Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU

SOSIOLOGI KEHUTANAN

OLEH:
MAWARNI
M1A120110
KEHUTANAN C

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
1. Pemahaman Mengenai Masyarakat Lokal

Masyarakat lokal merupakan sekelompok orang, baik yang disebut

masyarakat adat maupun pendatang (baik sedaerah ataupun dari luar daerah), yang

telah turun-temurun tinggal didalam sekitar hutan, sehingga memiliki keterkaitan

kehidupan (teknologi dan norma budaya) serta penghidupan (meliputi substensi

dalam pendapatan) bersama atas hasil hutan dan atau lahan hutan.

 Istilah masyarakat lokal didefinisikan berbeda-beda oleh ahli sosiologi,

secara umum mengandung persamaan yaitu menjelaskan sekelompok

manusia, yang hidup bersama pada suatu wilayah geografis tertentu,

memiliki budaya sama, dan (lebih penting lagi) dapat bertindak secara

teratur dan terintegrasi dalam mencapai tujuan bersama karena memiliki

pranata sosial yang sama.

 Dalam pemahaman yang luas, dapat meliputi bangsa, atau secara sempit

dapat berupa suatu kampung .

 Istilah masyarak lokal (Local Communty ), ada juga yang menyebutnya

sebagai masyarakat tempatan.

2. Tipologi masyarakat sekitar hutan

Beberapa ahli peneliti membuat tipologi masyarakat lokal secara berbeda

menurut sudut pandang masing-masing.

 Von maydel( 1989), berpendapat bahwa masyarakat lokal pada dasarnya

cukup dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:

1. Pemburu (Huters) dan peramu (gatherers atau pengumpul), hasil hutan,

atau juga diistilahkan degan penghuni hutan (forest dwellers). Kalawpun


ada yang bercocok tanamam dan berternak hal tersebut dilakukan dengan

sangat sederhana. Secara umum hasil yang diperoleh lebih banyak

digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence) kelompok ini

dapat dikatan sebagai komponen alami dari ekosistem hutan, karena

mereka sudah turun temurun tinggal didalam hutan, dan acap kali

berpindah-pindah.

2. Petani sekitar hutan (forest farmers) yang pada umumnya merupakan

penduduk desa sekitar hutan (forest surrounding vilagers). Sesuai dengan

sebutanya kelompok ini telah tinggal menetap dalam sebuah desa. Selain

bertani sebagian juga ada yang hidup dari kerajinan atau bertukang

(craftsmen) atau pedagan (traders). walaupun kehidupanya masih sangat

erat berhubungan dengan hutan, tetapi juga tergantung dari sumber-sumber

lainya di luar hutan. Hasil yang diperoleh dari hutan ditunjukan baik untuk

keperluan sendiri (subsistence) atau untuk dijual (commerical).

3. Awang (1993) mengklasifakan masyarat lokal menjadi tiga kelompok

besar berdasarkan perkembangan pemukiman dan sosial ekonominya:

 Masyarakat terisolir: yaitu mereka yang tinggal wilayah terisolir (remote

areas), biasanya pada wilayah geografis perbukitan, lembah-lembah tau

tepi sungai merupakan kelompok masyarakat adat yang berada ditempat

asal nya sehinnga bersifat homogen dan hukum adat masih diberlakukan

(termaksutk adanya tanah adat yang dihormati bersama), kebutuhan hidup

utamanya berasal dari hutan, dan memiliki teknologi usaha tani berladang.
 Masyarakat baru yang transisi yaitu mereka yang mencoba merubah

kehidupan dan penghidupanya ke arah lebih baik dengan datang dan atau

tinggal pada wilayah-wilayah yang relatif terbuka seperti di tepi jalan atau

pusat kegiatan (basecamp) HPH, HTI. karena perpindahan dari tempat

asalnya maka merupakan kelompok masyarakat yang relatif heterogen

(sehingga ikatan adat semakin longgar, termasuk soal status lahanya),

mulai memiliki akses pasar dan oleh karenanya mengembangkan usaha

tani menetap dengan jenis-jenis utama tanaman keras yang niagawi (karet,

buah-buahan, dan pala wijawa). Akan tetapi mereka juga masih melakukan

kegiatan berburu dan memungut hasil hutan nir-kayu untuk menambah

pendapat keluarga.

 Masyarakat yang menetap yaitu yang telah tinggal pada suatu kampung

(termaksud kampung tua yang dibentuk nenek moyang ). Pada wilayah-

wilayah yang memiliki akses yang lebih luas terhadap kehidupan diluar

dan oleh karenanya lebih berkembang dibandingkan kelompok masyarakat

terisolir dan transisi. Pendapatan bergantung utamanya dari berbagai pola

penggunaan lahan adan aktivitas produksi (perikanan, perkebunan

tanaman keras dan kebun campuran, pertanian sawah dan ladang

sekaligus). Walaupun demikian beberapa kebutuhan hidup sehari-hari

masih tergantung dari sumber daya hutan (kayu, rotan, hewan buruan,

obat-obatan tradisonal).

3. Ketergantungan masyarakat lokal terhadap hutan


 Penggunaan kayu Masyarakat lokal dan hutan memiliki hubungan yang

unik, dimana manusia merupakan bagian dari ekosistem hutan itu sendiri.

Hubungan timbal balik antara manusia dan hutan merupakan interaksi

yang saling mempengaruhi. Jika hutan rusak maka kehidupan manusia

terancam, sebaliknya jika manusia terpenuhi kesejahteraannya maka

kelestarian hutan terjaga pula.

 Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu Ketergantungan masyarakat lokal

akan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti rotan , woka sagu , pala

( dan lainnya sangat tinggi. Menurut Primack (1993) sumberdaya hutan

yang dimanfaatkan oleh masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua

kategori antara lain : (a) produktif, yaitu yang diperjualbelikan di pasar,

dan (b) konsumtif, yaitu yang dikonsumsi sendiri atau tidak dijual. HHBK

yang dimanfaatkan masyarakat.

Sebagian besar HHBK sifatnya konsumtif khususnya pemanfaatan jenis-jenis

tumbuhan alam sebagai obat tradisional. Tali Kuning( banyak digunakan untuk

pengobatan berbagai jenis penyakit dalam dan meningkatkan stamina tubuh.

Tumbuhan sayuran selain dikonsumsi sendiri juga dijual sebagai pendapatan

tambahan masyarakat, sedangkan tiga jenis lainnya bersifat produktif. Rotan, daun

pandan dan daun woka dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku kerajinan.

Daun woka banyak digunakan oleh Masyarakat sebagai bahan baku pembuatan

rumah terutama untuk atap dan dinding. Daun Woka juga seringkali digunakan

sebagai wadah untuk memasak makanan dan sebagai media untuk membawa hasil

buruan.
4. Kearifan lokal terhadap ekosistem hutan

Pada dasarnya kearifan lokal telah diturunkan sejak turun menurun oleh

nenek moyang sejak zaman dahulu kala. Seiring dengan kemajuan zaman seperti

masuknya teknologi modern seperti internet dan telepon genggam, pertumbuhan

penduduk yang begitu pesat, tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya

peranan pemerintah membuat kearifan lokal tersebut semakin menurun. Pengaruh

modernisasi sangat jelas terlihat dengan bentuk bangunan yang sebagian besar

telah menggunakan beton serta genteng yang terbuat dari genteng. Pertumbuhan

penduduk merupakan salah satu penyebab yang sangat berpengaruh terhadap

keberadaan kearifan lokal. Pertumbuhan penduduk yang pesat serta semakin

meningkatnya tingkat kebutuhan mengakibatkan sebagian masyarakat kurang

memperhatikan aspek elestarian lingkungan sehingga tak jarang melakukan hal-

hal yang dapat menurunkan fungsi hutan.

Meskipun kearifan lokal tidak mengenal istilah konservasi, secara

turuntemurun ternyata mereka sudah mempraktekkan aksi pelestarian terhadap

tumbuhan dan hewan yang cukup mengagumkan. Misalnya masyarakat

menentukan suatu kawasan hutan atau situs yang dikeramatkan secara bersama-

sama. Kearifan lokal seperti itu telah terbukti ampuh menyelamatkan suatu

kawasan beserta isinya dengan berbagai bentuk larangan yang disertai dengan

sanksi adat bagi yang melanggarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pattinama

(2009),

kearifan lokal akan menjamin keberhasilan karena didalamnya

mengandung norma dan nilai-nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya


membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya

hidup dan kebutuhan manusia.

5. Aspek tanah pada masyarakat lokal sekitar hutan

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat lokal, baik
ditinjau dari aspek kepercayaan dan kesejarahan pada masyarakat tradisional
ataupun secara umum bagi kepentingan sosial ekonomi dalam kehidupan sehari-
hari Sardjono 1998. Berkaitan dengan hal tersebut, Soekanto 1981 dalam
Sardjono 1998 mengemukakan bahwa dimana ada suatu masyarakat persekutuan
hidup yang menduduki suatu tempat untuk menjalankan hidupnya. Di dalam
masyarakat tersebut juga terdapat hukum atau aturan, dimana mereka berhak
untuk menguasai tanah, air, beserta pohon- pohon yang ada sebagai ‘hak untuk
menguasai sepenuhnya‘.
Menurut Abdurrachman 1978, dalam Sardjono 1998, hak persekutuan atas tanah
tersebut biasanya memiliki istilah lokal sesuai wilayah adatnya. Hak atas tanah
yang menyangkut keseluruhan adat inilah yang dinamakan dengan hak ulayat.
Terdapat suatu teori yang disebut ‗penentuan oleh lingkungan‘ yang menyatakan
bahwa budaya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana budaya ini
berkembang. Keterangan: F=Fungsi, M=Manfaat Sumber: Sardjonoetal 1998.
Pola Ekstraksi yang Relatif Tidak Merusak Antara Hutan dan Masyarakat Masih
dalam dalamSardjono 1998, Abdurrachman 1978 dan Soekanto 1981 juga
menyatakan meskipun hak ulayat mendasarkan pada pengelolaan tanah untuk
kepentingan bersama, akan tetapi memungkinan setiap warga yang ingin
mendapatkan manfaat atas sebidang tanah sepanjang diketahui dan memperoleh
izin dari kepala masyarakat hukum adat setempat. Hak perorangan tersebut
merupakan hak milik, dan akan menjadi hak ulayat kembali jika tanah- tanah itu
ditinggalkan dan tidak diurus selama beberapa tahun. Pemanfaatan hasil
pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat disamping dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat juga untuk menopang kelangsungan kelembagaan adat itu
sendiri. ekosistem mineral tanaman hewan mikro organisme air tanah topografi
iklim hutan keluarga kelompok prasarana pemukima.
Individu Budaya Pendidikan Kesehatan Ekonomi, dapat merupakan salah
satu aturan adat yang memang berlaku di daerah setempat sehingga ketentuan adat
tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat. Integrasi Hutan dan Budaya Budaya atau
cara hidup erat kaitannya dengan lingkungan, dan ini berlaku juga pada
masyarakat hutan. Mungkin ada tempat-tempat keramat di dalam hutan, sistem-
sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan erat dengan perasaan
masyarakat tentang diri mereka, fungsi keamanan dari tumbuhan hutan selama
musim paceklik, dan hubungan-hubungan lainnya. Terkait dengan ketergantungan
masyarakat dengan hutan, Sardjonoetal 1998 mengindentifikasi bentuk
interdependensi hutan dan masyarakat, yang salah satunya merupakan pola
ekstraksi. Pola ekstraksi ini dijumpai pada kelompok masyarakat tradisional yang
lokasinya tidak langsung berdekatan dengan industri. Pemanfaatan sumberdaya
sebatas kebutuhan dan dikendalikan etika dan norma yang berlaku. Pandangan
bahwa lingkungan sosial merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas
mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati. Untuk
lebih melihat bagaimana hubungan hutan dengan masyarakat dalam pola
ekstraksi.
6. Berbagai praktek pengelolaan hutan secara tradisional

Masyarakat lokal biasanya memiliki banyak prinsip-prinsip atau norma-

norma tradisional yang dihormati dan dipraktekkan masyarakat adat dalam

mengelola sumberdaya alam dan lingkungan sekitar, yaitu antara lain:

 ketergantungan manusia terhadap alam yang mensyaratkan adanya

keselarasan hubungan di antara keduanya, di mana manusia merupakan

bagian dari alam itu sendiri yang berarti harus dijaga keseimbangannya.

Penguasaan atas kewilayahan adat tertentu bersifat umum atau kolektif

yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga wajib untuk menjaga dan

mengelolanya. Hal tersebut akan mengamankan sumberdaya alam dari

eksploitasi pihak luar.


 Adanya ikatan sosiokultural dan religius dengan lingkungan lokalnya,

sehingga menimbulkan kepercayaankepercayaan seperti: “Tidak boleh

menebang dalam areal yang terdapat sumber mata air, tidak boleh

menebang kayu atau merambah hutan yang berada di puncak gunung,

tidak boleh serakah atau secara sembarangan memanfaatkan sumberdaya

alam, nanti alam akan membalas keserakahan dengan malapetaka.”

 Kajian kelestarian pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan eksistensi

masyarakat lokal menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional dan

global (Chomitz et al. 2007; Lynch dan Talbott 2001; Suharjito at al.

2000). Sebab masyarakat lokal mempunyai kearifan dalam pengelolaan

hutan (Edmuns dan Wollenberg 2003; Nath 2005; Claridge dan

O’Callaghan 1995; Korten 1986; Awang 2004) seperti kelembagaan adat

(Golar 2007). Hal ini berkaitan dengan kegagalan pengelolan hutan yang

dikembangkan selama ini yang menyebabkan kerusakan ekologi,

kemiskinan dan kehancuran sistem budaya masyarakat. Di sisi lain

ternyata masih banyak kearifan pengelolaan dan modal sosial yang

tersebar di seluruh pelosok nusantara.

7. Kelembagaan Tradisional Dalam pengelolaan hutan

Dalam pengelolaan hutan, masyarakat adat memiliki pengetahuan secara

turun termurun dalam memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada

di sekitar tempat mereka tinggal seperti masyarakat Kasepuhan sudah menerapkan

pola pemanfaatan hutan yang sustainable, dengan menggunakan sistem zonasi

leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung bukaan. Komunitas masyarakat


adat merupakan faktor pertama dan penentu bagi hadirnya produk hukum

pengakuan dan perlindungan hak (Arizona, Malik, & Irena Lucy Ishimora, 2017).

Namun menurut (Suardi et al., 2016) bahwa akan lebih lengkap apabila peran dan

fungsi kelembagaan ditingkatkan, karena lembaga tersebut merupakan pemangku

kepentingan yang bersentuhan secara langsung dan memiliki hubungan

ketergantungan yang kuat. Terkait dalam hubungan manusia terutama masyarakat

adat dengan alam terdapat kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis

antara mereka dengan ekosistem hutannya sebagaimana tercantum pada Peraturan

Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat

Kasepuhan. Dimana situasi terdiri dari berbagai analisis terhadap sumber daya

alam yang ada. Struktur terdiri dari:

 Batasan terhadap berbagai berpartisipasi pemangku kepentingan

 Lingkup aksi interaksi masyarakat dan sumber daya alam yang ada;

 distribusi kewenangan antar berbagai pemangku kepentingan

 Keputusan-keputusan yang diambil oleh masyarakat dalam pengelolaan

sumber daya alam

 Aturan-aturan yang mengatur hubungan antar pemangku kepentingan

 Sanksi dan penghargaaan terhadap pengelolaan sumber daya alam

tersebut. Perilaku terdiri dari Pilihan-pilihan keputusan masyarakat dan

pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut,

konsekuensi-konsekuensi yang dihadapi akibat pilihan terhadap

keputusan-keputusan pengelolaan yang dilakukan dan perilaku yang


berdampak terhadap sumber daya alam tersebut dan kinerja terdiri dari

gambaran kesejahteraan atas pengelolaan sumber daya alam tersebut,

kesempatan kerja bagi masyarakat atas pengelolaan sumber daya alam

tersebut, perkembangan, dan efisiensi dari kegiatan pengelolaan sumber

daya alam tersebut

8. Mosaik sosiologis kehutanan: masyarakat lokal, politik dan kelestarian

sumber daya

 Masyarakat lokal

Masyarakat Lokal  adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata


kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai
nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.” (Pasal 1 Angka 34
UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil). “Masyarakat Lokal (2)  adalah kelompok Masyarakat
yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang
sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak
sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
tertentu” (Pasal 1 Angka 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
 Politik
Secara umum sosiologi politik mengkaji hubungan antara masyarakat dan

negara sedangkan secara khusus sosiologi politik memfokuskan

perhatiannya antara lain pada kajian kondisi-kondisi sosial yang

mempengaruhi pembuatan program publik yang ditetapkan pemerintah,

pengaruh kelompok sosial tertentu terhadap kebijakan yang dikeluarkan


oleh pemerintah serta kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya

demokrasi yang stabil. Pemahaman tentang sosiologi politik tidak dapat

terlepas dari pemahaman dasar sosiologi tentang individu dan masyarakat.

Terdapat dua paham yang menjelaskan posisi manusia, yaitu pertama

individualisme yang menyatakan secara tegas bahwa manusia itu adalah

makhluk individual, sedangkan paham kolektivisme secara tegas pula

menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia terlahir

sebagai individu, hidup dan bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai

individu, sehingga menurut paham ini sifat sosial yang diperoleh dari

lingkungannya hanya bersifat sementara. Jadi upaya pemenuhan berbagai

kepentingan individu harus lebih diprioritaskan daripada kepentingan

masyarakat. Sedangkan paham Dalam hal ini sebenarnya antara individu

dan masyarakat keduanya saling membutuhkan dan saling tergantung,

tanpa keduanya tidak ada makhluk yang disebut manusia. Sebagai seorang

individu manusia secara bebas akan dapat menentukan tindakan yang

harus dilakukannya, menentukan sikap terhadap lingkungan masyarakat

sekitarnya, dan sebagai individu pula ia bertanggung jawab atas segala

tindakannya. Tetapi meskipun demikian kemampuan individu untuk

menentukan sikap dan tindakannya tersebut karena ia menjadi anggota

suatu masyarakat. Artinya bahwa masyarakat yang merupakan suatu

wadah dari berbagai aktivitas tindakan manusia, secara mutlak pula akan

menentukan tindakan manusia.

 Kelestarian sumber daya:


Rachman(2012), menjelaskan bahwa konservasi adalah upaya

melestarikan/ mengawetkan daya dukung, mutu, fungsi, dan kemampuan

lingkungan secara seimbang. Tujuan konservasi adalah:

a). Mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan

ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan

kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia,

b). Melestarikan kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Manusia sebagai pengelolala

lingkungan harus memiliki wawasan dan perilaku konservasi. Wawasan

konservasi adalah suatu pandangan dan sikap kejiwaan yang menggunakan

keawetan atau kelangsungan manfaat sebagai suatu asas dalam mengelola

sumber daya. Keuntungan ekonomi tetap mejadi salah satu tujuan penting

namun dilengkapi dengan tujuan memelihara sumber daya dan

menyelamatkan lingkungan secara berkelanjutan (Notohadiprawiro, 1998).

Anda mungkin juga menyukai