SOSIOLOGI KEHUTANAN
OLEH:
MAWARNI
M1A120110
KEHUTANAN C
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
1. Pemahaman Mengenai Masyarakat Lokal
masyarakat adat maupun pendatang (baik sedaerah ataupun dari luar daerah), yang
dalam pendapatan) bersama atas hasil hutan dan atau lahan hutan.
memiliki budaya sama, dan (lebih penting lagi) dapat bertindak secara
Dalam pemahaman yang luas, dapat meliputi bangsa, atau secara sempit
mereka sudah turun temurun tinggal didalam hutan, dan acap kali
berpindah-pindah.
sebutanya kelompok ini telah tinggal menetap dalam sebuah desa. Selain
bertani sebagian juga ada yang hidup dari kerajinan atau bertukang
lainya di luar hutan. Hasil yang diperoleh dari hutan ditunjukan baik untuk
asal nya sehinnga bersifat homogen dan hukum adat masih diberlakukan
utamanya berasal dari hutan, dan memiliki teknologi usaha tani berladang.
Masyarakat baru yang transisi yaitu mereka yang mencoba merubah
kehidupan dan penghidupanya ke arah lebih baik dengan datang dan atau
tinggal pada wilayah-wilayah yang relatif terbuka seperti di tepi jalan atau
tani menetap dengan jenis-jenis utama tanaman keras yang niagawi (karet,
buah-buahan, dan pala wijawa). Akan tetapi mereka juga masih melakukan
pendapat keluarga.
Masyarakat yang menetap yaitu yang telah tinggal pada suatu kampung
wilayah yang memiliki akses yang lebih luas terhadap kehidupan diluar
masih tergantung dari sumber daya hutan (kayu, rotan, hewan buruan,
obat-obatan tradisonal).
unik, dimana manusia merupakan bagian dari ekosistem hutan itu sendiri.
akan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti rotan , woka sagu , pala
dan (b) konsumtif, yaitu yang dikonsumsi sendiri atau tidak dijual. HHBK
tumbuhan alam sebagai obat tradisional. Tali Kuning( banyak digunakan untuk
tambahan masyarakat, sedangkan tiga jenis lainnya bersifat produktif. Rotan, daun
pandan dan daun woka dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku kerajinan.
Daun woka banyak digunakan oleh Masyarakat sebagai bahan baku pembuatan
rumah terutama untuk atap dan dinding. Daun Woka juga seringkali digunakan
sebagai wadah untuk memasak makanan dan sebagai media untuk membawa hasil
buruan.
4. Kearifan lokal terhadap ekosistem hutan
Pada dasarnya kearifan lokal telah diturunkan sejak turun menurun oleh
nenek moyang sejak zaman dahulu kala. Seiring dengan kemajuan zaman seperti
penduduk yang begitu pesat, tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya
modernisasi sangat jelas terlihat dengan bentuk bangunan yang sebagian besar
telah menggunakan beton serta genteng yang terbuat dari genteng. Pertumbuhan
menentukan suatu kawasan hutan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-
sama. Kearifan lokal seperti itu telah terbukti ampuh menyelamatkan suatu
kawasan beserta isinya dengan berbagai bentuk larangan yang disertai dengan
sanksi adat bagi yang melanggarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pattinama
(2009),
Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat lokal, baik
ditinjau dari aspek kepercayaan dan kesejarahan pada masyarakat tradisional
ataupun secara umum bagi kepentingan sosial ekonomi dalam kehidupan sehari-
hari Sardjono 1998. Berkaitan dengan hal tersebut, Soekanto 1981 dalam
Sardjono 1998 mengemukakan bahwa dimana ada suatu masyarakat persekutuan
hidup yang menduduki suatu tempat untuk menjalankan hidupnya. Di dalam
masyarakat tersebut juga terdapat hukum atau aturan, dimana mereka berhak
untuk menguasai tanah, air, beserta pohon- pohon yang ada sebagai ‘hak untuk
menguasai sepenuhnya‘.
Menurut Abdurrachman 1978, dalam Sardjono 1998, hak persekutuan atas tanah
tersebut biasanya memiliki istilah lokal sesuai wilayah adatnya. Hak atas tanah
yang menyangkut keseluruhan adat inilah yang dinamakan dengan hak ulayat.
Terdapat suatu teori yang disebut ‗penentuan oleh lingkungan‘ yang menyatakan
bahwa budaya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana budaya ini
berkembang. Keterangan: F=Fungsi, M=Manfaat Sumber: Sardjonoetal 1998.
Pola Ekstraksi yang Relatif Tidak Merusak Antara Hutan dan Masyarakat Masih
dalam dalamSardjono 1998, Abdurrachman 1978 dan Soekanto 1981 juga
menyatakan meskipun hak ulayat mendasarkan pada pengelolaan tanah untuk
kepentingan bersama, akan tetapi memungkinan setiap warga yang ingin
mendapatkan manfaat atas sebidang tanah sepanjang diketahui dan memperoleh
izin dari kepala masyarakat hukum adat setempat. Hak perorangan tersebut
merupakan hak milik, dan akan menjadi hak ulayat kembali jika tanah- tanah itu
ditinggalkan dan tidak diurus selama beberapa tahun. Pemanfaatan hasil
pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat disamping dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat juga untuk menopang kelangsungan kelembagaan adat itu
sendiri. ekosistem mineral tanaman hewan mikro organisme air tanah topografi
iklim hutan keluarga kelompok prasarana pemukima.
Individu Budaya Pendidikan Kesehatan Ekonomi, dapat merupakan salah
satu aturan adat yang memang berlaku di daerah setempat sehingga ketentuan adat
tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat. Integrasi Hutan dan Budaya Budaya atau
cara hidup erat kaitannya dengan lingkungan, dan ini berlaku juga pada
masyarakat hutan. Mungkin ada tempat-tempat keramat di dalam hutan, sistem-
sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan erat dengan perasaan
masyarakat tentang diri mereka, fungsi keamanan dari tumbuhan hutan selama
musim paceklik, dan hubungan-hubungan lainnya. Terkait dengan ketergantungan
masyarakat dengan hutan, Sardjonoetal 1998 mengindentifikasi bentuk
interdependensi hutan dan masyarakat, yang salah satunya merupakan pola
ekstraksi. Pola ekstraksi ini dijumpai pada kelompok masyarakat tradisional yang
lokasinya tidak langsung berdekatan dengan industri. Pemanfaatan sumberdaya
sebatas kebutuhan dan dikendalikan etika dan norma yang berlaku. Pandangan
bahwa lingkungan sosial merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas
mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati. Untuk
lebih melihat bagaimana hubungan hutan dengan masyarakat dalam pola
ekstraksi.
6. Berbagai praktek pengelolaan hutan secara tradisional
bagian dari alam itu sendiri yang berarti harus dijaga keseimbangannya.
yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga wajib untuk menjaga dan
menebang dalam areal yang terdapat sumber mata air, tidak boleh
masyarakat lokal menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional dan
global (Chomitz et al. 2007; Lynch dan Talbott 2001; Suharjito at al.
(Golar 2007). Hal ini berkaitan dengan kegagalan pengelolan hutan yang
turun termurun dalam memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada
pengakuan dan perlindungan hak (Arizona, Malik, & Irena Lucy Ishimora, 2017).
Namun menurut (Suardi et al., 2016) bahwa akan lebih lengkap apabila peran dan
adat dengan alam terdapat kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis
Kasepuhan. Dimana situasi terdiri dari berbagai analisis terhadap sumber daya
Lingkup aksi interaksi masyarakat dan sumber daya alam yang ada;
sumber daya
Masyarakat lokal
individu, sehingga menurut paham ini sifat sosial yang diperoleh dari
tanpa keduanya tidak ada makhluk yang disebut manusia. Sebagai seorang
wadah dari berbagai aktivitas tindakan manusia, secara mutlak pula akan
sumber daya. Keuntungan ekonomi tetap mejadi salah satu tujuan penting