Anda di halaman 1dari 10

M-2

MASYARAKAT LOKAL
DAN SUMBERDAYA
HUTAN
Sumber: Mustofa Agung Sardjono. 1999. Mosaik
Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik, dan
Kelestarian Sumberdaya. Jogyakarta: Debut
2.1. PEMAHAMAN MENGENAI MASYARAKAT
LOKAL
• Istilah `masyarakat' didefinisikan berbeda-beda oleh ahli sosiologi. Secara
umum mengandung persamaan, yaitu: menjelaskan sekelompok manusia,
yang hidup bersama pada suatu wilayah geografis tertentu, memiliki budaya
sama, dan (lebih penting lagi) dapat bertindak secara teratur dan
terintegrasi dalam mencapai tujuan bersama karena memiliki pranata sosial
yg sama.
• Dalam pemahaman yg luas, dapat meliputi ‘bangsa‘, atau secara sempit
dapat berupa suatu ‘kampung’.
• Siapakah yang dimaksud Masyarakat Lokal ?
• ISTILAH `masyarakat lokal' (local community), ada juga yang menyebutnya
sebagai `masyarakat tempatan'
Jadi siapa yang dimaksud dengan masyarakat lokal?

Pengertian masyarakat lokal:


Sekelompok orang, baik yang disebut masyarakat adat maupun
pendatang (baik sedaerah ataupun dari luar daerah), yang telah
turun-temurun tinggal di dalam dan sekitar hutan, sehingga
memiliki keterikatan kehidupan (teknologi dan norma budaya) serta
penghidupan (meliputi subsistensi dan pendapatan) bersama atas
hasil hutan dan/atau lahan hutan (Sardjono, 2004).
2.2. Tipologi masyarakat sekitar hutan

• Beberapa ahli/peneliti membuat tipologi masyarakat lokal secara berbeda menurut sudut pandang
masing-masing.
• Von Maydell (1989) berpendapat bahwa masyarakat lokal pada dasarnya cukup dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
(1) Pemburu (hunters) dan peramu (gatherers = pengumpul) hasil hutan, atau juga diistilahkan dengan
penghuni hutan (forest dwellers). Kalaupun ada yang bercocok tanam dan beternak, hal tersebut
dilakukan secara sangat sederhana. Secara umum hasil yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence). Kelompok ini dapat dikatakan sebagai komponen alami
dari ekosistem hutan, karena mereka sudah turun temurun tinggal di dalam hutan, dan acapkali
berpindah-pindah.
(2) Petani sekitar hutan (forest farmers) yang pada umumnya merupakan penduduk desa sekitar hutan
(forest surrounding villagers). Sesuai dengan sebutannya, kelompok ini telah tinggal menetap dalam
sebuah desa. Selain bertani sebagian juga ada yang hidup dari kerajinan/bertukang (craftsmen) atau
pedagang (traders). Walaupun kehidupannya masih sangat erat berhubungan dengan hutan, tetapi
juga tergantung dari sumber-sumber lainnya di luar hutan. Hasil yang diperoleh dari hutan ditujukan
baik untuk keperluan sendiri (subsistence) atau untuk dijual (commercial).
• Awang (1993) mengklasifikasikan masyarakat lokal menjadi tiga kelompok besar berdasarkan perkembangan
pemukiman dan sosial-ekonominya:
(1) Masyarakat Terisolir: yaitu mereka yang tinggal wilayah terisolir (remote areas), biasanya pada wilayah geografis perbukitan,
lembah-lembah atau tepi sungai, merupakan kelompok masyarakat adat yang berada di tempat asalnya sehingga bersifat
homogen dan hukum adat masih diberlakukan (termasuk adanya tanah adat yang dihormati bersama), kebutuhan hidup
utamanya berasal dari hutan, dan memiliki teknologi usahatani berladang.
(2) Masyarakat Baru Yang Transisi: yaitu mereka yang mencoba merubah kehidupan dan penghidupannya ke arah lebih baik
dengan datang dan/atau tinggal pada wilayah-wilayah yang relatif terbuka seperti di tepi jalan atau pusat kegiatan
(basecamp) HPH, HTI. Karena perpindahan dari tempat asalnya maka merupakan kelompok masyarakat yang relatif
heterogen (sehingga ikatan adat semakin longgar, termasuk soal status lahannya), mulai memiliki akses pasar dan oleh
karenanya mengembangkan usaha tani menetap dengan jenis-jenis utama tanaman keras yang niagawi (karet, buah-buahan,
dan palawija). Akan tetapi mereka juga masih mlakukan kegiatan berburu dan memungut hasil hutan nir-kayu untuk
menambah pendapatan keluarga;
(3) Masyarakat Yang Menetap: yaitu yang telah tinggal pada di suatu kampung (termasuk kampung tua yang dibentuk nenek
moyang), pada wilayah-wilayah yang memiliki akses lebih luas terhadap kehidupan di luar dan oleh karenanya lebih
berkembang dibandingkan kelompok masyarakat terisolir dan transisi. Pendapatannya bergantung utamanya dari berbagai
pola penggunaan lahan dan aktivitas produksi (perikanan, perkebunan tanaman keras dan kebun campuran, pertanian sawah
dan ladang sekaligus). Walaupun demikian beberapa kebutuhan hidup sehari-hari masih tergantung dari sumberdaya hutan
(kayu, rotan, hewan buruan, obat-obatan tradisional, dll).
• Djatmiko (1999) dalam kaitannya dengan pengembangan community forestry,
mengelompokan masyarakat lokal sekitar hutan berdasarkan hubungannya dengan
pengelolaan sumberdaya hutan menjadi 4 kelompok:
(1) Masyarakat penghuni hutan (forest dwellers), ialah suku-suku asli yang tinggal dan hidup di
dalam hutan dan mengembangkan budayanya sendiri dalam memanfaatkan dan
mengelola hutan. Masyarakat suku asli ini memiliki hukum adatnya sendiri berkenaan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan;
(2) Masyarakat adat pengelola hutan (indigenous people), ialah masyarakat adat yang
meskipun tidak tinggal di dalam hutan, namun menguasai dan mengelola kawasan hutan
untuk kepentingan bersama. Sebagian dari masyarakat adat ini memiliki wilayah hutan
yang khusus diperuntukkan bagi keperluan religi;
(3) Masyarakat pemilik hutan (forest owners), ialah masyarakat yang membudidayakan,
memiliki dan mengelola hutan-hutan rakyat, baik yang terikat di dalam hukum adat
ataupun tidak;
(4) Masyarakat lokal di sekitar hutan (local communities), ialah masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan dan memanfaatkan hutan, namun tidak memiliki atau menguasai kawasan
hutan.
• Devung (2000) berdasarkan pengamatannya pada masyarakat sekitar hutan di Kalimantan
Timur menggunakan dua dasar klasifikasi, yakni sejarah dan pola penggunaan hutan :

• Berdasarkan hubungan sejarah dengan sumberdaya hutan, dapat dikelompokkan atas:


a) Masyarakat adat dengan wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang relatif masih sama seperti dulu;
b) Masyarakat adat dengan wilayah adat dan wilayah desa tradisional yang sudah terbagi atau terpisah oleh
sistem administrasi pemerintahan, perpindahan penduduk, resetel men, relokasi desa, kehadiran proyek
pembangunan, perusahaan,
c) Masyarakat lokal dengan wilayah desa tradisional yang relatif masih sama seperti dulu;
d) Masyarakat lokal dengan wilayah tradisional yang sudah terbagi atau terpisah oleh sistem pemerintahan,
perpindahan penduduk, resetelmen, relokasi desa, kehadiran proyek pembangunan, perusahaan, dan
sebagainya;
• Berdasarkan pola penggunaan sumberdaya hutan, terbagi atas:
a. Masyarakat yang kehidupannya sepenuhnya tergantung dari sumberdaya hutan di sekitarnya;
b. Masyarakat yang kehidupannya sebagian tergantung darri sumberdaya hutan di sekitarnya;
c. Masyarakat yang kehidupannya tidak seberapa tergantung dari sumberdaya hutan di sekitarnya; dan
d. Masyarakat yang kehidupannya sama sekali tidak tergantung dari sumberdaya hutan di sekitarnya.
Sardjono (2004), menarik benang merah dari pengklasifikasian sebelumnya dan dg
mengantisipasi perkembangan sosial-ekonomi yang pesat di masa mendatang, membagi
masyarakat lokal menjadi dua kelompok yang lebih umum, yaitu:

(1) Masyarakat lokal tradisional (local traditional community), yaitu masyarakat yang sudah
berada turun- temurun di dalam atau sekitar hutan, baik yang saat ini sudah atau belum
bertempat tinggal pada suatu desa yang definitif, tetapi masih memiliki dan
mempraktekkan kelembagaan (organisasi, struktur dan norma) adat dan teknologi
tradisionalnya dalam kehidupan sehari-hari (termasuk dalam mengelola sumberdaya hutan
sebagai sumber utama kehidupan dan penghidupan disamping kegiatan perladangan dan
perkebunan tradisional). Umumnya kelompok tradisional ini merupakan masyarakat asli,
yang relatif bersifat homogen (dari satu etnik dan memiliki hubungan kekerabatan yang
erat), lokasi tempat tinggalnya terpencil atau terisolir (khususnya dan kegiatan
pembangunan), dan oleh karenanya fasilitas fisik dan prasarana sosial lainnya tertinggal
(termasuk pendidikan dan kesehatan), serta pola, dan orientasi hidupnya sederhana
(bahkan ada beberapa kelompok yang masih bersifat tertutup terhadap orang asing).
Termasuk dalam kelompok ini antara lain di Sumatera adalah Suku Talang Mamaj (di Riau),
Suku Anak Dalam (di Jambi), Dayak Kenyah (di Long Iban, Kaltim), Suku Dani (di Papua), dll.
• 2. Masyarakat lokal non-tradisional (local non-traditional community), yaitu
masyarakat asli ataupun pendatang yang telah tinggal permanen di pemukiman,
dusun ataupun desa-desa definitif di dalam dan sekitar hutan, meskipun tidak
memiliki (dan apalagi mempraktekkan) institusi-adat (kalaupun ada bersifat sangat
longgar) tetapi ada yang telah mengembangkan aturan/kesepakatan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya alam di sekitarnya termasuk pemanfaatan sumberdaya
hutan (hasil hutan dan lahan hutan untuk pertanian). Lokasi relatif terbuka
(aksesibilitas cukup tinggi) dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan
ekonomi (ada kegiatan pasar, warung, dan industri rumah tangga), dan/atau berada
di sekitar pusat pemerintahan lokal (ibukota Kecamatan ataupun Kota/Kabupaten).
Keterbukaan wilayah juga mengakibatkan struktur demografinya heterogen
(multietnik), lokasinya tersentuh dengan beberapa program pembangunan
(khususnya sarana dan prasarana sosial-ekonomi, pendidikan dan kesehatan),
motivasi dan orientasi semi-komersial hingga komersial mulai mewarnai kehidupan
perekonomian masyarakat. Contoh masyarakat ini lebih banyak daripada masyarakat
yang masih tradisional, tetapi pada umumnya memang dijumpai pada desa-desa di
hilir dan/atau tepi sungai dan wilayah pantai di Sumatera dan Kalimantan.
SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai