Anda di halaman 1dari 107

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/281628689

Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit


Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi Riau

Thesis · September 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.1717.0407

CITATIONS READS

7 8,719

1 author:

Romie Jhonnerie
Universitas Riau
28 PUBLICATIONS   107 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Fishing Vessel Detection using Synthetic Aperture Radar (SAR) View project

Yellowfin Tuna Hotspot By GIS-Based Spatial and Temporal Distribution Analysis On Longline Fisheries Data View project

All content following this page was uploaded by Romie Jhonnerie on 10 September 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KLASIFIKASI MANGROVE BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL
MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL DI
SUNGAI KEMBUNG, BENGKALIS, PROVINSI RIAU

ROMIE JHONNERIE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Klasifikasi Mangrove


Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai
Kembung, Bengkalis, Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Romie Jhonnerie
NIM C562100041
RINGKASAN

ROMIE JHONNERIE. Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel


Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi
Riau. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR, LILIK BUDI PRASETYO,
SAM WOUTHUYZEN dan BISMAN NABABAN.

Mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang memiliki fungsi


seperti (1) proteksi pantai dari gangguan badai, tsunami, angin, dan gelombang; (2)
tempat pemijahan ikan dan organisme lainnya, (3) tempat rekreasi, (4) sumber
nutrisi bagi organisme, dan (5) sumber bahan kayu. Status ekosistem mangrove di
Sungai Kembung, Pulau Bengkalis Provinsi Riau saat ini berada pada kondisi
cenderung mendapatkan tekanan dari manusia. Upaya perlindungan dan
pengelolaan ekosistem mangrove perlu menjadi perhatian serius dari berbagai pihak
dan memerlukan teknik perolehan data dan informasi mangrove secara spasial
secara tepat dan akurat.
Pengambilan data lapangan dilakukan bulan Juni dan Desember 2012. Citra
satelit yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Landsat 5 TM, Landsat 7
ETM+, Landsat 8 OLI, SPOT 6 multispektral, SPOT 6 pankromatik, ALOS
PALSAR, dan SENTINEL-1. Pra-pengolahan data satelit terdiri dari koreksi
atmosferik, kalibrasi radiometrik, koreksi geometrik, dan transformasi spektral.
Data lapangan berupa pengamatan vegetasi mangrove dan penutup lahan.
Pengembangan skema klasifikasi menggunakan analisis gerombol dan similarity
percentage (SIMPER) selanjutnya untuk mengetahui karakteristik reflektansi
spektral data digunakan analisis spektral. Pengelompokkan data citra satelit
menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dengan menerapkan algoritma
random forest (RF). Hasil klasifikasi berbasis objek dibandingkan dengan teknik
klasifikasi berbasis piksel menggunakan algoritma maximum likelihood.
Keberhasilan klasifikasi berbasis objek diterapkan dalam pendeteksian perubahan
mangrove di lokasi studi.
Komunitas mangrove di Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies
tumbuhan mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies
mangrove ikutan. Xylocarpus granamun, Rhizophora apiculata, Lumnitzera.
Racemosa, dan Scyphiphora hidrophyllaceae merupakan komunitas dominan dan
selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya (semua
strata). Berdasarkan kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove
yang diputuskan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201
tahun 2004, mangrove Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan mangrove
yang baik dan sangat padat.
Skema klasifikasi komunitas mangrove dibangun berdasarkan data struktur
komunitas mangrove. Satu tingkatan skema komunitas mangrove berhasil
dibangun. Skema tersebut terdiri terdiri dari 12 kelas komunitas mangrove namun
keterbatasan sampel pada sebagian besar kelas komunitas maka ditetapkan dua
komunitas utama (1) Rhizophora apiculata (Ra) terdiri dari 33 sampel dan
komunitas (2) Xylocarpus granatum (Xg) terdiri dari 93 sampel. Kelas komunitas
lainnya yang memiliki jumlah sampel yang terbatas (gabungan 10 kelas) menjadi
kelas Lainnya (La) dan terdiri dari 28 sampel.
iii

Kedua teknik klasifikasi mampu mengidentifikasi seluruh kelas penutup


lahan dan komunitas mangrove. Masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang
mengakibatkan efek salt and pepper pada kedua klasifikasi namun algoritma
random forest (RF) mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan algoritma
maximum likelihood. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan
klasifikasi berbasis objek dan piksel diperoleh melalui input image layer (IIL) M6.
Klasifikasi berbasis objek mampu meningkatkan hasil klasifikasi dari 1-24.5%.
Analisis perubahan penutup lahan menyatakan bahwa luas mangrove di
Sungai Kembung relatif stabil dalam jangka waktu pengamatan tersebut, mangrove
yang berubah menjadi penutup lahan lainnya sebesar 197.2 hektar, bertambah
seluas 251.1 hektar dan yang tidak mengalami perubahan seluas 2904.9 hektar.
Perubahan mangrove umumnya diakibatkan oleh faktor antropogenik seperti
penanaman mangrove, penebangan, perubahan alih fungsi mangrove menjadi jalan,
tanggul, permukiman, tambak udang serta pertumbuhan alami. Diperlukan
perhatian yang serius dari berbagai pihak untuk mempertahankan keberadaan
ekosistem mangrove di Sungai Kembung.

Kata kunci: berbasis objek, berbasis piksel, klasifikasi, mangrove, Sungai Kembung
SUMMARY

ROMIE JHONNERIE. Object and Pixel-based Mangrove Classification Using


Multispectral Satellite Imageries at Kembung River, Bengkalis, Riau Province.
Supervised by VINCENTIUS P SIREGAR, LILIK BUDI PRASETYO, SAM
WOUTHUYZEN and BISMAN NABABAN.

Mangrove that generally found in coastal regions plays important roles such
as (1) coastal protection from hurricane, tsunami, wind and wave, (2) spawning
ground for many fishes and other faunas, (3) a place for recreational, (4) source of
nutrients for organisms, and (5) source of wood. Recently, mangrove ecosystems in
Kembung River, Bengkalis Island Riau Province tend to get pressure from
antrophogenic. Protection and management of mangrove ecosystems needs to be a
serious concern of various parties. Such efforts require data acquisition techniques
and information mangrove spatially and accurately.
Field data were collected in June and December 2012. Satellite imageries
were used in this study consisted of Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM +, Landsat 8
OLI, SPOT 6 multispectral, SPOT 6 panchromatic, ALOS PALSAR and
SENTINEL-1. Pre-processing in the satellite imageries were applied including
atmospheric correction, radiometric calibration, geometric correction, and spectral
transformation. Field data observations and measurements were conducted on
mangrove vegetation and land cover. Scheme development of mangrove
community classification was conducted by using clusters and similarity percentage
(SIMPER) analyses. Furthermore, the scheme was used to charactirized satellite
images spectral reflectance by using spectral analysis. Satellite data were classified
by using object-based approach which applied random forest algorithm. Object-
based classification results was then compared to pixel-based classification
technique which used maximum likelihood algorithm. The succesfull object-based
classification then applied on magrove change detection in the study area.
Kembung River mangrove community was assembled by 69 mangroves
species which consists of 22 true mangrove species and 47 species of associate
mangrove. Xylocarpus granamun, Rhizophora. apiculata, Lumnitzera. racemosa
and Scyphiphora hidrophyllaceae were dominant species and always found in the
study area compared with other species, for all strata. Based on standard criterias
and guidelines for the determination of mangrove destruction which issued by the
Minister of the Environment No. 201 of 2004, Mangrove at Kembung River was
categorized as good and very dense mangrove ecosystem.
Based on the composition of mangrove species, one level classification
scheme was succesfully developed. The scheme consisted of 12 mangrove
community classes, however most of the mangrove species belong to the two main
classes of Rhizophora apiculata (Ra) composed of 33 samples and Xylocarpus
granatum (Xg) composed of 93 samples Other 10 classes had limited sample
number, therefore the 10 other classes were groupped into one class (La) that
composed of 28 samples.
Both classification techniques were able to identify all land cover classes and
mangrove communities. Some misclassifications were still found to produce salt
and pepper effects on both classifications, however, the random forest algorithm
v

could reduced such errors than the maximum likelihood algorithm. The best result
of land cover classification using object-based and pixel-based classifications was
obtained through input image layer M6. The object-based classification approach
was better than pixel-based and it can improved the classification results by 1-
24.5%.
Change detection analyses showed that the mangrove area in Kembung River
was relatively stable. For nearly two decades, we found mangrove loss about 197.2
ha, gain of 251.1 ha, and unchanged of 2904.9 ha. Changes in mangrove covers
were generally caused by anthropogenic factors such as mangrove replanting,
logging, changes over the function of mangrove regions into the road, embankment,
settlement, shrimp farms, and natural growth. Serious attention from various parties
are needed to maintain the existence and sustainablility of mangrove ecosystems in
Kembung River.

Keywords: classification, Kembung River, mangrove, object-based, pixel-based


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KLASIFIKASI MANGROVE BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL
MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL
DI SUNGAI KEMBUNG, BENGKALIS, PROVINSI RIAU

ROMIE JHONNERIE

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii

Ujian Tertutup
Penguji luar komisi:
1 Dr Ir M Buce Saleh, MS
2 Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi

Ujian Terbuka
Penguji luar komisi:
1 Dr Ir M Buce Saleh, MS
2 Dr Bidawi Hasyim, MSi
Judul Disertasi : Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan
Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis,
Provinsi Riau
Nama : Romie Jhonnerie
NIM : C562100041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc


Ketua Anggota

Dr Ir Sam Wouthuyzen, MSc APU Dr Ir Bisman Nababan, MSc


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Kelautan

Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian Tertutup: 24 Juni 2015


Tanggal Lulus:
Tanggal Sidang Promosi Terbuka: 10 Juli 2015
x
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah
klasifikasi mangrove, dengan judul Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan
Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis,
Provinsi Riau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA, Prof
Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc, Dr Ir Sam Wouthuyzen, MSc APU, dan Dr Ir
Bisman Nababan, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS,
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi dan Dr Bidawi Hasyim, MSi yang telah banyak
memberi saran pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka.
Ungkapan terima kasih disampaikan terutama kepada orang tua, Rahieman
bin Djisat dan Ibunda Wirdaty Ilyas binti Ilyas, Baras bin Jalik dan Yuslina binti
Muhammad Wasyid atas segala limpahan kasih sayang dan doa serta siraman iman
yang diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Istri tercinta,
Yossi Oktorini, ananda Muhammad El-Idrisi dan Hasnia Syakira Nisa yang selalu
memberikan dukungan dan doa serta pengertiannya selama penulis menuntut ilmu,
serta seluruh keluarga besar, hasil yang telah dicapai ini, ku persembahkan untuk
kalian.
Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Ketua Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan dan Ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang
senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan
disertasi ini, seluruh dosen dan tenaga administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah
memberikan beasiswa studi lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor. Ketua Jurusan
Penangkapan Sumberdaya Perairan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
dan Rektor Universitas Riau, yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan
doktor.
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada kelompok pengelola mangrove
Belukap dan anggota yang telah berpartisipasi dalam pengumpulan data lapangan.
Rekan-rekan semasa pendidikan, Dr Nurhalis Wahidin, Dr M. Syahdan, Dr Domei
L. Moniharapon, Dr Gentio Harsono, Dr Muhamad Sulaiman, Dr Ihsan, Dr Didik
Santoso, Dr Dion Bawole, Dr Ismawan, Dr Chaliluddin, Dr Amirul Karman, Dr
Rozirwan, Dr Eko Prianto, Dr Irda Mirdayanti, Jurianto M Nur, MSi, Elis
Nurjuliasti Ningsih, MSi, Widya Kusumaningrum, MSi, Aisyah, MSi, yang banyak
membantu selama menempuh pendidikan, serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan
disertasi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Romie Jhonnerie
xii
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv


DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR ISTILAH xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan 5
Manfaat 5
Kerangka Teori 6
Kebaruan (Novelty) 7
2 METODOLOGI UMUM 8
Tempat dan Waktu 8
Alat dan Bahan 8
Metode Penelitian 12
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI UNTUK PEMETAAN
KOMUNITAS MANGROVE 19
Pendahuluan 19
Metode 19
Hasil dan Pembahasan 21
Simpulan 29
4 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK DAN BERBASIS
PIKSEL DENGAN ALGORITMA RANDOM FOREST UNTUK
PEMETAAN MANGROVE 30
Pendahuluan 30
Metode 31
Hasil dan Pembahasan 37
Simpulan 57
5 DETEKSI PERUBAHAN TUTUPAN MANGROVE MENGGUNAKAN
CITRA LANDSAT 59
Pendahuluan 59
Metode 60
Hasil dan Pembahasan 62
Simpulan 67
6 PEMBAHASAN UMUM 68
Ketidakpastian Penelitian 70
7 SIMPULAN DAN SARAN 73
Simpulan 73
Saran 73
DAFTAR PUSTAKA 74
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 86
DAFTAR TABEL

1 Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber


perolehan 9
2 Peralatan lapangan dan kegunaannya 10
3 Data vektor yang digunakan dalam penelitian 10
4 Karakteristik sensor yang digunakan 11
5 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer 13
6 Skema dan deskripsi penutup lahan 16
7 Perhitungan matematis matrik kesalahan 17
8 Nilai penting (%) berdasarkan strata mangrove 22
9 Kerapatan (ind/ha) strata vegetasi mangrove 24
10 Nama spesies, kategori mangrove dan jumlah kehadiran spesies dari
seluruh plot transek 25
11 Parameter segmentasi yang diujikan untuk memperoleh nilai
parameter terbaik 33
12 Nilai-nilai parameter algoritma RF yang diujikan 34
13 Model IIL dalam klasifikasi berbasis objek dan piksel 35
14 Fitur objek yang digunakan sebagai parameter dalam klasifikasi RF 35
15 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas penutup lahan. Pasangan
angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan 42
16 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas komunitas mangrove.
Pasangan angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Jarak J-M
antara pasangan komunitas mangrove. 43
17 Hasil uji akurasi (%) pemetaan kelas mangrove menggunakan teknik
klasifikasi berbasis objek dan piksel 51
18 Nilai uji Z terhadap perbandingan IIL klasifikasi berbasis objek
terhadap berbasis piksel. Nilai-nilai yang dihitamkan
mengindikasikan perbedaan signifikan 53
19 Luas (hektar) dan selisih perhitungan luas mangrove berdasarkan
teknik klasifikasi 53
20 Hasil perhitungan uji akurasi (%) klasifikasi komunitas mangrove
menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel 56
21 Luas (hektar) kelas komunitas mangrove berdasarkan teknik
klasifikasi 57
22 Seri citra Landsat yang digunakan 60
23 Hasil uji akurasi 4 seri citra Landsat 63
24 Prediksi tinggi muka air (meter) berdasarkan waktu perekaman citra
satelit yang diperoleh dari stasiun Kuala Siak. 64
25 Estimasi luas penutup lahan (hektar) 64
26 Persentase perubahan penutup lahan dari tahun 1996-2002, 2002-
2010 dan 2010-2013 65
xv

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian 7


2 Lokasi penelitian 8
3 Hasil penerapan RPC pada citra SPOT 6 dengan kombinasi 321,
dengan tampalan citra RapidEye Level 3A orthofoto kombinasi 432
dan Landsat 5 TM level 1T kombinasi 452 14
4 Hasil kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR a. HV dan b. HH 15
5 Hasil kalibrasi radiometrik citra SENTINEL-1. a. VH dan b. VV 15
6 Sebaran lokasi pengamatan lapangan 17
7 Teknis pengukuran diameter batang mangrove (Dahdouh-Guebas
dan Koedam 2006) 20
8 X. granatum memiliki kemampuan perkembangbiakan vegetatif. 23
9 Jumlah komposisi jenis pohon mangrove terhadap jumlah plot
transek 26
10 Dendogram skema komunitas mangrove. 26
11 Jumlah anggota kelas komunitas mangrove. 27
12 Persentase kontribusi spesies mangrove dalam menyusun kelas
komunitas mangrove. 29
13 Pohon proses yang berfungsi mengelola aturan klasifikasi berbasis
objek 36
14 Kurva reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan a. Citra
SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM. 38
15 Kurva reflektansi spektral komunitas mangrove di Sungai Kembung
a.Citra SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM 40
16 Hasil uji coba dengan beberapa kombinasi parameter segmentasi 43
17 Pengaruh scale terhadap akurasi keseluruhan dan jumlah objek yang
dihasilkan. a. shape 0.1 dan compactness 0.9, b. shape 0.5 dan
compactness 0.5, c. shape 0.9 dan compactness 0.1 45
18 Hasil optimisasi parameter RF 46
19 Perbandingan hasil klasifikasi penutup lahan berbasis objek dan
berbasis piksel 47
20 Perbandingan hasil klasifikasi komunitas mangrove. a. Dua kelas
komunitas b. Tiga kelas komunitas 54
21 Hasil klasifikasi komunitas mangrove 54
22 Peta hasil klasifikasi penutup lahan 63
23 Peta perubahan mangrove (1996-2013), warna merah
mengindikasikan pengurangan mangrove, orange mengindikasikan
penambahan mangrove, warna hijau mengindikasikan mangrove
yang tidak berubah dan dan cyan merupakan objek vegetasi lainnya 66
24 Kurva reflektansi spektral permukaan dari beberapa objek (a. badan
air, b. lahan terbuka dan c. vegetasi) dari empat percobaan model
aerosol. 71
25 Distribusi titik-titik multipath (berwarna merah) GPS
(ditumpangtindihkan dengan Citra SPOT 6 multispektral) pada saat
pengukuran vegetasi mangrove, pada dua lokasi berbeda. 72
DAFTAR ISTILAH

Aperture : Bukaan yang menangkap radiasi elektromagnetik untuk


detektor atau film. Contohnya bukaan diafragma lensa
Band spektral : Interval dalam spektrum elektromanetik yang
didefinisikan oleh dua panjang gelombang, frekuensi atau
bilangan gelombang (misalnya SPOT 6 band biru meliputi
panjang gelombang 450-520 nm)
C-band : Sebuah rentang frekuensi nominal 8-4 GHz (3.75-7.5 cm
panjang gelombang) dari bagian spektrum gelombang
pendek (microwave) elektromagnetik. Citra Radar C-band
umumnya tidak terhalang oleh efek atmosfer dan mampu
menembus awan. Kemampuan penetrasi berkaitan dengan
kanopi vegetasi atau tanah terbatas pada bagian atas.
Ground control : Sebuah fitur lokasi geografis lokasi (misalnya sudut
point bangunan, persimpangan jalan, dan lain-lain) yang
dikenali pada gambar dan dapat digunakan untuk
menentukan koreksi geometrik guna meningkatkan akurasi
geolokasi citra
Hambur balik : Bagian dari sinyal yang dipantulkan kembali oleh target ke
(backscatter) antena radar. Hamburan cross section menuju sensor
dinamakan hambur balik cross section, dan disimbolkan
oleh sigma (σ). Hambur balik merupakan kekuatan
rerflektif dari target sensor dan terkadang dinyatakan juga
sebagai koefisien backscatter, atau sigma nought dan
didefenisikan sebagai per satuan luas di permukaan
Kalibrasi : Proses kuantitatif mendeskripsikan respon sistem untuk
input sinyal yang terkontrol
Klasifikasi : Pengelompokan objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan
kemiripan atribut yang dimiliki secara sistematis
Koreksi : Transformasi citra untuk mencocokkan hubungan
geometrik spasialnya dengan permukaan bumi.
Level-1 : Data direkontruksi pada resolusi penuh dan dijelaskan
dengan informasi tambahan, termasuk koefisien kalibrasi
radiometrik dan geometrik dan parameter geo-referensi.
Data mungkin telah dikoreksi radiometrik dan dikalibrasi
dalam unit fisik pada resolusi penuh instrumen,
ortorektifikasi dan dicuplik pada ukuran piksel tertentu
Multispektral : Data penginderaan jauh dalam dua atau lebih band
spektral, seperti band tampak dan inframerah. Kapasitas
multispektral memungkinkan sensor untuk memberikan
citra berwarna
Ortorektifikasi : Menjelaskan sebuah citra yang telah dikoreksi geometrik
khususnya kesalahan posisi (displacement) karena
xvii

kemiringan dan ketinggiannya telah dihilangkan. Hasilnya


berupa citra yang dapat ditumpangsusunkan pada sebuah
peta
Pankromatik : Detektor yang sensitif terhadap spektrum cahaya tampak.
Pada SPOT 6, pankromatik memiliki panjang gelombang
450-750 nm
Pan-sharpening : Praktek menggunakan meningkatkan resolusi spasial data
multispektral menggunakan resolusi tinggi band
pankromatik
Penajaman citra : Operasi yang meningkatkan interpretabilitas citra atau
kemampuan deteksi target atau objek pada citra. Termasuk
operasi penajaman kontras, penajaman tepi, filter spasial,
penghalusan (smoothing) citra dan penajaman
(sharpening) citra
Penutup lahan : Istilah yang digunakan untuk menyebutkan suatu
kenampakan lahan secara fisik, baik kenampakan alami
maupun kenampakan buatan manusia
Piksel : Elemen citra yang disediakan oleh sebuah detektor
Polarisasi : Proses membatasi getaran magnetik atau medan listrik,
vektor cahaya atau radiasi lain pada suatu bidang. Orientasi
medan listrik relatif terhadap permukaan bumi
Radiansi : Ukuran intensitas cahaya per unit area per satuan sudut
ruang. Sensor merekam dalam satuan Watt (W) per meter
persegi per steradian (sudut ruang/solid angle dari titik
permukaan bumi ke sensor), per unit panjang gelombang
yang diukur)
Radiasi tampak : Radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang yang
sensitif terhadap mata manusia, dengan panjang
gelombang antara 400-700 nm
Random forest : Sebuah metode pembelajaran ensemble untuk klasifikasi
dan regresi yang beroperasi dengan membangun banyak
pohon keputusan. Algoritma random forest dikembangkan
oleh Leo Breiman. Metode ini menggunakan teknik
bagging untuk pemilihan fitur secara acak.
Rational : Sebuah model matematika geometri dan bentuk satu set
Polynomial koefisien polinomial rasional, yang dapat digunakan untuk
Coefficient ortorektifikasi citra. Prosedur ini membutuhkan model
ketinggian digital (digital elevation model). Model ini
dapat meningkatkan akurasi dari model polinomial
rasional citra tertentu dengan melakukan koreksi
geometrik ulang menggunakan titik kontrol 3D yang
akurat
Reflektansi : Perbandingan radiansi yang dipantulkan oleh permukaan
dibagi dengan irradiansi yang diterima permukaan
tersebut.
xviii

Resolusi spasial : Ukuran terkecil untuk memisahkan dua objek yang dapat
dibedakan oleh sensor. Hubungan antara ukuran objek
yang diindra dan resolusi spasial pada sistem optik.
Umumnya dinyatakan dalam meter
Segmentasi : Proses membagi citra menjadi beberapa segmen dengan
tujuan menyederhanakan dan atau mengubah representasi
dari suatu citra menjadi objek yang lebih berarti dan lebih
mudah dianalisis.
Shapefile (shp) : Sebuah format data vektor geospasial yang populer dan
digunakan oleh perangkat lunak sistem informasi
geografis. Dikembangkan oleh ESRI dan merupakan
spesifikasi spesifikasi interoperabilitas terbuka antara
produksi ESRI dengan perangkat lunak lainnya. Shapefile
secara spasial menjelaskan bentuk geometri vektor, yaitu:
titik, garis dan poligon dan setiap fitur memiliki atribut
yang dapat menjelaskannya
Synthetic : Sebuah sistem radar koheren yang menghasilkan citra
Aperture Radar penginderaan jauh resolusi tinggi. Pemrosesan sinyal
(SAR) menggunakan magnitud dan fase dari sinyal yang diterima
Transformasi : Sebuah fungsi operator yang menempatkan sebuah citra
citra sebagai input dan menghasilkan citra baru sebagai hasil.
Tergantung transformasi yang dipilih, citra masukan dan
luaran dapat berbeda secara keseluruhan dan memiliki
interpretasi yang berbeda
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove merupakan tumbuhan (pohon, palma, semak, tumbuhan merambat


dan pakis-pakisan) (Giesen et al. 2006), baik secara individu maupun komunitas di
daerah yang dipengaruhi pasang surut (Tomlinson 1986), dapat dijumpai
disepanjang garis pantai (Saenger 2002) hingga menyebar ke pinggiran sungai pada
daerah tropis dan sub tropis (Kathiresan dan Bingham 2001). Sebagai bagian dari
eksosistem pesisir (Kusmana 1996), mangrove berfungsi sebagai: (i) pelindung
pantai dari erosi (Thampanya et al. 2006), tiupan angin kencang dan gempuran
ombak yang kuat dan tsunami (Ostling et al. 2009; Zhang et al. 2012) , (ii) habitat
berbagai jenis ikan dan udang (mencari makan, memijah, bertelur dan berlindung)
(Manson et al. 2005; Carrasquilla-Henao et al. 2013; Abu El-Regal dan Ibrahim
2014), (iii) habitat berbagai jenis fauna (Cannicci et al. 2008; Nagelkerken et al.
2008), (iv) penghasil kayu dan non-kayu (Illukpitiya dan Yanagida 2010), (v)
berpotensi untuk fungsi pendidikan (Sarkar dan Bhattacharya 2003) dan rekreasi
(Ahmad 2009; Datta et al. 2012), (vi) menyerap karbon dalam perubahan iklim
(Gilman et al. 2006; Donato et al. 2011).
Degradasi mangrove secara global mencapai 25%, dari tahun 1980-2000
(FAO 2007; Giri et al. 2011). Data tahun 2009 memperkirakan luas mangrove di
Indonesia sebesar 3.2 juta hektar dan sekitar 6.4% berada pada wilayah administrasi
Provinsi Riau (Hartini et al. 2010). Kecenderungan luas tersebut menurun setiap
tahunnya. Selama 25 tahun (1980-2005) Indonesia telah kehilangan 30.1% atau 1.3
juta hektar mangrove (FAO 2007). Dilaporkan pula bahwa 11 dari 70 (16%) spesies
mangrove yang telah diketahui meningkat statusnya menjadi terancam punah
(Polidoro et al. 2010). Penyebab kehilangan tersebut diakibatkan oleh (i)
pemanfaatan mangrove secara langsung sebagai sumber kayu dan non-kayu
(Walters 2005), (ii) alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang, tambak
garam, lahan pertanian, permukiman dan pariwisata (Jhonnerie et al. 2007; Thu
dan Populus 2007), dan (iii) kurangnya pasokan air tawar akibat pembangunan
bendungan.
Sungai Kembung merupakan salah satu habitat mangrove di Pulau Bengkalis,
Provinsi Riau dan merupakan habitat yang unik. Mangrove dapat dijumpai di
sepanjang Sungai Kembung dan anak-anak sungai yang membelah kawasan
tersebut. Mangrove pantainya langsung berhadapan dengan Selat Malaka.
Ekosistem mangrove di Sungai Kembung menjadi salah satu tumpuan hidup bagi
masyarakat di sekitarnya khususnya bagi Suku Asli, salah satu suku pedalaman
(indigenous people) yang tinggal dan hidup di sekitar mangrove. Jhonnerie et al.
(2014 ) menyatakan tidak terjadi perubahan luas penutup lahan mangrove yang
signifikan, namun tekanan terhadap mangrove telah berlangsung lama di kawasan
ini. Kusmana (2012) menambahkan, mangrove di Kabupaten Bengkalis telah
mendapatkan tekanan semenjak beroperasinya panglong (dapur) arang, hingga saat
ini tekanan terhadap mangrove cenderung bertambah di antaranya akibat
pembangunan jalan dan permukiman, perubahan penutup lahan mangrove menjadi
tambak udang dan penebangan liar. Di sisi lain, keberadaan data pendukung
pengelolaan mangrove di Sungai Kembung masih minim dijumpai. Sebagian besar
2

penelitian mangrove di Sungai Kembung hanya bersifat atribut, sporadis dan minim
publikasi.
Penginderaan jauh merupakan teknologi penting dalam inventarisasi dan
monitoring sumberdaya alam secara spasial, dan penggunaannya terus meningkat
untuk pemanfaatan sumber informasi dalam berbagai bidang (Rikimaru et al.
2002). Secara umum penginderaan jauh digunakan untuk menghubungkan
pengukuran radiasi matahari yang dipantukan oleh objek di permukaan bumi
(direpresentasikan oleh nilai digital) terhadap kondisi bio-fisik di lapangan.
Setidaknya terdapat 11 peranan penginderaan jauh dapat diterapkan untuk menggali
informasi mangrove (Kuenzer et al. 2011), termasuk kedalamnya adalah:
inventarisasi (Knight et al. 2009; Heumann 2011b), penentuan kawasan (Cardoso
et al. 2014), komposisi dan spesies (Koedsin dan Vaiphasa 2013; Kumar dan
Patnaik 2013), status kesehatan (Kovacs et al. 2009; Kovacs et al. 2013) serta
deteksi perubahan dan pengawasan (Misra et al. 2013; Rahman et al. 2013).
Umumnya teknik klasifikasi berperan besar dalam penggalian informasi tersebut.
Klasifikasi data penginderaan jauh umumnya menggunakan metode spektral
(Godinho et al. 2014), spasial (Zhao et al. 2011) dan tekstural (Szantoi et al. 2013)
baik secara individu atau kombinasi telah mampu meningkatkan ektraksi fitur dan
pemetaan. Kajian-kajian penginderaan jauh yang berfokus pada klasifikasi citra
telah lama menjadi perhatian dan menarik peneliti penginderaan jauh, karena hasil
klasifikasi menjadi dasar bagi berbagai aplikasi lingkungan dan sosial ekonomi (Lu
dan Weng 2007). Berbagai upaya peningkatan akurasi klasifikasi telah diusahakan
oleh banyak peneliti (Alesheikh dan Sadeghi Naeeni Fard 2007; Quintano dan
Cuesta 2010; Mitraka et al. 2012; Yan et al. 2012). Meskipun demikian, hingga
saat ini kajian data penginderaan jauh untuk menghasilkan peta tematik masih
menjadi tantangan karena beberapa faktor seperti kompleksitas penutup lahan suatu
lokasi, data penginderaan jauh tertentu, pengolahan data penginderaan jauh dan
pendekatan klasifikasi, dapat mempengaruhi kesuksesan klasifikasi (Lu dan Weng
2007).
Pemilihan citra satelit yang sesuai merupakan tahapan penting dalam
kesuksesan klasifikasi untuk tujuan tertentu (Phinn et al. 2000). Pemetaan
mangrove umumnya menggunakan sensor seri Landsat (Rahman et al. 2013),
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER)
(Jean-Baptiste dan Jensen 2006), Satellite Pour l’Observation de la Terre (SPOT)
(Santos et al. 2014), IKONOS (Chadwick 2011), QuickBird (Wang et al. 2004b),
WorldView-2 (Kamal et al. 2014). Pemilihan citra yang digunakan dipengaruhi
oleh kebutuhan pengguna, skala dan karateristik lokasi penelitian, ketersediaan
berbagai jenis data dan karakteristiknya, biaya dan waktu serta pengalaman
menganalisis citra yang digunakan. Umumnya data citra satelit tersebut diterapkan
dalam pemetaan mangrove semi detail dan detail.
Tingkat ke-detail-an hasil klasifikasi mengacu kepada skema klasifikasi yang
digunakan atau dikembangkan. Skema klasifikasi merupakan sebuah sistem
terstruktur dari beberapa kelas dan umumnya diatur berdasarkan tingkatan (hirarki).
Dalam kegiatan pemetaan diperlukan pemahaman bagaimana sebuah skema
klasifikasi terstruktur dibangun. Hingga saat ini skema klasifikasi mangrove untuk
tingkatan yang lebih detail dan terstruktur di Indonesia telah disediakan oleh
beberapa institusi, seperti: Badan Standar Nasional melalui standarisasi penutup
lahan tahun 2010, Kementerian Lingkungan Hidup melalui kriteria baku dan
3

pedoman penentuan kerusakan mangrove tahun 2004. Danoedoro (2012)


mengembangkan skema klasifikasi penutup lahan serbaguna yang dapat diterapkan
melalui interpretasi citra satelit, namun skema klasifikasi yang disediakan untuk
kelas mangrove pada tingkatan detail tidak dilengkapi dengan dokumentasi teknis
pengembangan yang terstruktur dan dapat direpetisi dengan baik bagi peneliti
mangrove. Permasalahan tersebut menjadi catatan tersendiri oleh Cingolani et al.
(2004) dan Kuenzer et al. (2011). Pemahaman skema klasifikasi lebih mendalam
dapat mengacu kepada pustaka Green et al. (2000) dan Auster et al. (2009).
Penentuan variabel (input image layer/IIL) klasifikasi yang sesuai merupakan
langkah penting menuju kesuksesan pengelompokan citra penginderaan jauh.
Banyak IIL yang potensial digunakan dalam klasifikasi citra termasuk indeks
vegetasi (Díaz dan Blackburn 2003), tekstur (Huang et al. 2009), data
multitemporal (Rokni et al. 2014), multisensor (Nascimento Jr et al. 2013) serta
penggunaan data tambahan lainnya (ancillary) (Vaiphasa et al. 2006). Selain itu
informasi mengenai pemilihan band optimal dan karakteristik spektral melalui
pendekatan analisis grafik, metode statistik (menggunakan algoritma separabilitas)
telah digunakan untuk menentukan jumlah band optimal (Vaiphasa et al. 2005;
Wang dan Sousa 2009). Dalam prakteknya, perbandingan kombinasi yang berbeda
dari input image layer (IIL) yang dipilih sering dilakukan, dan dataset referensi
yang baik sangat penting. Secara khusus, dataset perwakilan yang baik untuk
masing-masing kelas adalah kunci dalam menerapkan klasifikasi terbimbing.
Algoritma separabilitas sering digunakan untuk mengevaluasi keterpisahan kelas
serta memperbaiki training area masing-masing kelas (Lu dan Weng 2007).
Klasifikasi berbasis piksel mengidentifikasi kelas dari masing-masing piksel
dalam sebuah citra kemudian membandingkan data vektor berdimensi untuk setiap
piksel dengan vektor prototipe pada masing-masing kelas. Data vektor biasanya
terdiri dari nilai-nilai piksel keabuan dari saluran multispektral dan atau penilaian
tekstur dan kontekstual yang dihitung dari berbagai band (Rabe et al. 2014; Rastner
et al. 2014). Menghasilkan peta tematik penutup lahan yang akurat merupakan
tugas yang sulit karena beragamnya penutup lahan terkait komposisi alam yang
komplek. Metode klasifikasi konvensional berbasis piksel seperti maximum
likelihood (ML) hanya memanfaatkan informasi spektral dan keberhasilan terbatas
dalam mengklasifikasikan citra multispektral (Rabe et al. 2014). Hasil klasifikasi
berbasis piksel cenderung menghasilkan efek salt and pepper, dimana satu piksel
yang terkelaskan berbeda dengan kelas yang ada di sekitarnya. Efek tersebut
disebabkan kompleksitas lingkungan biofisik, yang mengakibatkan kemiripan
spektral di antara kelas penutup lahan atau skema klasifikasi yang digunakan (Lu
dan Weng 2007; Whiteside et al. 2011).
Maximum likelihood (ML) merupakan algoritma yang teruji dan telah sering
diterapkan dalam klasifikasi berbasis piksel untuk berbagai aplikasi pemetaan,
termasuk mangrove (Kuenzer et al. 2011), selain itu algoritma ML banyak tersedia
di berbagai aplikasi pengolahan citra dan sistem informasi geografis. Algoritma ini
mengelompokan piksel berdasarkan probabilitas kepemilikan suatu kelas dengan
nilai rata-rata dan kovarian dimodelkan dalam bentuk distribusi normal
(parametrik) dalam ruang fitur multispektral (Sisodia et al. 2014). Namun, asumsi
distribusi spektral yang normal sering dilanggar, terutama di lanskap kompleks
(heterogenitas spektral yang tinggi). Selain itu, distribusi sampel (training area)
yang tidak cukup dan tidak representatif menambah ketidakpastian dalam prosedur
4

klasifikasi. Kelemahan lain dari klasifikasi parametrik terletak pada sulitnya


mengintegrasikan data spektral dengan data tambahan lainnya (Lu dan Weng 2007).
Algoritma klasifikasi non-parametrik tidak memerlukan asumsi distribusi
normal. Parameter statistik tidak diperlukan untuk memisahkan citra berdasarkan
skema klasifikasi. Algoritma non-parametrik sesuai diterapkan pada data tambahan
(ancillary) pada prosedur klasifikasi (Lu dan Weng 2007). Telah banyak laporan
yang menyatakan bahwa algoritma berbasis non parametrik lebih baik dari
klasifikasi berbasis parametrik. Algoritma klasifikasi non-parametrik yang sering
digunakan dalam pemetaan mangrove di antaranya jaringan syaraf tiruan (neural
network) (Wang et al. 2008), support vector machine (Heumann 2011a), pohon
keputusan (decision tree) (Zhang 2011) serta random forest (RF) (Jhonnerie et al.
2015b). Dalam perkembangan terakhir, algoritma machine learning telah diadopsi
oleh berbagai aplikasi penginderaan jauh komersial berbasis piksel seperti ENVI
EXELIS, ERDAS INTEGRAPH, PCI Geomatic, berbasis objek seperti eCognition
dan opensource seperti EnMAP-Box.
Pendekatan klasifikasi berbasis objek tidak beroperasi secara langsung pada
piksel individu tetapi pada objek yang terdiri dari banyak piksel yang telah
dikelompokkan bersama melalui proses segmentasi citra. Selain informasi spektral
dan tekstur yang digunakan dalam metode klasifikasi berbasis piksel, karakteristik
bentuk dan hubungan lingkungan dapat juga digunakan dalam klasifikasi berbasis
objek. Namun, keberhasilan pendekatan klasifikasi berbasis objek sangat
tergantung pada kualitas segmentasi citra (Rabe et al. 2014). Berbagai teknik
segmentasi telah diterapkan pada citra penginderaan jauh dengan berbagai tingkat
keberhasilan. Segmentasi citra penginderaan jauh merupakan masalah sulit karena
piksel campuran, kesamaan spektral, dan penampilan bertekstur dari berbagai jenis
penutup lahan. Pendekatan segementasi region growing, piksel secara berulang
dikelompokkan menjadi suatu region berdasarkan kriteria kemiripan yang telah
ditetapkan (Blaschke 2010).
Pemetaan mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek telah
dilakukan banyak peneliti, di antaranya: Wang et al. (2004a) memetakan mangrove
dengan menggabungkan algoritma maximum likelihood dan tetangga terdekat
(nearest neighbour) pada citra QuickBird. Penggabungan tersebut memperoleh
hasil akurasi keseluruhan terbaik yaitu 91.4%. Conchedda et al. (2008) mendeteksi
perubahan mangrove menggunakan citra SPOT XS, pendekatan supervisi melalui
algoritma tetangga terdekat (nearest neighbour) yang digunakan untuk memetakan
penutup lahan, menghasilkan akurasi sebesar 86%. Heumann (2011a) menerapkan
teknik hibrida dalam memetakan penutup lahan mangrove. Klasifikasi
menggunakan algoritma pohon keputusan (decision tree) dan memanfaatkan dua
citra yaitu QuickBird dan WorldView 2 untuk memetakan kelas mangrove sejati
dan asosiasi digunakan algoritma SVM yang diterapkan pada teknik klasifikasi
berbasis piksel, akurasi kelas mangrove mencapai 94%. Kamal dan Phinn (2011)
memetakan spesies mangrove menggunakan skema hirarki dan menerapkan
algoritma tetangga terdekat pada citra hiperspektral CASI-2, dengan akurasi
keseluruhan sebesar 76%. Flores De Santiago et al. (2012) menerapkan klasifikasi
berbasis objek pada data SAR (ALOS PALSAR) untuk memetakan kondisi spesies
mangrove, klasifikasi menerapkan algoritma kontektual pada setiap kelas yang
dipetakan. Kemampuan data SAR secara keseluruhan memetakan spesies
mangrove sebesar 64.9%. Vo et al. (2013) memetakan persentase tutupan
5

mangrove menggunakan kontektual editing dengan menggabungkan citra SPOT 5


dan TerraSAR-X, akurasi yang dicapai melalui teknik tersebut sebesar 75%.
Nascimento Jr et al. (2013) menggunakan multisensor yang terdiri dari ALOS
PALSAR, JER-1, Landsat 5 TM dan SRTM. Teknik klasifikasi menggunakan
klasifikasi kontektual dan membangun aturan berdasarkan keunggulan dari masing-
masing sensor, melalui metode tersebut dihasilkan akurasi pemetaan penutup lahan
sebesar 96%. Son et al. (2015) menggunakan seri citra Landsat untuk mendeteksi
perubahan mangrove,klasifikasi menggunakan algoritma tetangga terdekat (nearest
neighbour). Hasil akurasi klasifikasi keseluruhan mencapai 82%.
Penerapan klasifikasi berbasis objek di Indonesia belum banyak dikaji lebih
jauh, khususnya penerapan algoritma klasifikasi non parametrik, mengingat adopsi
algoritma machine learning pada aplikasi yang digunakan dalam penelitian ini baru
dimulai tahun 2011. Pemetaan mangrove dan komunitasnya dengan menerapkan
klasifikasi berbasis objek yang berbasis algoritma random forest (RF) serta
menggunakan citra satelit multispektral memerlukan kajian yang intensif dan
komprehensif.

Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang dinyatakan pada latar belakang, hingga tulisan


ini dikembangkan metode yang diterapkan dalam penelitian belum pernah
diterapkan sebelumnya. Pertanyaan ilmiah yang mendasari penelitian ini adalah:
1) Komponen apa saja yang membangun komunitas mangrove di Sungai
Kembung dan bagaimana pengembangan komunitas mangrove sehingga dapat
diterapkan penggunannya dalam teknik pemetaan mangrove yang lebih detail
menggunakan citra satelit multispektral?
2) Bagaimana teknik pemetaan mangrove yang lebih baik menggunakan citra
satelit multispektral? Apakah dengan menggunakan teknik tersebut mampu
meningkatkan akurasi pemetaan?
3) Bagaimana status mangrove di Sungai Kembung berdasarkan data temporal?

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1) Mengembangkan skema klasifikasi komunitas mangrove yang dapat
diterapkan dalam klasifikasi data penginderaan jauh
2) Memetakan mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dengan
penerapan algoritma random forest (RF)
3) Mengetahui status mangrove melalui teknik deteksi perubahan mangrove

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memetakan mangrove dengan efektif, efisien


dan lebih akurat serta dapat menjadi acuan atau referensi dalam pemetaan,
6

monitoring dan pengelolaan ekosistem mangrove melalui teknologi penginderaan


jauh.

Kerangka Teori

Skema klasifikasi sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam klasifikasi


hingga saat ini masih menjadi permasalahan. Banyak penelitian yang hanya
menyatakan skema klasifikasi yang digunakan saja namun secara objektif metode
pengembangan skema tersebut tidak dilaporkan, sehingga pengulangan (repetisi)
metode sangat susah diterapkan, atau umumnya hanya bersifat ad hoc sehingga
hanya berlaku pada saat penelitian berlangsung. Diperlukan suatu tahapan
pengembangan skema klasifikasi yang sistematis sehingga kelas yang dihasilkan
tidak memiliki pemahaman yang ambigu serta mampu menampung kebutuhan
tingkat kedetailan (bersifat hirarki) dari ragam jenis citra satelit yang tersedia.
Pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove menggunakan analisis
gerombol dan persentase kemiripan.
Penerapan dan pengembangan metode klasifikasi alternatif diperlukan untuk
mengatasi permasalahan sebelumnya, minimal mereduksi kelemahan tersebut.
Penelitian ini menerapkan teknik pemetaan alternatif, menggunakan teknik
klasifikasi berbasis objek dan penerapan algoritma klasifikasi yang lebih maju,
dalam hal ini random forest (RF). Teknik klasifikasi berbasis objek diyakini dapat
mereduksi nilai varian dan mengelompokkan piksel citra satelit berdasarkan nilai
ambang batas tertentu, sementara algoritma RF merupakan sebuah algoritma yang
terdiri dari sekumpulan algoritma yang bekerja sama (ensembler) dan diyakini juga
mampu meningkatkan hasil pemetaan mangrove. Aplikasi yang digunakan mampu
mengelola data spasial baik raster maupun vektor dengan baik dalam pemetaan.
Tahapan akhir penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi berbasis
objek untuk pemetaan penutup lahan di sekitar mangrove untuk mengetahui laju
perubahan luas mangrove menggunakan citra satelit Landsat. Keseluruhan metode
yang digunakan dalam penelitian ini disarikan oleh sebuah diagram alir (Gambar
1).
7

Permasalahan
pemetaan
mangrove

Efek salt and Akurasi Efektif dan


Skema klasifikasi
pepper hasil relatif masih efisien dalam
yang belum jelas
klasifikasi rendah teknis pengerjaan

Metode
pemetaan
mangrove
alternatif

Algoritma Klasifikasi
Pengembangan skema
random berbasis
klasifikasi
forest obyek

Uji Analisis Analisis


akurasi gerombol SIMPER

Deteksi
perubahan
mangrove

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian

Kebaruan (Novelty)

Kebaruan dalam penelitian ini adalah: (i) penerapan algoritma random forest
(RF) pada teknik klasifikasi berbasis objek untuk pemetaan penutup lahan dan
komunitas mangrove, (ii) rule sets yang digunakan dalam teknik klasifikasi berbasis
objek.
2 METODOLOGI UMUM

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di ekosistem mangrove Sungai Kembung, Pulau


Bengkalis, Provinsi Riau. Pengamatan lapangan dilakukan pada Bulan Juni dan
Desember 2012. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 102o21’47.96”-
102o29’38,6” BT dan 1o31’25,34”-1o26’28,18” LU. Sungai Kembung bermuara ke
Selat Malaka, di sepanjang sungai tersebut dari hulu hingga ke hilir dan anak-anak
sungai merupakan habitat mangrove (Gambar 2). Sebagian wilayah pantai yang
berhadapan langsung dengan Selat Malaka tengah mengalami proses abrasi dan
telah mengikis sebagian mangrove zona depan (fringing mangrove) khususnya jenis
Avecennia alba dan Sonneratia alba.

Gambar 2 Lokasi penelitian


Lokasi penelitian berada pada ketinggian 2-5 meter dari permukaan laut. Seperti
daerah iklim tropis lainnya, lokasi penelitian memiliki dua musim yaitu musim
penghujan dan kemarau. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG), jumlah frekuensi hujan 3-20 hari, dengan curah hujan per bulan
5.4-378.9 mm dan suhu berkisar antara 21-34 oC.

Alat dan Bahan

Peralatan dalam penelitian penelitian ini dapat dikategorikan menjadi dua


peruntukan: (i) Pengolahan data, terdiri dari: seperangkat komputer dengan
spesifikasi: Intel Core i7-4700HQ 2.40 Hz dengan delapan inti prosesor, Random
Access Memory (RAM) 16 GB, media penyimpanan optik dengan kapasitas 1 TB,
9

kartu Video NVDIA GeForce GT 750 M, 2 GB. Perangkat komputer yang


digunakan didukung oleh beberapa piranti lunak dan disarikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber perolehan
No Piranti lunak Peranan Sumber
1 Microsoft Sistem operasi
http://windows.microsoft.com/en-
Windows 8.1
us/windows-8/meet
Pro
2 Microsoft Office Tabulasi data dan http://www.microsoftstore.com/st
Excel 2013 penyajian grafik ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
3 Microsoft Office Pembuatan http://www.microsoftstore.com/st
Word 2013 laporan ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
4 Microsoft Office Pembuatan http://www.microsoftstore.com/st
Visio 2013 diagram alir ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
5 Microsoft Office Tabulasi data http://www.microsoftstore.com/st
Access 2013 ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
6 Primer 6.0 Analisis statistik http://www.primer-
e.com/primer.htm
7 XLSTAT 2014 Analisis statistik http://www.xlstat.com/en/downlo
ad.html
8 ArcGIS Desktop
10.1
- ArcMap Analisis spasial http://www.esri.com/software/arc
gis/arcgis-for-desktop
- ArcCatalog Manajemen data http://www.esri.com/software/arc
spasial gis/arcgis-for-desktop
9 ArcPAD Pemetaan
http://www.esri.com/software/arc
lapangan dan
gis/arcpad
pengumpul data
10 EXELIS ENVI Pengolahan citra http://download.intergraph.com/d
satelit ownload-
portal?ProductName=336677bc-
d93b-6e30-89b7-ff00003c6ea8
11 ASF MAPReady Pengolahan citra https://www.asf.alaska.edu/data-
satelit tools/mapready/
12 SENTINEL-1 Pengolahan citra https://sentinel.esa.int/web/sentine
Toolboxes satelit l/toolboxes
13 eCognition Analisis citra http://www.ecognition.com/produ
Developer 9.0 berbasis objek cts/ecognition-developer
ii) Peralatan lapangan, terdiri dari: perangkat navigasi berupa Global Positioning
System (GPS), kompas, peralatan transek, dokumentasi, dan alat tulis. Secara
lengkap peralatan lapangan disarikan pada Tabel 2.
10

Tabel 2 Peralatan lapangan dan kegunaannya


No Jenis Peralatan Peranan
1 Navigasi
 GPS TRIMBEL JUNO
Merekam posisi dan navigasi lapangan
SB
 GPS Garmin 76 CSx Merekam posisi dan navigasi lapangan
 Kompas SUUNTO KB14 Navigasi lapangan
 Peta kerja Orientasi lapangan
2 Transek
 Alat hitung (counter) Menghitung jumlah vegetasi
 Meteran panjang (50 m) Membantu dalam pembuatan plot transek
 Pita diameter Mengukur diameter batang vegetasi
 Gunting stek Memotong spesimen vegetasi
 Patok kayu Penanda batas plot transek
 Cat Penanda batang yang telah diukur
 Alat tulis dan lembar
Mencatat dan merekam data lapangan
pencatatan
 Buku panduan floristik Membantu dalam menentukan spesies
mangrove mangrove
 Kamera DSLR Canon Merekam gambar diam yang berkaitan
40D dengan penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, (i) data
spasial yang terdiri dari data vektor dan raster (ii) data atribut merupakan data hasil
pengolahan data lapangan yang telah ditabulasikan, data tersebut dapat berdiri
sendiri dan atau dihubungkan dengan data vektor (Tabel 3).
Tabel 3 Data vektor yang digunakan dalam penelitian
No Tema Skala Sistem Datum Sumber
Proyeksi
1 Draf RTRW 1:500.000 Geografis World Bappeda
Provinsi Riau Geodetic Provinsi
System Riau
1984
(WGS 84)
2 Rupa Bumi 1:50.000 Geografis WGS 84 Bappeda
Indonesia, Kabupaten
Pulau Bengkalis
Bengkalis

Data raster yang digunakan terdiri dari beberapa sensor yaitu: Landsat 5 TM
(Thematic Mapper) 5, Landsat 7 TM, Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic
Mapper), Landsat 8 OLI (Operational Land Imager), SPOT (Satellite Pour
l’Observation de la Terre) 6 multispektral dan pankromatik, ALOS PALSAR
(Advanced Land Observation Satellite Phase Array Synthetic Aperture Radar) FBD
(Fine Beam Double Polarisation) HH (Horizontal-Horizontal) dan HV
(Horizontal-Vertical). Karakteristik masing-masing sensor disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik sensor yang digunakan
Sensor
Parameter
SPOT 6 Landsat 5 TM Landsat 7 ETM+ Landsat 8 OLI SENTINEL-1 ALOS PALSAR
Ketinggian (km) 694 705 705 705 693 702
Temporal (hari) 26 16 16 16 12 26
Spektral (nm)
- Biru Pantai n/a n/a n/a 433 - 453
- Biru 450 - 520 450 - 520 450 – 520 450 - 520 VV+VH HH+HV
- Hijau 530 - 590 520 - 600 520 – 600 520 - 600 5.405 GHz
- Merah 625 - 695 630 - 690 630 – 690 630 - 690 Incident angle 29.1 - 46.0 38.788
- Inframedah dekat 760 - 890 760 - 900 760 – 900 760 - 900
- Inframerah tengah n/a 1550 - 1750 1550 – 1750 1550 - 1750
- Inframerah jauh n/a 2080 - 2350 2080 – 2350 2080 - 2350
- Pankromatik 450 - 745 n/a 500 – 900 500 - 900
- Cirrus n/a n/a n/a 1360 - 1390
Interferometric Wide
Spasial (m)
Swath 250 km
- Multispektral 6 30 30 30 10x10 12.5x12.5
- Pankromatik 1.5 15 15 15
Radiometrik (bit) 12 8 8 8
Level 3A 1T 1T 1T 1 Ground Range Detected 1.1
Format DIMAP V2 format Geo-TIFF Geo-TIFF Geo-TIFF SAFE format CEOS format
Proyeksi Geografi UTM UTM UTM Geografi ITRF97 Datum GRS80
Akuisisi
- Tanggal 27 Januari 2013 19 Juni 1996 14 Juli 2002 15 Januari 2015 28 Nopember 2014 18 September 2010
- Jam 3:14:20 2:35:50 3:45:58 1:07:12 22:55:37 15:55:37.277
11
12

Metode Penelitian

Pengerjaan disertasi secara keseluruhan diringkas pada delapan tahapan yaitu:


(i) persiapan data, (ii) pra pengolahan data penginderaan jauh, (iii) rancangan
pengambilan data lapangan, (iv) survei lapangan, (v) pengembangan skema
klasifikasi komunitas mangrove, (vi) analisis spektral reflektansi, (vii) pemetaan
mangrove, (viii) deteksi perubahan mangrove. Tahapan penelitian ini hanya
membahas mulai dari persiapan data hingga survei lapangan, sementara analisis
data lebih rinci dijelaskan pada sub bab lainnya.

Persiapan data
Tahapan ini mempersiapkan peralatan yang terdiri dari perangkat keras dan
lunak serta data yang digunakan, untuk mendukung kegiatan lapangan dan
pengolahan data lebih lanjut.
Pra-pengelohan citra Proses pra pengolahan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas data melalui koreksi atmosferik (data optik), kalibrasi radiometrik (data
SAR) menjadi koefisien hambur balik (backscattering coefisient), dan koreksi
geometrik untuk data yang belum memiliki acuan sistem koordinat.
Koreksi atmosferik Meminimalisir pengaruh atmosfer merupakan hal yang
penting untuk mendapatkan reflektansi spektral permukaan suatu citra satelit. Data
pendukung seperti uap air, distribusi aerosol dan jarak pandang harus diketahui dan
kemudian digunakan bersama model transfer radiasi atmoferik untuk menghasilkan
perkiraan reflektansi permukaan yang sebenarnya. Koreksi atmosferik
menggunakan modul FLAASH (Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of
Spectral Hypercube) yang bekerja dengan kode MODTRAN4 (Moderate
Resolution Atmospheric Transmission). FLAASH dapat menganalisis dari
gelombang tampak hingga inframerah rendah dari citra multispektral dan
hiperspektral (Felde et al. 2003).
Parameter FLAASH yang digunakan hanya dua kategori yaitu: (i) parameter
umum, terdiri dari file input dan output FLAASH, karakteristik sensor yang
digunakan dan model atmosfer. (ii) parameter FLAASH lanjutan, terdiri dari
karakteristik aerosol lanjutan, kondisi geometris dan radiometrik FLAASH yang
akan dihasilkan (Tabel 5).
Koreksi geometrik Koreksi geometrik adalah sebuah proses penyesuaian posisi
citra satelit sehingga sesuai dengan posisinya di permukaan bumi. Kesalahan posisi
citra dapat diakibatkan oleh orbit satelit, rotasi bumi gerakan cermin pada sensor
penyiam dan juga kelengkungan bumi. Koreksi geometri citra satelit telah
dilakukan secara sistematis untuk kesalahan geometri yang sudah diperkirakan
sebelumnya, seperti: pengaruh pergerakan cermin pemindai, kecepatan lintasan
satelit dan arah serta kecepatan rotasi bumi. Tahap selanjutnya adalah
menggunakan titik-titik kontrol lapangan yang dapat diidentifikasi pada citra dan
lapangan dan melalui pasangan titik koordinat antara citra dan lapangan ini dapat
dibangun suatu persamaan transformasi untuk mengoreksi setiap posisi yang salah
pada citra menjadi posisi yang benar menurut skala, proyeksi dan sistem koordinat
referensi.
13

Tabel 5 Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer


Parameter FLAASH Citra Landsat 5 TM Citra SPOT 6
(1) Parameter umum
Citra radian L5_radiance spot6_ radiance.dat
File reflektansi L5_radiance_FLAASH spot6_ radiance_FLAASH
Pusat lokasi
Lintang 1.45098611 1.45098611
Bujur 102.4347222 102.4347222
Jenis sensor Landsat 5 TM SPOT6
Ketinggian sensor (km) 700.23
Elevasi (km) 0.1 0.1
Ukuran piksel (m) 30 6
Waktu Perekaman 2 Feburari 2010 03: 27 Januari 2013 03:14:20
Model atmosfer Tropical Tropical
Model aerosol Rural Rural
Aerosol retrieval None None
Jarak pandang 40 40
(2) Parameter lanjut
Aerosol scale height (km) 1.5 1.5
CO2 Mixing ratio (ppm) 390 390
Use square slit function No No
Use adjacency correction Yes Yes
Resuse MODTRAN calculation No No
Resolusi MODTRAN 15 cm^-1 15 cm^-1
Modtran multiscatter model Scaled DISORT Scaled DISORT
Number of DISORT stream 8 8
Sudut Zenit 180 180
Sudut Azimut 0 0
Use tiled processing No No
Radiance image Full scene Full scene
Faktor skala reflektansi 10000 10000

Koreksi geometrik citra SPOT 6 menggunakan model koefisien rasional


polinomial (Rational Polynomial Coefficient/RPC). Grodecki dan Dial (2003)
menyatakan bahwa RPC adalah salah satu model matematis yang mendefinisikan
hubungan koordinat objek-angkasa (ϕ,λ,h), ϕ adalah lintang geografis, λ adalah
bujur geografis dan h adalah ketinggian di atas elipsoid terhadap koordinat citra-
angkasa (Line, Sample). Model fungsi RPC adalah rasio dari dua koordinat
polynomial kubik objek-angkasa. Fungsi rasional digunakan untuk menyatakan
bahwa hubungan antara objek-angkasa terhadap koordinat line dan objek-angkasa
terhadap koordinat sample. Penjelasan mengenai RPC dapat mengacu pada tulisan
Grodecki (2001) dan Grodecki dan Dial (2003). Tidak ada perbedaan yang
mencolok setelah penerapan RPC pada Citra SPOT 6, RPC hanya menerapkan
14

posisi piksel citra (baris dan kolom) pada koordinat bumi. Pada aplikasi yang
mendukung pembacaan RPC (seperti EXELIS ENVI) sistem proyeksi yang
digunakan oleh data citra SPOT 6 adalah geografi dan datum World Geodetic
System (WGS) 84, selanjutnya penarapan RPC mentransformasi sistem tersebut
menjadi Universal Transverse Mercator (UTM) zona 48 dan datum WGS 84. Hasil
koreksi RPC disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hasil penerapan RPC pada citra SPOT 6 dengan kombinasi 321, dengan
tampalan citra RapidEye Level 3A orthofoto kombinasi 432 dan
Landsat 5 TM level 1T kombinasi 452

Penerapan koreksi RPC cukup memuaskan, hal tersebut didukung oleh


penampalan citra satelit RapidEye Level 3 terkoreksi ortofoto dan Citra Landsat 5
TM Level 1T persis pada posisi dan objek yang sama pada Citra SPOT 6. Penerapan
RPC tidak dilanjutkan koreksi geometrik menggunakan Ground Control Point
(GCP) mengingat pengkuran GCP hanya mengandalkan pengukuran posisi absolut.
Pengukuran GCP menggunakan GPS TRIMBEL JUNO SB, sebanyak 26
pengamatan GCP dilakukan dan setiap GCP diamati selama + 30 menit. Rata-rata
pengukuran GCP terdistribusi dari 2 hingga 4 piksel dengan rata-rata 2.67 (SD+
0.78) piksel.
Kalibrasi radiometrik Tujuan kalibrasi adalah menyediakan data SAR dengan
nilai piksel yang berhubungan dengan hambur balik (backscatter) yang dipantulkan
oleh permukaan dan data yang telah dikalibrasi dapat digunakan pada analisis
kuantitatif. Proses kalibrasi radiometrik menghasilkan data citra SAR dengan nilai
sigma nought (σ0).
Kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR Data ALOS PALSAR dikalibrasi
ASF (Alaska Satellite Facility) MapReady 2.3. Aplikasi ini dikembangkan dan
dikelola oleh European Space Agency (ESA). Data disimpan dalam format geotiff
(.tiff), diproyeksi menjadi UTM Zona 48 Utara, Datum WGS 84. Ukuran piksel
dicuplik dengan ukuran 12.5 meter dengan teknik resample bilinear. Nilai
radiometri data dikalibrasi menjadi koefisien hambur balik (backscattering
coefficient) mengacu Shimada et al. (2009). Kalibrasi σ0 menggunakan persamaan
1.

𝜎0 = 𝑎2 (𝐷𝑁 2 − 𝑎1 𝑁𝑟 ) (1)
15

σ0 adalah koefisien hambur balik, DN adalah nilai digital, Nr adalah fungsi jarak,
a1 adalah faktor skala derau dan a2 adalah faktor konversi linier. Nilai yang
dihasilkan oleh persamaan (1) adalah dalam skala power. Merubah nilai power
menjadi nilai dB digunakan persamaan (2) karena umumnya image yang telah
terkalibrasi menggunakan skala logaritma dB (Shimada et al. 2009).
𝜎 0 = 10. 𝑙𝑜𝑔10 〈𝐼 2 + 𝑄 2 〉 + 𝐶𝐹 − 𝐴 (2)
I dan Q merupakan bilangan real dan imaginer bagian dari produk Single Look
Complex (SLC), CF merupakan calibration faktor adalah -83 dB dan A merupakan
faktor konversi yaitu 32. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada Gambar 4.

a b
Gambar 4 Hasil kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR a. HV dan b. HH

Kalibrasi data SENTINEL-1 Level-1 dengan tipe produk GRD dapat


dilakukan melalui persamaan:
|𝐷𝑁𝑖 |2
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖(𝑖) = (3)
𝐴𝑖 2
nilai(i) adalah salah satu dari 𝛽 0 𝑖 atau 𝜎 0 𝑖 , atau 𝛾𝑖 , atau DNi orisinal, Ai adalah salah
dari betaNought(i), sigmaNought(i), gamma(i) atau dn(i). Mode IMS sigma nought
dapat dihitung melalui persamaan:
2
𝐷𝑁𝑖,𝑗 3
0 1 𝑅
𝜎𝑖,𝑗 = 2 (𝑅 𝑖,𝑗 ) 𝑠𝑖𝑛(𝛼𝑖,𝑗 ) (4)
𝐾 𝐺(𝜃𝑖,𝑗 ) 𝑟𝑒𝑓

DNi,j2 adalah intensitas piksel i,j, K adalah konstanta kalibrasi absolut, 𝛼𝑖,𝑗 adalah
sudut datang (incident angle), Ri,j adalah jarak miring (slant range distance), Rref
adalah referensi jarak miring (reference slant range distance), 𝜃𝑖,𝑗 adalah look angle
dan G adalah antenna pattern gain. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada
Gambar 5.

a. b.
Gambar 5 Hasil kalibrasi radiometrik citra SENTINEL-1. a. VH dan b. VV
16

Rancangan Survei Lapangan


Rancangan ini bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan pengamatan
dan pengukuran di lapangan. Pengukuran lapangan dilakukan terhadap: (1) Kelas
penutup lahan, mengacu BSN (2010). Pengamatan lapangan dilakukan terhadap
penutup lahan di sekitar mangrove dan struktur vegetasi mangrove. Terdapat 8 kelas
penutup lahan (Tabel 6) yang diamati dengan luasan pengamatan 30 m x 30 m.
Kawasan-kawasan yang tidak diamati secara langsung dibantu dengan interpretasi
visual Citra SPOT 6 multispektral yang telah difusi dengan dengan pankromatik
berdasarkan kunci-kunci interpretasi (Lillesand et al. 2008). (2) Spesies penyusun
komunitas mangrove di Sungai Kembung. Penentuan lokasi stasiun pengamatan
berdasarkan stratified random sampling (Congalton dan Green 2009),
menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification).
Tabel 6 Skema dan deskripsi penutup lahan
No Kelas penutup lahan Deksripsi
1 Badan Air (BA) Semua kenampakan perairan
Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa
2 Kebun kelapa (KA)
pergantian tanaman selama dua tahun dan ditanami kelapa
Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa
3 Kebun karet (KT)
pergantian tanaman selama dua tahun dan ditanami karet
Lahan tanpa penutup lahan baik yang bersifat alamiah, semi
4 Lahan terbuka (LA)
alamiah amupun artifisial
Area yang telah mengalami substitusi penutup lahan yang
5 Lahan terbangun (LN) bersifat alami atau semi alami oleh penutup lahan buatan
yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen
Merupakan tumbuhan baik secara individu maupun
komunitas di daerah yang dipengaruhi pasang surut
6 Mangrove (ME) dijumpai disepanjang garis pantai terlindung hingga
menyebar ke pinggiran sungai pada daerah tropis dan sub
tropis.
Lahan yang ditumbuhi berbagai jenis vegetasi alamiah
7 Semak belukar (SE) heterogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat dan
didominasi oleh vegetasi rendah
Merupakan vegetasi yang berada antara batas mangrove dan
Vegetasi transisi
8 bukan merupakan semak dan belukar, kebun kelapa dan
mangrove (TI)
karet

Metode stratifikasi menjamin distribusi data yang baik pada kawasan


mangrove (Vaiphasa et al. 2006). Ukuran setiap sampel pengamatan vegetasi
mangrove 10 m x 10 m. Jumlah kelas stratifikasi sebanyak 25 kelas. Jumlah tersebut
mengacu pada jumlah spesies mangrove yang berhasilkan diidentifikasi oleh
Kartaharja (2010) sebanyak 20 spesies dan ditambah 5 kelas agar mencakup
kehadiran spesies lainnya pada lokasi studi. Setiap kelas akan dipilih secara acak
sebanyak 6 sampel, total sampel pengamatan adalah 150. Saat pengamatan
lapangan dilakukan penambahan sampel sebanyak 7 pengamatan terhadap
mangrove pantai dan kawasan kelola kelompok pengelola mangrove di lokasi
penelitian, sehingga total keseluruhan pengamatan adalah 157 pengamatan
17

(Gambar 6). Selanjutnya rancangan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kerja
dan disimpan dalam perangkat GPS. Peta kerja dan GPS berperan besar dalam
navigasi menuju lokasi-lokasi pengamatan lapangan.

Gambar 6 Sebaran lokasi pengamatan lapangan


Pengamatan kelas penutup lahan dilakukan seiring dengan pengamatan
vegetasi mangrove. Perjalanan menuju lokasi pengamatan vegetasi mangrove
ditempuh dengan berjalan kaki, menggunakan kenderaan roda dua dan speedboat.
Data yang direkam berupa data struktur komunitas mangrove (diameter batang,
tinggi pohon, jenis dan jumlah vegetasi), serta foto-foto dokumentasi lapangan.

Uji akurasi
Hasil klasifikasi data penginderaan jauh divalidasi menggunakan sebuah
matrik kesalahan (error matrix) (Tabel 7). Hal ini dilakukan dengan
membandingkan citra hasil klasifikasi sebagai peta terhadap kelas yang sebenarnya.
Kelas yang sebenarnya diperoleh dari hasil pengamatan lapangan. Uji akurasi
mengacu kepada Congalton dan Green (2009).

Tabel 7 Perhitungan matematis matrik kesalahan


j = kolom (referensi) Jumlah baris nj+
i =baris 1 2 k nj+
1 n11 n12 n1k n1-
2 n21 n22 n2k n2-
K n31 n22 n2k nk-
Jumlah kolom n+j n+1 n+2 n+k n

𝑛 = ∑𝑘𝑗=1 𝑛𝑖𝑗 merupakan jumlah sample hasil klasifikasi terhadap kelas i dalam
klasifikasi penginderaan jauh, dan 𝑛+𝑗 = ∑𝑘𝑖=1 𝑛𝑖𝑗 merupakan jumlah sampel yang
diklasifikasikan ke kelas j pada data referensi. Akurasi keseluruhan (overall
accuracy) antara data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan data referensi dapat
dihitung sebagai berikut:
18

∑𝑘
𝑖=1 𝑛𝑖𝑖
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑎𝑙𝑙 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 = (5)
𝑛
𝑛
𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟′𝑠 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 𝑗 = 𝑛 𝑗𝑗 (6)
+𝑗
𝑛
𝑈𝑠𝑒𝑟′𝑠 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 𝑖 = 𝑛 𝑖𝑖 (7)
𝑖+
Sebuah uji-Z berbasiskan KHAT atau statistik K (Kappa) akan digunakan
untuk menilai akurasi klasifikasi dari sebuah matrik kesalahan. Nilai koefisien
Kappa (KHAT statistik) berada pada rentang 0 hingga 1 dan biasanya akan lebih
kecil dari nilai akusari keseluruhan, dan dapat dihitung melalui:
𝑁 ∑𝑟𝑖=1 𝑥𝑖𝑖 −∑𝑟𝑖=1(𝑥𝑖+ .𝑥+1 )
𝐾= (8)
𝑁 2 −∑𝑟𝑖=1(𝑥𝑖+ .𝑥+1 )
r adalah jumlah baris pada matrik, xii adalah jumlah pengamatan pada baris i dan
kolom i, xi+ dan x+i adalah total margin baris i dan kolom i, N adalah jumlah
pengamatan. K menyatakan pengurangan dalam kesalahan yang keseluruhan
merupakan klasifikasi acak. Misalnya nilai K adalah 0.80 maka proses klasifikasi
yang dilakukan menghindari 80% kesalahan klasifikasi acak. Akurasi tematik
hanya berdasarkan referensi berbasis titik pengamatan. Uji akurasi tidak
berbasiskan objek atau uji akurasi yang berkaitan terhadap akurasi geometri objek
(seperti lokasi dan bentuk) (Whiteside et al., 2011).
Penentuan dua nilai Kappa independen dan untuk dua matrik kesalahan yang
secara signifikan berbeda, maka digunakan uji yang memungkinkan perbandingan
secara statistik dua analisis, analisis yang sama dengan waktu berbeda, dua
algoritma, dua tipe citra, atau dua citra yang sama dalam menghasilkan akurasi lebih
baik. Matrik kesalahan tunggal dan pasangan matrik kesalahan diuji tingkat
kepercayaan signifikan pada standar deviasi normal sebagai berikut:
Jika 𝐾̂1 dan 𝐾
̂2 merupakan estimasi Kappa statistik dari masing-masing matrik
kesalahan #1 dan #2, 𝑣𝑎𝑟 ̂ (𝐾 ̂1 ) dan 𝑣𝑎𝑟
̂ (𝐾̂2 ) adalah estimasi varian sebagai hasil
dari perhitungan yang tepat, maka uji statistik menggunakan persamaan:
̂1
𝐾
𝑍= ̂1 )
(9)
√𝑣𝑎𝑟
̂ (𝐾
Z adalah standarisasi dan distribusi normal (standar deviasi) dengan hipotesis
𝐻0 : 𝐾1 = 0 dan 𝐻1 : 𝐾1 ≠ 0, 𝐻0 ditolak jika 𝑍 ≥ 𝑍𝛼/2 , dimana α/2 adalah tingkat
kepercayaan uji Z dan derajat bebas diasumsikan tidak terhingga (∞). Uji statistik
untuk menguji jika dua error matriks independen berbeda secara signifikan
menggunakan persamaan:
̂1 −𝐾
|𝐾 ̂2 |
𝑍= ̂1 )+𝑣𝑎𝑟 ̂2 )
(10)
̂ (𝐾
√𝑣𝑎𝑟 ̂ (𝐾
Z adalah standarisasi distribusi normal nilai Kappa dengan hipotesis 𝐻0 : (𝐾1 −
𝐾2 ) = 0, alternative 𝐻1 : (𝐾1 − 𝐾2 ) ≠ 0, 𝐻0 ditolak jika 𝑍 ≥ 𝑍𝛼/2 .
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI UNTUK
PEMETAAN KOMUNITAS MANGROVE

Pendahuluan

Penerapan penginderaan jauh dalam berbagai bidang telah dilakukan sejak


beberapa dekade lalu, secara teoritis telah teruji dan ekonomis (Tang dan Li 2010).
Kerr dan Ostrovsky (2003) menjelaskan dengan gamblang pemanfaatan
penginderaan jauh dan hubungannya dengan data yang dikumpulkan di lapangan,
hal tersebut membawa pendekatan baru dalam penelitian ekologi dan biologi.
Mangrove merupakan salah satu ekosistem unik di wilayah pesisir. Kajian-kajian
ekobiologi mangrove menggunakan data penginderaan jauh telah banyak
dihasilkan. Referensi lebih detail mengenai hal tersebut bisa diacu pada Kuenzer et
al. (2011) dan Heumann (2011b).
Jensen (2005) dan Gao (2010) menyatakan terdapat beberapa tahapan dalam
klasifikasi terbimbing (supervised). Tahapan awal adalah mengembangkan skema
klasifikasi. Skema klasifikasi sangat krusial dalam tahapan tersebut karena dapat
mempengaruhi data diskrit yang dihasilkan. Skema klasifikasi yang baik menurut
Prenzel dan Treitz (2005) adalah skema yang mampu menyediakan hasil klasifikasi
yang standar dan dapat diulang. Mumby dan Harborne (1999) menegaskan,
penggunaan skema klasifikasi yang tidak sistematik serta dokumentasi yang
ambigu menciptakan masalah dalam interpretasi skema klasifikasi dan
penggabungan beberapa peta mengingat sedikit atau tidak adanya standarisasi
dalam terminologi yang digunakan.
Beragamnya tujuan penelitian pemetaan habitat di wilayah pesisir berdampak
terhadap beragamnya skema dan kriteria digunakan untuk menentukan skema
klasifikasi mangrove. Permasalahan yang hadir tidak hanya terjadi pada dua istilah
yang identik tetapi kurang detailnya kuantitatif juga mengaburkan perbedaaan yang
ada sehingga mengurangi kemungkinan bahwa objek akan dibedakan dengan benar.
Selain itu tidak banyak tulisan secara spesifik yang membahas tentang skema
klasifikasi mangrove. Penelitian ini bertujuan: (i) mengidentifikasi ragam dan jenis
vegetasi mangrove di Sungai Kembung sehingga dapat diketahui komposisi
vegetasi penyusun ekosistem (ii) mengembangkan skema klasifikasi komunitas
mangrove yang dapat diterapkan pada berbagai tingkatan resolusi spasial citra
satelit.

Metode

Pengumpulan Data
Pengukuran data vegetasi mangrove Data vegetasi diperoleh melalui
pengamatan lapangan yang dilakukan di setiap stasiun pengamatan (plot). Data
yang diamati adalah strata pohon (mature), anakan (sapling) dan semai (seedling).
Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pohon adalah semua tumbuhan berkayu
dengan diameter batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm di atas permukaan
tanah) ≥ 4 cm atau lingkar batang 12,5 cm (English et al. 1997). Setiap pohon di
20

dalam plot pengamatan diukur diameter batangnya dan kemudian diidentifikasi


sampai pada tingkat spesies dengan mengacu pada buku panduan identifikasi
vegetasi mangrove (Giesen et al. 2006; Noor et al. 2006).
Ketentuan pengukuran diameter batang dan perhitungan jumlah pohon adalah
sebagai berikut: (i) Pengukuran dilakukan pada setinggi dada (130 cm di atas
permukaan tanah), (ii) Pengukuran pohon yang memiliki akar lebih dari 130 cm
dari permukaan tanah dilakukan 30 cm di atas akar, (iii) Pohon yang bercabang,
apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm maka pengukuran dilakukan
setinggi 130 cm (pohon dianggap satu), apabila percabangan di bawah 130 cm dari
permukaan tanah maka pengukuran dilakukan terhadap kedua cabang (pohon
dianggap dua), (iv) Apabila setengah atau lebih dari garis menengah suatu pohon
masuk ke dalam plot, maka pengukuran terhadap diameternya dilakukan, namun
sebaliknya tidak dilakukan (Gambar 7).

Gambar 7 Teknis pengukuran diameter batang mangrove (Dahdouh-Guebas dan


Koedam 2006)

Komposisi mangrove Komposisi spesies yang menyusun vegetasi pada area kajian
dapat diketahui dari daftar spesies yang dicatat pada saat pengamatan lapangan.
Identifikasi langsung dilakukan di lapangan. Pendokumentasian daun, bunga, kulit,
buah, batang serta akar dilakukan jika nama spesies tumbuhan tidak diketahui.
Proses yang dilakukan dalam kajian komposisi vegetasi adalah: menggunakan buku
identifikasi mangrove (Giesen et al. 2006; Noor et al. 2006) untuk mengetahui
karakteristik bentuk batang, daun, bunga dan buah.
Kelimpahan spesies penyusun mangrove Perhitungan kelimpahan spesies di
lokasi penelitian berdasarkan kepentingan relatif dari spesies-spesies yang
menyusun vegetasi, melalui perhitungan diameter pohon, basal area, kerapatan
mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, frekuensi relatif, dominansi mutlak,
dominansi relatif serta indeks nilai penting (INP).

Pengolahan Data
Pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove Aspek penting dari
skema klasifikasi adalah pendekatan kuantitas parameter ekologi untuk
mendefinisikan kelas komunitas mangrove. Variabel kuantitas parameter ekologi
yang digunakan adalah nilai INP. Namun tidak seluruh spesies pembangun
komunitas mangrove dapat diikutsertakan dalam pengelompokan data, mengingat
keterbatasan kehadiran (frekuensi) spesies mangrove pada seluruh plot transek.
Spesies mangrove yang memiliki persentase kehadiran kurang dari 4% dieliminir
keberadaannya sebagai penyusun komunitas mangrove (Green et al. 2000).
Selanjutnya spesies-spesies mangrove tersebut dikelompokkan menggunakan
analisis gerombol (cluster analysis). Kemiripan/ketidakmiripan penyusun
komunitas diukur menggunakan koefisien Bray-Curtis, koefisien tersebut telah
21

terbukti menjadi ukuran yang memadai dalam penentuan jarak ekologi (Faith et al.
1987). Persamaan Bray-Curtis dinyatakan sebagai berikut:
𝑝
∑𝑖=1|𝑥𝑖𝑗 −𝑥𝑖𝑘 |
𝑆𝑗𝑘 = [∑𝑃 ] (11)
𝑖=1(𝑥𝑖𝑗 +𝑥𝑖𝑘 )

xij adalah kelimpahan spesies ke-i pada sample ke-j dan p adalah spesies
keseluruhan.
Penentuan kelas komunitas mangrove ditetapkan dari jarak kemiripan dengan
nilai kemiripan 0.5. Dendogram jarak koefisien Bray-Curtis dibangun
menggunakan metode average group (Mumby dan Harborne 1999; Green et al.
2000). Karakteristik komunitas mangrove ditentukan oleh persentase kontribusi
komponen penyusunnya menggunakan analisis persentase kemiripan (Similarity
Percentage/SIMPER) (Clarke 1993). SIMPER dianalisi menggunakan aplikasi
PRIMER 6.0. SIMPER menghitung nilai rata-rata ketidakmiripan Bray-Curtis
antara pasangan kelompok dalam sampel. Rata-rata ketidakmiripan antara sampel
pada dua klaster dapat dinyatakan sebagai rata-rata kontribusi dari setiap variabel
penyusunnya. Sebuah variabel penciri memiliki kontribusi besar dalam
membedakan komunitas. Pemberian nama kelas komunitas mengacu pada
penamaan komunitas berdasarkan karakteritik ekologi, atau dapat juga
menggabungkan nama spesies yang memiliki persentase komposisi terbesar pada
komunitas tersebut (Green et al. 2000; Phinn et al. 2012).

Hasil dan Pembahasan

Struktur Komunitas
Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan
mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove
ikutan. Penelitian ini hanya mengamati enam kelompok dari tujuh pengelompokan
lifeform oleh Giesen et al. (2006) yaitu: (i) pakis/ferns (14 jenis), (ii)
epifit/epiphyetes (4 spesies), (iii) pemanjat/climbers (7 spesies), (iv) herba
tanah/other ground herbs sebanyak (2 spesies), (v) palma tumbuhan seperti
palma/palm and palm-like plants (6 spesies), (vi) pohon dan dan semak/trees and
shrubs (36 spesies). Khusus mangrove sejati Sungai Kembung terdiri dari 11 famili
yaitu Avicenniaceae (2 spesies), Combretaceae (2 spesies), Euphorbiceae (1
spesies), Lythraceae (3 spesies), Meliaceae (2 spesies), Myristicaceae (1 spesies),
Arecaceae (1 spesies), Pteridaceae (2 spesies), Rhizophoraceae (6 spesies),
Rubiceae (1 spesies) dan Sterculiaceae (1 spesies). Empat dari sebelas famili
tersebut merupakan komponen utama penyusun mangrove yaitu Combretaceae,
Arecaceae, Rhizophoraceae dan Lythraceae sedangkan yang lain merupakan
komponen minor (Tomlinson 1986).
Penelitian ini lebih mengayakan informasi keanekaragaman hayati vegetasi
mangrove di Sungai Kembung. Kartaharja (2010) melaporkan 20 spesies mangrove
sejati dan 12 mangrove ikutan di lokasi penelitian. Keanekaragaman hayati vegetasi
mangrove di Sungai Kembung lebih banyak jika dibandingkan dengan laporan
Nursal et al. (2005) yang mengamati mangrove di pesisir Tanjungsekodi, Pulau
Bengkalis, yaitu hanya 5 spesies mangrove sejati, Prianto et al. (2006) mengamati
struktur komunitas mangrove dewasa di sepanjang garis pantai Kota Dumai,
22

menyatakan bahwa jumlah mangrove sejati yang dijumpai sebanyak 17 spesies dan
18 spesies mangrove ikutan.
Beberapa spesies mangrove di lokasi penelitian merupakan spesies endemik
Asia Tenggara, yaitu A. lanata, O. tigillarium, I. cymosa, P. coronarium, D.
aloefolium. Dua spesies yang secara lokal umum dijumpai tapi langka dalam skala
global, yaitu S. hydrophyllacea dan S. ovata (Giesen et al. 2006). Berdasarkan
daftar merah spesies terancam International Union for Conservation of Nature
(IUCN), empat spesies belum termasuk ke dalam daftar tersebut yaitu, B.
gymnorrhiza, B. hasselsi. C. tagal dan S. hydrophyllaceae. Satu spesies masuk ke
dalam kategori rentan (vulnerable B1+2c) yaitu A. lanata, satu spesies dalam status
hampir terancam (near threatened) yaitu S. ovata, dan sisanya berada pada kategori
sedikit perhatian (least concerns).
Jenis X. granamun, R. apiculata, L. racemosa dan S. hidrophyllaceae
merupakan komunitas dominan dan selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan
dengan jenis-jenis lainnya pada semua strata. Hal tersebut ditunjukkan oleh
tingginya nilai penting baik strata dewasa, anakan maupun semai (Tabel 8)
Tabel 8 Nilai penting (%) berdasarkan strata mangrove
Strata Mangrove
No Nama Botani
Dewasa Anakan Semai
1 Aegiceras corniculatum 0.3 2.8 1.4
2 Avicennia alba 0.4 - -
3 Avicennia lanata 1.5 - -
4 Bruguiera cylindrica 6.3 2.9 4.9
5 Bruguiera gymnorhiza 6.0 5.6 2.0
6 Bruguiera hainesii 9.0 8.8 3.9
7 Ceriops tagal 6.2 9.4 7.8
8 Excoecaria agallocha 7.1 7.9 3.3
9 Heritiera littoralis 0.9 - -
10 Lumnitzera littorea - - 12.3
11 Lumnitzera racemosa 11.9 2.2 3.7
12 Nypa fruticans 2.6 - 1.0
13 Rhizophora apiculata 55.6 41.2 7.8
14 Rhizophora mucronata 7.1 6.9 2.3
Scyphiphora
15 10.8 25.2 6.9
hidrophyllacea
16 Sonneratia alba 1.7 - -
17 Sonneratia ovata 1.2 0.7 -
18 Xylocarpus granatum 161.8 84.6 135.9

Tingginya nilai INP X. granatum diindikasikan oleh kemampuannya


melakukan perkembangbiakan secara vegetatif, dibuktikan dengan dijumpainya
tunas-tunas muda pada batang bekas tebangan. Pada pengamatan lapangan
dijumpai dua spesies yang mampu melakukan hal tersebut yaitu X. granatum dan
S.ovata (Gambar 8) sedangkan jenis lainnya yang menjadi komoditas kayu, seperti
famili Rhizophoracea dan Combretaceae tidak ditemukan tunas yang tumbuh,
umumnya batang yang telah ditebang akan mengalami pembusukan dan akhirnya
mati.
23

Gambar 8 X. granatum memiliki kemampuan perkembangbiakan vegetatif. Tunas


muda dapat tumbuh setelah mengalami gangguan berupa pemotongan
pada batang. b dan c tunas yang tumbuh menjadi ukuran dewasa dan
anakan, d. hal yang sama juga terjadi pada jenis S. ovata
Kerapatan mangrove strata semai dan anakan di Sungai Kembung adalah
sangat melimpah (semai > 7000 ind/ha dan anakan > 2000 ind/ha) dan strata pohon
berada pada angka >2000 ind/ha (Tabel 9). Berdasarkan kriteria baku dan pedoman
penentuan kerusakan mangrove sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004, mangrove Sungai Kembung
dikategorikan sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat.
24

Tabel 9 Kerapatan (ind/ha) strata vegetasi mangrove


Strata Mangrove
No Nama Botani
Dewasa Anakan Semai
1 Aegiceras corniculatum 0.6 22.9 47.8
2 Avicennia alba 5.1 - -
3 Avicennia lanata 14.0 - -
4 Bruguiera cylindrica 73.2 25.5 127.4
5 Bruguiera gymnorhiza 33.8 30.6 95.5
6 Bruguiera hainesii 65.0 89.2 111.5
7 Ceriops tagal 28.7 61.1 222.9
8 Excoecaria agallocha 69.4 68.8 63.7
9 Heritiera littoralis 4.5 - -
10 Lumnitzera littorea - - 525.5
11 Lumnitzera racemosa 120.4 22.9 95.5
12 Nypa fruticans 34.4 15.9
13 Rhizophora apiculata 622.9 438.2 222.9
14 Rhizophora mucronata 75.8 61.1 47.8
Scyphiphora
15 96.8 389.8 222.9
hidrophyllacea
16 Sonneratia alba 11.5 - -
17 Sonneratia ovata 7.0 2.5 -
18 Xylocarpus granatum 1,114.0 1,019.1 6,019.1
Kerapatan 2,377.1 2,231.8 7,818.5

Skema Komunitas Mangrove


Hasil inventaris lapangan terhadap jenis pohon dan semak, dijumpai sebanyak
32 spesies, 15 di antaranya merupakan mangrove ikutan dan 17 spesies merupakan
mangrove sejati, 6 spesies pohon hanya teridentifikasi nama lokal dan satu spesies
tidak teridentifikasi (Tabel 10).
Spesies-spesies mangrove ikutan memiliki tingkat kehadiran rendah karena
terbatasnya jumlah plot transek yang ditempatkan di daerah transisi. O. tigillarium
dan Setuak merupakan spesies pohon mangrove ikutan yang sering dijumpai di
daerah transisi dengan tingkat kehadiran 4 plot. X. granatum merupakan spesies
yang memiliki kehadiran tertinggi, sebanyak 117 plot diikuti oleh R. apiculata (93
plot) dan S. hidrophyllacea (29 plot). Berdasarkan perhitungan tingkat kehadiran,
spesies mangrove yang layak digunakan dalam analisis gerombol hanya 10 spesies
yaitu: B. cylindrical, E. agallocha, R. mucronata, B. gymnorhiza, C. tagal, B.
hainesii, L. racemosa, S. hidrophyllacea, R. apiculata, dan X. granatum. Spesies-
spesies tersebut memiliki memiliki tingkat kehadiran >4% (8.9% - 74.5%),
sedangkan spesies lainnya memiliki kehadiran kurang dari 4%. Proses eliminasi
spesies mangrove tersebut menyebabkan tiga plot transek tidak dapat digunakan,
karena tidak dijumpai spesies mangrove penyusun komunitas pada plot tersebut.
25

Tabel 10 Nama spesies, kategori mangrove dan jumlah kehadiran spesies dari
seluruh plot transek
No Nama Spesies Kode Kategori Jumlah Kehadiran
1 Ardisia elliptica Ae Ikutan 2
2 Buah Gurah Bg Ikutan 1
3 Cimpo Co Ikutan 2
4 Dendan Laut Dl Ikutan 1
5 Fiscus sp Fs Ikutan 2
6 Flocourtia rukam Fr Ikutan 4
7 Hibiscus tilaceus Ht Ikutan 2
8 Ilex cymosa Ic Ikutan 2
9 Kelat Putih Kp Ikutan 2
10 Oncosperma tigillarium Ot Ikutan 4
11 Pokok Miang Pm Ikutan 1
12 Pouteria obovata Po Ikutan 2
13 Setuak Sak Ikutan 4
14 Terminalia catappa Tc Ikutan 1
15 X XX Ikutan 1
16 Aegiceras corniculatum Ac Sejati 1
17 Avicennia alba Aa Sejati 1
18 Avicennia lanata Al Sejati 4
19 Bruguiera cylindrical Bc Sejati 14
20 Bruguiera gymnorhiza Bg Sejati 20
21 Bruguiera hainesii Bh Sejati 27
22 Ceriops tagal Ct Sejati 22
23 Excoecaria agallocha Ea Sejati 17
24 Heritiera littoralis Hl Sejati 3
25 Lumnitzera racemosa Lr Sejati 27
26 Nypa fruticans Nf Sejati 3
27 Rhizophora apiculata Ra Sejati 93
28 Rhizophora mucronata Rm Sejati 17
29 Scyphiphora hidrophyllacea Sh Sejati 29
30 Sonneratia alba Sa Sejati 5
31 Sonneratia ovate So Sejati 4
32 Xylocarpus granatum Xg Sejati 117

Komposisi INP menujukkan bahwa jumlah spesies penyusun komunitas


mangrove di Sungai Kembung terdiri dari 1-6 spesies pohon mangrove (Gambar 9).
Umumnya plot transek terdiri dari dua spesies (52 plot), kemudian diikuti oleh
komposisi 3 spesies pohon (41 plot) dan konsosiasi atau tegakan tunggal (33 plot).
Komposisi tunggal dapat diartikan: i) konsosiasi dengan nilai INP = 300 terdiri dari
25 plot transek, yaitu jenis L. racemosa (2 plot), R. apiculata (13 plot), dan X.
granatum (10 plot), sementara 8 plot lainnya memiliki nilai INP kurang dari 300 (8
plot), hal tersebut terjadi akibat proses eliminasi sebelumnya.
26

Gambar 9 Jumlah komposisi jenis pohon mangrove terhadap jumlah plot transek
Ilustrasi skema komunitas mangrove di Sungai Kembung disajikan melalui
dendogram (Gambar 10). Dendogram adalah diagram pohon yang digunakan untuk
menggambarkan susunan klaster dan dihasilkan oleh gerombol hirarki. Sebuah
rincian hirarki berdasarkan dendogram suatu komunitas berguna untuk
mendefinisikan tingkatan deskriptif yang berbeda. Jarak Bray-Curtis yang
digunakan adalah 50%, artinya setiap komunitas mangrove yang dibangun
memiliki kemiripan komponen penyusun minimal 50%. Jarak kemiripan yang
digunakan lebih rendah dibandingkan dengan Mumby dan Harborne (1999) dan
Green et al. (2000) yang menggunakan nilai jarak kemiripan sebesar 60% – 65%
dalam mengembangkan habitat lamun, terumbu karang dan mangrove. Green et al.
(2000) menambahkan bahwa tidak ada metode pengelompokkan yang sempurna,
mengingat ragam metode analisis gerombol cukup banyak dan lokasi pengamatan
bervariasi dan keputusan yang dibuat terkadang subjektif terhadap
pengelompokkan lokasi pengamatan.

Gambar 10 Dendogram skema komunitas mangrove. Angka pada dendogram


menunjukan kelas komunitas mangrove
27

Kemiripan 50% hanya mampu memfasilitasi satu tingkatan skema komunitas


mangrove dengan 12 kelas komunitas mangrove. Kelas dengan jumlah anggota
terbanyak adalah kelas 1 dan diikuti oleh kelas 2. Empat kelas memiliki satu
anggota (kelas 6, 7, 10 dan 11), sedangkan kelas lainnya memiliki jumlah anggota
lebih dari dua dan kurang dari tujuh anggota (Gambar 11).

Gambar 11 Jumlah anggota kelas komunitas mangrove. Angka di atas diagram


batang merupakan jumlah anggota

Pendefenisian Komunitas Mangrove


Penelitian ini menggunakan parameter ekologi yaitu indeks nilai penting
(INP) dalam membangun komunitas mangrove. Sementara itu peneliti lain
menerapkan beberapa data struktur vegetasi berupa: tinggi dan kondisi (Kovacs et
al. 2011; Kamal et al. 2014), tinggi dan jenis mangrove (Pellegrini et al. 2009),
skema kerapatan (Nayak dan Bahuguna 2001). Penggunaan parameter ekologi
dalam pengembangan skema klasifikasi diistilahkan dengan skema struktur. Skema
ini menggunakan atribut struktural yang mencirikan jumlah jaringan fotosintesis
dan biomasa. Klasifikasi struktural akan lebih mudah digabungkan dengan
interpretasi foto udara dan berbagai macam sensor penginderaan jauh (Saenger
2002). Umumnya atribut yang digunakan diperoleh dari hasil pengukuran transek
(transek plot dan plotless), pengukuran dilakukan terhadap diameter batang setinggi
dada (DBH), tinggi pohon, basal area, kondisi pohon (hidup atau mati) dan
informasi lainnya yang dihasilkan dari pengumpulan data lapangan seperti rata-rata
ketinggian, rata-rata DBH, kerapatan serta dominansi.
Tidak dijumpai standarisasi penamaan kelas komunitas mangrove yang baku
dan hal tersebut memberikan peluang bagi para peneliti mengadaptasikan
penamaan sesuai dengan kondisi lapangan. Beberapa penamaan yang telah
digunakan sebelumnya: menggunakan nama spesies dominan yang dijumpai dari
hasil pengamatan lapangan (Lucas et al. 2003; Vaiphasa et al. 2006; Ajithkumar
et al. 2008; Neukermans et al. 2008; Chakravortty dan Choudhury 2012; Koedsin
dan Vaiphasa 2013) atau penggunaan nama umum (common name) khususnya di
28

daerah Panama, Ekuador (Wang et al. 2004b; Wang dan Sousa 2009; Heumann
2011a) mencantumkan nama ilmiah, seperti: red mangrove (Rhizophora
mangle), black mangrove (Avicennia germinan) dan white mangrove (Luguncularia
racemosa), penamaan kelas di Malaysia memberikan nama kelas berdasarkan nama
lokal seperti: bakau kurap (Rhizophora apiculata), bakau minyak (Rhizophora
mucronata) dan kelas lainnya (Kanniah et al. 2007). Penamaan kelas juga
menggabungkan satu atau lebih nama genus mangrove (Kasawani et al. 2010),
seperti Acanthus-Sonneratia, Avicennia-Sonneratia, Avicennia, Sonneratia
campuran dan campuran. Penamaan kelas komunitas mangrove dalam penelitian
mengunakan nama spesies yang berkontribusi besar dalam penyusun komunitas
mangrove.
Kelas skema klasifikasi yang dapat diterapkan pada cita satelit adalah kelas
yang memiliki jumlah anggota kelas minimal 4% dari total jumlah sampel. Hanya
2 kelas saja yang mampu memenuhi jumlah minimal tersebut, yaitu kelas 1 (33
anggota) dan 2 (93 anggota). Kelas 3 (6 anggota) memiliki anggota lebih dari 4%
namun jumlah tersebut tidak layak diterapkan seluruhnya pengelompokan citra
satelit. Jika hanya 2 kelas yang digunakan, 28 anggota tersisa dan tidak dapat
digunakan, maka kelas-kelas tersebut digabungkan menjadi satu kelas tersendiri,
meskipun konsekuensi nilai kemiripan anggota kelas lebih rendah. Pada akhirnya
terdapat 3 kelas komunitas mangrove di Sungai Kembung, kelas 1 adalah komunitas
Rhizopora apiculata (Ra), kelas 2 adalah komunitas Xylocarpus granatum (Xg) dan
kelas 3 adalah komunitas lainnya (La) (Gambar 12).
Kelas komunitas 1 (Ra) dibangun oleh enam spesies mangrove yaitu R.
apiculata, X. granatum, L. racemosa, S. hidrophyllacea, B. haenesii, B gymnorhiza.
R. apiculata memiliki kontribusi paling besar (97.81%) dalam membangun
komunitas, dan sisanya merupakan kontribusi komponen lainnya. Kemiripan plot
penyusun komunitas ini adalah 72.28%. Kelas 2 (Xg), dibangun oleh seluruh
spesies komunitas. X. granatum merupakan kontributor terbesar dalam membangun
komunitas ini (89.11%) dan sisanya merupakan kontribusi dari 9 spesies lainnya.
Kemiripan plot penyusun kelas ini lebih rendah dibandingkan kelas 1, yaitu
68.93%. Kelas 3 (La) dibangun oleh hampir seluruh spesies mangrove kecuali B.
gymnorhiza. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh keberadaan L. racemosa
(36.57%), X. granatum (25.68%), B. haenesii (11.68%) dan sisanya dibangun oleh
spesies lainnya. Kemiripan antar plot penyusun paling rendah yaitu 20.60%, karena
komunitas ini dibangun dari gabungan 10 kelas komunitas mangrove. Keberadaan
spesies-spesies yang memiliki kontribusi terbesar dalam setiap komunitas yang
dibangun dapat menjadi penciri pada komunitas tersebut.
Secara deskriptif skema klasifikasi hirarki mampu memfasilitasi penerapan
penginderaan jauh, namun keterbatasan data penginderaan jauh mempengaruhi
penyerapan skema tersebut (Mumby dan Harborne 1999). Beberapa keterbatasan
itu di antaranya: i) Kemampuan resolusi spektral yang terbatas, umumnya
kemampuan resolusi data multispektral terbatas pada panjang gelombang biru,
hijau, merah dan inframerah dekat. Meskipun beberapa sensor telah memiliki lebih
dari itu (Landsat 8 OLI dan WorldView-2). Mumby dan Harborne (1999)
menyatakan data multispektral memiliki kemampuan memisahkan habitat dengan
baik pada tingkatan kasar, ii) Biaya yang mahal dalam penggunaan data dengan
resolusi (spektral, spasial dan temporal) yang lebih baik, untuk memetakan habitat
yang lebih detail. Skema klasifikasi yang dijelaskan dalam tulisan ini, diyakini telah
29

mewakili semua komunitas mangrove di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis.


Namun skema ini tidak dapat diterapkan pada kawasan lainnya, mengingat
komunitas mangrove dipengaruhi banyak faktor seperti yang dijelaskan dengan
rinci oleh Kathiresan dan Bingham (2001); Saenger (2002); dan Tomlinson (1986).

Gambar 12 Persentase kontribusi spesies mangrove dalam menyusun kelas


komunitas mangrove. Angka pada sumbu X merupakan urutan kelas.
Bc= Bruguiera cylindrical, Bg= Bruguiera gymnorhiza, Bh= Bruguiera
hainesii, Ct= Ceriops tagal, Ea= Excoecaria agallocha, Lr=
Lumnitzera racemosa, Ra= Rhizophora apiculata, Rm= Rhizophora
mucronata, Sh= Scyphiphora hidrophyllacea, Xg=Xylocarpus
granatum

Simpulan

Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan


mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove
ikutan. Xylocapus granatum dan Rhizophora apiculata merupakan spesies penting
penyusun komunitas mangrove. Mangrove di Sungai Kembung dikategorikan
sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat.
Berdasarkan hirarki, hanya satu tingkatan skema klasifikasi komunitas
mangrove yang dapat dikembangkan. Skema tersebut terdiri dari 12 kelas
komunitas dan hanya tiga kelas dominan yang dapat diterapkan pada pemetaan
komunitas mangrove, yaitu: (1) komunitas Rhizophora apiculata (Ra), 33 sampel
(2) komunitas Xylocarpus granatum (Xg), 93 sampel dan (3) komunitas Lainnya
(La), 28 sampel.
30

4 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK DAN


BERBASIS PIKSEL DENGAN ALGORITMA RANDOM
FOREST UNTUK PEMETAAN MANGROVE

Pendahuluan

Heumann (2011b) dan Kuenzer et al. (2011) menyimpulkan bahwa teknik


pemetaan mangrove menggunakan aturan/algoritma klasifikasi berbasis piksel
merupakan teknik yang paling sering diterapkan. Wang et al. (2008) memetakan
spesies mangrove berdasarkan tutupan kanopi yang berasasal dari Citra IKONOS
dengan beberapa teknik klasifikasi berbasis piksel seperti back-propagation neural
network classifier, clustering-based neural network classifier dan maximum
likelihood (ML). Nandy dan Kushwaha (2011) memetakan empat kelas mangrove
(Avicennia, Phoenix, mangrove campuran dan mangrove pendek) di Cagar
Biosphere Sunderban menggunakan Citra IRS 1D LISS-III dengan teknik
klasifikasi terbimbing (maximum likelihood), tidak terbimbing (ISODATA) dan
interpretasi visual. Algoritam ML juga diterapkan oleh Alsaaideh et al. (2013)
dalam memetakan mangrove di bagian selatan Jepang menggunakan Citra Landsat
7 ETM+ dan data digital elevation model (DEM). Berbagai penelitian melaporkan
akurasi pemetaan berbasis piksel berkisar 75%-90% (Heumann 2011a), namun
teknik tersebut masih menyisakan beberapa permasalahan misalnya kemiripan
spekral antara mangrove dengan vegetasi lain yang berada di sekitarnya dan dapat
menghadirkan efek salt and pepper (Whiteside dan Ahmad 2005). Benfield et al.
(2005) melaporkan bahwa daerah intertidal masih susah dipisahkan dengan
mangrove dan mengakibatkan rendahnya akurasi produser mangrove. Al Habshi et
al. (2007) menyatakan bahwa spektral citra yang digunakan tidak mampu
memisahkan mangrove dari vegetasi lainnya, masih dijumpai kumpulan kecil
tanaman di sekitar permukiman dikelompokkan menjadi mangrove.
Hadirnya metode klasifikasi berbasis objek yang merupakan pendekatan
alternatif terhadap metode berbasis piksel yang selama ini digunakan. Klasifikasi
berbasis objek berupaya membangun objek yang “memiliki arti” melalui proses
segmentasi citra berdasakan kelompok piksel dengan karakteristik yang serupa
sesuai sifat spektral dan spasial (Liu et al. 2006). Unit analisis klasifikasi ini adalah
objek hasil segmentasi, setiap objek memiliki fitur atribut yang berasal dari statistik
spektral seperti rata-rata band spektral dan deviasi, informasi spasial seperti tekstur
citra yang dapat digunakan pada analisis lebih lanjut termasuk klasifikasi citra (de
Santiagoa et al. 2013). Metode klasifikasi berbasis objek telah diterapkan pada
kajian-kajian pemetaan mangrove, Wang et al. (2004a) menggunakan metode
klasifikasi hibrid berbasis piksel dan berbasis objek memetakan mangrove dengan
Citra IKONOS. Heumann (2011a) memetakan mangrove secara hibrid
menggunakan teknik segmentasi dan aturan klasifikasi support vector machine
(SVM). Vo et al. (2013) menggunakan teknis kontektual dalam klasifikasi berbasis
objek memetakan mangrove Ca Mau, Vietnam. Sejumlah penelitian lainnya
membuktikan bahwa metode klasifikasi berbasis objek lebih baik dibandingkan
klasifikasi berbasis piksel (Ali et al. 2009; Whiteside et al. 2011; Duro et al.
2012).
31

Algoritma pengelompokkan data yang dikembangkan untuk penginderaan


jauh mulai dari algoritma klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised) seperti
ISODATA, K-mean, algoritma parametrik seperti ML hingga algoritma machine
learning seperti artificial neural network, decision tree, support vector machine dan
algoritma yang bersifat ensembles (Rodriguez-Galiano et al. 2012b). Teknik
klasifikasi ensambles memberikan hasil akurasi yang lebih baik dibandingkan
teknik klasifikasi machine learning lainnya karena merupakan aksi sekumpulan
algoritma klasifikasi (Ghimire et al. 2010). Salah satu teknik klasifikasi ensemble
adalah random forest (RF), penerapannya dalam bidang penginderaan jauh untuk
memetakan penutup lahan mulai banyak diterapkan (Rodriguez-Galiano et al.
2012a; Ghosh et al. 2014; Van Beijma et al. 2014). Namun penerapan algoritma
RF dalam memetakan penutup lahan mangrove khusunya komunitas mangrove
masih minim dilakukan, selain itu kajian-kajian menggunakan algoritma RF
umumnya menggunakan teknik klasifikasi berbasis piksel dan menggabungkannya
dengan aplikasi statistik seperti R (Rodriguez-Galiano et al. 2012b; Ghosh et al.
2014). Penerapan RF menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek masih jarang
dikaji dalam pemetaan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan
komunitas mangrove dengan berbagai input image layer (IIL) menggunakan teknik
klasifikasi berbasis objek (algoritma RF) dan membandingkannya dengan metode
klasifikasi berbasis piksel (algoritma ML).

Metode

Pengumpulan Data
Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari: (i)
Landsat 5 TM, (ii) SPOT 6 multispektral, (iii) SPOT 6 pankromatik, (iv) ALOS
PALSAR dan (v) SENTINEL-1.
Skema klasifikasi penutup lahan mengacu BSN (2010), yaitu kebun kelapa
(KA), kebun karet (KT), semak belukar (SB), vegetasi transisi mangrove (TO),
mangrove (ME), lahan terbuka (LT), lahan terbangun (LN), badan air (BA).
Pengamatan lapangan kelas penutup lahan dibantu menggunakan citra satelit
resolusi tinggi yang merupakan fusi citra (Aiazzi et al. 2006) multispektral SPOT
6 (6 meter) dan pankromatik SPOT 6 (1.5 meter). Penentuan posisi sampel
menggunakan alat penentu posisi (GPS) Trimble JUNO SB yang dilengkapi dengan
aplikasi ArcPAD versi 10. Mengingat akses yang terbatas, maka pengamatan
penutup lahan hanya dilakukan sekitar 500 m dari perbatasan mangrove. Sebanyak
469 titik pengamatan dibuat secara acak menggunakan ArcGIS Desktop. 176 di
antaranya digunakan training area dan 293 digunakan untuk uji akurasi hasil
pemetaan masing-masing penutup lahan.

Pengolahan Citra Satelit


Pengolahan data dalam penelitian terdiri dari: (i) pra pengolahan, (ii)
karakterisasi spektral citra multispektral, (iii) optimasi parameter pembangkit
objek, (iv) klasifikasi (berbasis objek dan piksel) dan (v) validasi hasil klasifikasi.
32

Karakterisasi Spektral Citra Multispektral Sebuah uji statistik digunakan untuk


membedakan respon spektral dari penutup lahan dan komunitas mangrove di
Sungai Kembung, dan diharapkan terdapat minimal satu pasangan di antaranya
terdapat perbedaan secara statistik untuk setiap band, hipotesis nol (H0) µ1=µ2,...
µ3 dan hipotesis alternatif (Ha): µ1≠ µ2,…µ3 merupakan reflektansi rata-rata dari
komunitas ke-i (i=1,2,3). Hipotesis diuji menggunakan one way ANOVA (analysis
of variace/analisis sidik ragam) pada setiap band dengan tingkat kepercayaan 95%
dan 99% (α= 0.05 dan α= 0.01). Tujuan analisis sidik ragam adalah untuk
memvisualisasikan perbedaan spektral antara kelas penutup lahan dan komunitas
mangrove. Uji tersebut dilakukan sebagai pengganti penyajian grafik respon
spektral, karena penyajian langsung secara grafis kurang efektif membandingkan
antar kelas, dengan kata lain variasi spektral di antara komunitas yang disebabkan
oleh tumpang tindih spektral susah dibedakan di antara komunitas tersebut.
Penggunaan uji sidik ragam membantu untuk menentukan spektral yang tidak
responsif dimana nilai-p lebih lesar dari α. Analisis ini merupakan cara cepat untuk
mengetahui perbedaan sepktral (Vaiphasa et al. 2005), kemudian dilanjutkan
dengan uji Duncant new multiple range test (MRT) (Harter 1960), untuk
menentukan nilai kritikal (signifikansi).
Separabilitas spektral Uji ANOVA merupakan perangkat ekplorasi data, namun
hasil uji tersebut sebaiknya diuji lanjut dengan perlakuan lain. Vaiphasa et al.
(2005) menggunakan separabilitas spektral citra satelit yang digunakan untuk
mengetahui indeks separabilitas setiap pasangan komunitas mangrove guna
menjamin perbedaan aktual antara komunitas mangrove.
Indeks separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah jarak
Jeffries-Matusita (J-M). Jarak J-M menghasilkan nilai antara 0 dan 2 (Vaiphasa et
al. 2005). Nilai lebih besar sama dengan 1.9 mengindikasikan apakah dua
komunitas mangrove dapat dipisahkan secara spektral. Perhitungan jarak J-M
berdasarkan persamaan:

𝐽 − 𝑀𝑖𝑗 = √2(1 − 𝑒 −a ) (12)


dimana
1 𝑇 𝐶𝑖 +𝐶𝑗 −1 1 1⁄ |𝐶 +𝐶 |
2 𝑖 𝑗
𝑎 = 8 (𝜇𝑖 − 𝜇𝑗 ) ( ) (𝜇𝑖 − 𝜇𝑗 ) + 2 𝑙𝑛 ( ) (13)
2
√|𝐶𝑖 |𝑥|𝐶𝑗 |

i dan j merupakan respon spektral dari dua kelas penutup lahan atau komunitas
mangrove yang dibandingkan; C merupakan matrik kovarian dari respon spektral;
µ merupakan vektor rata-rata respon spektral; ln merupakan fungsi logaritma
natural; T merupakan fungsi transposisi; dan |C| adalah determinan dari C.
Optimasi parameter pembangkit objek (segmentasi) Segmentasi citra
merupakan fungsi prinsip yang memisahkan citra menjadi kawasan-kawasan
terpisah atau objek berdasarkan parameter yang telah ditentukan, karena itu dapat
meminimalkan variabilitas di antara objek. Segmentasi dapat dilakukan lebih dari
satu jenis data (Nascimento Jr et al. 2013).
Parameter segmentasi terdiri dari tiga parameter, yaitu: shape, compactness,
dan scale. Nilai yang digunakan oleh parameter shape dan compactness berkisar 0-
1. Faktor shape mengatur homogenitas spektral dan bentuk objek. Faktor
compactness menyeimbangkan kekompakan dan kehalusan, menentukan bentuk
33

objek antara batas yang halus dan tepi yang kompak. Parameter scale mengatur
ukuran objek yang sesuai dengan kebutuhan pengguna berdasarkan tingkat
kedetailan dan merupakan parameter kunci dalam segmentasi citra. Keputusan nilai
skala tergantung pada ukuran objek yang dibutuhkan. Pengguna juga diberikan
kesempatan untuk memberikan bobot yang berbeda pada setiap layer input yang
digunakan pada proses segmentasi (Myint et al. 2008).
Secara prinsip, parameter scale tidak terbatas. Keputusan akhir dinyatakan
oleh pengguna berdasarkan interpretasi visual terhadap citra dibandingkan kriteria
kuantitatif. Penentuan nilai parameter skala maksimal merupakan suatu tantangan
tersendiri, dalam kajian ini hanya digunakan beberapa kombinasi parameter
pembangkit objek, mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pengujian
seluruh nilai dalam memperoleh nilai optimum (Myint et al. 2008). Optimasi
parameter pembangkit objek dilakukan terhadap beberapa kombinasi nilai
parameter yang sering digunakan. Parameter yang diuji terdiri dari: i)
multiresolution segmentation (MRS), terdiri dari scale (SC), shape (SH),
compactness (CO) dan ii) spectral different algoritm (SDA), hanya menggunakan
parameter scale (Tabel 11).
Tabel 11 Parameter segmentasi yang diujikan untuk memperoleh nilai parameter
terbaik
No Segmentasi Parameter
Scale Shape Compactness
1 MRS 5 0.1 0.9
10 0.5 0.5
30 0.1 0.9
50
100
150
200
300
500
1000
2 SDA 5
10
30
50
75

Optimasi parameter RF RF merupakan kombinasi sejumlah k pohon keputusan


(classification and regression tree/CART) non-parametrik. Pohon keputusan mirip
dengan hirarki, yang terdiri dari simpul akar, termasuk seluruh contoh, simpul
pemisah yang memiliki aturan keputusan dan simpul daun akhir, yang
merepresentasikan kelas-kelas yang diinginkan. RF menggabungkan metode
bagging (bootstrap aggregating) (Breiman 1996) dan pemilihan fitur secara acak
(random feature selection) untuk membangun pohon keputusan dengan varian yang
terkontrol. Pemilihan mayoritas mengkombinasikan hasil dari pohon keputusan k,
dalam menghasilkan klasifikasi akhir. Setiap pohon pada RF dilatih menggunakan
34

subset data latihan yang dipilih secara acak (sekitar sepertiga dari jumlah data).
Data latihan lainnya, dinamakan out-of-bag (OOB), mampu melakukan validasi
silang seperti melakukan uji akurasi melalui estimasi kesalahan OOB. Aturan
pemisahan RF berdasarkan sebuah subset m dari seluruh fitur n, nilai m ditentukan
oleh pengguna m < n (Breiman 2001)
Parameter RF yang diuji adalah jumlah maksimum kedalaman pohon (depth),
jumlah minimum sampel setiap simpul (minimum number of sample per
node/sample), dan jumlah maksimal pohon (max tree number/tree) (Tabel 12)
Pengujian mengikutkan nilai parameter segmentasi terbaik. Sebelum teknik
klasifikasi diterapkan, dilakukan pengujian terhadap beberapa parameter
pembangkit objek (segmentasi) dan parameter algoritma RF. Optimasi hanya
dilakukan terhadap IIL M8 dan hasilnya diterapkan pada IIL M7, M8, M9 dan M10.
Sementara IIL M1, M2, M3, M4, M5 dan M6 parameter yang digunakan mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015b).
Tabel 12 Nilai-nilai parameter algoritma RF yang diujikan
Parameter
No
Depth Node Tree
1 0 1 100
2 1 2 200
3 2 3 300
4 3 4 400
5 4 5 500
6 5 6 600
7 6 7 700
8 7 8 800
9 8 9 900
10 9 10 1000
11 10 20
12 20 50
13 50 100
14 100 200
15 200 500
16 500 1000
17 1000

Klasifikasi berbasis objek


Input Image Layer (IIL) IIL merupakan sekumpulan data yang terdiri dari
sejumlah band citra satelit yang digunakan. Penelitian ini menggunakan model IIL
yang berasal dari Citra Landsat 5 TM (L5), SPOT 6 (S6), SPOT 6 yang telah difusi
dengan pankromatik (S6+Pan), ALOS PALSAR (PALSAR) dan SENTINEL-1
(Tabel 13 ). IIL berperan sebagai sumber pembangkit objek dalam proses
segmentasi dan sumber fitur atribut dalam implementasi algoritma klasifikasi RF.
IIL dibangun melalui proses stacking (Tso dan Mather 2009), sebuah proses
penumpukan sejumlah layer berdasarkan input (band) yang digunakan dan
disimpan menjadi sebuah dataset baru.
35

Tabel 13 Model IIL dalam klasifikasi berbasis objek dan piksel


Model Komposisi layer/band Res. spasial
M1 PALSAR HH HV 12.5
M2 SENTINEL-1 VV VH 10
M3 L5 B H M IMD 30
M4 L5 + PALSAR B H M IMD HH HV 30; 12.5
M5 L5 B H M IMD IMM IMJ 30
M6 L5 + PALSAR B H M IMD IMM IMJ HH HV 30; 12.5
M7 S6 B H M IMD 5
M8 S6 + SENTINEL-1 B H M IMD VV VH 5; 10
M9 S6 + Pan B H M IMD 5
M10 S6 + Pan + SENTINEL-1 B H M IMD VV VH 5; 10
Keterangan: B: Biru; H: Hijau; M: Merah; IMD: Inframerah dekat; IMM: Inframerah tengah; IMJ:
Inframerah jauh; HH: Horisontal-horisontal; HV: Horisontal-vertikal; VV: Vertikal-vertikal; VH:
Vertikal-horisontal. Res. Spasial: resolusi spasial citra yang digunakan

Fitur atribut Fitur atribut merupakan sekumpulan nilai yang berasal dari
spektral segmentasi dari setiap IIL yang digunakan. Nilai tersebut dapat berupa nilai
statistik dasar seperti rata-rata, minimum, maksimum, standar deviasi. Nilai fitur
atribut dapat berasal dari fungsi customize. Penelitian ini menggunakan fitur
customize NDVI dan NDWI dan beberapa fitur statistik lainnya (Tabel 14).
Tabel 14 Fitur objek yang digunakan sebagai parameter dalam klasifikasi RF
Fitur atribut
No Input model Customize
M SD MDN
NDVI NDWI
1 M1 - - + + +
2 M2 - - + + +
3 M3 + + + + +
4 M4 + + + + +
5 M5 + + + + +
6 M6 + + + + +
7 M7 + + + + +
8 M8 + + + + +
9 M9 + + + + +
10 M10 + + + + +
Keterangan: M: rata-rata, Sd: standar deviasi, MDN: mean different to neighbour; +: menggunakan;
-: tidak menggunakan.

Pohon proses Klasifikasi berbasis objek diatur pada dua tingkatan (level).
Tingkatan pertama diterapkan pada klasifikasi penutup lahan mangrove dan
tingkatan kedua klasifikasi komunitas mangrove. Kedua tingkatan dihubungkan
oleh sebuah hubungan ‘induk dan anak’ (parent child relationship). Hubungan
tersebut membangun hirarki antara kelas mangrove terhadap komunitas mangrove.
Seluruh perintah klasifikasi berbasis objek dikelola oleh sebuah modul dengan
nama pohon proses (process tree) (Gambar 13). Pohon proses dapat terdiri dari satu
36

pohon atau lebih dari pohon induk (parent) dan setiap pohon induk dapat memiliki
lebih dari satu anak (child) dan setiap child dapat memiliki child turunannya, begitu
seterusnya. Parent dapat mengeksekusi proses yang ada di dalam atau di bawahnya,
sementara kemampuan child hanya terbatas pada algoritma yang ada di dalamnya.
Tidak ada ketentuan yang baku dalam pengembangan pohon proses ini, mengingat
eCognition Developer memiliki banyak algoritma yang dapat dikombinasikan satu
sama lainnya untuk mendapatkan objek yang diinginkan.

Gambar 13 Pohon proses yang berfungsi mengelola aturan klasifikasi berbasis


objek
Pohon proses yang dikembangkan, terdiri dari beberapa aturan utama (rules
set) yaitu: i) segmentasi, terdiri dari algoritma multiresolution segmentation dan
spectral different algorithm, chessboard segmentation ii) membangun skema kelas
yang berasal dari data tematik (shapefile) dengan algoritma assign class from
thematic layer dan iii) penerapan algoritma klasifikasi RF, algoritma yang
digunakan adalah classifier. Algoritma tersebut melatih objek yang telah ditetapkan
sebagai training area dan mengeksekusi aturan klasifikasi.
Klasifikasi berbasis piksel Klasifikasi berbasis piksel menggunakan algoritma
maximum likelihood (ML). ML merupakan metode klasifikasi terbimbing
berbasiskan teorema Bayes (objek homogen selalu menampilkan histogram yang
terdistribusi normal). ML menggunakan fungsi diskriminan (kerapatan
probabilitas/probability density). Pada saat klasifikasi, seluruh piksel yang belum
37

terkelaskan diatur menjadi anggota kelas yang telah ditentukan berdasarkan


kemunculan probabilitas tertinggi pada setiap kelas. Jika nilai probabilitas suatu
kelas lebih kecil dari nilai ambang batas yang ditentukan maka, piksel tersebut tidak
dikelompokkan (Jensen 2005; Richards 2013). Fungsi diskriminan ML dapat
dinyatakan sebagai berikut:

𝑔𝑖 = 𝑙𝑛 𝑝(𝜔𝑖 ) − 1⁄2 𝑙𝑛|∑𝑖 | − 1⁄2 (𝑥 − 𝑚𝑖 )𝑇 ∑−1


𝑖 (𝑥 − 𝑚𝑖 ) (14)

i adalah kelas, x adalah data dimensi-n (n adalah jumlah band), 𝑝(𝜔𝑖 ) adalah
probabilitas kehadiran kelas 𝜔𝑖 ada pada seluruh data dan diasumsikan sama pada
seluruh kelas, Σi matrik kovarian pada kelas 𝜔𝑖 , Σ𝑖 -1 adalah matrik invers dan mi
adalah vektor rata-rata.
Klasifikasi berbasis piksel pada tidak mengenal tingkatan (level), namun
penelitian ini merujuk teknik klasifikasi berbasis objek, selanjutnya istilah level
diganti dengan tahapan. Dua tahapan diterapkan, tahapan pertama adalah klasifikasi
penutup lahan dan tahapan kedua adalah klasifikasi komunitas mangrove
berdasarkan distribusi mangrove yang dihasilkan oleh tahapan pertama.
IIL klasifikasi berbasis piksel menggunakan IIL klasifikasi berbasis objek.
Agar perbandingan hasil klasifikasi lebih adil, maka training area algoritma ML
berasal dari training algoritma RF.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Spektral
Reflektansi spektral permukaan penutup lahan Reflektansi spektral permukaan
kelas penutup lahan Citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM disajikan pada Gambar 14.
Kelas penutup lahan yang merupakan kelompok vegetasi seperti kebun karet (KT),
kebun kelapa (KA), mangrove (ME), semak (SK) dan vegetasi transisi (TI)
memiliki pola yang sama dengan intensitas yang berbeda. Panjang gelombang biru
memiliki nilai reflektansi paling rendah, selanjutnya reflektansi meningkat pada
panjang gelombang hijau dan turun kembali pada panjang gelombang merah.
Reflektansi meningkat tajam dan mencapai puncaknya pada panjang gelombang
inframerah dekat (IMD). Khusus citra Landsat 5 TM, fungsi reflektansi masih dapat
divisualisasikan melalui panjang gelombang inframerah tengah (IMM) dan jauh
(IMJ) yang cenderung menurun.
38

Gambar 14 Kurva reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan a. Citra


SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM. BA: badan air, KA:
kebun kelapa, KT: Kebun karet, LA: Lahan terbuka, LN: Lahan
terbangun, SK: Semak belukar, dan TI: Vegetasi transisi
Reflektansi kelas lahan dibangun (LN) dan lahan terbuka (LA) memiliki pola
yang sama. Kecenderungan reflektansi meningkat seiring dengan bertambah
panjangnya panjang gelombang dan menurun pada panjang gelombang IMM dan
IMJ namun dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas penutup
lahan KT, KA, ME SK dan TI. Reflektansi kelas badan air (BA) memiliki pola yang
berbeda dengan kelas lainnya, nilai reflektansinya cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan kelas penutup lahan lainnya. Panjang gelombang biru
memiliki reflektansi air paling tinggi dibandingkan panjang gelombang lainnya.
Kecenderungan reflektansi air menurun seiring dengan bertambahnya panjang
gelombang.
Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa reflektansi spektral Citra SPOT
6 merupakan faktor penentu kelas penutup lahan (r2=69.51%) sedangkan reflektansi
spektral citra Landsat 5 TM lebih baik lagi (r2=77.97%). Berdasarkan tabel analisis
39

sidik ragam kedua citra diperoleh nilai F hitung SPOT 6 (4.7874); Landsat 5 TM
(10.3242), keduanya lebih besar dari pada F tabel, maka hasil analisis ini menolak
hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif bahwa ada perbedaan reflektansi
spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam analisis ini dapat dinyatakan
terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang berbeda nyata pada taraf 95% (p
<0.05).
Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok reflektansi
spektral yaitu kelompok spektral tampak (Band 1, 2 dan 3) yang tidak berbeda nyata
dan kelompok spektral beda nyata dengan spektral lainnya yaitu IMD. Spektral
tersebut dapat dijadikan sebagai penciri Citra SPOT 6, sementara citra Landsat
terdapat tiga kelompok spektral yaitu kelompok reflektansi spektral Band 1, 2, 3
dan 6 berbeda nyata terhadap Band 5 dan berbeda nyata terhadap Band 4.
Reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan dari citra SPOT 6
dikelompokan menjadi tiga, yaitu kelompok lahan dibangun (LN), sementara kelas
mangrove (ME) memiliki karakter reflektansi spektral yang sama dengan kelas
penutup lahan kebun karet (KT), kebun kelapa (KA), vegetasi transisi (TI) dan
lahan terbuka (LA), kelompok lainnya adalah badan air (BA) dan semak belukar
(SK). Karakteristik spektral citra Landsat 5 TM sedikit berbeda, terdiri dari:
kelompok lahan terbangun (LN), semak (SK), kebun karet (KT) dan lahan terbuka
(LA), kelas mangrove memiliki karakteristik reflektansi spektral yang sama dengan
vegetasi transisi (TI) dan kebun kelapa (KA), sedangkan badan air memiliki
karakteristik yang berbeda dengan penutup lahan lainnya.
Reflektansi spektral vegetasi merupakan fungsi optik jaringan (daun, batang
kayu) atribut biofisik kanopi (daun, orientasi daun dan gerombolan daun),
reflektansi daun, kondisi pencahayaan dan posisi geometri. Penginderaan jauh
vegetasi tergantung dari ekosistem (padang rumput, semak belukar, hutan) yang
diamati. Struktur atribut ekosistem menentukan kontribusi relatif reflektansi
spektral, yaitu daun, kanopi dan penutup lahan (Asner 1998). Molekul yang
menyerap panjang gelombang tampak (350-700 nm) dinamakan pigmen. Puncak
reflektansi pada gelombang tampak berada pada panjang gelombang hijau biasanya
10-20 %, sementara reflektansi rendah berada spektrum gelombang biru dan merah
sekitar 2-5 %. Daun hijau yang sehat, reflektansi inframerah dekat bertambah secara
dramatis pada spektrum 700-1200 nm. Reflektansi dapat mencapai 76% dan
menyerap panjang gelombang biru dan merah secara efisien, karena digunakan
untuk fotosintesis. Komponen yang mengatur jumlah reflektansi inframerah dekat
adalah lapisan spongi mesofil, layer ini berada di bawah layer palaside. Reflektansi
inframerah dekat dapat mencapai 40-60 % dan penyerapan hanya sekitar 5-10%
(Jensen 2007).
Reflektansi spektral permukaan komunitas mangrove Reflektansi spektral
komunitas mangrove disajikan pada Gambar 15. Pola reflektansi komunitas
mangrove mirip dengan pola reflektansi spektral vegetasi yang telah dijelaskan
pada reflektansi vegetasi penutup lahan. Kurva reflektansi spektral menyajikan
seluruh kelas yang dihasilkan dari pengembangan skema klasifikasi.
Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat
antara reflektansi spektral terhadap kelas komunitas mangrove. Citra SPOT 6 dapat
menentukan hubungan tersebut sebesar 99.81% sementara Citra Landsat 5 TM
sebesar 99.65%. Berdasarkan tabel analisis sidik ragam diperoleh nilai F hitung
lebih besar (629.18 (SPOT 6) dan 404.72 (Landsat 5 TM) dari pada F tabel
40

(0.0001), maka hasil analisis ini menolak hipotesis awal dan menerima hipotesis
bahwa ada perbedaan reflektansi spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam
analisis ini dapat dinyatakan terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang
berbeda nyata pada taraf 95% (p <0.05).

Gambar 15 Kurva reflektansi spektral komunitas mangrove di Sungai Kembung.


a.Citra SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM
Uji Duncan menyatakan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata reflektansi
spektral citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM. Citra SPOT 6 menyatakan bahwa setiap
spektral band Citra SPOT 6 berbeda nyata satu sama lainnya, sementara pada citra
Landsat 5 TM terdapat empat kelompok pembeda yaitu band IMD; IMM; kelompok
band hijau, merah, biru; dan kelompok IMJ, sementara tidak ada perbedaan nyata
respon reflektansi spektral permukaan di antara tiga kelas komunitas mangrove
pada kedua citra satelit yang digunakan.
Vaiphasa et al. (2005), menyatakan bahwa pigmen daun (klorofil dan
karotenoid) mangrove yang berinteraksi pada panjang gelombang tampak (380-759
nm) kurang memberikan pengaruh terhadap diskriminasi spesies mangrove
41

dibandingkan dengan respon spektral komponen daun lainnya (garam, gula, air,
protein, lignin, selulosa dan struktur daun) yang berinteraksi dengan energi
elektromagnetik pada panjang gelombang yang lebih panjang. Wang dan Sousa
(2009) menambahkan bahwa panjang gelombang yang paling penting dalam
mendiskriminasi spesies mangrove berada pada panjang gelombang inframerah
dekat plateau dari 780-810 nm dan perbandingan panjang gelombang shortwave
infrared (SWIR) yaitu pada panjang gelombang 1490, 1560 dan 1580 nm, juga
mampu meningkatkan pemisahan spesies mangrove, khususnya spesies A.
germinans, L. racemosa dan R. mangle.
Separabilitas Uji separabilitas dilakukan terhadap penggunaan seluruh band
SPOT 6 dan Landsat 5 TM dan harus memisahkan sebanyak 28 pasangan kelas
penutup lahan (Tabel 15). Hasil seperabilitas citra SPOT 6 mampu memisahkan 21
pasang kelas penutup lahan. Tujuh pasang kelas yang tidak bisa dipisahkan terdiri
dari KA-KT, KA-ME, KA-TI, KT-TI, LA-LN serta ME-TI. Spektral kelas
mangrove masih dipengaruhi oleh dua kelas lainnya yaitu KA dan TI. Sementara
citra Landsat TM tidak mampu memisahkan 6 pasangan kelas yaitu BA-KA, KA-
KT, KA-SK, KA-TI, LA-LN, ME-TI serta SK-TI. Kelas mangrove hanya
dipengaruhi oleh kelas vegetasi transisi saja. Pemisahan kelas mangrove citra
Landsat 5 TM lebih baik dibandingkan citra SPOT 6.
Pasangan kelas yang memiliki keterpisahan paling rendah oleh kedua citra
adalah kelas lahan terbuka dan lahan dibangun. Beberapa lahan terbuka di lokasi
penelitian berupa tanggul yang telah lama mengering dan tidak ditumbuhi lagi oleh
vegetasi dan beberapa objek lahan dibangun, khususnya jalan (dibangun oleh beton)
telah mengalami kerusakan sehingga memungkinkan terjadi kemiripan spektral
permukaan pada kedua kelas tersebut. Secara umum separabilitas Citra Landsat 5
TM lebih baik dibandingkan Citra SPOT 6. Nilai rata-rata separabilitas citra SPOT
6 berada pada status tidak dapat dipisahkan (1.856) dan Citra Landsat 5 TM dengan
status dapat dipisahkan (1.922).
Perbedaan jumlah spektral yang dimiliki Citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM,
berpengaruh terhadap pemisahan kelas komunitas mangrove terutama pada
spektrum inframerah. Spektrum inframerah sangat berperan dalam
mendiskriminasi objek vegetasi pada permukaan citra (Jensen 2005; Richards
2013). Selain itu dinyatakan juga bahwa penggunaan lebar spektrum yang berbeda
pada panjang gelombang elektromagnetik yang sama juga akan menghasilkan
akurasi yang berbeda. Mengingat sensitifitas objek permukaan terhadap panjang
gelombang juga berbeda (Gao 1999; Wang et al. 2004b).
Kemiripan spektral mangrove dengan kebun kelapa dan vegetasi transisi
sangat mungkin terjadi, ketiga kelas tersebut berada pada daerah yang berdekatan,
berdasarkan topologi spasial maka ketiga kelas tersebut berbatasan (adjacent).
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dibeberapa lokasi tumbuhnya
mangrove yang dijumpai di lapangan merupakan bekas kebun kelapa dan kemiripan
pengaruh ekologi seperti pasang surut memberikan kesempatan kemiripan spektral
di antara kedua kelas penutup lahan tersebut. Begitu juga halnya dengan kelas
vegetasi transisi, selain itu kelas vegetasi transisi dibangun oleh vegetasi mangrove
ikutan.
42

Tabel 15 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas penutup lahan. Pasangan
angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan
Kelas BA KA KT LA LN ME SK TI
SPOT 6
BA 2.000 2.000 1.899 1.972 2.000 2.000 2.000
KA 1.518 1.942 1.971 1.684 1.951 0.949
KT 1.998 1.989 1.968 1.994 1.761
LA 1.488 1.997 2.000 1.995
LN 1.992 1.999 1.986
ME 1.999 0.976
SK 1.952
TI
Landsat 5 TM
BA 2.000 2.000 1.995 1.996 2.000 2.000 2.000
KA 1.899 1.935 1.955 1.973 1.820 1.547
KT 2.000 1.986 2.000 1.910 1.997
LA 1.180 1.999 2.000 1.997
LN 1.999 1.982 1.992
ME 1.993 1.892
SK 1.772
TI

Hasil separabilitas antar kelas komunitas mangrove disarikan pada Tabel 16


Kedua citra satelit yang digunakan tidak mampu memisahkan tiga pasangan kelas
komunitas mangrove. Citra SPOT 6 memiliki kemampuan separabilitas komunitas
mangrove yang lebih rendah dibandingkan Citra Landsat 5 TM. Nilai rata-rata
separabilitas Citra SPOT 6 dalam memisahkan tiga pasang kelas komunitas
mangrove adalah 0.681 dan Citra Landsat 5 TM 0.781. Kedua citra mampu
memisahkan lebih baik kelas Ra-Xg kemudian diikuti oleh Xg-La dan paling
rendah adalah Ra-Xg. Nilai spektral La dipengaruhi oleh semua jenis mangrove
dengan heterogenitas kemiripan pembangun komunitas yang tinggi. Beberapa
komponen penyusun kelas komunitas Ra dan La menurut Vaiphasa et al. (2005)
tidak mampu dipisahkan di laboratorium, berdasarkan pengukuran spektrometer
dan menggunakan algoritma jarak pemisah yang sama dalam penelitian ini.
43

Tabel 16 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas komunitas mangrove.
Pasangan angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Jarak J-M antara
pasangan komunitas mangrove.
Ra Xg LA
SPOT 6
Ra 0.915 0.518
Xg 0.607
La
Landsat 5 TM
Ra 1.011 0.517
Xg 0.814
La

Optimasi Parameter Segmentasi


Pengaruh parameter segmentasi dapat terlihat secara jelas terhadap objek
yang dihasilkan. Semakin besar nilai scale, objek yang dihasilkan lebih besar,
sementara pengaruh shape dan compactness pada nilai scale yang sama
menghasilkan ukuran dan jumlah objek yang berbeda. Terbukti bahwa parameter
segmentasi mempengaruhi bentuk, ukuran dan jumlah objek yang dihasilkan
(Gambar 16).

Gambar 16 Hasil uji coba dengan beberapa kombinasi parameter segmentasi.


Parameter segementasi disimbolkan oleh: SC: scale, SH: shape CO:
compactness, SDA: scale pada algoritma spectral different algorithm.
Angka disamping simbol merupakan nilai yang digunakan oleh
masing-masing parameter. Objek disimbolkan oleh garis-garis
berwarna kuning
Algoritma segmentasi MRS sudah terbukti sebagai salah satu solusi dalam
membangkitkan objek dalam kerangka analisis citra berbasis objek. Algoritma ini
44

relatif komplek dan subyektif, penilaian akhir dilakukan oleh pengguna


berdasarkan kriteria homogenitas/heterogenitas yang digunakan untuk mengatur
algoritma tersebut (Witharana dan Civco 2014). Parameter pengatur homogenitas
terdiri dari scale, shape dan compactness. Scale merupakan abstraksi nilai
maksimum heterogenitas dalam membangkitkan objek. Shape merupakan
homogenitas tektur IIL, shape juga berkaitan dengan nilai digital IIL dimana
pengaruh color dapat dihitung dari satu dikurangi shape, dan compactness berperan
dalam mengoptimalkan kekompakan objek yang berasal dari shape (Trimble,
2014).
Hubungan antara parameter scale terhadap akurasi dan jumlah objek yang
dihasilkan disajikan pada Gambar 17. Nilai parameter scale dipengaruhi oleh nilai
parameter shape dan compactness. Pengaruh nilai scale terhadap jumlah objek
terhadap shape dan compactness adalah sama, yaitu semakin besar nilai scale yang
digunakan semakin sedikit jumlah objek yang dihasilkan. Sementara akurasi
keseluruhan klasifikasi berbasis objek menggunakan algoritma RF dipengaruhi
oleh parameter segmentasi. Semakin besar nilai parameter scale semakin besar pula
akurasi yang dicapai (Gambar 17.a). Akurasi optimum (74%). diperoleh melalui
nilai scale 200, nilai akurasi mulai turun ketika nilai scale mencapai 300 hingga
500, nilai scale selanjutnya tidak dapat dilanjutkan karena luasan objek
mempengaruhi nilai fitur objek yang dihitung oleh algoritma klasifikasi RF.
Optimalisasi masih dilanjutkan dengan menggunakan algoritma SDA dengan
peningkatan akurasi mencapai 75%.
Pola kenaikan akurasi klasifikasi yang dihasilkan berbeda dengan dua pola
lainnya (Gambar 17.b). Nilai optimum akurasi (76%) diperoleh melalui nilai scale
150 dan nilai optimum tersebut lebih baik dibandingkan nilai optimum sebelumnya.
Proses segmentasi berhenti pada nilai scale 300 karena permasalahan yang sama
dengan proses sebelumnya. Nilai optimum pada nilai scale yang lebih rendah lagi,
yaitu 100. Nilai akurasi optimum yang dapat dicapai adalah 75% (Gambar 17.c).
Secara umum segmentasi tidak dapat menghasilkan partisi objek yang sempurna
(Burnett dan Blaschke 2003), teknik uji coba diperlukan untuk memperoleh hasil
optimum. Schiewe (2002) menambahkan bahwa dalam proses segmentasi sering
dihasilkan over-segmentation (objek terlalu banyak dan kecil) serta under-
segmentation (objek terlalu sedikit dan besar). Hal tersebut hadir dipicu oleh
penentuan heterogenitas/homogenitas objek.
45

Gambar 17 Pengaruh scale terhadap akurasi keseluruhan dan jumlah objek yang
dihasilkan. a. shape 0.1 dan compactness 0.9, b. shape 0.5 dan
compactness 0.5, c. shape 0.9 dan compactness 0.1
46

Optimasi Parameter RF
Pengaruh parameter algoritma RF terhadap akurasi disajikan oleh Gambar 18.
Penggunaan nilai parameter dengan nilai default (0, 0 dan 50 untuk depth, sample
dan tree) menghasilkan nilai akurasi sebesar 75.2%. Nilai akurasi turun drastis
menjadi 15.5%, ketika parameter depth menggunakan nilai 1, dan naik kembali
seiring dengan bertambahnya nilai depth. Nilai akurasi mencapai kestabilan pada
nilai depth, 20-1000. Penggunaan nilai sample 1-10 menghasilkan nilai akurasi
yang berfluktuasi rendah antara 0.1-2.8% dengan Nilai akurasi berkisar 75.2-
80.0%. Penggunaan nilai sample yang lebih besar dari 10 cenderung menurunkan
nilai akurasi. Peningkatan jumlah pohon yang digunakan relatif tidak meningkatkan
akurasi klasifikasi. Akurasi tertinggi diperoleh melalui 100 pohon klasifikasi, nilai
lainnya menghasilkan akurasi dengan flktuasi yang kecil dan cenderung stabil.
Meskipun pernah dilaporkan oleh Clifton (2005) bahwa kestabilan hasil dapat
diperoleh melalui 50-100 jumlah pohon, namun dalam penelitian nilai stabil
diperoleh 200 pohon.

Gambar 18 Hasil optimisasi parameter RF


Penerapan algoritma klasifikasi dalam klasifikasi berbasis objek sangat
direkomendasikan untuk melakukan uji optimasi terhadap parameter segmentasi
dalam menentukan objek (bentuk, ukuran dan jumlah) yang lebih baik dalam proses
klasifikasi. Penggunaan objek yang terlalu banyak, berakibat terhadap lamanya
waktu yang diperlukan dalam kalkulasi klasifikasi, sedangkan ukuran objek yang
lebih besar juga mempengaruhi representasi objek lapangan. Bentuk objek yang
dihasilkan berpengaruh terhadap detail objek citra permukaan yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil pengujian optimasi nilai optimum parameter segmentasi dan
algoritma RF nilai yang digunakan adalah 50, 0.1, 0.9 dan 5 untuk scale, shape,
compactness, scale pada algoritma SDA dan parameter algoritma RF yang
digunakan adalah 20, 3 dan 500 untuk depth, sample dan tree.
47

Klasifikasi Penutup Lahan (Level 1)


Hasil klasifikasi penutup lahan menggunakan pendekatan berbasis objek dan
berbasis piksel disajikan pada Gambar 19. Kedua teknik klasifikasi mampu
mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan, dengan hasil pemetaan yang
berbeda-beda. Hasil akurasi keseluruhan penutup lahan yang terbaik menggunakan
klasifikasi berbasis objek diperoleh IIL M6, sebesar 81.6%, dengan akurasi
produser 96.5% dan akurasi pengguna sebesar 91.7%. Akurasi klasifikasi berbasis
piksel terbaik juga diperoleh IIL M6, dengan nilai akurasi keseluruhan lebih rendah
80.2%, produser sebesar 98.2% dan akurasi pengguna 88.4%. Pendekatan
penggunaan data optik dan SAR mengurangi resiko dalam pendeteksian penutup
lahan dibandingkan hanya menggunakan salah satu data saja (McNairn et al. 2009).
Moghaddam et al. (2002) menambahkan, penambahan IIL yang berbeda dari
spektrum elektromagnetik memperluas dimensi dari ruang data, maka berpotensi
meningkatkan akurasi dan meningkatkan jangkauan validitas data produk. Oleh
karena itu, kombinasi data Landsat 5 TM dan ALOS PALSAR dalam algoritma
klasifikasi mampu meningkatkan hasil klasifikasi dan mengurangi ketidakpastian
tentang perkiraan dari citra tersebut.

Berbasis objek Berbasis Piksel

M1

M2
Keterangan

Gambar 19 Perbandingan hasil klasifikasi penutup lahan berbasis objek dan


berbasis piksel
48

Berbasis objek Berbasis Piksel

M3

M4

M5

M6
Keterangan

Gambar 19 Lanjutan
49

Berbasis objek Berbasis Piksel

M7

M8

M9

M10
Keterangan

Gambar 19 Lanjutan

Klasifikasi berbasis objek memetakan penutup lahan lebih baik dibandingkan


klasifikasi berbasis piksel, untuk seluruh IIL kecuali M2. Peningkatan akurasi
keseluruhan dijumpai dari 1% hingga 24.5%. Khusus kelas mangrove, IIL SAR
menggunakan klasifikasi berbasis objek menghasilkan akurasi pengguna <85%,
sementara IIL lainnya >85%. Berbeda dengan klasifikasi berbasis piksel hanya satu
IIL yang mampu menghasilkan akurasi IIL > 85% yaitu M6, sebesar 88.4%. IIL
lainnya menghasilkan akurasi pengguna <85%. Merujuk Congalton dan Green
50

(2009) pemetaaan penutup lahan melalui kedua klasifikasi yang tidak mencapai
tingkat memuaskan (>85%). IIL tersebut tidak dilanjutkan pada pemetaan
komunitas mangrove (Level 2) pada kedua teknik klasifikasi.
Kemiripan spektral antara kelas penutupan lahan tidak dapat dihindari oleh
kedua teknik klasifikasi, khususnya pada kelas-kelas penutup lahan yang memiliki
heterogenitas tinggi. Masih ditemukan tumpang tindih spektral antar kelas.
Penambahan data SAR pada IIL M4 mampu mengurangi kesalahan klasifikasi pada
kedua teknik klasifikasi. Peningkatan jumlah resolusi spasial pada M5 dan M6
menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek mampu mengurangi jumlah
kesalahan klasifikasi dan kehadiran efek salt and pepper dibandingkan teknik
klasifikasi berbasis piksel, hal yang sama juga dilaporkan oleh Whiteside et al.
(2011). Jhonnerie et al. (2015a) menambahkan bahwa algoritma RF yang
diterapkan pada klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu menekan kehadiran
efek tersebut dibandingkan algoritma ML yang diterapkan pada klasifikasi berbasis
piksel.
Penggunaan data SAR (M1 dan M2) sebagai IIL dalam klasifikasi penutup
lahan menghasilkan distribusi kelas penutup lahan acak dan hampir tidak berpola,
selain kelas badan air. Hambur balik badan air dikenali dengan nilai yang lebih
rendah dibandingkan kelas penutup lainnya. Hal tersebut karena pengaruh pantulan
spekular permukaan air. Kesalahan klasifikasi (misclassification) menggunakan
input SAR menghadirkan efek salt and pepper pada kedua teknik klasifikasi. Efek
tersebut hadir pada perekaman data SAR yang diakibatkan oleh pengaruh banyak
pantulan (multiple bounce scattering) akibat variasi kekasaran permukaan objek
dan perbedaan jarak perjalanan kembali gelombang dari berbagai target ke sensor
(Qiu et al. 2004), meskipun filter lokal adaptif telah diterapkan namun pengaruh
derau (noise) masih mempengaruhi hasil klasifikasi, walaupun telah menggunakan
algoritma klasifikasi RF.
Data SAR sebagai IIL menghasilkan akurasi lebih rendah dibandingkan IIL
lainnya. Akurasi keseluruhan dan akurasi pemetaan kelas mangrove (Tabel 17)
terendah dihasilkan oleh M2 pada kedua klasifikasi, 26.3% berbasis objek dan
29.0% berbasis piksel, 28.8% dan 35.8% untuk akurasi pengguna kelas mangrove.
Pemetaan mangrove menggunakan IIL SAR umumnya menghasilkan akurasi yang
lebih rendah dibandingkan dengan IIL lainnya (Held et al. 2003). Kemampuan
ALOS PALSAR (M1) lebih baik memetakan penutup lahan dibandingkan
SENTINEL-1 (M2). Menurut Takeuchi dan Ohuro (2003) band-C SAR (Earth
Resource Satellite/ERS) memiliki akurasi produser (PA) dan pengguna (UA) lebih
rendah dalam memetakan hutan lahan basah dibandingkan hutan kelas penutup
lahan lainnya, sementara band-L SAR (Japan Earth Resource Satellite -1/JERS)
menghasilkan klasifikasi lebih baik. Perbedaan tersebut diakibatkan bedanya
panjang gelombang dan kemampuan panjang gelombang berinteraksi terhadap
vegetasi (Rosen et al. 1996). Proisy et al. (2000) menambahkan bahwa parameter
polarimetrik Band-L memiliki korelasi linear lebih baik terhadap parameter
mangrove (kerapatan pohon, basal area, tinggi pohon dan dBH), koefisien hambur
balik Band-L terhadap biomasa mangrove, dibandingkan dengan Band-C.
Penambahan data SAR (ALOS PALSAR dan SENTINEL-1) telah banyak
diterapkan di berbagai aplikasi penginderaan jauh dengan tujuan untuk
meningkatkan akurasi klasifikasi. Penambahan data SAR secara umum
meningkatkan akurasi klasifikasi. Kecuali pada penambahan data SENTINEL-1.
51

Peningkatan akurasi keseluruhan menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek


berkisar 1.4-2%, sementara klasifikasi berbasis piksel berkisar 4.4-13.6%.
Jhonnerie et al. (2015a) melaporkan dalam pemetaan penutup lahan mangrove data
SAR (ALOS PALSAR) berkontribusi dalam peningkatan akurasi klasifikasi.
Ditambahkan oleh Held et al. (2003), penggabungan SAR dengan Compact
Airborne Spectrographic Imager (CASI) dengan teknik klasifikasi yang berbeda
dapat meningkatkan pemetaan mangrove dari 5.5-8.8%.
Tabel 17 Hasil uji akurasi (%) pemetaan kelas mangrove menggunakan teknik
klasifikasi berbasis objek dan piksel
PA UA OA K
Berbasis Objek
M1 75.3 60.3 51.2 0.393
M2 50.5 28.8 26.3 0.104
M3 90.8 81.8 73.4 0.665
M4 92.0 85.1 75.4 0.689
M5 97.3 90.1 80.2 0.749
M6 96.5 91.7 81.6 0.766
M7 88.5 86.1 76.9 0.696
M8 89.5 85.5 78.3 0.716
M9 88.7 87.6 80.3 0.741
M10 88.8 86.1 78.8 0.722
Berbasis Piksel
M1 74.3 45.5 44.4 0.332
M2 52.9 35.8 29.0 0.127
M3 91.1 59.5 60.8 0.526
M4 97.9 77.7 74.4 0.683
M5 100 79.3 75.8 0.700
M6 98.2 88.4 80.2 0.751
M7 86.6 74.2 65.2 0.556
M8 87.2 72.4 62.2 0.523
M9 80.2 62.4 55.8 0.447
M10 79.6 57.9 54.4 0.434
Keterangan: PA: akurasi produser; UA: akurasi pengguna; OA: akurasi keseluruhan; K: statistik
Kappa

Peningkatan resolusi spasial dari 30 meter menjadi 6 dan 1.5 meter tidak
berperan sepenuhnya dalam peningkatan akurasi klasifikasi. Peningkatan tersebut
meningkatkan nilai variasi data setiap kelas. Jika suatu sampel dengan ukuran 3x3
piksel citra Landsat 5 TM maka varian yang dimilikinya lebih rendah dibanding
dengan sampel Citra SPOT 6, dengan ukuran sampel 15x15 piksel, begitu juga pada
citra SPOT 6 yang telah ditingkatkan lagi resolusi spasialnya menjadi 1.5 m. Gao
(1999) dan De Laet et al. (2009) menyatakan bahwa sensor dengan resolusi spektral
yang lebih tinggi mampu memetakan mangrove lebih detail dibandingkan sensor
yang memiliki resolusi spasial yang lebih baik. Meskipun Citra Landsat 5 TM dan
52

SPOT 6 multispektral memiliki perbandingan julat spektral yang kecil pada


spektrum yang sama (band tampak dan IMD) namun perbedaan tersebut dapat
memberikan hasil akurasi yang berbeda (Wang et al. 2004a). Lebih penting lagi,
Landsat 5 TM merekam spektrum IMM dan IMJ (1550-1750 nm dan 2080-2350
nm) yang menyebabkan meningkatnya akurasi pemetaan kelas mangrove (Gao
1999). Ji et al. (2011) menambahkan bahwa spektral IMM dan IMJ sangat
berpengaruh terhadap penginderaan vegetasi.
Sebanyak 55 pasang nilai akurasi IIL diuji perbedaannya (Tabel 18).
Penggunaan IIL SAR (M1 dan M2) pada kedua teknik klasifikasi berbeda
signifikan terhadap IIL lainnya. Peningkatan resolusi spasial dengan jumlah
resolusi spektral yang sama (M3), pada klasifikasi berbasis objek cenderung
meningkatkan akurasi, perbedaan signifikan dijumpai pada M9. Hal tersebut tidak
berlaku pada klasifikasi berbasis piksel, Baker et al. (2012) melaporkan hal yang
sama terhadap teknik klasifikasi berbasis piksel. Perbedaan signifikan dijumpai
pada M9 dan M10. Penambahan resolusi spektral (M5) pada klasifikasi berbasis
objek meningkatkan akurasi klasifikasi namun tidak dijumpai perbedaan yang
signifikan antara IIL, sementara klasifikasi berbasis piksel penambahan tersebut
juga meningkatkan akurasi dan terdapat perbedaan signifikan pada citra yang
memiliki resolusi spasial lebih tinggi (M7, M8, M9 dan M10). Peningkatan resolusi
spasial pada Citra SPOT 6 melalui teknik fusi (M9) mampu meningkatkan akurasi
namun tidak dijumpai perbedaan signifikan. Penambahan data SAR pada klasifikasi
berbasis objek cenderung tidak menaikkan akurasi, kecuali pada M6 dan perbedaan
signifikan hanya dijumpai pada M7, sementara pada klasifikasi berbasis piksel
penambahan SAR cenderung meningkatkan akurasi klasifikasi.
Perbandingan akurasi klasifikasi berbasis objek dan piksel menghasilkan 55
pasangan perbandingan (Tabel 18). Penggunaan ILL SAR (M1 dan M2) pada
klasifikasi berbasis objek cenderung menghasilkan akurasi lebih rendah
dibandingkan klasifikasi berbasis piksel (M3-M10). Perbandingan IIL M3-M10
yang menghasilkan 36 pasangan perbandingan 28 di antaranya menyatakan teknik
klasifikasi berbasis objek berbeda signifikan dan menghasilkan akurasi yang lebih
baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel. Peningkatan akurasi berbasis objek
juga dilaporkan oleh Myint et al. (2008), Ali et al. (2009), Whiteside et al. (2011).
Kesalahan klasifikasi akibat kemiripan spektral dijumpai pada kelas
mangrove menjadi semak belukar dan vegetasi transisi mangrove, badan air
menjadi lahan terbuka dan mangrove formasi depan menjadi lahan terbuka.
Kesalahan tersebut berpengaruh terhadap cakupan dan perhitungan luas kelas
penutup lahan oleh kedua teknik klasifikasi (Tabel 19). M1 menghasilkan luas lebih
kecil dibandingkan IIL lainnya. Perhitungan terlus diperoleh melalui M7 dan M9
pada klasifikasi berbasis objek dan piksel. Selisih luas terbesar antara klasifikasi
berbasis objek dan piksel dijumpai pada IIL M3.
Jhonnerie et al. (2014 ) menyatakan luas mangrove di Sungai Kembung
cenderung stabil dari pengamatan tahun 1996-2013. Pada tahun 2010 luas
mangrove di Sungai Kembung seluas 3074.5 hektar dan tahun 2013 seluas 3156.0
hektar. Perhitungan dalam penelitian ini menyatakan luas mangrove tahun 2010
seluas mangrove seluas 2990.40 dan 3025.50 hektar (M5 dan M6), terdapat selisih
luas sebesar 84.1 dan 49 hektar. Hal ini disebabkan karena pengaruh IIL dan fitur
atribut yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Sementara perbedaan pada perhitungan luas tahun 2013, dengan selisih luas 388.2-
53

523.7 hektar (M8-M10) dipengaruhi oleh bedanya sensor, IIL dan fitur atribut yang
digunakan.
Tabel 18 Nilai uji Z terhadap perbandingan IIL klasifikasi berbasis objek terhadap
berbasis piksel. Nilai-nilai yang dihitamkan mengindikasikan perbedaan
signifikan
Berbasis piksel
IIL
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10
M1 1.65 8.43 -3.55 -7.75 -8.19 -9.54 -5.15 -4.09 -1.71 -1.28
M2 -0.85 -12.73 -17.46 -17.96 -19.48 -17.08 -15.81 -12.97 -12.46
M3 3.70 -0.49 -0.94 -2.29 3.43 4.50 6.87 7.30
Berbasis objek

M4 0.16 -0.29 -1.64 4.20 5.27 7.64 8.07


M5 1.32 -0.03 6.11 7.17 9.55 9.97
M6 0.41 6.62 7.69 10.07 10.49
M7 5.69 7.06 10.13 10.68
M8 7.90 10.97 11.52
M9 11.97 12.52
M10 11.77
Keterangan: Nilai positif menyatakan IIL baris berbeda signifikan terhadap IIL kolom, begitu juga
sebaliknya
Selisih perhitungan luas mangrove tersebut dan kesalahan omisi, khususnya
IIL yang memiliki kesalahan >10% dan <15% (IIL yang digunakan dalam pemetaan
komunitas mangrove) berkontribusi terhadap pola distribusi spasial kelas penutup
lahan mangrove. IIL tersebut memiliki sebaran mangrove yang berada diluar dari
sebaran mangrove yang seharusnya. IIL dengan kesalahan omisi <10% merupakan
IIL yang menghasilkan distribusi spasial terbaik. Kesalahan yang dimilikinya
diperkirakan hanya berkontribusi kecil terhadap pengolahan data selanjutnya.
Tabel 19 Luas (hektar) dan selisih perhitungan luas mangrove berdasarkan teknik
klasifikasi
Luas kelas mangrove
IIL
Berbasis objek Berbasis piksel Selisih
M1 2642.80 1919.80 723.00
M2 1591.00 2157.10 566.10
M3 2926.20 2281.90 644.30
M4 2970.00 2610.60 359.40
M5 3025.50 2635.60 389.90
M6 2990.40 2892.90 97.50
M7 3625.60 3328.10 297.50
M8 3562.30 3299.30 263.00
M9 3679.70 3144.60 535.10
M10 3544.20 2929.30 614.90

Klasifikasi Komunitas Mangrove (Level 2)


Komunitas mangrove di Sungai Kembung merupakan komunitas yang cukup
kompleks, dibangun oleh 22 spesies sejati dan 47 spesies ikutan dengan kombinasi
54

penyusun terdiri dari 1-6 spesies. Kompleksitas tersebut dapat disederhanakan


melalui analisis sebelumnya dan menghasilkan tiga komunitas utama mangrove di
Sungai Kembung, yaitu komunitas R. apiculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg)
dan Lainnya (La). Dua skema klasifikasi diterapkan dalam pemetaan komunitas
mangrove, skema pertama, dua kelas yaitu Ra dan Xg dan skema kedua
menambahkan kelas La, dan diujikan pada IIL M6 (Gambar 20). Akurasi
keseluruhan yang diperoleh skema pertama sebesar 78.6% dan skema kedua 57.5%.
Begitu juga dengan akurasi produser dan pengguna, pemetaan kelas Ra dan Xg
lebih baik menggunakan skema pertama. Penurunan jumlah kelas skema klasifikasi
mampu meningkatkan akurasi keseluruhan sebesar 21.1%. Selanjutnya pemetaan
komunitas mangrove di Sungai Kembung menggunakan skema klasifikasi dua
kelas, Ra dan Xg.

Gambar 20 Perbandingan hasil klasifikasi komunitas mangrove. a. Dua kelas


komunitas b. Tiga kelas komunitas
Hasil klasifikasi komunitas mangrove disajikan pada Gambar 21. Distribusi
spasial komunitas Ra hasil kedua klasifikasi umumnya terkonsentrasi pada
pinggiran sungai, bagian hilir dan perbatasan mangrove dengan daratan. Komunitas
Xg terdistribusi di seluruh kawasan penelitian dari mangrove pantai hingga ke hulu
sungai dan distribusi tersebut sesuai dengan kondisi di lokasi penelitian.

M4 (berbasis objek) M5 (berbasis objek)


Keterangan

Gambar 21 Hasil klasifikasi komunitas mangrove


55

M6 (berbasis objek) M6 (berbasis piksel)

M7 (berbasis objek) M8 (berbasis objek)

M10 (berbasis objek) M11 (berbasis objek)


Keterangan

Gambar 21 Lanjutan

Komunitas Ra terdiri dari spesies penyusun yaitu Rhizophora apiculata dan


Lumnitzera racemosa. Kontribusi R. apiculata dalam membangun komunitas
sebesar 98.72% sedangkan sisanya berasal dari L. racemosa. Komunitas ini
dijumpai pada 25 plot transek. R. apiculata dijumpai di belakang S. alba dan A.
alba di daerah pantai sebagai bagian mangrove terbuka. R. apiculata dapat dijumpai
di formasi belakang (daratan), yang berbatasan dengan tumbuhan daratan.
Sementara L. racemosa dijumpai di daerah bagian belakang yang hampir
berbatasan dengan vegetasi daratan (Noor et al. 2006).
Komunitas Xg merupakan komunitas mangrove dominan di Sungai
Kembung. Komunitas ini terdiri dari 10 spesies penyusun. X. granatum
berkontribusi paling besar (86.75%), sementara 9 spesies lainnya yang
berkontribusi adalah B. cylindrical, B. gymnorhiza, B. hainesii, C. tagal, E.
56

agollacha, L. racemosa, R. apiculata, R. mucronata, S. hidrophyllacea. Komunitas


ini dijumpai pada 98 plot transek. X. granatum dapat dijumpai hampir di seluruh
kawasan mangrove di Sungai Kembung dan beberapa daerah yang berbatasan
langsung dengan vegetasi daratan, dominasi komunitas ini juga terjadi di formasi
bagian tengah (Noor et al. 2006). Terkadang B. gymnorhiza dan B. hainesii
dijumpai berdampingan pada bagian tengah mangrove dan daerah berbatasan
dengan vegetasi daratan. E. agollacha dijumpai di daerah yang memiliki pasokan
air tawar tinggi, seperti di hulu sungai. S. hidrophyllacea memiliki tinggi lebih
rendah dibandingkan spesies yang ada di sekitarnya, sehingga tidak jarang
kanopinya ditutupi oleh spesies lainnya, misalnya B. hainesii dan X. granatum.
Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek berkisar antara 69.6% (M4) -
78.6% (M10), sementara klasifikasi berbasis piksel sebesar 72.0% (Tabel 20).
Setiap IIL dari masing-masing teknik klasifikasi memetakan kelas Xg lebih baik
dibandingkan kelas Ra. Pada teknik klasifikasi berbasis objek, IIL dengan resolusi
yang lebih tinggi cenderung menghasilkan akurasi OA dan UA (kelas Xg) lebih
baik, namun terjadi penurunan akurasi UA dan PA pada kelas Ra. Penurunan
akurasi tersebut berdampak terhadap pola distribusi spasial dan estimasi luas
masing-masing kelas (Tabel 20). Hal tersebut menjadi pertimbangan tersendiri,
bahwa IIL dengan resolusi spasial dan akurasi OA yang lebih tinggi merupakan IIL
yang terbaik dalam memetakan komunitas mangrove. Jika dilihat dari nilai UA dan
PA maka IIL M6 memiliki nilai akurasi yang lebih baik dibandingkan IIL lainnya.
Hasil tersebut didukung oleh analisis separabilitas yang telah dilakukan
sebelumnya.
Tabel 20 Hasil perhitungan uji akurasi (%) klasifikasi komunitas mangrove
menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel
PA UA
IIL OA
Ra Xg Ra Xg
Berbasis Objek
M4 35.3 84.6 50.0 75.0 69.6
M5 33.3 83.7 36.4 81.8 72.7
M6 43.8 85.4 53.8 79.5 73.7
M7 22.2 80.9 22.2 84.4 71.4
M8 27.3 86.7 37.5 86.7 75.0
M9 18.2 84.4 37.5 88.9 76.8
M10 42.9 83.7 27.3 91.1 78.6
Berbasis piksel
M6 23.1 86.4 33.3 79.2 72.0

Rendahnya kemampuan pemetaan kelas Ra setiap IIL telah dilaporkan


sebelumnya oleh Vaiphasa et al. (2005) dan Wang dan Sousa (2009) bahwa dalam
lingkungan terkontrol masih dijumpai anggota famili Rhizophoracea yang memiliki
kemiripan spektral dan sulit dipisahkan, sedangkan Koedsin dan Vaiphasa (2013)
memperkuat pernyataan tersebut melalui penggunaan Citra EO-1 Hyperion juga
mengalami permasalahan yang sama dalam mendiskriminasi anggota famili
Rhizophoracea. Penelitian ini mampu menghasilkan akurasi keseluruhan yang lebih
baik dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Kanniah et al. (2007), yang
57

memetakan tiga kelas spesies mangrove dominan menggunakan teknik klasifikasi


berbasis piksel dengan algoritma minimum distance (63.64%) dan ML yang
ditambahkan data tekstur dengan jendela 21x21 (81.82%).
Dijumpai peningkatan akurasi klasifikasi OA pada setiap IIL yang
menggunakan tambahan input data SAR. Peningkatan tersebut berkisar antara 1-
3.6%. Penelitian ini tidak dapat menyatakan bahwa peningkatan resolusi spasial
mampu meningkatkan hasil akurasi pemetaan, meskipun nilai akurasi keseluruhan
meningkat. Peningkatan resolusi spasial hanya mengindikasikan peningkatan
kemampuan klasifikasi kelas komunitas paling dominan di Sungai Kembung. Dari
hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa klasifikasi berbasis objek lebih baik dari
pada klasifikasi berbasis piksel.
Estimasi luas berbasis objek masing-masing IIL ditabulasikan pada Tabel 21.
Klasifikasi berbasis objek memprediksi komunitas Ra terdistribusi lebih sedikit
dibandingkan Xg. Komunitas Ra terluas diperoleh IIL M5 (1092.08 hektar) dan
terkecil M10 (462.77 hektar), sementara komunitas Xg diperoleh melalui IIL M8
(3144.84 hektar) dan terkecil oleh M4 (1912.81 hektar). Klasifikasi berbasis piksel
hanya menggunakan satu IIL (M6), dengan IIL yang sama
Tabel 21 Luas (hektar) kelas komunitas mangrove berdasarkan teknik klasifikasi
IIL Ra Xg Ra Xg
M4 1057.19 1912.81 n/a n/a
M5 1092.08 1933.42 n/a n/a
M6 1006.55 1983.85 696.9 2195.97
M7 726.76 2898.84 n/a n/a
M8 417.46 3144.84 n/a n/a
M9 552.78 3126.92 n/a n/a
M10 462.77 3081.43 n/a n/a
Keterangan: n/a= tidak tersedia

Simpulan

Spektral penciri pada Citra SPOT 6 adalah band IMD sedangkan pada Citra
Landsat 5 TM adalah band IMD dan IMM. Karakteristik reflektansi mangrove
memiliki kemiripan dengan beberapa kelas penutup lahan lainnya yaitu kebun
kelapa (KA), vegetasi transisi (TI), kebun karet (KT) dan lahan terbuka (LA).
Reflektansi spektral tiga kelas komunitas mangrove tidak memiliki repson spektral
yang berbeda nyata. Kemampun pemisahan kelas melalui analisis separabilitas citra
Landsat 5 lebih baik dibandingkan kemampuan Citra SPOT 6. Citra SPOT 6 tidak
mampu memisahkan tujuh kelas pasangan penutup lahan sedangkan Citra Landsat
5 TM tidak mampu memisahkan enam kelas penutup lahan. Ketiga kelas komunitas
mangrove tidak dapat dipisahkan oleh kedua citra satelit.
Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek dari seluruh IIL yang
digunakan berkisar 51.2%-81.6% sedangkan klasifikasi berbasis piksel 29.0%-
80.2%. Algoritma RF mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan
algoritma ML. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan klasifikasi
berbasis objek dan piksel diperoleh melalui IIL M6, meskipun demikian klasifikasi
58

berbasis objek mampu memetakan kelas penutup lahan dan komunitas mangrove
lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel, dengan peningkatan akurasi
klasifikasi sebesar 1-24.5% pada klasifikasi penutup lahan dan 1.7% pada
komunitas mangrove. Teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu
mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan dan komunitas mangrove walaupun
masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan efek salt and pepper
pada kedua teknik klasifikasi.
Peningkatan resolusi spektral lebih penting dari pada peningkatan resolusi
spasial pada kasus pemetaan penutup lahan, meskipun peningkatannya tidak
signifikan pada klasifikasi berbasis objek namun sebaliknya pada klasifikasi
berbasis piksel. Penambahan data SAR sebagai IIL tidak seluruhnya meningkatkan
hasil klasifikasi, khususnya pada penambahan data C-band. Sementara pada
klasifikasi kelas komunitas mangrove peningkatan resolusi spasial meningkatkan
akurasi keseluruhan namun peningkatan tersebut tidak mempengaruhi peningkatan
akurasi PA dan UA kelas komunitas Ra.
Penggunaan klasifikasi berbasis objek merupakan teknik alternatif dalam
pemetaan penutup lahan dan komunitas mangrove, karena mampu meningkatkan
hasil klasifikasi dan secara teknis lebih efektif dan efisien untuk diterapkan
5 DETEKSI PERUBAHAN TUTUPAN MANGROVE
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT

Pendahuluan

Citra Landsat merupakan data yang paling banyak digunakan dalam


pemetaan mangrove (Kuenzer et al. 2011). Hingga saat ini penggunaan citra
Landsat serta penerapannya dalam menggali informasi mangrove masih merupakan
isu yang menarik untuk dilakukan (Kasawani et al. 2010; Alatorre et al. 2011;
Lyons et al. 2012; Kirui et al. 2013; Carney et al. 2014). Meskipun citra Landsat
dikategorikan sebagai data penginderaan jauh yang beresolusi medium (Roy et al.
2014) namun banyak laporan yang menyatakan bahwa akurasi keseluruhan (overall
accuracy) pemetaan mangrove cukup baik di antaranya Alatorre et al. (2011)
sebesar 84%, Kirui et al. (2013) sebesar 87,5%, Long dan Giri (2011) mampu
mencapai 96,6%.
Berbagai metode deteksi perubahan penutup lahan dan penggunaan lahan
telah banyak dikembangkan dari data penginderaan jauh, namun belum ada metode
universal yang mampu menjawab semua permasalahan. Metode berbasis piksel
sudah banyak diterapkan, seperti vector analysis (He et al. 2011), image
differencing (Coppin et al. 2004) dan algoritma terbimbing atau tidak terbimbing
(Helmi et al. 2013), namun pendekatan berbasis piksel menghasilkan efek salt and
pepper (Whiteside et al. 2011; Son et al. 2014) ketika variabilitas reflektansi yang
besar hadir pada setiap kelas yang dipisahkan dan berpotensi memberikan pengaruh
terhadap akurasi deteksi perubahan. Guna meminimalisir kehadiran efek tersebut
kehadiran teknik berbasis objek diharapkan mampu menjadi salah satu solusi untuk
menjawab hal tersebut. Teknik ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil akurasi
klasifikasi: Heumann (2011a) menggabungkan teknik klasifikasi berbasis objek dan
algoritma support vector machine (SVM) dengan akurasi keseluruhan 94%.
Taşdemir et al. (2012) menggabungkan teknik self-organizing maps (SOM) dengan
klasifikasi berbasis objek, akurasi keseluruhan yang diperoleh lebih dari 90%.
Zhang et al. (2013) menggabungkan teknik klasifikasi berbasis piksel dengan
klasifikasi berbasis objek (pixel and object base hybrid analysis) dan akurasi
sebesar 91,9%. Namun umumnya teknik klasifikasi tersebut di atas masih
diterapkan pada data resolusi tinggi, seperti WorldView-2, RapidEye, dan
QuickBird. Penelitian dan literatur terkait penerapan klasifikasi berbasis objek pada
citra resolusi medium seperti Landsat masih jarang dijumpai.
Mangrove berperan penting bagi kehidupan masyarakat pesisir, karena
dapat memproteksi pantai dari terjangan badai dan tsunami, berperan sebagai filter
polutan daratan, dan merupakan sumber makanan, obat-obatan, bahan bakar serta
material bangunan. Selain peran dan fungsi mangrove tersebut, mangrove tengah
mengalami penurunan kualitas dan kuantitas pada tingkat yang mengkhawatirkan
di seluruh dunia (Giri et al. 2011). Secara global dan selama lebih dari dua dekade
(1980-2005) dunia telah kehilangan mangrove lebih dari 25% dari total luasannya
(FAO 2007). Kajian perubahan mangrove di beberapa kawasan di Indonesia telah
banyak dilaporkan (Opa 2010; Pribadi et al. 2012; Yetty et al. 2012; Helmi et al.
2013) dan umumnya menggunakan klasifikasi berbasis piksel. Informasi ilmiah
60

perubahan penutup lahan mangrove di Sungai Kembung belum pernah dilaporkan,


berdasarkan hal tersebut kajian perubahan mangrove penting dilakukan. Tujuan
penelitian ini adalah memetakan dan melihat perubahan tutupan mangrove di
Sungai Kembung mengunakan seri citra satelit Landsat dan menguji tingkat akurasi
klasifikasi berbasis objek dalam pemetaan mangove.

Metode

Data Citra Satelit dan Lapangan


Data yang digunakan adalah seri citra Landsat level 1T (Tabel 22), terdiri dari
Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI, path/row 127/59, diunduh dari
United State Geological Survey (USGS) Global Visualization View (GloVis)
melalui daring http://glovis.usgs.gov/
Tabel 22 Seri citra Landsat yang digunakan
No. Seri Landsat Akuisisi
1 Landsat 5 TM 19 Juni 1996
2 Landsat 7 ETM+ 3 Juli 2002
3 Landsat 5 TM 2 Februari 2010
4 Landsat 8 OLI 17 Mei 2013

Pengamatan di lapangan dibantu oleh kamera digital dan Global Position


System (GPS) Trimble JUNO SB yang dilengkapi dengan aplikasi ArcPAD versi
10 dan difokuskan terhadap penutup lahan di sekitar lokasi penelitian. Pengamatan
penutup lahan hanya dilakukan sekitar 500 m dari perbatasan mangrove mengingat
akses yang terbatas. Sebanyak 469 titik pengamatan dibuat secara acak
menggunakan ArcGIS Desktop versi 10.1. 176 di antaranya digunakan training area
serta 293 digunakan dalam uji akurasi hasil pemetaan masing-masing penutup
lahan. Skema penutup lahan yang digunakan mengacu pada BSN (2010), yang
terdiri dari 5 kelas penutup lahan yaitu: badan air, vegetasi lainnya (berbagai jenis
vegetasi alamiah heterogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat), kebun
(lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama
dua tahun dan ditanami kelapa, karet atau tanaman campuran dengan tanaman
lainnya), lahan terbuka (gabungan dari lahan tanpa tutupan dan yang telah
mengalami substitusi penutup lahan yang baik yang bersifat alamiah, semi alamiah
maupun artifisial biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen seperti jalan,
permukiman dan tanggul) serta mangrove.

Pengolahan Citra
Pengolahan citra diawali dari pra-pengolahan yang terdiri dari koreksi
atmosferik. Agar seluruh data memiliki karakteristik reflektansi permukaan yang
mirip dilakukan teknik histogram matching (Richards 2013). Citra Landsat 5 TM
yang diakuisisi tanggal 2 Februari 2010 dijadikan sebagai referensi reflektansi
spektral, mengingat data tersebut tidak mengalami gangguan atmosferik berupa
awan, bayangan awan dan kabut.
Transformasi Spektral Terdapat tiga objek yang mempengaruhi reflektansi
permukaan mangrove yaitu vegetasi, air dan tanah (Kuenzer et al. 2011). Masing-
61

masing objek tersebut dapat dikarakterisasi melalui transformasi spektral, yaitu:


indeks vegetasi (normalized different vegetation index/NDVI)(Rouse et al. 1974),
indeks air (normalized different water index/NDWI) (Xu 2006) dan indeks lahan
terbuka (normalized different bareness index/NDBI) (Zha et al. 2003). Ketiga
transformasi spektral tersebut dikombinasikan melalui proses penggabungan
dengan band Landsat lainnya (tanpa menggunakan band termal) sehingga setiap
data terdiri dari 9 layer komposisi band, melalui proses stacking.
Klasifikasi Citra Satelit Pengelompokan Citra Landsat menjadi penutup lahan
menggunakan klasifikasi berbasis objek (Blaschke 2010) dan menerapkan
algoritma klasifikasi RF (Breiman 2001). Prosedur klasifikasi berbasis objek
mengacu pada teknis yang telah disajikan pada bahasan sebelumnya. IIL yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari biru, hijau, merah. IMD, IMM, IMJ,
NDVI, NDWI dan NDBI. Fitur atribut yang digunakan terdiri dari rata-rata, standar
deviasi, median dan mean different to neighbour.
Hasil klasifikasi disimpan dalam format shapefile dan siap digunakan oleh
aplikasi sistem informasi geografis. Editing data vektor (shapefile) dapat dilakukan
dengan mudah, mengingat setiap objek telah diubah menjadi vektor penutup lahan.
Khusus data tahun 2013 dilakukan perubahan atribut karena sebagian citra satelit
Landsat 8 OLI tertutupi oleh awan dan bayangan awan. Uji akurasi Data lapangan
dan peta penutup lahan digunakan untuk menghasilkan matrik kesalahan (error
matrix).
Deteksi perubahan mangrove Deteksi perubahan mangrove diketahui melalui
operasi spasial menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (ArcGIS Desktop
versi 10.1) Data penutup lahan dalam format shapefile diubah menjadi raster grid
berdasarkan nilai kelas penutup lahan dan setiap kelas penutup lahan memiliki
kolom kode nilai integer yang unik, dimulai dari 1 hingga i, dan i adalah jumlah
kelas penutup lahan. Dalam penelitian ini nilainnya adalah: 1 (badan air), 2
(vegetasi lainnya), 3 (kebun), 4 (lahan terbuka), dan 5 (mangrove). Selanjutnya
setiap nilai kelas penutup lahan dikalikan dengan faktor pengali dengan persamaan
sebagai berikut:
V’ = Vi * 10x (15)

dimana V’ adalah nilai value yang baru, Vi adalah nilai interger kelas penutup lahan
kelas ke-i, 10 adalah faktor pengali dan x seri Citra Landsat ke-x yang merupakan
bilangan bulat positif dimulai dari 0. Selanjutnya nilai V’ seri penutup lahan
dijumlah untuk memprediksi perubahan penutup lahan mangrove, melalui
persamaan:
V’tot=V’1996+V’2002+V’2010+V’2013 (16)

V’tot adalah nilai penjumlahan V’ baru kelas penutup lahan tahun seri data Landsat.
Nilai V’tot terdiri dari empat digit, berkisar antara 1111 – 5555. Empat digit angka
yang sama mengindikasikan tidak terjadinya perubahan penutup lahan, sebaliknya
jika salah satu angka dari empat digit tersebut berbeda maka mengindikasikan telah
terjadi perubahan penutup lahan di lokasi penelitian. Matrik perubahan diterapkan
pada hasil klasifikasi 1996–2002, 2002– 2010 dan 2010–2013.
62

Hasil dan Pembahasan

Klasifikasi Penutup Lahan


Kelas penutup lahan mangrove yang terdiri dari lima kelas penutup lahan
yaitu badan air, vegetasi lainnya, kebun, lahan terbuka dan mangrove, telah berhasil
dipetakan dengan baik. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa mangrove tersebar di
sepanjang Sungai Kembung dan anak-anak sungai yang bermuara padanya.
Mangrove juga dapat dijumpai di sepanjang garis pantai di sekitar muara Sungai
Kembung. Peningkatan sebaran kelas lahan terbuka terpetakan dengan jelas dan
terlihat bahwa telah terjadi perubahan penutupan lahan mangrove di Sungai
Kembung. Tahun 1996 kelas lahan terbuka hanya terkonsentrasi pada beberapa
lokasi di kawasan Sungai Kembung, seiring dengan meningkatnya interaksi
manusia terhadap mangrove sebaran kelas lahan terbuka semakin tegas dan
merambah mangrove (Gambar 22). Kelas lainnya juga memberikan kontribusi
perubahan penutup lahan mangrove di Sungai Kembung.
Empat matrik kontingensi dibuat untuk menghitung akurasi keseluruhan,
pengguna, produser dan statistik kappa. Diasumsikan bahwa data lapangan yang
digunakan dalam penelitian ini secara akurat merepresentasikan realitas di
lapangan. Namun demikian data lapangan masih memungkinkan untuk memiliki
kesalahan, seperti adanya ketidakterkaitan antara data lapangan dengan citra satelit
yang diklasifikasi. Uji akurasi menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Nilai
akurasi keseluruhan (OA) berkisar 82-87.7 % dan nilai statistik Kappa berkisar
antara 0.76-0.84 (Tabel 23). Hasil akurasi pemetaan yang sama juga dihasilkan oleh
Conchedda et al. (2008) dalam memetakan mangrove dengan teknik klasifikasi
berbasis objek, menggunakan data citra SPOT XS dengan 6 kelas penutup lahan,
sebesar 85.7%. Son et al. (2014) memetakan mangrove menggunakan data seri
Landsat dengan teknik klasifikasi berbasis objek, sebanyak lima kelas penutup
lahan, dengan rentang akurasi yang diperoleh 82.3-84.2%. Dari hasil tersebut dapat
dinyatakan bahwa pemetaan mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis
obyek merupakan salah satu teknik alternatif yang menjanjikan.
63

Gambar 22 Peta hasil klasifikasi penutup lahan


Kelas mangrove dapat dipetakan dengan baik, hal tersebut dibuktikan dengan
tingginya akurasi user dan produser yang dihasilkan oleh masing-masing data, yaitu
lebih besar dari 90% (Tabel 23). Tinggi nilai akurasi tersebut mengindikasikan
bahwa teknik klasifikasi berbasis objek dan penggunaan algoritma RF dapat
dijadikan teknik alternatif dalam memetakan mangrove dan penutup lahan yang ada
di sekitarnya. Meskipun demikian masih dijumpai kesalahan dalam pemisahan
(misclassification) kelas mangrove terhadap kelas-kelas lainnya.
Tabel 23 Hasil uji akurasi 4 seri citra Landsat
Tahun UA PA OA Kappa
1996 93.4% 90.5% 84.0% 0.78
2002 96.7% 93.7% 82.6% 0.76
2010 91.8% 91.8% 87.7% 0.83
2013 95.9% 93.6% 88.4% 0.84

Kesalahan omisi dan komisi diperkirakan kurang dari 10%. Beberapa hal
yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah penutup lahan yang berada di sekitar
mangrove menempati kawasan morfologi yang sama yaitu daerah pasang surut
(tidal flat) belakang mangrove. Oleh karena itu sulit untuk menghindari kemiripan
spektral saat pemilihan sampel objek dalam membangun aturan kelas yang spesifik
(Conchedda et al. 2008). Perbedaan waktu perekaman juga berkontribusi dalam
kesalahan klasifikasi, yang berpengaruh terhadap fluktuasi tinggi muka air yang
disebabkan oleh pasang surut untuk keempat data (Tabel 24)..
64

Tabel 24 Prediksi tinggi muka air (meter) berdasarkan waktu perekaman citra
satelit yang diperoleh dari stasiun Kuala Siak.
Waktu perekaman
No. Citra Satelit Prediksi pasang surut
Tanggal Jam
1 Landsat 5 TM 6/19/1996 09:35:50 2.61+
2 Landsat 7 ETM+ 7/3/2002 10:11:03 1.71+
3 Landsat 5 TM 2/2/2010 10:13:41 2.83+
4 Landsat 8 LDCM 5/17/2013 10:24:48 1.87+
Sumber: BlueChart Pacific v14 Tides untuk wilayah Singapura, Malaysia dan Indonesia. Simbol
positif (+) mengindikasikan kondisi perairan pada saat pasang.

Perubahan Mangrove
Sejak tahun 1996 hingga 2013, luas mangrove di Sungai Kembung bertambah
sebesar 1.7%, dengan rincian perubahan luas dari tahun 1996-2002 terjadi
penambahan luas mangrove sebesar 0.5%, dari tahun 2002-2010 terjadi penurunan
luas 1.4% dan dari tahun 2010 ke 2013 terjadi peningkatan sebesar 2.6% (Tabel 25)
Tabel 25 Estimasi luas penutup lahan (hektar)
Tahun Badan Air Vegetasi Lainnya Kebun Lahan Terbuka Mangrove
1996 714.3 1572.5 1566.0 191.3 3102.1
2002 717.0 1726.0 1251.1 335.5 3116.6
2010 719.7 1312.3 1586.1 453.7 3074.5
2013 732.0 1034.1 1467.7 756.4 3156.0

Luas mangrove di Sungai Kembung menunjukkan perubahan yang tidak


begitu tinggi (Tabel 26), penambahan luas tutupan mangrove lebih tinggi
dibandingkan dengan pengurangan tutupan mangrove. Misalnya, lebih dari 6%
kelas mangrove tahun 2002 berubah menjadi kelas vegetasi lainnya, yaitu kebun
masyarakat dan lahan terbuka pada tahun 2010. Periode yang sama, matrik
perubahan menunjukkan 3.8% badan air, 1.7% vegetasi lainnya, 2.8% dan 18.9%
lahan terbuka berubah menjadi mangrove. Pola yang hampir sama juga dijumpai
pada dua periode lainnya. Hasil klasifikasi menunjukkan bahwa, 93.7-96.6%
mangrove, 28.5-69.8% lahan terbuka, 60.7-69.1% kebun masyarakat, 54.6–75.3%
vegetasi lainnya dan 94.7–96.7% badan air tidak mengalami perubahan.
Faktor utama yang menyebabkan perubahan mangrove di lokasi penelitian
disebabkan oleh faktor alam dan antropogenik. Persentase penambahan mangrove
terbesar dijumpai pada kelas lahan terbuka (Gambar 23). Periode 1996-2002 terjadi
penambahan sebesar 14.3%. Terlihat bahwa, mangrove yang telah ditebang pada
tahun 1996 (menjadi kelas lahan terbuka) kembali tumbuh menjadi kelas mangrove
tanpa mendapatkan intervensi manusia. Laju penambahan mangrove meningkat
menjadi 18.9% pada pengamatan data tahun 2002–2010. Dalam rentang waktu
tersebut, pemerintah melalui program nasional, MCRMP (Marine Coastal
Resouces Management Program) yang juga dimplementasikan di Kabupaten
Bengkalis, dan Sungai Kembung merupakan salah satu lokasi program tersebut.
MCRMP memfasilitasi kelompok masyarakat setempat melakukan kegiatan
pengelolaan mangrove termasuk penanaman mangrove. Rentang tahun 2010-2013,
laju penambahan mangrove lebih kecil yaitu 9.1%. Pada rentang tersebut program
65

MCRMP telah berakhir kelompok masyarakat pengelola mangrove telah berkurang


dan beberapa kawasan kelola telah dipanen, pertambahan mangrove diperkirakan
berasal dari pertumbuhan alami mangrove.
Tabel 26 Persentase perubahan penutup lahan dari tahun 1996-2002, 2002-2010
dan 2010-2013
Badan air Vegetasi Kebun Lahan Mangrove
Lainnya terbuka
1996 – 2002
Badan air 96.66 0.04 0.05 0.60 2.65
Vegetasi lainnya 0.17 75.26 14.80 5.24 4.54
Kebun 0.30 29.03 60..74 8.56 1.37
Lahan terbuka 2.45 29.16 25.59 28.50 14.30
Mangrove 0.47 1.03 0.58 1.94 95.98
2002 – 2010
Badan Air 94.67 0.05 0.03 1.48 3.78
Vegetasi lainnya 0.03 54.64 36.73 6.88 1.72
Kebun 0.07 17.16 69.11 10.84 2.82
Lahan terbuka 2.07 22.37 22.16 34.55 18.86
Mangrove 1.05 2.54 0.42 2.33 93.67
2010 – 2013
Badan air 95.07 - 0.01 1.09 3.83
Vegetasi lainnya 0.03 57.31 21.62 13.24 7.80
Kebun 0.04 16.05 68.77 14.13 1.00
Lahan terbuka 2.76 2.74 15.55 69.83 9.13
Mangrove 1.11 0.49 0.73 1.10 96.56

Pengurangan luas mangrove terjadi disebabkan karena pengaruh


antropogenik yaitu merubah mangrove menjadi lahan terbuka dengan fungsinya
sebagai jalan, tanggul, permukiman dan tambak udang. Tahun 1996, kelas lahan
terbuka di daerah Mangrove hanya difungsikan sebagai permukiman sekaligus
usaha dapur arang bakau dan tidak ditemukan fungsi lainnya. Rentang tahun 1996-
2002, terjadi alih fungsi mangrove menjadi jalan dan tambak udang dengan laju
pengurangan mangrove sebesar 1.9%. Rentang tahun 2002-2010 merupakan
puncak ekploistasi mangrove di Sungai Kembung dengan laju pengurangan sebesar
2.3%. Kenaikan ini dipicu oleh penebangan vegetasi mangrove khususnya jenis
Rhyzophora spp, Bruguiera spp dan Xylocarpus sp untuk kebutuhan dapur arang.
Alih fungsi mangrove bertambah dengan dibangunnya tanggul-tanggul pembatas
oleh pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis yang bertujuan untuk mengantisipasi
naiknya muka air pada saat pasang tertinggi serta bertambahnya luasan tambak di
kawasan mangrove pantai. Mulai tahun 2008 pemerintah daerah Kabupaten
Bengkalis, melalui Dinas Kehutanan mengeluarkan aturan menghentikan
sementara produksi dapur arang di wilayah Kabupaten Bengkalis. Hal tersebut
berhasil menekan degradasi mangrove di Sungai Kembung dimana laju
pengurangan turun mencapai angka 1.1% dari data 2010-2013.
66

Gambar 23 Peta perubahan mangrove (1996-2013), warna merah


mengindikasikan pengurangan mangrove, orange mengindikasikan
penambahan mangrove, warna hijau mengindikasikan mangrove yang
tidak berubah dan dan cyan merupakan objek vegetasi lainnya
Mangrove di Sungai Kembung berada pada status relatif stabil dengan
perkiraan laju penambahan tutupan mangrove hampir 1.7% antara tahun 1996 dan
2013. Bagaimana pun hal ini tidak menggambarkan kondisi yang sesungguh di
lapangan. Banyak ditemukan tekanan-tekanan pada tingkatan tertentu seperti
penebangan untuk kontruksi bangunan dan arang bakau serta pembukaan lahan
untuk jalan dan atau tanggul. Hasil perekaman citra satelit Landsat 5 TM tahun
1996 mengindikasikan mangrove di Sungai Kembung telah mengalami tekanan,
terlihat beberapa kawasan telah berubah menjadi lahan terbuka, dan tekanan
tersebut kian meningkat meskipun peningkatannya tidak begitu besar, yaitu 60.3
hektar pada tahun 2002, 84.2 hektar pada tahun 2010 dan 86.9 hektar pada tahun
2013. Diperkirakan tekanan tersebut telah berlangsung lebih lama, mengingat
praktek-praktek pemanfaatan langsung mangrove berupa kayu telah berlangsung
lama dan turun-temurun, khususnya pembuatan arang bakau oleh dapur arang
(panglong) yang umum dijumpai di sekitar kawasan mangrove di Pulau Bengkalis.
Hal tersebut diperkuat oleh Kusmana (2012) bahwa sejak tahun 1952, Bengkalis
telah dijadikan model pengelolaan mangrove di Indonesia yang dikenal dengan
istilah working plan.
Penebangan pohon mangrove untuk berbagai kepentingan seperti kayu bakar,
material bangunan dan jalan, bahan baku arang, sering dijumpai pada saat
pengecekan lapangan. Penebangan mangrove tidak hanya berakibat terhadap
hilangnya tutupan mangrove tapi yang lebih penting lagi adalah berubahnya
67

struktur komunitas mangrove (Ferreira et al. 2009). Beberapa kajian menyatakan


bahwa gangguan secara antropogenik maupun alami dapat mempengaruhi
kerapatan tegakan, basal area dan kompleksitas jika dibandingkan dengan
mangrove yang tidak mengalami gangguan (Bandeira et al. 2009; Urrego et al.
2014). Selain itu dapat juga terjadi okupasi kawasan tertanggu oleh jenis vegetasi
lainnya (Radhika 2006).
Selain perhitungan matrik perubahan, estimasi perubahan mangrove
menunjukan bahwa selama 17 tahun terakhir dapat diketahui bahwa rata-rata
pengurangan mangrove sebesar 197.2 hektar dan penambahan sebesar 251.1 hektar.
Perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan mendesak dibutuhkan guna
keberlanjutan dan eksistensi mangrove di Sungai Kembung. Banyak penelitian
telah memberikan alarm peringatan untuk menjaga eksistensi mangrove dari
degradasi dan deforestasi (FAO 2007; Polidoro et al. 2010; Giri et al. 2011).
Peranan pemerintah khususnya pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis sebagai
fasilitator dan katalisator pembangunan yang pro aktif dan produktif dalam
pengelolaan mangrove sangat dibutuhkan serta dukungan dan ruang kepada
masyarakat setempat dalam pengelolaan yang berbasis masyarakat (Datta et al.
2012b).

Simpulan

Luas mangrove di lokasi penelitian relatif stabil karena penambahan dan


pengurangan luas tutupan. Penambahan luas tutupan mangrove disebabkan oleh
penanaman mangrove oleh masyarakat lokal (kelompok pengelola mangrove) dan
pertumbuhan alami, sedangkan pengurangan luas tutupan mangrove disebabkan
oleh alih fungsi mangrove menjadi penutup lahan lainnya seperti lahan terbuka
akibat penebangan, permukiman, jalan, tanggul, dan tambak udang. Selama hampir
dua dekade, luas mangrove di Sungai Kembung berkurang sebesar 197.2 hektar,
bertambah seluas 251.1 hektar, dan tidak mengalami perubahan seluas 2904.9
hektar. Diperlukan dukungan serius seluruh pemangku kepentingan dalam
pengelolaan mangrove di Sungai Kembung untuk mempertahankan eksistensi dan
keberlangsungannya.
6 PEMBAHASAN UMUM

Mangrove merupakan sumberdaya penting dalam kehidupan manusia, kajian-


kajian berupa bio-ekologi, sosial ekonomi dan lainnya yang berkaitan dengan
mangrove akan berkembang dan dikembangkan guna mempertahankan eksistensi
mangrove itu sendiri. Inventarisir dan monitoring mangrove diperkirakan telah
berlangsung semenjak generasi pertama satelit penginderaan jauh dihadirkan dan
berlangsung hingga saat ini dan jumlahnya akan terus meningkat dan telah dibahas
oleh beberapa peneliti sebelumnya (Heumann 2011b; Kuenzer et al. 2011;
Suratman 2014)
Penelitian ini dirangkai oleh suatu proses klasifikasi yang dimulai dari
rancangan penentuan sampel di lapangan hingga uji akurasi, yang terdiri dari pra
pengolahan data, rancangan sampel, pengukuran dan pengamatan lapangan,
pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove, klasifikasi mangrove
berbasis objek dan penerapan teknik klasifikasi berbasis obyek untuk deteksi
perubahan mangrove.
Hasil analisis struktur vegetasi menyatakan bahwa mangrove di Sungai
Kembung dikategorikan sebagai kawasan yang baik dan sangat padat dan memiliki
jumlah jenis pohon mangrove (32 spesies) yang lebih banyak dibandingkan
ekosistem yang berada di sekitarnya. Jumlah tersebut digunakan untuk
mengelompokan jenis penyusun mangrove di Sungai Kembung, yaitu sebanyak 10
jenis dan berhasil mengelompokan sebanyak tiga kelas utama yaitu komunitas R.
apuculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg). Kelompok-kelompok komunitas
tersebut dipengaruhi oleh beberapa jenis mangrove dominan seperti X. granatum,
R. apiculata, L. racemosa dan S. hydrophyllacea. Kelimpahan masing-masing jenis
memiliki kontribusi besar dalam penyusunan komunitas.
Pengelompokan komunitas mangrove menggunakan analisis gerombol dan
dibantu oleh persentase kemiripan (SIMPER) (Mumby dan Harborne 1999; Green
et al. 2000). Melalui analisis gerombol, komunitas dibangun melalui karakteristik
penyusun dihitung berdasarkan similaritas jarak Bray-Curtis. Seharusnya melalui
analisis gerombol dapat dikembangkan skema klasifikasi hirarki dengan tiga
tingkatan (hirarki), mulai dari tingkatan kasar, menengah dan detail. Namun
berdasarkan nilai similaritas Bray-Curtis yang digunakan (50%), telah dihasilkan
12 kelas komunitas komunitas mangrove di Sungai Kembung, namun mengingat
keterhubungan (dendogram) antar kelas yang telah diputuskan melalui tingkat
kemiripan tersebut maka hirarki pada tingkatan yang lebih rendah (menengah dan
kasar) tidak dapat dikembangkan. Kelas-kelas yang dihasilkan memungkinkan
hadir dengan jumlah anggota kelas yang sedikit dan tidak dapat diterapkan dalam
aplikasi penginderaan jauh. Hal tersebut berdampak terhadap berkurangnya jumlah
kelas komunitas mangrove yang digunakan. Solusi lain dalam permasalahan ini
adalah membagi kelas-kelas dengan jumlah anggota yang lebih sedikit tersebut dan
digabungkan menjadi satu kelas komunitas, meskipun konsekuensi kemiripan
komponen penyusun menjadi lebih rendah.
Green et al. (2000) merekomendasikan bahwa skema klasifikasi yang baik
harus dapat diartikan dengan mudah dan tidak ambigu. Skema harus didefinisikan
secara objektif dan semi kuantitatif atau kuantitatif. Sebuah penjeasan yang mampu
mengkarakteristik dan memisahkan di antara skema tersebut dan ditambahkannya
69

lagi bahwa skema klasifikasi yang telah dikembangkan melalui penelitian ini
disarankan untuk dievaluasi secara berkala, seiring dengan perkembangan
ekosistem mangrove di Sungai Kembung. Pada akhirnya komunitas mangrove yang
dibangun telah mewakili komunitas mangrove di Sungai Kembung.
Citra multispektral tidak cukup baik membedakan mangrove di tingkat
spesies (Ajithkumar et al. 2008), bahkan dengan citra hiperspektral pun masih
dijumpai kesulitan dalam memisahkan spesies mangrove (Vaiphasa et al. 2005;
Wang dan Sousa 2009). Namun penggunaan penamaan objek permukaan pada
hirarki yang lebih rendah lagi seperti spesies dominan (Wang et al. 2004b;
Vaiphasa et al. 2006). Karakteristik reflektansi spektral komunitas mangrove di
Sungai Kembung masih belum mampu dipisahkan oleh citra SPOT 6 dan
LANDSAT 5 TM. Kemiripan spektral yang dipengaruhi oleh banyak faktor
reflektansi spektral kanopi seperti air dan sedimen (Ajithkumar et al. 2008;
Kuenzer et al. 2011) serta ditambahkan lagi oleh (Vaiphasa et al. (2005)) berupa
pengaruh fluktuasi energi matahari, perubahan harian kondisi atmosfer, pengaruh
formasi kanopi, resolusi spasial dan spektral. Penentuan posisi sampel yang tepat
dan tepat di lapangan serta merepresentasikannya pada piksel citra yang digunakan.
Sebagai tawaran dalam penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi yang
lebih maju, melalui teknik klasifikasi berbasis objek dan algoritma klasifikasi RF
dapat membantu meningkatkan pemisahan antar kelas skema klasifikasi yang
diterapkan.
Teknik klasifikasi yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan gabungan
teknik segmentasi citra satelit (berbasis objek) dan pendekatan klasifikasi
terbimbing dengan algoritma tertentu (umumnya machine learning). Pendekatan ini
merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh aplikasi yang digunakan.
Segmentasi merupakan proses membangun objek berdasarkan IIL berdasarkan
derajat kemiripan atau ketidakmiripan. Hasil segmentasi dipengaruhi oleh beberapa
parameter yaitu: i) bobot (weight) IIL, setiap IIL dapat diberikan bobot yang
berbeda dalam membangun objek. ii) Scale, merupakan sebuah nilai ambang batas
yang mempengaruhi ukuran objek, scale dipengaruhi oleh shape, merupakan
pengaruh nilai spektral yang dimiliki oleh masing-masing IIL dan compactness,
merupakan kekompakan objek yang dihasilkan. Kombinasi keempat parameter
tersebut sangat banyak, diperlukan acuan tertentu untuk memperoleh nilai-nilai
optimum segmentasi. Penentuan nilai dilakukan dengan melakukan beberapa
percobaan (trial and error) dari kombinasi parameter (de Santiagoa et al. 2013).
Metode lain yang ditawarkan oleh Drǎguţ et al. (2010) adalah estimation of scale
parameter. Metode ini menentukan derajat kemiripan berdasarkan varian lokal
dalam suatu scene. Nilai ambang batas tingkat perubahan varian lokal menunjukkan
tingkat skala dimana IIL dapat dibangi dengan cara yang tepat, relatif terhadap sifat
data ditingkat kejadian.
Algoritma RF mampu mereduksi pengaruh salt and pepper dari hasil
klasifikasi penutup lahan mangrove dibandingkan algoritma ML. Hal tersebut
memperkuat penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015a)
dan Jhonnerie et al. (2015b). Meskipun pemetaan penutup lahan mangrove dapat
dilakukan dengan baik melalui algoritma RF namun beberapa permasalahan masih
dijumpai, seperti masih dijumpai kesalahan pengkelasan objek (misclassification)
penutup lahan mangrove oleh algoritma RF. Tiga kelas penutup lahan lainnya yang
selalu hadir pada validasi kelas mangrove adalah transisi, badan air dan lahan
70

terbuka, dengan rentang nilai komisi 0.03%-25.3% dan omisi 9.6%-37.7%.


Fatoyinbo et al. (2008) menemukan permasalahan yang sama dalam memetakan
penutup lahan mangrove, sementara Heumann (2011a) menyatakan sumber
kesalahan memetakan mangrove dengan menggunakan teknik klasifikasi adalah
tergabungnya kelas transisi (mangrove ikutan) dengan kelas mangrove dan tidak
menutup kemungkinan kelas lain. Beda waktu pengamatan lapangan dan
perekaman citra satelit yang digunakan selisih waktu keduanya adalah 2 tahun. Van
Beijma et al. (2014) melaporkan hal yang sama dalam penelitiannya. Permasalahan
ini sering menjadi hambatan dalam penelitian penginderaan jauh, apatah lagi pada
saat penggunaan data optik yang keberadaannya dipengaruhi oleh kondisi
atmosferik pada saat perekaman dilakukan. Beberapa kelas penutup lahan telah
mengalami perubahan menjadi penutup lahan lainnya, namun hal tersebut di atasi
dengan bantuan data citra satelit lainnya dengan perekaman yang lebih baru, untuk
melihat konsistensi perubahan penutup lahan yang diamati untuk penetapan
pengamatan data validasi lapangan.

Ketidakpastian Penelitian

Ketidakpastian dapat diartikan sebagai minimnya pengetahuan (Atkinson dan


Foody 2006). Dungan (2006) mengartikan ketidakpastian adalah pernyataan
kuantitatif terhadap kemungkinan kesalahan. Ketidakpastian dapat hadir dari
berbagai sumber mulai dari pengabaian pengukuran hingga prediksi.
Ketidakpastian dapat mempengaruhi tingkat ketelitian produk yang dihasilkan pada
tingkatan tertentu dalam penelitian ini. Secara teknis sumber ketidakpastian dapat
berasal dari pra pengolahan data (Mahiny dan Turner 2007), pengukuran dan
pengamatan lapangan (Ahmed et al. 2013) dan analisis data (Rocchini et al. 2013).
Dungan (2006) menyatakan bahwa pengurangan ketidakpastian menyiratkan
kemajuan namun peningkatan ketidakpastian juga menyiratkan kemajuan
pemahaman.
Dungan (2006) memberikan contoh koreksi atmosferik (proses merubah nilai
digital menjadi nilai reflektansi permukaan) sebagai ketidakpastian dalam pra
pengolahan data. Model matematis yang digunakan dalam koreksi atmosferik
menghasilkan nilai underestimate (kurang dari 0) dan overestimate (lebih dari 1)
pada obyek permukaan seperti badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Mahiny dan
Turner (2007) menyatakan hasil koreksi tersebut merupakan anomali koreksi
atmosferik.
Model aerosol [1], [2], dan [3] (Gambar 24), menghasilkan nilai negatif
(underestimate) pada objek badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Khusus pada
reflektansi vegetasi (Gambar 24.c) ketiga model memprediksi nilai reflektansi yang
melebihi nilai seharusnya (overestimate). Model aerosol [4] menyajikan hasil nilai
reflektansi spektral yang lebih rasional, meskipun masih dijumpai piksel yang
memiliki nilai negatif khususnya pada objek badan air pada panjang gelombang
inframerah dekat, tengah dan jauh. Anomali tersebut dapat terjadi akibat nilai
parameter aerosol yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, meskipun
demikian hasil koreksi tersebut mampu meningkatkan akurasi pemetaan (Mahiny
dan Turner 2007). Penelitian ini tidak melakukan pengujian terhadap hasil akurasi
pemetaan dengan dan tanpa koreksi atmosferik.
71

a b

c
Gambar 24 Kurva reflektansi spektral permukaan dari beberapa objek (a. badan air,
b. lahan terbuka dan c. vegetasi) dari empat percobaan model aerosol.
Lingkaran merah mengindikasikan anomali koreksi atmosferik

Nilai reflektansi spektral permukaan yang dihasilkan melalui koreksi


atmosferik tidak dapat divalidasi, meskipun nilai-nilai reflektansi spektral yang
dihasilkan berada pada rentang acuan reflektansi yang telah ada.. Pustaka digital
spektral yang disediakan oleh ENVI EXELIS tidak dapat dijadikan acuan
mengingat pustaka digital tersebut merupakan referensi yang berasal dari
komponen penyusun yang berbeda dengan obyek permukaan di lokasi penelitian,
selain itu peralatan pendukung berupa spektrometer tidak mendukung untuk
digunakan. Penelitian ini hanya mengandalkan nilai reflektansi spektral permukaan
absolut yang dihasilkan melalui proses koreksi atmosferik.
Ketidakpastian pengukuran posisi obyek di lapangan menjadi permasalahan
tersendiri dalam penelitian ini. Penggunaan alat ukur posisi berupa GPS pemetaan
(TRIMBLE JUNO SB) dan tidak dilengkapi dengan antena yang memadai
menghasilkan akurasi pengukuran posisi pengamatan lapangan yang rendah.
Pengukuran posisi plot transek (di bawah tutupan tajuk mangrove) selama 30-45
menit menghasilkan distribusi titik seluas 30mx30m (Gambar 25), sementara
pengukuran titik-titik yang dilakukan ditempat yang lebih terbuka (persimpangan
jalan) yang dilakukan selama 30 menit menghasilkan distribusi titik seluas
10mx10m. Diperkirakan kesalahan tersebut lebih utama disebabkan oleh kesalahan
multipath. Pengukuran dilakukan tidak diruang terlalu terbuka, penerimaan sinyal
satelit oleh GPS penerima dipengaruhi oleh objek yang ada di sekitarnya, berupa
tutupan kanopi, pohon dan bangunan yang ada di sekitar lokasi pengukuran. Selain
itu kesalahan dapat dipengaruhi oleh kondisi ionosfer, stratosfer, jam satelit,
kesalahan antena, derau sinyal GPS penerima. Pengukuran posisi hanya
mengandalkan pengukuran absolut tanpa ada faktor koreksi terhadap posisi yang
diterima oleh GPS penerima. Mengantisipasi hal tersebut Dungan (2006)
merekomendasikan untuk menggunakan nilai rata-rata jendela piksel seukuran
72

distorsi posisi GPS yaitu 30 m x 30 m. Rata-rata diambil dalam upaya untuk


mengurangi ketidakpastian posisi dan meningkatkan dukungan piksel dalam
analisis lebih lanjut.

Gambar 25 Distribusi titik-titik multipath (berwarna merah) GPS


(ditumpangtindihkan dengan Citra SPOT 6 multispektral) pada saat
pengukuran vegetasi mangrove, pada dua lokasi berbeda. Titik
berwarna biru dalam kotak merupakan rancangan titik plot dan
pengamatan lainnya

Penelitian ini menyatakan bahwa teknik klasifikasi berbasis objek lebih baik
dibandingkan dengan teknik klasifikasi berbasis piksel. Meskipun demikian
ketidakpastian hadir pada saat segmentasi data kontinu menjadi data diskrit.
Dijumpai objek-objek yang over-segmented dan tidak tepatnya batasan objek yang
dihasilkan. Kim et al. (2008) menyatakan belum tersedia metode objektif dalam
menentukan skala segmentasi, umumnya menggunakan metode uji coba. Padahal
ukuran obyek merupakan salah satu permasalahan penting dan kritis dalam
penentuan kualitas segmentasi, khususnya akurasi klasifikasi (Meinel dan Neubert
2004). Perolehan segmen optimum telah dalam penelitian ini telah menerapakan
metode yang disarankan. Optimasi dilakukan terhadap parameter segmentasi
(scale, shape dan compactness) berdasarkan nilai akurasi yang diperoleh.
Penggunaan algoritma MRS dan SDA dalam proses segmentasi dapat dengan
mudah divalidasi secara visual, khususnya objek-objek yang dapat diinterpretasikan
secara visual, seperti segmentasi penutup lahan. Kasus over-segmented dan under-
segmented dapat diminimalisir melalui metode uji coba. Namun pada kasus lain
komunitas mangrove, batas objek tidak dapat diinterpretasi secara visual, maka
penggunaan algoritma segmentasi MRS dan SDA dapat menghadirkan
ketidakpastian. Objek yang dihasilkan hanya mengandalkan parameter kemiripan
spektral IIL dan kekompakan serta ukuran bergantung pada scale yang digunakan.
Mereduksi ketidakpastian tersebut, dalam penelitian ini merekomendasikan
penggunaan algoritma segmentasi chessboard. Algoritma ini membangun objek
dalam bentuk kotak bujur sangkar, ukuran (scale) kotak mengacu pada distribusi
titik-titik posisi pengukuran plot transek di lapangan. Cara yang sama juga
diterapkan oleh Kamal dan Phinn (2011) untuk memetakan spesies mangrove
menggunakan citra hiperspektral.
7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Skema klasifikasi penutup lahan mengacu pada Badan Standar Nasional


sedangkan skema komunitas mangrove dikembangkan dari data struktur komunitas
mangrove. Skema klasifikasi komunitas mangrove di Sungai Kembung hanya dapat
dikembangkan pada satu tingkatan (hirarki) saja dengan tiga kelas utama yaitu
komunitas R. apiculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg), Lainnya (La), namun
kelas Ra dan Xg yang dapat dipetakan dengan baik.
Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek dari seluruh IIL yang
digunakan berkisar 26.3%-81.6% sedangkan klasifikasi berbasis piksel 29.0%-
80.2%. Algoritma RF mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan
algoritma ML. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan klasifikasi
berbasis objek dan piksel diperoleh melalui IIL M6, meskipun demikian klasifikasi
berbasis objek mampu memetakan kelas penutup lahan dan komunitas mangrove
lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel, dengan peningkatan akurasi
klasifikasi sebesar 1-24.5% pada klasifikasi penutup lahan dan 1.7% pada
komunitas mangrove. Teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu
mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan dan komunitas mangrove walaupun
masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan efek salt and pepper
pada kedua teknik klasifikasi.
Selama hampir dua dekade (1996-2013), luas mangrove di Sungai Kembung
berkurang sebesar 197.2 hektar, bertambah seluas 251.1 hektar, dan tidak
mengalami perubahan seluas 2904.9 hektar. Penambahan luas tutupan mangrove
disebabkan oleh penanaman mangrove oleh masyarakat dan pertumbuhan alami,
sedangkan pengurangan luas tutupan mangrove disebabkan oleh alih fungsi
mangrove menjadi penutup lahan lainnya seperti lahan terbuka akibat penebangan,
permukiman, jalan, tanggul, dan tambak udang.

Saran

Penerapan teknik pengembangan skema klasifikasi perlu diterapkan dalam


pemetaan mangrove yang lebih detail agar dapat terukur dan direpitisi pada data
dan lokasi penelitian lainnya dan mempertimbangkan data struktur komunitas
lainnya, seperti tinggi dan kerapatan.
Perlu diterapkan teknik klasifikasi lunak (soft classification) berbasis
kontektual untuk meningkatkan hasil klasifikasi berbasis objek.
Penggunaan peralatan lapangan yang memadai dan mendukung serta
penguasaan teknis pengolahan data penginderaan diperlukan untuk mengurangi
ketidakpastian penelitian.
74

DAFTAR PUSTAKA

Abu El-Regal MA, Ibrahim NK. 2014. Role of mangroves as a nursery ground for
juvenile reef fishes in the southern Egyptian Red Sea. Egypt J Aqua Res,
40(1): 71-78.
Ahmad S. 2009. Recreational values of mangrove forest in Larut Matang, Perak. J
Trop Forest Sci. 21(2): 81-87.
Ahmed R, Siqueira P, Hensley S, Bergen K. 2013. Uncertainty of forest biomass
estimates in North temperate forests due to allometry: Implications for remote
sensing. Remote Sens. 5(6): 3007-3036.
Aiazzi B, Baronti S, Selva M, Alparone L, 2006. Enhanced gram-schmidt spectral
sharpening based on multivariate regression of MS and pan data. IEEE
International Geoscience and Remote Sensing Symposium; 2006: Denver,
Amerika Serikat (US). IGARSS. hlm 3806-3809.
Ajithkumar TT, Thangaradjou T, Kannan L. 2008. Spectral reflectance properties
of mangrove species of the Muthupettai mangrove environment, Tamil Nadu.
J Environ Biol. 29(5): 785-788.
Al Habshi A, Youssef T, Aizpuru M, Blasco F. 2007. New mangrove ecosystem
data along the UAE coast using remote sensing. Aquat Ecosyst Health
Manag. 10(3): 309-319.
Alatorre LC, Sánchez-Andrés R, Cirujano S, Beguería S, Sánchez-Carrillo S. 2011.
Identification of mangrove areas by remote sensing: The ROC curve
technique applied to the northwestern Mexico coastal zone using Landsat
imagery. Remote Sens. 3(8): 1568-1583.
Alesheikh AA, Sadeghi Naeeni Fard F. 2007. Design and implementation of a
knowledge-based system to improve maximum likelihood classification
accuracy. Can J Remote Sens. 33(6): 459-467.
Ali SS, Dare PM, Jones SD. 2009. A comparison of pixel- and object-level data
fusion using lidar and high-resolution imagery for enhanced classification
innovations in remote sensing and photogrammetry. Di dalam': Jones S,
Reinke K, editor. Innovations in remote sensing and photogrammetry.
Lecture notes in geoinformation and cartography. Berlin (DE): Springer p. 3-
17.
Alsaaideh B, Al-Hanbali A, Tateishi R, Kobayashi T, Hoan N. 2013. Mangrove
Forests Mapping in the Southern Part of Japan Using Landsat ETM+ with
DEM. JGIS. 5: 369-377.
Asner GP. 1998. Biophysical and biochemical sources of variability in canopy
reflectance. Remote Sens Environ. 64(3): 234-253.
Atkinson PM, Foody GM. 2006. Uncertainty in remote sensing and GIS.
Fundamentals. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in remote
sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. P. 1-18.
Auster PJ, Heinonen KB, Witharana C, McKee M. 2009. A Habitat Classification
Scheme for The Long Island Sound Region. Groton: National Undersea
Research Center & Department of Marine Sciences.
Baker BA, Warner TA, Conley JF, McNeil BE. 2012. Does spatial resolution
matter? A multi-scale comparison of object-based and pixel-based methods
75

for detecting change associated with gas well drilling operations. Int J Remot
Sens. 34(5): 1633-1651.
Bandeira SO, Macamo CCF, Kairo JG, Amade F, Jiddawi N, Paula J. 2009.
Evaluation of mangrove structure and condition in two trans-boundary areas
in the Western Indian Ocean. Aquat Conserv Mar Freshw Ecosys. 19(S1):
S46-S55.
Benfield SL, Guzman HM, Mair JM. 2005. Temporal mangrove dynamics in
relation to coastal development in Pacific Panama. J Environ Manag. 76(3):
263-276.
Blaschke T. 2010. Object based image analysis for remote sensing. ISPRS J
Photogramm Remote Sens. 65(1): 2-16.
Breiman L. 1996. Bagging predictors. Mach Learn. 24(2): 123-140.
Breiman L. 2001. Random forests. Mach Learn. 45(1): 123-140.
[BSN] Badan Standar Nasional 2010. Klasifikasi penutup lahan. Jakarta (ID),
Badan Standar Nasional: 32 hlm.
Burnett C, Blaschke T. 2003. A multi-scale segmentation/object relationship
modelling methodology for landscape analysis. Ecol Model. 168(3): 233-249.
Cannicci S, Burrows D, Fratini S, Smith Iii TJ, Offenberg J, Dahdouh-Guebas F.
2008. Faunal impact on vegetation structure and ecosystem function in
mangrove forests: A review. Aquat Bot. 89(2): 186-200.
Cardoso GF, Souza Jr C, Souza-Filho PWM. 2014. Using spectral analysis of
Landsat-5 TM images to map coastal wetlands in the Amazon River mouth,
Brazil. Wetl Ecol Manag. 22(1): 79-92.
Carney J, Gillespie TW, Rosomoff R. 2014. Assessing forest change in a priority
West African mangrove ecosystem: 1986-2010. Geoforum. 53: 126-135.
Carrasquilla-Henao M, González Ocampo HA, Luna González A, Rodríguez
Quiroz G. 2013. Mangrove forest and artisanal fishery in the southern part of
the Gulf of California, Mexico. Ocean Coast Manage. 83(0): 75-80.
Chadwick J. 2011. Integrated LiDAR and IKONOS multispectral imagery for
mapping mangrove distribution and physical properties. Int J Remot Sens.
32(21): 6765-6781.
Chakravortty S, Choudhury AS, 2012. Application of unsupervised end member
detection algorithms for spectral unmixing of hyperspectral data for
mangrove species discrimination. Di dalam: editor. International Conference
on Communications, Devices and Intelligent Systems, 2012 28-29 Des 2012;
Kolkata (IN). p 81-84.
Cingolani AM, Renison D, Zak MR, Cabido MR. 2004. Mapping vegetation in a
heterogeneous mountain rangeland using landsat data: An alternative method
to define and classify land-cover units. Remote Sens Environ. 92(1): 84-97.
Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes in community
structure. Aust J Ecol. 18(1): 117-143.
Clifton DS. 2005. Classification and regression tree, bagging and boosting.
Handbook of Statistics. Di dalam: Rao CR, Wegman EJ, Solka JL, editor.
Handbook of statistic 24. Data Mining and Data Visualization. Amsterdam
(NL): Elsevier B.V. 618 p.
Conchedda G, Durieux L, Mayaux P. 2008. An object-based method for mapping
and change analysis in mangrove ecosystems. ISPRS J Photogramm Remote
Sens. 63(5): 578-589.
76

Congalton RG, Green K. 2009. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data:
Principles and Practices. Boca Raton (US): CRC Press.
Coppin P, Jonckheere I, Nackaerts K, Muys B, Lambin E. 2004. Digital change
detection methods in ecosystem monitoring: A review. Int J Remot Sens.
25(9): 1565-1596.
Dahdouh-Guebas F, Koedam N. 2006. Emperical estimate of the relibility of the
use of the Point-Centre Qurter Method (PCQM). Solution to ambigous field
situation and description of the PCQM+ protocol. For Ecol Manage. 228: 1-
18.
Danoedoro P. 2012. Pengantar penginderaan jauh digital. Yogyakarta [ID]: Andi
Press.
Datta D, Chattopadhyay RN, Guha P. 2012b. Community based mangrove
management: A review on status and sustainability. J Environ Manag. 107:
84-95.
De Laet V, Paulissen E, Meuleman K, Waelkens M. 2009. Effects of image
characteristics on the identification and extraction of archaeological features
from Ikonos-2 and Quickbird-2 imagery: case study Sagalassos (southwest
Turkey). Int J Remot Sens. 30(21): 5655-5668.
de Santiagoa F, Kovacs JM, Lafrance P. 2013. An object-oriented classification
method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using multipolarized
ALOS PALSAR L-band data. Int J Remot Sens. 34(2): 563-586.
Díaz BM, Blackburn GA. 2003. Remote sensing of mangrove biophysical
properties: Evidence from a laboratory simulation of the possible effects of
background variation on spectral vegetation indices. Int J Remot Sens. 24(1):
53-73.
Donato DC, Kauffman JB, Murdiyarso D, Kurnianto S, Stidham M, Kanninen M.
2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature
Geosci. 4(5): 293-297.
Drǎguţ L, Tiede D, Levick SR. 2010. ESP: a tool to estimate scale parameter for
multiresolution image segmentation of remotely sensed data. Int J Geogr Inf
Syst. 24(6): 859-871.
Dungan JL. 2006. Toward a Comprehensive View of Uncertainty in Remote
Sensing Analysis. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in
remote sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. p 25-35.
Duro DC, Franklin SE, Dubé MG. 2012. A comparison of pixel-based and object-
based image analysis with selected machine learning algorithms for the
classification of agricultural landscapes using SPOT-5 HRG imagery. Remote
Sens Environ. 118: 259-272.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science.
Faith DP, Minchin PR, Belbin L. 1987. Compositional dissimilarity as a robust
measure of ecological distance. Vegetation. 69: 57-68.
[FAO] Food and Agriculture Organization 2007. The World's Mangrove 1980 -
2005. Rome (ITA), FAO.
Fatoyinbo TE, Simard M, Washington-Allen RA, Shugart HH. 2008. Landscape-
scale extent, height, biomass, and carbon estimation of Mozambique's
mangrove, forests with Landsat ETM+ and Shuttle Radar Topography
Mission elevation data. J Geophys Res Biogeosci. 113(2).
77

Felde GW, Anderson GP, Cooley TW, Matthew MW, Adler-Golden SM, Berk A,
Lee J, 2003. Analysis of Hyperion Data with the FLAASH Atmospheric
Correction Algorithm. In: editor. 2003 21-25 Juli 2003. IEEE IGARSS:
Learning From Earth's Shapes and Colours; Toulouse (US). p 90-92.
Ferreira MA, Andrade F, Bandeira SO, Cardoso P, Mendes RN, Paula J. 2009.
Analysis of cover change (1995-2005) of Tanzania/Mozambique trans-
boundary mangroves using Landsat imagery. Aquat Conserv Mar Freshw
Ecosys. 19(SPEC. ISS.): S38-S45.
Flores De Santiago F, Kovacs JM, Lafrance P. 2012. An object-oriented
classification method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using
multipolarized ALOS PALSAR L-band data. Int J Remote Sens. 34(2): 563-
586.
Gao J. 1999. A comparative study on spatial and spectral resolutions of satellite
data in mapping mangrove forests. Int. J. Remot. Sens. 20(14): 2823-2833.
Gao J. 2010. Digital analysis of remotely sensed imagery. New York (USA):
McGraw-Hill Professional.
Ghimire B, Rogan J, Miller J. 2010. Contextual land-cover classification:
Incorporating spatial dependence in land-cover classification models using
random forests and the Getis statistic. Remote Sens Lett. 1(1): 45-54.
Ghosh A, Sharma R, Joshi PK. 2014. Random forest classification of urban
landscape using Landsat archive and ancillary data: Combining seasonal
maps with decision level fusion. Appl Geog. 48(0): 31-41.
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove guidebook for
southeat asia. Bangkok (TH): FAO dan Wetlands International.
Gilman EL, Ellison J, Jungblut V, Van Lavieren H, Wilson L, Areki F, Brighouse
G, Bungitak J, Dus E, Henry M, et al. 2006. Adapting to Pacific Island
mangrove responses to sea level rise and climate change. Clim Res. 32(3):
161-176.
Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N.
2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Glob Ecol Biogeogr. 20(1): 154-159.
Godinho S, Gil A, Guiomar N, Neves N, Pinto-Correia T. 2014. A remote sensing-
based approach to estimating montado canopy density using the FCD model:
a contribution to identifying HNV farmlands in southern Portugal. Agrofor
Syst.1-12.
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook for
tropical coastal management. Paris (FR): UNESCO.
Grodecki J, 2001. IKONOS stereo feature extraction-RPC approach. In: editor.
ASPRS annual conference, 2001. St. Louis (US). p
Grodecki J, Dial G. 2003. Block adjustment of high-resolution satellite images
described by Rational Polynomials. Photogramm Eng Remote Sens. 69(1):
59-68.
Harter HL. 1960. Critical Values for Duncan's New Multiple Range Test.
Biometrics. 16(4): 671-685.
Hartini S, Saputro GB, Yulianto M, Suprajaka, 2010. Assessing the used of
remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. Di dalam: Fujia H,
Sasaki J, editor.6th WSEAS international conference on remote sensing, 2010
4-6 Oktober 2010; Iwate (JP). p 210-215.
78

He C, Wei A, Shi P, Zhang Q, Zhao Y. 2011. Detecting land-use/land-cover change


in rural–urban fringe areas using extended change-vector analysis. Int J Appl
Earth Obs Geoinf. 13(4): 572-585.
Held A, Ticehurst C, Lymburner L, Williams N. 2003. High resolution mapping of
tropical mangrove ecosystems using hyperspectral and radar remote sensing.
Int J Remot Sens. 24(13): 2739-2759.
Helmi M, Karyono A, Pribadi R. 2013. Analisis perubahan luas mangrove
berdasarkan citra satelit IKONOS tahun 2004 dan 2010 di kecamatan
Mlonggo, tahunan dan kedung kabupaten jepara jawa tengah. J Mar Res. 2(3):
129-137.
Heumann BW. 2011a. An object-based classification of mangroves using a hybrid
decision tree-support vector machine approach. Remote Sens. 3(11): 2440-
2460.
Heumann BW. 2011b. Satellite remote sensing of mangrove forests: Recent
advances and future opportunities. Prog Phys Geogr. 35(1): 87-108.
Huang X, Zhang L, Wang L. 2009. Evaluation of morphological texture features
for mangrove forest mapping and species discrimination using multispectral
IKONOS imagery. IEEE Geosci. Remote Sens Lett. 6(3): 393-397.
Illukpitiya P, Yanagida JF. 2010. Farming vs forests: Trade-off between agriculture
and the extraction of non-timber forest products. Ecolo Econ. 69(10): 1952-
1963.
Jean-Baptiste N, Jensen JR. 2006. Measurement of Mangrove Biophysical
Characteristics in the Bocozelle Ecosystem in Haiti Using ASTER
Multispectral Data. Geocarto Inter. 21(4): 3-8.
Jensen JR. 2005. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing
Perspective: London (GB): Prentice Hall.
Jensen JR. 2007. Remote sensing of the environment. An earth resource perspective.
London (GB): Pearson Education.
Jhonnerie R, Prianto E, Oktorini Y. 2007. Deteksi perubahan luasan hutan
mangrove dengan menggunakan penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis di Kota Dumai Provinsi Riau. Torani. 17(2): 159-169.
Jhonnerie R, Siregar VP, Nababan B, Prasetyo LB, Wouthuyzen S. 2014 Deteksi
perubahan tutupan mangrove menggunakan citra Landsat berdasarkan
klasifikasi hibrida di Sungai Kembung, Pulau Bengkalis, Provinsir RIau. J
ITKT. 6 191-506.
Jhonnerie R, Siregar VP, Nababan B, Prasetyo LB, Wouthuyzen S. 2015a. A
Comparison Object-Based Classification with Pixel-Based Classification by
Using Random Forest Algorithm for Mangrove Land Cover Mapping.
IJSBAR. On Press.
Jhonnerie R, Siregar VP, Nababan B, Prasetyo LB, Wouthuyzen S, 2015b. Random
forest classification for mangrove land cover mapping using Landsat 5 TM
and ALOS PALSAR imageries. Di dalam : Setiawan Y, Muhammad IL, Lilik
BP, Iskandar ZS, Hefni E editor. The 1st International Symposium on
LAPAN-IPB Satellite for Food Security and Environmental Monitoring.;
November 24-26, 2014; Bogor (ID), Procedia Environmental Science.215-
221 p
79

Ji L, Zhang L, Wylie BK, Rover J. 2011. On the terminology of the spectral


vegetation index (NIR − SWIR)/(NIR + SWIR). Int J Remote Sens. 32(21):
6901-6909.
Kamal M, Phinn S. 2011. Hyperspectral data for mangrove species mapping: A
comparison of pixel-based and object-based approach. Remote Sens. 3(10):
2222-2242.
Kamal M, Phinn S, Johansen K. 2014a. Characterizing the Spatial Structure of
Mangrove Features for Optimizing Image-Based Mangrove Mapping.
Remote Sens. 6(2): 984-1006.
Kanniah KD, Wai NS, Shin ALM, Rasib AW. 2007. Per-pixel and sub-pixel
classifications of high-resolution satellite data for mangrove species mapping.
Appl GIS. 3(8): 1-22.
Kartaharja S. 2010. Potensi ekowisata di kawasan ekosistem hutan mangrove Desa
Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis [Tesis]. Pekanbaru
(ID): Ilmu Lingkungan Universitas Riau.
Kasawani I, Norsaliza U, Hasmadi IM. 2010. Analysis of spectral vegetation
indices related to soil-line for mapping mangrove forest using satellite
imagery. J Appl Remote Sens. 1(1): 25-31.
Kathiresan K, Bingham BL. 2001. Biology of mangroves and mangrove
Ecosystems. Adv Mar Biol. 40: 81-251.
Kerr JT, Ostrovsky M. 2003. From space to species: Ecological applications for
remote sensing. Trend Ecol Evol. 18(6): 299-305.
Kim M, Madden M, Warner T. 2008. Estimation of optimal image object size for
the segmentation of forest stands with multispectral IKONOS imagery.
Object-Based Image Analysis. 'Di dalam': Blaschke T, Lang S, Hay G,
'editor', Springer Berlin Heidelberg: 291-307.
Kirui KB, Kairo JG, Bosire J, Viergever KM, Rudra S, Huxham M, Briers RA.
2013. Mapping of mangrove forest land cover change along the Kenya
coastline using Landsat imagery. Ocean Coast Manage. 83(0): 19-24.
Knight JM, Dale PER, Spencer J, Griffin L. 2009. Exploring LiDAR data for
mapping the micro-topography and tidal hydro-dynamics of mangrove
systems: An example from southeast Queensland, Australia. Estuar Coast
Shelf Sci. 85(4): 593-600.
Koedsin W, Vaiphasa C. 2013. Discrimination of Tropical Mangroves at the
Species Level with EO-1 Hyperion Data. Remote Sens. 5(7): 3562-3582.
Kovacs JM, King J, Flores de Santiago F, Flores-Verdugo F. 2009. Evaluating the
condition of a mangrove forest of the Mexican Pacific based on an estimated
leaf area index mapping approach. Environ Monitor Assess. 157(1): 137-149.
Kovacs JM, Liu Y, Zhang C, Flores-Verdugo F, Santiago FFd. 2011. A field based
statistical approach for validating a remotely sensed mangrove forest
classification scheme. Wetlands Ecol Manage. 19: 409-421.
Kovacs JM, Lu XX, Flores-Verdugo F, Zhang C, Flores de Santiago F, Jiao X.
2013. Applications of ALOS PALSAR for monitoring biophysical
parameters of a degraded black mangrove (Avicennia germinans) forest.
ISPRS J Photogramm Remote Sens. 82: 102-111.
Kuenzer C, Bluemel A, Gebhardt S, Quoc TV, Dech S. 2011. Remote sensing of
mangrove ecosystems: A review. Remote Sens. 3(5): 878-928.
80

Kumar T, Patnaik C. 2013. Discrimination of mangrove forests and characterization


of adjoining land cover classes using temporal C-band Synthetic Aperture
Radar data: A case study of Sundarbans. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 23(0):
119-131.
Kusmana C. 1996. Nilai Ekologis Ekosistem Hutan Mangrove. Med Konserv. V(1):
17-24.
Kusmana C, 2012. Management of mangrove ecosystem in Indonesia. Workshop
on Mangrove Re-plantation and Coastal Ecosystem Rehabilitation. In: editor.;
Jogyakarta. p 219-227.
Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman JW. 2008. Remote Sensing and Image
Interpretation. Denvers (US): John Wiley Son. P.
Liu Y, Li M, Mao L, Xu F, Huang S. 2006. Review of remotely sensed imagery
classification patterns based on object-oriented image analysis. Chinese
Geograph Sci. 16(3): 282-288.
Long JB, Giri C. 2011. Mapping the Philippines' mangrove forests using Landsat
imagery. Sensors. 11(3): 2972-2981.
Lu D, Weng Q. 2007. A survey of image classification methods and techniques for
improving classification performance. Int J Remot Sens. 28(5): 823-870.
Lucas RM, Mitchell A, Donnelly B, Milne T, 2003. Characterising and Mapping
Mangroves in Northern Australia Using Stereo Aerial Photography and
Hyperspectral CASI Data. In: editor. 2003 21-25 Juli 2003. IGARSS:
Learning From Earth's Shapes and Colours; Toulouse (US). p 2380-2382.
Lyons MB, Phinn SR, Roelfsema CM. 2012. Long term land cover and seagrass
mapping using Landsat and object-based image analysis from 1972 to 2010
in the coastal environment of South East Queensland, Australia. ISPRS J
Photogramm Remote Sens. 71: 34-46.
Mahiny AS, Turner BJ. 2007. A comparison of four common atmospheric
correction methods. Photogramm Eng Remote Sens. 73(4): 361-368.
Manson FJ, Loneragan NR, Skilleter GA, Phinn SR. 2005. An evaluation of the
evidence for linkages between mangroves and fisheries: A synthesis of the
literature and identification of research directions. Ocean Mar Biol. 43: 483-
513.
McNairn H, Champagne C, Shang J, Holmstrom D, Reichert G. 2009. Integration
of optical and Synthetic Aperture Radar (SAR) imagery for delivering
operational annual crop inventories. ISPRS J Photogramm Remote Sens.
64(5): 434-449.
Meinel G, Neubert M, 2004. A comparison of segmentation programs for high
resolution remote sensing data. In: editor. 20th ISPRS Cogress Geo-Imagery
Bridging Continents; 12-23 Juli 2004; Istanbul, Istanbul: ISPRS. p
Misra A, R M, P V. 2013. Assessment of the land use/land cover (LU/LC) and
mangrove changes along the Mandovi–Zuari estuarine complex of Goa,
India. Arabian J Geosci. 1-13.
Mitraka Z, Chrysoulakis N, Kamarianakis Y, Partsinevelos P, Tsouchlaraki A.
2012. Improving the estimation of urban surface emissivity based on sub-
pixel classification of high resolution satellite imagery. Remote Sens Environ.
117(0): 125-134.
81

Moghaddam M, Dungan JL, Acker S. 2002. Forest variable estimation from fusion
of SAR and multispectral optical data. IEEE Trans Geosci Remote Sens.
40(10): 2176-2187.
Mumby PJ, Harborne AR. 1999. Development of a systematic classification scheme
of marine habitats to facilitate regional management and mapping of
Caribbean coral reefs. Biol Conserv. 88(2): 155-163.
Myint SW, Giri CP, Wang L, Zhu Z, Gillette SC. 2008. Identifying Mangrove
Species and Their Surrounding Land Use and Land Cover Classes Using an
Object-Oriented Approach with a Lacunarity Spatial Measure. GISci Remote
Sens. 45(2): 188-208.
Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG,
Meynecke JO, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, et al. 2008. The habitat
function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A review. Aquat Bot.
89(2): 155-185.
Nandy S, Kushwaha SPS. 2011. Study on the utility of IRS 1D LISS-III data and
the classification techniques for mapping of Sunderban mangroves. J Coastal
Conserv. 15(1): 123-137.
Nascimento Jr WR, Souza-Filho PWM, Proisy C, Lucas RM, Rosenqvist A. 2013.
Mapping changes in the largest continuous Amazonian mangrove belt using
object-based classification of multisensor satellite imagery. Estuar Coast
Shelf Sci. 117(0): 83-93.
Nayak S, Bahuguna A. 2001. Application of remote sensing data to monitor
mangroves and other coastal vegetation of India. Indian J Mar Sci. 30(4):
195-213.
Neukermans G, Dahdouh-Guebas F, Kairo JG, Koedam N. 2008. Mangrove species
and stand mapping in Gazi Bay (Kenya) using QuickBird satellite imagery. J
Spat Sci. 53(1): 75-86.
Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. Bogor (ID): PHKA/WI-IP.
Nursal, Yuslim F, Ismiati. 2005. Struktur dan komposisi vegetasi mangrove
Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. J Biogen. 2(1): 1-7.
Opa ET. 2010. Analisis perubahan luas lahan mangrove di kabupaten Pohuwato
propinsi Gorontalo dengan menggunakan citra Landsat. JPKT. 6(2): 79-82.
Ostling JL, Butler DR, Dixon RW. 2009. The biogeomorphology of mangroves and
their role in natural hazards mitigation. Geogr Comp. 3(5): 1607-1624.
Pellegrini JAC, Soares MLG, Chaves FO, Estrada GCD, Cavalcanti VF. 2009. A
method for the classification of mangrove forests and sensitivity/vulnerability
analysis. J Coast Res. (SPEC. ISSUE 56): 443-447.
Phinn SR, Menges C, Hill GJE, Stanford M. 2000. Optimizing remotely sensed
solutions for monitoring, modeling, and managing coastal environments.
Remote Sens Environ. 73(2): 117-132.
Phinn SR, Roelfsema CM, Mumby PJ. 2012. Multi-scale, object-based image
analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs. Int J
Remot Sens. 33(12): 3768-3797.
Polidoro BA, Carpenter KE, Collins L, Duke NC, Ellison AM, Ellison JC,
Farnsworth EJ, Fernando ES, Kathiresan K, Koedam NE, et al. 2010. The
loss of species: Mangrove extinction risk and geographic areas of global
concern. PLoS ONE. 5(4).
82

Prenzel B, Treitz P. 2005. Comparison of function‐ and structure‐based schemes


for classification of remotely sensed data. Int J Remote Sens. 26(3): 543-561.
Prianto E, Jhonnerie R, Firdaus R, Hidayat T, Miswadi. 2006. Keanekaragaman
hayati dan struktur ekologi mangrove dewasa di kawasan pesisir kota dumai,
provinsi riau. Biodiversitas. 7(5): 327-332.
Pribadi R, Subardjo P, Fajri F. 2012. Studi perubahan luasan vegetasi mangrove
mengunakan citra Landsat TM dan Landsat 7 ETM+ tahun 1998 – 2010 di
pesisir kabupaten Mimika Papua. J Mar Res. 1(1): 136-145.
Proisy C, Mougin E, Fromard F, Karam MA. 2000. Interpretation of polarimetric
radar signatures of mangrove forests. Remote Sens. Environ. 71(1): 56-66.
Quintano C, Cuesta E. 2010. Improving satellite image classification by using
fractional type convolution filtering. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 12(4): 298-
301.
Rabe A, Jakimow B, Held M, van der Linden S, Hostert P. 2014. EnMAP-Box,
Version 2.1. enMap.org 2014.
Radhika D. 2006. Mangrove ecosystems of southwest Madagascar. An ecological,
human impact, and subsistence value assessment. Trop Res Bul. 25: 7-13.
Rahman M, Ullah R, Lan M, Sumantyo JTS, Kuze H, Tateishi R. 2013. Comparison
of Landsat image classification methods for detecting mangrove forests in
Sundarbans. Int J Remote Sens. 34(4): 1041-1056.
Rastner P, Bolch T, Notarnicola C, Paul F. 2014. A comparison of pixel- and object-
based glacier classification with optical satellite images. IEEE J Appl Earth
Obs Remote Sens. 7(3): 984-993.
Richard JA, 2013. Remote sensing digital image analysis. An introduction fifth
edition. Heildelberg, Springer.
Richter R. 1996. A spatially adaptive fast atmospheric correction algorithm. Int J
Remote Sens. 17(6): 1201-1214.
Rikimaru A, Roy PS, Miyatake S. 2002. Tropical forest cover density mapping.
Trop Ecol. 43(1): 39-47.
Rocchini D, Foody GM, Nagendra H, Ricotta C, Anand M, He KS, Amici V,
Kleinschmit B, Förster M, Schmidtlein S, et al. 2013. Uncertainty in
ecosystem mapping by remote sensing. Comput Geosci. 50: 128-135.
Rodriguez-Galiano VF, Chica-Olmo M, Abarca-Hernandez F, Atkinson PM,
Jeganathan C. 2012a. Random Forest classification of Mediterranean land
cover using multi-seasonal imagery and multi-seasonal texture. Remote Sens.
Environ. 121: 93-107.
Rodriguez-Galiano VF, Ghimire B, Rogan J, Chica-Olmo M, Rigol-Sanchez JP.
2012b. An assessment of the effectiveness of a random forest classifier for
land-cover classification. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 67(1): 93-104.
Rokni K, Ahmad A, Selamat A, Hazini S. 2014. Water feature extraction and
change detection using multitemporal landsat imagery. Remote Sens. 6(5):
4173-4189.
Rosen PA, Hensley S, Zebker HA, Webb FH, Fielding EJ. 1996. Surface
deformation and coherence measurements of Kilauea Volcano, Hawaii, from
SIR-C radar interferometry. Journal of Geophysical Research: Planets.
101(E10): 23109-23125.
83

Rouse JJW, Haas RH, Shell JA, Deering DW. 1974. Monitoring Vegetation
Systems in the Great Plains with ERTS. Third Earth Resources Technology
Satellite-1 Symposium. p. 48-62
Roy DP, Wulder MA, Loveland TR, C.E W, Allen RG, Anderson MC, Helder D,
Irons JR, Johnson DM, Kennedy R, et al. 2014. Landsat-8: Science and
product vision for terrestrial global change research. Remote Sens Environ.
145: 154-172.
Saenger P. 2002. Mangrove ecology, silviculture and conservation. Lismore (AU):
Kluwer Academic.
Santos LCM, Matos HR, Schaeffer-Novelli Y, Cunha-Lignon M, Bitencourt MD,
Koedam N, Dahdouh-Guebas F. 2014. Anthropogenic activities on mangrove
areas (São Francisco River Estuary, Brazil Northeast): A GIS-based analysis
of CBERS and SPOT images to aid in local management. Ocean Coast
Manage. 89(0): 39-50.
Sarkar SK, Bhattacharya AK. 2003. Conservation of biodiversity of the coastal
resources of Sundarbans, Northeast India: an integrated approach through
environmental education. Mar Poll Bul. 47(1–6): 260-264.
Schiewe J, 2002. Segmentation of high resolution remotely sensed data concept,
applications and problems. In: Costas Armenakis YCL, editor. Geospatial
Theory, Processing and Applications; July 9-12, 2002; Ottawa (US): ISPRS.
Shimada M, Isoguchi O, Tadono T, Isono K. 2009. PALSAR Radiometric and
Geometric Calibration. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 47(12): 3915-3932.
Sisodia PS, Tiwari V, Kumar A, 2014. Analysis of Supervised Maximum
Likelihood Classification for remote sensing image. In: editor. International
Conference on Recent Advances and Innovations in Engineering, ICRAIE
2014 9-11 Mei 2014. Jaipur(IN): p 1-4.
Son NT, Chen CF, Chang NB, Chen CR, Chang LY, Thanh BX. 2015. Mangrove
mapping and change detection in ca mau peninsula, vietnam, using landsat
data and object-based image analysis. IEEE J Appl Earth Observ Remote
Sens. 8(2): 503-510.
Suratman MN. 2014. Remote sensing technology. Rencen advancements for
mangrove ecosystems. New York (US): Springer.
Szantoi Z, Escobedo F, Abd-Elrahman A, Smith S, Pearlstine L. 2013. Analyzing
fine-scale wetland composition using high resolution imagery and texture
features. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 23(0): 204-212.
Takeuchi S, Ohuro Y. 2003. A comprative study of coherence patterns in C-band
and L-band interferometric SAR from tropical rain forest areas. Advance
Space Res. 32(11): 2305-2310.
Tang H, Li Z-L. 2010. Quantitative remote sensing in thermal infrared. Theory and
applications. Heidelberg: Springer.
Taşdemir K, Milenov P, Tapsall B. 2012. A hybrid method combining SOM-based
clustering and object-based analysis for identifying land in good agricultural
condition. Comput Electron Agr. 83: 92-101.
Thampanya U, Vermaat JE, Sinsakul S, Panapitukkul N. 2006. Coastal erosion and
mangrove progradation of Southern Thailand. Estuar Coast Shelf Sci. 68(1):
75-85.
Thu PM, Populus J. 2007. Status and changes of mangrove forest in Mekong Delta:
Case study in Tra Vinh, Vietnam. Estuarine. Coast Shelf Sci. 71(1-2): 98-109.
84

Tomlinson PB. 1986. The botany of mangrove. New York (US): Cambridge
University Press.
Tso B, Mather PM. 2009. Classification methods for remotely sensed data. Second
edition. New York (USA): CRC Press.
Urrego LE, Molina EC, Suárez JA. 2014. Environmental and anthropogenic
influences on the distribution, structure, and floristic composition of
mangrove forests of the Gulf of Urabá (Colombian Caribbean). Aquat Bot
114(0): 42-49.
Vaiphasa C, Ongsomwang S, Vaiphasa T, Skidmore AK. 2005. Tropical mangrove
species discrimination using hyperspectral data: A laboratory study. Estuar
Coast Shelf Sci. 65(1–2): 371-379.
Vaiphasa C, Skidmore AK, de Boer WF. 2006. A post-classifier for mangrove
mapping using ecological data. ISPRS J. Photogramm. Remote Sens. 61(1):
1-10.
Van Beijma S, Comber A, Lamb A. 2014. Random forest classification of salt
marsh vegetation habitats using quad-polarimetric airborne SAR, elevation
and optical RS data. Remote Sens Environ. 149: 118-129.
Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013a. Remote Sensing in Mapping
Mangrove Ecosystems - An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183-
201.
Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013b. Remote Sensing in Mapping
Mangrove Ecosystems. An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183-
201.
Walters BB. 2005. Ecological effects of small-scale cutting of Philippine mangrove
forests. For Ecol Manag. 206(1-3): 331-348.
Wang L, Silván-Cárdenas JL, Sousa WP. 2008. Neural network classification of
mangrove species from multi-seasonal Ikonos imagery. Photogramm. Eng.
Remote Sens. 74(7): 921-927.
Wang L, Sousa WP. 2009. Distinguishing mangrove species with laboratory
measurements of hyperspectral leaf reflectance. Int J Remot Sens. 30(5):
1267-1281.
Wang L, Sousa WP, Gong P. 2004a. Integration of object-based and pixel-based
classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. Int J Remot
Sens. 25(24): 5655-5668.
Wang L, Sousa WP, Gong P, Biging GS. 2004b. Comparison of IKONOS and
QuickBird images for mapping mangrove species on the Caribbean coast of
Panama. Remote Sens Environ. 91(3-4): 432-440.
Whiteside T, Ahmad T, 2005. A comparison of object-oriented and pixel-based
classification methods for mapping land cover in northern Australia. In:
editor. Spatial intelligence, innovation and praxis: The national biennial
Conference of the Spatial Sciences Institute; Melbourne (AU). p 1225-1231.
Whiteside TG, Boggs GS, Maier SW. 2011. Comparing object-based and pixel-
based classifications for mapping savannas. Int J Appl Earth Obs Geoinf.
13(6): 884-893.
Witharana C, Civco DL. 2014. Optimizing multi-resolution segmentation scale
using empirical methods: Exploring the sensitivity of the supervised
discrepancy measure Euclidean distance 2 (ED2). ISPRS J Photogramm
Remote Sens. 87(0): 108-121.
85

Xu H. 2006. Modification of normalised difference water index (NDWI) to enhance


open water features in remotely sensed imagery. Int J Remot Sens. 27(14):
3025-3033.
Yan WY, Shaker A, Habib A, Kersting AP. 2012. Improving classification accuracy
of airborne LiDAR intensity data by geometric calibration and radiometric
correction. ISPRS J Photogramm Remote Sens. 67(0): 35-44.
Yetty H, Fachrurrozie S, Dwi A, Rasjid R. 2012. Analisis perubahan kawasan
mangrove berdasarkan interpretasi data spasial di Tanjung Sembilang, pantai
timur Sumatera, Banyuasin, Sumatera Selatan. J Eksakta. 11(2): 53-62.
Zha Y, Gao J, Ni S. 2003. Use of normalized difference built-up index in
automatically mapping urban areas from TM imagery. Int J Remote Sens.
24(3): 583-594.
Zhang K, Liu H, Li Y, Xu H, Shen J, Rhome J, Smith Iii TJ. 2012. The role of
mangroves in attenuating storm surges. Estua Coast Shelf Sci. 102–103(0):
11-23.
Zhang X, Xiao P, Feng X. 2013. Impervious surface extraction from high-resolution
satellite image using pixel- and object-based hybrid analysis. Int J Remote
Sens. 34(12): 4449-4465.
Zhang XH, 2011. Identification of Mangrove using decision tree method. In: editor.
4th International Conference on Information and Computing, ICIC 2011;
Phuket Island. p 130-132.
Zhao X, Stein A, Chen X-L. 2011. Monitoring the dynamics of wetland inundation
by random sets on multi-temporal images. Remote Sens Environ. 115(9):
2390-2401.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru tanggal 14 Januari 1975, sebagai anak


pertama dari 4 bersaudara pasangan Rahieman bin Djisat dan Wirdaty Ilyas binti
Ilyas. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perairan (PSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau, Pekanbaru
dan lulus tahun 1998. Tahun 2001, penulis diterima di Program Studi Teknologi
Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan dan pada
perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau sejak tahun 2005.
Karya ilmiah yang telah diterbitkan pada: (1) Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis (ITKT) Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dengan judul: Deteksi Perubahan Tutupan
Mangrove Menggunakan Citra Landsat Berdasarkan Klasifikasi Hibrida di Sungai
Kembung, Pulau Bengkalis Provinsi Riau. (2) simposisum internasional The 1st
International Symposium on LAPAN-IPB Satellite (LISAT) for Food Security and
Environmental Monitoring, dengan judul Random Forest Classification for
Mangrove Land Cover Mapping Using Landsat 5 TM and Alos Palsar Imageries.
(3) Dalam proses penerbitan dengan judul A Comparison Object-Based
Classification With Pixel-Based Classification By Using Random Forest Algorithm
For Mangrove Land Cover Mapping. (4) simposisum internasional The 2nd
International Symposium on LAPAN-IPB Satellite (LISAT) for Food Security and
Environmental Monitoring, dengan judul The Development of Mangrove
Community Classification Scheme for Remote Sensing Application (Study Case at
Kembung River, Bengkalis, Riau Province). Karya-karya ilmiah tersebut
merupakan bagian dari program S3 penulis.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai