2021


Penulis,

Muhammad Harun

v
iv
DAFTAR ISI

Sampul ……………………… i
Lembar persetujuan pembimbing ……………………… ii
Halaman pengesahan ……………………… iii
Pernyataan Keaslian Tesis ……………………… iv
Prakata ……………………… v
Daftar isi ……………………… vi
Abstrak ……………………… viii
Abstrak ……………………… ix
PENDAHULUAN ……………………… 1
A. Latar belakang ……………………… 1
B. Rumusan masalah ……………………… 14
C. Tujuan penelitian ……………………… 15
D. Manfaat penelitian ……………………… 15
KAJIAN PUSTAKA ……………………… 16
A. Kajian Pustaka ……………………… 16
1. Penelitian relevan ……………………… 16
2. Kesantunan dan tindak tutur ……………………… 17
memerintah ……………………… 23
3. Kesantunan berbahasa ……………………… 29
4. Maksim Kesantunan ……………………… 32
5. Ciri Kesantunan Berbahasa ……………………… 43
B. Kerangka Pikir ……………………… 45
METODE PENELITIAN ……………………… 46
A. Rancangan penelitian ……………………… 46
B. Fokos penelitian ……………………… 47
C. Tempat dan subjek penelitian ……………………… 47
D. Data dan sumber data ……………………… 48
E. Teknik pengumpulan data ……………………… 50
F. Teknik analisis data ……………………… 52

vi
v
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………… 53
A. Hasil Penelitian ……………………… 53
1. Prinsip kesantunan leech ……………………… 54
a. Pelanggaran maksim kebijakan ……………………… 55
b. Pelanggaran maksim penerimaan ……………………… 61
c. Pelanggaran maksim kemurahan ……………………… 63
d. Pelanggaran maksim kerendahan hati ……………………… 66
e. Pelanggaran maksim kecocokan ……………………… 70
f. Pelanggaran maksim simpati ……………………… 73
2. Persepsi penutur bahasa Indonesia ……………………… 74
3. Presentasi hasil analisis pelanggaran ……………………… 79
4. Hasil analisis wawancara ……………………… 81
B. Pembahasan ……………………… 84
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………… 96
a. Simpulan ……………………… 96
b. Saran ……………………… 97
DAFTAR PUSTAKA ……………………… 99
Lampiran ……………………… 103
a. Pedoman observasi ……………………… 104
b. Pedoman wawancara ……………………… 104
c. Format kartu data ……………………… 105
d. Biodata Diri ……………………… 121
e. Surat Penelitian ……………………… 122

vi
vii
ABSTRAK

Muhammad Harun. 2019. Kesantunan Berbahasa Indonesia Mahasiswa


Universitas Muhammadiyah Makassar. Tesis. Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dibimbing oleh Munirah dan Abdul Munir .
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dampak globalisasi terhadap
penggunaan bahasa Indonesia pada pembelajaran bahasa Indonesia di Universitas
Muhammadiyah Makassar dan mendeskripsikan bentuk-bentuk penyimpangan
prinsip kesopanan yang diucapkan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Tuturan yang ada di lingkungan kampus
khususnya di parkiran motor semuanya tidak mengandung unsur kesantunan
berbahasa dan melanggar Prinsip Kesantunan Leech. Wujud ragam bahasa yang
tidak santun yang diucapkan oleh mahasiswa sangatlah kasar. Misalnya terdapat
nama-nama binatang yang sering diucapkan oleh mereka. Wujud ragam bahasa
tersebut sangat tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara dengan kepahitan,
mengolok-olok atau sindiran dan mengandung celaan getir.Penyimpangan prinsip
kesopanan yang diucapkan oleh mahasiswa melanggar maksim kebijaksanaan,
maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim
kecocokan dan maksim kesimpatian. Pelanggaran terbesar ada pada maksim
kebijaksanaan. Maksim kebijaksanaan ini menggariskan setiap peserta pertuturan
untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan bagi
orang lain.Tuturan kasar yang diucapkan oleh mahasiswa yang melanggar Prinsip
Kesantunan Leech ternyata sudah menjadi bahasa sehari-hari yang mereka
ucapkan jika berada di lingkungan kampus, namun jika mereka berada di luar
lingkungan kampus mereka tidak menuturkan tuturan kasar tersebut. Faktor yang
menjadi penyebab mahasiswa menuturkan tuturan kasar adalah faktor lingkungan
dan faktor sosial. Faktor lingkungan timbul karena perbedaan asal daerah
penuturnya. Maksudnya mereka menuturkan tuturan kasar tersebut karena memang
lingkungan yang mereka hadapi menerima dan tidak terlalu peduli dan situasinya
memang mendukung untuk mengucapkannya. Sedangkan faktor sosial timbul
karena perbedaan kelas sosial penuturnya karena para penghuni yang bekerja di
lingkungan kampus sebagian besar memang status sosialnya rendah dan latar
belakang pendidikan mereka juga rendah.
Kata kunci: Kesantunan Berbahasa, Tuturan Mahasiswa

viii
i
ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan salah satu sarana untuk berinteraksi dalam

lingkungan sosial. Untuk kepentingan interaksi sosial dibutuhkanlah

bahasa sebagai alat berkomunikasi. Dengan bantuan bahasa, interaksi

sosial antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain akan

berlangsung dengan baik. Hal ini pun menjadi penanda bahwa

terwujudnya kompetensi atau kemampuan berkomunikasi tidak lain karena

adanya korelasi psikologis suatu bahasa. Apabila fungsi bahasa dilihat

dari konsep tindak tutur (speech act), fungsi bahasa dapat digunakan

untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, suatu ujaran tidak hanya

dapat dinilai dengan benar atau tidak benarnya, tetapi juga dari kesahihan

tuturan tersebut. Untuk menilai benar salahnya sebuah tuturan, hal itu

tidak dapat dipisahkan dari situasi tutur (speech situation), dan peristiwa

tutur (speech event), yang berada dalam suatu masyarakat tutur (the

speechcommunity), yaitu suatu komunitas atau masyarakat yang memiliki

pengetahuan bersama tentang norma tutur, baik dalam bertutur ataupun

dalam menginterpretasikannya.

Komunikasi di era globalisasi seperti sekarang tidak selalu terjadi

secara tatap muka. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi saat

ini sudah mampu mengakomodir hal tersebut. Adanya teleponyang

1
ditawarkan oleh beberapa media sosial sangat mendukung komunikasi

dilakukan dalam jarak jauh. Bentuk komunikasinya pun beragam, dari

yang formal sampai tidak formal, yang bersifat resmi sampai

gurauan/candaan sekalipun.

Pesan komunikasi yang dikirim via sms misalnya, dengan bahasa

yang sangat singkat yang jauh dari kaidah bahasa baku, akan tetapi

antara pemberi dan penerima informasi saling memahami maksud dan

tujuan dari pesan itu. Selama maksud dan tujuan dari pesan tersebut

tersampaikan, maka hal itu bukan menjadi suatu permasalahan.

Kesantunan berbahasa terkait erat dengan penggunaan bahasa yang

baik, sopan, dan benar sesuai dengan norma maupun tata krama.

Pergeseran zaman, nilai budaya, serta pola pikir masyarakat yang

semakin maju dan modern turut andil dalam kesantunan berkomunikasi.

Kesantunan berkomunikasi bisa saja berbeda antara satu daerah dengan

daerah yang lain, tergantung pada nilai budaya yang dianut dari

masyarakat setempat. Kesantunan berbahasa di era globalisasi menjadi

amat penting dan menjadi sesuatu yang mutlak mengingat perkembangan

teknologi informasi yang pesat menjadikan manusia semakin berwawasan

luas, dengan begitu cepat dapat mengakses informasi secara up to

date. Pola pikir yang modern dan maju seperti ini cenderung melupakan

nilai-nilai/norma yang sudah ada.

Perbedaan penafsiran dan penggunaan bahasa juga terkadang

memunculkan kesalahpahaman missed communication, apabila dibiarkan

2
begitu saja akan menimbulkan konflik. Penggunaan kata yang menjurus

pada sara, mengintimidasi, dan sejenisnya akan memancing suasana

menjadi keruh dan tidak terkendali. Era komunikasi sekarang harus benar-

benar disikapi dengan hati-hati dan bijaksana. Dalam beberapa tahun

terakhir, komunikasi yang santun di kalangan generasi muda mulai

mengalami penurunan, bahasa yang santun dalam berkomunikasi dengan

orang tua sekarang mulai menghilang, seolah menganggap mereka

adalah teman sebayanya. Kita tentu lebih menghargai orang yang

berbicara dengan sopan ketimbang yang berbicara kasar. Ketercapaian

komunikasi yang baik tentunya tidak terlepas dari kesantunan berbahasa.

Arus globalisasi menunjukkan perubahan besar dalam masyarakat

dunia apa yang ditunjukkan bukan sesuatu yang biasa. Bukan sekadar

soal kita menambahkan perlengkapan modern seperti, video, fashion,

televisi, parabola, komputer, dan sebagainya dalam cara hidup. Kita hidup

di dalam dunia yang sedang mengalami transformasi yang luar biasa,

yang pengaruhnya hampir melanda setiap aspek dari kehidupan. Entah

baik atau buruk, kita didorong masuk ke dalam tatanan globalisasi yang

tidak sepenuhnya dipahami oleh siapapun, namun dampaknya bisa kita

rasakan. Fenomena tersebut tidak melulu dalam pengertian ekonomi

akansangat keliru, jika menganggap globalisasi hanya berkaitan dengan

sistem-sistem besar, seperti tatanan perekonomian dunia.

Globalisasi bukan soal apa yang ada “di luar sana”, terpisah

langsung, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Ia juga merupakan

3
fenomena “di sini”, yang langsung mempengaruhi sistem kepercayaan dan

kehidupan kita. Dengan kian merebak dan canggihnya teknologi media,

memungkinkan sebuah masyarakat menyaksikan bentuk-bentuk

kehidupan dan sistem kepercayaan lain yang berbeda. Sebuah

masyarakat juga menyaksikan masyarakat lain dalam macam-macam

gaya hidup, orientasi keagamaan yang berlainan, ragam etnis-suku

bangsa, perbedaan bahasa dan sebagainya. Bahkan, bukan itu saja,

globalisasi seperti yang diungkapkan Anthony Giddens juga merupakan

efek jarak jauh (time-space distanciation). Maksudnya, apa yang terjadi

pada satu belahan bumi, bisa terjadi efek pada belahan bumi yang lain.

Misalnya, teror bom di Bali dengan serta merta mempengaruhi dunia

kehidupan masyarakat di belahan bumi lainnya.

Kehidupan masyarakat global saat ini dihadapkan pada pluralitas

kebudayaan yang saling mempengaruhi, yang tidak pernah kita

bayangkan sebelumnya saling pengaruh di antara ragam kebudayaan, jika

tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan konflik yang hebat,

berkepanjangan dan susah dihentikan. Seperti yang disinyalir oleh Samuel

Huntington, garis-garis batas dalam dunia mutakhir (dunia era pasca-

Perang Dingin) tidak berasal dari politik atau ideologi, melainkan

kebudayaan. Dalam karyanya yang kontroversial The Clash of Civilization

(1993), Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat

modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan

tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban,

4
perjumpaan peradaban satu dengan yang lainnya, melalui globalisasi,

tidak berkembang secara adil, dan tidak ada saluran komunikasi, maka

benih-benih permusuhan kian menggumpal dan siap meledak. Buat

kebanyakan orang yang tinggal di luar Eropa dan Amerika Utara,

globalisasi terkesan tidak menyenangkan, seperti Westernisasi atau

mungkin Amerikanisasi.

Ketika muncul peradaban yang dominan dan dirasakan menindas

oleh peradaban yang lain, kemungkinan terjadi “benturan peradaban”

Clash of Civilization saat mungkin. Namun, konflik-konflik dalam dunia

modern tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang

sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam peradaban yang

sama, masyarakat sering berperang di antara mereka masing-masing.

Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik,

bukan merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang

mendalam, karena sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit

menjelaskan konflik di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam

tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam masyarakat

Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena

pada intinya sebenarnya kedua agama itu samapunya tradisi dan akar

sejarah yang sama: semitik. Dalam bukunya yang berjudul The End of

Nation State (1995), Ohmae berpendapat bahwa perang biasanya terjadi

ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan kecil

secara tajam seraya menciptakan kebencian latenbukan ketika antar

5
peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington.

Seakan menyanggah tesis Huntington, Kenichi Ohmae berpendapat

bahwa konflik-konflik terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik

yang kolot yang melibatkan rakyat untuk melakukan konfrontasi

bersenjata. Persoalannya adalah, bagaimana memikirkan kelangsungan

kehidupan masyarakat global saat ini dan di masa depan? Bukahkah

intensitas konflik-konflik dalam masyarakat global kian meningkat, sangat

rawan dan terkesan tak terkendali.

Bukankah kehidupan masyarakat global kian tercabik-cabik dengan

begitu sering konflik-konflik di antara mereka. Apa yang memungkinkan

kohesi sosial (nilai-nilai pengikat) dalam masyarakat global, yang di

dalamnya terdapat beraneka ragam pluralitas, bisa diupayakan. Seiring

dengan peralihan dari masyarakat tradisional yang relatif homogen ke

masyarakat global yang pluralistik, terjadilah krisis legitimasi yang luar

biasa di dalam masyarakat global tersebut. Krisis legitimasi dalam

pengertian bahwa tatanan legitim masyarakat tradisional sebuah tatanan

masyarakat yang didasarkan pada sebuah sistem kepercayaan atau

agama mulai kehilangan validitasnya.Akan muncul tendensi perlawanan

jika sebuah masyarakat coba diatur dengan dan oleh aturan masyarakat

lain. Akan lebih kacau lagi jika, setiap kelompok masyarakat memaksakan

sistem kepercayaannya sebagai yang “paling benar” untuk mengatur

masyarakat dunia. Oleh karena itu, diperlukan sebuah visi besar untuk

mengawal perkembangan masyarakat global saat ini dan di masa depan.

6
Seorang teolog besar abad ini, Hans Kung, mengajukan sebuah visi

besarnya tentang etika global. Dalam karyanya yang berjudul A Global

Ethics for Global Politics and Economics (1997), Hans Kung menyatakan

tak akanada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah

etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah konsensus

dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh

semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan

dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum

non-beriman (ateis).

Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung,

konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika

fundamental (nilai-nilai universal) yang meskipun terdapat banyak

perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk kehidupan, budaya,

politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan

masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan

terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada

beberapa tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran,

keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya tentu saja, nilai-nilai universal

dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif (monologal).

Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada

klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan

sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim

kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi

7
hubungan-hubungan sosial (FB Hardiman: 2002). Karena kebenaran yang

sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh

Hitler dan Musollini. Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti

yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui dialog

yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai

etika global dapat dikukuhkan.

Etika dala berbahasa di era globalisasi ini masyarakat modern

lambat laun akan terseret pada ketidaksopanan dalam berbahasa yang

berakibat pada konflik-konflik dan kekacauan. Setidaknya, etika

bernahasa memberi tuntutan dan dasar moral bagi individu maupun

tatanan berbahasa yang lebih baik. Hans Kung juga tidak naif, bahwa

tuntutan etika global ini bukan main sulitnya untuk mahkluk rasional

sekalipun. Tetapi, menurut dia, harus ada tuntutan semacam itu dalam

dialog yang riil dalam masyarakat global. Kalau tidak, dialog akan jatuh

pada perspektif etnosentris, entah agama, ras, bangsa, dan kelompok-

kelompok kepentingan. Jadi, etika global dalam masyarakat global

merupakan keniscayaan di zaman Globalisasi saat ini banyak pengaruh

yang mempengaruhi pengguna bahasa yang ada di kampus universitas

Muhammadiyah Makassar jurusan pendidikan bahasa dan sastra

Indonesia.

Berdasarkan tahun terakhir ini kajian kesantunan berbahasa telah

menjadi salah satu aspek yang banyak diperhatikan. Hal ini disebabkan

munculnya indikasi semakin menurunnya derajat kesantunan berbahasa

8
dalam suatu masyarakat. Indikasi ini dapat menjadi penanda timbulnya

pergeseran perilaku berbahasa, khususnya kesantunan berbahasa dari

generasi ke generasi. Fonemena ini pun menjadi hal yang prioritas untuk

segera dientaskan mengingat lambat laun gejala ini akan semakin terpola

dan merusak jaringan komunikasi yang beretika.

Salah satu fenomena kebahasaan yang penulis dapatkan adalah

tuturan yang diucapkan oleh mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia

pada saat mengerjakan tugas kelompok dan mereka menganggap tuturan

yang diucapkan tersebut dalam bentuk candaan dan menjalin keakraban :

Mahasiswa 1 : “inie lima ribumo nah kubayar?”

Mahasiswa 2 : “ suntili’masa lima ribu !”

Mahasiswa 1 : “ Terus berapa maumu?”

Mahasiswa 2 : “ lima belas ribu bos!”

Mahasiswa 1 :“ nggapa na jai kamma lima sabbumo

ka sepuluh lembarji”

Mahasiswa 2 : “sundala kau apa nataba anjo, berhentiko


keluar mako dari kelompokku, kau santai
santai jako baru lima ribuji mau nubayar,
tanjjano rong”.

Fenomena kebahasaan di atas adalah penggalan beberapa kalimat

realisasi kesantunan berbahasa yang diucapkan oleh mahasiswa

pendidikan bahasa dan sastra Indonesia universitas muhammadiyah

Makassar. Penulis akan meneliti fenomena kebahasaan yang terjadi pada

tiga bahasa, yaitu bahasa Bugis, bahasa Makassar , dan bahasa

Indonesia. Banyak hal yang membuat kata-kata kasar keluar dari

9
pemakainya. Sarkasme itu sendiri kadang bisa memancing kemarahan

orang yang dituju, tapi kadang juga tidak berpengaruh karena itu sudah

menjadi hal yang lumrah untuk keduanya.

Dilihat dari sudut penuturnya, bahasa itu berfungsi personal atau

pribadi (Halliday 1973; Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960 menyebutkan

fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa

yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat

bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan

tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah

si penutur sedih, marah, atau gembira.

Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu

berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar (Finnocchiaro

1974; Halliday 1973 menyebutkan fungsi instrumental; dan Jakobson 1960

menyebutkan fungsi retorikal). Disini bahasa itu tidak hanya membuat si

pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai

dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur

dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah,

imbauan, permintaan maupun rayuan.

Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka

bahasa disini berfungsi fatik (Jakobson 1960; Finnocchiaro 1974

menyebutkan interpersonal; dan Halliday 1973 menyebutkan

interactional), yaitu fungsi menjadi hubungan, memelihara,

memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas nasional.

10
Dalam masyarakat, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi

sangat beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini

bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen,

tetapi juga karena interaksi sosial yang mereka lakukan beragam.

Salah satu aspek tindak tutur yang mengutamakan kesantunan

adalah tindak tutur memerintah. Tindak tutur memerintah merupakan

salah satu tindakan yang dilakukan agar mitratutur dapat melaksanakan

permintaan, suruhan, atau perintah dari penutur. Untuk mencapai tujuan

sebagaimana yang diinginkan oleh penutur, biasanya digunakan beberapa

strategi agar perintah tersebut dapat berterima baik oleh mitratutur. Jika

pemenuhan atas pemanfaatan strategi tidak terjadi, maka hubungan

antara penutur dan mitratutur menjadi tidak seimbang, padahal interaksi

sosial akan dapat berjalan harmonis jika prinsip kerjasama dan

keseimbangan diterapkan. Itulah sebabnya, jalinan komunikasi dan

hubungan sosial kedua belah pihak perlu diperbaiki melalui ungkapan

memerintah sesantun mungkin. Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini,

penutur perlu menggunakan pemarkah kesantunan dan memilih strategi

untuk mengungkapkan perintahnya, yang biasanya dilakukan melalui studi

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, yang dapat

menghasilkan pola strategi berbahasa yang dianggap pantas berdasarkan

konteks budaya yang berlaku.

Bahasa adalah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi.

Dengan bahasa, seorang dapat berinteraksi dengan seorang lainnya. Hal

11
ini senada dengan pandangan Marjusman Maksan bahwa bahasa adalah

ucapan pikiran manusia yang dengan teratur memakai alat bunyi. Ucapan

pikiran yang disampaikan kepada lawan tutur tidak pernah terlepas dari

persoalan sopan santun (Nisja, 2009: 478). Kesantunan berbahasa sangat

perlu untuk dikaji, karena kegiatan berbahasa tidak luput dari kehidupan

manusia. Kesantunan merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan

’kesopanan’, ’rasa hormat’ ’sikap yang baik’, atau ’perilaku yang pantas’.

Dalam kehidupan sehari-hari, keterkaitan kesantunan dengan perilaku

yang pantas mengisyaratkan bahwa kesantunan bukan hanya berkaitan

dengan bahasa, melainkan juga dengan perilaku nonverbal. Kesantunan

menghubungkan bahasa dengan pelbagai aspek dalam struktur sosial

sebagaimana hanya dengan aturan perilaku atau etika. Sopan santun

dalam bentuk tuturan atau kesantunan berbahasa setidaknya bukan

semata-mata motivasi utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan

juga merupakan faktor pengatur yang menjaga agar percakapan

berlangsung dengan benar, menyenangkan, dan tidak sia-sia. Leech

(1993:38) mengatakan bahwa manusia pada umumnya lebih senang

mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan daripada yang tidak

sopan. Secara umum, masalah kesantunan berbahasa sangat

berhubungan dengan masalah menjaga harga diri. Dalam bahasa bugis,

istilah ini dikenal dengan sebutan jagai siri (Gunawan, 2013: 65),

sementara Brown dan Levinson (1978: 65) memopulerkannya dengan

istilah tindakan mengancam muka (FTA). Menjaga keterancaman muka

12
atau menjaga harga diri ini penting dilakukan baik penutur maupun mitra

tuturnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari saling ketersinggungan yang

diakibatkan oleh tutur kata dan berujung kepada konflik. Hal ini dapat

dilihat pada contoh berikut.

(1) A : Maaf Pak, ada waktunya?

B : Ada apa?

A : dimanaki pak mauka bimbingan skripsi

Konteks: seorang mahasiswa yang meminta kesedian dosennya

untuk melakukan pembimbingan skripsi Tuturan (1) dituturkan oleh

seorang mahasiswa kepada dosennya. Secara eksplisit, tuturan ini

menggunakan modus kalimat interogatif yang secara konfensial berfungsi

untuk bertanya mengenai ada atau tidak adanya waktu dari dosen modus

kalimat ini mengisyaratkan permintaan secara tidak langsung kepada

lawan tutur. Tujuannya adalah untuk meminimalisir rasa malu penutur jika

saja permintaannya tidak disetujui, apalagi jika ada orang lain yang juga

berada di sana. Selain itu, permintaan pada tuturan (1) itu ditujukan

kepada dosennya, yang tentu lebih tua, status sosialnya lebih tinggi, dan

hubungan kekerabatannya tidaklah dekat. Dengan demikian, untuk

memberikan efek kesantunan, mahasiswa itu menggunakan kalimat

interogatif tidak langsung yang diawali dengan menggunakan penanda

kesantunan, yaitu permohonan maaf yang menggunakan kata “maaf” dan

kata sapaan “pak” atau “bapak”. Hal ini tentu sangat berbeda dengan

13
penggunaan modus kalimat imperatif yang seringkali dijumpai dalam

percakapan antara mahasiswa dengan dosen.

(2) Pak tabe’ saya minta tanda tangannya, karena batas pendaftaran

ujian proposal hari ini.

Konteks: seorang mahasiswa yang meminta dosen pembimbingnya

menandatangani proposal yang telah dibuat untuk segera melakukan

ujian.

Demikian halnya yang terjadi pada mahasiswa universitas

muhammadiyah Makassar akibat adanya pengaruh globalisasi dalam

pemakaian bahasa, dipercaya terdapat beberapa pola atau strategi yang

dapat diterapkan untuk mencapai tujuan dan menghindari

kesalahpahaman antara penutur dan mitratutur.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat di rumuskan

masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pola kesantunan berbahasa mahasiswa jurusan

pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas

Muhammadiyah Makassar?

2. Bagaimana bentuk penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan

yang diucapkan oleh mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan

sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar?

14
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola penggunaan

bahasa Indonesia pada pembelajaran bahasa Indonesia di Universitas

Muhammadiyah Makassar dan mendeskripsikan bentuk-bentuk

penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Makassar.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik

secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Dapat menguatkan dan menyempurnakan teori mengenai strategi

kesantunan.

b. Dapat memberi informasi yang lebih spesifik, rinci, dan mendalam

tentang tindak tutur dan mengetahui pola penggunaan bahasa

indonesia.

2. Manfaat Praktis

Berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat

bagi ilmu bahasa dan perkembangan Pragmatik, selain itu penelitian ini

juga agar bermanfaat dan dapat memberikan informasi untuk penelitian

berikutnya.

15
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah

yang diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka

landasan di dalam melakukan penelitian sebagai salah satu sistem

berpikir ilmiah. Sehubungan dengan itu maka penulis membahas

beberapa teori yang dianggap relevan dan fokus yang dikaji dalam

penelitian ini antara lain :

1. Penelitian yang Relevan

Ahmad (2012). melakukan penelitian dengan judul “Strategi

Kesopanan Berbahasa Masyarakat Bugis Pinrang Provinsi Sulawesi

Selatan” dengan pembahasan Kesopanan berbahasa Bugis Pinrang dapat

direfleksi berdasarkan nilai-nilai budaya siri dan slogan Sipakatau,

Sipakainge, Sipakalebbi (3S) sebagai nilai sentral, melalui penciptaan

ragam atau variasi tuturan sebagai strategi kesopanan berbahasa, yang

dipengaruhi oleh faktor status peserta tutur, situasi dan konteks, domain

atau ranah di mana pertuturan itu berlangsung, misalnya di kantor, di

pasar, dan sebagainya.

Anita Rahman (2017).melakukan penelitian dengan


judul“Kesantunan Berbahasa Indonesia Masyarakat dan Polisi pada
Pemeriksaan Lalulintas Kepolisian Polres Gowa”.
Nurul Musfufah (2010). melakukan penelitian dengan judul
“Kesantunan Bentuk Tuturan Direktif di Lingkungan SMA Negeri 1

16
Surakarta (Sebuah Kajian Sosiopragmatik)” yang membahas tentang
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksantunan berbahasa Indonesia
bentuk tuturan direktif.

Rahmatiah (2011). dengan judul “Fungsi dan Kesantunan Kalimat

Interogatif dalam Tuturan Bahasa Makassar”. Yang memiliki tiga macam

wujud makna kesantunan pragmatik imperatif dalam bahasa Makassar,

yaitu (1) wujud makna kesantunan pragmatik imperatif bahasa Makassar

dalam konstruksi imperatif, (2) wujud makna kesantunan pragmatik

imperatif bahasa Makassar dalam konstruksi deklaratif, dan (3) wujud

makna kesantunan pragmatik imperatif bahasa Makassar dalam

konstruksi interogatif.

Hasbia K (2012). yang berjudul “Strategi Tindak Tutur Penyiar


dalam Acara Harrmoni Pagi Radio PLS 100,0 FM Makassar (Suatu
Tinjauan Pragmatik).

Sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah

kesantunan berbahasa Indonesia Mahasiswa Universitas Muhammadiyah

Makassar (studi kasus pendidikan bahasa dan sastra Indonesia).

2. Kesantunan dan Tindak Tutur

Untuk kepentingan tulisan ini, tindak tutur, khususnya pola dan

prinsip kesantunan dijadikan sebagai objek kajian. Ada beberapa teori dan

informasi yang dijadikan acuan dalam menganalisis dan terutama yang

berhubungan dengan tindak tutur memerintah ini, yaitu teori dan seluk

beluk tindak tutur, kesantunan berbahasa, dan tentang ciri kesantunan

berbahasa.

17
a. Tentang Tindak Tutur

Dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962)

menyatakan bahwa bahasa tidak hanya digunakan untuk menyatakan

sesuatu, tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan suatu tindakan.

Menurut pakar ini, suatu tuturan bukan hanya digunakan untuk

menyatakan suatu hal, melainkan juga untuk mengungkapkan sikap,

perasaan, dan juga maksud penutur. Ahli lain, Sumarsono (2002:323)

mengatakan bahwa tindak tutur adalah sepenggal tutur yang dihasilkan

sebagai bagian dari interaksi sosial.

Harnida (2012) tindak tutur (speech art) merupakan unsur

pragmatik yang melibatkan pembicara, pendengar, penulis, pembaca

serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur digunakan oleh

beberapa disiplin ilmu. Harnida (dalam Chaer 2004:16) menyatakan tindak

tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan

keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur

dalam menghadapi situasi tertentu.

Akbar (2014: 9) tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu

cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian

aktualnya. Tindak tutur juga dapat dikatakan sebagai salah satu kegiatan

fungsional manusia sebagai makhluk berbahasa. Akbar (dalam

Leech:1983: 5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud

ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang

seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna

18
dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana.

Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik

dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini

seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama

dan prinsip kesantunan.

Arifin (2012) menjelaskan bahwa kegiatan bertutur adalah suatu

tindakan. Jika kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti setiap

kegiatan bertutur atau menggunakan tuturan terjadi tindak tutur. Hakikat

tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau

fungsi (maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak tutur

merupakan unit terkecil aktivitas bertutur (percakapan atau wacana) yang

terjadi dalam interaksi sosial. Yule (2006:81) menjelaskan bahwa dalam

usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya

menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur

gramatika saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan

melalui tuturan-tuturan itu.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

tindak tutur adalah suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu

yang dapat diungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur

yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep

situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai

suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

19
Wijana (1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan

menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak tutur

literal dan tidak literal.

1) Tindak tutur langsung

a) Tindak tutur langsung literal (Direch literal speech act)

Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan

dengan modus tuturan dengan makna yang sama dengan maksud

pengutaraannya.

b) Tindak tutur langsung takliteral (Direch non literal speech)

Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang

diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan

tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang

sama dengan maksud penuturannya.

2) Tindak tutur tidak langsung

a) Tindak tutur tidak langsung literal (In direch literal speech act)

Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang

diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud

pengutaraannya.

b) Tindak tutur tidak langsung takliteral (In direch non literal speech act)

Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang

diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang

ingin diutarakan.

20
b. Klasifikasi Tindak Tutur

Yule (2006) Sistem klasifikasi umum mencantumkan 5 jenis fungsi

umum yang ditunjukkan oleh tindak tutur, yaitu:

1) Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui

tuturan. Di sini penutur mengubah status eksternal atau kondisi suatu

objek atau situasi. Dalam konteks ini penutur memberikan status atau

pekerjaan baru bagi lawan tutur misalnya: pernyataan “saya putuskan

bahwa terdakwa dihukum tahun penjara,...”. Bentuk deklaratif

dikhususkan pemakaiannya pada sistem kerja tertentu seperti dalam

administrasi, gereja, hukum, dan pemerintahan.

2) Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang

diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta,

penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.

3) Ekspresif adalah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang

dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-

pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan,

kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan.

4) Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk

menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tinndak tutur ini

menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini

meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran.

5) Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk

mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan

21
datang dengan menggunakan kata kerja seperti menjamin, berjanji,

bersumpah, mengingatkan, dll.

c. Jenis-jenis Tindak Tutur

Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan

yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan

analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.

Menurut pendapat Austin (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 1995:68-69)

merumuskan adanya tiga jenis tindak tutur, yaitu tindak lokusi, tindak

ilokusi, dan tindak perlokusi.

1) Tindak Tutur Lokusi (locutionary act)

Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang untuk menyatakan

sesuatu. Misal; kakinya dua, pohon punya daun. Tindak tutur yang

dilakukan oleh penutur berkaitan dengan perbuatan dalam hubungannya

tentang sesuatu dengan mengatakan sesuatu (an act of saying

something), seperti memutuskan, mendoakan, merestui dan menuntut.

2) Tindak Tutur Ilokusi (illocutionary act)

Tindak tutur ilokusi yaitutindak tutur yang tidak hanya digunakan

untuk mengimformasikan sesuatu, tetapijuga melakukan sesuatu sejauh

situasi tuturnya dipertimbangkan secara seksama (Wijana, 1996: 18).

22
3) Tindak Tutur Perlokusi(perlocutionary act)

Tindak tutur perlokusi menurut Searle(dalam Wijana, 1996: 23)

adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk

mempengaruhi mitra tuturnya.

3. Kesantunan Berbahasa

Konsep utama yang lain dalam pragmatik adalah sopan santun

(politeness). Konsep tentang kesantunan telah banyak diungkap oleh

beberapa ahli seperti R.Lakoff (1972), Brown dan levinson (1978), dan

Leech (1983). Mereka menyatakan bahwa sopan santun merupakan

tingkat interaksi percakapan yang paling tinggi setelah kaidah prinsip kerja

sama. Sehubungan dengan hal itu, Grice (dalam Ibrahim, 1992: 320)

mengusulkan tiga kaidah sopan santun, yaitu: (1) jangan menyela tetaplah

bersabar, (2) berilah mitratutur pilihannya sendiri, dan (3) bertindaklah

seolah-olah Anda dan mitratutur sama, buatlah agar dia merasa enak.

Kesantunan merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan

’kesopanan’, ‘rasa hormat’ ‘sikap yang baik’, atau ‘perilaku yang pantas’.

Dalam kehidupan sehari-hari, keterkaitan kesantunan dengan perilaku

yang pantas mengisyaratkan bahwa kesantunan bukan hanya berkaitan

dengan bahasa, melainkan juga dengan perilaku nonverbal.Kesantunan

menghubungkan bahasa dengan pelbagai aspek dalam struktur sosial

sebagaimana hanya dengan aturan perilaku atau etika. Sopan santun

dalam bentuk tuturan atau kesantunan berbahasa setidaknya bukan

semata-mata motivasi utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan

23
juga merupakanfaktor pengatur yang menjaga agar percakapan

berlangsung dengan benar, menyenangkan, dan tidak sia-sia. Leech

(1993:38) mengatakan bahwa manusiapada umumnya lebih senang

mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan daripada yang tidak

sopan. Secara umum, masalah kesantunan berbahasa sangat

berhubungan dengan masalah menjaga harga diri.

Interaksi yang terjadi dalam setiap proses komunikasi akan

melibatkan penutur dan lawan tutur. Tuturan yang disampaikan dapat

berupa informasi,teguran, pertanyaan, perintah, penolakan, dan

sebagainya. Tuturan yang disampaikan oleh penutur diusahakan saling

berhubungan atau berkaitan(Purwo, 2004:22). Salah satu aspek

kompetensi komunikatif adalah kemampuan seseorang untuk dapat

mengerti dan menggunakan tuturan dalam bahasa yang santun. Norma-

norma kesantunan bervariasi antara satu budaya dengan budaya lain atau

satu daerah dengan daerah lain, maka penggunaan bahasa dari daerah

yang berbeda dapat memiliki ide yang berbeda berkaitan dengan hal

yangdianggap santun atau tidak santun. Cara berbicara santun menurut

satu daerah atau budaya bisa dianggap tidak santun dan tidak layak

menurut budaya lain.

Aspek kesantunan yang perlu diperhatikan adalah kesantunan

terletak pada persimpangan antara bahasa dan realitas sosial.

Kesantunan berkaitan dengan bahasa dan aspek-aspek kehidupan

struktur sosial sekaligus kode-kode perilaku dan etika. Sebuah

24
masyarakat dapat terbentuk dan bisa dipertahankan melalui suatu

interaksi. Interaksi tersebut dapat dipahami dengan kajian kesantunan

yang memiliki nilai-nilai etika dengan bahasa dan perilaku secara umum.

Bentuk penggunaan bahasa selalu dikaitkan dengan hubungan sosial dan

peran sosial. Melalui hubungan sosial, kesantunan dapat dihubungkan

dengan kenyataan sosial masyarakat dan kebudayaan.

Berbahasa santun dilakukan seseorang karena terdorong oleh

sikap hormat kepada lawan tutur. Seseorang yang berbahasa santun

dimaksudkan sebagai wujud aktualisasi diri. Jika ternyata aktualisasi diri

dengan bahasa santun dapat berkenan bagi lawan tutur, sebenarnya

hanyalah efek bukan tujuan. Setiap orang harus menjaga kehormatan dan

martabat diri sendiri. Hal inilah yang dimaksudkan agar orang lain juga

dapat menghargainya. Inilah hakikat berbahasa secara santun.

Kesantunan berbahasa merupakan cara yang dilakukan oleh penutur

dalam berkomunikasi agar lawan tutur tidak merasa adanya tekanan atau

tersinggung (Markhamah, 2011:153).

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah

tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati

bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus

menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu,

kesantunan ini biasa disebut “tatakrama” (Misklikah, 2014).

25
Berdasarkan pengertian tersebut, Misklikah (2014) mengemukakan

kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-

hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai

sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang

dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan

santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat

seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan

santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu

dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional

(panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam

proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan

kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam

masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagia

masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan

teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan

suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau

seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan

dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang

banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang

sopan apabila dilakukan di rumah. Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu

memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara

orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan

26
tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara

berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

Menurut Leech (1993), prinsip kerja sama sebagaimana yang

dikemukakan dalam komunikasi yang sesungguhnya sering dilanggar atau

tidak dipatuhi oleh para peserta tutur. Hal ini disebabkan karena di di

dalam komunikasi tujuan kita tidak hanya menyampaikan informasi saja,

melainkan juga untuk menjaga atau memelihara hubungan-hubungan

sosial antara penutur dan petutur (walaupun ada peristiwa-peristiwa tutur

tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu). Kebutuhan

noninformatif ini termasuk dalam kebutuhan komunikatif yang bersifat

semesta. Jika tujuan kita berkomunikasi hanya untuk menyampaikan

informasi saja, maka strategi yang paling baik diambil adalah menjamin

kejelasan pragmatik (pragmatic clarity) dan menjamin ketibaan daya

ilokusi (illocutionary force) di titik ilokusi (dibenak pendengar). Akan tetapi

pada komunikasi sehari-hari, ujaran-ujaranseperti itu dianggap terlalu

berterus terang dan oleh sebagian masyarakat dinilai tidak santun.

Teori kesantunan berbahasa menurut Brown dan Levinson (1978)

berkisar pada nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki

muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati,

dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi

muka negatif dan muka positif.

27
Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional)

yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas

melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan

mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri

setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang

dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai

yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu)

diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang

patut dihargai, dan seterusnya. Kesantunan imperatif berkenaan dengan

muka negatif, dimana tuturan ini berfungsi untuk membuat mitra tutur

melakukan sesuatu.

Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan ancaman terhadap

muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut sebagai

Face Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam

berkomunikasi kita perlu menggunakan sopan santun bahasa Karena ada

dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka

kesantunan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kesantunan negatif

(untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga

muka positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif dapat ditafsirkan

sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan petutur, yang

sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun dapat terancam oleh

tindak ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam muka

28
penutur. Untuk melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat

menggunakan tindak ujar tak langsung.

4. Maksim Kesantunan

Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual;

kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan

interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya.

Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan

prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Maksim-maksim tersebut

menganjurkan agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan

sopan dan menghindari ujaran yang tidak sopan. Maksim-maksim ini

dimasukkan ke dalam kategori prinsip kesopanan.

Wijana (1996: 55) mengungkapkan bahwa sebagai retorika

interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness

principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta

percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri

adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang

dibicarakan penutur dan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut

Rahardi (2005: 60-66) dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan

dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang

terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa.

Geoffrey Leech (1983: 270) juga membahas kesantunan berbahasa

walaupun dengan teori yang berbeda. Menurutnya, kesantunan berbahasa

merupakan penerapan kaidah sosial. Leech mengukur kesantunan

29
berbahasa dengan tiga parameter, yaitu keuntungan, keopsionalan, dan

ketidaklangsungan. Sementara itu Leech sebagaimana dikutip oleh

Leech (1983: 207-240) juga mengemukakan enam maksim yang berkaitan

dengan prinsip kesantunan, yaitu:

a. Maksim Kebijaksanaan

Gagasan dasar maksim kebijkasanaan dalam prinsip kesantunan

adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip

untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan

keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur.

b. Maksim Kedermawanan

Dengan Maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para

peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain.

Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat

mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan

keuntungan bagi pihak lain.

c. Maksim Penghargaan

Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan

dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha

memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini,

diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling

mencaci, atau saling merendahkan pihak lain

30
d. Maksim Kesederhanaan

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati,

peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara

mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan

sombong dan congkak hati jika di dalam kegiatan bertutur selalu memuji

dan mengunggulkan dirinya sendiri.

e. Maksim Pemufakatan/Kecocokan

Di dalam maksim ini, diharapkan para peserta tutur dapat saling

membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.

Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan

mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka dapat

dikatakan bersikap santun.

f. Maksim Kesimpatian

ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Di dalam

maksim kesimpatian, diharapkan agar para peserta tutur dapat

memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak

lainnya. Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan,

penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat

kesusahan, atau musibah penutur layak berduka, atau mengutarakan bela

sungkawa sebagai tanda kesimpatian.Sikap antipati terhadap salah satu

peserta tutur akan dianggap tindakan tidak santun.

31
Terkait dengan beberapa konsep kesantunan yang telah

dipaparkan, dapat ditambahkan bahwa keantunan tidak hanya terungkap

dalam percakapan, tetapi juga dalam cara percakapan yang dikendalikan

oleh pemeransertanya (participant). Misalnya, dalam percakapan,

perilaku-perilaku tertentu mengandung implikasi-implikasi tidak sopan,

seperti berbicara pada saat-saat yang keliru (menyela) atau diam pada

saat yang keliru. Karena itu, bila kita menuturkan sesuatu maka kita

kadang-kadang merasa perlu untuk menyebut tindak tutur yang sedang

dilakukan pemeran serta (participant) yang lain, supaya kita dapat

memohon suatu jawaban, meminta izin untuk berbicara, menyuruh atau

memerintah atas kata-kata yang salah, dan sebagainya.

5. Ciri Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan beberapa

jenis skala kesantunan. Chaer (2010: 63) menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai

dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun. Rahardi (2005:

66-67) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat tiga macam skala

pengukur peringkat kesantunan yang sampai saat ini banyak digunakan

sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan.

Dalam model kesantunan Leech, setiap maksimum interpersonal itu

dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah

tuturan. Rahardi (2005: 66) menyatakan bahwa skala kesantunan Leech

dibagi menjadi lima.

32
a. Cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk

kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan

oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan

tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah

tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan

diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu

(Rahardi, 2005: 67).

b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau

sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si

mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu

memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang

banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan

kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan

tersebut dianggap tidak santun (Rahardi, 2005: 67).

c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada

peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.

Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak

santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung,

maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu

(Rahardi, 2005: 67).

d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan

status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam

33
pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara

penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan

cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak

peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung

berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam

bertutur itu (Rahardi, 2005: 67).

e. Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada

peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat

dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat

jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin

kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak

peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin

santunlah tuturan yang digunakan itu (Rahardi, 2005: 67).

Dalam sebuah tuturan juga diperlukan indikator-indikator untuk

mengukur kesantunan sebuah tuturan, khususnya diksi. Pranowo (2009:

104) memberikan saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa santun,

yakni sebagai berikut.

a. Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.

b. Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan

menyinggung perasaan lain.

c. Gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan

orang lain.

34
d. Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain

melakukan sesuatu.

e. Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati.

f. Gunakan kata “bapak/ibu” untuk menyapa orang ketiga.

6. Faktor Penentu Kesantunan Berbahasa dan Ketaksantunan

Berbahasa

Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat

memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun

(Pranowo, 2009: 76). Berdasarkan identifikasi terhadap bentuk

kesantunan dan ketaksantunan bentuk tuturan direktif di atas, ada

beberapa faktor yang menyebabkan pemakaian bentuk santun dan tidak

santun dalam berbahasa Indonesia.

a. Faktor Penentu Kesantunan Berbahasa

Menurut Pranowo (2009: 90) faktor yang menentukan kesantunan

berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu faktor kebahasaan dan

nonkebahasaan. Berikut pemaparan secara singkat kedua hal pokok

tersebut.

1) Faktor Kebahasaan

Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan

dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal.

Faktor kebahasaan verbal yang dapat menentukan kesantunan dapat

dipaparkan sebagai berikut.

35
a) Pemakaian Diksi yang Tepat

Pemakaian diksi atau pilihan kata yang tepat saat bertutur dapat

mengakibatkan atau menimbulkan pemakaian bahasa menjadi santun.

Ketika penutur sedang bertutur, kata-kata yang digunakan dipilih sesuai

dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur,

pesan yang disampaikan, dan sebagainya. Kebenaran suatu tuturan tidak

hanya ditentukan oleh keteraturan bagian-bagiannya sebagai satuan

pembentuk tuturan, tetapi juga ditentukan oleh bentuk dan pilihan kata

atau diksi yang mengisi bagian-bagian itu. Dengan demikian, kesalahan

tuturan dimungkinkan juga oleh adanya pemakaian bentuk dan pilihan

kata yang tidak benar atau tidak tepat.

Pemakaian pilihan kata atau diksi yang berkadar santun tinggi

memiliki beberapa argumentasi di antaranya; nilai rasa kata bagi mitra

tutur akan terasa lebih halus, persepsi mitra tutur merasa bahwa dirinya

diposisikan dalam posisi terhormat, penutur memiliki maksud untuk

menghormati mitra tutur, dan akan menciptakan komunikasi yang santun

dengan menjaga harkat dan martabat penutur (Pranowo, 2009: 91).

b) Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun

Berbahasa itu tidak hanya sekadar dapat memahami ucapannya

sebab kalau berbahasa hanya asal dimengerti atau dipahami saja, tidak

akan ada seninya (Kunardi Hardjoprawiro, 2005: 12). Dalam berbahasa

juga diperlukan suatu gaya bahasa karena gaya bahasa dapat juga

menimbulkan pemakaian bahasa yang santun. Gaya bahasa tersebut

36
merupakan optimalisasi pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu

untuk mengefektifkan komunikasi (Pranowo, 2009: 92).

Pemakaian gaya bahasa untuk mencapai komunikasi yang santun

tidaklah mudah. Memang dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai

gaya bahasa. Jika seseorang mahir menggayakan bahasa dengan

berbagai majas, seperti personifikasi, metafora, perumpamaan, litotes,

eufemisme, dan sebagainya ternyata dapat meredam tuturan-tuturan yang

sebenarnya cukup keras. Dengan pemakaian gaya bahasa yang santun,

penutur telah menunjukkan sebagai seorang yang bijaksana dalam

menyampaikan pesan atau maksud kepada mitra tutur. Gaya bahasa ini

juga merupakan salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara

“apa yang dipikirkan” dengan “apa yang dituturkan”, tetapi dengan

memanfaatkannya secara baik dan tepat.

c) Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik

Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik pada saat bertutur,

khususnya situasi formal atau resmi dapat mengakibatkan atau

menimbulkan pemakaian bahasa menjadi santun. Pemakaian struktur

kalimat yang benar dan baik ini meliputi; kelengkapan konstruksi kalimat,

keefektifan kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja

bentuk kebahasaan yang santun sesuai dengan situasi dan konteks

tuturan.

Selain ketiga aspek di atas, ada beberapa aspek penentu

kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi (keras

37
lembutnya intonasi ketika penutur bertutur kepada mitra tutur) dan aspek

nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur, seperti nada

resmi, nada bercanda atau berkelakar, nada mengejek, nada marah, dan

nada menyindir).

d) Aspek Nada Bicara

Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga memengaruhi

kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran

yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Jika

suasana hati sedang senang, nada bicara penutur menaik dengan ceria

sehingga terasa menyenangkan. Jika suasana hati sedang sedih, nada

bicara penutur menurun dengan datar sehingga terasa tidak

menyenangkan atau menyedihkan. Jika sedang marah atau emosinya

tinggi, nada bicara penutur menaik dengan keras dan kasar sehingga

terasa menakutkan. Nada bicara tersebut tidak dapat disembunyikan dari

tuturan.

Dengan kata lain, nada bicara penutur selalu berkaitan dengan

suasana hati si penutur. Namun, bagi penutur yang selalu ingin bertutur

secara santun, dapat mengendalikan diri agar suasana yang negatif tidak

terbawa dalam bertutur dengan mitra tuturnya.

2) Faktor Nonkebahasaan

Pada saat berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor

kebahasaan. Namun, penutur juga melibatkan faktor-faktor

38
nonkebahasaan yang akan menentukan kesantunan dalam bertutur.

Faktor-faktor nonkebahasaan yang juga ikut menentukan kesantunan

tersebut, yaitu topik pembicaraan, konteks situasi komunikasi, dan pranata

sosial budaya masyarakat. Berikut ini penjelasan secara singkat ketiga hal

tersebut.

a) Topik Pembicaraan

Topik pembicaraan adalah pokok masalah yang diungkapkan ketika

terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Pada dasarnya topik

dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu (a) topik yang bersifat

formal (misalnya; kedinasan, keilmuan, dan kependidikan) dan (b) topik

yang bersifat informal (misalnya; masalah kekeluargaan, persahabatan).

Topik (a) biasanya diungkapkan dengan bahasa baku, sedangkan topik

(b) diungkapkan dengan bahasa nonbaku dan santai (Sarwiji Suwandi,

2008: 92—93).

Topik pembicaraan dalam suatu komunikasi sering mendorong

seseorang untuk berbahasa secara santun atau tidak santun (Pranowo,

2009: 95). Misalnya, topik pembicaraan yang dapat mengancam posisi

penutur, si penutur dapat memunculkan tuturan yang tidak santun. Hal ini

memang bersifat kodrati karena setiap orang atau penutur ingin martabat

dirinya tidak dilanggar oleh orang lain. Bahkan, penutur yang salah

sekalipun, jika mereka merasa dipermalukan di hadapan orang lain pasti

dia akan membela diri dengan risiko mengucapkan tuturan yang tidak

santun.

39
b) Konteks Situasi Komunikasi

Faktor nonkebahasaan yang berupa konteks situasi ini adalah

segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat

berhubungan dengan tempat, waktu, kondisi psikologis penutur, respon

lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya (Pranowo, 2009: 97).

Komunikasi antarpenutur dapat terjadi di berbagai tempat (misalnya; di

kelas, di kantin, di kantor, di jalan), dalam berbagai kondisi penutur

(misalnya; senang, marah, sedih, serius, santai), dalam berbagai waktu

(misalnya, pagi, siang, sore), dan sebagainya.

Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula

berupa konteks ekstralinguistik. Pengguna bahasa atau penutur harus

memperhatikan konteks tersebut agar dapat menggunakan bahasa secara

tepat dan dapat menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain,

penutur senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa.

c) Pranata Sosial Budaya Masyarakat

Tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin hubungan sosial

(social relationship) antara pembicara dan lawan bicara. Dalam hal

menjalin hubungan sosial ini tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks.

Kompleksitas ini disebabkan tidak hanya oleh faktor-faktor linguistik

(linguistic factors) yang harus dipertimbangkan oleh pembicara dan lawan

bicara, tetapi faktor-faktor non linguistik (non-linguistic factors) juga

memegang peranan penting (Syamsul Anam, 2001: 155). Seorang

pembicara tidak cukup memilih formulasi gramatikal dan pilihan kata yang

40
tepat untuk berbicara, tetapi aspek sosio kultural juga harus menjadi

pertimbangan. Hudson (1980) dalam Syamsul Anam (2001: 155)

menyebutkan bahwa faktor peran dan hubungan (role relationship), usia

(age), dan stratifikasi sosial (social stratification) juga sangat berperan

dalam mencapai tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial. Hal

tersebut berkaitan erat dengan pranata sosial budaya masyarakat.

Pranata sosial budaya masyarakat sebagai faktor penentu

kesantunan berbahasa dari aspek nonkebahasaan memang perlu

diperhatikan bagi penutur. Misalnya, aturan anak kecil atau anak muda

yang harus selalu hormat kepada orang yang lebih tua, berbicara tidak

boleh sambil makan, perempuan tidak boleh tertawa terbahak-bahak, tidak

boleh bercanda ria di tempat orang yang sedang berduka, dan

sebagainya.

Lebih lanjut Soepomo dalam Herman J. Waluyo (2008: 68)

menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menentukan kesantunan atau

sopan santun berbahasa, yaitu (1) kepandaian menguasai diri, (2)

kepandaian menilai saat yang tepat, (3) kepandaian menjalin relasi yang

‘sreg’, (4) kepandaian memberi perhatian, (5) menentukan norma urutan

bicara, (6) materi bahasa yang baik, (7) kode atau ragam bahasa yang

tepat, dan (8) cara berbahasa yang enak.

41
b. Faktor Penentu Ketidaksantunan Berbahasa

Di samping itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan

ketidaksantunan berbahasa Indonesia, termasuk dalam bertutur bentuk

direktif. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksantunan tersebut

adalah sebagai berikut.

Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan

yang harus dipakai ketika bertutur, khususnya bertutur bentuk direktif. Jika

faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah

memperkenalkan kaidah kesantunan dan mengajarkan pemakaian kaidah

tersebut dalam bertutur direktif. Hal ini biasanya terjadi pada anak kecil

yang memang belum cukup pengetahuannya mengenai kesantunan

berbahasa Indonesia, tetapi tidak menutup kemungkinan anak remaja juga

banyak yang belum mengetahui tentang kesantunan berbahasa tersebut.

Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam

budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru

(berbahasa Indonesia). Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi

yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan meninggalkan

kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru.

Ketiga, karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang suka

berbicara tidak santun di hadapan orang lain atau publik. Jika faktor ini

penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah mengeliminasi orang

tersebut dari peran publik (tidak mendudukan dalam suatu posisi

tokoh/pimpinan) agar tidak menyebarkan “virus” ketidaksantunan kepada

42
masyarakat. Sifat-sifat bawaan seperti itu sangat sulit untuk disembuhkan.

Jika mereka tetap dipertahankan sifat-sifat jelek yang mereka miliki akan

menjadi “virus” menular pada generasi muda berikutnya.

Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa faktor lain yang dapat

menghambat atau menggagalkan komunikasi sehingga tuturannya sering

terkesan tidak santun. Faktor-faktor penghambat komunikasi tersebut,

antara lain sebagai berikut.

1) Mitra tutur tidak memiliki informasi lama sebagai dasar memahami

informasi baru yang disampaikan penutur.

2) Mitra tutur tidak tertarik dengan isi informasi yang disampaikan

penutur.

3) Mitra tutur tidak berkenan dengan cara menyampaikan informasi si

penutur.

4) Apa yang diinginkan penutur memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh

mitra tutur.

5) Mitra tutur tidak memahami yang dimaksud oleh penutur.

6) Jika menjawab pertanyaan, mitra tutur justru melanggar kode etik.

B. Kerangka Pikir

Universitas Muhammadiyah Makassar merupakan perguruan tinggi

swasta yang terdapat di Sulawesi Selatan, mayoritas mahasiswa yang

melanjutkan studi di kampus tersebut berasal dari daerah yang ada di

Sulawesi Selatan. Dampak globalisisasi inio sangat dapat dirasakan

dallam penggunaan bahasa hal pini dapat ditemukan dalam penggunaan

43
berbahasa ini dari segi penggunaan hampir sama dengan bahasa

Indonesia. Salah satu contohnya adalah dalam memerintah. Teknik

memerintah memiliki kecenderungan yang lebih halus dan santun dengan

kata lain bahwa tindak tutur memrintah memiliki tingkat kesantunan yang

tinggi.

Dalam tataran linguistik tindak tutur memerintah ini masuk dalam

kategori pragmatik. Khusus dalam penelitian ini tindak tutur yang dibahas

adalah tindak tutur memerintah atau tindak tutur direktif dengan

memperhatikan aspek kesantunan. Berikut gambaran dari penelitian ini

yang tersusun dalam bentuk kerangka pikir.

44
Bagan Kerangka Pikir

INPUT

Tuturan

Mahasiswa Pendidikan Bahasa


dan sastra Indonesia

ANALISIS

DATA

PRINSIP KESANTUNAN RESPONS PENUTUR


RAGAM BAHASA INDONESIA
LEECH
BAHASA

PELANGGARAN RESPONS PENUTUR


WUJUD
BAHASA INDONESIA
PRINSIP KESANTUNAN
RAGAM
LEECH
BAHASA

OUTPUT

a. Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan


kampus Universitas Muhammadiyah Makassar
b. Wujud Ragam bahasa Mahasiswa Pendidikan
bahasa dan sastra indonesia
c. Pelanggaran Prinsip Kesantunan Leech
d. Persepsi Penyimak Bahasa di luarjurusan bahasa
dan sastra indonesia

45
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Latar belakang dan masalah yang muncul dalam penelitian ini

adalah masalah-masalah faktual. Maksudnya, masalah kesantunan

berbahasa adalah masalah yang sedang dihadapi oleh pemakai bahasa

Indonesia sekarang. Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif bersifat

deskriptif. Data yang dihasilkannya berupa kata-kata dan kalimat-kalimat

yang termasuk kategori sarkasme yang diucapkan oleh Mahasiswa

Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yag dilakukan

semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau

fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya,

sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang

biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti adanya. Bahwa

perian yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar salahnya

penggunaaan bahasa oleh penutur-penuturnya, hal itu merupakan cirinya

yang pertama dan terutama (Sudaryanto : 1992:62).

Dalam hal ini penulis membuat deskripsi tentang bagaimana

tuturan yang digunakan oleh mahasiswa di jurusan pendidikan bahasa

dan sastra indonesia. Selain itu, penulis juga mengumpulkan fakta-fakta

mengenai respons para penutur bahasa Indonesia yang tidak

46
menggunakan tuturan sarkasme yang diucapkan oleh mahasiswa lain di

lingkup universitas Muhammadiyah Makassar. Dengan demikian, dari

kedua fakta tersebut di atas dapat diperoleh persepsi yang muncul dari

penutur bahasa Indonesia ketika menerima suatu tuturan sarkasme

mahasiswa bahasa indonesia tersebut.

Metode penelitian deskriptif kualitatif dipilih karena penulis

mengidentifikasi serta mendeskripsikan masalah-masalah yang berkenaan

dengan tuturan yang tidak santun dan respons penutur melalui

wawancara. Selanjutnya, penulis memperoleh data bagaimana persepsi

yang muncul dari para penutur bahasa Indonesia ketika menerima tuturan

yang tidak santun.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini mengacu pada kesantunan berbahasa

Indonesia yaitu pola kesantunan berbahasa mahasiswa jurusan

pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah

Makassar dan bentuk penyimpangan-penyimpangan prinsip kesopanan

yang diucapkan oleh mahasiswa jurusan pendidikan bahasa dan sastra

Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar

C. Tempat dan Subjek Penelitian

Peneliti bermaksud melakukan penelitian ini di kampus universitas

muhammadiyah Makassar . Adapun subjek penelitian ini yaitu mahasiswa

47
pendidikan bahasa dan sastra indonesia Universitas Muhammadiyah

Makassar tersebut.

D. Data dan Sumber Data

1. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahasa

mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar, baik bahasa lisan atau

tuturan maupun tulisan atau teks kesantunan berbahasa. Data wujud

kesantunan berupa pilihan kata (diksi) dan tuturan. Data situasi ujar

berupa latar, konteks, partisipan, dan topik percakapan. Data situasi ujara

dalam interaksi mahasiswa menjadi landasan dalam mendeskripsikan

tuturan yang merepresentasikan kesantunan berbahasa Indonesia

mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah, mahasiswa pendidikan bahasa

dan sastra indonesia yang terdapat di lingkungan kampus universitas

muhammadiyah makassar.

3. Instrumen Penelitian

Instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Lembar pedoman observasi.

b. Lembar pedoman wawancara.

c. Kartu data untuk memudahkan penganalisisan data.

48
PEDOMAN OBSERVASI

KRITERIA PELANGGARAN
NO PENUTUR TUTURAN KONTEKS
1 2 3 4 5 6

PEDOMAN WAWANCARA

NO PERTANYAAN RESPONDEN KETERANGAN

49
FORMAT KARTU DATA

IDENTIFIKASI

KONTEKS DATA

ANALISIS

1…………….

2……………

3……………

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara,

teknik rekam, dan teknik catat. Penulis terlebih dahulu mengobservasi

dengan mengamati situasi dan keadaan lingkungan, kemudian melakukan

wawancara mahasiswa dengan melakukan wawancara berstruktur untuk

mendapatkan informasi yang relevan. Selanjutnya, dengan teknik rekam

penulis merekam kejadian faktual di lapangan. Terakhir langkah dilakukan

dengan teknik catat, yaitu mencatat semua kejadian dari tuturan

50
mahasiswa Jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia universitas

muhammadiyah makassar

Selanjutnya, proses pengumpulan data sebagai berikut:

1. Teknik Rekam

Penulis meminta bantuan kepada teman menggunakan telepon

genggam atau handphone untuk merekam tuturan yang diucapkan oleh

mahasiswa, sehingga penulis akan mendapatkan data mengenai realisasi

kesantunan berbahasa yang ada di lingkungan kampus universitas

muhammadiyah Makassar.

2. Teknik Catat

hasil dari proses rekaman tuturan tersebut kemudian ditranskripsi

beserta konteks yang dituturkan oleh mahasiswa. Setelah itu, akan

didapatkan data tentang wujud ragam bahasa yang tidak santun yang

diucapkan oleh mahasiswa di lingkup universitas muahmmadiyah

makassar.

3. Teknik Observasi

setelah data tertulis didapat, selanjutnya mengobservasi situasi dan

keadaan lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah Makassar.

Melalui teknik ini kita akan mendapatkan data tentang penyimpangan

prinsip kesopanan yang diucapkan oleh mahasiswa jurusan pendidikan

bahasa dan sastra Indonesia di lingkup Universitas Muhammadiyah

Makassar

51
4. Teknik Wawancara

setelah hasilnya ditranskripsi selanjutnya dengan mewawancarai

Mahasiswa. Selain itu, penulis juga mewawancarai penutur bahasa yang

bertutur kata sopan dan santun sehingga akan diketahui persepsi

penyimak bahasa terhadap realisasi kesantunan berbahasa yang berasal

dari luar lingkungan Kampus

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data atau pengolahan data yang dilakukan untuk

mengetahui strategi kesantunan dalam ungkapan memerintah dan bentuk

pemarkah kesantunan yang digunakan dalam bahasa Bugis, dilakukan

berdasarkan beberapa tahap yaitu: obsevasi data, identifikasi data,

klasifikasi data, dan pengkategorian strategi dan pemarkah kesantunan

berdasarkan karakteristiknya.

Adapun langkah-langkah yang penulis tempuh dalam menganalisis

data adalah sebagai berikut:

1. Menerjemahkan arti bahasa yang digunakan akibat dampak

globalisasi ke dalam bahasa Indonesia,

2. Mengelompokkan tuturan perintah berdasarkan strategi tindak tutur,

dan

3. Menganalisis.

52
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan dibahas bagaimana tuturan langsung dan

pelanggaran prinsip kesopanan yang diucapkan oleh mahasiswa

pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di lingkungan universitas

muhammadiyah makassar, serta bagaimana respons penutur bahasa

Indonesia terhadap kesantunan berbahasa dari hasil wawancara. Kartu

data untuk menganalisis tuturan-tuturan yang terjadi di lingkungan kampus

universitas muhammadiyah Makassar.

Uraian ini menggambarkan analisis tuturan langsung yang

diucapkan oleh mahasiswa ditinjau dari kesantunan berbahasa, prinsip

kesopanan (Leech) dan respons para penutur bahasa Indonesia.

Dalam mengumpulkan data penulis harus terjun langsung ke

lapangan, yaitu kampus universitas Muhammasdiyah Makaassar jurusan

pendidikan bahasa dan sastra indonesia. Selama beberapa hari penulis

mengamati kejadian yang ada di lingkungan kampus tersebut. Tuturan-

tuturan yang diucapkan oleh orang-orang yang berada di lingkungan

kampus terutama, mahasiswa, hanyalah tuturan yang mengandung

kategori ketidaksantunan berbahasa. Hampir sebagian besar tuturan yang

diucapkan oleh mereka adalah tuturan kasar, sangat tidak enak didengar,

dan melanggar Prinsip Kesantunan Leech. Banyak hal yang menjadi

53
penyebab mengapa orang-orang di kampus menuturkan tuturan kasar

tersebut. Untuk itu dalam bab 4 ini penulis akan menganalisis tuturan

kasar yang diucapkan oleh mahasiswa yang melanggar prinsip sopan

santun (Leech), dan respons para penutur bahasa Indonesia mengenai

tuturan kasar di lingkungan kampus tersebut.

1. Prinsip Kesantunan Leech

Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang

bersifat tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan

yang bersifat interpersonal. Prinsip Kesantunan memiliki sejumlah

maksim, yakni maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim

kemurahan, maksim kerndahan hati, maksim kecocokan dan maksim

kesimpatian.

Pada keenam maksim di atas terdapat bentuk ujaran yang

digunakan untuk mengekspresikannya. Bentuk-bentuk ujaran yang

dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif.

Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk

menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif adalah ujaran yang

digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif

adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis

pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang

lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang

diungkapkan.

54
Berikut ini penulis akan menganalisis tuturan langsung

ketidaksantunan berbahasa di lingkungan kampus univeristas

muhammadiyah makassar. Tuturan yang dianalisis hanyalah tuturan yang

melanggar prinsip kesantunan Leech.

a. Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan

Bijaksana adalah suatu sifat atau karakter. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), bijaksana diartikan sebagai sifat yang selalu

menggunakan akal budi, arif, adil, kecakapan dalam menghadapi atau

memecahkan suatu masalah.

Tuntunan-tuntunan untuk bertutur bijaksana agar tercipta

hubungan antara diri (penutur) dan lain (petutur), dipaparkan dalam ilmu

bahasa Pragmatik. Gagasan untuk bertutur santun itu dikemukakan oleh

Leech dalam maksim kebijaksanaan, yang mengharuskan peserta tutur

agar senantiasa berpegang teguh untuk selalu mengurangi keuntungan

dirinya sendiri dan memaksimalkan pihak lain.

Dalam konteks tuturan sehari-hari yang spontan, banyak kita

jumpai pelanggaran terhadap maksim ini, baik disengaja ataupun tidak

disengaja. Seperti tuturan di bawah ini:

55
No Data : 01

Hari/Tanggal : 5April 2019

Tempat : gedung Iqra lantai 4.11

KONTEKS DATA

Ketua tingkat menagih uang iuran KT: “weh bayarmi iuranmu


bulanan songkolo?”
Mahasiswa 1 : “kaue menagih
terus, inimo dulu lima ribu kubayar
!”
KT: “Terus kapan nubayarki pale
lebihnya!”
Mahasiswa 1 : “adapi kirimanku
bos jangan mako menagih terus
suntili!”
KT: ‘’ suntili janji terus, edede !”

Mahasiswa 1 : “ sabarko bos


kubayarji itu iuranku, anggapa
mako”.

ANALISIS

1. Tuturan di atas menyakiti hati dan tidak baik didengar.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada fisik dan perbuatan.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKebijaksanaan, karena telah memaksimalkan
kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan orang lain.

Tuturan di atas pada data no. 1 adalah tuturan seorang ketua

tingkat yang sangat tidak santun. Mahasiswa 1 yang sudah rela

memberikan uangnya sebesar lima ribu rupiah justru terkena makian dari

ketua tingkat tersebut. Seharusnya ketua tingkat berterimah kasih dan

memahami kondisi mahasiswa 1, tapi ternyata ketua tingkat tersebut tidak

56
terima dengan pemberian yang diberikan oleh mahasiswa 1, sehingga

ketua tingkat memaki-maki mahasiswa 1 itu.

Tuturan tersebut melanggar maksim kebijaksanaan. Maksim ini

diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif. Maksim ini

menggariskan setiap pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain,

atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dari tuturan di atas

jelas sekali terlihat bahwa tuturan itu melanggar maksim kebijasanaan,

karena tuturan antara ketua tingkat dan mahasiswa 1 justru

memaksimalkan kerugian orang lain, dan meminimalkan keuntungan bagi

orang lain. Tuturan ketua tingkat dan mahasiswa 1 mengandung unsur

bicara dengan kepahitan, tidak baik didengar dan menyakiti hati. Tuturan

ketidaksantunan tersebut mengarah kepada perbuatan dan fisik karena di

akhir tuturan ketua tingkat menuturkan “ suntili….”. Tuturan ketua tingkat

dan mahasiswa 1 itu dikategorikan Sangat Tidak Santun.

57
No Data : 02

Hari/Tanggal : 8 april 2019

Tempat : Parkiran Unismuh Makassar

KONTEKS DATA

Membeli pulsa pada teman Mahasiswa 1 : “pulsa sepulu


ribumu dulu cess!”
Mahasiswa 2 : “tiga belas ribu
harganya boskuu
Mahasiswa 1 : “suntili mahalna?”
Mahasiswa 2 : “tanjannu murah
injo ”.
Mahasiswa 1:“siala mahalki injo
bos, diluar dua belas ribuji?”
mahasiswa 2 : “keluar mako pale
jangan mako beli pulsa di saya,
ballisiku ciniko!”

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar dan mengandung sindiran.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip
Kesopanan dengan MaksimKebijaksanaan, karena telah
memaksimalkan kerugian orang lain dan meminimalkan
keuntungan orang lain.

Tuturan pada data no. 2. Saat transaksi jual beli antara mahasiswa

1 dan mahasiswa 2 berlangsung, tuturan pertama sampai keempat yang

diucapkan terdengar biasa-biasa saja. Namun, pada tuturan terakhir

terasa tidak baik di dengar. Mahasiswa 1 merasa harga pulsa yang dijual

terlalu mahal, sehingga ia pun mengatakan dengan tuturan yang kasar.

58
“suntili mahalna?” Kata ‘suntili’ terasa kasar bagi kita yang tidak biasa

menggunakannya. ‘Suntili’ dalam bahasa Indonesia mempunyai arti yang

tidak baik dan termasuk salah satu kata yang kasar.

Bukan hanya mahasiswa 1 yang menuturkan tuturan kasar, tapi

penjual pulsa dalam hal ini mahasiswa 2 pun akhirnya membalas tuturan

dengan perkataan yang kasar pula. “ballisikku ciniko!”. Kata ‘ballisi’ dalam

bahasa Indonesia kata ‘jengkel’ merupakan salah satu kata kasar yang

tidak baik untuk diucapkan kepada orang lain. Tuturan mahasiswa

tersebut yang melalukan transasksi jual beli tersebut melanggar maksim

kebijaksanaan, karena telah memaksimalkan kerugian orang lain dan

meminimalkan keuntungan orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan

tuturan impositif dan komisif. Tuturan tersebut dikategorikan ke dalam

tuturan yang Tidak Santun.

59
No Data : 03

Hari/Tanggal : 14 April 2019

Tempat : balai siding unismuh makassar

KONTEKS DATA

Mahasiswa yang mencari alamat Mahasiswa 1: “tabe’ dimana


dosennya. alamatnya pak Dahlan?”

Mahasiswa 2: “bisa jako membaca


toh, adaji itu di prodi.”

Mahasiswa 1: “ngapa mako, kasi


tau laloma kapang,sekkena mamo,
santai mako ces duniaji inie

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar dan menyakitkan hati.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKebijaksanaan, karena telah memaksimalkan
kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan orang lain.

Dari data no. 3. Tuturan di atas terasa tidak baik didengar.

Mahasiswa 1 yang bertanya alamat dengan sopan ditanggapi dengan

bahasa yang kasar dan tidak selakyaknya di keluarkan. Ketidaksabaran

mahasiswa 1 akhirnya mengucapkan perkataan “santai mako duniaji ini,

dan kalimat bisa jako membaca toh!”. Seharusnya perkataan tersebut

tidak layak diucapkan, karena. Tetapi pada tuturan di atas justru

sebaliknya, ada unsur egois dan merasa akrab sehingga kalimat tersebut

diucapakan.

60
Tuturan di atas melanggar maksim kebijaksanaan. Karena telah

memaksimalkan kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan orang

lain. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif. Tuturan

tersebut dikategorikan ke dalam tuturan yang Tidak Santun.

b. Pelanggaran Maksim Penerimaan

Dalam maksim penerimaan, setiap pelaku transaksi komunikasi

diharuskan mengurangi keuntungan dirinya dan memaksimalkan

keuntungan bagi pihak lain. Setiap orang yang mematuhi maksim ini akan

mendapatkan citra diri sebagai orang yang pintar menghormati orang lain,

dan akan mampu membangun kehidupan yang harmonis dan penuh

dengan toleransi. Pelanggaran terhadap maksim penerimaan akan

membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tahu caranya

bagaimana menghormati orang lain, tidak tahu sopan santun, dan selalu iri

hati.

61
No Data : 04

Hari/Tanggal : 19april 2019

Tempat : Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia

KONTEKS DATA

Meminta absen kelas. Ketua tingkat: “mana abzen kelas,


mari saya yang bawa!”
Mahasiswa: “ini, tapi ingatki nah
foto copyki karena mau dikasi satu
rangkat dosen”.

Ketua tingkat : “gampangmi itu, sini


uang minta sama bendahara!”
mahasiswa: “tidak masukki
bendahara, sakitki”.

Ketua tingkat: “massunu saya mau


bayarki, ini lagi tugas kelompokka
saya juga kerjai baru kamu tdk ada
nubayar. Pore porenu,!”

ANALISIS

1. Tuturan di atas menyakiti hati dan mengandung celaan getir.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimPenerimaan, karena peserta tindak tutur telah
meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan
keuntungan diri sendiri.

Dari data no.4 Tuturan antara ketua tingkat dan mahasiswa di atas

menyakiti hati dan mengandung celaan getir. Sasaran ujaran tersebut

mengarah kepada perbuatan. Seharusnya ketua tingkat saat meminta

abzen. Tetapi saat ditagih uangnya oleh ketua tingkat tersebut justru

menjawab dengan mudahnya “minta sama bendahara!”. Ia seperti tidak

merasa harus membayar barang yang sudah ia minta, padahal sudah

62
kewajiban seorang pembeli membayar apabila sudah menggandakan

abzen di tempat foto copy. Dengan mengeluarkan kata ‘pore porenu’ ia

sudah berlaku tidak sopan kepada lawan tuturnya. Padahal jika kita lihat

yang sangat rugi adalah mahasiswa 1.

Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan

dengan MaksimPenerimaan, karena peserta tindak tutur telah

meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan

diri sendiri.

Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan

impositif. Sedangkan pada tuturan di atas justru meminimalkan kerugian

bagi diri sendiri, dan memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan

tersebut dikategorikan tuturan yang Tidak Santun.

c. Pelanggaran Maksim Kemurahan

Setiap pelaku transaksi komunikasi dalam maksim ini diharuskan

untuk mengurangi cacian pada orang lain dan menambahkan pujian pada

orang lain. Penutur yang selalu mematuhi maksim ini akan dianggap

sebagai orang yang tahu sopan santun, pintar menghargai orang lain, dan

terjauh dari prasangka buruk lawan tuturnya. Bila pelaku transaksi

komunikasi mempunyai kecenderungan untuk selalu mematuhi maksim

ini, maka jalannya komunikasi dan hubungan interpersonal antara penutur

dan petutur akan terjalin dengan sangat harmonis. Karena dari masing-

63
masing pihak akan ada keinginan untuk saling menghargai satu sama lain

dan akan terjauh dari tuturan mencaci atau menyakiti lawan tuturnya.

Berbeda dengan maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan,

maksim kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat

asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah

bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang

harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan

menyatakan pendapat ia tetap diwajibakn berperilaku demikian.

Ketika penghinaan dan pelecehan dituturkan, maka tuturannya

masuk dalam tuturan yang melanggar maksim kemurahan. Dikatakan

demikian, karena maksim kemurahan menuntut peserta pertuturan untuk

selalu mengurangi cacian pada orang lain dan menambahi pujian pada

orang lain. Seperti tuturan berikut ini:

64
No Data : 05

Hari/Tanggal : 27april 2019

Tempat : Prodi Pendidikan bahasa dan sastra indonesia

KONTEKS DATA

Mahasiswa memuji hp temanya. Mahasiswa 1 : “bagusnya HPmu


di’!”

Mahasiswa 2 : Ya, hp mahal ini


ces”.

Mahasiswa 1 : “Hebat…hebat
dimanako beli bro?”

Mahasiswa 2 : “edede jangan mako


tauki, tidak bisa tong jako beli,
bukan levelmu mau pakai hp
begini?”

ANALISIS

c. Tuturan di atas menyakiti hati dan celaan getir.


d. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada kesombongan diri dan
prestise.
e. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKemurahan, yakni meminialkan rasa hormat pada
orang lain, dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.

Berdasarkan data no. 5 di atas, berbeda dengan maksim

kebijaksanaan, maksim kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif

dan asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah

bahwa tidak hanya menyuruh dan menawarkan seseorang harus berlaku

sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan

pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian. Dalam tuturan di atas

jelas sekali melanggar maksim kemurahan ini, karena mahasiswa

65
1bersikap sopan dan berusaha memaksimalkan lawan tuturnya. Namun

yang terjadi justru si lawan tutur yaitu mahasiswa 2 justru berlaku tidak

sopan dengan menyombongkan diri, bahwa ia adalah orang yang punya

uang sehingga bisa membeli HP mahal, sedangkan mahasiswa 1 tersebut

tidak akan mampu membeli HP seperti dirinya. Mahasiswa 2 dalam

tuturan ini, berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri.

Mahasiswa dalam tuturan di atas seharusnya berterima kasih telah

dipuji oleh si mahasiswa 1, bukan malah mencela dengan mengatakan

bahwa tidak akan membelinya karena tidak memiliki uang. Pada tuturan

terakhir yang dituturkan oleh mahasiswa, terdapat kata kasar yaitu

‘levelmu’. Disini jelas terlihat bahwa ada pelanggaran prinsip kesantunan

Leech yaitu dalam maksim kemurahan yang diucapkan oleh mahasiswa 2.

Ia yang mendapat pujian, justru melontarkan bahasa yang sangat tidak

berkenan di hati r. Tuturan mahasiswa tersebut dikategorikan Tidak

Santun.

d. Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati

Maksim Kerendahan Hati menuntut penutur untuk selalu

mengurangi pujian pada dirinya sendiri dan memaksimalkan cacian pada

dirinya sendiri. Pelaku komunikasi yang menaati maksim ini akan

dianggap sebagai seorang yang rendah hati dan tidak sombong.

Pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati secara terus

menerus akan membentuk stigma kepada si pelaku sebagai orang yang

sombong, bersikap anti sosial, dan bahkan yang terburuk penutur seperti

66
itu akan dijauhi lawan tuturnya, karena bagaimanapun bertransaksi

komunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim kerendahan hati

akan sangat tidak nyaman. Seperti tuturan di bawah ini:

67
No Data : 06

Hari/Tanggal : 27 April 2019

Tempat : ruang perkuliahan

KONTEKS DATA

Dua mahasiswa yang saling Mahasiswa1 : “bagaimana tadi


komunikasi mengenai hasil ujiannya soalnya banyak yang kamu jawab?”

Mahasiswa 2 : “Ya sudah semua,


gue gitu loh…kamu bagaimana?

Mahasiswa 1 : “Huh pusing dari


tadi saya cuma jawab tiga soal
saja, babi, babi, pusing, pusing!”

Mahasiswa 2 : “Hahaha.. kasian


deh lu…”

ANALISIS

1. Tuturan di atas bicara dengan kepahitan dan mengolok-


olok/sindiran pedas.
2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKerendahan Hati, karena telah meminimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat
pada diri sendiri.

Berdasarkan data no. 6 di atas, tuturan yang diucapkan oleh kedua

mahasiswa di atas tidak baik didengar dan mengandung kepahitan. Saat

mahasiswa pertama bertanya kepada mahasiswa kedua, ia bertutur

dengan santun dan baik-baik. Tetapi ternyata jawaban dari mahasiswa

kedua tidak mengenakan karena ia menyombongkan diri, sebab dirinya

sudah banyak menjawab soal. Akhirnya tuturan selanjutnya yang

dituturkan oleh mahasiswa pertama sangatlah kasar.

68
“Babi..babi…pusing!”. Sepertinya ia begitu lelah dan pusing menjawab

soal. Dari tuturan mahasiswa pertama tersebut telihat sekali bahwa ia

begitu putus asa menjawab soal. Lebih menyakitkan lagi, ternyata

mahasiswa kedua bukannya memberikan semangat kepada temannya,

tapi justru mengolok-olok sambil tertawa dengan perkataan

“Hahaha…Kasian deh lu…”. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang

Sangat Tidak Santun.

No Data : 07

Hari/Tanggal : 3 Mei 2019

Tempat : balai siding unismuh makassar

KONTEKS DATA

Kedua mahasiswa yang saling Mahasiswa1 : “luar biasa adik saya


membanggakan adiknya msaing- bisa lulus dengan nilai memuaskan!”
masing.
Mahasiswa 2 : “pasti lebih pintar
adik saya karena dia bebas tes
masuk perguruan tinggi tidak sama
dengan kamu..hahahah”

ANALISIS

1. Tuturan di atas bicara dengan kepahitan dan mengolok-


olok/sindiran pedas.
2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKerendahan Hati, karena telah meminimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat
pada diri sendiri.

69
Berdasarkan data no. 7 di atas, tuturan di atas bicara dengan

kepahitan dan mengolok-olok/ sindiran pedas. Sasaran ujarannya

,mengarah kepada perbuatan dan prestasi. Saat mahasiswa pertama

mengucapkan kalimat luar biasa adik saya lulus dengan nilai

memuaskan!”

Maksud tuturan mahasiswa tersebut adalah dia hanya ingin

bercerita bahwa adiknya begitu pintar. Namun ternyata jawaban dari

temannya yang sesama mahasiswa justru menjatuhkan dirinya. “pasti

lebih pintar adik saya karena dia bebas tes masuk perguruan tinggi tidak

sama dengan kamuhahaha…”. Tuturan mahasiswa kedua ini tidak layak

diucapkan . seharusnya ia mengucapkan selamat kepada temannya yang

mempunyai adik pintar bukan malah menyombongkan diri seolah-olah

tidak mau kalah bahwa adiknya juga pintar.

Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan

dengan Maksim Kerendahan Hati, karena telah meminimalkan

ketidakhormatan pada diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat pada

diri sendiri. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang Tidak Santun.

e. Pelanggaran Maksim Kecocokan

Bila komunikasi dalam maksim ini diharuskan untuk meminimalkan

ketidaksesuaian antara dirinya dengan yang lain. Pelaku yang menaati

maksim ini akan dicap sebagai seorang yang santun dan selalu perhatian

terhadap topik yang dibicarakan. Dalam konteks umum atau kontroversial

70
pelaku pelanggaran terhadap maksim ini akan mendapat cap sebagai

seorang yang tidak santun dan tidak berwawasan luas. Yang terburuk,

lawan tutur akan merasa enggan berkomunikasi dengannya.

No Data : 08

Hari/Tanggal : 6Mei 2019

Tempat : depan kampus Unismuh

KONTEKS DATA

Seorang mahasiswa yang juga Grab : “Dari pagi saya keluar, tapi
berpropesi sebagai ojol Grab cuma dapat dua puluh ribu.”
mengeluh mengenai hasil
Gojek : “Ah, kata siapa bro,
pendapatannya kepada temannya
buktinya sekarang saya sudah
yang juga berpropesi sebagai ojol di
perusahaan Gojek. dapet tujuh puluh ribu, hebat kan?
Itu sih kamu aja yang bego dan
malas!”

Grab : “Ah kamu, rezekinya cuma


segini kali ya?”

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar dan mengolok-olok/sindiran.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan prestasi.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKecocokan , karena telah meminimalkan
kecocokan di antara mereka, dan memaksimalkan ketidakcocokan
di antara mereka.

Berdasarkan data no. 8 di atas, Grab dan gojek pada tuturan di

atas merupakan tuturan yang tidak baik didengar dan mengandung

mengolok-olok atau sindiran pedas. Saat grab mengeluh bahwa ia hanya

mendapatkan penghasilan dua puluh ribu rupiah, padahal ia sudah

71
bekerja dari pagi hari. gojek yang diajak bicara oleh grab menjawab

dengan sangat tidak santun. “Ah, kata siapa bro, buktinya sekarang saya

udah dapet tujuh puluhribu, hebat kan? Itu sih kamu aja yang bego dan

malas!”. Dari tuturan tersebut jelas terlihat bahwa gojek menyombongkan

diri, sebab ia telah mendapatkan tujuh puluh ribu rupiah saat itu. Dan yang

lebih tidak enak didengar lagi saat gojek mengmengolok-olok sang grab

dengan mengatakan bahwa grab bego dan malas. Namun, grab dengan

tenang dan kelembutan hatinya berpasrah dan menerima ucapan dari

gojek dengan mengatakan bahwa rezekinya saat itu mungkin hanya dua

puluh rupiah saja.

Seharusnya, gojek bersikap sopan, karena yang ia hadapi saat

berbicara adalah temannya sendiri yang seharusnya dihormati bukan

sebaliknya justru dimengolok-olok. Bahkan gojek pun berani

mengeluarkan kata kasar dengan mengucapkan kata ‘bego’. Tuturan

antara grab dan gojek tesebut melanggar maksim kecocokan, karena

telah meminimalkan kecocokan di antara mereka, dan memaksimalkan

ketidakcocokan di antara mereka. Maksim kecocokan menggariskan

setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara

mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Maksim

kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. mahasiswa

di atas dikategorikan tuturan yang Tidak Santun.

72
f. Pelanggaran Maksim Simpati

Penutur yang senantiasa selalu menaati maksim ini akan dianggap

sebagai seorang yang santun dan tahu akan pentingnya sebuah

hubungan antarpersonal dan sosial. Penutur akan dianggap sebagai

seorang yang pandai memahami perasaan orang lain.

Simpati adalah suatu model kesantunan dimana setiap pelaku tutur

diwajibkan untuk ikut memahami perasaan lawan tuturnya, terutama

disaat lawan tuturnya sedang gundah gulana karena didera oleh cobaan

hidup atau musibah. Dengan pemahaman rasa seperti ini diharapkan

lawan tutur menjadi sedikit terhibur atau merasa nyaman saat melakukan

transaksi komunikasi sosial bersama sang pelaku tutur.

No Data : 09
Hari/Tanggal : 12 April 2019
Tempat : PMB Unismuh Makassar
KONTEKS DATA

Seorang mahasiswa tingkat akhir Mahasiswa1 : “Gila, ponakan saya


bercerita kepada temannya bahwa tidak lulus tes pertama! Sekarang
keponakannya tidak lulus SMA. susah mau lulus aja tuh!”

mahasiswa 2 : “Hahaha… Kasian


anak zaman sekarang, goblok,
goblok memang sangat manja!”

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar, dan mengolok-olok.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKesimpatian, karena peserta pertuturan
meminimalkan rasa simpati, dan memaksimalkan rasa antipati
kepada lawan tuturnya.

73
Berdasarkan tuturan no. 9 di atas, Tuturan dua mahasiswa di atas

tidak baik didengar, mengandung kepahitan dan mengolok-olok. Saat

mahasiswa pertama bercerita kepada temannya yang sesama mahasiswa

juga tentang keponakannya yang tidak lulus tes pertama. Namun,

mahasiswa kedua justru mengmengolok-olok sambil tertawa dan

mengatakan “Hahaha…Kasian anak zamansekarang, goblok, goblok

memang, sangat manja!” Bukannya bersimpati kepda temannya, justru dia

mnghina dan mengmengolok-olok bahwa anak-anak zaman sekarang

memang ‘goblok-goblok dan manja’. Kata goblok merupakan salah satu

kata kasar yang sangat tidak enak didengar.

Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.

Tuturan yang dituturkan oleh mahasiswa kedua tersebut melanggar

maksim kesimpatian. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan

ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta

pertuturan untuk memaksimalakn rasa simpati, dan meminimalkan antipati

kepada lawan tuturnya. Tuturan mahasiswa tersebut justru sebaliknya.

Yakni meminimalkan rasa simpati dan memaksimalkan rasa antipati

kepada lawan tuturnya. Tuturan mahasiswa itu dikategorikan tuturan yang

Tidak Santun.

2. Persepsi Penutur Bahasa Indonesia

Dari data-data yang sudah terkumpul, terlihat bahwa sebagian

besar tuturan yang dituturkan oleh orang-orang di sekitar kampus

terutama mahasiswa, tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa hal

74
ini disebabkan oleh faktor globalisasi dan tidak memahami hakikat dari

bahasa itu sendiri. Untuk itu penulis ingin mengetahui tanggapan para

penutur bahasa Indonesiaseperti, dosen, karyawan dan ustadz.

Tujuan penulis mewawancarai persepsi penutur bahasa di

lingkungan kampus adalah untuk mengetahui bagaimana reaksi mereka

mengenai kekasaran berbahasa yang dituturkan oleh mahasiswa serta

pelanggaran Prinsip Kesantunan Leech.

Analisis Penutur Bahasa di Luar Lingkungan kampus

NO PERTANYAAN RESPONDEN KETERANGAN

1 Apakah Anda DOSEN Pernah


pernah
PEDAGANG Pernah
mendengar
tuturan kasar di KARYAWAN Pernah
lingkungan
kampus? USTADZ Pernah

2 Bagaimana DOSEN Kasar


menurut Anda
PEDAGANG Kasar
tuturan tersebut?
KARYAWAN Kasar

USTADZ Kasar

3 Apa yang Anda DOSEN Menyakiti hati


rasakan terhadap
PEDAGANG Mengolok-olok
tuturan tersebut?
KARYAWAN Bicara dengan kepahitan

USTADZ Menyakitkan hati

75
4 Mengarah DOSEN Perbuatan
kepada apa
PEDAGANG Perbuatan
tuturan tersebut?
KARYAWAN Fisik dan Perbuatan

USTADZ Fisik, Prestasi dan Perbuatan

5 Menurut Anda DOSEN Pendidikan dan Lingkungan


apa yang menjadi
PEDAGANG Pendidikan dan Lingkungan
penyebab
mereka KARYAWAN Pendidikan dan Lingkungan
menuturkan
tuturan kasar? USTADZ Pendidikan, Lingkungan dan
Iman

Dari hasil analisis penutur bahasa di lingkungan kampus ternyata

diantara dosen, pedagang, karyawan dan ustadz semuanya pernah

mendengar tuturan kasar yang ada di lingkungan kampus. Hampir

semuanya beranggapan bahwa tuturan yang pernah mereka dengar di

lingkungan kampus adalah tuturan yang mengandung unsur kekasaran

berbahasa. Yang mereka rasakan saat mendengar tuturan kasar tersebut

adalah menyakiti hati, mengolok-olok dan bicara dengan kepahitan.

Sasaran ujarannya menurut mereka adalah fisik, prestasi dan perbuatan,

dan yang menjadi penyebab utama para penutur di lingkungan kampus

menuturkan tuturan kasar adalah latar pendidikan dan lingkungannya.

76
a. Persentase Hasil Analisis Pelanggaran Prinsip

KesopanandiLingkungan kampus

Setelah data dianalisis, data dihitung persentase kemunculan

enam maksim dalam prinsip kesopanan. Diantaranya maksim

kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim

kerendahan hati, maksim kecocokan dan maksim kesimpatian. Jumlah

kemunculan pelanggaran prinsip kesopanan dan persentasenya akan

dimasukkan ke dalam tabel rekapitulasi data.

Jenis Pelanggaran pada Tindak Tutur

NO JENIS PELANGGARAN JUMLAH PERSENTASE

1 Maksim Kebijaksanaan 6 30%

2. Maksim Penerimaan 3 15%

3. Maksim Kemurahan 4 20%

4. Maksim Kerendahan Hati 3 15%

5. Maksim Kecocokan 2 10%

6. Maksim Kesimpatian 2 10%

JUMLAH 20 100%

Dari tabel rekapitulasi di atas, dapat dilihat bahwa pelanggaran

prinsip kesopanan yang mendominasi adalah maksim kebijaksanaan,

yang berjumlah 6 data dengan persentase 30%. Maksim kemurahan

77
berada di urutan kedua yang berjumlah 4 data dengan persentase 20%.

Sedangkan di urutan ketiga ada dua maksim yakni maksim penerimaan

dan maksim kerendahan hati dengan jumlah 3 data dan persentase 15%.

Di urutan terakhir adalah maksim kecocokan dan maksim kesimpatian

yang berjumlah 2 data dengan persentase 10%. Total keseluruhan data

berjumlah 20.

Dari hasil rekapitulasi data, dapat diketahui bahwa pelanggaran

prinsip kesopanan pada “Kesantunan Berbahasa mahasiswa pendidikan

bahasa dan sastra indoensia di universitas muhammadiyah makassar”

didominasi oleh maksim kebijaksanaan. Maksim kebijaksanan ini

diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif. Maksim ini

menggariskan setiap pertuturan untuk meminimalkan kerugian bagi orang

lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Namun, dalam

data-data yang sudah terkumpul dan telah dianalisis justru yang terjadi

adalah sebaliknya, yaitu memaksimalkan kerugian orang lain, atau

meminimalkan keuntungan bagi orang lain.

78
b. Hasil Observasi

PEDOMAN OBSERVASI

KRITERIA PELANGGARAN
NO PENUTUR TUTURAN KONTEKS
1 2 3 4 5 6

 Ketua tingkat yang tidak terima atas pemberian


mahasiswa yang hanya memberinya uang
sebesar lima ribu rupiah. Ia emosi karena merasa
1 KT Suntili
tidak pantas dirinya hanya dibayar lima ribu
rupiah, sementara ia sudah lama dijanji oleh
mahasiswa untuk membayar iurannya

 Seorang mahasiswa 1 yang membeli pulsa dan ia


2 merasa harga pulsa yang dibelinya mahal.
Suntili,
79

MAHASISWA 1 Mahasiswa 1 pun tidak terima, karena


tanjanu
menurutnya harga pulsa yang dijual terlalu mahal
dan tidak mahal

 Seorang mahasiswa yang sedang mencari


3 MAHASISWA Goblok alamat dosennya, malah dicaci dengan makian
bias jako membaca toh

 Seorang ketua tingkat meminta absen malah


KETUA Pore disuruh untuk foto copy, tetapi meminta uang
4
TINGKAT porenu iuran kebendahara malah disuruh pakai dananya
sendiri

79
KRITERIA PELANGGARAN :

1. Maksim Kebijaksanaan

2. Maksim Penerimaan

3. Maksim Kemurahan

4. Maksim Kerendahan Hati

5. Maksim Kecocokan

6. Maksim Kesimpatian

Dari pedoman observasi di atas, terlihat jelas bahwa tuturan yang

biasa diucapkan oleh sebagian mahasiswa banyak yang melanggar

Prinsip Kesantunan Leech. Tuturan yang diucapkan tersebut merupakan

tuturan sehari-hari mereka dalam bertutur kata di lingkungan kampus,

karena apa yang mereka tuturkan sudah menjadi hal yang lumrah di

lingkungannya sehingga satu sama lain tidak terlalu merasa terganggu

dengan tuturan kasar yang diucapkan oleh temannya tersebut.


c. Hasil Wawancara

ANALISIS HASIL WAWANCARA DI LINGKUNGAN KAMPUS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

NO PERTANYAAN RESPONDEN KETERANGAN

1 Sudah berapa lama Mahasiswa 3 Sudah semester delapan


anda disini?
Mahasiswa 2 Semester 6

Karyawan Sekitar 5 tahun

Dosen Sepuluh tahun

2 Apa yang melatar Mahasiswa 1 Atas arahan orang tua


belakangi Anda
Mahasiswa 2 Karena lulus di sini
memilih kampus ini
ini? karyawan Alumni kampus ini

Dosen Ditempatkan di sini dan saya


juga alumni kampus ini

3 Mulai pukul berapa Mahasiswa 1 Siang sampai sore


dan sampai pukul
Mahasiswa 2 jam 8 pagi sampai jam 3 sore
berapa Anda
berada di kampus karyawan Jam delapan sampai jam 4
ini?
Dosen Jam delapan sampai jam 4

4 Maaf, tadi saya Mahasiswa 1 Wah itu sudah biasa,


mendengar Anda memang sehari-harinya kaya
berbicara dengan begitu
teman Anda,
Mahasiswa 2 Oh…tadi saya becanda aja
pembicaraan yang
Anda lakukan itu karyawan Tadi saya lagi kesel aja.
terdapat kalimat-
kalimat yang agak Dosen Tadi hanya bercanda dan
kasar. Apakah biasanya itu terucap untuk
memang itu sudah teman sejawat dan sahabat
menjadi hal yang dekat.
biasa atau lumrah?

5 Jika Anda berada Mahasiswa 1 Ah sama saja kaya begitu


dalam lingkungan
Mahasiswa 2 Tergantung, bisa sama bisa
berbeda dan situasi
juga tidak
yang berbeda pula,
apakah tuturan Karyawan Wah ya berbeda, saya juga
yang Anda ucapkan harus bisa menempatkan diri
akan sama dengan dimana saya harus bertutur
tuturan yang Anda kasar dan tidak
ucapkan di
kampusl? Dosen Saya kalau di tempat lain
ngomongnya tidak kasar

Dari hasil wawancara dengan orang-orang yang bekerja di

lingkungan kampus seperti mahasiswa, karyawan, dosen dapat diketahui

bahwa mereka sudah lama menjalankan profesinya. Misalnya, mahasiswa

1 sudah semester tinggi, mahasiswa 2 semester enam, karyawan 5 tahun,

dan dosen sudah bekerja selama sepuluh tahun. Hal yang

melatarbelakangi mereka memilih kampus tersebut ialah karena mereka

merasa karena kampus ini cocok untuk mereka dan ditempatkan di

kampus ini. Mereka berpikir daripada menganggur lebih baik mereka

mengerjakan sesuatu yang bisa menghasilkan uang dan mendapatkan

ilmu. Tingginya tingkat pengangguran di negara ini, banyak membuat

masyarakatnya memilih mengerjakan sesuatu walaupun hasilnya tidak

terlalu besar dan memuaskan.


Kata-kata kasar yang melanggar prinsip kesantunan Leech yang

sering mereka ucapkan kepada sesama teman di lingkungan kampus

ternyata sudah menjadi hal yang biasa dilakukan. Tuturan yang mereka

ucapkan sudah menjadi bahasa sehari-hari, karena mereka marasa

nyaman dengan tuturan tersebut tanpa mempedulikan tuturan yang

mereka ucapkan tersebut kasar atau tidak.

Namun, dari hasil wawancara yang penulis lakukan kepada

mahasiswa, karyawan, dosen, sebagian besar mereka mengaku bahwa

tuturan kasar yang mereka ucapkan sehari-hari di kampus tidak mereka

lakukan di luar lingkungan kampus. Misalnya, saat berada di rumah

mereka bisa mengucapkan tuturan yang santun, karena berhadapan

dengan anggota keluarga seperti ibu, ayah, istri atau bahkan anaknya

sendiri. Mereka tidak ingin tuturan kasar yang biasa mereka ucapkan di

lingkungan kampus diketahui atau bahkan sampai ditiru oleh anak-anak

mereka. Tetapi, ada juga beberapa mahasiswa yang mengaku bahwa

tuturan yang mereka ucapkan memang sudah seperti itu, sehingga di

mana pun mereka berada tuturannya bisa saja sama dengan tuturan yang

biasa mereka ucapkan di kampus.

Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa

mahasiswea, karyawan dan dosen pun bisa menempatkan diri di mana

mereka berada dan dengan siapa mereka berbicara. Mereka tidak selalu

berbicara kasar jika terpaksa dan di luar lingkungan kampus. Faktor yang

menjadi penyebab mereka melakukan hal tersebut adalah faktor


lingkungan dan faktor sosial. Faktor lingkungan timbul karena perbedaan

asal daerah penuturnya. Sedangkan faktor sosial timbul karena perbedaan

kelas sosial penuturnya.

B. Pembahasan

Pada bagian ini diuraikan hasil temuan yang diperoleh dalam

penelitian. Hasil yang diperoleh melalui data yang telah terkumpul. Hasil

yang di maksud adalah simpulan yang diperoleh melalui data yang

terkumpul dan hasil analisis yang telah dilakukan.

Penjelasan pada sub bab ini berhubungan dengan pola dan prinsip

kesantunan dari Leech (1993). Adapun kaidah Leech (1993) terbagi dalam

enam maksim yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,

maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim

pemufakatan/kecocokan, dan maksim kesimpatian. Berdasarkan hasil

analisis data dan kemampuan mahasiswa Universitas Muhammadiyah

Makassar dalam kesantunan berbahasa Indonesia, yang bertujuan untuk

mendeskripsikan pola penggunaan bahasa Indonesia pada pembelajaran

bahasa Indonesia di Universitas Muhammadiyah Makassar dan

mendeskripsikan bentuk-bentuk penyimpangan prinsip kesopanan yang

diucapkan oleh mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar, maka

dapat diperoleh hasil temuan sebagai berikut.


1. Maksim Kebijaksanaan

Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan yang pertama yakni

maksim kebijaksanaan. Peneliti menemukan sekurang – kurangnya tiga

tuturan dari tuturan yang diambil dari interaksi mahasiswa yang berada di

tiga tempat yang berbeda yakni gedung Iqra lantai 4.11, parkiran motor

Unismuh Makassar, dan balai sidang Unismuh Makassar. Ketiga tuturan

yang terjadi ditiga tempat tersebut dikatakan melanggar maksim

kebijaksanaan yakni tuturan seharusnya membuat kerugian orang lain

sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin,

namun yang ditemukan justru sebaliknya. Pelanggaran tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Penutur memaki – maki temannya dengan menggunakan kata

“Suntilii..” , “Suntilii mahalnna”, “Ballisikku ciniko!”, dan“santai mako duniaji

ini, dan kalimat bisa jako membaca toh!”, Tuturan ketidaksantunan

tersebut mengarah kepada perbuatan dan fisik . Kata ‘suntili’ terasa kasar

bagi kita yang tidak biasa menggunakannya. ‘Suntili’ dalam bahasa

Indonesia mempunyai arti yang tidak baik dan termasuk salah satu kata

yang kasar. Kata ‘ballisi’ dalam bahasa Indonesia kata ‘jengkel’

merupakan salah satu kata kasar yang tidak baik untuk diucapkan .

kalimat “santai mako duniaji ini, dan kalimat bisa jako membaca toh!”.

Seharusnya perkataan tersebut tidak layak diucapkan. Tetapi pada tuturan

di atas justru sebaliknya, ada unsur egois dan merasa akrab sehingga

kalimat tersebut diucapakan. Tuturan di atas melanggar maksim


kebijaksanaan. Karena telah memaksimalkan kerugian orang lain dan

meminimalkan keuntungan orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan

tuturan impositif dan komisif.Tuturan tersebut dikategorikan ke dalam

tuturan yang Tidak Santun.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Makassar banyak yang melakukan

pelanggaran terhadap maksim Leech (1993:168) tuturan yang didapatkan

justru berbanding terbalik dengan maksim kebijaksanaan. Namun, seperti

yang telah dijelaskan bahwa banyak data tuturan yang merugikan dan

menjatuhkan mitra tuturnya dengan begitu penutur jelas telah melanggar

maksim kebijaksannaan dengan begitu data tuturan tersebut tidak santun

terlebih tidak menggunakan diksi yang santun.

2. Maksim Penerimaan

Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan yang kedua yakni

maksim penerimaan (pujian atau pengharaan). Peneliti menemukan

tuturan yang diambil dari interaksi mahasiswa di Prodi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia. Tuturan dari intraksi dikatakan melanggar maksim

penerimaan karena tuturan terebut tidak sesuai dengan apa yang

diharuskan pada maksim penerimaan yakni tuturan seharusnya dapat

memperbanyak pujian atau memaksimalkan keuntungan untuk orang lain

agar mendapatkan citra diri sebagai orang yang pintar menghormati orang

lain, mampu membangun kehidupan yang harmonis, penuh toleransi dan


meminimalkan kecaman kepada orang lain, namun yang ditemukan justru

sebaliknya. Pelanggaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Penutur menyakiti hati mitra tutur dan mengandung celaan getir. Sasaran

ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan penutur tidak dapat

menahan emosi. Seharusnya saat penutur meminta abzen dan saat

ditagih uangnya oleh si penutur tersebut justru menjawab dengan

mudahnya “minta sama bendahara!”. Ia seperti tidak merasa harus

membayar barang yang sudah ia minta, padahal sudah kewajiban seorang

pembeli membayar apabila sudah menggandakan abzen di tempat foto

copy. Dengan mengeluarkan kata ‘pore porenu’ ia sudah berlaku tidak

sopan kepada lawan tuturnya. Padahal jika kita lihat yang sangat rugi

adalah mitra tutur.

Selain melanggar maksim penerimaan dari Leech (1993:212), data

tersebut dapat menjatuhkan muka mitra tutur. Seharusnya penutur dapat

menggunakan kesantunan positif untuk menjaga muka positif mitra

tuturnya, namun justru melakukan sebaliknya sehingga melanggar

maksim penerimaan yakni menhindari ketidaksetujuan dengan pura – pura

setuju dan membesar – besarkan perhatian, persetujuan, dan simpati

kepada mitra tutur. Penutur secara terang – terangan mengatakan

kekurangan mitra tuturnya dan hal itu jelas memojokkan mitra tutur dan

menjatuhkan mukanya di depan teman – temannya dan justru dapat

memancing emosi mitra tuturnya. Maksim penerimaan diutarakan dengan


kalimat komisif dan impositif. Tuturan tersebut dikategorikan tuturan yang

Tidak Santun.

3. Maksim Kemurahan

Pelanggaran pada prinsip kesantunan yang ketiga yakni maksim

kemurahan (kedermawanan). Peneliti menemukan tuturan dari interaksi

yang terjadi di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tuturan

tersebut dikatakan melanggar maksim kemurahan karena tuturan tersebut

tidak sesuai dengan apa yang diharuskan pada maksim kemurahan yakni

tuturan seharusnya membuat keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan

membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin, namun yang ditemukan

justru sebaliknya. Pelanggaran tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut:mitra tutur tidak sopan dengan menyombongkan diri dan

melontarkan bahasa yang sangat tidak berkenan di hati.

Penutur bersikap sopan dan berusaha memaksimalkan lawan

tuturnya. Namun yang terjadi justru mitra tutur berlaku tidak sopan dengan

menyombongkan diri, bahwa ia adalah orang yang punya uang sehingga

bisa membeli HP mahal, sedangkan penutur tersebut tidak akan mampu

membeli HP seperti dirinya. Mitra tutur dalam tuturan ini, berusaha

memaksimalkan keuntungan dirinya sendiri. Mitra tutur dalam tuturan di

atas seharusnya berterima kasih telah dipuji oleh si penutur, bukan malah

mencela dengan mengatakan bahwa tidak akan membelinya karena tidak

memiliki uang. Pada tuturan terakhir yang dituturkan oleh mitra tutur,

terdapat kata kasar yaitu ‘levelmu’.


Disini jelas terlihat bahwa ada pelanggaran prinsip kesantunan

Leech (1993:210) yaitu dalam maksim kemurahan yang diucapkan oleh

mitra tutur. Ia yang mendapat pujian, justru melontarkan bahasa yang

sangat tidak berkenan di hati. Tuturan mitra tutur tersebut dikategorikan

Tidak Santun.Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam

interaksi mahasiswa di Prodi Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia

banyak melakukan pelanggaran maksim Leech (1993) yang justru

berbanding terbalik dengan maksim kemurahan yakni membuat

keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan membuat kerugian diri sendiri

sebesar mungkin dan berusaha menjaga muka mitra tuturnya. Seperti

yang dijelaskan banyak data tuturan yang merugikan dan menjatuhkan

muka penutur dengan begitu mitra tutur jelas telah melanggar maksim

kemurahan dengan begitu data tersebut dikatakan tidak santun.

4. Maksim Kerendahan Hati

Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan yang keempat yakni

maksim kerendahan hati (kesederhaan). Peneliti menemukan beberapa

tuturan dari tuturan yang diambil dalam interaksi mahasiswa ruang

perkuliahan dan balai sidang Unismuh Makassar. Tuturan tersebut

dikatakan melanggar maksim kerendahan hati karena tuturan tersebut

tidak sesuai dengan apa yang diharuskan pada maksim kerendahan hati

yakni tuturan seharusnya memuji diri sendiri sedikit mungkin dan

mengecam (cacian) diri sendiri sebanyak mungkin, namun yang ditemuka

justru sebaliknya. Pelanggaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:


tuturan di atas bicara dengan kepahitan dan mengolok – olok/ sindiran

pedas, sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi,

dan penutur menyombongkan diri didepan mitra tutur.

Tuturan yang diucapkan oleh penuturdi atas tidak baik didengar

dan mengandung kepahitan. Saat penutur bertanya kepada

mahasiswamitra tutur, ia bertutur dengan santun dan baik-baik. Tetapi

ternyata jawaban dari mahasiswa kedua tidak mengenakan karena ia

menyombongkan diri, sebab dirinya sudah banyak menjawab soal.

Akhirnya tuturan selanjutnya yang dituturkan oleh mahasiswa pertama

sangatlah kasar. “Babi..babi…pusing!”. Sepertinya ia begitu lelah dan

pusing menjawab soal. Dari tuturan mahasiswa pertama tersebut telihat

sekali bahwa ia begitu putus asa menjawab soal. Lebih menyakitkan lagi,

ternyata mahasiswa kedua bukannya memberikan semangat kepada

temannya, tapi justru mengmengolok-olok sambil tertawa dengan

perkataan “Hahaha…Kasian deh lu…”.

Tuturan di atas bicara dengan kepahitan dan mengolok-olok/

sindiran pedas. Sasaran ujarannya ,mengarah kepada perbuatan dan

prestasi. Saat mahasiswa pertama mengucapkan kalimat luar biasa adik

saya lulus dengan nilai memuaskan!”. Maksud tuturan mahasiswa tersebut

adalah dia hanya ingin bercerita bahwa adiknya begitu pintar. Namun

ternyata jawaban dari temannya yang sesama mahasiswa justru

menjatuhkan dirinya. “pasti lebih pintar adik saya karena dia bebas tes

masuk perguruan tinggi tidak sama dengan kamuhahaha…”. Tuturan


mahasiswa kedua ini tidak layak diucapkan . seharusnya ia mengucapkan

selamat kepada temannya yang mempunyai adik pintar bukan malah

menyombongkan diri seolah-olah tidak mau kalah bahwa adiknya juga

pintar.

Melanggar maksim kerendahan hati Leech (1993:214) semua data

tuturan tersebut juga dapat menjatuhkan mukanya sendiri. Tuturan yang

melanggar maksim kerendahan hati yakni membesar – besarkan

perhatian, mengolok – olok, dan simpati kepada lawan tutur. Penutur

seharusnya memberikan perhatian kepada mitra tuturnya, memperhatikan

kebutuhan mitra tuturnya bukan malah menyombongkan diri. Seperti yang

telah dijelaskan data tuturan bersifat menyombongkan diri dan hal itu jelas

bertentangan dengan maksim kerendahan hati, terlebih penutur juga tidak

menggunakan diksi yang mencerminkan kesantunan, jadi data tersebut

tidak santun.

5. Maksim Kecocokan

Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan yang kelima yakni

maksim kecocokan (kesepakatan/kemufakatan). Peneliti menemukan

tuturan dari tuturan yang diambil di depan Universitas Muhammadiyah

Makasar. Tuturan tersebut dikatakan melanggar maksim kecocokan

karena tuturan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharuskan pada

maksim kecocokan yakni tuturan seharusnya menguahakan kesepakatan

antara diri dan lain sebanyak mungkin dan mengusahakan

ketidaksepakatan sedikit mungkin, namun yang ditemukan justru


sebaliknya. Pelanggaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Penutur mengolok – olok dan mengatakan ketidaksetujuan secara terang

– terangan sehingga dapat memojokkan mitra tutur.

Tuturan yang tidak baik didengar dan mengandung mengolok-olok

atau sindiran pedas. Saat penutur mengeluh bahwa ia hanya

mendapatkan penghasilan dua puluh ribu rupiah, padahal ia sudah

bekerja dari pagi hari. Mitra tutur menjawab dengan sangat tidak santun.

“Ah, kata siapa bro, buktinya sekarang saya udah dapet tujuh puluhribu,

hebat kan? Itu sih kamu aja yang bego dan malas!”. Dari tuturan tersebut

jelas terlihat bahwa mitra tutur menyombongkan diri, sebab ia telah

mendapatkan tujuh puluh ribu rupiah saat itu. Dan yang lebih tidak enak

didengar lagi saat gojek mengmengolok-olok penutur dengan mengatakan

bahwa penutur bego dan malas. Namun, penutur dengan tenang dan

kelembutan hatinya berpasrah dan menerima ucapan dari mitra tutur

dengan mengatakan bahwa rezekinya saat itu mungkin hanya dua puluh

rupiah saja.

Melanggar maksim kecocokan Leech (1993:217) data tuturan

tersebut juga dapat menjatuhkan muka si penutur karena berusaha

memojokkan si penutur. Kesantunan yang banyak dilanggar dalam tuturan

yang melanggar maksim kecocokan yakni menghindari ketidaksetujuan

dengan pura – pura setuju dan membesar – besarkan perhatian,

persetujuan, dan simpati kepada lawan tutur. Mitra tutur secara terang

terangan mengatakan ketidaksetujuannyaterhadap penutur dan hal ini


jelas dapat memojokkan penutur dan menjatuhkan mukanya di depan

teman – temannya, bahkan dapat memancing emosi penutur karena

penutur bisa merasa direndahkan dengan tuturan mintra tutur.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa interaksi yang terjadi

banyak melakukan pelanggaran terhadap maksim Leech (1993) maksim

kecocokan yakni tuturan seharusnya mengusahakan kesepakatan antara

diri dan lain sebanyak mungkin dan mengusahakan ketidaksepakatan

sedikit mungkin, juga berusaha menjaga muka mitra tuturnya, Seperti

yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya. Namun seperti yang telah

dijelaskan bahwa banyak data tuturan yang merugikan dan menjatuhkan

muka si penutur di depan temannya dengan menyebut ketidak setujuan

dengan penutur secara terang – terangan, dan dapat memancing emosi

penutur. Maksim kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan

asertif. mahasiswa di atas dikategorikan tuturan yang Tidak Santun.

6. Maksim Simpati

Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan yang keenam yakni

maksim kesimpatian. Peneliti menemukan tuturan dari tuturan yang

diambil dalam interaksi mahasiswa di depan ruangan PMB Universitas

Muhammadiyah Makassar. Tuturan tersebut dikatakan melanggar maksim

kesimpatian karena tuturan tersebut tidak sesuai dengan apa yang

diharuskan pada maksim kesimpatian yakni tuturan seharusnya dapat

mengurangi rasa antipati terhadap mitra tutur dan meningkatkan rasa

simpati sebanyak mungkin. Pelanggaran tersebut dijelaskan sebagai


berikut: Tuturan dua mahasiswa di atas tidak baik didengar, mengandung

kepahitan dan mengolok-olok. Saat penutur bercerita kepada mitra tutur

yang sesama mahasiswa juga tentang keponakannya yang tidak lulus tes

pertama. Namun, mitra tutur justru mengmengolok-olok sambil tertawa

dan mengatakan “Hahaha…Kasian anak zamansekarang, goblok, goblok

memang, sangat manja!” Bukannya bersimpati kepda temannya, justru dia

mnghina dan mengmengolok-olok bahwa anak-anak zaman sekarang

memang ‘goblok-goblok dan manja’. Kata goblok merupakan salah satu

kata kasar yang sangat tidak enak didengar. mitra tutur mengejek si

penutur dan mitra tutur tidak dapat membedakan antara situasi serius dan

becanda, dengan mengejek dan becanda dalam konteks yang tidak tepat

maka tuturan dapat menjatuhkan si penutur dan bahkan dapat memancing

emosi.

Melanggar maksim kesimpatian dari Leech (1993:219), data

tersebut tersebut juga dapat menjatuhkan muka mitra tuturnya. Mitra tutur

seharusnya dapat menggunakan kesantunan untuk menjaga muka si

penutur, namun justru melakukan sebaliknya yakni membesar – besarkan

perhatian, persetujuan, dan simpati kepada si penutur. Mitra tutur

seharusnya memberikan perhatian dan rasa simpati terhadap apa yang

dilakukan atau dialami si penutur, bukan malah dibuat bahan becanda.

Tuturan semacam itu bisa memancing emosi penutur karena penutur bisa

merasa tidak dihargai dengan tuturan mitra tutur.


Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam percakapan

mahasiswa banyak yang melakukan pelanggaran terhadap maksim Leech

(1993). Tuturan yang didapatkan justru berbanding terbalik dengan

maksim kesimpatian yakni tuturan seharusnya mengurangi rasa antipati

terhadap mitra tutur dan meningkatkan rasa simpati sebanyak mungkin.

Namun seperti yang telah dijelaskan bahwa data tuturan itu merugikan si

penutur karena ketika penutur melakukan kesalahan justru dibuat sebagai

bahan candaan dan hal itu akan mrnjatuhkan muka penutur di depan

temannya. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan

prestasi. Tuturan yang dituturkan oleh mitra tutur tersebut melanggar

maksim kesimpatian. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan

ekspresif. Tuturan mitra tutur itu dikategorikan tuturan yang Tidak Santun.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan

bahwaTuturan yang ada di lingkungan kampus khususnya di parkiran

motor semuanya tidak mengandung unsur kesantunan berbahasa dan

melanggar Prinsip. Wujud ragam bahasa yang tidak santun yang

diucapkan oleh mahasiswa sangatlah kasar. Seperti misalnya terdapat

nama-nama binatang yang sering diucapkan oleh mereka. Wujud ragam

bahasa tersebut sangat tidak enak didengar, menyakitkan hati, bicara

dengan kepahitan, mengolok-olok atau sindiran dan mengandung celaan

getir.

Penyimpangan prinsip kesopanan yang diucapkan oleh

mahasiswa melanggar maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan,

maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan dan

maksim kesimpatian. Pelanggaran terbesar ada pada maksim

kebijaksanaan. Maksim kebijaksanaan ini menggariskan setiap peserta

pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan

keuntungan bagi orang lain.Tuturan kasar yang diucapkan oleh

mahasiswa yang melanggar Prinsip Kesantunan ternyata sudah menjadi

bahasa sehari-hari yang mereka ucapkan jika berada di lingkungan


kampus, namun jika mereka berada di luar lingkungankampus mereka

tidak menuturkan tuturan kasar tersebut.

Faktor yang menjadi penyebab mahasiswa menuturkan tuturan

kasar adalah faktor lingkungan dan faktor social. Faktor lingkungan timbul

karena perbedaan asal daerah penuturnya. Maksudnya mereka

menuturkan tuturan kasar tersebut karena memang lingkungan yang

mereka hadapi menerima dan tidak terlalu peduli dan situasinya memang

mendukung untuk mengucapkannya. Sedangkan faktor sosial timbul

karena perbedaan kelas sosial penuturnya karena para penghuni yang

bekerja di lingkungan kampus sebagian besar memang status sosialnya

rendah dan latar belakang pendidikan mereka juga rendah.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis data dan simpulan yang telah penulis

kemukakan di atas, pada bagian ini penulis mengemukakan beberapa

saran sebagai berikut:

Penulis berharap ada penelitian lanjutan yang lebih spesifik

terhadap realisasi kesantunan berbahasa di lingkungan kampus, dengan

kajian yang menarik, sample yang lebih besar, dan teknik analisis yang

lebih mendalam untuk mendapatkan hasil kajian yang sempurna.Seiring

dengan masih jarangnya penelitian mengenai kesantunan berbahasa,

maka penelitian ini perlu mendapatkan perhatian dari para ahli bahasa.

Terutama pihak yang berwenang dalam bidang ini mampu memberikan


bantuan demi melancarkan penelitian.Agar dalam melakukan penelitian

secara langsung ke lapangan penulis diberikan kemudahan dalam

mendapatkan data dari sumber yang dituju.Berharap jika ada penelitian

lanjutan, peneliti selanjutnya lebih berani mengungkapkan fakta-fakta yang

sebenarnya terjadi di lapangan, tidak terpaku pada apa yang dilihat dan

didengar saja.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Syarifuddin. 2012. ”Strategi Kesopanan berbahasa Masyarakat


Bugis Pinrang Propinsi Sulawesi Selatan” dalam
http://journal2.um.ac.id/index.php/jbs/article/view/117 jurnal
Bahasa dan Seni, [Diakses di Pinrang, Sulawesi Selatan,
Indonesia: 02 Juni 2019].

Akbar, Muh. 2014. Analisis Tindak Tutur dan Gaya Bahasa Ceramah
Ustadz Nur Maulana. Skripsi tidak diterbitkan. Unismuh
Makassar.

Alwasilah, A. Chaedar (2003). Pokoknya Kualitatif. Jakarta : PT. Dunia


Pustaka Jaya dan Pustaka Studi Sunda.

Anam, Syamsul. 2001. “Sopan Santun Berbahasa atau Sekadar Basa-


Basi”. Dalam Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra (JIBS). [Diakses di
Pinrang, Sulawesi Selatan, Indonesia: 15 Mei 2019]

Arifin. 2012. Bahan Ajar Pragmatik. Universitas Pendidikan Ganesha.


Tidak Diterbitkan.

Austin, J.L. 1962, How to Do Things with Words. New York: Oxford
Universitas Press.

Brown & Levinson. 1978. Universals In Language Usage : Politeness


Phenomena. In Goody, Esther N,ed. Questions and Politeness :
Strategies In Social Interaction Cambridge. University Press, 56-
310.

Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu


Pengantar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Gunawan, Fahmi. 2013. “Wujud Kesantunan Berbahasa Mahasiswa


Terhadap Dosen di STAIN Kendari” dalam Journal Arbitrer,
[Diakses di Pinrang, Sulawesi Selatan, Indoneisa: 15 Mei 2019].

Halliday, H.P. 1973. Logic and Convention. Dalam P. Cole and J.L.
Morgan Syntax and Semantics, Vol III: Speech Acts. New York:
Academic Press.
Hanafi, Abdillah. 1984. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya:
Usaha Nasional.

Harnida. 2012. Tindak Tutur Karyawan di Lingkungan Perusahaan PT.


Katingan Timber Celebes (PT. KTC) Kecamatan Biringkanaya
Kota Makassar. Skripsi tidak diterbitkan. Unismuh Makassar.

Harras, Kholid A. Santun Berbahasa. Bandung : Universitas Pendidikan


Indonesia.

Hasan, Alwi. 1995. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Ibrahim, Abdul Syukur. 1992. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha


Nasional.

_______. ____. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta : Balai


Pustaka.

_______. 2009. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, EYD


TERBARU (Permendiknas Nomor 46 Tahun 2009). Yogyakarta:
Pustaka Timur.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT. Gramedia.

Kunardi Hardjoprawiro. 2005. Pembinaan Pemakaian Bahasa Indonesia.


Surakarta: NS Press (UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS).

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas


Indonesia.

Leech. Geoffrey. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Dialibahasakan oleh


M.D.D.Oka. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Markhamah. 2011. Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa.


Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Miskhlihah. 2014. Kesantunan Berbahasa. Laporan Penelitian. Jawa


Timur: STAIN Jember. (online) http:www.
Journalarraniry.kesantunan_berbahasa. [Diakses di Pinrang,
Sulawesi Selatan, Indonesia: 26 Mei 2019]

Musfufah, Nurul. 2010. “Kesantunan Bentuk Tuturan Direktif di Lingkungan


SMA Negeri 1 Surakarta (Sebuah Kajian Sosiopragmatik)” dalam
https://digilib.uns.ac.id/...=/Kesantunan-bentuk-tuturan-direktif-di-
lingkungan-SMA-Negeri-1-Surakarta [Diakses di Pinrang,
Sulawesi Selatan, Indonesia: 28 Mei 2019]

Muslich, Masnur. 2010. GARIS-GARIS BESAR TATA BAKU BAHASA


INDONESIA. Bandung: PT Refika Aditama.

Nisja, Indriani. (2009). ‘Kesantunan Berbahasa dalam Berdiskusi Mahasis


wa Jurusan Bahasa Indonesia Semester III Tahun 2007-2008
Ummy Solok’. Dalam Jurnal Ilmiah Tambua, Vol. VIII, No. 3,
September-Desember.

Nurudin. 2003. Komunikasi Massa. Yogyakarat : Pustaka Pelajar.

Pranowo. 2009. Berbahasa Secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwo, B. K. 2004. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai


Pustaka.

Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa


Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rahmatiah. 2011. Fungsi dan Kesantunan Kalimat INterogatif dalam


Tuturan Bahasa Makassar.Ujung Pandang: Balai Bahasa Ujung
Pandang.

Rahman, Anita. 2017. “Kesantunan Berbahasa Indonesia Masyarakat dan


Polisi pada Pemeriksaan Lalulintas Kepolisian Polres Gowa”
dalam tesis.Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Ruhendi Saefullah, Aceng. 2001. Perwujudan Prinsip Kerjasama dalam


Teks Wawancara. Tesis. Jakarta : Universitas Indonesia.

Ruhendi Saefullah, Aceng. 2003. Pragmatik Dari Morris Sampai Van Dijk
Dan Perkembangannya Di Indonesia. Jurnal @rtikulasi volume 3.
Bandung : FPBS.

Sarwiji Suwandi. 2008. Serbalinguistik: Mengupas Pelbagai Praktik


Berbahasa. Surakarta: Sebelas maret University Press.

Sudaryanto. 1992. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.


Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sulistiany, Idris Nuny. 2006. Hand Out Perkuliahan Metode Penelitian


Linguistik. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumarsono, dan Paina Partama. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar dan Sabda.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung :


Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pagmatik. Bandung : Angkasa.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta : Andi.

Waluyo, Herman J. 2008. “Sosiolinguistik” (Hand Out Perkuliahan).


Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


LAMPIRAN
PEDOMAN OBSERVASI

KRITERIA PELANGGARAN
NO PENUTUR TUTURAN KONTEKS
1 2 3 4 5 6

PEDOMAN WAWANCARA

NO PERTANYAAN RESPONDEN KETERANGAN


FORMAT KARTU DATA

IDENTIFIKASI

KONTEKS DATA

ANALISIS

1…………….

2……………

3……………
Bagan Kerangka Pikir

INPUT

Tuturan

Mahasiswa Pendidikan Bahasa


dan sastra Indonesia

ANALISIS

DATA

PRINSIP KESANTUNAN RESPONS PENUTUR


RAGAM BAHASA INDONESIA
LEECH
BAHASA

PELANGGARAN RESPONS PENUTUR


WUJUD
BAHASA INDONESIA
PRINSIP KESANTUNAN
RAGAM
LEECH
BAHASA

OUTPUT

a. Realisasi Kesantunan Berbahasa di Lingkungan


kampus Universitas Muhammadiyah Makassar
b. Wujud Ragam bahasa Mahasiswa Pendidikan
bahasa dan sastra indonesia
c. Pelanggaran Prinsip Kesantunan Leech
d. Persepsi Penyimak Bahasa di luarjurusan bahasa
dan sastra indonesia
No Data : 01

Hari/Tanggal : 5April 2019

Tempat : gedung Iqra lantai 4.11

KONTEKS DATA

Ketua tingkat menagih uang iuran KT: “weh bayarmi iuranmu


bulanan songkolo?”

Mahasiswa 1 : “kaue menagih


terus, inimo dulu lima ribu kubayar
!”

KT: “Terus kapan nubayarki pale


lebihnya!”

Mahasiswa 1 : “adapi kirimanku


bos jangan mako menagih terus
suntili!”

KT: ‘’ suntili janji terus, edede !”

Mahasiswa 1 : “ sabarko bos


kubayarji itu iuranku, anggapa
mako”.

ANALISIS

1. Tuturan di atas menyakiti hati dan tidak baik didengar.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada fisik dan perbuatan.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKebijaksanaan, karena telah memaksimalkan
kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan orang lain.
No Data : 02

Hari/Tanggal : 8 april 2019

Tempat : Parkiran Unismuh Makassar

KONTEKS DATA

Membeli pulsa pada teman Mahasiswa 1 : “pulsa sepulu


ribumu dulu cess!”

Mahasiswa 2 : “tiga belas ribu


harganya boskuu

Mahasiswa 1 : “suntili mahalna?”

Mahasiswa 2 : “tanjannu murah injo


”.

Mahasiswa 1:“siala mahalki injo


bos, diluar dua belas ribuji?”
mahasiswa 2 : “keluar mako pale
jangan mako beli pulsa di saya,
ballisiku ciniko!”

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar dan mengandung sindiran.

2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan.


3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKebijaksanaan, karena telah memaksimalkan
kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan orang lain.
No Data : 03

Hari/Tanggal : 14 April 2019

Tempat : balai siding unismuh makassar

KONTEKS DATA

Mahasiswa yang mencari alamat Mahasiswa 1: “tabe’ dimana


dosennya. alamatnya pak Dahlan?”

Mahasiswa 2: “bisa jako membaca


toh, adaji itu di prodi.”

Mahasiswa 1: “ngapa mako, kasi


tau laloma kapang,sekkena mamo,
santai mako ces duniaji inie

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar dan menyakitkan hati.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimKebijaksanaan, karena telah memaksimalkan
kerugian orang lain dan meminimalkan keuntungan orang lain.
No Data : 04

Hari/Tanggal : 19april 2019

Tempat : Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia

KONTEKS DATA

Meminta absen kelas. Ketua tingkat: “mana abzen kelas,


mari saya yang bawa!”
Mahasiswa: “ini, tapi ingatki nah
foto copyki karena mau dikasi satu
rangkat dosen”.

Ketua tingkat : “gampangmi itu, sini


uang minta sama bendahara!”
mahasiswa: “tidak masukki
bendahara, sakitki”.

Ketua tingkat: “massunu saya mau


bayarki, ini lagi tugas kelompokka
saya juga kerjai baru kamu tdk ada
nubayar. Pore porenu,!”

ANALISIS

1. Tuturan di atas menyakiti hati dan mengandung celaan getir.


2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan.
3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan
dengan MaksimPenerimaan, karena peserta tindak tutur telah
meminimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan memaksimalkan
keuntungan diri sendiri.
No Data : 05

Hari/Tanggal : 27april 2019

Tempat : Prodi Pendidikan bahasa dan sastra indonesia

KONTEKS DATA

Mahasiswa memuji hp temanya. Mahasiswa 1 : “bagusnya HPmu


di’!”

Mahasiswa 2 : Ya, hp mahal ini


ces”.

Mahasiswa 1 : “Hebat…hebat
dimanako beli bro?”

Mahasiswa 2 : “edede jangan mako


tauki, tidak bisa tong jako beli,
bukan levelmu mau pakai hp
begini?”

ANALISIS

1. Tuturan di atas menyakiti hati dan celaan getir.

2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada kesombongan diri dan


prestise.

3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan


dengan MaksimKemurahan, yakni meminialkan rasa hormat pada
orang lain, dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.
No Data : 06

Hari/Tanggal : 27 April 2019

Tempat : ruang perkuliahan

KONTEKS DATA

Dua mahasiswa yang saling Mahasiswa1 : “bagaimana tadi


komunikasi mengenai hasil ujiannya soalnya banyak yang kamu jawab?”

Mahasiswa 2 : “Ya sudah semua,


gue gitu loh…kamu bagaimana?

Mahasiswa 1 : “Huh pusing dari


tadi saya cuma jawab tiga soal
saja, babi, babi, pusing, pusing!”

Mahasiswa 2 : “Hahaha.. kasian


deh lu…”

ANALISIS

1. Tuturan di atas bicara dengan kepahitan dan mengolok-olok/sindiran


pedas.

2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.

3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan


dengan MaksimKerendahan Hati, karena telah meminimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat
pada diri sendiri.
No Data : 07

Hari/Tanggal : 3 Mei 2019

Tempat : balai siding unismuh makassar

KONTEKS DATA

Kedua mahasiswa yang saling Mahasiswa1 : “luar biasa adik saya


membanggakan adiknya msaing- bisa lulus dengan nilai memuaskan!”
masing.
Mahasiswa 2 : “pasti lebih pintar
adik saya karena dia bebas tes
masuk perguruan tinggi tidak sama
dengan kamu..hahahah”

ANALISIS

1. Tuturan di atas bicara dengan kepahitan dan mengolok-olok/sindiran


pedas.

2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.

3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan


dengan MaksimKerendahan Hati, karena telah meminimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan memaksimalkan rasa hormat
pada diri sendiri.
No Data : 08

Hari/Tanggal : 6Mei 2019

Tempat : depan kampus Unismuh

KONTEKS DATA

Seorang mahasiswa yang juga Grab : “Dari pagi saya keluar, tapi
berpropesi sebagai ojol Grab cuma dapat dua puluh ribu.”
mengeluh mengenai hasil
pendapatannya kepada temannya Gojek : “Ah, kata siapa bro,
yang juga berpropesi sebagai ojol di buktinya sekarang saya sudah
perusahaan Gojek. dapet tujuh puluh ribu, hebat kan?
Itu sih kamu aja yang bego dan
malas!”

Grab : “Ah kamu, rezekinya cuma


segini kali ya?”

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar dan mengolok-olok/sindiran.

2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan prestasi.

3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan


dengan MaksimKecocokan , karena telah meminimalkan kecocokan
di antara mereka, dan memaksimalkan ketidakcocokan di antara
mereka.
No Data : 09

Hari/Tanggal : 12 April 2019

Tempat : PMB Unismuh Makassar

KONTEKS DATA

Seorang mahasiswa tingkat akhir Mahasiswa1 : “Gila, ponakan saya


bercerita kepada temannya bahwa tidak lulus tes pertama! Sekarang
keponakannya tidak lulus SMA. susah mau lulus aja tuh!”

mahasiswa 2 : “Hahaha… Kasian


anak zaman sekarang, goblok,
goblok memang sangat manja!”

ANALISIS

1. Tuturan di atas tidak baik didengar, dan mengolok-olok.

2. Sasaran ujaran tersebut mengarah kepada perbuatan dan prestasi.

3. Tuturan ini termasuk ke dalam Pelanggaran Prinsip Kesopanan


dengan MaksimKesimpatian, karena peserta pertuturan
meminimalkan rasa simpati, dan memaksimalkan rasa antipati
kepada lawan tuturnya.
ANALISIS HASIL WAWANCARA DI LINGKUNGAN KAMPUS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

NO PERTANYAAN RESPONDEN KETERANGAN

1 Sudah berapa lama Mahasiswa 3 Sudah semester delapan


anda disini?
Mahasiswa 2 Semester 6

karyawan Sekitar 5 tahun

Dosen Sepuluh tahun

2 Apa yang melatar Mahasiswa 1 Atas arahan orang tua


belakangi Anda
Mahasiswa 2 Karena lulus di sini
memilih kampus ini
ini? karyawan Alumni kampus ini

Dosen Ditempatkan di sini dan saya


juga alumni kampus ini

3 Mulai pukul berapa Mahasiswa 1 Siang sampai sore


dan sampai pukul
Mahasiswa 2 jam 8 pagi sampai jam 3 sore
berapa Anda
berada di kampus karyawan Jam delapan sampai jam 4
ini?
Dosen Jam delapan sampai jam 4

4 Maaf, tadi saya Mahasiswa 1 Wah itu sudah biasa,


mendengar Anda memang sehari-harinya kaya
berbicara dengan begitu
teman Anda,
Mahasiswa 2 Oh…tadi saya becanda aja
pembicaraan yang
Anda lakukan itu karyawan Tadi saya lagi kesel aja.
terdapat kalimat-
kalimat yang agak Dosen Tadi hanya bercanda dan
kasar. Apakah biasanya itu terucap untuk
memang itu sudah teman sejawat dan sahabat
menjadi hal yang dekat.
biasa atau lumrah?

5 Jika Anda berada Mahasiswa 1 Ah sama saja kaya begitu


dalam lingkungan
Mahasiswa 2 Tergantung, bisa sama bisa
berbeda dan situasi
juga tidak
yang berbeda pula,
apakah tuturan karyawan Wah ya berbeda, saya juga
yang Anda ucapkan harus bisa menempatkan diri
akan sama dengan dimana saya harus bertutur
tuturan yang Anda kasar dan tidak
ucapkan di
kampusl? Dosen Saya kalau di tempat lain
ngomongnya tidak kasar
HASIL OBSERVASI
PEDOMAN OBSERVASI

KRITERIA PELANGGARAN
NO PENUTUR TUTURAN KONTEKS
1 2 3 4 5 6
✓ Ketua tingkat yang tidak terima atas pemberian
mahasiswa yang hanya memberinya uang
sebesar lima ribu rupiah. Ia emosi karena merasa
1 KT Suntili
tidak pantas dirinya hanya dibayar lima ribu
rupiah, sementara ia sudah lama dijanji oleh
mahasiswa untuk membayar iurannya
✓ Seorang mahasiswa 1 yang membeli pulsa dan ia
merasa harga pulsa yang dibelinya mahal.
Suntili,
2 MAHASISWA 1 Mahasiswa 1 pun tidak terima, karena
118

tanjanu
menurutnya harga pulsa yang dijual terlalu mahal
dan tidak mahal
✓ Seorang mahasiswa yang sedang mencari
3 MAHASISWA Goblok alamat dosennya, malah dicaci dengan makian
bias jako membaca toh
✓ Seorang ketua tingkat meminta absen malah
KETUA Pore disuruh untuk foto copy, tetapi meminta uang
4
TINGKAT porenu iuran kebendahara malah disuruh pakai dananya
sendiri
PARKIRAN GEDUNG H

TANGGA PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


GEDUNG PMB

PARKIRAN DEPAN GEDUNG FKIP


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Muhammad Harun, atau akrab disapa Harun, lahir di


Wakka 20 Juli 1993. Penulis merupakan anak ke-dua dari
Bapak Muhammad Tang dan Ibu Hasmia. Penulis
beralamat di Lasape Desa Katomporang, Kecamatan
Duampanua, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesis
Selatan. Pada tahun 1999 penulis menempuh pendidikan
di SDN 38 Duampanua Pinrang tahun 1999 – 2005, SMPN 3 Duampanua
Pinrang tahun 2005 – 2008, SMAN 1 Duampanua yang berubah nama
menjadi SMAN 2 Pinrang tahun 2008 – 2011, dan melanjutkan
pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Makassar Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia (2011-2016).

Sebelum menjadi tenaga pengajar di SMK Budi Bangsa Pinrang tahun


2017, penulis sempat bekerja di Bank Mega Makassar selama kurang
lebih 6 bulan.

Semangat yang tinggi walau cobaan silih berganti terus dihadapai demi
keuletan yang tinggi dalam mencari ilmu, dijadikan motivasi dirinya,
ketekunan dalam belajarnya untuk terus belajar dan berusaha hingga
akhirnya penulispun bisa menyelesaikan pengerjaan tugas akhirnya
berupa Tesis. Semoga tesis ini bias memberikan kontribusi yang positif
pada dunia pendidikan.

Pada tahun 2016, penulis melanjutkan studi S2 di Program Pascasarjana


Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sesuai dana yang diberikan
oleh Pemda Kabupaten Pinrang. Akhir kata penulis mengucapkan rasa
syukur yang sebesar-besarnya atas penyelesaian Tesis yang berjudul
“Kesantuna Berbahasa Indonesia Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Makassar (Studi Kasus Mahasiswa Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia)”

Anda mungkin juga menyukai