Anda di halaman 1dari 8

BERUANG MADU (Helarctos malayanus)

ARTIKEL BIOLOGI KONSERVASI

Oleh:

1. Nindy Agusti W (141810401033)


2. Rini Agustina (141810401035)
3. Siti Nur Aisyah (141810401039)
4. Ike Nurrohmah (141810401040)
5. Dwi Ayu Nur I.I (141810401046)

BIOLOGI KONSERVASI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2017
UPAYA KONSERVASI BERUANG MADU DIKAWASAN WISATA
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP (KWPLH) BALIKPAPAN

Abstrak

Beruang madu (Helarctos malayanus) termasuk kedalam fauna yang dilindungi


oleh pemerintah indonesia. Beruang madu saat ini termasuk kedalam daftar hewan
yang rentan akan kepunahan menurut Red List IUCN. Berbagai upaya konservasi
telah dilakukan baik dari pemerintah maupun berbagai komunitas dan organisasi
pelindung satwa. Salah satunya yang kini diterapkan oleh pemerintah adalah
dengan mendirikan Kawasa Wisata Perlindungan Lingkungan Hidup(KWPLH)
yang terdapat di Balikpapan. Metode yang dilakukan yaitu dengan cara
wawancara langsung kepada para petugas KWPLH dan masyarakat setempat serta
pengamatan tentang faktor abiotik. Hasil diperoleh bahwa habitat yang berada di
KWPLH cukup sesuai untuk konservasi beruang madu. Hal ini sangat bermanfaat
untuk bidang pendidikan sehingga masyarakat juga akan tau bagaimana
pentingnya menjaga kelestarian hewan. Namun ada beberapa kekurangan yang
perlu diperhatikan unutk mengkonservasi beruang madu jika menggunakan
metode KWPLH.

I. PENDAHULUAN

Beruang madu (Helarctos malayanus) merupakan spesies beruang terkecil dengan


lama hidup hingga 25 tahun (National Geographic, 2016). Beruang madu
memiliki panjang kepada dan badan (dari hidung hingga ekor) sekitar 1000-1400
mm, panjang ekor 30-70 mm, tinggi bahu 700 mm, berat sekitar 27-65 kg, dan
berat lahir sekitar 325 gram. Beruang dewasa memiliki tanda U pada bagian
dada yang berwarna orange keputihan dengan moncong berwarna orange atau
abu-abu (Dathe, 1975). Perbedaan beruang madu jantan dan betina berada pada
bobot dari tubuhnya. Beruang madu jantan berat tubuhnya yaitu sekitar 40-60 Kg
sedangkan beruang madu betina sekitar 20-40 Kg (Fetherstonhaugh, 1948).

Beruang madu memiliki habitat alami di area hutan hujan tropis yang terdistribusi
di area Asia Tenggara seperti bagian timur dan selatan Sumatra, Borneo, bagian
selatan provinsi Yunnan China, timur laut India dan Bangladesh. Saat ini status
beruang madu pada posisi yang rentan (Vulnerable (V) berdasarkan IUCN Red
List of Threatened Species) (Fredriksson et al., 2008). Hal ini terjadi akibat
adanya perubahan habitat oleh campur tangan manusia serta perburuan liar yang
bertujuan untuk mengambil bagian tubuh beruang madu untuk bidang pengobatan
tradisional sehingga jumlah populasi beruang madu yang ada sekarang telah
menurun lebih dari 30% selama 30 tahun (3 generasi beruang), meskipun juga
secara kuantitatif kesulitan mendapatkan data tentang jumlah populasi beruang
secara keseluruhan (Sharp, 2014).
Berdasarkan hal tersebut, Walikota Balikpapan meluncurkan kebijakan dengan
Keputusan Walikota Balikpapan No.188.45-72 (2005) yang menyatakan bahwa
lokasi KM 23 semula merupakan lokasi Kawasan Agrowisata seluas 15 hektar
berada pada Hulu Hutan Lindung Sungai Manggar, mempunyai nilai strategis dan
memiliki fungsi sebagai kawasan percontohan pemeliharaan satwa Beruang Madu
(enclosure). Kawasan tersebut adalah Kawasan Wisata Pendidikan KWPLH
dimana beruang madu pada saat ini berada. KWPLH beruang madu terletak jalan
Sukarno-Hatta Km 23 Karang Joang (poros Balikpapan-Samarinda) Kecamatan
Balikpapan Utara Kalimantan Timur. Konservasi yang dilakukan ini
menggunakan metode konservasi ex-situ .
Konservasi ex-situ merupakan metode konservasi yang mengkonservasi spesies di
luar distribusi alami dari populasi tertuanya. Konservasi beruang madu secara ex-
situ telah dilakukan oleh KWPLH Balikpapan sejak tahun 2006. Konservasi
beruang madu di KWPLH Balikpapan memiliki cara konservasi ex-situ terbaik di
Asia. Pengamatan ini dilakukan dikawasan KWPLH dengan mengukur faktor
abiotik dan kekayaan spesies tanaman yang menunjang kehidupan beruang madu.
Kemudian dilakukan metode wawancara kepada bebrapa petugas tentang cara
bagaimana sistem konservasi beruang madu dikawasan tersebut.
II. METODE

Metode yang digunakan dalam mengkonservasi beruang madu dengan mendirikan


Kawasan Wisata Perlindungan Lingkungan Hidup (KWPLH) seperti yang ada
diBalik Papan. Pengamatan dilakukan terhadap faktor abiotik habitat beruang
madu di KWPLH KM 23 Balikpapan. Faktor lingkungan abiotik yang diukur
besarannya adalah koordinat lokasi, ketinggian tempat, temperatur dan
kelembaban udara, intensitas cahaya, kelembaban, dan pH tanah dan faktor
biotinya dilakukan pendataan kekayaan tanaman dikawasan tersebut. Kemudian
dilakukan wawancara terhadap bebrapa petugas dan masyarakat tentang
keberdaan KWPLH didaerah tersebut. Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah JPS, thermohygrometer, altimeter, lightmeter, dan soiltester dan alat tulis.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


KWPLH beruang madu terletak Jalan Sukarno-Hatta Km 23 Karang Joang (poros
Balikpapan- Samarinda ) Kalimantan Timur. Hasil pengukuran dengan JPS
(Ngabekti dkk, 2013), enklosur beruang madu berada pada S : 1 06 30.7 dan E
: 116 54 15.2. Lokasi ini berada pada ketinggian 43-68 mdpl, suhu udara cukup
sejuk berkisar antara 24,8-27,6 C, dan kelembaban udara 85-88%.Secara
ekologis, kondisi ini sesuai dengan habitat alami beruang madu. Peta lokasi
KWP2LH Beruang Madu tampak pada Gambar 1.

Hasil survei menunjukkan KWPLH beruang madu Km 23 merupakan


habitat yang mulai jadi, tidak hanya untuk beruang madu tetapi juga bagi spesies
hewan yang lain. Enklosur beruang madu di kawasan ini dirancang sedemikian
rupa sehingga mendekati kondisi habitat aslinya. Proses pemberian makanan pada
beruangberuang juga dirancang sedemikian rupa sehingga mirip dengan di habitat
aslinya. Petugas akan menempatkan buah-buahan seperti semangka, melon, nanas,
salak, pepaya, rambutan, dan lain-lain pada tempat-tempat tertentu, atau
mengoleskan selai dan madu pada pohon-pohon tertentu sehingga beruang-
beruang tersebut harus mencari, berdiri, bahkan memanjat pohon untuk
mendapatkan makanan tersebut. Pada saat memberi makan beruang madu
dimasukkan ke dalam holdingyakni kandang sementara yang dapat dibuka dan
ditutup secara mekanik. Setelah penempatan makanan selesai, beruang madu
dilepas kembali ke enklosur.
Di dalam enklosur beruang madu, setidaknya teridentifikasi sebanyak 23
spesies tanaman yang tumbuh alami, Secara tidak langsung, perlindungan beruang
madu yang direkayasa seperti habitat alami ini akan membentuk ekosistem hutan
dengan segala interaksi yang ada di dalamnya.
Survai aspirasi sosial masyarakat terkait dengan konservasi beruang madu
di KWPLH, dilakukan kepada responden (30 responden) terdiri dari pengunjung
(15 responden), warga sekitar (13 responden) dan travel (2 responden) di lokasi
enklosur beruang madu Km 23. Hasil survai menunjukkan responden secara
keseluruhan yaitu 100% memberikan antusias bahwa keberadaan enclosure
beruang madu Km 23 sangat penting. Apabila dilihat dari tingkat ketergantungan
terhadap lokasi enklosur beruang madu Km 23 saat ini, kelompok operator
(travel) dan warga sekitar sangat bergantung dengan memberikan respon
keseluruhan responden (100%) menyatakan tergantung. Untuk pengunjung hanya
40 persen saja dari responden yang menyatakan tergantung dan sisanya sebanyak
60 persen tidak terlalu bergantung. Ketidak tergantungan pengunjung terhadap
KWPLH beruang madu sebagai tujuan wisata disebabkan masih adanya
alternative tujuan wisata di Balikpapan seperti wanawisata di Km 10, Woddy
Park, aneka pusat perbelanjaan, dan sebagainya.
Kemampuan reproduksi beruang madu merupakan salah satu indikator
keberhasilan konservasi ex-situ. Penyebabnya diduga karena dua hal yakni
kondisi fisik dan kurang luasnya enklosur. Pertama, beruang madu di kawasan ini
berasal dari hasil sitaan, sehingga secara fisik ada bagian tubuh yang cacat.
Kedua, kurang luasnya enklosur yang hanya 1,3 hektar untuk wilayah jelajah
(home range). Menurut Frederickson (2005) karena tingkat jelajah beruang madu
yang berbeda antara jantan dan betina sehingga jika area sempit akan n
mempersulit proses perkawinan.
Menurut kelompok kami, konservasi dengan metode KWPLH memiliki
kekurangan sehingga dibutuhkan penanganan lebih lanjut. Karena meskipun
baruang madu berada ditempat yang telah disesuaikan dengan habitat aslinya,
tetap saja keberadaan ktivitas manusia di kawasan tersebut mengganggu
perkembangan dari beruang madu itu sendiri. Menurut kelompok kami slah satu
metode yang mungkin dapat diterapkan adalah metode Quisionary survey yang di
padukan dengan metode jebakan kamera dimana metode ini dilakukan dengan
melakukan wawancara kepada msayarakat setempat tentang distribusi beruang
madu diwilayah tersebut kemudian dilakukan survey langsung kedalam hutan
untuk mencari jejak beruang madu berdasarkan informasi yang telah didapat.
Pencarian beruang madu bisa didasarkan atas kotoran, jejak kaki maupun
sarangnya. Kemudian dilakukan jebakan kamera dengan meletakkan kamera
ditempat yang strategis yang memungkinkan untuk melihat aktivitas dariberuang
madu itu sendiri. Kelebihan lain dari metode jebakan trap ini adalah selain dapat
memantau aktivitas beruang madu, juga dapat memantau aktivitas manusia yang
masuk kedalam hutan tersebut namun kekurangannya adalah dibutuhkan biaya
yang cukup mahal untuk membeli kamera untuk membuat jebakan tersebut. Peran
dari pemerintah dan masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk keberhasilan dari
metode ini sehingga para peneliti harus bekerja sama dengan pemerintah dan
mematuhi peraturan yang telah ditetapkan.

IV. KESIMPULAN
Metode konservasi dengan mendirikan kawasan KWPLH yang secara fisik,
kologis, dan aspek sosial masyarakat dapat membantu dalam melindungi
keberadaan beruang madu, akan tetapi ada beberapa kekurangan yang perlu
diperhatikan. Salah satu contoh metode yang mungkin bisa diterapkan yaitu
metode Quisionary survey dan metode jebakan kamera.
DAFTAR PUSTAKA

Dathe, H. 1970. A second-generation birth of captive sun bears, Helarctos


malayanus, at East Berlin Zoo. International Zoo Yearbook.

Fetherstonhaugh, A. H. 1948. Two Malayan bears. Journal of the Malayan Nature


Society. Vol III No. 1 - 4: 90 92.

Freddriksson, G. 2008. Predation on Sun Bears by Reticulated Python in East


Kalimantan, Indonesian

Ngabekti, S.2013. Konservasi Beruang Madu di Kwplh Balikpapan. Biosaintifika


Vol 5 No. 2

Sharp,T. 2014. The Bear Conservation Fund. India: Of The International


Assocition for Bear Research and Management (IBA), Annual Report.

Anda mungkin juga menyukai