Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/328896090

Analisis Spasial Wilayah Jelajah dan Pola Distribusi Serta Perilaku Monyet Ekor
Panjang (Macaca fascicularis) di Taman Rekreasi Gua Monyet Tenau, Kota
Kupang

Conference Paper · October 2018

CITATIONS READS
0 614

3 authors, including:

Norman Riwu Kaho


Universitas Nusa Cendana
24 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Impact of an unmanaged ephemeral stream on channel irrigation in eastern Indonesia View project

Irrigated small-holder rice farming, land access and food shortages in eastern Indonesia: regional impacts of a national policy View project

All content following this page was uploaded by Norman Riwu Kaho on 13 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Analisis Spasial Wilayah Jelajah dan Pola Distribusi Serta Perilaku
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Taman Rekreasi Gua Monyet Tenau, Kota Kupang

Norman P.L.B Riwu Kaho1, Maria E. Purnama1, Devica Kolloh1


1
Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana

ABSTRACT

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan salah satu species primata bukan-manusia
yang paling tersebar secara geografis dan melimpah. Terdapat kecenderungan jumlah populasi
monyet ekor panjang semakin berkurang, salah satunya di Taman Rekreasi Gua Monyet Tenau
(TRGMT), Kota Kupang yang diduga dapat menggangu pola distribusi pada wilayah jelajah (home
ranges) serta perilaku monyet ekor panjang pada TRGMT. Penelitian ini dilakukan di TRGMT,
Kota Kupang selama bulan Juli s/d Agustus tahun 2018. Penelitian dimulai dari pengumpulan data
titik lokasi monyet ekor panjang yang ditemui menggunakan GPS pada tiga periode waktu, yaitu
(a) periode I (jam 07.00 s/d 10.00 WITA), (b) periode II (jam 11.00 s/d 13.00 WITA), dan (c)
periode III (jam 15.00 s/d 17.00 WITA) yang disertai dengan pengamatan jumlah perilaku
menggunakan metode Ad-Libitum. Analisis spasial luas wilayah jelajah menggunakan metode
Minimum Convex Polygon (MCP, 95%) dan wilayah inti (core area) menggunakan Kernel
Utilization Distribution (KDE, 50%) pada platform Open Web-Based ZoaTrack. Sedangkan pola
sebaran satwa pada ketiga periode pengamatan dianalisis menggunakan metode Heat Map (KDE).
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan total diperoleh 317 titik lokasi perjumpaan langsung
dengan monyet ekor panjang pada area TGRMT. Jumlah titik lokasi monyet ekor panjang paling
banyak diidentifikasi pada periode I (jam 07.00 s/d 10.00 WITA) pada 120 titik lokasi (38%).
Perilaku sosial dan locomotion merupakan 2 perilaku yang paling dominan, sedangkan perilaku
agnostic adalah yang terendah. Hasil uji H Kruskal-Wallis menunjukkan terdapat perbedaan
signifikan pada jumlah perilaku antara jenis kategori perilaku yang berbeda (P< 0.05). Luas
wilayah jelajah monyet ekor panjang pada TRGMT adalah seluas 0.047 km2 atau 4.71 ha dan area
inti seluas 0.011 km2 atau 1.11 ha. Analisis pola sebaran monyet ekor panjang pada 3 periode
pengamatan menunjukkan meski terdapat perbedaan pola sebaran antar periode pengamatan,
namun cenderung hanya terkonsentrasi di sekitar TRGMT.

Kata Kunci : Monyet Ekor Panjang, Taman Rekreasi Gua Monyet Tenau, Wilayah Jelajah,
Pola Distribusi, Perilaku

A. Latar Belakang
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis, Raffles, 1821) merupakan salah satu species
primata bukan-manusia (nonhuman) yang paling tersebar secara geografis dan melimpah (Abbegg
& Thieery, 2002; Kemp & Burnett, 2003; Wheatley, 1999; Sha et al. 2009). Di Indonesia, spesies
ini tersebar pada berbagai wilayah di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa, Papua, dan Nusa
Tenggara (Kemp & Burnett, 2003; Ong & Richardson, 2008). Hal ini berkaitan erat dengan
kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi habitat serta perilaku generalist yang
merupakan bentuk superioritas ekologi dan dapat mengisi relung (niche) yang kosong pada suatu
ekosistem (Kemp & Burnett, 2003; Ong & Richardson, 2008; Sha, et al, 2009). Nilai penting
spesies ini menurut Radakhrishna (2013) adalah spesies ini seringkali berada pada lintas batas
antara satwa domestikasi ataupun symbol kehidupan liar serta dapat menjadi kawan maupun
lawan. Dengan demikian, maka spesies ini dapat berlaku sebagai ‘mirrors and windows’ bagi
pengetahuan manusia terhadap interaksi manusia dengan spesies non-human.
Meski spesies ini memiliki status konservasi yang tergolong berisiko rendah (IUCN, 2008),
akan tetapi terdapat kecenderungan (trend) jumlah populasi monyet ekor panjang semakin
berkurang di berbagai wilayah, termasuk di Asia Selatan (Ong & Richardson, 2008; Yanuar et al.
2009). Penyebab makin berkurangnya populasi spesies ini terutama disebabkan karena perburuan
liar, spesies ini dianggap sebagai hama/penggangu serta perubahan/hilangnya habitat. Akumulasi
dari sejumlah hal ini menyebabkan terdapat eskalasi konflik antara monyet ekor panjang dan
manusia (Alikodra, 2002; Sha, 2013) yang dapat berdampak terhadap perubahan perilaku monyet
ekor panjang (Sha, 2013; Brotcorne et al, 2014; Perveen et al, 2014).
Di Kota Kupang terdapat salah satu lokasi yang menjadi habitat monyet ekor panjang yaitu
di Taman Rekreasi Gua Monyet Tenau (TRGMT). Dhaja, dkk (2016) menyatakan bahwa monyet
ekor panjang pada TRGMT ini pada awalnya dibawa oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagai
hewan piaraan (pets). Sejak tahun 1998 TRGMT kemudian ditetapkan sebagai habitat dari spesies
ini pada area seluas 0.8 hektar. Meski demikian, terdapat indikasi penurunan jumlah populasi
monyet ekor panjang. Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Kupang pada
tahun 2009 tercatat populasi monyet sekitar 304 ekor (Wirawan, dkk. 2013), namun penelitian
Dhaja, dkk (2016) menunjukkan bahwa populasi terkini hanya sekitar 162 ekor atau dengan
kepadatan 16.2 individu/ha. Lesson et al. (2004) menyatakan bahwa untuk moyet ekor panjang
dengan berat rerata 3 kg pada seluruh umur dan jenis kelamin maka daya tampung (carrying
capacity) maksimum yaitu 333 ekor/km2 atau 3-4 ekor/ha. Artinya, kepadatan populasi monyet
ekor panjang di TRGMT telah melebihi 4x lipat kapasitas daya tampung.
Jika mencermati kondisi terkini di sekitar lokasi TRGMT menunjukkan betapa pesatnya
laju perubahan habitat monyet ekor panjang. Ini ditandai dari masifnya pembangunan rumah-
rumah warga serta lokasi wisata yang berada di sekitar TRGMT. Sejumlah hal ini diduga ini dapat
menggangu pola pergerakan dan habitat dalam wilayah jelajah (home ranges) serta perilaku
monyet ekor panjang. Dimana dengan jumlah populasi yang sangat padat dan jika terjadi
perubahan/hilangnya habitat dapat menyebabkan ketegangan dan agresivitas di antara anggota
populasi monyet ekor panjang serta konflik dengan manusia (Alikodra, 2000; Ong & Richardson,
2008; Gumet, 2011; Radakrishna, 2013; Sha, 2013; Brotcorne et al, 2014; Subiarsyah, dkk. 2014;
Praveen et al, 2014).

B. Lokasi & Metode Penelitian


 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di TRGMT, Kelurahan Alak, Kota Kupang yang berlangsung dari
bulan Juli s/d September tahun 2018 (lihat gambar 1). Lokasi penelitian berada tidak jauh dari
pinggir pantai (± 150 meter) dengan topografi berbentuk datar hingga berbukit dan elevasi
yang berkisar dari 10 mdpl s/d 45 mdpl.

Gambar 1.
Lokasi Penelitian

 Metode penelitian
Identifikasi wilayah jelajah dimulai dengan pengumpulan data titik lokasi monyet ekor
panjang yang ditemui menggunakan Global Positioning System (GPS) tipe handheld (Garmin
etrex10, error ± 3-5m) pada tiga periode waktu dalam 1 hari, yaitu (a) periode I (jam 07.00 s/d
10.00 WITA), (b) periode II (jam 11.00 s/d 13.00 WITA), dan (c) periode III (jam 15.00 s/d
17.00 WITA). Pengambilan lokasi ini juga disertai dengan pengamatan jumlah perilaku yang
dilakukan menggunakan metode Ad-Libitum dengan membagi perilaku menjadi 5 kategori
yaitu : (i) agnostic atau perilaku agresif; (ii) perilaku sosial (social behavior) yang mencakup
interaksi, pamer (display), kawin & grooming; (iii) Locomotion atau berpindah tempat; (iv)
Foraging atau aktivitas mencari makan dan makan; serta (v) resting atau beristirahat. Untuk
menguji signifikansi perbedaan antara rerata jumlah perilaku dan periode pengamatan, maka
dilakukan analisis statistika non-parametrik yaitu uji-H Kruskal-Wallis (Sheskin, 2000).
Setelah diperoleh lokasi kemudian dilakukan analisis spasial (spatial) berbasis 4arring
terbuka (open web-based) menggunakan ZoaTrack (https://zoatrack.org). ZoaTrack
merupakan platform berbasis-web yang berisikan sejumlah alat estimator kepadatan wilayah
jelajah yang hasilnya dapat diekspor sebagai file KML atau shapefile sehingga dapat dilihat
dan diproses lebih lanjut pada software Google Earth atau SIG (Dwyer et al. 2015).
Analisis luas wilayah jelajah dilakukan menggunakan metode Minimum Convex Polygon
(MCP) 95% dan wilayah inti (core area) menggunakan Kernel Utilization Distribution 50%.
Hasil analisis dari ZoaTrack kemudian diekspor dalam format ESRI Shapefile (SHP) serta di-
overlay dengan citra Google Earth menggunakan perangkatlunak (software) QGIS. Sedangkan
pola sebaran satwa pada ketiga periode pengamatan dianalisis dengan metode Heat Map
(Kernel Density Estimation) menggunakan software QGIS. Hasil grid Heat Map kemudian
dilakukan pengkelasan-ulang (reclassify) menjadi 3 kelas kepadatan (rendah, sedang, tinggi).

Hasil & Pembahasan


Hasil pengamatan lapangan menunjukkan secara total diperoleh 317 titik lokasi yang
menunjukkan perjumpaan langsung dengan monyet ekor panjang pada area TGRMT (Tabel 1 dan
Gambar 2). Jika ditilik per periode pengamatan, maka jumlah titik lokasi monyet ekor panjang
paling banyak diidentifikasi pada periode I (jam 07.00 s/d 10.00 WITA) dengan jumlah 120 titik
lokasi (38%) jika dibandingkan pada periode II (99 titik lokasi) dan periode III (98 titik lokasi).
Selain itu, secara kumulatif jumlah perilaku yang terekam pada periode I lebih banyak (41%) jika
dibandingkan pada periode II (30%) dan periode III (29%). Diduga hasil ini dipengaruhi oleh pada
pagi hari monyet ekor panjang akan lebih aktif jika dibandingkan pada periode lainnya.
Tabel 1. Jumlah Perilaku Monyet Ekor Panjang pada Tiap Periode Pengamatan
∑ Perilaku Per Periode Pengamatan
Perilaku Satwa
I II III Total %
Agnostic 84 53 59 196 6
Perilaku Sosial 383 331 290 1004 33
Locomotion 372 236 272 880 29
Foraging 221 105 164 490 16
Resting 168 189 100 457 15
Total 1228 914 885
3.027 100
% 41 30 29

Gambar 2.
Peta Titik Lokasi Monyet Ekor Panjang Tiap Periode Pengamatan

Kemp & Burnett (2003) menyatakan bahwa monyet ekor panjang merupakan spesies
diurnal yang secara periodic akan aktif dari pagi s/d sore. Gurmaya et al. (1994 dalam Cawthon
Lang, 2006); Kemp & Burnett (2003) menyatakan bahwa setelah meninggalkan pohon sarang
antara jam 5:30 dan 6 pagi, monyet ekor panjang akan menghabiskan waktu pada pagi hari untuk
mencari makanan sebanyak-banyaknya dan sebaliknya pada siang hari mereka akan beristirahat
dan akan kembali aktif pada sore hari. Hal ini dapat dijustifikasi dari jumlah seluruh perilaku,
kecuali resting, ditemukan terbanyak pada periode pengamatan I (agnostic = 84, perilaku sosial =
383, locomotion = 372 dan foraging = 221) dibandingkan pada periode pengamatan II dan III. Di
sisi yang lain, jumlah perilaku resting terbanyak ditemukan pada periode pengamatan II (n = 189
perilaku) dan pada sore hari jumlah perilaku foraging kembali meningkat (n = 164).

Gambar 3.
Grafik Perbandingan Jumlah Perilaku Per Periode Pengamatan

Jika ditilik lebih mendalam dari aspek perilaku, maka perilaku sosial dan locomotion
merupakan 2 perilaku yang paling dominan pada monyet ekor panjang di TRGMT, sebaliknya
perilaku agnostic merupakan perilaku yang paling sedikit ditunjukkan oleh spesies ini (Gambar 4).
Hasil uji H Kruskal-Wallis menunjukkan terdapat perbedaan signifikan pada jumlah perilaku
antara jenis kategori perilaku yang berbeda (H = 12.37, df = 4, N = 15, P < 0.05) dengan ranking
rerata (mean rank) dari urutan terendah ke tertinggi adalah perilaku agnostic (mean rank = 2),
resting (6.33), foraging (6.67), locomotion (11.67) dan perilaku sosial (13.33). Selain itu, terdapat
perbedaan nyata (P<0.05) antara jumlah perilaku agnostic dan perilaku sosial, sedangkan untuk
antar perilaku lainnya tidak berbeda nyata (P>0.05).

Gambar 4.
Ranking Rerata Jumlah Perilaku terhadap Perilaku Satwa yang Berbeda
Jumlah perilaku agnostic yang paling sedikit ini mengkonfirmasi apa yang disampaikan
oleh Bonadio (2000) yang menyatakan bahwa meski terdapat sifat agresif antara pejantan (males),
tetapi spesies monyet ekor panjang umumnya dicirikan oleh level agesivitas yang rendah antar-
kelompok. Diduga jumlah perilaku agnostic mengikuti pola perilaku foraging dimana monyet ekor
panjang akan memperlihatkan perilaku agnostic saat berkompetisi memperebutkan makanan. Ini
dapat terlihat jumlah perilaku agnostic dan foraging terbanyak terjadi pada periode I dan berkurang
pada periode II, namun kembali meningkat lagi pada periode III (Gambar 5).

Gambar 5.
Perbandingan (%) Jumlah Perilaku Agnostic & Foraging per Periode Pengamatan

Sedangkan untuk perilaku sosial yang merupakan jumlah perilaku yang tertinggi diduga
disebabkan oleh struktur sosial spesies ini yang umumnya merupakan kelompok sosial matrilineal
dengan hierarki dominasi betina yang tidak akan terpisah dalam satu kelompok (van Noordwijk &
Schaik, 1999). Bonadio (2000) menyatakan struktur sosial seperti ini menyebabkan terdapat
kecenderungan para betina akan membentuk ikatan sosial yang kuat dalam kelompoknya sehingga
perilaku sosial seperti grooming merupakan aktivitas yang umum dilakukan, terutama oleh betina
low-ranking terhadap betina high-ranking. Sedangkan perilaku locomotion atau berpindah yang
juga dominan pada penelitian ini disebabkan oleh karena spesies ini merupakan jenis mahluk
diurnal yang akan bergerak atau berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya pada teritorinya
untuk mencari makan atau melakukan aktivitas sosial lainnya (Hambali et al, 2012).
Analisis wilayah jelajah pada platform ZoaTrack menunjukkan bahwa luas wilayah jelajah
(home range) monyet ekor panjang pada TRGMT hanya seluas 0.047 km 2 atau 4.71 ha dan area
inti (core area) seluas 0.011 km2 atau 1.11 ha (Gambar 6). Wilayah jelajah monyet ekor panjang
di TRGMT ini tergolong sangat kecil karena umumnya monyet ekor panjang memiliki luas
wilayah jelajah sekitar 1.25 km2 atau 125 ha (Bonadio, 2000; Cawthon Lang, 2006) dan pada
kondisi alami akan berkisar antara 50 – 100 ha (Kemp & Burnett, 2003). Luasan wilayah jelajah
yang sangat kecil ini juga sekaligus menunjukkan ukuran kelompok monyet ekor panjang di
TRGMT yang kecil. Bercovitch & Huffman (1999 dalam Kemp & Burnett, 2003) menyatakan
ukuran wilayah jelajah merupakan fungsi dari ketersediaan makanan dan tekanan yang disebabkan
oleh kehadiran predator maupun perubahan habitat.

Gambar 6.
Peta Wilayah Jelajah dan Area Inti Monyet Ekor Panjang

Hasil ini juga menunjukkan bahwa wilayah jelajah dan area inti dari monyet ekor panjang
cenderung hanya berada di sekitar area TRGMT dan langsung berbatasan dengan pemukiman
warga. Hal ini diduga disebabkan pada area tersebut terdapat jenis pohon yang berfungsi sebagai
sarang dan tempat bergantungan yang umumnya sangat didominasi oleh jenis Kesambi
(Schleichera oleosa) pada tingkat komposisi vegetasi pohon dewasa dan pohon muda/tiang (Dhaja,
dkk, 2016). Selain itu, juga ditemui beberapa jenis namun tidak banyak tersebar seperti Kedondong
Hutan (Spondias pinnata), Beringin (Ficus benjamina) dan Pulai (Alstonia scholaris). Selain itu,
diduga pada area ini merupakan zona pemberian makan oleh warga sekitar, para pengunjung
TRGMT atau pelintas yang kebetulan melewati jalan di sekitar TRGMT.
Dengan wilayah jelajah serta area inti yang langsung berbatasan dengan pemukiman warga
di sekitar TRGMT, maka diduga akan mempengaruhi pola makan yang sebagian besar berasal dari
pemberian manusia yang juga ditopang dari minimnya ketersediaan sumberdaya pakan dari
lingkungan alam yang ada disekitar TRGMT (Dhaja, dkk, 2016). Dimana monyet ekor panjang
akan mencari makan hingga di pemukiman warga atau menunggu di pinggir jalan pemberian
makanan oleh para pelintas yang lewat. Sha (2013) menyatakan pada populasi monyet ekor
panjang dengan pola hubungan komensalisme terhadap manusia, maka makanan yang bersumber
dari manusia (antropogenic foods) dapat mencapai 20 – 99% terhadap total makanan monyet ekor
panjang yang berkonsekuensi terhadap berkurangnya makanan dari sumber alami. Akibatnya
adalah monyet akan mengubah pola makan secara signifikan dengan mengeksplotasi segala
sumberdaya yang dapat ditemukan pada habitat yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti
pada TRGMT. Seperti yang dinyatakan oleh Poirier & Smith (1974 dalam Kemp & Burnett, 2003)
bahwa meski makanan utama monyet ekor panjang didominasi oleh buah dan biji (60-90% dari
total diet), tetapi spesies ini tergolong “opportunistic omnivore” yang dapat memakan berbagai
jenis makanan yang sangat beragam.
Analisis pola sebaran monyet ekor panjang pada 3 periode pengamatan menunjukkan
terdapat perbedaan pola sebaran antar periode (Gambar 7). Pada periode pertama terlihat monyet
ekor panjang pada area TRGMT lebih menyebar dibandingkan periode pengamatan ke-II dan III.
Dimana pada periode pengamatan I terdapat 3 spot lokasi dengan kepadatan sedang s/d tinggi yaitu
1 spot berada dalam pagar TRGMT dan di pinggir jalan, 1 spot berada di dekat lubang batu dan
pohon sarang, dan 1 spot di sekitar pemukiman warga. Hasil ini sejalan fakta bahwa jumlah titik
lokasi monyet ekor panjang terbanyak terdapat pada periode pengamatan I dan perilaku monyet
ekor panjang yang secara diurnal akan lebih aktif pada pagi hari sehingga mempengaruhi pola
penyebaran pada periode pengamatan I. Pada periode pengamatan II hanya terdapat 1 spot dengan
kepadatan sedang s/d tinggi, dan pada periode pengamatan ke III dapat terlihat penyebaran
cenderung hanya terbatas pada wilayah di dekat tingkat kepadatan sedang s/d tinggi.
Gambar 7.
Pola Sebaran Monyet Ekor Panjang Per Periode Pengamatan

Meski terdapat perbedaan pola sebaran pada ketiga periode pengamatan, akan tetapi
terdapat kecenderungan tingkat kepadatan monyet ekor panjang pada ketiga periode pengamatan
cenderung hanya berada di dalam area TRGMT. Diduga kepadatan populasi yang mencapai 4x
lipat dari kondisi ideal ini turut membatasi pola sebaran monyet ekor panjang di TRGMT. Sebagai
perbandingan, kepadatan monyet ekor panjang pada kondisi habitat alami atau semi-alami akan
berkisar 4 – 121 ekor/km2 dan pada habitat perkotaan kepadatan mencapai 326 – 1111 ekor/km2
(Wheatly, 1996; Sha, 2013). Selain itu, konsentrasi monyet ekor panjang pada wilayah tertentu ini
mengindikasikan pada lokasi tersebut merupakan tempat makanan akan diperoleh, baik yang
disediakan oleh pengelola TRGMT, para pengunjung TGRMT atau para pelintas. Brotcorne, et al
(2014) menyatakan bahwa monyet ekor cenderung akan memiliki preferensi melakukan aktivitas
diurnal atau tidur pada zona manusia atau hutan yang dekat dengan pemukiman warga. Chapman
et al. (1995 dalam Sha, 2013) menyatakan ketika sumberdaya makanan terkonsentrasi pada
wilayah tertentu, maka monyet ekor panjang dapat mengurangi luas jelajah. Dimana dengan
strategi meminimalisasi waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh makanan, maka akan semakin
banyak energi yang dapat diperoleh atau disimpan. Selain itu, ini juga ditopang oleh minimnya
ketersediaan sumberdaya pakan yang berasal dari lingkungan alam sekitar TRGMT (Dhaja, dkk,
2016).

(a) (b)
Gambar 8.
(a) Pengunjung yang Sedang Memberi Makan;
(b) Foto Udara Kondisi Habitat di Sekitar TRGMT
(Sumber : dokumentasi lapangan, 2018)

Gumert (2011) menyatakan pada zona-zona seperti pada TRGMT ini pada umumnya
hubungan antara monyet ekor panjang dan manusia dapat berbentuk komensalisme. Pola
hubungan komensalisme berarti monyet di TRGMT akan mendapatkan keuntungan/benefit dari
hubungan ini tanpa memberikan pengaruh dalam bentuk keuntungan atau kerugian apapun bagi
manusia sebagai counterpart. Tetapi, penulis yang sama juga menyatakan bahwa pola relasi antara
monyet-manusia ini sesungguhnya tidak saja komensalisme, tetapi juga bersifat kompetisi,
mutualisme dan netral. Kehadiran monyet ekor panjang dapat berdampak negative terhadap
manusia dalam bentuk kompetisi terhadap makanan dan ruang, hama (pest) atau penggangu, serta
pengancam melalui aksi yang agresif sebagai akibat kompetisi terhadap sumberdaya terutama
makanan, karena terdesak karena ulah manusia itu sendiri (menggangu, memburu, mendekati, dll),
monyet akan membela anak-anaknya, serta gangguan saat aktivitas kawin (Kemp & Burnett, 2003;
Sha et al. 2009; Gumert, 2011; Sha, 2013). Sebaliknya, Perveen, et al (2014) juga menyatakan
interaksi yang intensif antara manusia dengan monyet ekor panjang seperti di TRGMT juga dapat
menggangu dalam hal aktivitas sosial dan keseimbangan alami dari monyet ekor panjang.

Kesimpulan
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan secara total diperoleh 317 titik lokasi
perjumpaan langsung dengan monyet ekor panjang pada area TGRMT. Jika ditilik per periode
pengamatan, maka jumlah titik lokasi monyet ekor panjang paling banyak diidentifikasi pada
periode I (jam 07.00 s/d 10.00 WITA) dengan jumlah 120 titik lokasi (38%). Perilaku sosial dan
locomotion merupakan 2 perilaku yang paling dominan pada monyet ekor panjang di TRGMT.
Analisis wilayah jelajah pada platform ZoaTrack menunjukkan bahwa luas wilayah jelajah monyet
ekor panjang pada TRGMT hanya seluas 0.047 km2 atau 4.71 ha dan area inti seluas 0.011 km2
atau 1.11 ha yang cenderung berada di sekitar area TRGMT dan langsung berbatasan dengan
pemukiman warga. Analisis pola sebaran monyet ekor panjang pada 3 periode pengamatan
menunjukkan meski terdapat perbedaan pola sebaran antar periode pengamatan, namun tingkat
kepadatan sedang s/d tinggi cenderung hanya terkonsentrasi di sekitar TRGMT.

Daftar Pustaka

Abegg C, Thierry B. 2002. Macaque Evolution and Dispersal in Insular South-East Asia.
Biological Journal of the Linnean Society. London: The Linnean Society of London.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Bogor. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Bonadio C. 2000. "Macaca fascicularis" (On-line), Animal Diversity Web. Diakese pada
September 14, 2018. http://animaldiversity.org/accounts/Macaca_fascicularis/
Brotcorne F, Maslarov C, Wandia, IN, Fuentes A, Beudel-Jamar RC & Huynen M-C. 2014. The
Role of Anthropic, Ecological and Social Factors in Sleeping Site Choice by Long-Tailed
Macaques (Macaca fascicularis). American Journal of Primatology.
Cawthon Lang KA. 2006 January 6. Primate Factsheets: Long-tailed macaque (Macaca
fascicularis) Taxonomy, Morphology, & Ecology.
<http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/entry/long-tailed_macaque>. Diakses pada 8
September 2018.
Dhaja C, Simarmata Y.T.R.M.R, Njurumana G. 2016. Population Structure & Habitat Condition
of Long Tailed Macaque (Macaca fascicularis) in Recreational Park Gua Monyet Tenau
Kupang. Prosiding Seminar Nasional Ke-4, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa
Cendana, Kupang 25 Oktober 2016. ISBN 978-602-6906-21-2.
Dwyer RG, Brooking C, Brimblecombe W, Campbell HA, Hunter J, Watts M.E, Franklin CE.
2015. An Open Web-Based System for the Analysis and Sharing of Animal Tracking
Data", Animal Biotelemetry 3:1, 29 Jan 2015, DOI 10.1186/s40317-014-0021-8.
Gumert M.D. 2011. The Common Monkey of Southeast Asia : Long-Tailed Macaque Populations,
Ethnophoresy, and their Occurrence in Human Enviroments. Article in : Monkeys on the
Edge : Ecology and Management of Long-Tailed Macaques and their Interface with
Human, eds. M.D Gumert, A. Fuentes & L. Jones-Engel. Published by Cambridge
University Press.
Hambali K, Ismail A & Munir, B. 2012. Daily Activity Budget of Long-tailed Macaques (Macaca
fascicularis) in Kuala Selangor Nature Park. International Journal of Basic & Applied
Sciences IJBAS-IJENS Vol:12 No:04.
Kemp NJ, Burnett JB. 2003. A Biodiversity Risk Assesment and Recommendations for Risk
Management of Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis) in New Guinea (Final
Report). Indo-Pacific Conservation Alliance (IPCA) in Partnership with Universitas
Cendrawasih.
Lesson C, Kyes, RC, Iskandar E. 2004. Estimating Population Density of Longtailed Macaques
(Macaca fascicularis) on Tinjil Island, Indonesia, Using the Line Transect Sampling
Method. Jurnal Primatologi Indonesia 4(1):7-14.
Ong P & Richardson M. 2008. Macaca fascicularis ssp. fascicularis. The IUCN Red List of
Threatened Species 2008: e.T39768A10255883.
http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T39768A10255883.en. Diakeses pada 08
September 2018.
Praveen F, Karimullah & Anuar S. 2014. Long-Tailed Macaques, Macaca fascicularis (Primate :
Cercopithecidae) : Human – Monkey Behavioural Interaction in Botanical Gardens
Penang, Malaysia. Annals of Experimental Biology 2014, 2 (1):36-44.
Radhakrishna S. 2013. The Gulf Between Men and Monkeys. Article in : The Macaque
Connection (Cooperation and Conflict between Humans and Macaques), eds S.
Radhakrishna, M.A Huffman & A. Sinha. Springer Science+Business Media, LLC.
Sha JCM, Gumert MD, Lee BPY-H, Fuentes A, Rajathurai S, Chan S & Jones-Engel L. 2009.
Status of the Long-Tailed Macaque Macaca fascicularis in Singapore and Implicaations
for Management. Biodivers Conserv (2009) 18:2909–2926. DOI 10.1007/s10531-009-
9616-4. Springer Science+Business Media B.V.
Sha JCM. 2013. Ecology of Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis) and its Implications for
the Management of Human-Macaque Interface in Singapore. Dissertation. Kyoto
Universty.
Sheskin D. 2000. Handbook of Parametric and Nonparamatric Statistical Procedures (Second
Edition). Chapman & Hall/CRC, USA.
Subiarsyah MI, Soma IG; Suatha IK. 2014. Struktur Populasi Monyet Ekor Panjang di Kawasan
Pura Batu Pageh, Ungasan, Badung, Bali. Indonesia Medicus Veterinus, [S.l.], aug. 2014.
ISSN 2477-6637. Available at: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/imv/article/view/11073>.
Diakses pada 5 September 2018.
van Noordwijk M & van Schaik C. 1999. The Effects of Dominance Rank and Group Size on
Female Lifetime Reproductive Success in Wild Long-tailed Macaques, Macaca
fascicularis. Primates 40: 105–130.
Wheatley BP. 1999. The Sacred Monkeys of Bali. Waveland Press, Illinois.
Wirawan IGKO, Kusumaningrum D, Oematan AB. 2015. Keragaman Endoparasit
Gastrointestinal pada Macaca fascicularis di Taman Wisata Goa Monyet Tenau Kota
Kupang. JSV (Jurnal Sain Veteriner) 33 (1), Juli 2013. ISSN : 0126 – 0421.
Yanuar A, Chivers DJ, Sugardito J, Martyr DJ, and Holden JT. 2009. The Population Distribution
of Pig-Tailed Macaque (Macaca nemestrina) and Longtailed Macaque (Macaca
fascicularis) in West Central Sumatra, Indonesia. Asian Primates Journal 1:2–11.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai