Disusun oleh :
Nabila Suci Adani (1726034)
Dinda Ayu Bintang Efendi (1726036)
Anggraini Sintiya (1726037)
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Sumber daya alam merupakan kekayaan bumi yang berupa benda mati
maupun benda hidup yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sumber daya alam dapat dibedakan atas sumber daya alam hayati dan sumber daya
alam nonhayati.Sumber daya alam memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
manusia. Ada beberapa jenis sumber daya alam yang tergolong tak dapat
diperbaharui, suatu ketika akan habis sama sekali. Oleh sebab itu, manusia
berkewajiban untuk berusaha menggunakan sumber daya alam yang tak dapat
diperbarui secara efisien.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kehutanan menyataka bahwa hutan merupakan suatu
lapangan yang dimana menjadi tempat bertumbuhnya pohon-pohon dan secara
keseluruhan menjadi persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya
dengan ditetapkan oleh pemerintah sebagai htan. Sedangkan menurut UU 41 Tahun
1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didomonasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang liainnya tidak dapat dipisahkan. Karena
wilayah Republik Indonesia termasuk kedalam wilayah Negara yang memiliki
kekayaan alam yang sangat berlimpah, salah satunya adalah kekayaan hutan.
Kekayaan alam ini dikuasai oleh Negara dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat.
Dalam penguasaan hutan, Negara harus tetap memperhatikan hak-hak masyarakat
lokal yang masih mempertahankan keasrian hutan dalam hukum adatnya.
Papua merupakan salah satu daerah diIndonesia yang masih
mempertahankan hukum adat dalam pengelolaan hutan. Sehingga secara tidak
langsung kawasan hutan yang ada disekitar papua diakui sebagai hak milik oleh
penduduk setempat, yang dimana alokasi hak dan kewajiban atas tanah ini
merupakan bagian integral dari rumah tangga dan struktur marga antara anggota
masyarakat. Sistem pengelolaan sumber daya alam yang diwariskan oleh leluruh
menjadi nilai-nilai dasar yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi
dengan alam gaib (roh-roh nenek moyang), alam semesta (seluruh ekosistem alam),
1
sesama etnis (hubungan kekerabatan) dan budaya luar, hal ini duupayakan untuk
mendukung pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Kearifan lokal masyarakat papua kususnya suku Mooi di Distrik Wisai
Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat ini terenal gigih menjaga kekayaan obat-
obatan alami yang terkandung didalam hutan. Dalam sistem adat pengelolaan tanah,
suku Mooi percaya bahwa tanah sama artinya dengan IBU sehingga menjual tanah
sama artinya dengan menjual Ibu mereka. Karena pada mulanya Suku Moi ini
memiliki istilah yaitu Malamoi yang berasal dari dua suku kata: MALA yang berarti
gunung atau dataran luas, dan MOI yang berarti halus, lembut. Kata ini lahir pada
saat orang Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang diceritakan oleh
para orang tua adat, peradaban orang Moi berawal dari dua kekuatan: yaitu Tamrau
dan Maladofok. Myte orang Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan
Perempuan dan Tamrau sebagai kekuatan laki-laki. Teges Malamoi adalah wilayah
dimana orang-orang Moi pertama tinggal. Oleh sebab itu, Suku Moi sangat
menghormati Hutan sebagai tanah yang dilindungi (Tanah Pusaka).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2 Kearifan Lokal
Definisi kearifan lokal ,Jika dilihat dari Kamus Inggris Indonesia, Kearifan
lokal berasal dari 2 kaya yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Wisdom berarti
kebijaksanaan dan local berarti setempat. Dalam arti yang lain local wisdom atau
kearifan lokal yaitu gagasan, nilai, pandangan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.
budaya asli.
Kearifan Lokal yakni pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang
panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya
berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal disetiap
daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.
4
2. Konservasi ek situ yaitu kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di
luar habitat aslinya. Konservasi ek situ dilakukan oleh lembaga konservasi,
seperti kebun raya, arbetrum, kebun binatang, taman safari, dan tempat
penyimpanan benih dan sperma satwa.
5
bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
5. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
6
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam
kegiatan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam
kawasan (konservasi insitu) ataupun di luar kawasan (konservasi eksitu).
Konservasi insitu adalah konservasi jenis flora dan fauna yang dilakukan di habitat
aslinya baik di hutan, di laut, di danau, di pantai, dan sebagainya. Konservasi eksitu
adalah konservasi jenis flora dan fauna yang dilakukan di luar
habitat aslinya.
7
B. Hutan Konservasi
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. terdiri dari berikut ini.
1. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan.
2. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman buru adalah
kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
8
BAB III
PEMBAHASAN
Pelestarian dan Konservasi Sumber Daya Alam yang berbasis kearifan Lokal
ini mengambil di Hutan Papua Suku Moi yang berada di Kota Sorong, Papua Barat
dilaksanakan dengan metode studi pustaka. Data yang digunakan adalah data
sekunder yang didapatkan dengan teknik studi pustaka. Data mengenai praktik
kearifan lokal di masyarakat sekitar Hutan yang berada di suku Moi dalam
penggunaan hutannya serta pemanfaatnya hasil hutan berdasarkan kearifan
lokalnya dianalisis dengan analisis deskristif .Data mengenai pengaruh
partisipasi cultural berbasis kearifan lokal masyarakat sekitar hutan di suku moi,
terhadap pelaksanaan fungsi Hutan dan Komoditas hutan yang dikembangkan oleh
masyarakat untuk keberlanjutan fungsi dan konservasi hutan di masa sekarang di
analisis dengan deskriptif kualitatif.
9
6. Menerbitkan pengelolaan SDA di seluruh wilayah Hukum Adat wilayah
Malamoi demi kesejahteraan suku Mooi khususnya masyarakat Sorong.
10
Dari ketiga aturan tersebut, aturan aturan yang mengandung sanksi adalah
hak-hak peralihan harta ulayat dan pola pemanfaatan.
a. Hak Peralihan harta ulayat.
Hak-hak peralihan harta ulayat (hak tegestemoni) adalah hak yang diturunkan
secara turun temurun. Hak-hak tersebut berupa :
1. Hak Egefmun merupakan hak milik, biasanya diperoleh dari keturunan darah.
2. Hak Subey merupakan hak pakai, hak ini diberikan kepada seorang anak
susuan untuk dipakai tapi tidak dimiliki.
3. Hak Sukubang merupakan hak pemberian tanah kepada anak perempuan
sebagai tempat berladang. Apabila anak tersebut menetap maka tanah
menjadi miliknya namun jika anak tersebut tidak menetap maka tanahnya
dikembalikan.
4. Hak Woti merupakan hak pemberian tanah kepada orang yang telah
membantu / melindungi dalam perang (balas jasa).
5. Hak Somala merupakan penyerahan hak ulayat kepada orang luar
karenawilayahtersebutdianggaptidakaman.
Hal ini berarti bahwa tidak sembarangan orang dapat memiliki hak tanah di
wilayah tersebut. Sehingga dengan aturan adat ini, kegiatan orang-orang yang
hendak mengeksploitasi hutan dapat diminimalisir.
b. Pola Pemanfaatan
Pola pemanfaatan dibagi menjadi 3 kegiatan pokok, yaitu :
1. Pemanfaatan lahan hutan
Masyarakat adat mengenal 2 jenis hutan, yaitu hutan keramat (kufok)
dan hutan produksi biasa (kuwos). Hutan keramat merupakan hutan yang
dilindungi oleh hukum adat dan dianggap sakral. Pada hutan ini dipercaya
terdapat arwah-arwah nenek moyang dan timbunan harta yang disimpan di
dalam tanah. Pada hutan ini tidak boleh dilakukan pemanfaatan baik dalam
skala kecil/besar. Di hutan ini sering dilakukan upacara adat untuk
menghormati arwah nenek moyang dengan berbagai sesaji seperti piring dan
pinang, sirih dan kapur. Hutan ini sangat dijaga, perempuan yang sedang
menstruasi, hamil dan baru melahirkan tidak boleh melewati hutan ini.
11
Hutan produksi biasa (kuwos) dapat dimanfaatkan oleh pemilik ulayat
dalam skala kecil maupun skala besar. Skala kecil terlihat pada pembukaan
lahan untuk kebun, sedangkan pemanfaatan lahan dalam skala besar terlihat
pada pembukaan lahan hutan untuk kepentingan transmigrasi dan
pembangunan pemukiman.
Pola pemanfaatan lahan hutan di suku Malamoi ini telah sesuai dengan
sistem zonasi yang diatur dalam Pasal 32 UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dengan adanya hutan
keramat sebagai zona inti, masyarakat ikut menjaga hutan tersebut agar tetap
alami dan tidak disalahgunakan.
12
kesepakatan pemegang ulayat saja, sehingga tidak membutuhkan prosesi adat
yang besar.
Selain pemanfaatan kayu, masyarakat suku Moii juga memanfaatkan
tumbuhan yang ada di sekitarnya sebagai obat tradisonal. Nenek moyang mereka
telah menurunkan keahlian untuk meracik obat-obatan yang bersumber dari alam.
Oleh karena itu masyarakat suku Moii menjaga kelestarian hutan supaya bahan
baku pembuatan obat alami tidak musnah.
3. Pemanfaatan Margasatwa
Pemanfaatan satwa ini diatur dalam aturan adat yang dikenal dengan
pemanfaatan terbatas. Satwa berupa hewan buruan, burung serta ikan dapat
dimanfaatkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup saja. Jika jumlah yang
diambil dan direncanakan untuk dijual maka sebelum mengadakan kegiatan
berburu atau menangkap ikan penduduk harus berdoa kepada arwah arwah agar
dimudahkan dalam berburu.
Kepercayaan terhadap arwah tersebut dilakukan juga dalam bentuk “sasi”.
Budaya sasi merupakan larangan atau pantangan mengambil dan memanfaatkan
tumbuhan dan hewan buruan tertentu ataupun secara keseluruhan dusun dan apa
yang ada didalamnya selama kurun waktu tertentu (1 – 5 tahun), yang diawali dan
diakhiri dengan upacara adat. Sasi yang sering dilakukan oleh suku Mooi adalah
sasi terhadap dusun buah ataupun sungai. Sasi ini ditujukan untuk menghormati
Tetua dusun yang telah meninggal, dan salah satu bentuk untuk mengenang
kebaikan orang tersebut. Dusun/sungai yang akan disasi terlebih dahulu didoakan
oleh tetua adat dan sekelilingnya ditanam bambu kecil dengan bentuk silang
sebagai tanda tidak boleh dimanfaatkan. Sasi tersebut biasanya berumur satu
tahun dan diakhiri dengan upacara adat serta doa kepada arwah agar buah/ikan
yang akan dipanen akan membawa berkah.
Pada beberapa aturan adat tersebut, jika terjadi pelanggaran atas aturan
tersebut akan diberikan sanksi adat. Sanksi adat diberikan berdasarkan berat
ringannya suatu pelanggaran. Jika pelanggaran yang dilakukan bersifat ringan
(mencuri hasil kebun dengan jumlah sedikit), maka sanksi yang diberikan relatif
13
ringan dan biasanya hanya berupa denda sejumlah uang dengan batas waktu yang
tidak terlalu ketat.
Berbeda dengan pelanggaran berat seperti pemanfaatan lahan dalam jumlah
besar tanpa ijin, perzinahan dan pemerkosaan. Pada pelanggaran seperti ini akan
dilakukan penegakkan sanksi adat berupa denda yang cukup besar dan dengan
waktu pembayaran yang ditentukan. Pada masa lalu penentuan lamanya batas
waktu pembayaran denda dilakukan dengan cara tradisional seperti menuangkan
sejumlah air ke tanah. Lamanya air tersebut meresap ke tanah merupakan jumlah
hari atau batas waktu pembayaran denda.
Adat-adat pengelolaan margasatwa ini mencegtah terjadinya pengambilan
secara berlebih terhadap suatu spesies hewan tertentu. Dalam hal ini masyarakat
percaya bahwa akan terjadi malapetaka jika melakukan perburuan, atau
eksploitasi secara besar-besaran. Kearifan ini sangat mendukung konservasi
sumber daya alam sehingga masyarakat tidak sembarangan mengambil fauna
yang ada di sekitarnya.
14
BAB IV
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA