Anda di halaman 1dari 18

Pelestarian Dan Konservasi Sumber Daya Alam

Di Daerah Papua (Hutan Papua Suku Moi)


Berbasis Kearifan Lokal

Disusun oleh :
Nabila Suci Adani (1726034)
Dinda Ayu Bintang Efendi (1726036)
Anggraini Sintiya (1726037)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL
MALANG
2020
ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki suku terbanyak. Diantara banyak


suku-suku yang dikenal masyarakat seperti suku Baduy, juga terdapat banyak suku
yang tidak banyak diketahui seperti suku Anak Dalam. Suku-suku tersebut memiliki
adat istiadat berbasis alam. Kebanyakan adat istiadat yang berbasis alam juga memiliki
kaitan erat dengan kepercayaan dari setiap suku yang ada. Dengan adanya adat istiadat
tersebut maka secara tidak langsung berperan serta dalam menjaga kelestarian alam.
Terdapat suku yang belum diketahui banyak orang seperti suku Mooi yang terletak di
Sorong Papua. Suku tersebut memiliki banyak adat istiadat yang berkaitan erat dengan
alam di Papua. Salah satu adat istiadatnya yaitu tidak diperbolehkan menebang pohon
di hutan, tetapi jika ingin menebang pohon dari hutan untuk membangun rumah maka
harus ada ijin dari kepala suku. Melarang penebangan pohon di hutan merupakan salah
satu cara untuk menjaga Pelestarian dan Konservasi Sumber Daya Alam. Kegiatan
tersebut singkron dengan kearifan lokal suku Mooi yang juga menjaga pelestarian
hutan melalui hukum adat yang di suku Mooi.
Kata kunci : Suku Mooi, Hutan, Pelestarian, kearifan lokal, penebangan.

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Sumber daya alam merupakan kekayaan bumi yang berupa benda mati
maupun benda hidup yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sumber daya alam dapat dibedakan atas sumber daya alam hayati dan sumber daya
alam nonhayati.Sumber daya alam memberikan banyak manfaat bagi kehidupan
manusia. Ada beberapa jenis sumber daya alam yang tergolong tak dapat
diperbaharui, suatu ketika akan habis sama sekali. Oleh sebab itu, manusia
berkewajiban untuk berusaha menggunakan sumber daya alam yang tak dapat
diperbarui secara efisien.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kehutanan menyataka bahwa hutan merupakan suatu
lapangan yang dimana menjadi tempat bertumbuhnya pohon-pohon dan secara
keseluruhan menjadi persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya
dengan ditetapkan oleh pemerintah sebagai htan. Sedangkan menurut UU 41 Tahun
1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didomonasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang liainnya tidak dapat dipisahkan. Karena
wilayah Republik Indonesia termasuk kedalam wilayah Negara yang memiliki
kekayaan alam yang sangat berlimpah, salah satunya adalah kekayaan hutan.
Kekayaan alam ini dikuasai oleh Negara dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat.
Dalam penguasaan hutan, Negara harus tetap memperhatikan hak-hak masyarakat
lokal yang masih mempertahankan keasrian hutan dalam hukum adatnya.
Papua merupakan salah satu daerah diIndonesia yang masih
mempertahankan hukum adat dalam pengelolaan hutan. Sehingga secara tidak
langsung kawasan hutan yang ada disekitar papua diakui sebagai hak milik oleh
penduduk setempat, yang dimana alokasi hak dan kewajiban atas tanah ini
merupakan bagian integral dari rumah tangga dan struktur marga antara anggota
masyarakat. Sistem pengelolaan sumber daya alam yang diwariskan oleh leluruh
menjadi nilai-nilai dasar yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi
dengan alam gaib (roh-roh nenek moyang), alam semesta (seluruh ekosistem alam),

1
sesama etnis (hubungan kekerabatan) dan budaya luar, hal ini duupayakan untuk
mendukung pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Kearifan lokal masyarakat papua kususnya suku Mooi di Distrik Wisai
Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat ini terenal gigih menjaga kekayaan obat-
obatan alami yang terkandung didalam hutan. Dalam sistem adat pengelolaan tanah,
suku Mooi percaya bahwa tanah sama artinya dengan IBU sehingga menjual tanah
sama artinya dengan menjual Ibu mereka. Karena pada mulanya Suku Moi ini
memiliki istilah yaitu Malamoi yang berasal dari dua suku kata: MALA yang berarti
gunung atau dataran luas, dan MOI yang berarti halus, lembut. Kata ini lahir pada
saat orang Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang diceritakan oleh
para orang tua adat, peradaban orang Moi berawal dari dua kekuatan: yaitu Tamrau
dan Maladofok. Myte orang Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan
Perempuan dan Tamrau sebagai kekuatan laki-laki. Teges Malamoi adalah wilayah
dimana orang-orang Moi pertama tinggal. Oleh sebab itu, Suku Moi sangat
menghormati Hutan sebagai tanah yang dilindungi (Tanah Pusaka).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelestarian Dan Konservasi Sumber Daya Alam


Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, konservasi
sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Sedangkan menurut ilmu lingkungan diartikan sebagai berikut:
1. Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau distribusi
yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak menyediakan
jasa yang sama tingkatannya;
2. Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan dan
sumber daya alam (fisik);
3. Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kimia
atau transformasi fisik;
4. Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan;
5. Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola,
sementara keanekaragaman genetik dari spesies dapat berlangsung dengan
mempertahankan lingkungan alaminya.
Sumber daya alam yang selama ini menjadi pendukung utama pembangunan
nasional perlu diperhatikan keberlanjutan pengelolaannya agar dapat memenuhi
kepentingan generasi saat ini dan masa depan. Untuk itu, telah dilaksanakan
berbagai kebijakan, upaya, dan kegiatan yang berkesinambungan untuk
mempertahankan keberadaan sumber daya alam sebagai modal dalam
pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan seluruh bangsa
dengan tetap mempertahankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidup.

3
2.2 Kearifan Lokal
Definisi kearifan lokal ,Jika dilihat dari Kamus Inggris Indonesia, Kearifan
lokal berasal dari 2 kaya yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Wisdom berarti
kebijaksanaan dan local berarti setempat. Dalam arti yang lain local wisdom atau
kearifan lokal yaitu gagasan, nilai, pandangan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.

2.2.1 Ciri-Ciri Kearifan Lokal


Kearifan Lokal memiliki ciri-ciri, Diantaranya :
 Mempunyai kemampuan mengendalikan.

 Merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar.

 Mempunyai kemampuan mengakomodasi budaya luar.

 Mempunyai kemampuan memberi arah perkembangan budaya.

 Mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar dan

budaya asli.
Kearifan Lokal yakni pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang
panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya
berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal disetiap
daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.

2.3 Bentuk-bentuk Pelestarian Konservasi Sumber Daya Alam


2.3.1 Bentuk Konservasi
Secara umum bentuk konservasi dapat dibedakan atas 2 (dua) golongan,
yaitu:
1. Konservasi in situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di
dalam habitat aslinya. Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam
(Cagar alam dan Suaka Margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman
Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam).

4
2. Konservasi ek situ yaitu kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di
luar habitat aslinya. Konservasi ek situ dilakukan oleh lembaga konservasi,
seperti kebun raya, arbetrum, kebun binatang, taman safari, dan tempat
penyimpanan benih dan sperma satwa.

2.3.2 Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Indonesia.


Seperti yang sudah ada dalam pembahasan diatas konservasi diatur di dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya. Undang-undang ini merupakan lex specialis dari undang-undang
kehutanan karena undang-undang konservasi mengatur sebagian mengenai hutan
dan kawasan hutan yang telah diatur secara umum dalam undang-undang
kehutanan. Di dalam hal penegakkan hukum dan perlindungan terhadap konservasi
sumber daya alam hayati di indonesia itu sendiri baik itu sumber daya alam nabati
(tumbuhan) maupun sumber daya alam hewani (satwa) saya mengacu pada
ketentuan pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) yang mana menyatakan sebagai berikut :
A. Setiap orang dilarang untuk :
1. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau
bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
2. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam
keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam atau di luar Indonesia.
B. Setiap orang dilarang untuk :
1. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup;
2. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
3. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
4. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-
bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari

5
bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
5. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

2.4 Konsep Pelestarian Dan Konservasi Sumber Daya Alam


Sumber daya alam dapat dibedakan menjadi sumber daya alam hayati dan
sumber daya alam nonhayati. Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 dan Strategi Konservasi Dunia kegiatan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya meliputi kegiatan:
1. perlindungan proses-proses ekologis yang penting atau pokok dalam sistem-
sistem penyangga kehidupan;
2. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

A. Kawasan dan Kegiatan Konservasi Hayati


Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, Kawasan Suaka Alam
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
penyangga kehidupan.
Kawasan Suaka Alam terdiri dari:
1. cagar alam;
2. suaka margasatwa;
3. hutan wisata;
4. daerah perlindungan plasma nutfah;
5. daerah pengungsian satwa.

6
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam
kegiatan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam
kawasan (konservasi insitu) ataupun di luar kawasan (konservasi eksitu).
Konservasi insitu adalah konservasi jenis flora dan fauna yang dilakukan di habitat
aslinya baik di hutan, di laut, di danau, di pantai, dan sebagainya. Konservasi eksitu
adalah konservasi jenis flora dan fauna yang dilakukan di luar
habitat aslinya.

Sedangkan strategi konservasi nasional telah dirumuskan ke dalam 3 (tiga)


hal dan taktik pelaksanaannya, adalah sebagai berikut.
1. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan (PSPK)
a. Penetapan wilayah PSPK.
b. Penetapan pola dasar pembinaan program PSPK.
c. Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK.
d. Penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK.
e. Penertiban maksimal pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK.
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya
a. Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
b. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (konservasi insitu dan eksitu).
3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
a. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam.
b. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (dalam bentuk: pengkajian,
penelitian dan pengembangan, penangkaran, perdagangan, perburuan,
peragaan, pertukaran, dan budidaya).

7
B. Hutan Konservasi
Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya. terdiri dari berikut ini.
1. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan.
2. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman buru adalah
kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.

8
BAB III
PEMBAHASAN

Pelestarian dan Konservasi Sumber Daya Alam yang berbasis kearifan Lokal
ini mengambil di Hutan Papua Suku Moi yang berada di Kota Sorong, Papua Barat
dilaksanakan dengan metode studi pustaka. Data yang digunakan adalah data
sekunder yang didapatkan dengan teknik studi pustaka. Data mengenai praktik
kearifan lokal di masyarakat sekitar Hutan yang berada di suku Moi dalam
penggunaan hutannya serta pemanfaatnya hasil hutan berdasarkan kearifan
lokalnya dianalisis dengan analisis deskristif .Data mengenai pengaruh
partisipasi cultural berbasis kearifan lokal masyarakat sekitar hutan di suku moi,
terhadap pelaksanaan fungsi Hutan dan Komoditas hutan yang dikembangkan oleh
masyarakat untuk keberlanjutan fungsi dan konservasi hutan di masa sekarang di
analisis dengan deskriptif kualitatif.

A. Pranata Adat Suku Mooi Sorong


Masyarakat adat Suku Mooi mendiami daerah yang sangat luas. Wilayah
yang dikenal sebagai wilayah hukum adat Malamoi tersebut meliputi : arah Timur
Waiben/Saokorem perbatasan Manokwari-Sorong sampai Snopi, arah Selatan
Snopi/Aikteren di arah Timur dan ke arah Barat/Wanurian daerah Klabra, arah
Barat dari Wanurian sampai dengan Seget dan Misool, Arah Utara dari Misool
sampai Kepulauan Ayau/Waigeo Utara (meliputi seluruh Kepulauan Raja Ampat).
Dilatarbelakangi atas eksploitasi yang terjadi di wilayah adat suku Mooi maka
dibentuk Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Sorong (LMA-MS) pada 25 Maret
1998. Lembaga ada tersebut bertujuan untuk memperjuangkan hak, menyalurkan
aspirasi dan memberdayakan masyarakat hukum adat suku Mooi agar tetap eksis
dalam masyarakat yang majemuk. Adapun tugas pokok LMA-MS adalah :
1. Menegakkan kewibawaan hokum adat
2. Menata hak-hak batas tanah
3. Mendirikan peradilan hokum adat
4. Menegakkan HAM
5. Memilih pemerintah Adat

9
6. Menerbitkan pengelolaan SDA di seluruh wilayah Hukum Adat wilayah
Malamoi demi kesejahteraan suku Mooi khususnya masyarakat Sorong.

Sistem kelembagaan adat yang dibentuk dapat dikatagorikan sebagai


organisasi paguyuban yang mempunyai kewenangan mengatur hubungan antar
warga masyarakat adat dan hubungan masyarakat adat dengan lingkungannya.
Lembaga masyarakat adat tersebut telah memiliki embrio sejak dahulu. Hal ini
dapat diketahui dari adanya sejarah seperti pendidikan inisiasi didalam Rumah Adat
(kambik) yang berlangsung selama 7 bulan untuk menghasilkan para Dewan Adat
(Wofli). Selain itu sudah terdapat struktur organisasi adat dengan fungsi dan
tanggungjawab yang jelas, seperti: Neligin (kepala suku), Newok (hakim Adat),
Mombri (panglima perang) dan Nevulus (Penasehat).

B. Beberapa Aturan Adat Suku Mooi


Kehidupan masyarakat etnik Mooi telah dilandasi kepercayaan bahwa tempat
tinggal dan tempat berusaha telah ditentukan oleh nenek moyang mereka
berdasarkan batas-batas alam seperti : bukit, gunung (kli) , lembah, sungai serta
sejauh mana mereka berburu (teritori) atau sejauh gemanya suara banir pohon yang
di“toki” (di pukul) masih terdengar.
Tradisi hukum adat masyarakat Mooi masih tetap dipertahankan hingga saat
ini. Hal ini dapat ditunjukan dari pengabdian lembaga adat dalam penyelesaian
konflik menggunakan tata cara serta aturan adat yang berlaku. Pada saat ini untuk
mengadakan suatu proses sbalo, masyarakat adat memanfaatkan Hutan Lindung
km 14 sebagai lokasi sidang.
Jika dikelompokan maka, norma-norma yang ditemui dimasyarakat berupa :
1. Menghargai pemilik ulayat, sehinggasuatu marga yang hidupbukan pada
tanah ulayatnya, menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya
sehingga tidak dapat seenaknya menjualbelikan tanah tersebut.
2. Memanfaatkan lahan/hutan/kebun sebatas kebutuhan hidupdan tidak boleh
lebih
3. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan di kanan kiri sungai

10
Dari ketiga aturan tersebut, aturan aturan yang mengandung sanksi adalah
hak-hak peralihan harta ulayat dan pola pemanfaatan.
a. Hak Peralihan harta ulayat.
Hak-hak peralihan harta ulayat (hak tegestemoni) adalah hak yang diturunkan
secara turun temurun. Hak-hak tersebut berupa :
1. Hak Egefmun merupakan hak milik, biasanya diperoleh dari keturunan darah.
2. Hak Subey merupakan hak pakai, hak ini diberikan kepada seorang anak
susuan untuk dipakai tapi tidak dimiliki.
3. Hak Sukubang merupakan hak pemberian tanah kepada anak perempuan
sebagai tempat berladang. Apabila anak tersebut menetap maka tanah
menjadi miliknya namun jika anak tersebut tidak menetap maka tanahnya
dikembalikan.
4. Hak Woti merupakan hak pemberian tanah kepada orang yang telah
membantu / melindungi dalam perang (balas jasa).
5. Hak Somala merupakan penyerahan hak ulayat kepada orang luar
karenawilayahtersebutdianggaptidakaman.
Hal ini berarti bahwa tidak sembarangan orang dapat memiliki hak tanah di
wilayah tersebut. Sehingga dengan aturan adat ini, kegiatan orang-orang yang
hendak mengeksploitasi hutan dapat diminimalisir.

b. Pola Pemanfaatan
Pola pemanfaatan dibagi menjadi 3 kegiatan pokok, yaitu :
1. Pemanfaatan lahan hutan
Masyarakat adat mengenal 2 jenis hutan, yaitu hutan keramat (kufok)
dan hutan produksi biasa (kuwos). Hutan keramat merupakan hutan yang
dilindungi oleh hukum adat dan dianggap sakral. Pada hutan ini dipercaya
terdapat arwah-arwah nenek moyang dan timbunan harta yang disimpan di
dalam tanah. Pada hutan ini tidak boleh dilakukan pemanfaatan baik dalam
skala kecil/besar. Di hutan ini sering dilakukan upacara adat untuk
menghormati arwah nenek moyang dengan berbagai sesaji seperti piring dan
pinang, sirih dan kapur. Hutan ini sangat dijaga, perempuan yang sedang
menstruasi, hamil dan baru melahirkan tidak boleh melewati hutan ini.

11
Hutan produksi biasa (kuwos) dapat dimanfaatkan oleh pemilik ulayat
dalam skala kecil maupun skala besar. Skala kecil terlihat pada pembukaan
lahan untuk kebun, sedangkan pemanfaatan lahan dalam skala besar terlihat
pada pembukaan lahan hutan untuk kepentingan transmigrasi dan
pembangunan pemukiman.
Pola pemanfaatan lahan hutan di suku Malamoi ini telah sesuai dengan
sistem zonasi yang diatur dalam Pasal 32 UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dengan adanya hutan
keramat sebagai zona inti, masyarakat ikut menjaga hutan tersebut agar tetap
alami dan tidak disalahgunakan.

2. Pemanfaatan Hasil Hutan


Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu dilakukan melalui berberapa langkah,
yaitu :
Langkah pertama :
menyamakan keinginan dan persepsi antara pengusaha dan pemilik hak
ulayat dalam hal bentuk pemanfaatan serta kompensasi yang diberikan.
Langkah Kedua :
melakukan upacara adat dengan tujuan membuka pintu bagi arwah-arwah
(Muiwe) sehingga tidak menimbulkan bencana/malapetaka. Dalam upacara
tersebut pihak perusahaan, pemerintah dan lembaga-lembaga adat serta
pemilik hak ulayat duduk bersama untuk melaksanakan prosesi adat. Hal ini
bertujuan supaya pemanfaatan hasil hutan selain dapat menguntungkan
pengusaha dan masyarakat suku Mooi, juga diketahui oleh pemerintah
sehingga sesuai dengan peraturan yang ada.

Sedangkan untuk pemanfaatan kayu non-komersil terlihat pada kegiatan


pengambilan hasil hutan kayu untuk kepentingan pembuatan rumah. Kayu-kayu
yang dibutuhkan biasanya berdiameter kecil dan dalam jumlah kecil. Selain
pengambilan kayu untuk rumah, pemanfaatan kayu lainnya terlihat untuk kayu
bakar dan pembuatan alat berburu dan pertanian seperti tombak dan tugal. Bentuk
pemanfaatan dalam skala kecil/rumah tangga ini dilakukan hanya melalui

12
kesepakatan pemegang ulayat saja, sehingga tidak membutuhkan prosesi adat
yang besar.
Selain pemanfaatan kayu, masyarakat suku Moii juga memanfaatkan
tumbuhan yang ada di sekitarnya sebagai obat tradisonal. Nenek moyang mereka
telah menurunkan keahlian untuk meracik obat-obatan yang bersumber dari alam.
Oleh karena itu masyarakat suku Moii menjaga kelestarian hutan supaya bahan
baku pembuatan obat alami tidak musnah.

3. Pemanfaatan Margasatwa
Pemanfaatan satwa ini diatur dalam aturan adat yang dikenal dengan
pemanfaatan terbatas. Satwa berupa hewan buruan, burung serta ikan dapat
dimanfaatkan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup saja. Jika jumlah yang
diambil dan direncanakan untuk dijual maka sebelum mengadakan kegiatan
berburu atau menangkap ikan penduduk harus berdoa kepada arwah arwah agar
dimudahkan dalam berburu.
Kepercayaan terhadap arwah tersebut dilakukan juga dalam bentuk “sasi”.
Budaya sasi merupakan larangan atau pantangan mengambil dan memanfaatkan
tumbuhan dan hewan buruan tertentu ataupun secara keseluruhan dusun dan apa
yang ada didalamnya selama kurun waktu tertentu (1 – 5 tahun), yang diawali dan
diakhiri dengan upacara adat. Sasi yang sering dilakukan oleh suku Mooi adalah
sasi terhadap dusun buah ataupun sungai. Sasi ini ditujukan untuk menghormati
Tetua dusun yang telah meninggal, dan salah satu bentuk untuk mengenang
kebaikan orang tersebut. Dusun/sungai yang akan disasi terlebih dahulu didoakan
oleh tetua adat dan sekelilingnya ditanam bambu kecil dengan bentuk silang
sebagai tanda tidak boleh dimanfaatkan. Sasi tersebut biasanya berumur satu
tahun dan diakhiri dengan upacara adat serta doa kepada arwah agar buah/ikan
yang akan dipanen akan membawa berkah.
Pada beberapa aturan adat tersebut, jika terjadi pelanggaran atas aturan
tersebut akan diberikan sanksi adat. Sanksi adat diberikan berdasarkan berat
ringannya suatu pelanggaran. Jika pelanggaran yang dilakukan bersifat ringan
(mencuri hasil kebun dengan jumlah sedikit), maka sanksi yang diberikan relatif

13
ringan dan biasanya hanya berupa denda sejumlah uang dengan batas waktu yang
tidak terlalu ketat.
Berbeda dengan pelanggaran berat seperti pemanfaatan lahan dalam jumlah
besar tanpa ijin, perzinahan dan pemerkosaan. Pada pelanggaran seperti ini akan
dilakukan penegakkan sanksi adat berupa denda yang cukup besar dan dengan
waktu pembayaran yang ditentukan. Pada masa lalu penentuan lamanya batas
waktu pembayaran denda dilakukan dengan cara tradisional seperti menuangkan
sejumlah air ke tanah. Lamanya air tersebut meresap ke tanah merupakan jumlah
hari atau batas waktu pembayaran denda.
Adat-adat pengelolaan margasatwa ini mencegtah terjadinya pengambilan
secara berlebih terhadap suatu spesies hewan tertentu. Dalam hal ini masyarakat
percaya bahwa akan terjadi malapetaka jika melakukan perburuan, atau
eksploitasi secara besar-besaran. Kearifan ini sangat mendukung konservasi
sumber daya alam sehingga masyarakat tidak sembarangan mengambil fauna
yang ada di sekitarnya.

c. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan di kanan kiri sungai


Masyarakat Malamoi mempunyai kepercayaan bahwa pembukaan kebun di
kanan-kiri sungai adalah berbahaya. Dalam masyarakat tidak ada penjelasan secara
khusus mengenai hal ini. Namun hal ini ada benarnya jika kita menganalisa melalui
aspek ekologis dan konsevasi. Menurut penulis lahan di kanan kiri sungai adalah
lahan yang subur sehingga bebagai jenis tumbuhan dapa tumbuh dengan subur.
Selain itu tepi sungai merupakan salah satu daerah utama dimana banyak terjadi
aktifitas hewan seperti minum, berkembang biak, berkubang, dll. Oleh karena itu
sudah pantas jika di tepi sungai tidak boleh diadakan kegiatan perkebunan, karena
kegiatan ini dapat mengancam kelestarian spesies tumbuhan dan hewan yang
bertopang terhadap sungai tersebut.

14
BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Papua Barat


khususnya pada suku Mooi sudah mengelola sumber daya alam dengan baik.
Masyarakat setempat sangat menaati aturan dan hukum adat karena jika dilanggar akan
mendapat sanksi. Akhirnya dengan hukum adat yang diberlakukan dan memberikan
sanksi bagi yang melanggar membuat masyarakat Papua Barat terus berusaha menjaga
Pelestarian dan Konservasi Sumber Daya Alam setempat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Y. 2017. Memahami Kerusakan Hutan Menurut Fungsinya.


Universitas Diponegoro. Semarang.
Patele. 2016. Malamoi Teges Pumun Tanah, Pusaka Suku Moi. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Rimbo Gunawan dan Endang Suhendar, 2018. Industrialisasi Kehutanan dan
Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Wulan, Y. dan Wollenberg, E. 2016. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di
Indonesia. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Yenny, Irma. 2015. Kajian Hukum Adat Suku Mooi Dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Alam di Sorong. Universitas Brawijaya Malang. Malang.

Anda mungkin juga menyukai