Anda di halaman 1dari 7

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL KELIMUTU

Oleh
KELOMPOK IV

Oleh :
ARIANTO JOH (1604070010)
JIMILUS TUKAN (1604070052)
BUKHARI M. M. PUTRA (1604070038)
FRANSISKA C. DAGO (1604070061)
ROBERTUS KOLIN (1604070048)
YAKOBUS E. DANGGUR (1604070030)

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Taman Nasional Kelimutu (TNKL) merupakan salah satu kawasan hutan konservasi
yang terletak di Kabupaten Ende - Flores, yang ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 279/Kpts-II/92 dengan luas ± 5.000
hektar. Pada tahun 1997, TNKL ditetapkan sebagai taman nasional dengan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 675/Kpts-II/97 dengan luas 5.356,5 hektar. Taman nasional ini,
selain memiliki keanekaragaman hayati yang bernilai tinggi, juga memiliki keunikan dan
nilai estetika yang tinggi yaitu dengan adanya tiga buah danau yang selalu berubah warna
yang berada di puncak Gunung Kelimutu (1.690 meter dari permukaan laut) (BTNK 2008a).

Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat sekitar pada umumnya adalah
tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah, baik sekolah menengah pertama maupun
sekolah menengah atas. Tingkat pendidikan yang sangat rendah juga sangat mempengaruhi
tingkat ekonomi masyarakat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengaruh Taman Nasional Kelimutu

2.1.1 Penduduk
Taman Nasional Kelimutu dikelilingi oleh pemukiman masyarakat dari komunitas
adat LIO yang masih sangat kental dengan tatakrama adatnya. Ini dicirikan dengan
berpadunya sifat agraris, religi dan magis. Berbagai acara seremonial adat yang digelar
menunjukkan betapa kuatnya kedekatan mereka dengan alam semesta, INE PARE
adalah sebutan lain dari suku LIO karena secara mithologi merekalah yang pertama
kali menemukan padi sebagai bahan makanan keramah-tamahan mereka akan
menyambut siapapun yang datang ke Taman Nasional Kelimutu.

2.1.2 Mata Pencaharian


Secara umum, mata pencaharian masyarakat sekitar adalah bertani atau bercocok
tanam, dimana masyarakat sekitar memanfaatkan keadaan alam untuk menanam
tanaman untuk kebutuhan pokok sehari – hari seperti : jagung, ubi kayu, padi dan
lainnya. Adapun tanaman – tanaman hasil perkebunan seperti : kopi, cengkeh, jeruk
dan lainnya yang nantinya digunakan untuk kebutuhan sehari – hari dan untuk dijual.
Disamping itu mata pencaharian masyarakat sekitar juga diperoleh dari hasil menjual
tenun ikat, dimana hampir semua perempuan memiliki keterampilan dalam membuat
tenun ikat.

2.1.3 Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat sekitar pada umumnya adalah
tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah, baik sekolah menengah pertama
maupun sekolah menengah atas. Untuk tamatan perguruan tinggi, masih sangat kurang
bahkan sangat jarang. Keterbatasan sarana pendidikan menyebabkan masyarakat
sekitar memiliki tingkat pendidikan yang kurang, disamping itu juga jarak yang
ditempuh dari rumah kesekolah yang sangat jauh.
2.1.4 Tingkat Ekonomi
Masyarakat sekitar yang pada umumnya memiliki mata pencaharian dengan
bertani menyebabkan tingkat ekonomi tergolong sangat rendah, karena sebagian hasil
bercocok tanam digunakan untuk kebutuhan sendiri dan jarang yang dijual. Tingkat
pendidikan yang sangat rendah juga sangat mempengaruhi tingkat ekonomi
masyarakat.

2.1.5 Hubungan Sosial


Hubungan social dimasyarakat sangat kental dengan budaya dan tata karma, hal
ini dapat dilihat dengan berbagai macam kegiatan atau upacara adat yang sangat
banyak dan melibatkan banyak orang. Sistim kekeluargaan yang kuat dan sifat untuk
saling membantu, merupakan cirri khas yang sangat terlihat dari pola hidup
masyarakat tersebut, seperti : joka juu (upacara adat setelah musim panen), upacara
keagamaan, pembangunan rumah adat (sao ria) dan kegiatan – kegiatan umum
lainnya.

2.1.6 Agama dan Kepercayaan


Pada umumnya masyarakat setempat sudah memeluk salah satu dari kelima
agama yang ada di Indonesia, akan tetapi mereka masih mempercayai akan sesuatu
yang bersifat magis atau melakukan ritual – ritual penyembahan terhadap alam dan
pemberian sesajian kepada alam dan nenek moyang yang dipercaya dapat membawa
kemakmuran dan kesejahteraan terhadap masyarakat. Kepercayaan yang bersifat
animisme ini sangat kental dan masih dipercayai oleh masyarakat sekitar hingga kini,
hal ini dapat dilihat pada setiap upacara – upacara adat yang dilakukan masyarakat
setempat atau mitos – mitos yang mereka yakini dari kecil dan akan secara turun –
temurun diwariskan kepada anak cucunya.

2.1.7 Kaitannya dengan pelestarian Taman Nasional Kelimutu


Keterlibatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan Taman
Nasional Kelimutu (TNK) oleh masyarakat sekitar sudah lumayan baik. Kearifan
tradisional masyarakat Lio dalam pengolahan atau penggarapan lahan, sawah, seperti
yang tercermin dalam sistem kebe kolo yakni sistem terasering, salah satu bentuk
kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya. Masyarakat Lio dalam mengolah
ladang/sawah, selalu menjaga keharmonisan dengan alam lingkungannya. Mereka
sadar kehidupan tergantung dari bagaimana memperlakukan alam, serta bagaimana
memperlakukan lingkungan di sekitarnya. Hal ini juga terlihat dari kesadaran mereka
berkaitan dengan pembangunan rumah adat, yang membutuhkan kayu adat (wowo,
najubalu, mbu) yang berada di kawasan TNKL, mereka sedikit demi sedikit berusaha
menggantikan dengan kayu lain (nangka, kelapa). Juga adanya upaya
pembibitan/pembudidayaan kayu-kayu adat tersebut untuk ditanam di luar kawasan
TNKL, sehingga nantinya kawasan TNKL benar-benar terjaga, lestari, dan tidak
mengalami kerusakan/pengrusakan/perambahan dari masyarakat di sekitarnya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keterlibatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan Taman Nasional
Kelimutu (TNK) oleh masyarakat sekitar sudah cukup baik. Hal itu tercermin dari kearifan
tradisional masyarakat Lio dalam pengolahan atau penggarapan lahan, sawah, seperti yang
tercermin dalam sistem kebe kolo yakni sistem terasering, salah satu bentuk kepedulian
masyarakat terhadap lingkungannya. Hal ini juga terlihat dari kesadaran mereka berkaitan
dengan pembangunan rumah adat, yang membutuhkan kayu adat (wowo, najubalu, mbu)
yang berada di kawasan TNKL, mereka sedikit demi sedikit berusaha menggantikan dengan
kayu lain (nangka, kelapa).
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah Tomi. 2017. Taman Nasional Kelimutu. https://foresteract.com/taman-nasional-


kelimutu/. [Diakses Pada Tanggal 21 November 2018 Pukul 14:20]

KSDAE. 2018. Cerita Dibalik Harmonisasi Alam dan Budaya di Taman Nasional Kelimutu.
Hhtps://ksdae.menlhk.go.id/cerita-di-balik-harmonisasi-alam-dan-budaya-di-
taman-nasional-kelimutu. [Diakses Pada Tanggal 21 November 2018 Pukul
14:48]

Anda mungkin juga menyukai