Anda di halaman 1dari 15

ANTROPOLOGI TERAPAN

PERMASALAHAN DI BIDANG ANTROPOLOGI KEHUTANAN DAN


SOLUSINYA

OLEH :

KELOMPOK 9

ADIATI : N1A118042

ERMINA : N1A118057

SULPIANA : N1A118038

MUHAMAD YUSUF : N1A118035

IDUL
Hutan sebagai modal pembangunan nasional mengandung potensi manfaat
yang besar bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik dari
asas/manfaat ekonomi, sosial budaya, maupun lingkungan. Karena
manfaatnya yang besar sudah sepantasnya hutan tetap dijaga kelestariannya
dan dimanfaatkan sesuai dengan kaidah-kaidah kelestarian. Sistem
pemeritahan yang sentralistik (terpusat) dan bersifat top down ternyata telah
memberikan dampak yang buruk pada segi kehidupan termasuk dalam
bidang pembangunan kehutanan. Dampak-dampak tersebut antara lain :
1. terjadinya krisis kehutanan seperti rusaknya hutan dan ekosistemnya
(lingkungan). Dimana hal ini terjadi karena adanya kebijakan pengelolaaan
hutan yang berorientasi ekonomi yanitu mengejar hasil hutan dalam bentuk
kayu,
2. terpinggirkannya masyarakat lokal (adat), yang tinggal di dalam maupun
sekitar kawasan hutan dan memiliki kearifan tradisional dalam megelola
danmemnafaatkan sumbedaya termasuk hutan serta tidak dilibatkannya
merekadalam pengelolaan hutan. Keadaan hal ini berakibat pada : terjadinya
perambahan hutan, penjarahan lahan, pencurian hasil hutan, penebangan liar,
dll  
MEMBANGUN DENGAN KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT LOKAL
Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar
kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal), umumnya memiliki pengalamanhidup dan
kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam pemanfaatannya
yang dikembangkan secara turun-temurun. Zakaria (1994) mendefinisikan kearifan
tradisional sebagai pengetahuan kebudayaan yang yangdimiliki suatu masyarakat tertentu
yang mencakup sejumlah pengetahuankebudayaan yang berkenaan model-model
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari.
Dari pengertian ini kita dapat melihat bahwa pada dasarnya kearifan tradisional
merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan pengamatan dan pengalaman
masyarakat di dalam proses interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan yang ada di
sekitarnya dan bisa mencakup generasi yang berbeda. Kearifan tradisional ini merupakan
sumberdaya yang berharga untuk kegiatan-kegiatan pembangunan karena ia merupakan :
 1.Dasar kemandirian dan keswadayaan
2.Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan
3.Menjamin daya hidup dan keberlanjutan
4. Mendorong penggunaan teknologi tepat guna
5.Menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya
6..Memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan
pembangunan yang sesuai, dll.
Hutan dan etnosains
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat
oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan
semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan
berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide
sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari
tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang
paling penting.Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan
juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain,
yang menempati daerah yang cukup luas.
Etnosains
Kata ethnoscience (etnosains) bersasal dari kata ethnos (bahasa
Yunani) yang berarti bangsa, dan scientia (bahasa Latin) artinya
pengetahuan. Oleh sebab itu, etnosains merupakan pengetahuan
yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya
Masyarakat hutan lestari
Pengelolaan Hutan Lestari
Pengedepanan aspek ekonomi oleh para pelaku sektor kehutanan telah
berdampak pada rusaknya sistem ekologi hutan. Hutan dalam
perspektif budaya masyarakat desa hutan merupakan bagian integral
dan tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang hidup di
sekitarnya. Sistem pengelolaan hutan sebaiknya berakar pada
pluralitas budaya masyarakat dengan mengedepankan kebhinekaan
program pembangunan yang disesuaikan dengan karakteristik budaya
dan lingkungan setempat. Pendekatan antropologi ekologi yang
mendasarkan pada studi mikro dengan kajian komparatif dan holistik
sangat membantu terwujudnya program pembangunan yang benar-
benar berakar dari sistem budaya dan ekologi masyarakat yang
bersifat lokal spesifik. Pemahaman sistem ekologi budaya masyarakat
desa hutan secara mendalam akan berujung terwujudnya sistem
pengelolaan hutan lestari yang berkeadilan serta berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.
BENTUK NYATA KEARIFAN TRADISIONAL
MASYARAKAT LOKAL
Di Indonesia, berbagai jenis sistem pengelolaan sumberdaya alam
yang sangat beragam.Namun,dalam pakterknya tidak semua
masyarakat lokal mempunyai kearifan tradisional tersebut.Masing-
masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang bersumber
dari pemahamannya terhadap alam sekitar dan menadaptasikannya
pada praktek pengelolaan sumberdaya alam pada berbagai jenis
kondisi lingkungan hidup. Bentukyang bisa kita lihat, misalnya
bagaimana masyarakat lokal mengelolaa hutan. Bagi masyarakat,
hutan dan segala isinya bukanlah hanya sekadar komoditi dari segi
ekonomi saja, melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan,
dimana hutan memilki nilai magis dan kepercayaan yang mereka
pegang teguh. Oleh karena itu pemanfaatan hutan tidak didasari
oleh keinginan-keingina eksploitatif tetapi lebihdidasarkan pada
usaha-usaha memelihara keseimbangan dan kelestarian
sumberdaya hutan.  
Contoh-contoh yang bisa kita lihat antara lain :
1. Pengelolaan Kebun Kemenyan di Tapanuli Utara : Hutan kemenyan sudah
diusahakan sejak abad ke-17 dan samapai tahun 1994 luasnya sudah mencapai 10.000
ha (LATIN, 1994). Selain menghasilkan getah kemenyan dihasilkan juga buah-
buahan. Hasil dari getah kemenyan ini menjadi sumber pendapatan yang penting bagi
pengelolaanya sehingga keberadaannya terus berlanjut sampai sekarang.
2.Pengelolaan Kebun Damar di Krui Lampung Barat :Masyarakat telah
mengelolaa kebun damar dalam bentuk Agroforestry sejak seratus tahun yang lalu.
Dalam kebun damar ini tumbuh tanaman utama berupa pohon damar yang
menghasilkan getah damar mata kucing. Disamping itu juga tumbuh jenis-jenis lain
seperti pohon penghasil buah-buahan, tanaman obat, tumbuhan bawah, bahakan
berkembang jenis-jenis satwa layaknya dihutan alam. Dan sampai kini
pengembangannya terus berlanjut.
3.Kegiatan Perladangan masyarakat Dayak di Kalimantan Timur : Mereka memiliki
pengetahuan dan teknologi berladang yang tidak merusak
lingkungan. Kawasan hutan yang dibuka hanya sebatas kawasan adat mereka. Setiap
peladang yang akan membuka hutan selalu menyisakan areal hutan di sekeliling
ladangnya yang berfungsi sebagai pagar untukmencegah erosi tanah. Begitu juga
ketika ladang hendak ditinggalkan, mereka tidak pernah meninggalkan begitu saja,
melainkan ditanami pohon buah-buahan, karet, rotan, dan tanaman palawija. Sehingga
kelak, setelah sekian tahun ke depan bekas ladang tersebut telah menjadi ladang yang
subur kembali,
A. Permasalahan Tata Batas
PERMASALAHAN PERMASALAN ANTROPOLOGI KEHUTANA DAN SOLUSINYA.

 Penataan areal kerja perusahaan (HPH, IPK, HTI, Perkebunan dll) yang tidak melibatkan
masyarakat setempat merupakan awal konflik tata batas ini terjadi. Pada era orde baru
pelanggaran tata batas hutan oleh perusahaan HPH belum menjadi permasalahan yang penting
untuk diselesaikan karena HPH merasa telah mendapat izin pemerintah pusat serta mendapat
dukungan dari aparat keamanan setempat. Selain itu masyarakat sekitarkawasan hutan dan
masyarakat adat yang relatif lebih toleran masih memberikan toleransi pada perusahaan HPH.
 Pada perkembangannya semakin banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan HPH terhadap tanah-tanah adat, hutan adat, dan pelanggaran kemanusiaan lain
serta semakin mengertinya masyarakat tersebut, sehingga konflik-konflik itu terjadi walaupun
bersifat sporadis. Konflik-konflik itu ada beberapa yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan
dengan cara melakukan penataan areal ulang dan HPH membayar denda atas pelanggaran yang
dilakukan. Namun banyak kasus tata batas yang masih menggantung yang suatu saat akan
menjadi konflik baru yang akan lebih besar karena terjadi fusi dari beberapa konflik-konflik
kecil.
 Penataan areal yang benar dengan tata batas yang jelas sangat diperlukan untuk menghindari
konflik antara masyarakat sekitar hutan atau masyarakat adat dengan perusahaan kehutanan
atau perkebunan.Kebijakan yang baik dan adil serta penegakan hukum juga diperlukan dalam
penentuan tata batas untuk menjamin kekuatan hukum apabila terjadi konflik kawasan hutan di
kemudian hari.
B. Pelanggaran Adat
Ada beberapa hal pelanggaran adat yang dilakukan oleh
perusahaan kehutanan dan perkebunan misalnya:
1. Melakukan perusakan bangunan adat sebagai tempat
peribadatan,
2. Pembabatan hutan adat,
3. Melakukan eksploitasi kayu dimana kayu tersebut oleh
masyarakat adat merupakan kayu keramat atau pantang untuk
ditebang
 C. Ketidakadilan Aparat Penegam Hukum
 Lemahnya penegakan hukum dalam penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi antara
masyarakat sekitar hutan dan perusahaan akan mengakibatkan konflik-konflik baru terjadi. Hal ini
sering dijadikan pihak ketiga seperti cukong-cukong kayu untuk meman- faatkan konflik tersebut
demi kepentingannya. Maraknya penebangan liar merupakan wujud ketidak- harmonisan
pemerintah/aparat keamanan, perusahaan dan masyarakat sekitar hutan.
 Kasus-kasus seperti itu pada akhirnya akan membawa masyarakat sekitar hutan pada posisi yang
tidak diuntungkan sebagai kambing hitam dalam kasus-kasus penebangan liar. Oknum-oknum
masyarakat sekitar hutan yang kerjasama dengan cukong adalah salah satu alasan aparat
keamanan/pemerintah untuk meng- hantam masyarakat sekitar hutan. Jika permasalahan seperti
itu tak diselesaikan dengan rasa adil di kedua belah pihak pada akhirnya akan terjadi pengulangan
konflik-konflik itu. Adanya persepsi yang keliru tentang pola penyelesaian konflik oleh aparat
penegak hukum dan masyarakat setempat, sulitnya proses pembuktian yang disebabkan
kompleksitas faktor penyebab konflik itu, lemahnya profesionalitas aparat penegak hukum serta
mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk menyelesaikan konflik itu jika tak bisa
diselesaikan dengan musyawarah saja dan yang paling lazim adalah rumitnya birokrasi peradilan
untuk kasus-kasus konflik yang berawal pada per- masalahan lingkungan. Hal-hal itu akan
menyebabkan konflik berlangsung sangat lama atau bahkan tak akan selesai.
 Salah satu alternatif pemecahan masalah yaitu mempertemukan tiga stakeholders yaitu pemerintah
daerah, masyarakat sekitar hutan, dan perusahaan untuk menelusuri kembali sumber-sumber konflik
tersebut. Ketiga stakeholders harus pada posisi seimbang sebagai tiga komponen yang saling
menguntungkan. Apabila keharmonisan antar ketiga komponen dan keadilan tetap terjaga, maka
konflik-konflik baru tak akan terjadi
D. Hancurnya Penyokong Kehidupan Mayarakat Adat dan Masyarakat Sekitar
Hutan.
 Eksploitasi hutan oleh HPH yang telah berlangsung kurang lebih 35 tahun, telah
mendorong hancur dan rusaknya hutan sebagai tempat hidup dan kehidupan bagi
masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat.
Tak hanya hutan yang rusak, sungai juga ikut tercemar dengan adanya limbah-limbah
industri plywood,dan industri-industri kayu lainnya yang memang mengunakan
bahan-bahan beracun sebagai bahan aditifnya.Hukum lingkungan keperdataan secara
khusus telah diatur dalam perlindungan hukum bagi masyarakat sekitar konsesi yang
menjadi korban kerusakan dan atau pencemaran lingkungan akibat perbuatan
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi korban tersebut. Upaya hukum yang
dapat ditempuh berdasarkan pasal 34 UUPLH yang memungkinkan gugatan
lingkungan untuk memperoleh ganti rugi dan atau biaya pemulihan lingkungan.
Kelemahan dalam proses penyelesaian ini biasanya pihak korban menjadi pihak yang
kalah karena rumitnya birokasi di lapangan dan proses pembuktian yang harus
dilakukan berbelit-belit.
 
E. Perusahaan dan Pemerintah Tak Melibatkan
Masyarakat Sekitar Hutan dan atau Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Hutan.
  Ada beberapa hal peran serta masyarakat sekitar hutan sangat
diperlukan dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan. Peran dalam
tahap perencanaan pengelolaan hutan dan pemanfaatan kawasan
hutan. Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam tahap perencanaan
pengelolaan yaitu:
o Pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam
penyusunan RKPH untuk HPH atau ijin industri untuk perusahaan
selain HPH,sehingga dapat memperjelas hak antar keduanya.
o Pengidentifikasian berbagai potensi dan permasalahan yang akan
terjadi apabila perusahaan berdiri di wilayah itu.
o Pengajuan keberatan terhadap rencana perusahaan dan ijin industri
bila hal itu telah melanggar hukum adat dan istiadat yang berlaku pada
masyarakat setempat.
o Merumuskan pola pengelolaan kawasan hutan yang akan dipakai.
bentuk-bentuk peran serta masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan yaitu:
1. Pengawasan terhadap perusahaan berdasarkan peraturan perundang Nelayan-
nelayan ikan di sepanjang Sungai Sebangau, Kecamatan Pahandut, Kodya
Palangkarayamengeluhkan sikap para penebang liar yang telah membabat habis hutan
rawa di sempadan Sungai Sebangau yang oleh masyarakat setempat merupakan
tempat berkembang biaknya jenis ikan-ikan tertentu sehingga mengurangi tangkapan
harian mereka. Kasus seperti ini telah menimbulkan pergesekan-pergesekan antar
masyarakat penebang liar dan nelayan-nelayan setempat yang akan berkembang
menjadi konflik baru. Berdasarkan pengakuan nelayan setempat sebagai masyarakat
asli Dayak sangat tersinggung dengan ulah para penebang liar ini. Penebang-penebang
liar itu tak menghargai masyarakat adat setempat dengan membabat hutan seenaknya.
Masalah lainnya adalah penebang liar itu telah merenggut mata pencaharian
masyarakat setempat dengan berkurangnya tangkapan ikan mereka. undangan yang
berlaku, adat atau kebiasaan yang berlaku.
2. Kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi hutan sebagai
fungsi ekologis, sosial dan ekonomis.
3. Melakukan perubahan dan intervensi apabila perusahaan telah melanggar peraturan
peraturan atau adat yang telah disepakati bersama.
4. Mendapatkan hak atas pembayaran provisi atau saham karena kawasan hutan
mereka yang dieksploitasi.
Peran Pemerintah : Cita-cita pemerintah yang bermaksud menciptakan masyarakat
adil dan makmur harus mengembangkan pengelolaan hutan secara adil dan
berkelanjutan, transparan, dan bertanggung jawab. Pemerintah hendaklah menjadi
fasilitator dan membuat kebijakan yang menjembatani antara pihak ketiga dan
masyarakat dengan cara memaksimumkan pelayanan.
 Peran Swasta : Kita sadari bahwa pengelolaan hutan memerlukan modal dan
peralatan serta ilmu dan pengetahuan yang memadai dalam hal manajemennya.
Sebagai kegiatan bisnis, pengelolaan hutan lestari memerlukan manajemen
tersendiri agar tercapai kelestarian usaha. Dalam praktekya, untuk melangsungkan
usahanya pihak swasta mau tidak mau harus melibatkan masyarakat sekitar hutan
agar tidak terjadi hal-hal yang mengganggu kegiatan usahanya. Upaya ini bisa
ditempuh dengan cara saling mennguntungkan antar swasta dengan masyarakat
sekitar hutan dengan melakukan kemitraan
 Peran Lembaga Penyangga : Lembaga penyangga merupakan lembaga swadaya
masyarakat dan lembaga lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap masalah
pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan (seperti Perguruan Tinggi,
para akademisi, tokoh masyarakat, dll). Fungsi lembaga ini adalah untuk
memaksimumkan layanan akomodatif, korektif, dan suportif agar ineraksi antar
stake holder berjalan dengan baik.
 
SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai