Wandi
STIE Syari’ah Al-Mujaddid, Jambi
huseinwandi220@gmail.com
Abstract
This article aims to explore the social conflicts in the utilization of natural resources of
the Anak Dalam or Orang Rimba tribes. The purpose of this study is to find out the cause
of social conflict that occurred. The research method used is a qualitative method based on
literature studies and interviews as well as the accumulation of understanding from various
primary studies conducted on the Suku Anak Dalam or Orang Rimba community. The results
of this study are, first, there are differences in perceptions regarding regional claims between
the state, companies, surrounding villagers, as well as Suku Anak Dalam or Orang Rimba.
Secondly, there is a conflict of interest in the utilization of forest resources that were previously
home to the Anak Dalam or Orang Rimba tribes. Third, there is competition in the use of
forest resources. Fourth, it is a dilemma for Suku Anak Dalam or Orang Rimba in the midst
of the development of the times, where they have lived for a long time, and have collided with
policies that are oriented towards group interests. This study is expected to be able to provide
an overview of the conflicts and to provide solutions to the rights and survival of the Suku Anak
Dalam or Orang Rimba communities.
Abstrak
Artikel ini bertujuan mengali lebih dalam mengenai konflik sosial pemanfaatan sumber
daya alam Suku Anak Dalam atau Orang Rimba. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari
tahu penyebab konflik sosial itu terjadi. Metode penelitan yang digunakan adalah metode
kualitatif berdasarkan studi literatur dan wawancara serta akumulasi pemahaman dari
berbagai studi primer yang dilakukan pada masyarakat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
Hasil penelitian ini adalah, pertama, adanya perbedaan persepsi mengenai klaim wilayah
195
196 SIMULACRA, Volume 2, Nomor 2, November 2019
antara negara, perusahaan, warga desa sekitar, maupun Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
Kedua, adanya benturan kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya hutan yang memang
sebelumnya rumah bagi Suku Anak Dalam atau Orang Rimba. Ketiga, adanya persaingan
dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Keempat, merupakan dilema bagi Suku Anak Dalam
atau Orang Rimba ditengah perkembangan zaman, tempat tinggal yang sudah lama mereka
tempati terbentur dengan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kepentingan kelompok.
Studi ini diharapkan dapat memberi gambaran atas konflik yang terjadi serta memberikan
solusi atas hak dan keberlangsungan hidup masyarakat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
Kata Kunci: konflik sosial, sumber daya alam, Suku Anak Dalam
Bangko (BPS, 2018). Mereka hidupnya kunci terdiri dari orang-orang yang
terpencil, terisolasi, tertinggal dibidang banyak mengetahui dan memahami
ekonomi, politik, kesehatan dan sosial. permasalahan tentang konflik sosial
Untuk diketahui kawasan hutan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
Suku Anak Dalam atau Orang Rimba Analisis yang dikembangkan dalam
saat ini luas dan areanya, sisanya adalah penelitian ini adalah analisis kualitatif,
kawasan hutan yang berstatus hutan yaitu dengan melakukan pemahaman
kawasan. Belum lagi okum-oknum yang yang komprehensif. Pemahaman
merasa berkepentingan dan mengambil yang komprehensif ini menempatkan
keuntungan terhadap kawasan hutan objek kajian dalam konteks hubungan
semakin banyak yang pada akhirnya kausalitas, dan konsep empati sebagai
melahirkan kompetisi yang sengit akibat pendekatan. Pendekatan empati yang
keserakahan umat manusia, kasus ini dimaksud adalah pendekatan yang
utamanya berada dikawasan hutan berupaya memahami permasalahan
terutama hutan nasional bukit dua belas. penelitian dari perspektif pelaku.
Kejadian di atas mengambarkan
terutama di Indonesia yang merupakan III. H ASIL DAN
basis agraris menjadikan kawasan hutan PEMBAHASAN
sebagai primadona dan rebutan dari Masyarakat asli Suku Anak Dalam
berbagai pihak bahkan negara sekalipun atau Orang Rimba telah mendiami hutan
atau pihak swasta, yang biasanya mereka Provinsi Jambi selama ratusan tahun.
gunakan untuk perkebunan sawit, Komunitas Orang Rimba menyebut
kawasan pemukiman transmigrasi, hutan yang ada di Provinsi Jambi sebagai
bahkan sampai pada ekspansi lahan daerah pengembaraan: dimana mereka
pertanian serta ekspoitasi sumber daya berinteraksi dengan alam, saling memberi
kayu dan non kayu dalam hal ini siapa dan menerima dan saling menghidupi.
yang dirugikan, tentu pihak Suku Anak Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
Dalam atau Orang Rimba. Orang Rimba melakukan kegiatan
berburu, mencari ikan, mencari madu,
II. METODE dan menyadap karet untuk dijual (Fahmi,
Artikel ini ditulis berdasarkan 2006).
studi literatur dan wawancara serta Dari beberapa referensi diatas
akumulasi pemahaman dari berbagai dapat penulis katakan bahwa Orang
studi primer yang dilakukan pada Rimba Provinsi Jambi merupakan
Suku Anak Dalam atau Orang Rimba. salah satu suku asli yang telah lama
Pengumpulan data dilakukan melalui bermukim di Jambi, namun lambat
metode wawancara mendalam terhadap laun dan pergerusan zaman akibat
sejumlah narasumber dan informan kunci dominasi kekuasaan ikut mempengaruhi
serta observasi lapangan. Narasumber pelabelan dalam penyebutan kelompok
yang diwawancarai meliputi Suku minoritas ini, setiap kelompok yang telah
Anak Dalam, warga setempat dan melakukam interaksi dengan mereka
perusahaan yang beroperasi di Taman akan memberikan penamaan yang
Nasional Bukit Duabelas. Informan berbeda, untuk penamaan ini, kata Suku
198 SIMULACRA, Volume 2, Nomor 2, November 2019
hutan yang memberi izin HPH pada illegal logging yang di dorong oleh para
perusahaan tidah hanya menambah pemilik modal, gesekan konflik antar
jumlah kompetitor dalam pemanfaatan warga Suku Anak Dalam muncul ke
sumber daya hutan tetapi juga mendorong permukaan. Ini dikarenakan terlalu
pergeseran paradigma pemanfaatan lamanya perambahan hutan atau illegal
sumber daya hutan oleh warga desa dari loging yang dilakukan oleh warga
tujuan pemenuhan kehidupan hidup setempat yang akhirnya mendesak Suku
dalam hal ini kegunaan kayu untuk bahan Anak Dalam atau Orang Rimba ikut
bangunan yang pada akhirnya menjadi marah.
komersialisi hasil hutan terutama hutan Konflik antar kelompok yang
kayu karena memang harganya cukup melakukan aktivitas illegal logging terjadi
mahal. Sejak tahun 1970 pula warga desa karena penyerobotan wilayah blok
secara perlahan banyak berganti profesi tebangan. Sebenarnya para pelaku illegal
dari yang mulanya petani biasa akhirnya logging tersebut memilik aturan dalam
menjarah hutan illegal loging atau disini menentukan blok tebangan yaitu dengan
disebut bebalok (wawancara dengan cara memberi tanda pada pohon-pohon
Orang Rimba Salb). kayu yang akan ditebang sebagai simbol
Pekerjaan bertani seperti menyadap klaim atau tanda ataupun dengan cara
karet dan sawit yang merupakan pekerjaan membuat rintisan tebangan di sekeliling
mayoritas penduduk di Provinsi Jambi areal blok tebangan.
lamban naun mereka tinggalkan, karena Namun, sering kali tanda klaim
menggap bahwa illegal loging jauh lebih kayu tebangan atau rintisan tersebut
menjajikan untuk masa depan yang lebih tidak kelihatan sehingga terjadi kesalah
baik. Warga mengekspresikan zaman pahaman, bentuk-bentuk penyelesaian
kayu maksud mereka illegal logging konflik semacam ini biasanya dilakukan
adalah zaman kemakmuran, pada saat melalui negoisasi atau perundingan dan
itu pulalah warga menganggap bahwa pihak yang melakukan penyerobotan
kawasan itu adalah kawasan open acces diwajibkan membayar ganti rugi senilai
meskipun secara legal hutan tersebut pohon kayu yang telah diambil.
berada kawasan hutan lindung milik Konflik tersebut menyisakan banyak
Negara yang di kelola perusahaan. masalah, baik konflik antar sesama warga
Hukum-hukum adat yang mengatur desa yang melakukan illegal logging, belum
pemanfaatan sumber daya hutan secara lagi konflik antara warga desa dengan
perlahan mulai ditinggalkan, demikian Suku Anak Dalam atau Orang Rimba. Ini
pula kesepakatan-kesepakatan mengenai dikarenakan warga desa yang melakukan
batas wilayah akses antara warga desa illegal logging menyebabkan kerusakan
dan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba hutan dan pohon pada wilayah-wilayah
yang sebelumnya di jaga, juga secara yang dilindungi (dianggap sakral Orang
perlahan mulai dikaburkan karena Rimba), dan pada akhirnya warga desa
dorongan untuk menguasai sumber diwajibkan membayar ganti rugi (denda
hutan yang ada. adat).
Seiring dengan semakin banyaknya Gesekan-gesekan konflik ini di
warga desa yang melakukan aktivitas perparah karena ada sebagian warga
200 SIMULACRA, Volume 2, Nomor 2, November 2019
desa enggan membayar ganti rugi (denda Suku Anak Dalam atau Orang Rimba pada
adat) yang diwajibkan oleh Suku Anak tahun 1997. Bentrok ini menyebabkan
Dalam, dengan alasan berasalan tidak tewasnya dua orang kelompok Suku
mengetahui bahwa ada pohon-pohon Anak Dalam atau Orang Rimba yang
yang di anggap sakral Orang Rimba, ada di dalam kawasan hutan, tempatnya
dan menganggap bahwa hutan ini milik berjarak sekitar 16 km dari pinggiran
sama-sama dan tidak ada klaim sepihak sungai Batanghari atau pusat Desa Sungai
seperti yang dianggap Suku Anak Dalam Ruan dalam hal ini warga menyebutnya
atau Orang Rimba. di km 16. Konflik yang berakhir bentrok
Jenis-jenis konflik sebagaimana ini melibatkan warga desa yang sering
di utarakan tersebut merupakan melakukan illegal logging, penebangan
merupakan konflik manifes berskala liar yang diperkirakan jumlahnya
kecil, artinya pihak-pihak yang terlihat mencapai 100 orang (wawancara dengan
konflik merupakan kelompok-kelompok Orang Rimba Kupik dan Ali).
kecil. Konflik yang terpusat pada masalah Dalam hal Suku Anak Dalam atau
akses terhadap sumber daya hutan, Orang Rimba yang terlibat bentrok
klaim-klaim wilayah kelompok hanya dengan warga adalah kelompok
merupakan instrument untuk membuka Temenggung Kecik yang tinggal di
akses kelompok dan upaya menutup kawasan hutan tepat di Desa Sei Ruan
akses kelompok lain terhadap kawasan Ulu, menurut informasi mereka yang
tersebut. terlibat bentrok diperkirakan ada sekitar
Disamping konflik berskala kecil, 40 orang yang semuanya adalah laki-
dijumpai pula adanya konflik berskala laki dewasa. Bentrok fisik terjadi selama
besar yang pernah terjadi sehubungan dua hari, pada hari pertama warga
dengan pemanfaatan sumber daya hutan desa melakukan penyerangan ke dalam
di bukit duabelas provinsi Jambi, yaitu hutan dan mendapat perlawanan dari
konflik antar warga desa dengan Suku Suku Anak Dalam atau Orang Rimba,
Anak Dalam atau Orang Rimba, dan mengingat jumlah warga desa jauh lebih
konflik antar Suku Anak Dalam atau banyak dan Suku Anak Dalam atau
Orang Rimba itu sendiri. Kedua konflik Orang Rimba merasa tidak sanggup
ini juga erat kaitannya dengan masalah menghadapinya, maka Orang Rimba
akses terhadap sumber daya hutan, bersembunyi ke dalam hutan waktu itu.
namun karakteristik konflik (penyebab, Dalam pristiwa konfrontasi ini
dinamika, dan akibatnya) berbeda. banyak warga desa yang ikut dalam
bentrok mengalami luka-luka, beberapa
3.1.1. Kasus Konflik Kelompok hari kemudian, warga kembali melakukan
Suku Anak Dalam atau Orang penyerangan, sewaktu masuk hutan,
Rimba versus Warga Desa Sei warga desa menjumpai dua orang Suku
Ruas Ulu Anak Dalam tengah mencari ikan dan
Konflik lain soal pemanfaatan langsung dikeroyok hingga tewas.
sumber daya hutan adalah bentrok fisik Meskipun masalah tersebut di atas
antara warga desa setempat yaitu warga dapat diselesaikan melalui negoisasi atau
Desa Sei Ruan Ulu dengan kelompok perundingan, tapi tidak bisa dipungkiri
Wandi: Konflik sosial suku anak dalam... 201
yang memang sudah terlebih dahulu formal. Salah satu butir pertimbangan
tinggal dan memanfaatkan sumber daya dalam surat putusan pertunjukan TNBD
hutan di sekitar kawasan hutan bukit adalah keberadaan Orang Rimba dalam
dua belas. Apalagi semenjak kehadiran kawasan yang kehidupannya semakin
perusahaan sekitar tahun 1970 yang terdesak. Di kemudian hari, perubahan
memperoleh izin HPH dalam kawasan status kawasan menjadi taman nasional
yang juga di tempati Suku Anak Dalam ternyata menjadi sumber masalah bagi
atau Orang Rimba, mereka di anggap keberadaan Suku Anak Dalam atau
telah menyebabkan kerusakan-kerusakan Orang Rimba dalam kawasan.
sumber daya hutan yang sebelumnya Pola pemanfaatan dan pengaturan
di tempati dan di lindungi Suku Anak ruang yang selama ini ditetapkan oleh
Dalam atau Orang Rimba. Akibat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba
kerusakan-kerusakan tersebut akhirnya ternyata tidak menjadi rujukan dalam
perusahaan diharuskan membayar ganti konsep pengelolaan TNBD. Pihak
rugi sesuai dengan tuntutan Suku Anak pengelola TNBD yang waktu itu di bawah
Dalam atau Orang Rimba. BKSDA (Balai Koservasi Sumberdaya
Pada masa-masa perusahaan HPH Alam) Jambi mengeluarkan rancangan
beroperasi disekitar kawasan hutan bukit pengelolaan TNBD yang di dalamnya
duabelas, sebenarnya warga desa juga turut mengatur tentang sistem zonasi
banyak melakukan aktivitas illegal logging kawasan.
dan sebagian lokasinya mencakup area Penyusunan rancangan pengelolaan
konsesi perusahaan. Ketengan-ketengan TNBD yang dilakukan secara sepihak
juga muncul antara warga desa yang oleh BKSD Jambi mendapat penolakan
melakukan aktivitas illegal logging dengan dari Suku Anak Dalam atau Orang
perusahaan namun hanya bersifat Rimba. Orang Rimba memandang
konflik laten. Perusahaan lebih memilih bahwa penetapan sistem zonasi dalam
menghindari konflik dengan warga desa pengelolaan TNBD akan membatasi
dengan cara mengalihkan konflik. ruang gerak mereka yang sudah terbiasa
Perusahaan menjalin kerja hidup bebas mengembara dalam hutan
sama dengan Orang Rimba dengan kawasan hutan TNBD.
memberikan kompensasi sehingga Konflik manifes pun terjadi ketika
secara tidak langsung Orang Rimba Suku Anak Dalam atau Orang Rimba
difungsikan untuk mengamankan areal memposisikan BKSD Jambi sebagai
konsensi perusahaan sehingga yang musuh bersama. Konflik ini kemudian
terlibat konflik pada akhirnya adalah dan berkembang menjadi konflik
Orang Rimba dengan warga desa (seperti muntidemensional dengan keterlibatan
kasus konflik warga Sungai Sei Ruan Ulu faktor lain dari lembaga swadaya
dengan Orang Rimba). masyarakat LSM.
Setelah era HPH berakhir dan terjadi Sejarah panjang perubahan status
perubahan status kawasan menjadi TNBD, kawasan hutan sekitar bukit duabelas
otoritas Suku Anak Dalam atau Orang sampai menjadi kawasan TNBD
Rimba dalam pemanfaatan kawasan menciptakan pertentangan seputar
seolah-olah memperoleh legitimasi secara otoritas pengelolaan dan legitimasi
Wandi: Konflik sosial suku anak dalam... 203
BKSDA Jambi terjadi sekitar tahun 2007. berarti bahwa penetapan zona kawasan
Konflik berawal dari penolakan Suku rehabilitasi kemungkinan menempati
Anak Dalam atau Orang Rimba terhadap proporsi yang lebih luas dibandingkan
rencana pengelolaan taman nasional dengan zona lainnya.
bukit duabelas (RPTNBD). Konflik ini Dalam konsep zonasi yang
melibatkan beberapa kelompok Suku ditetapkan disebutkan bahwa zona
Anak Dalam atau Orang Rimba yaitu rehabilitasi tertutup untuk untuk semua
Temenggung Ngerip, Temenggung Majid, kegiatan yang tidak ada kaitannya
Temenggung Tarib, Temenggung Jelitai, dengan program pemulihan lingkungan.
dan Temenggung Pembubar, beberapa Setelah proses intervensi berakhir, tipe
aktivis LSM yaitu dari Lembaga Sakola, zona untuk eks areal rehabilitasi akan
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) disesuaikan dengan keperluan konservasi
Jambi, Perhimpunan Petani Jambi (PPJ), kawasan (Balai TNBD, 2007: 4). Dengan
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia demikian diprediksi bahwa jika hal ini
(PBHI) Sumatera Barat, dan KKI WARSI diterapkan jelas akan mempersulit ruang
Jambi, serta pemangku kebijakan TNBD gerak Suku Anak Dalam atau Orang
yaitu BKSDA Jambi. Rimba yang bermukim di dalam TNBD.
Bentuk perlawanan dilakukan Situasinya akan diperburuk lagi dengan
Suku Anak Dalam atau orang timba penetapan daerah-daerah yang kondisi
melalui aksi-aksi demontrasi penolakan hutannya masih baik ke dalam zona-zona
RPTNBD ke kantor gubernur Provinsi yang tidak membuka ruang bagi Suku
Jambi, Kantor DPRD Provinsi Jambi, Anak Dalam atau Orang Rimba, padahal
Kantor Dinas Kehutanan Jambi. Konflik daerah-daerah yang kondisi hutannya
ini berakhir dengan sendirinya tanpa ada masih tergolong baik merupakan basis
penyelesaian ketika terjadi pergantian mata pencaharian Suku Anak Dalam
rezim pengelola TNBD dari BKSDA terhadap hasil hutan non kayu, sampai di
Jambi ke Balai TNBD. sini belum lagi kasus-kasus konflik warga
Pengelolaan TNBD dengan sistem sekitar dengan perusahaan-perusahaan
zonasi merupakan pedoman bagi pihak di TNBD yang merupakan rumah bagi
balai TNBD sebagai sebuah kemutlakan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
yang menjadi amanat dari UU No.5/1990.
Hal ini berarti bahwa setiap pemanfaatan 3.2. Dampak Konflik
ruang dalam kawasan TNBD harus Akibat nyata dari konflik ini
mengacu pada sistem zonasi yang telah adalah jatuhnya dua orang korban dari
ditetapkan. Secara fisik, kawasan hutan pihak Suku Anak Dalam atau Orang
TNBD sebagian besar sudah mengalami Rimba dan beberapa warga desa yang
kerusakan baik dari aktivitas perusahaan terlibat konfrontasi mengalami luka-
HPH sebelumnya (karena sebagian besar luka. Di samping itu warga desa telah
kawasan TNBD adalah eks areal konsesi mengalami kerugian material karena
HPH), aktivitas pembalakan liar oleh harus membayar denda adat sebanyak
warga sekitar, dan aktivitas perladangan 2.500 lembar kain kepada kelompok
Suku Anak Dalam atau Orang Rimba Suku Anak Dalam atau Orang Rimba
(meskipun bukan faktor dominan). Hal ini
Wandi: Konflik sosial suku anak dalam... 205
sebagaimana yang menjadi kesepakatan sosial antara warga desa dengan Orang
dari hasil perundingan. Rimba yang dalam hal ini terkait dengan
Di sisi lain, penghapusan praktek- menurunnya modal sosial mereka melalui
praktek pungutan terhadap warga desa pemutusan hubungan perjenengan.
yang melakukan eksploitasi terhadap Pasca konflik, jenang yang ada di desa sei
sumber daya hutan mendorong proses ruan tidak lagi menjalankan fungsinya
percepatan degradasi sumber daya hutan mengayomi Suku Anak Dalam atau
karena sudah tidak ada lagi halangan Orang Rimba begitupun sebaliknya
bagi warga desa untuk mengambil Orang Rimba tidak lagi menfungsikan
kayu dihutan, dampak ini jelas bisa jenang di desa sungai ruan ulu terutama
merugikan segala pihak: Pertama, mitos dalam hal pemasaran hasil hutan
dan sakralnya sebuah hutan bagi Suku (wawancara dengan Orang Rimba Zub).
Anak Dalam atau Orang Rimba menjadi
terkikis. Kedua, illegal logging jelas 3.3. Dilema Suku Anak Dalam
merusak lingkungan dan keasrian hutan, atau Orang Rimba di Tengah
ketiga segala konflik sosial yang terjadi Tantangan Zaman
berakibat terhadap terjadinya percepatan Tidak bisa dipungkiri mewabahnya
laju penurunan sumber daya hutan dan budaya-budaya luar yang masuk ke
hancurnya institusi lokal yang mengatur Indonesia khususnya di Jambi melalui
pola pemanfaatan sumber daya hutan. media massa serta dunia maya sangat
Efek dari konflik yang berakhir mempengaruhi eksistensi kebudayaan
pada bentrok fisik tersebut adalah Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
hukum-hukum adat baik hukum adat Meskipun proses saling mempengaruhi
yang dulu diterapkan oleh warga desa adalah gejala yang wajar dalam interaksi
setempat maupun hukum adat yang antar sesama masyarakat, dengan melalui
ada pada masyarakat Suku Anak Dalam interaksi tadi itulah antar kelompok
atau Orang Rimba, menjadi semakin masyarakat khususnya kebudayaan
lemah karena memang mereka tidak yang di Jambi saling dipengaruhi dan
lagi begitu mentaati hukum adat yang mempengaruhi termasuk kebudayaan
berlaku. Warga desa setempat yang Suku Anak Dalam atau Orang Rimba.
biasa melakukan illegal logging atau Masyarakat Jambi merupakan
pembalakan liar, akhirnya menganggap masyarakat yang majemuk dalam
bahwa kawasan tersebut adalah kawasan berbagai hal, seperti keanekaragaman
open acces, yang pada akhirnya jelas budaya, lingkungan alam, dan wilayah
melahirkan ketegangan-ketegangan geografisnya. Tentu kebudayaan lokal
khususnya mereka yang ingin mengambil tersebut sekaligus menjadi tantangan
keuntungan dari hutan, dalam hal ini untuk mempertahankan eksistensinya
perusahaan sebagai pemegang HPH demi mewarikan kepada generasi
maupun Suku Anak Dalam atau Orang selanjutnya. Kebudayaan Suku Anak
Rimba yang hidup serta mengembara di Dalam atau Orang Rimba sebenarnya
dalam hutan. sanggat membanggakan karena memiliki
Akibat lain dari konflik ini adalah keanekaragaman yang sangat bervariasi
terjadinya disharmonisasi hubungan serta memiliki keunikan tersendiri.
206 SIMULACRA, Volume 2, Nomor 2, November 2019