Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN AKHIR PRAKTIK PENELITIAN SOSIAL

TRADISI GOJLOK SEBAGAI

FENOMENA PENGUATAN MENTAL DI PESANTREN


Dosen pengampu: Dr. Yayan Suryana, M. Ag

Disusun Oleh:

Chafid Hidayat

NIM: 15720039

Dosen Pembimbing:

Achmad Zainal Arifin, M.A., Ph.D

NIP: 197511182008011013

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

2019
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Chafid Hidayat

NIM : 15720039

Jurusan : Sosiologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Humaniora

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penelitian ini merupakan hasil


karya saya dan bukan plagiasi dari karya atau penelitian orang lain.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan karya plagiasi
maka saya bersedia untuk dicabut nilai mata kuliah Praktik Penelitian Sosial ini dan
bersedia untuk mengulang mata kuliah tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya agar dapat
diketahui oleh pembimbing, dosen kordinator mata kuliah Praktik Penelitian Sosial
dan Kaprodi Sisiologi.

Yogyakarta, 23 Mei 2019

Yang bersangkutan,

Chafid Hidayat

NIM. 15720039

II
HALAMAN PERSETUJUAN

TRADISI GOJLOK SEBAGAI

FENOMENA PENGUATAN MENTAL DI PESANTREN

Yang disusun Oleh:

Chafid Hidayat
NIM. 15720039

Telah dibimbing dan telah mendapatkan persetujuan:

Pada tanggal .............................2019

Dosen Pembimbing

Achmad Zainal Arifin, M.A., Ph.D

NIP: 197511182008011013

III
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:

‫ وليس أخو علم كمن هو جاهل‬# ‫تعلّم فليس المرء يولد عالما‬

"Belajarlah! Karena tak seorang pun yang terlahir sebagai Ulama # Dan tidaklah
sama orang yang berilmu dengan orang yang bodoh"

~Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasy

(Imam Asy-Syafi’i)~

PERSEMBAHAN:

Kepada Beliau Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummah, KH. Ahmad


Zabidi Marzuqi dan KH. Asyhari Marzuqi.

Saya persembahkan kepada kedua orang tua kandungku, Bapak Nurcholis


dan Ibu Siti Maryam yang telah mendidik dan membesarkan jasadku sehingga bisa
melanjutkan pendidikan sampai kejenjang kuliah seperti sekarang ini.

Kepada semua orang tua angkat saya yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu namanya, yang berprofesi sebagai guru formal maupun non formal yang
telah mendidik ruhku hingga mempunyai banyak ilmu yang telah diberikan.

Kepada saudara kandung saya Charismanto, Umi Pribawanti dan Alvin


Masykur yang telah memberikan support untuk terus melangkah menggapai
impian.

Untuk teman-teman Sosiologi 2015 seiman seperjuangan yang telah


mewarnai hari-hariku selama dibangku akademik.

Teman-teman angkatan SD-SMA yang terus memberikan pandangan hidup.

Teman-teman santri, pengurus PP. Nurul Ummah kotagede.

Narasumber yang telah memberikan cukup data untuk penelitian ini.

IV
ABSTRAK
Lembaga pendidikan merupakan sebuah tempat yang bertujuan untuk
mendidik maupun mencetak generasi penerus bangsa dengan mengasah pola pikir
dan pola perilaku, oleh karenanya lembaga pendidikan juga dapat dikatakan sebagai
lembaga yang multy capital, Pendidikan sebagai multi capital maksudnya adalah
bahwasanya pendidikan merupakan modal utama sebagai investasi jangka panjang
yang akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang dapat diharapkan bersama
melalui pemberian pengetahuan sejak pendidikan dini. Dimana sebuah lembaga
pendidikan mempunyai banyak modal, baik modal manusia, social, dan budaya.

Pondok pesantren atau pesantren merupakan lembaga pendidikan non


formal yang mengajarkan ilmu-ilmu agama islam dan nilai kemandirian yang
kemungkinan tidak dijumpai di pendidikan formal seperti sekolah-sekolah umum.
Dalam lingkungan pesantren, tentunya terdapat suatu hal yang bisa dikatakan sama
dengan sekolah formal lainnya, dimana terdapat banyak perbedaan antar individu
maupun kelompok, baik dalam fisik, ekonomi, maupun perbedaan karakter.
Sehingga muncul sebuah keinginan untuk merendahkan atau bahkan menghina
orang lain seperti halnya Bully, dalam masyarakat luas bully dipandang sebagai
sebuah hal yang buruk karena dapat merugikan orang lain baik fisik maupun
psikologi orang yang di bully. Fenomena tersebut juga ada dalam bidang
kepesantrenan, namun di pesantren lebih dikenal dengan sebutan Gojlok, fenomena
gojlok ini merupakan sebuah fenomena pesantren dari sekian banyak fenomena
sosial yang ada dalam lingkungan pesantren yang timbul sebab kebiasaan-
kebiasaan yang dialami sehari-hari dan membentuk sebuah tradisi. Tradisi inilah
yang nantinya akan menjadi sebuah sarana untuk melatih dan memperkuat santri,
dimana seorang santri akan diuji kebetahannya didalam pondok pesantren dengan
minim fasilitas dan masyarakat plural yang multikultural.

Keyword: Tradisi, Gojlok, Mental, Pesantren

V
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil a’lamiin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Praktik Sosial (PPS) dengan
baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Junjungan kita
Sayidana Wa Nabiyana Wa Chabibana Wa Syafi’ana Muhammad SAW beserta
keluarganya, sahabat dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan Praktik
Penelitian Sosial yang berjudul “TRADISI GOJLOK SEBAGAI FENOMENA
PENGUATAN MENTAL DI PESANTREN” dibuat untuk memenuhi
persyaratan menyelesaikan mata kuliah Praktik Penelitian Sosial Program Studi
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.

Penulisan Laporan Penelitian Praktik Sosial ini disusun berdasarkan hal-hal


yang telah penulis lakukan selama melakukan penelitian. Selama pelaksanaan
penelian tersebut penulis mendapat banyak ilmu pengetahuan, teman dan
pengalaman yang sangat bermanfaat juga berkesan bagi penulis. Dalam penulisan
Laporan Praktik Penelitian Sosial ini penulis mendapatkan arahan dan bimbingan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada:

1. Bapak Dr. Yayan Suryana, M. Ag selaku Dosen mata kuliah Praktik


Penulisan Sosial.

2. Ibu Dr. Napsiah, S.Sos., M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik,


atas bimbingan, arahan dan masukan selama ini.

3. Bapak Achmad Zainal Arifin, M.A., Ph.D selaku Dosen Pembimbing


Penelitian, sekaligus Ketua Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

4. Kedua Orang Tua yang selalu berusaha membahagiakan anaknya.

VI
5. Semua pihak yang turut memberikan informasi, masukan dan
pengetahuan kepada penulis.

6. Teman-teman yang sudah memberikan semangat untuk penulis demi


kelancaran penulisan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan maupun


kesalahan dalam penulisan Laporan Praktik Penelitian Sosial ini, Oleh sebab itu
apabila terdapat kesalahan dalam penulisan laporan ini, penulis memohon maaf
kepada pembaca serta mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
memenuhi kekurangan dalam penulisan laporan ini demi perbaikan laporan
dikemudian hari.

Penulis berharap semoga Laporan Praktik Penelitian Sosial ini dapat


menjadikan bahan referensi, memberikan banyak informasi yang bermanfaat, serta
menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca, peneliti maupun masyarakat.

Yogyakarta, 23 Mei 2019

Penulis

VII
DAFTAR ISI
LAPORAN AKHIR PRAKTIK PENELITIAN SOSIAL .............................................. I
TRADISI GOJLOK SEBAGAI ......................................................................................... I
FENOMENA PENGUATAN MENTAL DI PESANTREN ........................................... I
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ II
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................................ III
MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................................... IV
ABSTRAK ......................................................................................................................... V
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... VI
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 3
C. Tujuan .................................................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 4
E. Kajian Pustaka ...................................................................................................... 5
F. Kerangka Teori ..................................................................................................... 7
Pondok Pesantren ..................................................................................................... 7
Tradisi Pesantren ...................................................................................................... 8
Bullying .................................................................................................................... 10
Macam - macam Bullying ....................................................................................... 12
Gojlok ....................................................................................................................... 14
G. Metode Penelitian............................................................................................ 15
1. Jenis penelitian .................................................................................................. 15
2. Subyek dan Lokasi penelitian ........................................................................... 16
3. Sasaran penelitian ............................................................................................. 17
4. Metode pengumpulan data ................................................................................ 17
5. Metode analisis data .......................................................................................... 18
6. Triangulasi data ................................................................................................. 19

VIII
H. Sistematika Pembahasan ................................................................................ 19
BAB II .............................................................................................................................. 20
GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN NURUL UMMAH KOTAGEDE 20
A. Letak Geografis lokasi penelitian ...................................................................... 20
B. Sejarah Pondok Pesantren Nurul Ummah ....................................................... 22
C. Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren Nurul Ummah ..................................... 24
D. Struktur Kepengurusan dan pengelolaan Pondok Pesantren Nurul Ummah
25
E. Kondisi Umum PP. Nurul Ummah.................................................................... 29
1. Bangunan Fisik dan Fasilitas Pesantren ....................................................... 29
2. Kondisi umum santri ...................................................................................... 31
BAB III............................................................................................................................. 35
DINAMIKA PERKEMBANGAN TRADISI DI PESANTREN ................................. 35
A. Pendidikan Pesantren ......................................................................................... 35
B. Tradisi Pesantren ................................................................................................ 39
C. Gojlok ................................................................................................................... 40
D. Praktik Gojlok ..................................................................................................... 43
E. Kontruksi Mental ................................................................................................ 44
BAB IV ............................................................................................................................. 46
GOJLOK SEBAGAI TRADISI UNTUK MEMPERKUAT MENTAL DI
LINGKUNGAN PESANTREN ..................................................................................... 46
A. Gojlok Sebagai Metode....................................................................................... 46
B. Penguatan Mental Melalui Gojlok .................................................................... 48
BAB V .............................................................................................................................. 50
KESIMPULAN, KRITIK DAN SARAN ...................................................................... 50
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 50
B. Kritik dan Saran ................................................................................................. 50
1. Kritik ................................................................................................................ 50
2. Saran ................................................................................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 52
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................. 57

IX
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Banyaknya perilaku yang agresif maupun tindakan bersifat menekan yang


terjadi di kehidupan sehari-hari membuat orang lain yang ada disekitarnya merasa
tidak nyaman, tindakan ini sering disebut juga dengan perilaku bullying, perilaku
bullying merupakan sebuah sikap ataupun perilaku yang bersifat merendahkan atau
menekan secara psikis maupun biologis yang merugikan orang lain. Perilaku ini
tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah dasar saja tetapi juga tidak menutup
kemungkinan terjadi di perguruan tinggi, pun juga perilakunya terdiri dari senior,
dosen atau guru bahkan orang tua sekalipun.
Perilaku bullying juga telah merambah kedalam lembaga-lembaga
pendidikan formal maupun non formal, sehingga menurut hasil konsultasi Komisi
Nasional Perlindungan Anak di 18 Provinsi di Indonesia (2007) memperlihatkan
bahwa sekolah juga merupakan tempat yang berbahaya apabila kasus bullying tidak
diantisipasi.

World Vision Indonesia menunjukan 1.891 kasus kekerasan anak pada


2009 tercatat sebanyak 891 kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah, seperti
tawuran, pemalakan, pemukulan, menendang, menampar dan intimidasi, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2012 merilis data kasus kekerasan
yang terjadi pada anak di sekolah. Disebutkan 87,6% anak Indonesia masih
mengalami kekerasan di sekolah, dengan perincian 29% dari guru, 28% dari teman
di lain kelas (Unsur kekerasan, 2012). Menurut penelitian Yayasan SEJIWA (2008)
bahwa kekerasan, baik yang dilakukan oleh guru kepada siswa maupun dari siswa
kepada sesama siswa, terjadi di semua sekolah yang terlibat penelitian. Bentuk
kekerasan yang meliputi bullying verbal (mengolok-ngolok, mengejek, komentar
ofensif) psikologis (intimidasi, ancaman, ejekan) serta fisik (memukul, menendang,
menampar) dilaporkan oleh 66.1% siswa SMP dan 67.9% siswa SMA. penelitian
yang dilakukakan oleh SEJIWA (Yayasan Semai Jiwa Amini), SEJIWA adalah
sebuah organisasi nirlaba yang berupaya mendorong perlindungan anak di
Indonesia, khususnya untuk mencegah dan mengatasi peisu-isu kekerasan terhadap
anak baik di dunia nyata maupun online yang didirikan pada tahun 2004. Ia
mengatakan bahwasanya permasalahan bullying ini merupakan suatu permasalahan
yang signifikan dalam dunia pendidikan, kejadian ini ditandai dengan banyak
korbanberjatuhan dari tahun ketahun, baik terluka secara fisik maupun secara
mental. Umumnya siswa mempersepsikan kekerasan Bullying yang mereka alami
ataupun saksikan di sekitar mereka lebih berat daripada persepsi guru dan kepala
sekolah (Desiree, FISIP-UI, 2013). Kekerasan antar siswa di tingkat SMP secara
berurutan terjadi di Yogyakarta (77.5%), Jakarta (61.1%) dan Surabaya (59.8%).
Kekerasan di tingkat SMA terbanyak terjadi di Jakarta (72.7%), kemudian diikuti
Surabaya (67.2%) dan terakhir Yogyakarta (63.8%).1

Dari sekian banyak permasalahan bullying yang terjadi disekolah-sekolah


umum tidak menutup kemungkinan bullying juga ada dilingkungan pesantren,
dimana para santri didik dan diajarkan ilmu agama hampir 24 jam non stop tetapi
masih saja bullying atau lebih akrab ditelinga santri disebut dengan gojlok
menggojlok terjadi, mengingat bahwasanya santri juga manusia tentunya ada yang
baik dan ada yang buruk akhlaknya, disamping itu juga tidak semua santri berlatar
belakang yang sama.

Kegiatan bullying sering digambarkan dengan kekerasan fisik maupun non


fisik yang bahkan dapat mengalami keterbelakangan mental, oleh karena itu
bullying seakan-akan merupakan momo yang menakutkan. Hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwasanya lembaga pendidikan pesantren yang merupakan tempat
untuk mencari ilmu agama maupun ilmu umum yang dikenal dengan pendidikan
moralnnya atau pendidikan karakternya terdapat hal serupa dengan lembaga
pendidikan formal pada umumnya, salah satunya adalah gojlok.

1
Desiree, skripsi. “bullying dipesantren” (depok: Universitas Indonesia, 2013)

2
Dari perbedaan kedua istilah diatas yaitu antara bullying dan gojlok menarik
perhatian penulis mengapa penyebutan perbuatan menyimpang diatas berbeda, apa
yang membedakan antara keduanya? Sebagaimana disebutkan Abdurrahman
Wahid, pesantren sebagai subkultur memiliki nilai-nilai dan budayanya yang khas
dan unik, yang dipegang dan mentradisi dalam kalangan pesantren.2 Hal ini
menambah ketertarikan penulis untuk meneliti lebih dalam tentang kehidupan
pesantren yang dianggap unik dank has melalui tradisi gojlok ini. Maka dari itu
penulis akan membahas mengenai tradisi gojlok sebagai fenomena pondok
pesantren.

Bisa dipastikan bahwasanya perspektif seseorang akan berbeda sesuai latar


tempat dan keadaan yang berbeda pula, hal ini membuat penulis merasa ingin
mencari tahu dan memberi tahu mengapa terjadi perbedaan sudut pandang
mengenai bullying dan gojlok. Secara garis besar, gojlok dan bullying kurang lebih
mempunyai pengertian yang sama, namun dalam hal-hal tertentu akan terdapat
perbedaan diantara keduanya, Bahkan akan menjadi menarik apabila disuguhkan
dengan cara yang berbeda pula. Untuk itu, yang jadi kegelisahan saat ini atau hal
yang melatar belakangi terjadinya penelitian ini adalah bagaimana perilaku gojlok
ini berlangsung dalam kehidupan sehari – hari pesantren, yang mana notabene
merupakan tempat untuk mencari ilmu agama dan tempat pembentukan pesantren.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, bahwasanya ada sebuuah


tanda tanya besar mengenai gojlok ini.

1. Pertama, apakah gojlok ini dan bagaimana pengaruh atau efek


samping dari perilaku gojlok ini, baik secara psikologis maupun
sosiologis?

2
Syaroni, zusron, skripsi“model pengelolaan komunikasi dalam pesantren”. (Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2013).

3
2. Kedua, apakah yang melatar belakangi munculnya perilaku gojlok,
sehingga ada di lingkungan pesantren yang notabene tempat
pembentukan karakter?

C. Tujuan

Tujuan adalah untuk kita fokus pada hasil permasalahan yang ada
agar tetap linear, maka dari itu, penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui deskripsi dari pengertian gojlok ini menurut


pandangan pesantren serta bagaimana pengaruhnya, baik dari
segi psikologis maupun sosiologis.
2. Mengetahui bagaimana perilaku gojlok ini terkonstruksi?

D. Manfaat Penelitian

Adanya sebuah penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan


sumbangsih ataupun manfaat yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Maka,
dalam penelitian kali ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para peneliti
atau pembaca sedang atau akan mencari sebuah referensi literature dengan tema
garis besar yang sama untuk digunakan sebagai sebuah karya ilmiah ataupun
disiplin ilmu lainnya, maka dalam penelitian ini peneliti membagi dua manfaat
penelitian, yaitu:
1. Teoritis
Dalam penelitian ini, diharapkan dapat menyuguhkan
tambahan ilmu pengetahuan sehingga akan memperkaya
literature bacaan dan diharapkan pula dapat menambah
referensi kepustakaan ataupun literature bacaan mengenai
pandangan kehidupan pesantren serta mengetahui
bagaimana perilaku gojlok turut menjadi bagian dari
kehidupan santri.
2. Praktis

4
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
wawasan mengenai praktik perilaku gojlok yang ada dalam
lingkungan pesantren dan bagaimana aksi gojlok tersebut
bisa terjadi.

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang pertama, penelitian dilakukan oleh desiree departemen


atau jurusan ilmu kesejahteraan social, fakultas ilmu social dan ilmu politik,
Universitas Indonesia, yang dalam skripsinya mengangkat judul “bullying di
pesantren”. Ia menjelaskan bahwasanya pihak pesantren maupun santri sendiri
sebenarnya sudah banyak yang mengetahui mengenai perilaku bullying, namun dari
penjelasan yang terdiri dari santri maupun pihak pesantren dirasa kurang jelas
karena keduanya menjelaskan secara garis besar yang sama bahwasanya bullying
merupakan tindakan yang membuat seseorang tidak nyaman, mempengaruhi
mental, dan juga kekerasan atu tindakan secara fisik maupun psikis. Keduanya
mengatakan bahwa ia menegenal istilah bullying pada acara seminar anti bullying
oleh mahasiswi Universitas Indonesia tahun 2011, meskipun sedikit banyaknya
elemen pesantren yang mengetahui mengenai kasus bulling sudah lumayan banyak,
namun dikira pemahaman mengenai akibat bullying itu sendiri masih kurang,
Karena meskipun seminar anti bullying sudah diadakan tetap saja masih banyak
kasus bullying yang terjadi di pesantren yang tidak disebutkan namanya ini.3

Dari penelitian desire, dirasa kurang cukup memberi penjelasan mengenai


bullying di Pesantren, Karena hanya memandang dari arah yang subyektif saja dan
hanya menganggap bahwasanya bullying merupakan suatu hal yang negatif tetapi
tidak melihat dari segi positif maupun obyektifitasnya.

Kajian pustaka yang kedua, dilakukan oleh Bibit Darmalina mahasiswa


Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Yogyakarta, Ia
mengambil penelitian mengenai “Perilaku School Bullying di SD N Grindang,

3
www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S45216-Desiree. Diakses pada tanggal 19 april
2018

5
Hargomulyo, Kokap, Kulon Progo, YOGYAKARTA dengan menggunakan
metode kualitatif karena menurutnya, penelitian ini merupakan penelitian dari dasar
fakta dan dapat dijelaskan secara gambang oleh penulis. Dari hasil penelitiannya ia
mendapati bahwasanya para guru hanya mengenal kekerasan secara umum namun
belum mengenal lebih dala mengenai School Bullying, sehingga para guru
menganggap bahwa hal kekerasan semacam itu adalah hal yang wajar dan belum
melewati batas tapi pada kenyataannya, di SD N Grindang telah terjadi School
Bullying. Ada banyak sekali perilaku yang dapat dikatakan sebagai sikap bullying
di SD N Grindang seperti halnya kekerasan verbal maupun non verbal, fisik ataupun
non fisik sehingga seseorang akan merasa senang ketika setelah melakukan
pembullyian begitupun korban akan lebih menjadi pendian dan tidak berani
melawan.4

Kajian pustaka yang ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Arif
Widianto Program Studi Sosiologi, fakultas ilmu social dan humaniora, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tahun angkatan 2007, yang membahas
tentang “perilaku gasab dilingkungan pesantren” pesantren yang dimaksud adalah
Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede, dalam skripsinya ini ia membahas
bahwa banyak perilaku menyimpang yang dilakukan santri dalam pondok
pesantren, salah satunya yaitu perilaku gasab atau ghosob ia menjelaskan bahwa
budaya gasab sangat sulit dihilangkan dalam dunia pesantren, bahkan ketika sedang
observasi langsung ia mendapati plang yang bertuliskan “kang, dilarang ghosob”
tetapi masih banyak yang melanggar peraturan tersebut.5

Mengenai penjelasan diatas, dari segi tempat penelitinnya sama, namun


dalam segi pembahasan ataupun yang diteliti berbeda. Dari kesamaan tempat inilah,
kajian pustaka ini diharapkan dapat membantu banyak mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan PP. Nurul Ummah sebagai tambahan data ataupun referensi
nantinya.

4
Darmalina, bibit, Skripsi Prilaku School Bullying di SD N Grindang, hargomulyo,
kokap, kulonprogo,(YOGYAKARTA: Universitas Islam Negeri Yogyakarta,2014.
5
Arif Widianto, Ahmad, skripsi perilaku gasab dilingkungan pesantren (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2011).

6
F. Kerangka Teori

Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakn tempat kehidupan yang unik yang mana
didalam mempunyai banyak unsur perbedaan karena santrinya berasal dari latar
belakang dan suku yang berbeda, namun hal tersebutlah yang kemudian menjadi
akulturasi kebudayaan. Bahkan, dalam pondok pesantren mempunyai kebiasaan
yang mungkin sangat berbeda dengan lingkungan sekitar pesantren, seperti halnya
mencucu pakaian dimalam hari, gotong royong dimalam hari dan masih banyak lagi
yang lainnya. Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis
Agama Islam di Indonesia. Pondok berasal dari kata funduq yang berarti tempat
menginap atau asrama, sedangkan kata pesantren dengan awalan “pe” dan akhiran
“an”, berasal dari kata santri yang berarti penuntut ilmu atau diartikan juga guru
ngaji.6 Secara esensial, antara pondok dengan pesantren mempunyai makna yang
sama, namun dalam hal ini Asrama atau penginapan dipandang menjadi pembeda
antara pondok dan pesantren.7 Pada pesantren, para santri tidak disediakan pondok
atau asrama didalam komplek pesantren tersebut, mereka tinggal disekeliling
pesantren (santri kalong) dimana metode pendidikan dan pengajaran agama islam
diberikan dengan sistem wetonan, yaitu para santri berduyun – duyun pada waktu
tertentu.8 Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mempunyai ciri – ciri yang
banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh pribadi para pendiri atau para
pemimpinnya, serta cenderung untuk tidak mengikuti suatu pola jenis tertentu.

Hasan MK berpendapat bahwa “Pondok pesantren adalah wiraswasta dalam


sektor pendidikan keagamaan, luas, variasi, dan bentuk – bentuknya tidak dibatasi
oleh peraturan pemerintah dan hampir peraturan – peraturan keagamaan.9
Sedangkan menurut M. Arifin, “suatu lembaga pendidikan agama islam yang
tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama atau komplek

6
Muhammad Daud Ali, SH, Lembaga – lembaga Islam di Di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Gratindo Persada, t.t), hlm 145.
7
Qomar mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi,(Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t) [buku] hlm. 1.
8
Ibid, hlm. 1
9
Manfred Ziamek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 97.

7
dimana pengajarannya menggunakan sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya dibawah kedaulatan Leadership seorang kyai (Pengasuh) dengan ciri
khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal”. Secara garis
besar, tipologi pesantren bisa dibedakan paling tidak menjadi tiga jenis, walaupun
agak sulit untuk membedakan secara ekstrim diantara tipe-tipe tersebut yaitu
salafiyah (tradisional), khalafiyah (modern) dan terpadu.10

Tradisi Pesantren
Tradisi dan budaya merupakan sebuah kata yang sangat familiar ditelinga
kita, namun masih yang belum mengetahui mengenai perbedaan antara keduanya.
Untuk itu, peneliti akan menjelaskan sedikit mengenai pengertian budaya kemudian
dilanjutkan dengan perngertian tradisi, khususnya tradisi di Pesantren. Pengertian
budaya menurut A. L Kroeber dan C. Kluckhohn mempunyai 160 lebih mengenai
definisi kebudayaan tersebut, terkandung dalam buku mereka yang berjudul
“Culture, a Critical Review of Concepts and Definitions”.11 Secara etimologis,
Koentjaraningrat menyatakan bahwasanya “kata budaya berasal dari kata budhayah
dalam bahasa Sanskerta, yang mana merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang
berarti budi atau akal, bisa dikatakan bahwasanya kebudayaan merupakan hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal”.12 Ada banyak sekali pengertian mengenai
budaya ini, namun secara garis besar adalah satu unit Intrepetasi, ingatan, dan
makna yang ada dalam manusia bukan hanya sekedar kata – kata, yang meliputi
kepercayaan, nilai- nilai dan norma, kebudayaan akan mempengaruhi perilaku
manusia karena setiap orang akan memunculkan kebudayaannya ketika ia bertindak
dan perlu diingat bahwasanya budaya melibatkan karakteristik suatu kelompok
bukan sekedar individu.13

10
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 45.
11
Zuhry, M. Syaifuddien, jurnal Budaya Pesantren dan Pendidikan Karakter Pada
Pondok Pesantren Salaf, (Yogyakarta: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Walisongo, 2011),
hlm. 290, Vol. 19, No. 2 (http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/159/140
diakses pada tanggal 8 Mei 2019)
12
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia,
1976), hlm. 19.
13
Liliweri Alo, Buku Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta:
Penerbit Lkis, 2002), hlm. 10

8
Tradisi menurut KBBI adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek
moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.14 Tradisi atau disebut juga
dengan kebiasaan merupakan sesuatu yang sudah dilaksanakan sejak lama dan terus
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, seringkali dilakukan
oleh suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama termasuk juga
pesantren. Tradisi dalam arti yang sempit yaitu suatu warisan-warisan sosial khusus
yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap bertahan hidup di masa kini, yang
masih tetap kuat ikatannya dengan kehidupan masa kini.15 Jika mendengar kata
pesantren, biasanya orang akan memberikan perspektif bahwasanya kehidupan
pesantren merupakan kehidupan tradisional yang unik dan dengan cara yang
berbeda – beda pada setiap pesantren. Selama ini pesantren dianggap sebagai
benteng perlindungan tradisi, sehingga orang pesantren maupun kaum Nahdlyin
yang berbasis pada pendidikan pesantren itu disebut sebagai kaum tradisional.16
Namun narasi tentang pesantren yang melekat pada ketradisionalan ini justru
memberikan banyak spekulasi perspektif, apakah ini merupakan suatu kebanggan
ataukah suatu hinaan, sebab tak menutup kemunkinan bahwa tradisi juga banyak
dusalah pahami dan disalahletakkan. Perkembangan modernisme disambut dengan
baik dikalangan pelajar terutama yang pernah mengenyam pendidikan barat,
sehingga ia tidak mengembangkan modernitas yang berbasis pada tradisi, tetapi
menerapkannya secara letterlijk. Sehingga ide barat sama sekali tidak dicoba
dipadukan dengan dengan gagasan lama bangsa ini, bisa disimpulkan bahwasanya
modernitas menjadi lawan baru bagi tradisionalitas, sesuatu dapat dikatakan
modern apabila dapat meninggalkan hal – hal yang bersifat tradisional. Ketika
semua aspek kehidupan telah terserap ke dalam logika modernisme yang
werternized, dengan segala implikasi positif negatifnya, maka dunia pesantren terus
bertahan pada cara berpikir lama, dan terus mengadakan penyesuaian dengan
kemodernan yang ada, tetapi masih merujuk pada sumber tradisi, sehingga

14
https://kbbi.web.id (diakses pada tanggal 9 Mei 2019)
15
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/10/pengertian-tradisi-tujuan-fungsi-
macam-macam-contoh-penyebab-perubahan.html (diakses pada tanggal 9 Mei 2019)
16
Risalah Redaksi http://www.nu.or.id/post/read/7026/makna-tradisi-pesantren (diakses
pada tanggal 9 Mei 2019)

9
dinamikanya relatif lambat, sebab segala sesuatu harus diseleksi, ditakar menurut
budaya dan tradisinya sendiri secara mandiri. Dari situlah Alm. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) menilai pesantren sebagai subkultrur dari kultur nasional, karena
ia memiliki tradisi sendiri yang unik dan independen, terbebas dari tekanan
modernisme yang hegemonik.17

Bullying
Bullying berasal dari kata bully, yang dalam bahasa inggris yang
berarti
penggertak, orang yang mengganggu orang lemah, menggertak, mengganggu
(Echols dan Hassan, 1992:87).18 Menurut Ken Rigby, bullying adalah sebuah hasrat
untuk menyakiti orang lain. Olweus(2003) mendefinisikan bullying sebagai
tindakan negative dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan
oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, dimana terdapat ketidakseimbangan
kekuatandan korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya.19Aksi
ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak
bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan senang.20 Sedangkan
menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak adalah kekerasan fisik dan psikologis
berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang
yang tidak mampu mempertahankan diri.21 Jadi, melihat dari keterangan yang telah
dipaparkan diatas bahwasanya sikap ataupun perilaku bullying merupakan sebuah
tindakan yang kurang baik karena akan menimbulkan adanya tekanan mental yang
dapat memberikan pengaruh negative bagi korban bully atau bahkan rawan
terjadinya konflik antar individu maupun kelompok.

17
Risalah Redaksi http://www.nu.or.id/post/read/7026/makna-tradisi-pesantren (diakses
pada tanggal 9 Mei 2019)
18
Rachmijati, Cynantia, jurnal Bullying dalam dunia pendidikan (Cimahi: STKIP
Siliwangi, 2015).
19
Irmayanti, Nur, pola asuh otoriter, self esteem dan perilaku bullying, jurnal penelitian
psikologi(Universitas Wijaya Putra, Surabaya: 2016). Vol. 07, no. 1
20
Ponny Retno Astuti, Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan Pada
Anak (Jakarta: UI Press, 2008) hlm. 3
21
Fitria Chakrawati, Bullying, Siapa Takut?. (Solo: Tiga Ananda, 2015) Cet. 1, hlm. 11

10
Pengertian bullying:22

 Menurut kamus Webster, makna dari kata bullying adalah


penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan tanpa motif tapi
dengan sengaja dilakukan berulang-ulang terhadap orang
yang lebih lemah.
 Adapun menurut Yayasan SEJIWA, bullying adalah suatu
situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan orang/kelompok kepada seseorang hingga
membuat korban merasa terintimidasi.
 Secara umum bullying dapat diartikan sebagai sikap agresi
dari seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk
menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental.

Setelah kita lihat pengertian bullying diatas, apapun definisinya


yang pasti perilaku tersebut sangat merugikan orang lain dan tidak patut
untuk dipraktikan.

Menurut penelitian yang dilakukan untuk pemerintah pada 2009,


hampir separuh anak-anak di Inggris (46 persen) berkata mereka pernah di-
bully23. Dari 2011 hingga Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan
terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di
bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI
sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar,
diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar.24 Biasanya yang
menjadi korban pada umumnya adalah anak yang lemah, pemalu, pendiam,
dan special (cacat, tertutup, pandai, cantik, atau punya ciri tubuh tertentu),

22
Ghanita, fisda, “Definisi Bullying, Apakah arti kata bullying”, dalam
www.academia.edu, diakses pada tanggal 23 maret 2018.
23
Nicola Morgan, Panduan Mengatasi Stres bagi Remaja, Terj. dari The Teenage Guide
of STRESS oleh Dewi Wulansari, (Jakarta: Penerbit Gemilang, 2014) Cet. I, hlm. 137
24
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2014), KPAI : Kasus Bullying dan Pendidikan
Karakter, diakses pada tanggal 25 mei 2018 dari http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-
dan-pendidikan-karakter

11
yang dapat menjadi bahan ejekan.25 Sebuah riset yang dilakukan oleh LSM
Plan International dan International Center for Research on Women
(ICRW) yang dirilis awal bulan Maret 2015 lalu menunjukkan terdapat 84%
anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih
tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%.26Data lain lagi menyebutkan
bahwa jumlah anak sebagai pelaku bullying di sekolah mengalami kenaikan
dari 67 kasus pada 2014 njadi 79 kasus di 2015.27

Macam - macam Bullying


Menurut Yayasan Sejiwa (seperti dikutip dari Muhammad), bentuk-bentuk
bullying dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:

a. Bullying fisik, meliputi tindakan: menampar, menimpuk, menginjak kaki,


menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, serta menghukum
dengan berlari keliling lapangan atau push up.

b. Bullying verbal, terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran,


seperti memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan
umum, menuduh, menyebar gossip dan menyebar fitnah.

c. Bullying mental atau psikologis, merupakan jenis bullying paling


berbahaya karena bullying bentuk ini langsung menyerang mental atau
psikologis korban, tidak tertangkap mata atau pendengaran, seperti
memandang sinis, meneror lewat pesan atau sms, mempermalukan, dan
mencibir.28

25
Ponny Retno Astuti, Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan Pada
Anak (Jakarta: UI Press, 2008) hlm. 1
26
Edupost (2015) Riset ICRW: 84 persen Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah,
diakses pada tanggal 25 mei 2018 dari http: edupost.id/berita-pendidikan/riset-icrw-84-persen-
anak-indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah
5 Qommarria Rostanti (2015), KPAI: Kasus Bullying
27
Qommarria Rostanti (2015), KPAI: Kasus Bullying di Sekolah Meningkat Selama
2015, diakses pada tanggal 24 mei 2018 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/
umum/15/12/30/o067zt280-kpai-kasus-bullying-di-sekolah-meningkat-selama-2015
28
Muhammad, Aspek Perlindungan Anak dalam Tindak Kekerasan (Bullying) terhadap
Korban Kekerasan di Sekolah (Studi Kasus di SMK Kabupaten Banyumas, Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 9 No. 3, 2009

12
Berikut ini adalah para ‘peran’ dalam kegiatan bullying29 :

1. Bully yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin,


berinisiatif dan aktif terlibat dalam perilaku bullying.
2. Asisten bully, juga terlibat aktif dalam perilaku bullying,
namun ia cenderung begantung atau mengikuti perintah
bully.
3. Rinfocer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying
terjadi, ikut menyaksikan, mentertawakan korban,
memprofokasi bully, mengajak siswa lain untuk menonton
dan sebagainya.
4. Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan
membantu korban, sering kali akhirnya mereka menjadi
korban juga.
5. Outsider adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu terjadi,
namun tidak melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli.

Hal yang Umum Dilakukan Anak Ketika Terjadi Bullying:30

1. Komunikasi Pasif – anak cenderung diam saja, tidak


melawan karena takut dan akhirnya terus menerus menjadi
korban
2. Komunikasi Agresif – anak yang merespon dengan
kemarahan. Misalnya, jika dia dipukul akan balas pukul,
diejek akan membalas dengan ejekan dan begitu seterusnya
3. Komunikasi Asertif – anak yang dapat
mengkomunikasikan rasa tidak sukanya dengan baik, tetap

29
http://cynantia-rachmijati.dosen.stkipsiliwangi.ac.id/2015/01/jurnal-bullying-dalam-
dunia-pendidikan/ http://cynantia-rachmijati.dosen.stkipsiliwangi.ac.id/2015/01/jurnal-bullying-
dalam-dunia-pendidikan/
30
http://sejiwa.org/a-z/ (diakses pada tanggal 16 Mei 2018)

13
menghargai lawan bicara dan tetap percaya diri. Asertif
inilah yang terbaik.

Menurut SEJIWA, Dampak Adanya Bullying bagi korban ada


lima hal:31

1. Secara akademis : Prestasi belajar buruk, sulit konsentrasi


dalam belajar, tidak semangat ke sekolah hingga phobia
sekolah
2. Secara sosial : Pemalu, mengucilkan diri, pasif, tidak
percaya diri dan sulit bergaul
3. Secara psikologis : Murung, depresi, ingin melarikan diri
bahkan bunuh diri.
4. Secara fisik : Sakit-sakitan, mudah cemas, tampak tidak
sehat, menghindari kontak mata, bahasa tubuh menunjukkan
ketidak percayaan diri.
5. Terhadap masa depannya:

 Jika korban tidak cepat bangkit, bisa terus merasa


menderita karena hidup dalam trauma
 Pada pelaku, jika terbiasa dengan kekerasan, maka
mungkin saja menjadi pelaku criminal di masa
mendatang

Gojlok

Setelah kita mengetahui bully panjang lebar diatas, sekarang kita akan lihat
bagaimana komparatifme bully denga gojlok, secara umum memang sedikit mirip,
namun bagaiman dengan penelitian yang lebih khusus untuk menggali informasi
mengenai tentang gojlok ini. Salah satu tradisi yang ada dalam pesantren adalah
gojlokan. Tradisi gojlokan ini merupakan tradisi dan sekaligus hiburan untuk

31
Ibid, (diakses pada tanggal 16 Mei 2018)

14
menertawai seseorang sebagai bentuk respon atas sebuah kejadian yang
berlangsung dengan memutar arah psikologi seseorang. Tradisi ini merupakan
sebuah fenomena yang unik dan membahagiakan sekaligus menyakitkan. radisi
yang seperti ini sesunguhnya tradisi yang sangat unik dan susah untuk dipraktikan
dalam kehidupan sehari-hari, Ia butuh keahlian khusus, serta yang tak kalah penting
Ia juga butuh kedewasaan mental yang sangat tinggi. Namun tidak semua orang dan
perilaku bisa digojloki, karena seseorang yang digojloki dengan yang menggojloki
mempunyai kedekatan relationship yang kuat, sehingga semakin akrab suatu
hubungan maka akan semakin “parah” juga kadar gojlokan tersebut. Ekspresi rasa
cinta dan kedekatan antar santri kerap diungkapkan lewat seberapa “liberal” gaya
guyonan mereka atau dikalangan anak muda sekarang menyebutnya “seberapa
receh”. Tahun 1969, dua filsuf Jerman, Theodor Adorno dan juga Max Horkheimer
memperkenalkan sebuah metode dalam disiplin psikologi yang mereka namai
dengan dengan Reverse Psikology (psikologi terbalik). Metode ini sesungguhnya
memanfaatkan emosi negative dalam diri manusia yang ada kenyatannya
setiapotang memiliki kecenderungan untuk melawan arahan.32 Berbicara mengenai
gojlok, sekilas terbayang mengenai sosok Gus Dur yang bakat dalam jatuh
menjatuhkan, dampaknya bisa dilihat bahwasanya Beliau merupakan sosok yang
mempunya kelapangan psikologi dan kematangan mental, sehingga tidak diragukan
lagi jika Beliau merupakan sosok yang selalu menerima realitas pluralisme bangsa
indonesia dari ke-Bhinekaan sebuah kultural, yang kemudian Beliau dinobatkan
sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.

G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian

Adapun jenis penelitian dalam penelitian ini menggunakan


penelitian kualitatif deskriptif, karena dianggap sesuai dengan tema
dan judul penelitian yang akan menjadi pokok pembahasan serta
sesuai subyek penelitian. Subyek penelitian adalah sumber data

32
https://seputarnu.com/2015/11/11/tradisi-gojlokan-santri/ (diakses pada tanggal 9 Mei
2019)

15
penelitian, darimana data dapat diperoleh. Walaupun model
penelitian seperti ini dipandang masih banyak kelemahan seperti
pengumpulan data yang tidak sitematis, sangat individual, kurang
ilmiah dan sukar dilakukan pelacakan terhadap data yang terkumpul
dan hasilnya diragukan33. Peneltian kualitatif dianggap sebuah cara
yang cocok untuk melakukan pendekatan-pendekatan penelitian
yang mengamati terhadap realitas langsung. Pendekatan ini
dilakukan untuk mengamati perilaku santri sebagai realitas sosial.

2. Subyek dan Lokasi penelitian


Subyek penelitian ini adalah santri dan pengurus Pondok
Pesantren Nurul Ummah Kotagede, Yogyakarta.34 Individu yang ada
dalam lingkungan pesantren akan menjadi subyek penelitian, namun
tidak semua santri ataupun pengurus yang akan menjadi informan,
hanya beberapa santri dan pengurus yang akan diambil sebagai
sampel dari jumlah populasi yang ada.
Alasan mengapa memilih subyek dan lokasi penelitian di
Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta bukan
semata – mata karena jangkauan yang dekat ataupun yang lainnya
akan tetapi peniliti menganggap bahwa budaya gojlok dalam
pesantren merupakan fenomena yang banyak terjadi dalam
lingkungan pesantren, yang mana dari beberapa pesantren dipilihlah
Pondok Pesantren Nurul Ummah sebagai sampel data. Pemikiran
subyek ini berawal pada saat acara rutinan malam jum,at yang mana
bertepatan dengan acara pidato 3 bahasa yang mana pada akhir acara
para santri baru diwajibkan untuk memperkenalkan diri, kemudian
banyak santri lama yang mempunyai motivasi sendiri-sendiri
menggojlok santri baru dengan pertanyaan-pertanyaan unik dan

33
Suharsimi, Arikunto, prosedur penelitian, suatu pendekatan dan praktek. (Jakarta:
rineka Cipta, 2002), hlm:10.
34
Istilah santri digunakan untuk meyebut seseorang yang menuntut ilmu dalam pondok
pesantren, pengurus pesantren merupakan pengelola pesantren.

16
dengan jawaban yang mungkin tidak masuk akal, dan disitulah
peneliti melihat bahwasanya memang budaya gojlok ada dalam
dunia pesantren khususnya di Pondok Pesantren Nurul Ummah.
3. Sasaran penelitian
Sasaran penelitian ini adalah semua yang menjadi elemen
atau masyarakat pesantren, mulai dari santri hingga pengurus
pesantren atau bahkan pengasuh bila memungkinkan.
4. Metode pengumpulan data
i. Observasi

menurut Sugiyono (2009:144) adalah “Teknik


pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila
dibandingkan dengan teknik yang lain. Observasi tidak
terbatas pada orang, tetapi juga obyek-obyek alam yang lain.

Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan analisis


langsung didalam pondok pesantren yang terkait sebagai
subyek penelitian, sehingga akan mendapatkan data yang valid
terkait tema yang akan dibahas.

ii. Wawancara

Menurut P. Joko Subagyo (2011:39) “Suatu kegiatan


dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung
dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para
responden. Wawancara bermakna berhadapan langsung
antara interview dengan responden, dan kegiatannya
dilakukan secara lisan.

Nantinya peneliti akan melakukan wawancara


dengan elemen masyarakat pesantren yang meliputi
pengurus, santri, dan insyaallah juga akan dilakukannya
wawancara dengan pengasuh pondok pesantren apabila
memungkinkan.

17
iii. Dokumentasi

Dalam hal ini, dokumentasi juga menjadi sumber


data karena juga merupakan sebuah data yang termasuk
penting untuk memperkuat data dan bukti adanya penelitian
secara langsung atau terjun lapangan.

5. Metode analisis data

Analisis yang digunakan menggunakan analisis


deskriptif, yaitu dimana peneliti akan melakukan
penganalisisan terhadap semua data yang terkumpul
kemudian dideskripsikan atau menggambarkan objek
penelitian sesuai fakta yang ada. Yaitu dengan menggunakan
tiga tahap berikut:

i. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan
ataupun penyederhanaan data yang ada pada catatan
peneliti, dimana proses ini akan dilakukan oleh peneliti
selama proses penelitian. Tujuan dari reduksi data adalah
untuk memperjelas temuan di lapangan dengan cara
menyeleksi data-data berasal dari hasil wawancara
maupun dokumentasi yang diterapkan di lapangan.35
ii. Penyajian Data

Penyajian data yaitu suatu rangkaian informasi dari


hasil reduksi yang memungkinkan peneliti memberikan
kesimpulan.36

iii. Penarikan kesimpulan dan verifikasi


Dalam pengumpulan data, selalu dibuat reduksi data
dan sajian data sampai kesimpulan, maksudnya

35
Agus Salim, teori dan paradigma sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal.22
36
Ibid, hlm. 23

18
berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan maka
selanjutnya disusun pemahaman arti dari segala
peristiwa melalui reduksi data, diikuti penyusunan data
dalam bentuk deskripsi secara sistematis, setelah
pengumpulan data berakhir, dilakukan penarikan
kesimpulan berdasarkan verifikasi data lapangan
tersebut.37
6. Triangulasi data

Triangulasi data berfungsi untuk menguji keabsahan


data dan penafsirannya, yaitu dengan cara membandingkan
data yang diterima baik dari informan yang berbeda-beda,
melalui berkas, maupun dari sudut pandang peneliti. sudat
pandang trisula ini yang nantinya akan menjadi tolak ukur
keabsahan data.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini, peneliti menjelaskan mengenai sistematika


penulisan dari awal hingga akhir penelitian. Adapun sistematikanya adalah
sebagai berikut:

Pada Bab I, menyajikan pendahuluan yang meliputi latar belakang,


rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teori, metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, perkembangan dan
lokasi penelitian, sasaran penelitian, metode pengumpulan data yang
meliputi observasi, wawancara, dokumentasi, metode analisis data yang
meliputi reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi,
triangulasi data dan sistematika pembahasan.

Pada Bab II, menggambarkan subyek penelitian, yaitu Pondok


Pesantren Nurul Ummah (PPNU). Pada bab ke II ini akan dijelaskan

37
Nur Muhammad, (skripsi) Konstruksi Citra Diri Di Media Sosial, (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2018), hal. 23

19
mengenai gambaran letak geografis, sejarah berdirinya pondok pesantren,
kondisi umum masyarakat pesantren dan kegiatan sehari-hari, dasar dan
tujuan, infrastruktur dan kondisi internal pesantren.

Pada Bab III, menjelaskan tentang laporan dari hasil penelitian yang
diperoleh dilapangan beserta pemaparan lebih lanjut mengenai temuan data-
data yang ada di PP. Nurul Ummah yang berkaitan dengan penelitian.

Pada Bab IV, pembahasan penelitian dengan analisis sosiologis


mengenai tema penelitian yang mencakup tentang bagaimana fenomena
gojlok menggojlok yang sebenarnya bukan merupakan sebuah budaya,
namun menjadi sebuah tradisi karena perbuatan itu sering dilakukan terus
menerus sampai sekarang hingga menjadi sebuah tradisi yang ada
dilingkungan pesantren, Karena dilihat dari kebiasaan yang terus menerus
sehingga melekat dalam atmosfer pesantren yang turut menghiasi suasana
pesantren, Khususnya pada waktu malam perkenalan santri baru PP. Nurul
Ummah.

Pada Bab V, berisi tentang hasil penelitian beserta analisisnya yang


dalam bab ini rinciannya adalah kesimpulan, kritik dan saran. Namun,
diluar rincian tersebut pada bab ini akan dilampirkan juga daftar pustaka,
pedoman wawancara, daftar informan, dokumentasi (baik pada waktu
penelitian maupun sebelum penelitian), dan lampiran-lampiran lainnya
yang dianggap penting.

BAB II
GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN NURUL
UMMAH KOTAGEDE

A. Letak Geografis lokasi penelitian


Pondok Pesantren Nurul Ummah terletak di daerah yang dekat
dengan perbatasan antara kabupaten Bantul dan Kotamadya Yogyakarta,

20
lebih spesifiknya di Jl. Raden Ronggo, KG II/982, RT 27 RW 06,
Kelurahan Prenggan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta. Dalam
historisnya, kotagede merupakan pusat peradaban kerajaan Mataram Islam
Kuno. Pondok Pesantren Nurul Ummah ini diperkirakan berjarak sekitar
500 meter dari Masjid Gede Mataram dan 350 meter dari pasar tradisional
Pasar Legi (Pasar Kotagede), dan berjarak sekitar 250 meter dari lapangan
karang kotagede atau bisa juga dikatakan sebagai alun-alunnya kotagede,
karena dilapangan digunakan sebagai kegiatan perekonomian maupun
acara-acara besar yang membutuhkan tempat yang luas. Secara
administratife, letak geografis PP. Nurul Ummah yang terletak dikotagede
mempunyai batasan-batasan sebagai berikut:
a) Sebelah timur: berbatasan dengan Desa Purbayan,
Kecamatan Kotagede.
b) Sebelah selatan: berbatasan dengan Desa Jagalan,
Kecamatan Banguntapan.
c) Sebelah barat: berbatasan dengan Kelurahan Giwangan,
Umbulharjo.
d) Sebelah utara: berbatasan dengan Desa Rejowinangun,
Kotagede.

Secara deskriptif, letak geografis NURMA38 yang berada


dikotagede mempunya empat komplek yaitu komplek pelajar putra,
komplek mahasiswa putra, komplek mahasiswa putri dan komplek pelajar
putri. Tata letak NURMA tidak dalam wilayah yang terpadu dalam satu
lokasi saja tetapi berpencar antara satu komplek dengan komplek yang
lainnya, komplek mahasiswa putra berada wilayah dipusat NURMA
sedangkan komplek pelajar putra berada di utara pusat NURMA sehingga
biasa disebut dengan komplek lor39 dan komplek mahasiswa putra disebut

38
PPNU, merupakan singkatan dari Pondok Pesantren Nurul Ummah, yang akrab sebagai
sebutan pp. Nurul Ummah kotagede, Yogyakarta.
39
Lor, adalah arah utara yang digunakan dalam bahasa jawa

21
dengan komplek kidul40, adapun komplek mahasiswa putri terletak di barat
masjid Al- Faruq (komplek Rusunawa) dan komplek pelajar putri
berdampingan masjid Al Faruq dan dengan pusat PPNU atau komplek
mahasiswa putra yang dibatasi dengan Ndalem41 dan kantin putra.

Luas pesantren diperkirakan sekitar 3.657 m2.42 Bangunan ndalem,


kantor dan masjid sangatlah dekat sehingga dapat mempermudah
pengoperasian pesantren, penataan seperti ini dianggap sangat lumrah dan
menjadi ciri pesantren sejak zaman dahulu. Komplek PPNU berada
dilingkungan masyarakat prenggan, kotagede sehingga aktifitas pesantren
yang terbuka dapat memberikan rasa keterbukaan antara pesantren dan
masyarakat setempat, sehingga proses interaksinya pun dapat terjalin
dengan baik.

(Lokasi Pondok Pesantren Nurul Ummah Dilihat Dari Citra Satelit)

B. Sejarah Pondok Pesantren Nurul Ummah

Dilansir dari situs resmi Pondok Pesantren Nurul ummah, sejarah


Nurul Ummah berawal Ketika KH. Asyhari Marzuqi masih di Baghdad,
ayahnya telah berusaha membuat tempat pengabdian dan pengajaran ilmu

40
Kidul, adalah arah selatan yang digunakan dalam bahasa jawa
41
Ndalem, adalah sebutan untuk menyebut rumah kyai/pengasuh.
42
Arif Widianto, Ahmad, skripsi”perilaku gasab dilingkungan pesantren”. (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2011).

22
ketika kelak putranya kembali ke tanah air. Awalnya, ia memberikan
pilihan kepada putra pertamanya itu untuk meneruskan perjuangannya di
Giriloyo dengan mengasuh pesantren di sana. Tetapi, KH. Asyhari Marzuqi
punya pikiran dan pertimbangan lain.

Bagi Kiai Asyhari, pesantren tidaklah harus didirikan di daerah


kampung yang tradisional, jauh dari akses kota. Justru, harus ada persebaran
dakwah dengan mengembangkan pesantren di tempat-tempat strategis.
Selain itu, Kiai Asyhari sebenarnya tidak ingin akses pengetahuannya
terkekang sehingga untuk mengakses perkembangan informasi mutakhir
menjadi terhambat. Apalagi, kebiasaannya yang cepat menerima informasi
terkini membuat beliau berkeinginan tetap pada tempat yang mudah
mengakses informasi dan ilmu. Maka, Kiai Asyhari justru menghendaki
adanya pesantren yang tidak jauh dari perkotaan.

Kiai Marzuqi berikhtiar. Dicarilah tanah yang dekat dengan kota.


Ada tanah strategis di daerah Gedongkuning, Banguntapan, Bantul. Tetapi,
belum sempat diseriusi, ada tawaran tanah wakaf di daerah Kotagede.
Awalnya, tanah tersebut diserahkan ke ayah H. Abdul Muhaimin yang
bernama Marzuki agar dapat digunakan untuk kepentingan umat Islam.
Tetapi, hingga meninggal tanah tersebut belum termanfaatkan. Kemudian
H. Abdul Muhaimin menawarkan ke KH. Tolhah Mansyur, tetapi beliau
tidak sanggup memanfaatkan tanah tersebut. Kemudian ditawarkan juga
kepada KH. Syaiful Mujab yang saat itu menjabat sebagai Ketua
Tanfidziyah PW NU DIY. Oleh Kiai Syaiful, tanah tersebut ditawarkan
kepada R.H. Suwardiyono, wakilnya di NU.

R. H. Suwardiyono adalah tokoh NU yang sangat dekat dengan KH.


Ahmad Marzuqi Romli. Beliau sowan dan mengutarakan akan adanya tanah
wakaf yang belum dimanfaatkan dengan baik. Maka, Kiai Marzuqi lantas
memerintahkan santrinya, Kiai Nur Hadi Abdullah, untuk bersama-sama
mengurus tanah tersebut. Tanah tersebut ditelusuri kepemilikannya. Setelah
ditelusuri, sesuai dengan petunjuk pada surat-surat tanah yang ada, tanah

23
tersebut ternyata atas nama Haji Anwar yang beralamat di Kepunton, Solo.
Beliau adalah orang tua dari Haji Muslim, pemilik Wisma Proyodanan
Kotagede Yogyakarta. Ahli waris Haji Anwar adalah Siti Salimah
Priyomulyono, H. Siti Djufainah Muslim Anwar Pranoto, M. Djahid Anwar,
H.M Dja’far Anwar Martono, H. M. Djalil Anwar Prajarto, S.H., Dr. M.
Djohar Anwar, Dra. H. Siti Djuwairiyah Anwar, dan Ir. M. Djailani Anwar.
Ahli-ahli waris tersebut memberikan kuasa kepada Muslim Anwar Pranoto
untuk mengurus perwakafan tanah kepada Yayasan Pendidikan Bina Putra.

Yayasan ini didirikan pada tanggal 12 Rabi‘ul Awal 1402 H / 08


Januari 1982 M oleh R.H. Suwardiyono, B.A., yang sekaligus sebagai
ketuanya serta dibantu oleh beberapa orang yang kemudian menjadi
pengurus yayasan pada periode pertama. Yayasan inilah yang kemudian
bertindak sebagai pelaksana dan pengelola pembangunan Pesantren Nurul
Ummah pada masa-masa awal. Tujuan pendirian yayasan ini adalah
menyelenggarakan pendidikan untuk membentuk manusia yang taqwa,
berbudi pekerti mulia, percaya diri, hidup bermasyarakat secara
kekeluargaan, cakap dan demokratis, serta bertanggung jawab kepada
bangsa, negara, dan Allah Yang Maha Esa.43

C. Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren Nurul Ummah

Dasar penyelengggaran pendidikan dan pembinaan Pondok


Pesantren Nurul Ummah adalah al-amr bi al-ma‟ruf wa an-nahy „an al-
munkar (menganjurkan pada kebaikan dan mencegah adanya
kemungkaran), ketaqwaan, kesadaran untuk mengamalkan nilai-nilai
agama, keikhlasan dalam mengemban amanat Ilahi, kesederhanaan, saling
menolong terhadap sesama manusia, dan hubungan antar sesama manusia
serta menjaga citra hubungan sesama manusia dan dengan sang pencipta-
Nya.44 Atas dasar tersebut PP. Nurul Ummah mengharapkan agar para santri

43
www.muslimedianews.com/2015/06/video-profil-pondok-pesantren-nurul.html
(diakses pada tanggal 22 Mei 2018)
44
Tim Revisi, Profil Pondok Pesantren Nurul Ummah, hal.21

24
dapat terus menggali ilmu agama dan mengamalkannya ketika sudah
dimasyarakat kelak, sehingga tujuan dibangunnya Pondok Pesantren ini
adalah:45

a. Membentuk dan mengembangkan generasi muslim kader bangsa yang


tangguh, memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, berakhlak
mulia, sehat, terampil, patriotik, dan beramal saleh.

b. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia melalui pendekatan


keagamaan, pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan serta
teknologi sebagai wujud partisipasi dalam pembangunan bangsa.

c. Berpartisipasi aktif-kritis serta memberikan nuansa terhadap fenomena


masyarakat yang terjadi.

d. Menegakkan ajaran Islam yang murni dengan menempuh metode Ahlu al-
Sunnah wal Jamaah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.

D. Struktur Kepengurusan dan pengelolaan Pondok Pesantren Nurul


Ummah

PP. Nurul Ummah merupakan lembaga pendidikan yang sistem


pengelolaannya dibawah naungan Yayasan Pendidikan Bina Putra (YPBP),
Yayasan inilah yang memantau perkembangan pondok pesantren, baik dari
segi internal maupun eksternal. Struktur kepengurusan PPNU terdiri dari
Yayasan, Pengasuh, Pengurus, dan Lembaga- lembaga otonom, dan santri,
keluarga alumni dan ikatan wali santri.46 Semua lembaga kepengurusan dari
yayasan hingga santri mendapat otoritas dengan kadar dan tingkatannya
masing2 termasuk peraturan yang diterapkan, terkecuali pengasuh karena
Beliau adalah pemegang otoritas tertinggi dalam pesantren, sehingga dapat

45
Ibid, hal. 21
46
Tim Revisi, Profil Pondok Pesantren Nurul Ummah, Ibid.,hal. 10

25
memaksimalkan apa yang menjadi amanah dan cita – cita bersama. Masa
kepengurusan antar lemabaga mempunyai rentang waktu yang berbeda –
beda dan pada akhir kepengurusan akan dimintai laporan pertanggung
jawaban.

KH. Asyhari Marzuqi merupakan pengasuh pertama PPNU yang


merupakan putra dari KH. Marzuqi Romli, beliau menerima amanat sebagai
pengasuh seiring dengan berdirinya Yayasan Pendidikan Bina Putra,
sedangkan pendiri Yayasan ini adalah Drs. H. Suwardioni dan KH. Nurhadi.
Sedangkan pengasuh PPNU sekarang ialah KH. Ahmad Zabidi Marzuqi,
yang merupakan adik dari KH. Asyhari Marqi (pengasuh pertama) beliau
juga ikut membidani lahirnya Pondok Pesantren Nurul Ummah.47

Berikut merupakan nama-nam pengurus yang telah dipercaya untuk


mengemban amanah dan tanggung jawab:

47
Ibid, hal. 19

26
SUSUNAN PENGURUS PONDOK PESANTREN NURUL
UMMAH KOTAGEDE YOGYAKARTA

27
28
(Sumber: Data kesekretariatan pesantren)

E. Kondisi Umum PP. Nurul Ummah

1. Bangunan Fisik dan Fasilitas Pesantren


Gedung-gedung dan fasilitas PPNU berdiri di areal tanah yang
luasnya sekitar -+3.657 m2. Luas tanah tersebut terbagi menjadi dua
bagian yang terpencar, yakni bagian asrama santri mahasiswa dan

29
takhasus dan asrama santri pelajar.48 Berikut rincian bangunan PP.
Nurul Ummah:

Tabel 1
Bangunan Pesantren
Bangunan Keterangan
1. Masjid Al Faruq Diperuntukkan untuk santri dan
masyarakat sekitar
2. Komplek A (Santri) Berada dibelakang komplek B dan
masih menyambung
3. Komplek B (Ustadz Berada paling depan, kegunaan sebagai
dan Pengurus) kantor administrasi, dan kamar pengurus
4. Komplek C (Santri) Berada dibelakang komplek A dan
bersebelahan dengan kamar mandi
5. Komplek D Berada diatas gedung kantor MINU,
lantai dua
6. Komplek E (Santri Berada di Utara dari komplek
pelajar, pengurus mahasiswa dan berjarak sekitar 70 meter
pelajar) dari jalan masuk
7. Komplek F (Santri) Berada dibawah gedung sekolah MINU
8. Komplek G Bangunan baru sebelah selatan dan
(pengurus) menyambung dengan MINU (gedung
baru)
9. Sekolah MI Nurul Berada di timur pondok dan selatan
Ummah (baru)
10. Sekolah MTS Nurul Berada di utara komplek pelajar,
Ummah mnyeberang jalan sekitar 30 meter dari
komplek pelajar

48
Ibid, hal. 5

30
11. Sekolah MA Nurul Berada diantara komplek mahasiswa
Ummah dan komplek pelajar, sebelah jalan
12. Ndalem Rumah KH. Asyhari Marzuqi, berada
ditimur masjid dan menyambung
13. Perpus Azziyadah Terbagi menjadi 2, 1. di Ndalem, 2.
Dibelakang kantor administrasi sebelah
kiri
14. Kamar Mandi/WC Pojok belakang, diantara komplek C dan
Dapur pondok
Kamar komplek A memiliki luas 3x4 m dengan jumlah penghuninya sekitar
5-7 orang termasuk didalamnya pakaian, rak kitab, dan peralatan mandi (ada yg
didalam ada yang diluar). Untuk komplek F, luasnya hampir sama dengan komplek
A yaitu sekitar 3x5 m dengan penghuni santrinya antara 6-9 orang, sedangkan
komplek C mempunyai luas sekitar 6x12 m untuk C1 dan C2 dan 3x4 untuk C3, C1
dan C2 berpenghuni sekitar 9-12 orang dan C3 sekitar 5 orang.

2.Kondisi umum santri

Santri yang menuntut ilmu di PP. Nurul Ummah berasal dari berbagai daerah di
nusantara, ada yang berasal dari beberapa provinsi di Sumatera, kalimantan dan
jawa, namun mayoritas masih dipegang oleh santri – santri yang berasal dari pulau
jawa, kemungkinan hal ini terjadi dikarenakan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh
dan akomodasi yang lebih hemat (cost). Juga didukung oleh tradisi getok tular
dalam penyebaran informasi tentang pesantren. Santri alumni mengenalkan
almameternya pada keluarga, kerabat atau orang lain dengan tujuan agar
mendaftarkan putra-putrinya di PPNU.49 Berikut jumlah penduduk pesantren putra
dari semua elemen.

49
Nur Muhammad, [skripsi] Konstruksi Citra Diri Di Media Sosial, (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2018), hal. 37

31
Tabel 2

Jumlah Santri dan Pengurus

Kategori Jumlah Santri


Pengurus 30
Mahasiswa (Komplek AMT) 119
Mahsiswa (Komplek Pelajar) 17
Santri Laju 16
Pelajar 192
Jumlah 374
(Sumber: Data Kesekretariatan Pesantren)

a. Latar belakang santri


1. Pendidikan
Latar belakang santri nurul ummah berbeda-beda, tidak semua santri
dulunya seorang lulusan pondok pesantren juga, salah satunya di
komplek mahasiswa. Di komplek mahasiwa yang nyantri bukan semua
berasal dari seseorang yang dulunya seorang santri atau bahkan
keluarganya ada yang belum pernah nyantri. Santri mahasiswa ada yang
berasal dari SMA, SMK, MA ataupun sekolah swasta yang lainnya bai
yang berstatus Negeri ataupun Swasta. Yang menarik akan hal ini, tidak
semua orang yang masuk pesantren merupakan orang- orang yang
berlatar pendidikan karakter yang baik, bahkan banyak kasus orang tua
yang menitipkan anaknya karena sudah tidak mampu mengurusinya
atau bahkan karena tidak ada sekolah yang menerimanya, karena
mempunyai masa lalu yang jelek.
2. Ekonomi
Perekonomian masing – masing santri berbeda, rata – rata berasal dari
keluarga menengah kebawah. Pekerjaan atau mata pencaharian

32
keluarganyapun variatif ada yang menjadi PNS, Petani, Pedagang,
Wiraswasta, dan Wirausaha.50
3. Sosial dan Budaya
Kita tahu bahwa Indonesia mempunyai banyak suku bangsa, begitupun
di PPNU. Santri yang mondok disini berasal dari berbagai penjuru
Indonesia, sehingga akulturasi budaya sangat dapat dirasakan baik
secara sengaja maupun tidak. Menariknya, di pesantren ini kita bisa
melihat relasi maupun interaksi sosial bersinggungan setiap saat, yang
mana harus saling menghargai perbedaan kultural antar santri. Dari segi
bahasa saja, para santri mempunyai logat yang berbeda – beda sehingga,
cara bicaranyapun ada yang keras dan adapula yang lembut.
4. Kegiatan keseharian Santri
Seperti halnya lembaga – lembaga pendidikan umum, pesantren juga
memepunyai jadwal kegiatan yang mana menjadi pegangan santri
dalam melakukan aktifitas kesehariannya (daily activity). Berikut
jadwal kegiatan santri Nurul Ummah Kotagede.

Tabel 3

Kegiatan Harian di PP.Nurul Ummah

NO WAKTU KEGIA
TAN
1 04.30-05.00 Sholat subuh berjamaah
2 05.00-06.00 Kajian kitab tafsir al-Qur’an oleh santri yang
sudah lulus kitab yanbu’a dan penerapannya,
sedangkan yang masih belajar al-Qur’an dengan
menggunakan metode yanbu’a temapat
mengajinya dikomplek atau kelas yang sudah
ditentukan menurut kelompok masing-masing.

50
Penggolongan ini berdasarkan dokumen dari kesekretariatan PPNU tentang daftar
umum santri

33
3 06.00-07.00 Persiapan masuk sekolah bagi pelajar atau
kuliah bagi mahsiswa, termasuk juga yang sudah
bekerja.
12.30-13.00 Sholat Dzhuhur berjamaah
4 07.00-14.30 Jam belajar di sekolah formal
5 07.00-16.30 Jam belajar di kampus
6 15.30-16.00 Sholat asar berjamaah
7 16.00-17.30 Istirahat
8 17.30-18.30 Sholat maghrib berjamaah
9 18.30-20.30 Aktifitas akademik Madrasah Diniyyah
10 20.30-21.00 Sholat isya berjamaah
11 21.00-22.00 Ngaji kitab kuning dan sorogan kitab kuning di
masjid dan komplek masing-masing
12 22.00-04.30 Istirahat dan belajar mandiri

Perlu diketahui, bahwasanya jadwal diatas hanya untuk kegiatan


akdemik pesantren saja, untuk kegiatan sekolah formal atau kuliah sengaja
tidak dicantumkan karena mempunyai jadwal yang berbeda-beda, selain itu
juga memang pendidikan diluar kegiatan pesantren juga bukan atau diluar
kebijakan pengurus pondok pesantren. Jadwal diatas bukan merupakan jadwal
satu – satunya kegiatan santri, tetapi ada kegiatan lain yang mana juga menjadi
kewajiban santri, seperti ronda, piket halaman, piket kulah/kamar mandi,
mengambil air galon, piket masjid dan lain sebagainya yang mana tidak bisa
kita nafikan, walaupun kegiatan tersebut merupakan kegiatan sekunder setelah
kegiatan pondok pesantren.

34
BAB III
DINAMIKA PERKEMBANGAN TRADISI DI PESANTREN

A. Pendidikan Pesantren
Sebagai institusi pendidikan islam yang dinilai paling tua, pesantren
memiliki transmisi sejarah yang cukup jelas, namun dalam ahli sejarah
terdapat perselisihan pendapat untuk menyebutkan pendiri pesantren
pertama kali. 51 sebagian mereka ada yang menyebutkan Syaikh Maulana
Malik Ibrahim, yang dikenal sebagai Syaikh Maghribi dari gujarat
sebagai pendiri pondok pesantren pertama kali di Jawa.52 Sedangkan
menurut Muh. Said dan Junimar Affan menyebutkan bahwa Sunan
Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri Pesantren di Kembang
Kuning, surabaya.53 Bahkan Kyai Machrus Aly mengatakan bahwa
disamping sunan ampel, ada ulama yang menganggap sunan gunung djati
di cirebon sebagai pendiri pertama kali sewaktu mengasingkan diri
bersam pengikutnya.54 Sebagai model pendidikan yang memiliki
karakter khusus dalam perspektif wacana pendidikan nasional sekarang
ini, sistem pondok pesantren telah menyebabkan spekulasi yang
bermacam – macam, minimal da tujuh spekulasi tersebut:
 Pertama, menyebutkan bahwa podok pesantren merupakan
bentuk tiruan atau adaptasi terhadap pendidikan Hindu-
Budha sebelum Islam datang di Indonesia.55
 Kedua, mengklaim berasal dari India.56

51
Qomar mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi,(Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t) [buku] hal. 1.
52
Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung),
hal. 231
53
Said muh, Affan Junimar, Mendidik dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Jemmars, 1987)
hal. 53
54
Aly Machrus, Hakikat Citra Pondok Pesantren, dalam soeparlan soeryapratondo dan
m. Syarif, selecta kapita selekta pondok pesantren (Jakarta: PT. Paryu Barkah, t.t) hal. 40
55
Mustofa Syarif, Suparlan. S, dan ABD. R. Saleh, Administrasi Pesantren, (Jakarta:
Paryu Barkah, 1982) hal. 65
56
Imam Barnadib, Sutari, Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1983), hal. 24

35
 Ketiga, menyatakan bahwa model pondok pesantern
ditemukan di Baghdad.57
 Keempat, melaporkan bersumber dari perpaduan Hindu-
Budha (Pra-muslim) dan India.58
 Kelima, mengungkapkan dari kebudayaan Hindu-Budha dan
Arab59
 Keenam, menegaskan dari India dan Orang Islam
Indonesia60
 Ketujuh, dan yang terakhir ini menilai dari India, Timur
Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua61

Dari teori diatas, banyak perbedaan pendapat yang mengatakan


mengenai asal usul pesantren, untuk itu bila ditarik benang merah
maka,pesantren terbentuk atas pengaruh India, Arab dan tradisi Indonesia
sebagai dimaksudkan teori yang terakhir diatas. Ketiga tempat atau negara
tersebut merupakan arus utama dalam mempengaruhi terbangunnya sistem
pendidikan pesantren. Arab sebagai temapat kelahiran islam, Ibnul Qayim
Ismail mengatakan bahwa sebagian ulama jawa yang pergi ke Mekkah
ternyata juga untuk mendalami ilmu Agama dan bermukim beberapa tahun,
kemudian sekembalinya ke tanah jawa mereka umumya mendirikan
pesantren.62 Sedangkan India merupakan tempat Transit para penyebar
Islam masa awal. Indonesia pada saat kehadiran pesantren masih di
dominasi Hindu-Budha dijadikan pertimbangan dalam membangun sistem
pendidikan pesantren sebagai bentuk akulturasi atau kontak budaya.

57
Teori ini berasal dari George Makdisi yang dikutip Maksum, Madrasah Sejarah dan
Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 80
58
H.J de Craaf, islam di Asia Tenggara sampai abad ke- 18, dalam Azyumardi Azra
(Peny), Perspektif Islam Di Asia Tenggara,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989, hal. 33
59
Rahardjo, M. Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, (t.tp: LP3ES,1995), hal. 32
60
Brugman, dikutip Selo Sumardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta, terj. H.J
Koesoemanto dan Mochtar Pabotinggi, (Jakarta: YIIS, 1986) hal. 275
61
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi- tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan 1995), Hal. 22
62
Ismail, Ibnu Qayim, Kiai Penghulu Jawa Peranannya Di Masa Kolonial,(Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), hal. 42

36
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
sebagaimana menjadi kesepakatan para peneliti sejaraha pendidikan
dinegeri yang berkependudukan muslim terbesar di Dunia ini. 63 Sejarah
penyebaran islam di kawasan ini, perwujudan kultural islam merupakan
perpaduan antara doktrin-doktrin formal islam dan kultu para wali (wali
songo), sebagai sisa pengaruh pemujaan orang-orang suci (hermits) dalam
agama Hindu. Perwujudan kultural ini nampak nyata sekali dalam asketisme
(dalam bahasa arab: Az-zuhd, sering kali dinamai kealiman dinegeri ini)
yang mewarnai kehidupan islam di Nusantara, tidak sebagaimana dinegeri-
negeri arab sendiri sepanjang sejarahnya.64 Sistem manajemen pesantren
mengenai pendidikan merupakan sistem pendidikan independen, setidaknya
karakter tersebut tidak dimiliki oleh sistem pendidikan lainnya, namun
pesantren juga mengadopsi nilai- nilai yang terkandung dalam masyarkat.
Keadaan inilah yang disebut oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan
istilah sub-kultur. Ada tiga elemen yang bisa membentuk pesantren sebagai
subkultur, 1). Pola kepemimpinan pesantren yang mandiri, 2). Kitab rujukan
umum yang digunakan dari berbagai abad, 3). Sistem nilaiyang digunakan
adalah bagian dari masyarakat luas.65 Ketiga ciri tersebut menjadi ciri-ciri
yang emnonjol sampai saat ini.

Secara esensial,sistem pendidikan pesantren yang dianggap khas


ternyata bukan sesuatu yang baru jika dikomparatifkan dengan sitem
pendidikan sebelumnya. I.P Simajuntak menegaskan bahwa masuknya
islam tidak mengubah hakikat agama secara formil. Perubahan yang terjadi
sejak pengembangan Islam hanyalah mengenai isi yang ada dalam agama
itu sendiri.66 Model pendidikan jawa diadaptasi disebut pariwayatan,

63
Qomar mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi,(Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t) [buku] hlm 61
64
Wahid Abdurrahman, “pondok pesantren masa depan” dalam Marzuki Wahid, Suwendi
dan Saefuddin Zuhri, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 12
65
Ibid, hal. 14
66
I.P Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1972/1973), hal. 24

37
berbentuk asrama dengan rumah guru yang disebut ki ajar di tengah-
tengahnya. Sistem ini mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran
islam.67 Proses adaptasi itulah yang menguatkan penilaian selama ini bahwa
pendidikan pesantren disebut sistem pendidikan produk Indonesia,
Nurcholis Madjid menyebutnya dengan istilah indegenous (pendidikan asli
Indonesia).68 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berakar
dari budaya masyarakat Indonesia.69 Paham pendidikan pesantren sendiri
merupakan paham paham yang berlandaskan atas Ahli Assunah
Waljama’ah, bahkan kalangan santri mempunyai konotasi khas dan
dilekatkan pada orang-orang pesantren pada komunitas organisasi
Nahdlatul Ulama (NU), tapi tidak sedikit yang mengatakan bahwa dirinya
bukan NU, namun tidak semua berlandaskan NU ada yang
Muhammadiyah, PERSIS, dan lain-lain. Para santri yang mondok dituntut
untuk selalu ta’dzim dan tawadu’ terhadap seorang Kyai agar mendapatkan
berkah, sehingga apa yang diperintahkan oleh Kyainya jarang sekali ada
penolakan dari santrinya karena seorang santri sejatinya adalah orang awam
yang menuntut ilmu agama, sehingga wajib mengabdi kepada orang yang
mempunyai ilmu agama tersebut. Pondok pesantren merupakan tempat
menuntut ilmu agama yang menjadi sorotan masyarakat pada umumnya,
pada dasarnya para santri yang sudah dianggap lulus oleh Kyainya akan
disuruh berdakwah mengajarkan ilmu yang sudah dipelajarinya selama di
Pondok, sehingga pondok mempunyai peran besar terhadap perubahan yang
ada dimasyarakat. Pola pengajaran yang dilakukan pesantren berbeda
dengan pengajaran diluar pondok, para Ustadz memberikan kajian ilmu,
mengajar kitab dengan bahasa daerah yang ada disekitar pondok tersebut,
dengan pemaknaan khas ala bahasa yang ada di nusantara ini. Diantara
metode pengajaran kitab yang ada di pesantren antara lain: metode

67
Daulay, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesntren Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001) hal. 8
68
Madjid Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1992)
69
Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren, Asal Usul dan Perkembangan pesantren di
Jawa, (Jakarta: DEPAG RI, 2004), hal. 61-64

38
bandongan70, sorogan, musyawarah, bahtsul masa’il, lalaran, muthola’ah,
setoran hafalan dan lai-lain. Pendidikan dipondok pesantren juga
mengandalkan kemandirian santri untuk melakukan segala aktifitasnya,
guna sebagai pembelajaran ketika kelak dimasyarakat.

B. Tradisi Pesantren

Pengakuan bahwa pesantren merupakan sebuah sub-kultural belum


sepenuhnya merata dikalangan pesantren itu sendiri, namun tidak semua
aspek dalam pesantren merupaka sebuah watak sub-kultural, bahkan ada
aspek-aspek yang bertentangan dengan batasan – batasan yang biasanya
diberikan pada sebuah sub-kultur.71 Dalam uraian sosiologis, sub-kultur
paling tidak harus mempunyai keunikannya sendiri dalam aspek-aspek
berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup, dan tata nilai yang
diikuti, serta hierarki kekuasaan internal sendiri yang ditaati sepenuhnya.
Minimal ketiga persyaratan diatas terdapat dalam kehidupan pesantren,
sehingga dirasa cukup untuk mengenakan predikat sub-kultur dalam
kehidupan ini.72 Banyak multi-kultural di wilayah pesantren,
mengakibatkan munculnya tradisi-tradisi baru yang mana lekat dengan
kehidupan hampir seluruh pondok dinusantara. Salah satunya adalah tradisi
gojlok, peneliti mengkategorikan perilaku ini dalam sebuah tradisi
dibandingkan dengan budaya karena ia merupakan sebuah kebiasaan yang
sudah ada sejak lama dan masih dijalankan hingga saat ini.73

70
Bandongan: santri memaknai kitab sedangkai para ustadnya yang membacakan dan
menjelaskan, sorogan: santri membaca kitab kosongan tanpa makna dan harokat dan
menyetorkannya kepada ustadz, musyawarah: forum diskusi, bahtsul masa’il: forum untuk
memecahkan permasalahan- permasalahn yang ada dimasyarakat secara kolektif, lalaran:
mengulang hafalan, muthola’ah: belajar.
71
Wahid Abdurrahman, [Buku], Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren,
(Yogyakarta: Lkis, 2001), hal. 1-3
72
Ibid, hal. 9-10
73
https://kbbi.web.id/tradisi (dilansir pada tanggal 19 Mei 2019)

39
C. Gojlok

Sebenarnya istilah gojlok ini sudah familiar dikalangan santri, bahkan


hampir setiap pondok terdapat tradisi gojlok menggojlok. Namun tidak
dengan diluar pesantren, istilah ini masih jarang terdengar oleh orang-
orang diluar pesantren. Tradisi santri adalah tradisi menertawai, tradisi
menertawai adalah tradisi yang menempatkan apa dan siapa saja sebagai
sebuah fenomena yang membahagiakan.74 Tradisi seperti ini merupakan
sebuah tradisi yang unik, karena dibutuhkan keahlian dan mental baja untuk
bisa mengimbangi dalam hal seperti ini atau biasa disebut dengan
gojlokan. Gojlokan (red. Jawa) adalah kebiasaan santri meledek temannya,
dari kadar ledekan tingkat dasar sampai ke stadium yang paling akut,
tergantung siapa sasarannya, kalau sasarannya masih
sedikit baperan biasanya tidak terlalu parah, tapi jika sasaran sudah kebal
ledekan, akan diuji ledekan yang paling akut sekalipun, namun hal itu
sebatas guyon belaka. Kalau di Jakarta dikenal dengan sebutan ceng-
cengan.75 Bagi santri hal ini adalah sesuatu yang sudah lumrah bahkan
menjadi kenangan paling dirindukan jika suatu saat mereka sudah tidak di
pesantren lagi.76 Dipuji tidak tinggi hati, dicaci tidak menaruh dengki,
Karena pada hakikatnya cacian itu adalah sebuah cambuk untuk menampar
kita agar jauh lebih maju, dan menjadi lebih hebat.77 Ekspresi rasa cinta dan
kedekatan antar santri kerap diungkapkan lewat seberapa “liberal” gaya
guyonan mereka. Sebab mereka, para santri itu, menurut saya sangat
memahami bahwa arti cinta dan dan kasih sayang adalah membuat sesame
bisa tertawa dan bahagia. Tahun 1969, dua filsuf Jerman, Theodor Adorno
dan juga Max Horkheimer memperkenalkan sebuah metode dalam disiplin
psikologi yang mereka namai dengan dengan Reverse Psikology (psikologi

74
https://seputarnu.com/2015/11/11/tradisi-gojlokan-santri/ (dilansir pada tanggal 19 Mei
2019)
75
https://www.asshiddiqiyah.com/2018/10/gojlokan-melatih-mental-dan-daya-kritis.html
76
https://www.asshiddiqiyah.com/2018/10/gojlokan-melatih-mental-dan-daya-kritis.html
(dilansir pada tanggal 19 Mei 2019)
77
http://santrinews.com/Fikrah/6275/Santri-dan-Dunia-Intrik (dilansir pada tanggal 19
Mei 2019)

40
terbalik). Metode ini sesungguhnya memanfaatkan emosi negative dalam
diri manusia yang ada kenyatannya setiap orang memiliki kecenderungan
untuk melawan arahan.78 Sosok yang paling cocok untuk menggambarkan
istilah ini adalah Gus Dur, beliau adalah orang yang bisa menertawakan apa
saja yang ada dalam dirinya maupun diluar dirinya. Beliau memiliki
kematangan mental dan psikologi yang luar biasa dan bisa menerima
realitas keberagaman yang ada sehingga beliau digelari sebagai bapak
pluralisme Indonesia. Berikut gojlokan yang dicontohkan Gus Dur:79

Bapak-bapak sekalian, diantara kita ini, agama siapa yang


paling denkat dengan Tuhan?” Gus Dur bertanya serius.

Bhiksu dari Budha menjwab khusu “Ya tentu agama kami


dong Gus”

“Lho Kok Bisa?” Tanya Gus Dur.

“Lha iya to, Agama saya menyebut Tuhan dan


mengaggilkan dengan sebutan Om….Om Shanti, Shanti-
Shanti Om…. Mana ada hubungan yang lebih dekat dari
om dan ponakan dalam berkeluarga?” Bhiksu Budha
menjelaskan dengan sangat runtut.

“Lha ya ndak bisa, wong agama Kami memanggil Tuhan


dengan sebutan Bapa Kok…Tuhan Bapa di Sorga,
Berkatilah kami…… hubungan bapa dengan anak jauh
lebih dekat dong dibandingkan om dengan ponakan…”
Pendeta dari agama Kristen menjawab mantab.

78
https://seputarnu.com/2015/11/11/tradisi-gojlokan-santri/ (dilansir pada tanggal 19 Mei
2019)
79
https://seputarnu.com/2015/11/11/tradisi-gojlokan-santri/ (dilansir pada tanggal 19 Mei
2019)

41
Mendengar jawaban mereka bedua, Gus Dur tertawa
terkekeh-kekeh. Seolah ada yang sedang ditertawakan
secara serius.

“Kanapa kok tertawa Gus?” Tanya kedua pemuka agama.

“Memangnya kalau agama Gus Dur sedekat apa dengan


Tuhan?”

“Hehehehehe boro-boro dekat dengan Tuhan, wong para


pemeluk agama Islam saja kalau mau memannggil Tuhan
harus menggunakan Toa,….itukan berarti Tuhan berada di
tempat kejahuan sana…hehehehe”.

Gojlokan diatas adalah salah satu contoh dari sekian banyak gojlokan
yang terjadi dilingkungan pesantren, para santri dituntut untuk lebih dewasa
dan terbuka lebar dalam menyikapi segala hal, bukan berarti meremehkan
akan tetapi mencegah dari adanya perpecahan belahan umat yang mengatas
namakan pelecehan, pada hakikatnya islam juga menganjurkan saling
merahmati satu sama lain, asal tidak merubah ketetapan yang sudah ada
dalam syari’at agama.

Ada dua tipe santri yang biasa di-gojloki. Pertama, mereka yang
tahan baper (bawa perasan) tapi tidak pandai membalas gojlokan temannya,
biasanya mereka hanya mengandalkan kesabaran yang dimilikinya, santri
yang seperti ini biasanya memilki kesabaran yang super. Kedua, tipe santri
yang pandai menepis gojlokan temannya dengan argumen-argumen yang
dimilikinya. Nah, tipe yang kedua ini biasanya santri yang pemikirannya
kritis, bahkan tak jarang ia menumbangkan teman yang telah
menggojloknya hingga tak berkutik.80 Dari gojlok ini, Maka tidak jarang
anak-anak pesantren yang bisa membawa diri, mereka justru menjadi orang-
orang besar di masyarakatnya.

80
https://www.asshiddiqiyah.com/2018/10/gojlokan-melatih-mental-dan-daya-kritis.html

42
D. Praktik Gojlok

Dalam praktik gojlok, terdapat beberapa moment yang dimana akan


terjadi praktik gojlok menggojlok antara satu sam salin bahkan kelompok.
Kegiatan gojlokan ini terjadi tidak menentu, namun ada beberapa kegiatan
yang mana pada kegiatan ini kasus gojlok terindikasi sering terjadi atau
muncul dalam kegiatan tersebut, diantaranya pidato, ro’an (kerja bakti), atau
pada saat kumpul-kumpul biasa.81 Kegiatan yang pasti ada gojlokan adalah
ketika kegiatan acara pidato 3 Bahasa, 82pada kegiatan inilah moment gojlok
muncul, karena para santri baru dituntut untuk memperkenalkan dirinya

(Dokumentasi Peneliti pada acara perkenalan santri baru, pada tanggal 5


Januari 2017)

masing-masing dihadapan semua santri serta harus menuruti terhadap


perintah dari kesepakatan santri-santri lainnya yang sudah senior, ketika ia
diberikan pertanyaan mengenai tujuan ataupun yang lainnya ia dituntut
uuntuk meminta pendapat atau jawaban santri senior yang ditunjuk, karena

81
Wawancara dengan narasumber (Muntaha), pada tanggal 3 Mei 2018.
82
Wawancara dengan narasumber (Mahmud Khalwani), pada tanggal 4 Mei 2018

43
jika ia menjawab dengan dalihnya sendiri jawaban tidak akan diterima
walaupun jawaban tersebut benar 100%.

(Dokumentasi Peneliti pada acara perkenalan santri baru, pada tanggal 5


Januari 2017)

E. Kontruksi Mental
Dalam bidang psikologis mental merupakan sebuah bagian yang vital
untuk membentuk suatu pola pikir tertentu sehingga akan menjadi
stimulus yang berefek pada suatu tindakan tertentu. Untuk membangun
mental yang kuat perlu adanya pembiasaan diri agar terlatih
menghadapi situasi dan kondisi pada saat sedang keadaan terpojokkan.
The Huffington Post menyebutkan, Thomas Edison pernah
diuji mentalnya ketika pabrik yang ia dirikan terbakar pada
1914, Kejadian itu menghancurkan prototype buatannya,
dan merugi hingga US$23 juta. Respons Edison sederhana

44
saat itu. "Semua kesalahan kita habis sudah terbakar.
sekarang kita bisa memulai lagi dari awal.83
Dari perkataannya ini, terlihat bahwa Thomas mempunya
mental yang kuat sehingga ia melihat kesempatan kedua
untuk memulainya lagi dari awal.

Indonesia merupakan negara yang luas dan plural, sehingga


multikultural juga sangat lumrah dimana-mana, perbedaan bukan
merupakan sebuah hal yang harus saling diperdebatkan siapa dan apa
yang paling baik, tetapi bagaiman melengkapi kekurangan satu sama
lain agar terciptanya sebuahkenikmatan berbagi. Mentalitas yang kuat
harus didasari dengan kecerdasan emosional, karena untuk menghadap
gojlokan seseorang dituntut untuk bisa mengendalikan diri agar tidak
mudah terpengaruh dengan keadaan sekitar, kemudian dengan begitu
diharapkan akan menambah kepercayaan terhadap diri sendiri.

83
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170418141849-277-208384/11-
kebiasaan-untuk-membangun-mental-yang-kuat (Diakses pada tanggal 23 Mei 2019)

45
BAB IV
GOJLOK SEBAGAI TRADISI UNTUK MEMPERKUAT
MENTAL DI LINGKUNGAN PESANTREN

A. Gojlok Sebagai Metode

Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia semakin maju, hal ini


ditandai dengan program-program pemerintahan dengan membangun
bangunan-bangunan sekolah baru hingga program sekolah gratis selama 12
tahun dengan berbagai upaya-upaya dan langkah-langkah proaktif lembaga
dan institusi terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-
masing untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi program. Yang menjadi
salah satu hal yang ingin dicapai sekarang. Tercantum di nawacita bahwa
wajib belajar 12 tahun.

“Kegiatan yang mengarah ke wajib belajar 12 tahun sudah


ada ya sejauh ini, dan terus kita upayakan," kata Yudistira,
dalam diskusi bertajuk Implementasi Kartu Indonesia Pintar
Dalam Penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun, di Kawasan
Kebayoran baru, Jakarta selatan, Kamis (15/9/2016)”.84

Pendidikan bukan selalu berimplikasi mengenai sebuah ilmu


pengetahuan murni ataupun agama, namun juga harus diimbangi dengan
pendidikan karakter yang dapat membentuk sebuah kepribadian anak
menjadi lebih baik. Pendidikan karakter merupakan sebuah tujuan, namun
untuk mencapai tujuan tersebut ada beberapa cara, selain pendidikan formal
maupun pendidikan non formal juga bisa melalui pendidikan melalui
pembiasaan yang mana hal ini akan mencakup lingkungan sosial yang
berkaitan. Lingkungan sosial merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi seseorang atau kelompok untuk dapat melakukan sesuatu

84
https://psmk.kemdikbud.go.id/konten/1906/kemdikbud-upayakan-wajib-belajar-12-
tahun-melalui-pip (Diakses pada tanggal 22 Mei 2019)

46
tindakan serta perubahan-perubahan perilaku setiap individu.85 Pengaruh
lingkungan tersebut nantinya akan membentuk perubahan pada pola perilaku
santri, dengan cara gojlok yang ada dilingkungan pesantren diharapkan dapat
memperkuat mental santri agar terbiasa dan tahan ketika ia dicerca dan diuji
masyarakat untuk menyebarkan dakwah dilingkungan tempat tinggalnya
tersebut. Walaupun cara ini bertujuan baik, tidak semua orang
menyetujuinya karena setiap santri mempunyai tingkatan kekuatan
psikologis mental yang berbeda-beda, sehingga ketika ia tidak tahan dengan
gojlokan tersebut mengakibatkan terjadinya konflik antara satu sama lain
bahkan menyebabkan boyong (keluar dari pondok).

“Namanya di pondok ada ciri khas, yang menjadi kebiasaan,


seperti gojlok...siap atau tidak, apakah santri dapat kuat
atau tidak dalam di uji, bahkan ada dan banyak yang tidak
kuat, dan akan boyong. Sedangkan sekarang sudah
berkurang karena orang yang suka menggojlok juga
berkurang dikarenakan adanya gadget, kalau dulu tidak
boleh bawa hp dan gojlokan merupakan hiburan”.86

Dari wawancara diatas, gojlok merupakan salh satu ciri yang khas di
Pesantren ini dimana seseorang harus siap menghadapi gojlokan dari teman-
temannya sebagai hiburan santri sekaligus untuk antisipasi ketika sudah
terjun dimasyarakat. Berbeda dengan bully, gojlok tidak memandang bulu,
siapapun bisa menjadi korban dan pelaku tergantung situasi dan kondisi.
Seperti kutipan berikut:

“Tidak ada, semuanya bisa jadi objek maupun subjek


penggojlokan, yang digojlok itu bukan hanya kelemahannya
saja, tetapi kelebihannya juga bisa digojlok kalo disini,
bahkan orang yang pinterpun disini bisa digojlok, kalo

85
http://digilib.unila.ac.id/8602/15/BAB%20II.pdf (Diakses pada tanggal 22 Mei 2019)
86
Wawancara dengan narasumber (Muntaha), pada tanggal 3 Mei 2018.

47
bullying kan kemungkin sesuatu tindakan yang disebabkan
karena iri atau sesuatu yg tidak baik”.87

B. Penguatan Mental Melalui Gojlok

Dalam membangun sebuah mentalitas santri bukan merupakan hal yang


mudah, karena memerlukan proses dan pendekatan-pendekatan tertentu.
Masyarakat indonesia merupakan masyarakat plural yang dimana banyak
kultur yang berbeda-beda, sehingga perbedaan ini dapat memicu dari
adanya praktik merendahkan satu sama lain. Sikap tersebut akan berakibat
fatal bagi korban karena dapat menyerang psikologis masyarakat khususnya
santri, sehingga santri dituntut untuk selalu menguatkan mental dengan
menumbuhkan optimisme yang tinggi agar mental yang ada juga dapat
menjadi perisai bagi psikologis santri tersebut. Isu mengenai mental juga
dinyatakan bapak presiden dari masa kampanye hingga sampai
pembentukan kabinet pertama, Beliau menyatakan bahwa revolusi mental
harus terjadi di Indonesia. Presiden Joko Widodo pernah menuliskan
definisi revolusi mental sebagai “menciptakan paradigma, budaya politik,
dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan
budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.”88 Pondok pesantren
merupakan tempat pendidikan agama yang kental dengan kebiasaan dan
perilaku yang nyentrik, beragam tradisi aneh ada ditempat ini. Salah satu
menariknya adalah dipondok ini kental dengan istilah gojlok.

“Kalau gojlok sama bully itu menurut saya berbeda, kalo


dilihat di situs-situs media social atau youtube bullying itu
lebih pada kekerasan fisik, tetapi kalo gojlok itu yang
menjadi sasarannya itu mentalnya”89

87
Wawancara dengan narasumber (Mahmud Khalwani), pada tanggal 4 Mei 2018
88
Kristiawan muhammad, Telaah Revolusi Mental dan Pendidikan karakter Dalam
Pembentukan Sumber Daya Manusia Yang Pandai dan Berakhlakul Karimah, (Sumatera Barat:
IAIN Batusangkar, 2015), hal. 15, vol. 18, No. 1
89
Wawancara dengan narasumber (Mahmud Khalwani), pada tanggal 4 Mei 2018

48
Dari hasil wawancara tersebut, bahwasanya mental menjadi sasaran
utama penggojlokan. Gojlok juga mengindikasikan sebuah kedewasaan,
semakin dewasa seseorang maka akan semakin bijak pula menghadpi
gojlokan yang ditujukan kepadanya, maka seseorang yang digojloki akan
lebih memilih diam dengan ekspresinya masing-masing, namun tak sedikit
pula yang membalasnya dengan celotehan atau guyonan untuk memutar
balikkan keadaan, untuk menghindari gojlokan yang berlanjut.

49
BAB V
KESIMPULAN, KRITIK DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah paparkan pada Bab-bab
sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan bahwasanya gojlok berbeda
dengan bully walau ada kemiripan, menurut perspektif santri gojlok
merupakan sebuah hal yang banyak terjadi di beberapa pesantren
terutama pesantren Nurul Ummah. Dalam praktiknya, gojlok lebih
menyerang mental seseorang dan bertujuan untuk menguji seberapa
dewasa dan kuat untuk mengahadapi situasi dan kondisi yang ada dalm
pesantren. Tujuan dari adanya gojlok ini hanya untuk bahan guyonan
agar hidup dipesantren tidak stre dan membosankan karena pada zaman
dahulu di Pondok Pesantren Nurul Ummah tidak membolehkan santrinya
membawa Handphone. Tradisi gojlok menggojlok sudah ada sejak
zaman awal berdirinya pesantren dan terus ada hingga saat ini, namun
kadar maupun tingkat kegojlokannya sudah berbeda atau bahkan bisa
dikatakan menurun, karena tuntutan perkembangan zaman yang semakin
kompleks dan mental santri baru yang semakin menurun. Dari segi
positifnya, gojlok dapat mempererat relasi sosial antar santri dan
memperkuat mental dalam menyikapi sebuah kejadian. Sedangkan dari
segi negatifnya adalah seseorang santri yang tidak kuat gojlokan akan
boyong,90 sehingga Pondok Pesantren akan mengalami penurunan
jumlah santri dan memberikan kesan yang negatif kepada santri yang
tidak bisa mengambil sikap dewasa karena menganggap pesantren
merupakan tempat pembullyan yang mana sejatinya adalah tempat
pendidikan agama yang rahmatan lil alamiin.

B. Kritik dan Saran


1. Kritik

90
Keluar dari Pondok

50
Praktik gojlok yang berlebihan akan membuat psikologis
seseorang mengalami down, sehingga praktik seperti ini sebisa
mungkin dikurangi kapasitasnya untuk mengurangi adanya konflik
satu sama lain walaupun tidak diperlihatkan secara langsung oleh
korabn gojlok.

2. Saran
a. Sebaiknya gojlok ini disesuaikan dengan kapasitas mental
dari objek gojlok agar tidak menimbulkan efek konflik yang
berkepanjangan hingga menimbulkan permusuhan atau
bahkan demdam, apalagi di era modern seperti saat ini
seseorang cenderung lebih pasih daripada generasi zaman
dahulu karena sudah terpengaruh oleh kecanggihan
handphone untuk bersosialisasi dibandingkan dengan
lingkungan sekitar.
b. Secara sosiologis, peneliti berharap dapat menyumbangkan
pengetahuan ilmiah mengenai gambaran sosial Pondok
Pesantren dan adanya penelitian ini, diharapkan adanya
penelitian berkelanjutan yang lebih dalam untuk mengupas
tradisi-tradisi dalam pesantren, terutama dalam teori cultural
studies mengenai sosial budaya Masyarakat pesantren.
c. Para pembaca atau peneliti untuk melihat lebih jauh mengenai
fenomena yang ada dipesantren, agar dapat dibaca dan
dimengerti oleh khalayak ramai mengenai ajaran pesantren
yang lebih terbuka dan bukan ajaran radikalisme. Pesantren
juga merupakan bagian dari bentuk perkembangan Agama
Islam di Nusantara khususnya di tanah jawa.

51
DAFTAR PUSTAKA

Skripsi

Arif Widianto, Ahmad, skripsi perilaku gasab dilingkungan pesantren


(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011).
Darmalina, bibit, Skripsi Prilaku School Bullying di SD N Grindang,
hargomulyo, kokap, kulonprogo,(YOGYAKARTA: Universitas Islam Negeri
Yogyakarta,2014.
Desiree, skripsi. “bullying dipesantren” (depok: Universitas Indonesia,
2013) www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S45216-Desiree. Diakses pada
tanggal 19 april 2018
Nur Muhammad, (skripsi) Konstruksi Citra Diri Di Media Sosial,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2018)
Syaroni, zusron, skripsi“model pengelolaan komunikasi dalam pesantren”.
(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2013).

Jurnal

Irmayanti, Nur, pola asuh otoriter, self esteem dan perilaku bullying, jurnal
penelitian psikologi(Universitas Wijaya Putra, Surabaya: 2016). Vol. 07, no. 1
Kristiawan muhammad, Telaah Revolusi Mental dan Pendidikan karakter
Dalam Pembentukan Sumber Daya Manusia Yang Pandai dan Berakhlakul
Karimah, (Sumatera Barat: IAIN Batusangkar, 2015)
Muhammad, Aspek Perlindungan Anak dalam Tindak Kekerasan (Bullying)
terhadap Korban Kekerasan di Sekolah (Studi Kasus di SMK Kabupaten
Banyumas, Jurnal Dinamika Hukum) 2009, Vol. 9 No. 3,
Rachmijati, Cynantia, jurnal Bullying dalam dunia pendidikan (Cimahi:
STKIP Siliwangi, 2015).
Zuhry, M. Syaifuddien, jurnal Budaya Pesantren dan Pendidikan Karakter
Pada Pondok Pesantren Salaf, (Yogyakarta: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan
Walisongo, 2011), hlm. 290, Vol. 19, No. 2

52
Buku

Nicola Morgan, Panduan Mengatasi Stres bagi Remaja, Terj. dari The
Teenage Guide of STRESS oleh Dewi Wulansari, (Jakarta: Penerbit Gemilang,
2014) Cet. I, hlm. 137
Qomar mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi,(Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t) [buku] hlm. 1.
Muhammad Daud Ali, SH, Lembaga – lembaga Islam di Di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Gratindo Persada, t.t), hlm 145.
Manfred Ziamek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M,
1986), hlm. 97.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta:
Gramedia, 1976), hlm. 19.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa
Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 45.
Liliweri Alo, Buku Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya,
(Yogyakarta: Penerbit Lkis, 2002), hlm. 10
Ponny Retno Astuti, Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi
Kekerasan Pada Anak (Jakarta: UI Press, 2008) hlm. 3
Fitria Chakrawati, Bullying, Siapa Takut?. (Solo: Tiga Ananda, 2015) Cet.
1, hlm. 11

Ponny Retno Astuti, Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi


Kekerasan Pada Anak (Jakarta: UI Press, 2008) hlm. 1
Suharsimi, Arikunto, prosedur penelitian, suatu pendekatan dan praktek.
(Jakarta: rineka Cipta, 2002), hlm:10.
Agus Salim, teori dan paradigma sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006), hal.22
Rahardjo, M. Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, (t.tp: LP3ES,1995)
Brugman, dikutip Selo Sumardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta,
terj. H.J Koesoemanto dan Mochtar Pabotinggi, (Jakarta: YIIS, 1986)

53
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan 1995)
Ismail, Ibnu Qayim, Kiai Penghulu Jawa Peranannya Di Masa
Kolonial,(Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
Qomar mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi,(Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t)
Wahid Abdurrahman, “pondok pesantren masa depan” dalam Marzuki
Wahid, Suwendi dan Saefuddin Zuhri, Pesantren Masa Depan Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
I.P Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1972/1973),
Daulay, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesntren Sekolah dan
Madrasah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001)
Madjid Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta: Paramadina, 1992)
Hanun Asrohah, Pelembagaan Pesantren, Asal Usul dan Perkembangan
pesantren di Jawa, (Jakarta: DEPAG RI, 2004)
Wahid Abdurrahman, [Buku], Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren,
(Yogyakarta: Lkis, 2001), hal. 1-3
Qomar mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi,(Jakarta: Penerbit Erlangga, t.t)
Yunus Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung)
Said muh, Affan Junimar, Mendidik dari Zaman ke Zaman, (Bandung:
Jemmars, 1987)
Aly Machrus, Hakikat Citra Pondok Pesantren, dalam soeparlan
soeryapratondo dan m. Syarif, selecta kapita selekta pondok pesantren (Jakarta: PT.
Paryu Barkah, t.t)
Mustofa Syarif, Suparlan. S, dan ABD. R. Saleh, Administrasi Pesantren,
(Jakarta: Paryu Barkah, 1982) hal. 65

54
Imam Barnadib, Sutari, Sejarah Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset,
1983), hal. 24

Web

https://kbbi.web.id (diakses pada tanggal 9 Mei 2019)


https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/10/pengertian-tradisi-tujuan-
fungsi-macam-macam-contoh-penyebab-perubahan.html (diakses pada tanggal 9
Mei 2019)
Risalah Redaksi http://www.nu.or.id/post/read/7026/makna-tradisi-
pesantren (diakses pada tanggal 9 Mei 2019)
Ghanita, fisda, “Definisi Bullying, Apakah arti kata bullying”, dalam
www.academia.edu, diakses pada tanggal 23 maret 2018.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2014), KPAI : Kasus Bullying dan
Pendidikan Karakter, diakses pada tanggal 25 mei 2018 dari
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter
Edupost (2015)
Riset ICRW: 84 persen Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah,
diakses pada tanggal 25 mei 2018 dari http: dupost.id/berita-pendidikan/riset-icrw-
84-persen-anak-indonesia-alami-kekerasan-di-sekolah
Qommarria Rostanti (2015), KPAI: Kasus Bullying di Sekolah Meningkat
Selama 2015, diakses pada tanggal 24 mei 2018 dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/ umum/15/12/30/o067zt280-kpai-
kasus-bullying-di-sekolah-meningkat-selama-2015
http://cynantia-rachmijati.dosen.stkipsiliwangi.ac.id/2015/01/jurnal-
bullying-dalam-dunia-pendidikan/
http://sejiwa.org/a-z/ (diakses pada tanggal 16 Mei 2018)
https://seputarnu.com/2015/11/11/tradisi-gojlokan-santri/ (diakses pada
tanggal 9 Mei 2019)
www.muslimedianews.com/2015/06/video-profil-pondok-pesantren-
nurul.html (diakses pada tanggal 22 Mei 2018)

55
(http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/159/140
diakses pada tanggal 8 Mei 2019)
https://kbbi.web.id/tradisi (dilansir pada tanggal 19 Mei 2019)
https://www.asshiddiqiyah.com/2018/10/gojlokan-melatih-mental-dan-
daya-kritis.html (dilansir pada tanggal 19 Mei 2019)
http://santrinews.com/Fikrah/6275/Santri-dan-Dunia-Intrik (dilansir pada
tanggal 19 Mei 2019)
https://seputarnu.com/2015/11/11/tradisi-gojlokan-santri/ (dilansir pada
tanggal 19 Mei 2019)
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170418141849-277-
208384/11-kebiasaan-untuk-membangun-mental-yang-kuat (Diakses pada tanggal
23 Mei 2019)
https://psmk.kemdikbud.go.id/konten/1906/kemdikbud-upayakan-wajib-
belajar-12-tahun-melalui-pip (Diakses pada tanggal 22 Mei 2019)
http://digilib.unila.ac.id/8602/15/BAB%20II.pdf (Diakses pada tanggal 22
Mei 2019)

56
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1:

Hasil Wawancara
Keterangan: P (Peneliti)
R (Responden)

Wawancara 1:
Nama: Mahmud khalwani, salah satu santri yang berasal dari
Kalimantan Barat, dilakukan pada hari Jum’at, 04 Mei 2018. Ia
merupakan santri PP. Nurul Ummah yang masuk pondoknya lebih
dahulu daripada peneliti sehingga lebih mengetahui bagaimana
dinamika gojlok yang ada pada saat itu hingga dewasa ini daripada
peneliti.

P: Apakah anda mengetahui mengenai bullying atau gojlok?


R: Kalo dipesantren sini istilahnya bukan bullying, tetapi gojlok. Kalau
gojlok sama bully itu menurut saya berbeda, kalo dilihat di situs-situs
media social atau youtube bullying itu lebih pada kekerasan fisik, tetapi
kalo gojlok itu yang menjadi sasarannya itu mentalnya.
P: Kalo gojlok itu terjadinya seperti apa?
R: Itu sudah seperti apa ya… bisa dikatakan juga dikatakan tradisi.
Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan dari dahulu. Orang yang
melanggar digojlokin ada, pada waktu acara khitobah yang digojlokin
juga ada dan masih banyak lagi.
P: kapan pertama kali anda mengenal gojlok?
R: di sini, kalo dulu sudah tau tapi namanya bukan gojlok, ya biasa
gitu….ngenyek91.

91
Ngenyek: menghina dalam bahasa jawa.

57
S: kalo di PP. Nurul Ummah itu sendiri pada waktu kapan sering terjadi
gojlok?
R: pada waktu khitobah, khitobah itu salah satu acara yang dilakukan
sebulan sekali yaitu pada malam jumat,jadi setiap malam jumat itu kan
a da acara,salah satunya khitobah. Supaya tidak monoton acaranya,
maka di bagi menjadi 4 acara, setiap jumat legi merupakan acara
khitobah yang diikuti oleh semua santri dan ada kamar yang bertugas.
pada waktu khitobah kan ada acara pidato 3 bahasa kemudian
dilanjutkan perkenalan santri baru jikalau ada. Dan biasaya acara yang
paling ditunggu yaitu acara perkenalan santri baru yang dilaksanakan
setelah acara pidato 3 bahasa, pada waktu inilah gojlokan antara satu
sama lain sangat terlihat, dan kegiatan ini merupakan sebuah tradisi
sejak zaman dahulu. karena kalo belum perkenalan itu dianggap belum
sah, santri baru wajib memperkenalkan dirinya dihadapan umum.
P: Siapa atau adakah kriteria seperti apa yang sering menggojlok
ataupun digojlok?
R: Tidak ada, semuanya bisa jadi objek maupun subjek penggojlokan,
yang digojlok itu bukan hanya kelemahannya saja, tetapi kelebihannya
juga bisa digojlok kalo disini, bahkan orang yang pinterpun disini bisa
digojlok, kalo bullying kan kemungkin sesuatu tindakan yang
disebabkan karena iri atau sesuatu yg tidak baik.
P: Apakah gojlok merupakan sebuah tradisi di PP. Nurul Ummah dan
bagaimana perkembangan atau Kondisi gojlok pada saat ini, ketika
dibandingkan dengan pertama kali anda datang kesini?
R: Kalo saya pertama kali kesini fenomena gojlok ini sebenarnya sudah
ada dari dulu, jadi mungkin setiap pondok juga ada seperti ini.
S: Kalo dari efek sampingnya gimana?
R: kalo gojlok itu tidak ada fisik, karena untuk melatih mental, biar
serawung atau tidak sungkan dengan temannya, biar ada intreaksinya.
Kalo efek negatifnya ya kalo santri baru itu kan ada yang pernah
mondok ada yang belum, jadi yang tidak kuat ya boyong, jadi kalo

58
sekarang ini sudah ada pembatasan menggojlok yang keterlaluan, dan
saat ini sudah mengalami penurunan. Jadi kalo saya dulu gojlok itu
keras.
S: menurut anda gojlok itu baik atau buruk, apakah perlu dipertahankan?
R: tergantung, melihat sikon juga, kalo dengan gojlok yang terlalu keras
jadi banyak yang boyong, itu kan yang nyantri jadi sedikit, nanti
motivasinya mondok jadi takut, mungkin kalo dikurangin kadar
gojloknya jadi gak terlalu takut dan menganggap mondok itu asyik,
asyiknya itu ramai, kalo cuma gojlok-gojlok aja berarti kan malah
menghilangkan sesuatu yang seharusnya malah penting, mungkin
dengan kapasitas yang baik ya tidak papa itu dilakukan tapi jangan
sampai melewati batas.
Wawancara 2:

Nama Muntaha, mahasiswa sosiologi angkatan 2014 yang juga


sebagai pendamping santri pelajar PP. Nurul Ummah, Ia berasal dari
imogiri, Bantul. Ia dipilih menjadi responden karena ia sudah mondok
di PP. Nurul Ummah sejak usia MTs hingga sekarang menjadi pengurus
di Komplek E( komplek pelajar), sehingga diharapkan dari
pengalamannya dapat memberi keterangan yang realistis.

P: kenapa gojlok terjadi dipesantren?

R: kalau dilihat dari sisi santri, salah satu cara untuk mengasah mental
kita di pondok...mungkin dengan cara seperti itu kita bisa akrab
kembali dan punya rasa yang kuat sesama santri.

P: apa bedanya gojlok dan bully?

R: hampir sama, tp ada bedanya...kalo bully identik dgn indivudual,


klo gojlok lbh umum.

P:kapan anda tahu mengenai bully ini?

59
R: semasa kecil yang saya tahu bahasanya bukan bully atau
gojlok....masuk pesantren mulai tahu istilah gojlok dan bully.

P: apa imbas dari perilaku ini?

R: gojlok seakan menjadikan minder, cuma kan tujuannya itu untuk


mengasah mental biar kuat dan supaya terbiasa di masyarakat ketika
ada hal semacam itu.

P: kapan perilaku gojlok ini terjadi?

R: terjadi ketika ada obrolan dalam kelompok, misal adanya bully


menjadikan suasana lebih seru, bisa juga terjadi ketika kumpul atau
kerja bakti.

P: pada saat apa perilaku ini biasa terjadi?

R: waktunya bisa pada mlm jumat...misal perkenalan santri baru, dan


roan, atau pada saat kumpul-kumpul bareng dan gak tentu

P: siapa yang menjadi sasaran gojlok?

R: tergantung, dan tidak mesti… baik pendiam maupun yang sering


heboh, berlaku untuk semua orang.

P: apakah alasan yang kemudian ini menjadi sebuah tradisi?

R: namanya di pondok ada ciri khas, yang menjadi kebiasaan, seperti


gojlok...siap atau tidak, apakah santri dapat kuat atau tidak dalam di uji,
bahkan ada dan banyak yang tidak kuat, dan akan boyong. Sedangkan
sekarang sudah berkurang karena orang yang suka menggojlok juga
berkurang dikarenakan adanya gadget, klo dulu tidak boleh bawa hp
dan gojlokan merupakan hiburan.

P: bagaiman pandangan anda mengenai hal ini?

R: kalau dilihat dari segi pesantren, dipandang sangat perlu karna untuk
mengasah mental supaya terbiasa dalam masyarakat, karna dalam

60
masyarakat tantangan dan cobaanya sangat berat, kalau tidak ada
gojlokan ia akan minder...itu postifnya, klo nilai negatifnya, ketila gak
kuat ia akan minder dan bisa boyong dari pondok

Lampiran 2

Masjid Al Faruq

(Sumber:Peneliti, 23 Mei 2019)

Madrasah Ibtida’iyah Nurul Ummah

(Sumber:Peneliti, 23 Mei 2019)

61
Bangunan Baru

(Sumber:Peneliti, 23 Mei 2019)

Ndalem (Rumah Pengasuh)

(Sumber:Peneliti, 23 Mei 2019)

Kantor Admisi

(Sumber:Peneliti, 23 Mei 2019)

62

Anda mungkin juga menyukai