net/publication/281628689
CITATIONS READS
7 8,719
1 author:
Romie Jhonnerie
Universitas Riau
28 PUBLICATIONS 107 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Fishing Vessel Detection using Synthetic Aperture Radar (SAR) View project
Yellowfin Tuna Hotspot By GIS-Based Spatial and Temporal Distribution Analysis On Longline Fisheries Data View project
All content following this page was uploaded by Romie Jhonnerie on 10 September 2015.
ROMIE JHONNERIE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Romie Jhonnerie
NIM C562100041
RINGKASAN
Kata kunci: berbasis objek, berbasis piksel, klasifikasi, mangrove, Sungai Kembung
SUMMARY
Mangrove that generally found in coastal regions plays important roles such
as (1) coastal protection from hurricane, tsunami, wind and wave, (2) spawning
ground for many fishes and other faunas, (3) a place for recreational, (4) source of
nutrients for organisms, and (5) source of wood. Recently, mangrove ecosystems in
Kembung River, Bengkalis Island Riau Province tend to get pressure from
antrophogenic. Protection and management of mangrove ecosystems needs to be a
serious concern of various parties. Such efforts require data acquisition techniques
and information mangrove spatially and accurately.
Field data were collected in June and December 2012. Satellite imageries
were used in this study consisted of Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM +, Landsat 8
OLI, SPOT 6 multispectral, SPOT 6 panchromatic, ALOS PALSAR and
SENTINEL-1. Pre-processing in the satellite imageries were applied including
atmospheric correction, radiometric calibration, geometric correction, and spectral
transformation. Field data observations and measurements were conducted on
mangrove vegetation and land cover. Scheme development of mangrove
community classification was conducted by using clusters and similarity percentage
(SIMPER) analyses. Furthermore, the scheme was used to charactirized satellite
images spectral reflectance by using spectral analysis. Satellite data were classified
by using object-based approach which applied random forest algorithm. Object-
based classification results was then compared to pixel-based classification
technique which used maximum likelihood algorithm. The succesfull object-based
classification then applied on magrove change detection in the study area.
Kembung River mangrove community was assembled by 69 mangroves
species which consists of 22 true mangrove species and 47 species of associate
mangrove. Xylocarpus granamun, Rhizophora. apiculata, Lumnitzera. racemosa
and Scyphiphora hidrophyllaceae were dominant species and always found in the
study area compared with other species, for all strata. Based on standard criterias
and guidelines for the determination of mangrove destruction which issued by the
Minister of the Environment No. 201 of 2004, Mangrove at Kembung River was
categorized as good and very dense mangrove ecosystem.
Based on the composition of mangrove species, one level classification
scheme was succesfully developed. The scheme consisted of 12 mangrove
community classes, however most of the mangrove species belong to the two main
classes of Rhizophora apiculata (Ra) composed of 33 samples and Xylocarpus
granatum (Xg) composed of 93 samples Other 10 classes had limited sample
number, therefore the 10 other classes were groupped into one class (La) that
composed of 28 samples.
Both classification techniques were able to identify all land cover classes and
mangrove communities. Some misclassifications were still found to produce salt
and pepper effects on both classifications, however, the random forest algorithm
v
could reduced such errors than the maximum likelihood algorithm. The best result
of land cover classification using object-based and pixel-based classifications was
obtained through input image layer M6. The object-based classification approach
was better than pixel-based and it can improved the classification results by 1-
24.5%.
Change detection analyses showed that the mangrove area in Kembung River
was relatively stable. For nearly two decades, we found mangrove loss about 197.2
ha, gain of 251.1 ha, and unchanged of 2904.9 ha. Changes in mangrove covers
were generally caused by anthropogenic factors such as mangrove replanting,
logging, changes over the function of mangrove regions into the road, embankment,
settlement, shrimp farms, and natural growth. Serious attention from various parties
are needed to maintain the existence and sustainablility of mangrove ecosystems in
Kembung River.
ROMIE JHONNERIE
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Ujian Tertutup
Penguji luar komisi:
1 Dr Ir M Buce Saleh, MS
2 Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Ujian Terbuka
Penguji luar komisi:
1 Dr Ir M Buce Saleh, MS
2 Dr Bidawi Hasyim, MSi
Judul Disertasi : Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel Menggunakan
Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis,
Provinsi Riau
Nama : Romie Jhonnerie
NIM : C562100041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah
klasifikasi mangrove, dengan judul Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan
Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis,
Provinsi Riau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA, Prof
Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc, Dr Ir Sam Wouthuyzen, MSc APU, dan Dr Ir
Bisman Nababan, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS,
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi dan Dr Bidawi Hasyim, MSi yang telah banyak
memberi saran pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka.
Ungkapan terima kasih disampaikan terutama kepada orang tua, Rahieman
bin Djisat dan Ibunda Wirdaty Ilyas binti Ilyas, Baras bin Jalik dan Yuslina binti
Muhammad Wasyid atas segala limpahan kasih sayang dan doa serta siraman iman
yang diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Istri tercinta,
Yossi Oktorini, ananda Muhammad El-Idrisi dan Hasnia Syakira Nisa yang selalu
memberikan dukungan dan doa serta pengertiannya selama penulis menuntut ilmu,
serta seluruh keluarga besar, hasil yang telah dicapai ini, ku persembahkan untuk
kalian.
Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Ketua Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan dan Ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang
senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan
disertasi ini, seluruh dosen dan tenaga administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah
memberikan beasiswa studi lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor. Ketua Jurusan
Penangkapan Sumberdaya Perairan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
dan Rektor Universitas Riau, yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan
doktor.
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada kelompok pengelola mangrove
Belukap dan anggota yang telah berpartisipasi dalam pengumpulan data lapangan.
Rekan-rekan semasa pendidikan, Dr Nurhalis Wahidin, Dr M. Syahdan, Dr Domei
L. Moniharapon, Dr Gentio Harsono, Dr Muhamad Sulaiman, Dr Ihsan, Dr Didik
Santoso, Dr Dion Bawole, Dr Ismawan, Dr Chaliluddin, Dr Amirul Karman, Dr
Rozirwan, Dr Eko Prianto, Dr Irda Mirdayanti, Jurianto M Nur, MSi, Elis
Nurjuliasti Ningsih, MSi, Widya Kusumaningrum, MSi, Aisyah, MSi, yang banyak
membantu selama menempuh pendidikan, serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan
disertasi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Romie Jhonnerie
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Resolusi spasial : Ukuran terkecil untuk memisahkan dua objek yang dapat
dibedakan oleh sensor. Hubungan antara ukuran objek
yang diindra dan resolusi spasial pada sistem optik.
Umumnya dinyatakan dalam meter
Segmentasi : Proses membagi citra menjadi beberapa segmen dengan
tujuan menyederhanakan dan atau mengubah representasi
dari suatu citra menjadi objek yang lebih berarti dan lebih
mudah dianalisis.
Shapefile (shp) : Sebuah format data vektor geospasial yang populer dan
digunakan oleh perangkat lunak sistem informasi
geografis. Dikembangkan oleh ESRI dan merupakan
spesifikasi spesifikasi interoperabilitas terbuka antara
produksi ESRI dengan perangkat lunak lainnya. Shapefile
secara spasial menjelaskan bentuk geometri vektor, yaitu:
titik, garis dan poligon dan setiap fitur memiliki atribut
yang dapat menjelaskannya
Synthetic : Sebuah sistem radar koheren yang menghasilkan citra
Aperture Radar penginderaan jauh resolusi tinggi. Pemrosesan sinyal
(SAR) menggunakan magnitud dan fase dari sinyal yang diterima
Transformasi : Sebuah fungsi operator yang menempatkan sebuah citra
citra sebagai input dan menghasilkan citra baru sebagai hasil.
Tergantung transformasi yang dipilih, citra masukan dan
luaran dapat berbeda secara keseluruhan dan memiliki
interpretasi yang berbeda
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
penelitian mangrove di Sungai Kembung hanya bersifat atribut, sporadis dan minim
publikasi.
Penginderaan jauh merupakan teknologi penting dalam inventarisasi dan
monitoring sumberdaya alam secara spasial, dan penggunaannya terus meningkat
untuk pemanfaatan sumber informasi dalam berbagai bidang (Rikimaru et al.
2002). Secara umum penginderaan jauh digunakan untuk menghubungkan
pengukuran radiasi matahari yang dipantukan oleh objek di permukaan bumi
(direpresentasikan oleh nilai digital) terhadap kondisi bio-fisik di lapangan.
Setidaknya terdapat 11 peranan penginderaan jauh dapat diterapkan untuk menggali
informasi mangrove (Kuenzer et al. 2011), termasuk kedalamnya adalah:
inventarisasi (Knight et al. 2009; Heumann 2011b), penentuan kawasan (Cardoso
et al. 2014), komposisi dan spesies (Koedsin dan Vaiphasa 2013; Kumar dan
Patnaik 2013), status kesehatan (Kovacs et al. 2009; Kovacs et al. 2013) serta
deteksi perubahan dan pengawasan (Misra et al. 2013; Rahman et al. 2013).
Umumnya teknik klasifikasi berperan besar dalam penggalian informasi tersebut.
Klasifikasi data penginderaan jauh umumnya menggunakan metode spektral
(Godinho et al. 2014), spasial (Zhao et al. 2011) dan tekstural (Szantoi et al. 2013)
baik secara individu atau kombinasi telah mampu meningkatkan ektraksi fitur dan
pemetaan. Kajian-kajian penginderaan jauh yang berfokus pada klasifikasi citra
telah lama menjadi perhatian dan menarik peneliti penginderaan jauh, karena hasil
klasifikasi menjadi dasar bagi berbagai aplikasi lingkungan dan sosial ekonomi (Lu
dan Weng 2007). Berbagai upaya peningkatan akurasi klasifikasi telah diusahakan
oleh banyak peneliti (Alesheikh dan Sadeghi Naeeni Fard 2007; Quintano dan
Cuesta 2010; Mitraka et al. 2012; Yan et al. 2012). Meskipun demikian, hingga
saat ini kajian data penginderaan jauh untuk menghasilkan peta tematik masih
menjadi tantangan karena beberapa faktor seperti kompleksitas penutup lahan suatu
lokasi, data penginderaan jauh tertentu, pengolahan data penginderaan jauh dan
pendekatan klasifikasi, dapat mempengaruhi kesuksesan klasifikasi (Lu dan Weng
2007).
Pemilihan citra satelit yang sesuai merupakan tahapan penting dalam
kesuksesan klasifikasi untuk tujuan tertentu (Phinn et al. 2000). Pemetaan
mangrove umumnya menggunakan sensor seri Landsat (Rahman et al. 2013),
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER)
(Jean-Baptiste dan Jensen 2006), Satellite Pour l’Observation de la Terre (SPOT)
(Santos et al. 2014), IKONOS (Chadwick 2011), QuickBird (Wang et al. 2004b),
WorldView-2 (Kamal et al. 2014). Pemilihan citra yang digunakan dipengaruhi
oleh kebutuhan pengguna, skala dan karateristik lokasi penelitian, ketersediaan
berbagai jenis data dan karakteristiknya, biaya dan waktu serta pengalaman
menganalisis citra yang digunakan. Umumnya data citra satelit tersebut diterapkan
dalam pemetaan mangrove semi detail dan detail.
Tingkat ke-detail-an hasil klasifikasi mengacu kepada skema klasifikasi yang
digunakan atau dikembangkan. Skema klasifikasi merupakan sebuah sistem
terstruktur dari beberapa kelas dan umumnya diatur berdasarkan tingkatan (hirarki).
Dalam kegiatan pemetaan diperlukan pemahaman bagaimana sebuah skema
klasifikasi terstruktur dibangun. Hingga saat ini skema klasifikasi mangrove untuk
tingkatan yang lebih detail dan terstruktur di Indonesia telah disediakan oleh
beberapa institusi, seperti: Badan Standar Nasional melalui standarisasi penutup
lahan tahun 2010, Kementerian Lingkungan Hidup melalui kriteria baku dan
3
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Kerangka Teori
Permasalahan
pemetaan
mangrove
Metode
pemetaan
mangrove
alternatif
Algoritma Klasifikasi
Pengembangan skema
random berbasis
klasifikasi
forest obyek
Deteksi
perubahan
mangrove
Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dalam penelitian ini adalah: (i) penerapan algoritma random forest
(RF) pada teknik klasifikasi berbasis objek untuk pemetaan penutup lahan dan
komunitas mangrove, (ii) rule sets yang digunakan dalam teknik klasifikasi berbasis
objek.
2 METODOLOGI UMUM
Tabel 1 Jenis piranti lunak dan peranannya dalam penelitian dan sumber perolehan
No Piranti lunak Peranan Sumber
1 Microsoft Sistem operasi
http://windows.microsoft.com/en-
Windows 8.1
us/windows-8/meet
Pro
2 Microsoft Office Tabulasi data dan http://www.microsoftstore.com/st
Excel 2013 penyajian grafik ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
3 Microsoft Office Pembuatan http://www.microsoftstore.com/st
Word 2013 laporan ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
4 Microsoft Office Pembuatan http://www.microsoftstore.com/st
Visio 2013 diagram alir ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
5 Microsoft Office Tabulasi data http://www.microsoftstore.com/st
Access 2013 ore/msapac/en_GB/cat/Office/cate
goryID.67644800
6 Primer 6.0 Analisis statistik http://www.primer-
e.com/primer.htm
7 XLSTAT 2014 Analisis statistik http://www.xlstat.com/en/downlo
ad.html
8 ArcGIS Desktop
10.1
- ArcMap Analisis spasial http://www.esri.com/software/arc
gis/arcgis-for-desktop
- ArcCatalog Manajemen data http://www.esri.com/software/arc
spasial gis/arcgis-for-desktop
9 ArcPAD Pemetaan
http://www.esri.com/software/arc
lapangan dan
gis/arcpad
pengumpul data
10 EXELIS ENVI Pengolahan citra http://download.intergraph.com/d
satelit ownload-
portal?ProductName=336677bc-
d93b-6e30-89b7-ff00003c6ea8
11 ASF MAPReady Pengolahan citra https://www.asf.alaska.edu/data-
satelit tools/mapready/
12 SENTINEL-1 Pengolahan citra https://sentinel.esa.int/web/sentine
Toolboxes satelit l/toolboxes
13 eCognition Analisis citra http://www.ecognition.com/produ
Developer 9.0 berbasis objek cts/ecognition-developer
ii) Peralatan lapangan, terdiri dari: perangkat navigasi berupa Global Positioning
System (GPS), kompas, peralatan transek, dokumentasi, dan alat tulis. Secara
lengkap peralatan lapangan disarikan pada Tabel 2.
10
Data yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, (i) data
spasial yang terdiri dari data vektor dan raster (ii) data atribut merupakan data hasil
pengolahan data lapangan yang telah ditabulasikan, data tersebut dapat berdiri
sendiri dan atau dihubungkan dengan data vektor (Tabel 3).
Tabel 3 Data vektor yang digunakan dalam penelitian
No Tema Skala Sistem Datum Sumber
Proyeksi
1 Draf RTRW 1:500.000 Geografis World Bappeda
Provinsi Riau Geodetic Provinsi
System Riau
1984
(WGS 84)
2 Rupa Bumi 1:50.000 Geografis WGS 84 Bappeda
Indonesia, Kabupaten
Pulau Bengkalis
Bengkalis
Data raster yang digunakan terdiri dari beberapa sensor yaitu: Landsat 5 TM
(Thematic Mapper) 5, Landsat 7 TM, Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic
Mapper), Landsat 8 OLI (Operational Land Imager), SPOT (Satellite Pour
l’Observation de la Terre) 6 multispektral dan pankromatik, ALOS PALSAR
(Advanced Land Observation Satellite Phase Array Synthetic Aperture Radar) FBD
(Fine Beam Double Polarisation) HH (Horizontal-Horizontal) dan HV
(Horizontal-Vertical). Karakteristik masing-masing sensor disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik sensor yang digunakan
Sensor
Parameter
SPOT 6 Landsat 5 TM Landsat 7 ETM+ Landsat 8 OLI SENTINEL-1 ALOS PALSAR
Ketinggian (km) 694 705 705 705 693 702
Temporal (hari) 26 16 16 16 12 26
Spektral (nm)
- Biru Pantai n/a n/a n/a 433 - 453
- Biru 450 - 520 450 - 520 450 – 520 450 - 520 VV+VH HH+HV
- Hijau 530 - 590 520 - 600 520 – 600 520 - 600 5.405 GHz
- Merah 625 - 695 630 - 690 630 – 690 630 - 690 Incident angle 29.1 - 46.0 38.788
- Inframedah dekat 760 - 890 760 - 900 760 – 900 760 - 900
- Inframerah tengah n/a 1550 - 1750 1550 – 1750 1550 - 1750
- Inframerah jauh n/a 2080 - 2350 2080 – 2350 2080 - 2350
- Pankromatik 450 - 745 n/a 500 – 900 500 - 900
- Cirrus n/a n/a n/a 1360 - 1390
Interferometric Wide
Spasial (m)
Swath 250 km
- Multispektral 6 30 30 30 10x10 12.5x12.5
- Pankromatik 1.5 15 15 15
Radiometrik (bit) 12 8 8 8
Level 3A 1T 1T 1T 1 Ground Range Detected 1.1
Format DIMAP V2 format Geo-TIFF Geo-TIFF Geo-TIFF SAFE format CEOS format
Proyeksi Geografi UTM UTM UTM Geografi ITRF97 Datum GRS80
Akuisisi
- Tanggal 27 Januari 2013 19 Juni 1996 14 Juli 2002 15 Januari 2015 28 Nopember 2014 18 September 2010
- Jam 3:14:20 2:35:50 3:45:58 1:07:12 22:55:37 15:55:37.277
11
12
Metode Penelitian
Persiapan data
Tahapan ini mempersiapkan peralatan yang terdiri dari perangkat keras dan
lunak serta data yang digunakan, untuk mendukung kegiatan lapangan dan
pengolahan data lebih lanjut.
Pra-pengelohan citra Proses pra pengolahan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas data melalui koreksi atmosferik (data optik), kalibrasi radiometrik (data
SAR) menjadi koefisien hambur balik (backscattering coefisient), dan koreksi
geometrik untuk data yang belum memiliki acuan sistem koordinat.
Koreksi atmosferik Meminimalisir pengaruh atmosfer merupakan hal yang
penting untuk mendapatkan reflektansi spektral permukaan suatu citra satelit. Data
pendukung seperti uap air, distribusi aerosol dan jarak pandang harus diketahui dan
kemudian digunakan bersama model transfer radiasi atmoferik untuk menghasilkan
perkiraan reflektansi permukaan yang sebenarnya. Koreksi atmosferik
menggunakan modul FLAASH (Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of
Spectral Hypercube) yang bekerja dengan kode MODTRAN4 (Moderate
Resolution Atmospheric Transmission). FLAASH dapat menganalisis dari
gelombang tampak hingga inframerah rendah dari citra multispektral dan
hiperspektral (Felde et al. 2003).
Parameter FLAASH yang digunakan hanya dua kategori yaitu: (i) parameter
umum, terdiri dari file input dan output FLAASH, karakteristik sensor yang
digunakan dan model atmosfer. (ii) parameter FLAASH lanjutan, terdiri dari
karakteristik aerosol lanjutan, kondisi geometris dan radiometrik FLAASH yang
akan dihasilkan (Tabel 5).
Koreksi geometrik Koreksi geometrik adalah sebuah proses penyesuaian posisi
citra satelit sehingga sesuai dengan posisinya di permukaan bumi. Kesalahan posisi
citra dapat diakibatkan oleh orbit satelit, rotasi bumi gerakan cermin pada sensor
penyiam dan juga kelengkungan bumi. Koreksi geometri citra satelit telah
dilakukan secara sistematis untuk kesalahan geometri yang sudah diperkirakan
sebelumnya, seperti: pengaruh pergerakan cermin pemindai, kecepatan lintasan
satelit dan arah serta kecepatan rotasi bumi. Tahap selanjutnya adalah
menggunakan titik-titik kontrol lapangan yang dapat diidentifikasi pada citra dan
lapangan dan melalui pasangan titik koordinat antara citra dan lapangan ini dapat
dibangun suatu persamaan transformasi untuk mengoreksi setiap posisi yang salah
pada citra menjadi posisi yang benar menurut skala, proyeksi dan sistem koordinat
referensi.
13
posisi piksel citra (baris dan kolom) pada koordinat bumi. Pada aplikasi yang
mendukung pembacaan RPC (seperti EXELIS ENVI) sistem proyeksi yang
digunakan oleh data citra SPOT 6 adalah geografi dan datum World Geodetic
System (WGS) 84, selanjutnya penarapan RPC mentransformasi sistem tersebut
menjadi Universal Transverse Mercator (UTM) zona 48 dan datum WGS 84. Hasil
koreksi RPC disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Hasil penerapan RPC pada citra SPOT 6 dengan kombinasi 321, dengan
tampalan citra RapidEye Level 3A orthofoto kombinasi 432 dan
Landsat 5 TM level 1T kombinasi 452
𝜎0 = 𝑎2 (𝐷𝑁 2 − 𝑎1 𝑁𝑟 ) (1)
15
σ0 adalah koefisien hambur balik, DN adalah nilai digital, Nr adalah fungsi jarak,
a1 adalah faktor skala derau dan a2 adalah faktor konversi linier. Nilai yang
dihasilkan oleh persamaan (1) adalah dalam skala power. Merubah nilai power
menjadi nilai dB digunakan persamaan (2) karena umumnya image yang telah
terkalibrasi menggunakan skala logaritma dB (Shimada et al. 2009).
𝜎 0 = 10. 𝑙𝑜𝑔10 〈𝐼 2 + 𝑄 2 〉 + 𝐶𝐹 − 𝐴 (2)
I dan Q merupakan bilangan real dan imaginer bagian dari produk Single Look
Complex (SLC), CF merupakan calibration faktor adalah -83 dB dan A merupakan
faktor konversi yaitu 32. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada Gambar 4.
a b
Gambar 4 Hasil kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR a. HV dan b. HH
DNi,j2 adalah intensitas piksel i,j, K adalah konstanta kalibrasi absolut, 𝛼𝑖,𝑗 adalah
sudut datang (incident angle), Ri,j adalah jarak miring (slant range distance), Rref
adalah referensi jarak miring (reference slant range distance), 𝜃𝑖,𝑗 adalah look angle
dan G adalah antenna pattern gain. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada
Gambar 5.
a. b.
Gambar 5 Hasil kalibrasi radiometrik citra SENTINEL-1. a. VH dan b. VV
16
(Gambar 6). Selanjutnya rancangan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kerja
dan disimpan dalam perangkat GPS. Peta kerja dan GPS berperan besar dalam
navigasi menuju lokasi-lokasi pengamatan lapangan.
Uji akurasi
Hasil klasifikasi data penginderaan jauh divalidasi menggunakan sebuah
matrik kesalahan (error matrix) (Tabel 7). Hal ini dilakukan dengan
membandingkan citra hasil klasifikasi sebagai peta terhadap kelas yang sebenarnya.
Kelas yang sebenarnya diperoleh dari hasil pengamatan lapangan. Uji akurasi
mengacu kepada Congalton dan Green (2009).
𝑛 = ∑𝑘𝑗=1 𝑛𝑖𝑗 merupakan jumlah sample hasil klasifikasi terhadap kelas i dalam
klasifikasi penginderaan jauh, dan 𝑛+𝑗 = ∑𝑘𝑖=1 𝑛𝑖𝑗 merupakan jumlah sampel yang
diklasifikasikan ke kelas j pada data referensi. Akurasi keseluruhan (overall
accuracy) antara data hasil klasifikasi penginderaan jauh dan data referensi dapat
dihitung sebagai berikut:
18
∑𝑘
𝑖=1 𝑛𝑖𝑖
𝑂𝑣𝑒𝑟𝑎𝑙𝑙 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 = (5)
𝑛
𝑛
𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑒𝑟′𝑠 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 𝑗 = 𝑛 𝑗𝑗 (6)
+𝑗
𝑛
𝑈𝑠𝑒𝑟′𝑠 𝑎𝑐𝑐𝑢𝑟𝑎𝑐𝑦 𝑖 = 𝑛 𝑖𝑖 (7)
𝑖+
Sebuah uji-Z berbasiskan KHAT atau statistik K (Kappa) akan digunakan
untuk menilai akurasi klasifikasi dari sebuah matrik kesalahan. Nilai koefisien
Kappa (KHAT statistik) berada pada rentang 0 hingga 1 dan biasanya akan lebih
kecil dari nilai akusari keseluruhan, dan dapat dihitung melalui:
𝑁 ∑𝑟𝑖=1 𝑥𝑖𝑖 −∑𝑟𝑖=1(𝑥𝑖+ .𝑥+1 )
𝐾= (8)
𝑁 2 −∑𝑟𝑖=1(𝑥𝑖+ .𝑥+1 )
r adalah jumlah baris pada matrik, xii adalah jumlah pengamatan pada baris i dan
kolom i, xi+ dan x+i adalah total margin baris i dan kolom i, N adalah jumlah
pengamatan. K menyatakan pengurangan dalam kesalahan yang keseluruhan
merupakan klasifikasi acak. Misalnya nilai K adalah 0.80 maka proses klasifikasi
yang dilakukan menghindari 80% kesalahan klasifikasi acak. Akurasi tematik
hanya berdasarkan referensi berbasis titik pengamatan. Uji akurasi tidak
berbasiskan objek atau uji akurasi yang berkaitan terhadap akurasi geometri objek
(seperti lokasi dan bentuk) (Whiteside et al., 2011).
Penentuan dua nilai Kappa independen dan untuk dua matrik kesalahan yang
secara signifikan berbeda, maka digunakan uji yang memungkinkan perbandingan
secara statistik dua analisis, analisis yang sama dengan waktu berbeda, dua
algoritma, dua tipe citra, atau dua citra yang sama dalam menghasilkan akurasi lebih
baik. Matrik kesalahan tunggal dan pasangan matrik kesalahan diuji tingkat
kepercayaan signifikan pada standar deviasi normal sebagai berikut:
Jika 𝐾̂1 dan 𝐾
̂2 merupakan estimasi Kappa statistik dari masing-masing matrik
kesalahan #1 dan #2, 𝑣𝑎𝑟 ̂ (𝐾 ̂1 ) dan 𝑣𝑎𝑟
̂ (𝐾̂2 ) adalah estimasi varian sebagai hasil
dari perhitungan yang tepat, maka uji statistik menggunakan persamaan:
̂1
𝐾
𝑍= ̂1 )
(9)
√𝑣𝑎𝑟
̂ (𝐾
Z adalah standarisasi dan distribusi normal (standar deviasi) dengan hipotesis
𝐻0 : 𝐾1 = 0 dan 𝐻1 : 𝐾1 ≠ 0, 𝐻0 ditolak jika 𝑍 ≥ 𝑍𝛼/2 , dimana α/2 adalah tingkat
kepercayaan uji Z dan derajat bebas diasumsikan tidak terhingga (∞). Uji statistik
untuk menguji jika dua error matriks independen berbeda secara signifikan
menggunakan persamaan:
̂1 −𝐾
|𝐾 ̂2 |
𝑍= ̂1 )+𝑣𝑎𝑟 ̂2 )
(10)
̂ (𝐾
√𝑣𝑎𝑟 ̂ (𝐾
Z adalah standarisasi distribusi normal nilai Kappa dengan hipotesis 𝐻0 : (𝐾1 −
𝐾2 ) = 0, alternative 𝐻1 : (𝐾1 − 𝐾2 ) ≠ 0, 𝐻0 ditolak jika 𝑍 ≥ 𝑍𝛼/2 .
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI UNTUK
PEMETAAN KOMUNITAS MANGROVE
Pendahuluan
Metode
Pengumpulan Data
Pengukuran data vegetasi mangrove Data vegetasi diperoleh melalui
pengamatan lapangan yang dilakukan di setiap stasiun pengamatan (plot). Data
yang diamati adalah strata pohon (mature), anakan (sapling) dan semai (seedling).
Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pohon adalah semua tumbuhan berkayu
dengan diameter batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm di atas permukaan
tanah) ≥ 4 cm atau lingkar batang 12,5 cm (English et al. 1997). Setiap pohon di
20
Komposisi mangrove Komposisi spesies yang menyusun vegetasi pada area kajian
dapat diketahui dari daftar spesies yang dicatat pada saat pengamatan lapangan.
Identifikasi langsung dilakukan di lapangan. Pendokumentasian daun, bunga, kulit,
buah, batang serta akar dilakukan jika nama spesies tumbuhan tidak diketahui.
Proses yang dilakukan dalam kajian komposisi vegetasi adalah: menggunakan buku
identifikasi mangrove (Giesen et al. 2006; Noor et al. 2006) untuk mengetahui
karakteristik bentuk batang, daun, bunga dan buah.
Kelimpahan spesies penyusun mangrove Perhitungan kelimpahan spesies di
lokasi penelitian berdasarkan kepentingan relatif dari spesies-spesies yang
menyusun vegetasi, melalui perhitungan diameter pohon, basal area, kerapatan
mutlak, kerapatan relatif, frekuensi mutlak, frekuensi relatif, dominansi mutlak,
dominansi relatif serta indeks nilai penting (INP).
Pengolahan Data
Pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove Aspek penting dari
skema klasifikasi adalah pendekatan kuantitas parameter ekologi untuk
mendefinisikan kelas komunitas mangrove. Variabel kuantitas parameter ekologi
yang digunakan adalah nilai INP. Namun tidak seluruh spesies pembangun
komunitas mangrove dapat diikutsertakan dalam pengelompokan data, mengingat
keterbatasan kehadiran (frekuensi) spesies mangrove pada seluruh plot transek.
Spesies mangrove yang memiliki persentase kehadiran kurang dari 4% dieliminir
keberadaannya sebagai penyusun komunitas mangrove (Green et al. 2000).
Selanjutnya spesies-spesies mangrove tersebut dikelompokkan menggunakan
analisis gerombol (cluster analysis). Kemiripan/ketidakmiripan penyusun
komunitas diukur menggunakan koefisien Bray-Curtis, koefisien tersebut telah
21
terbukti menjadi ukuran yang memadai dalam penentuan jarak ekologi (Faith et al.
1987). Persamaan Bray-Curtis dinyatakan sebagai berikut:
𝑝
∑𝑖=1|𝑥𝑖𝑗 −𝑥𝑖𝑘 |
𝑆𝑗𝑘 = [∑𝑃 ] (11)
𝑖=1(𝑥𝑖𝑗 +𝑥𝑖𝑘 )
xij adalah kelimpahan spesies ke-i pada sample ke-j dan p adalah spesies
keseluruhan.
Penentuan kelas komunitas mangrove ditetapkan dari jarak kemiripan dengan
nilai kemiripan 0.5. Dendogram jarak koefisien Bray-Curtis dibangun
menggunakan metode average group (Mumby dan Harborne 1999; Green et al.
2000). Karakteristik komunitas mangrove ditentukan oleh persentase kontribusi
komponen penyusunnya menggunakan analisis persentase kemiripan (Similarity
Percentage/SIMPER) (Clarke 1993). SIMPER dianalisi menggunakan aplikasi
PRIMER 6.0. SIMPER menghitung nilai rata-rata ketidakmiripan Bray-Curtis
antara pasangan kelompok dalam sampel. Rata-rata ketidakmiripan antara sampel
pada dua klaster dapat dinyatakan sebagai rata-rata kontribusi dari setiap variabel
penyusunnya. Sebuah variabel penciri memiliki kontribusi besar dalam
membedakan komunitas. Pemberian nama kelas komunitas mengacu pada
penamaan komunitas berdasarkan karakteritik ekologi, atau dapat juga
menggabungkan nama spesies yang memiliki persentase komposisi terbesar pada
komunitas tersebut (Green et al. 2000; Phinn et al. 2012).
Struktur Komunitas
Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan
mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove
ikutan. Penelitian ini hanya mengamati enam kelompok dari tujuh pengelompokan
lifeform oleh Giesen et al. (2006) yaitu: (i) pakis/ferns (14 jenis), (ii)
epifit/epiphyetes (4 spesies), (iii) pemanjat/climbers (7 spesies), (iv) herba
tanah/other ground herbs sebanyak (2 spesies), (v) palma tumbuhan seperti
palma/palm and palm-like plants (6 spesies), (vi) pohon dan dan semak/trees and
shrubs (36 spesies). Khusus mangrove sejati Sungai Kembung terdiri dari 11 famili
yaitu Avicenniaceae (2 spesies), Combretaceae (2 spesies), Euphorbiceae (1
spesies), Lythraceae (3 spesies), Meliaceae (2 spesies), Myristicaceae (1 spesies),
Arecaceae (1 spesies), Pteridaceae (2 spesies), Rhizophoraceae (6 spesies),
Rubiceae (1 spesies) dan Sterculiaceae (1 spesies). Empat dari sebelas famili
tersebut merupakan komponen utama penyusun mangrove yaitu Combretaceae,
Arecaceae, Rhizophoraceae dan Lythraceae sedangkan yang lain merupakan
komponen minor (Tomlinson 1986).
Penelitian ini lebih mengayakan informasi keanekaragaman hayati vegetasi
mangrove di Sungai Kembung. Kartaharja (2010) melaporkan 20 spesies mangrove
sejati dan 12 mangrove ikutan di lokasi penelitian. Keanekaragaman hayati vegetasi
mangrove di Sungai Kembung lebih banyak jika dibandingkan dengan laporan
Nursal et al. (2005) yang mengamati mangrove di pesisir Tanjungsekodi, Pulau
Bengkalis, yaitu hanya 5 spesies mangrove sejati, Prianto et al. (2006) mengamati
struktur komunitas mangrove dewasa di sepanjang garis pantai Kota Dumai,
22
menyatakan bahwa jumlah mangrove sejati yang dijumpai sebanyak 17 spesies dan
18 spesies mangrove ikutan.
Beberapa spesies mangrove di lokasi penelitian merupakan spesies endemik
Asia Tenggara, yaitu A. lanata, O. tigillarium, I. cymosa, P. coronarium, D.
aloefolium. Dua spesies yang secara lokal umum dijumpai tapi langka dalam skala
global, yaitu S. hydrophyllacea dan S. ovata (Giesen et al. 2006). Berdasarkan
daftar merah spesies terancam International Union for Conservation of Nature
(IUCN), empat spesies belum termasuk ke dalam daftar tersebut yaitu, B.
gymnorrhiza, B. hasselsi. C. tagal dan S. hydrophyllaceae. Satu spesies masuk ke
dalam kategori rentan (vulnerable B1+2c) yaitu A. lanata, satu spesies dalam status
hampir terancam (near threatened) yaitu S. ovata, dan sisanya berada pada kategori
sedikit perhatian (least concerns).
Jenis X. granamun, R. apiculata, L. racemosa dan S. hidrophyllaceae
merupakan komunitas dominan dan selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan
dengan jenis-jenis lainnya pada semua strata. Hal tersebut ditunjukkan oleh
tingginya nilai penting baik strata dewasa, anakan maupun semai (Tabel 8)
Tabel 8 Nilai penting (%) berdasarkan strata mangrove
Strata Mangrove
No Nama Botani
Dewasa Anakan Semai
1 Aegiceras corniculatum 0.3 2.8 1.4
2 Avicennia alba 0.4 - -
3 Avicennia lanata 1.5 - -
4 Bruguiera cylindrica 6.3 2.9 4.9
5 Bruguiera gymnorhiza 6.0 5.6 2.0
6 Bruguiera hainesii 9.0 8.8 3.9
7 Ceriops tagal 6.2 9.4 7.8
8 Excoecaria agallocha 7.1 7.9 3.3
9 Heritiera littoralis 0.9 - -
10 Lumnitzera littorea - - 12.3
11 Lumnitzera racemosa 11.9 2.2 3.7
12 Nypa fruticans 2.6 - 1.0
13 Rhizophora apiculata 55.6 41.2 7.8
14 Rhizophora mucronata 7.1 6.9 2.3
Scyphiphora
15 10.8 25.2 6.9
hidrophyllacea
16 Sonneratia alba 1.7 - -
17 Sonneratia ovata 1.2 0.7 -
18 Xylocarpus granatum 161.8 84.6 135.9
Tabel 10 Nama spesies, kategori mangrove dan jumlah kehadiran spesies dari
seluruh plot transek
No Nama Spesies Kode Kategori Jumlah Kehadiran
1 Ardisia elliptica Ae Ikutan 2
2 Buah Gurah Bg Ikutan 1
3 Cimpo Co Ikutan 2
4 Dendan Laut Dl Ikutan 1
5 Fiscus sp Fs Ikutan 2
6 Flocourtia rukam Fr Ikutan 4
7 Hibiscus tilaceus Ht Ikutan 2
8 Ilex cymosa Ic Ikutan 2
9 Kelat Putih Kp Ikutan 2
10 Oncosperma tigillarium Ot Ikutan 4
11 Pokok Miang Pm Ikutan 1
12 Pouteria obovata Po Ikutan 2
13 Setuak Sak Ikutan 4
14 Terminalia catappa Tc Ikutan 1
15 X XX Ikutan 1
16 Aegiceras corniculatum Ac Sejati 1
17 Avicennia alba Aa Sejati 1
18 Avicennia lanata Al Sejati 4
19 Bruguiera cylindrical Bc Sejati 14
20 Bruguiera gymnorhiza Bg Sejati 20
21 Bruguiera hainesii Bh Sejati 27
22 Ceriops tagal Ct Sejati 22
23 Excoecaria agallocha Ea Sejati 17
24 Heritiera littoralis Hl Sejati 3
25 Lumnitzera racemosa Lr Sejati 27
26 Nypa fruticans Nf Sejati 3
27 Rhizophora apiculata Ra Sejati 93
28 Rhizophora mucronata Rm Sejati 17
29 Scyphiphora hidrophyllacea Sh Sejati 29
30 Sonneratia alba Sa Sejati 5
31 Sonneratia ovate So Sejati 4
32 Xylocarpus granatum Xg Sejati 117
Gambar 9 Jumlah komposisi jenis pohon mangrove terhadap jumlah plot transek
Ilustrasi skema komunitas mangrove di Sungai Kembung disajikan melalui
dendogram (Gambar 10). Dendogram adalah diagram pohon yang digunakan untuk
menggambarkan susunan klaster dan dihasilkan oleh gerombol hirarki. Sebuah
rincian hirarki berdasarkan dendogram suatu komunitas berguna untuk
mendefinisikan tingkatan deskriptif yang berbeda. Jarak Bray-Curtis yang
digunakan adalah 50%, artinya setiap komunitas mangrove yang dibangun
memiliki kemiripan komponen penyusun minimal 50%. Jarak kemiripan yang
digunakan lebih rendah dibandingkan dengan Mumby dan Harborne (1999) dan
Green et al. (2000) yang menggunakan nilai jarak kemiripan sebesar 60% – 65%
dalam mengembangkan habitat lamun, terumbu karang dan mangrove. Green et al.
(2000) menambahkan bahwa tidak ada metode pengelompokkan yang sempurna,
mengingat ragam metode analisis gerombol cukup banyak dan lokasi pengamatan
bervariasi dan keputusan yang dibuat terkadang subjektif terhadap
pengelompokkan lokasi pengamatan.
daerah Panama, Ekuador (Wang et al. 2004b; Wang dan Sousa 2009; Heumann
2011a) mencantumkan nama ilmiah, seperti: red mangrove (Rhizophora
mangle), black mangrove (Avicennia germinan) dan white mangrove (Luguncularia
racemosa), penamaan kelas di Malaysia memberikan nama kelas berdasarkan nama
lokal seperti: bakau kurap (Rhizophora apiculata), bakau minyak (Rhizophora
mucronata) dan kelas lainnya (Kanniah et al. 2007). Penamaan kelas juga
menggabungkan satu atau lebih nama genus mangrove (Kasawani et al. 2010),
seperti Acanthus-Sonneratia, Avicennia-Sonneratia, Avicennia, Sonneratia
campuran dan campuran. Penamaan kelas komunitas mangrove dalam penelitian
mengunakan nama spesies yang berkontribusi besar dalam penyusun komunitas
mangrove.
Kelas skema klasifikasi yang dapat diterapkan pada cita satelit adalah kelas
yang memiliki jumlah anggota kelas minimal 4% dari total jumlah sampel. Hanya
2 kelas saja yang mampu memenuhi jumlah minimal tersebut, yaitu kelas 1 (33
anggota) dan 2 (93 anggota). Kelas 3 (6 anggota) memiliki anggota lebih dari 4%
namun jumlah tersebut tidak layak diterapkan seluruhnya pengelompokan citra
satelit. Jika hanya 2 kelas yang digunakan, 28 anggota tersisa dan tidak dapat
digunakan, maka kelas-kelas tersebut digabungkan menjadi satu kelas tersendiri,
meskipun konsekuensi nilai kemiripan anggota kelas lebih rendah. Pada akhirnya
terdapat 3 kelas komunitas mangrove di Sungai Kembung, kelas 1 adalah komunitas
Rhizopora apiculata (Ra), kelas 2 adalah komunitas Xylocarpus granatum (Xg) dan
kelas 3 adalah komunitas lainnya (La) (Gambar 12).
Kelas komunitas 1 (Ra) dibangun oleh enam spesies mangrove yaitu R.
apiculata, X. granatum, L. racemosa, S. hidrophyllacea, B. haenesii, B gymnorhiza.
R. apiculata memiliki kontribusi paling besar (97.81%) dalam membangun
komunitas, dan sisanya merupakan kontribusi komponen lainnya. Kemiripan plot
penyusun komunitas ini adalah 72.28%. Kelas 2 (Xg), dibangun oleh seluruh
spesies komunitas. X. granatum merupakan kontributor terbesar dalam membangun
komunitas ini (89.11%) dan sisanya merupakan kontribusi dari 9 spesies lainnya.
Kemiripan plot penyusun kelas ini lebih rendah dibandingkan kelas 1, yaitu
68.93%. Kelas 3 (La) dibangun oleh hampir seluruh spesies mangrove kecuali B.
gymnorhiza. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh keberadaan L. racemosa
(36.57%), X. granatum (25.68%), B. haenesii (11.68%) dan sisanya dibangun oleh
spesies lainnya. Kemiripan antar plot penyusun paling rendah yaitu 20.60%, karena
komunitas ini dibangun dari gabungan 10 kelas komunitas mangrove. Keberadaan
spesies-spesies yang memiliki kontribusi terbesar dalam setiap komunitas yang
dibangun dapat menjadi penciri pada komunitas tersebut.
Secara deskriptif skema klasifikasi hirarki mampu memfasilitasi penerapan
penginderaan jauh, namun keterbatasan data penginderaan jauh mempengaruhi
penyerapan skema tersebut (Mumby dan Harborne 1999). Beberapa keterbatasan
itu di antaranya: i) Kemampuan resolusi spektral yang terbatas, umumnya
kemampuan resolusi data multispektral terbatas pada panjang gelombang biru,
hijau, merah dan inframerah dekat. Meskipun beberapa sensor telah memiliki lebih
dari itu (Landsat 8 OLI dan WorldView-2). Mumby dan Harborne (1999)
menyatakan data multispektral memiliki kemampuan memisahkan habitat dengan
baik pada tingkatan kasar, ii) Biaya yang mahal dalam penggunaan data dengan
resolusi (spektral, spasial dan temporal) yang lebih baik, untuk memetakan habitat
yang lebih detail. Skema klasifikasi yang dijelaskan dalam tulisan ini, diyakini telah
29
Simpulan
Pendahuluan
Metode
Pengumpulan Data
Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari: (i)
Landsat 5 TM, (ii) SPOT 6 multispektral, (iii) SPOT 6 pankromatik, (iv) ALOS
PALSAR dan (v) SENTINEL-1.
Skema klasifikasi penutup lahan mengacu BSN (2010), yaitu kebun kelapa
(KA), kebun karet (KT), semak belukar (SB), vegetasi transisi mangrove (TO),
mangrove (ME), lahan terbuka (LT), lahan terbangun (LN), badan air (BA).
Pengamatan lapangan kelas penutup lahan dibantu menggunakan citra satelit
resolusi tinggi yang merupakan fusi citra (Aiazzi et al. 2006) multispektral SPOT
6 (6 meter) dan pankromatik SPOT 6 (1.5 meter). Penentuan posisi sampel
menggunakan alat penentu posisi (GPS) Trimble JUNO SB yang dilengkapi dengan
aplikasi ArcPAD versi 10. Mengingat akses yang terbatas, maka pengamatan
penutup lahan hanya dilakukan sekitar 500 m dari perbatasan mangrove. Sebanyak
469 titik pengamatan dibuat secara acak menggunakan ArcGIS Desktop. 176 di
antaranya digunakan training area dan 293 digunakan untuk uji akurasi hasil
pemetaan masing-masing penutup lahan.
i dan j merupakan respon spektral dari dua kelas penutup lahan atau komunitas
mangrove yang dibandingkan; C merupakan matrik kovarian dari respon spektral;
µ merupakan vektor rata-rata respon spektral; ln merupakan fungsi logaritma
natural; T merupakan fungsi transposisi; dan |C| adalah determinan dari C.
Optimasi parameter pembangkit objek (segmentasi) Segmentasi citra
merupakan fungsi prinsip yang memisahkan citra menjadi kawasan-kawasan
terpisah atau objek berdasarkan parameter yang telah ditentukan, karena itu dapat
meminimalkan variabilitas di antara objek. Segmentasi dapat dilakukan lebih dari
satu jenis data (Nascimento Jr et al. 2013).
Parameter segmentasi terdiri dari tiga parameter, yaitu: shape, compactness,
dan scale. Nilai yang digunakan oleh parameter shape dan compactness berkisar 0-
1. Faktor shape mengatur homogenitas spektral dan bentuk objek. Faktor
compactness menyeimbangkan kekompakan dan kehalusan, menentukan bentuk
33
objek antara batas yang halus dan tepi yang kompak. Parameter scale mengatur
ukuran objek yang sesuai dengan kebutuhan pengguna berdasarkan tingkat
kedetailan dan merupakan parameter kunci dalam segmentasi citra. Keputusan nilai
skala tergantung pada ukuran objek yang dibutuhkan. Pengguna juga diberikan
kesempatan untuk memberikan bobot yang berbeda pada setiap layer input yang
digunakan pada proses segmentasi (Myint et al. 2008).
Secara prinsip, parameter scale tidak terbatas. Keputusan akhir dinyatakan
oleh pengguna berdasarkan interpretasi visual terhadap citra dibandingkan kriteria
kuantitatif. Penentuan nilai parameter skala maksimal merupakan suatu tantangan
tersendiri, dalam kajian ini hanya digunakan beberapa kombinasi parameter
pembangkit objek, mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pengujian
seluruh nilai dalam memperoleh nilai optimum (Myint et al. 2008). Optimasi
parameter pembangkit objek dilakukan terhadap beberapa kombinasi nilai
parameter yang sering digunakan. Parameter yang diuji terdiri dari: i)
multiresolution segmentation (MRS), terdiri dari scale (SC), shape (SH),
compactness (CO) dan ii) spectral different algoritm (SDA), hanya menggunakan
parameter scale (Tabel 11).
Tabel 11 Parameter segmentasi yang diujikan untuk memperoleh nilai parameter
terbaik
No Segmentasi Parameter
Scale Shape Compactness
1 MRS 5 0.1 0.9
10 0.5 0.5
30 0.1 0.9
50
100
150
200
300
500
1000
2 SDA 5
10
30
50
75
subset data latihan yang dipilih secara acak (sekitar sepertiga dari jumlah data).
Data latihan lainnya, dinamakan out-of-bag (OOB), mampu melakukan validasi
silang seperti melakukan uji akurasi melalui estimasi kesalahan OOB. Aturan
pemisahan RF berdasarkan sebuah subset m dari seluruh fitur n, nilai m ditentukan
oleh pengguna m < n (Breiman 2001)
Parameter RF yang diuji adalah jumlah maksimum kedalaman pohon (depth),
jumlah minimum sampel setiap simpul (minimum number of sample per
node/sample), dan jumlah maksimal pohon (max tree number/tree) (Tabel 12)
Pengujian mengikutkan nilai parameter segmentasi terbaik. Sebelum teknik
klasifikasi diterapkan, dilakukan pengujian terhadap beberapa parameter
pembangkit objek (segmentasi) dan parameter algoritma RF. Optimasi hanya
dilakukan terhadap IIL M8 dan hasilnya diterapkan pada IIL M7, M8, M9 dan M10.
Sementara IIL M1, M2, M3, M4, M5 dan M6 parameter yang digunakan mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015b).
Tabel 12 Nilai-nilai parameter algoritma RF yang diujikan
Parameter
No
Depth Node Tree
1 0 1 100
2 1 2 200
3 2 3 300
4 3 4 400
5 4 5 500
6 5 6 600
7 6 7 700
8 7 8 800
9 8 9 900
10 9 10 1000
11 10 20
12 20 50
13 50 100
14 100 200
15 200 500
16 500 1000
17 1000
Fitur atribut Fitur atribut merupakan sekumpulan nilai yang berasal dari
spektral segmentasi dari setiap IIL yang digunakan. Nilai tersebut dapat berupa nilai
statistik dasar seperti rata-rata, minimum, maksimum, standar deviasi. Nilai fitur
atribut dapat berasal dari fungsi customize. Penelitian ini menggunakan fitur
customize NDVI dan NDWI dan beberapa fitur statistik lainnya (Tabel 14).
Tabel 14 Fitur objek yang digunakan sebagai parameter dalam klasifikasi RF
Fitur atribut
No Input model Customize
M SD MDN
NDVI NDWI
1 M1 - - + + +
2 M2 - - + + +
3 M3 + + + + +
4 M4 + + + + +
5 M5 + + + + +
6 M6 + + + + +
7 M7 + + + + +
8 M8 + + + + +
9 M9 + + + + +
10 M10 + + + + +
Keterangan: M: rata-rata, Sd: standar deviasi, MDN: mean different to neighbour; +: menggunakan;
-: tidak menggunakan.
Pohon proses Klasifikasi berbasis objek diatur pada dua tingkatan (level).
Tingkatan pertama diterapkan pada klasifikasi penutup lahan mangrove dan
tingkatan kedua klasifikasi komunitas mangrove. Kedua tingkatan dihubungkan
oleh sebuah hubungan ‘induk dan anak’ (parent child relationship). Hubungan
tersebut membangun hirarki antara kelas mangrove terhadap komunitas mangrove.
Seluruh perintah klasifikasi berbasis objek dikelola oleh sebuah modul dengan
nama pohon proses (process tree) (Gambar 13). Pohon proses dapat terdiri dari satu
36
pohon atau lebih dari pohon induk (parent) dan setiap pohon induk dapat memiliki
lebih dari satu anak (child) dan setiap child dapat memiliki child turunannya, begitu
seterusnya. Parent dapat mengeksekusi proses yang ada di dalam atau di bawahnya,
sementara kemampuan child hanya terbatas pada algoritma yang ada di dalamnya.
Tidak ada ketentuan yang baku dalam pengembangan pohon proses ini, mengingat
eCognition Developer memiliki banyak algoritma yang dapat dikombinasikan satu
sama lainnya untuk mendapatkan objek yang diinginkan.
i adalah kelas, x adalah data dimensi-n (n adalah jumlah band), 𝑝(𝜔𝑖 ) adalah
probabilitas kehadiran kelas 𝜔𝑖 ada pada seluruh data dan diasumsikan sama pada
seluruh kelas, Σi matrik kovarian pada kelas 𝜔𝑖 , Σ𝑖 -1 adalah matrik invers dan mi
adalah vektor rata-rata.
Klasifikasi berbasis piksel pada tidak mengenal tingkatan (level), namun
penelitian ini merujuk teknik klasifikasi berbasis objek, selanjutnya istilah level
diganti dengan tahapan. Dua tahapan diterapkan, tahapan pertama adalah klasifikasi
penutup lahan dan tahapan kedua adalah klasifikasi komunitas mangrove
berdasarkan distribusi mangrove yang dihasilkan oleh tahapan pertama.
IIL klasifikasi berbasis piksel menggunakan IIL klasifikasi berbasis objek.
Agar perbandingan hasil klasifikasi lebih adil, maka training area algoritma ML
berasal dari training algoritma RF.
Karakteristik Spektral
Reflektansi spektral permukaan penutup lahan Reflektansi spektral permukaan
kelas penutup lahan Citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM disajikan pada Gambar 14.
Kelas penutup lahan yang merupakan kelompok vegetasi seperti kebun karet (KT),
kebun kelapa (KA), mangrove (ME), semak (SK) dan vegetasi transisi (TI)
memiliki pola yang sama dengan intensitas yang berbeda. Panjang gelombang biru
memiliki nilai reflektansi paling rendah, selanjutnya reflektansi meningkat pada
panjang gelombang hijau dan turun kembali pada panjang gelombang merah.
Reflektansi meningkat tajam dan mencapai puncaknya pada panjang gelombang
inframerah dekat (IMD). Khusus citra Landsat 5 TM, fungsi reflektansi masih dapat
divisualisasikan melalui panjang gelombang inframerah tengah (IMM) dan jauh
(IMJ) yang cenderung menurun.
38
sidik ragam kedua citra diperoleh nilai F hitung SPOT 6 (4.7874); Landsat 5 TM
(10.3242), keduanya lebih besar dari pada F tabel, maka hasil analisis ini menolak
hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif bahwa ada perbedaan reflektansi
spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam analisis ini dapat dinyatakan
terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang berbeda nyata pada taraf 95% (p
<0.05).
Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok reflektansi
spektral yaitu kelompok spektral tampak (Band 1, 2 dan 3) yang tidak berbeda nyata
dan kelompok spektral beda nyata dengan spektral lainnya yaitu IMD. Spektral
tersebut dapat dijadikan sebagai penciri Citra SPOT 6, sementara citra Landsat
terdapat tiga kelompok spektral yaitu kelompok reflektansi spektral Band 1, 2, 3
dan 6 berbeda nyata terhadap Band 5 dan berbeda nyata terhadap Band 4.
Reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan dari citra SPOT 6
dikelompokan menjadi tiga, yaitu kelompok lahan dibangun (LN), sementara kelas
mangrove (ME) memiliki karakter reflektansi spektral yang sama dengan kelas
penutup lahan kebun karet (KT), kebun kelapa (KA), vegetasi transisi (TI) dan
lahan terbuka (LA), kelompok lainnya adalah badan air (BA) dan semak belukar
(SK). Karakteristik spektral citra Landsat 5 TM sedikit berbeda, terdiri dari:
kelompok lahan terbangun (LN), semak (SK), kebun karet (KT) dan lahan terbuka
(LA), kelas mangrove memiliki karakteristik reflektansi spektral yang sama dengan
vegetasi transisi (TI) dan kebun kelapa (KA), sedangkan badan air memiliki
karakteristik yang berbeda dengan penutup lahan lainnya.
Reflektansi spektral vegetasi merupakan fungsi optik jaringan (daun, batang
kayu) atribut biofisik kanopi (daun, orientasi daun dan gerombolan daun),
reflektansi daun, kondisi pencahayaan dan posisi geometri. Penginderaan jauh
vegetasi tergantung dari ekosistem (padang rumput, semak belukar, hutan) yang
diamati. Struktur atribut ekosistem menentukan kontribusi relatif reflektansi
spektral, yaitu daun, kanopi dan penutup lahan (Asner 1998). Molekul yang
menyerap panjang gelombang tampak (350-700 nm) dinamakan pigmen. Puncak
reflektansi pada gelombang tampak berada pada panjang gelombang hijau biasanya
10-20 %, sementara reflektansi rendah berada spektrum gelombang biru dan merah
sekitar 2-5 %. Daun hijau yang sehat, reflektansi inframerah dekat bertambah secara
dramatis pada spektrum 700-1200 nm. Reflektansi dapat mencapai 76% dan
menyerap panjang gelombang biru dan merah secara efisien, karena digunakan
untuk fotosintesis. Komponen yang mengatur jumlah reflektansi inframerah dekat
adalah lapisan spongi mesofil, layer ini berada di bawah layer palaside. Reflektansi
inframerah dekat dapat mencapai 40-60 % dan penyerapan hanya sekitar 5-10%
(Jensen 2007).
Reflektansi spektral permukaan komunitas mangrove Reflektansi spektral
komunitas mangrove disajikan pada Gambar 15. Pola reflektansi komunitas
mangrove mirip dengan pola reflektansi spektral vegetasi yang telah dijelaskan
pada reflektansi vegetasi penutup lahan. Kurva reflektansi spektral menyajikan
seluruh kelas yang dihasilkan dari pengembangan skema klasifikasi.
Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat
antara reflektansi spektral terhadap kelas komunitas mangrove. Citra SPOT 6 dapat
menentukan hubungan tersebut sebesar 99.81% sementara Citra Landsat 5 TM
sebesar 99.65%. Berdasarkan tabel analisis sidik ragam diperoleh nilai F hitung
lebih besar (629.18 (SPOT 6) dan 404.72 (Landsat 5 TM) dari pada F tabel
40
(0.0001), maka hasil analisis ini menolak hipotesis awal dan menerima hipotesis
bahwa ada perbedaan reflektansi spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam
analisis ini dapat dinyatakan terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang
berbeda nyata pada taraf 95% (p <0.05).
dibandingkan dengan respon spektral komponen daun lainnya (garam, gula, air,
protein, lignin, selulosa dan struktur daun) yang berinteraksi dengan energi
elektromagnetik pada panjang gelombang yang lebih panjang. Wang dan Sousa
(2009) menambahkan bahwa panjang gelombang yang paling penting dalam
mendiskriminasi spesies mangrove berada pada panjang gelombang inframerah
dekat plateau dari 780-810 nm dan perbandingan panjang gelombang shortwave
infrared (SWIR) yaitu pada panjang gelombang 1490, 1560 dan 1580 nm, juga
mampu meningkatkan pemisahan spesies mangrove, khususnya spesies A.
germinans, L. racemosa dan R. mangle.
Separabilitas Uji separabilitas dilakukan terhadap penggunaan seluruh band
SPOT 6 dan Landsat 5 TM dan harus memisahkan sebanyak 28 pasangan kelas
penutup lahan (Tabel 15). Hasil seperabilitas citra SPOT 6 mampu memisahkan 21
pasang kelas penutup lahan. Tujuh pasang kelas yang tidak bisa dipisahkan terdiri
dari KA-KT, KA-ME, KA-TI, KT-TI, LA-LN serta ME-TI. Spektral kelas
mangrove masih dipengaruhi oleh dua kelas lainnya yaitu KA dan TI. Sementara
citra Landsat TM tidak mampu memisahkan 6 pasangan kelas yaitu BA-KA, KA-
KT, KA-SK, KA-TI, LA-LN, ME-TI serta SK-TI. Kelas mangrove hanya
dipengaruhi oleh kelas vegetasi transisi saja. Pemisahan kelas mangrove citra
Landsat 5 TM lebih baik dibandingkan citra SPOT 6.
Pasangan kelas yang memiliki keterpisahan paling rendah oleh kedua citra
adalah kelas lahan terbuka dan lahan dibangun. Beberapa lahan terbuka di lokasi
penelitian berupa tanggul yang telah lama mengering dan tidak ditumbuhi lagi oleh
vegetasi dan beberapa objek lahan dibangun, khususnya jalan (dibangun oleh beton)
telah mengalami kerusakan sehingga memungkinkan terjadi kemiripan spektral
permukaan pada kedua kelas tersebut. Secara umum separabilitas Citra Landsat 5
TM lebih baik dibandingkan Citra SPOT 6. Nilai rata-rata separabilitas citra SPOT
6 berada pada status tidak dapat dipisahkan (1.856) dan Citra Landsat 5 TM dengan
status dapat dipisahkan (1.922).
Perbedaan jumlah spektral yang dimiliki Citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM,
berpengaruh terhadap pemisahan kelas komunitas mangrove terutama pada
spektrum inframerah. Spektrum inframerah sangat berperan dalam
mendiskriminasi objek vegetasi pada permukaan citra (Jensen 2005; Richards
2013). Selain itu dinyatakan juga bahwa penggunaan lebar spektrum yang berbeda
pada panjang gelombang elektromagnetik yang sama juga akan menghasilkan
akurasi yang berbeda. Mengingat sensitifitas objek permukaan terhadap panjang
gelombang juga berbeda (Gao 1999; Wang et al. 2004b).
Kemiripan spektral mangrove dengan kebun kelapa dan vegetasi transisi
sangat mungkin terjadi, ketiga kelas tersebut berada pada daerah yang berdekatan,
berdasarkan topologi spasial maka ketiga kelas tersebut berbatasan (adjacent).
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dibeberapa lokasi tumbuhnya
mangrove yang dijumpai di lapangan merupakan bekas kebun kelapa dan kemiripan
pengaruh ekologi seperti pasang surut memberikan kesempatan kemiripan spektral
di antara kedua kelas penutup lahan tersebut. Begitu juga halnya dengan kelas
vegetasi transisi, selain itu kelas vegetasi transisi dibangun oleh vegetasi mangrove
ikutan.
42
Tabel 15 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas penutup lahan. Pasangan
angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan
Kelas BA KA KT LA LN ME SK TI
SPOT 6
BA 2.000 2.000 1.899 1.972 2.000 2.000 2.000
KA 1.518 1.942 1.971 1.684 1.951 0.949
KT 1.998 1.989 1.968 1.994 1.761
LA 1.488 1.997 2.000 1.995
LN 1.992 1.999 1.986
ME 1.999 0.976
SK 1.952
TI
Landsat 5 TM
BA 2.000 2.000 1.995 1.996 2.000 2.000 2.000
KA 1.899 1.935 1.955 1.973 1.820 1.547
KT 2.000 1.986 2.000 1.910 1.997
LA 1.180 1.999 2.000 1.997
LN 1.999 1.982 1.992
ME 1.993 1.892
SK 1.772
TI
Tabel 16 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas komunitas mangrove.
Pasangan angka ≥ 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Jarak J-M antara
pasangan komunitas mangrove.
Ra Xg LA
SPOT 6
Ra 0.915 0.518
Xg 0.607
La
Landsat 5 TM
Ra 1.011 0.517
Xg 0.814
La
Gambar 17 Pengaruh scale terhadap akurasi keseluruhan dan jumlah objek yang
dihasilkan. a. shape 0.1 dan compactness 0.9, b. shape 0.5 dan
compactness 0.5, c. shape 0.9 dan compactness 0.1
46
Optimasi Parameter RF
Pengaruh parameter algoritma RF terhadap akurasi disajikan oleh Gambar 18.
Penggunaan nilai parameter dengan nilai default (0, 0 dan 50 untuk depth, sample
dan tree) menghasilkan nilai akurasi sebesar 75.2%. Nilai akurasi turun drastis
menjadi 15.5%, ketika parameter depth menggunakan nilai 1, dan naik kembali
seiring dengan bertambahnya nilai depth. Nilai akurasi mencapai kestabilan pada
nilai depth, 20-1000. Penggunaan nilai sample 1-10 menghasilkan nilai akurasi
yang berfluktuasi rendah antara 0.1-2.8% dengan Nilai akurasi berkisar 75.2-
80.0%. Penggunaan nilai sample yang lebih besar dari 10 cenderung menurunkan
nilai akurasi. Peningkatan jumlah pohon yang digunakan relatif tidak meningkatkan
akurasi klasifikasi. Akurasi tertinggi diperoleh melalui 100 pohon klasifikasi, nilai
lainnya menghasilkan akurasi dengan flktuasi yang kecil dan cenderung stabil.
Meskipun pernah dilaporkan oleh Clifton (2005) bahwa kestabilan hasil dapat
diperoleh melalui 50-100 jumlah pohon, namun dalam penelitian nilai stabil
diperoleh 200 pohon.
M1
M2
Keterangan
M3
M4
M5
M6
Keterangan
Gambar 19 Lanjutan
49
M7
M8
M9
M10
Keterangan
Gambar 19 Lanjutan
(2009) pemetaaan penutup lahan melalui kedua klasifikasi yang tidak mencapai
tingkat memuaskan (>85%). IIL tersebut tidak dilanjutkan pada pemetaan
komunitas mangrove (Level 2) pada kedua teknik klasifikasi.
Kemiripan spektral antara kelas penutupan lahan tidak dapat dihindari oleh
kedua teknik klasifikasi, khususnya pada kelas-kelas penutup lahan yang memiliki
heterogenitas tinggi. Masih ditemukan tumpang tindih spektral antar kelas.
Penambahan data SAR pada IIL M4 mampu mengurangi kesalahan klasifikasi pada
kedua teknik klasifikasi. Peningkatan jumlah resolusi spasial pada M5 dan M6
menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek mampu mengurangi jumlah
kesalahan klasifikasi dan kehadiran efek salt and pepper dibandingkan teknik
klasifikasi berbasis piksel, hal yang sama juga dilaporkan oleh Whiteside et al.
(2011). Jhonnerie et al. (2015a) menambahkan bahwa algoritma RF yang
diterapkan pada klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu menekan kehadiran
efek tersebut dibandingkan algoritma ML yang diterapkan pada klasifikasi berbasis
piksel.
Penggunaan data SAR (M1 dan M2) sebagai IIL dalam klasifikasi penutup
lahan menghasilkan distribusi kelas penutup lahan acak dan hampir tidak berpola,
selain kelas badan air. Hambur balik badan air dikenali dengan nilai yang lebih
rendah dibandingkan kelas penutup lainnya. Hal tersebut karena pengaruh pantulan
spekular permukaan air. Kesalahan klasifikasi (misclassification) menggunakan
input SAR menghadirkan efek salt and pepper pada kedua teknik klasifikasi. Efek
tersebut hadir pada perekaman data SAR yang diakibatkan oleh pengaruh banyak
pantulan (multiple bounce scattering) akibat variasi kekasaran permukaan objek
dan perbedaan jarak perjalanan kembali gelombang dari berbagai target ke sensor
(Qiu et al. 2004), meskipun filter lokal adaptif telah diterapkan namun pengaruh
derau (noise) masih mempengaruhi hasil klasifikasi, walaupun telah menggunakan
algoritma klasifikasi RF.
Data SAR sebagai IIL menghasilkan akurasi lebih rendah dibandingkan IIL
lainnya. Akurasi keseluruhan dan akurasi pemetaan kelas mangrove (Tabel 17)
terendah dihasilkan oleh M2 pada kedua klasifikasi, 26.3% berbasis objek dan
29.0% berbasis piksel, 28.8% dan 35.8% untuk akurasi pengguna kelas mangrove.
Pemetaan mangrove menggunakan IIL SAR umumnya menghasilkan akurasi yang
lebih rendah dibandingkan dengan IIL lainnya (Held et al. 2003). Kemampuan
ALOS PALSAR (M1) lebih baik memetakan penutup lahan dibandingkan
SENTINEL-1 (M2). Menurut Takeuchi dan Ohuro (2003) band-C SAR (Earth
Resource Satellite/ERS) memiliki akurasi produser (PA) dan pengguna (UA) lebih
rendah dalam memetakan hutan lahan basah dibandingkan hutan kelas penutup
lahan lainnya, sementara band-L SAR (Japan Earth Resource Satellite -1/JERS)
menghasilkan klasifikasi lebih baik. Perbedaan tersebut diakibatkan bedanya
panjang gelombang dan kemampuan panjang gelombang berinteraksi terhadap
vegetasi (Rosen et al. 1996). Proisy et al. (2000) menambahkan bahwa parameter
polarimetrik Band-L memiliki korelasi linear lebih baik terhadap parameter
mangrove (kerapatan pohon, basal area, tinggi pohon dan dBH), koefisien hambur
balik Band-L terhadap biomasa mangrove, dibandingkan dengan Band-C.
Penambahan data SAR (ALOS PALSAR dan SENTINEL-1) telah banyak
diterapkan di berbagai aplikasi penginderaan jauh dengan tujuan untuk
meningkatkan akurasi klasifikasi. Penambahan data SAR secara umum
meningkatkan akurasi klasifikasi. Kecuali pada penambahan data SENTINEL-1.
51
Peningkatan resolusi spasial dari 30 meter menjadi 6 dan 1.5 meter tidak
berperan sepenuhnya dalam peningkatan akurasi klasifikasi. Peningkatan tersebut
meningkatkan nilai variasi data setiap kelas. Jika suatu sampel dengan ukuran 3x3
piksel citra Landsat 5 TM maka varian yang dimilikinya lebih rendah dibanding
dengan sampel Citra SPOT 6, dengan ukuran sampel 15x15 piksel, begitu juga pada
citra SPOT 6 yang telah ditingkatkan lagi resolusi spasialnya menjadi 1.5 m. Gao
(1999) dan De Laet et al. (2009) menyatakan bahwa sensor dengan resolusi spektral
yang lebih tinggi mampu memetakan mangrove lebih detail dibandingkan sensor
yang memiliki resolusi spasial yang lebih baik. Meskipun Citra Landsat 5 TM dan
52
523.7 hektar (M8-M10) dipengaruhi oleh bedanya sensor, IIL dan fitur atribut yang
digunakan.
Tabel 18 Nilai uji Z terhadap perbandingan IIL klasifikasi berbasis objek terhadap
berbasis piksel. Nilai-nilai yang dihitamkan mengindikasikan perbedaan
signifikan
Berbasis piksel
IIL
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10
M1 1.65 8.43 -3.55 -7.75 -8.19 -9.54 -5.15 -4.09 -1.71 -1.28
M2 -0.85 -12.73 -17.46 -17.96 -19.48 -17.08 -15.81 -12.97 -12.46
M3 3.70 -0.49 -0.94 -2.29 3.43 4.50 6.87 7.30
Berbasis objek
Gambar 21 Lanjutan
Simpulan
Spektral penciri pada Citra SPOT 6 adalah band IMD sedangkan pada Citra
Landsat 5 TM adalah band IMD dan IMM. Karakteristik reflektansi mangrove
memiliki kemiripan dengan beberapa kelas penutup lahan lainnya yaitu kebun
kelapa (KA), vegetasi transisi (TI), kebun karet (KT) dan lahan terbuka (LA).
Reflektansi spektral tiga kelas komunitas mangrove tidak memiliki repson spektral
yang berbeda nyata. Kemampun pemisahan kelas melalui analisis separabilitas citra
Landsat 5 lebih baik dibandingkan kemampuan Citra SPOT 6. Citra SPOT 6 tidak
mampu memisahkan tujuh kelas pasangan penutup lahan sedangkan Citra Landsat
5 TM tidak mampu memisahkan enam kelas penutup lahan. Ketiga kelas komunitas
mangrove tidak dapat dipisahkan oleh kedua citra satelit.
Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek dari seluruh IIL yang
digunakan berkisar 51.2%-81.6% sedangkan klasifikasi berbasis piksel 29.0%-
80.2%. Algoritma RF mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan
algoritma ML. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan klasifikasi
berbasis objek dan piksel diperoleh melalui IIL M6, meskipun demikian klasifikasi
58
berbasis objek mampu memetakan kelas penutup lahan dan komunitas mangrove
lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel, dengan peningkatan akurasi
klasifikasi sebesar 1-24.5% pada klasifikasi penutup lahan dan 1.7% pada
komunitas mangrove. Teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu
mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan dan komunitas mangrove walaupun
masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan efek salt and pepper
pada kedua teknik klasifikasi.
Peningkatan resolusi spektral lebih penting dari pada peningkatan resolusi
spasial pada kasus pemetaan penutup lahan, meskipun peningkatannya tidak
signifikan pada klasifikasi berbasis objek namun sebaliknya pada klasifikasi
berbasis piksel. Penambahan data SAR sebagai IIL tidak seluruhnya meningkatkan
hasil klasifikasi, khususnya pada penambahan data C-band. Sementara pada
klasifikasi kelas komunitas mangrove peningkatan resolusi spasial meningkatkan
akurasi keseluruhan namun peningkatan tersebut tidak mempengaruhi peningkatan
akurasi PA dan UA kelas komunitas Ra.
Penggunaan klasifikasi berbasis objek merupakan teknik alternatif dalam
pemetaan penutup lahan dan komunitas mangrove, karena mampu meningkatkan
hasil klasifikasi dan secara teknis lebih efektif dan efisien untuk diterapkan
5 DETEKSI PERUBAHAN TUTUPAN MANGROVE
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT
Pendahuluan
Metode
Pengolahan Citra
Pengolahan citra diawali dari pra-pengolahan yang terdiri dari koreksi
atmosferik. Agar seluruh data memiliki karakteristik reflektansi permukaan yang
mirip dilakukan teknik histogram matching (Richards 2013). Citra Landsat 5 TM
yang diakuisisi tanggal 2 Februari 2010 dijadikan sebagai referensi reflektansi
spektral, mengingat data tersebut tidak mengalami gangguan atmosferik berupa
awan, bayangan awan dan kabut.
Transformasi Spektral Terdapat tiga objek yang mempengaruhi reflektansi
permukaan mangrove yaitu vegetasi, air dan tanah (Kuenzer et al. 2011). Masing-
61
dimana V’ adalah nilai value yang baru, Vi adalah nilai interger kelas penutup lahan
kelas ke-i, 10 adalah faktor pengali dan x seri Citra Landsat ke-x yang merupakan
bilangan bulat positif dimulai dari 0. Selanjutnya nilai V’ seri penutup lahan
dijumlah untuk memprediksi perubahan penutup lahan mangrove, melalui
persamaan:
V’tot=V’1996+V’2002+V’2010+V’2013 (16)
V’tot adalah nilai penjumlahan V’ baru kelas penutup lahan tahun seri data Landsat.
Nilai V’tot terdiri dari empat digit, berkisar antara 1111 – 5555. Empat digit angka
yang sama mengindikasikan tidak terjadinya perubahan penutup lahan, sebaliknya
jika salah satu angka dari empat digit tersebut berbeda maka mengindikasikan telah
terjadi perubahan penutup lahan di lokasi penelitian. Matrik perubahan diterapkan
pada hasil klasifikasi 1996–2002, 2002– 2010 dan 2010–2013.
62
Kesalahan omisi dan komisi diperkirakan kurang dari 10%. Beberapa hal
yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah penutup lahan yang berada di sekitar
mangrove menempati kawasan morfologi yang sama yaitu daerah pasang surut
(tidal flat) belakang mangrove. Oleh karena itu sulit untuk menghindari kemiripan
spektral saat pemilihan sampel objek dalam membangun aturan kelas yang spesifik
(Conchedda et al. 2008). Perbedaan waktu perekaman juga berkontribusi dalam
kesalahan klasifikasi, yang berpengaruh terhadap fluktuasi tinggi muka air yang
disebabkan oleh pasang surut untuk keempat data (Tabel 24)..
64
Tabel 24 Prediksi tinggi muka air (meter) berdasarkan waktu perekaman citra
satelit yang diperoleh dari stasiun Kuala Siak.
Waktu perekaman
No. Citra Satelit Prediksi pasang surut
Tanggal Jam
1 Landsat 5 TM 6/19/1996 09:35:50 2.61+
2 Landsat 7 ETM+ 7/3/2002 10:11:03 1.71+
3 Landsat 5 TM 2/2/2010 10:13:41 2.83+
4 Landsat 8 LDCM 5/17/2013 10:24:48 1.87+
Sumber: BlueChart Pacific v14 Tides untuk wilayah Singapura, Malaysia dan Indonesia. Simbol
positif (+) mengindikasikan kondisi perairan pada saat pasang.
Perubahan Mangrove
Sejak tahun 1996 hingga 2013, luas mangrove di Sungai Kembung bertambah
sebesar 1.7%, dengan rincian perubahan luas dari tahun 1996-2002 terjadi
penambahan luas mangrove sebesar 0.5%, dari tahun 2002-2010 terjadi penurunan
luas 1.4% dan dari tahun 2010 ke 2013 terjadi peningkatan sebesar 2.6% (Tabel 25)
Tabel 25 Estimasi luas penutup lahan (hektar)
Tahun Badan Air Vegetasi Lainnya Kebun Lahan Terbuka Mangrove
1996 714.3 1572.5 1566.0 191.3 3102.1
2002 717.0 1726.0 1251.1 335.5 3116.6
2010 719.7 1312.3 1586.1 453.7 3074.5
2013 732.0 1034.1 1467.7 756.4 3156.0
Simpulan
lagi bahwa skema klasifikasi yang telah dikembangkan melalui penelitian ini
disarankan untuk dievaluasi secara berkala, seiring dengan perkembangan
ekosistem mangrove di Sungai Kembung. Pada akhirnya komunitas mangrove yang
dibangun telah mewakili komunitas mangrove di Sungai Kembung.
Citra multispektral tidak cukup baik membedakan mangrove di tingkat
spesies (Ajithkumar et al. 2008), bahkan dengan citra hiperspektral pun masih
dijumpai kesulitan dalam memisahkan spesies mangrove (Vaiphasa et al. 2005;
Wang dan Sousa 2009). Namun penggunaan penamaan objek permukaan pada
hirarki yang lebih rendah lagi seperti spesies dominan (Wang et al. 2004b;
Vaiphasa et al. 2006). Karakteristik reflektansi spektral komunitas mangrove di
Sungai Kembung masih belum mampu dipisahkan oleh citra SPOT 6 dan
LANDSAT 5 TM. Kemiripan spektral yang dipengaruhi oleh banyak faktor
reflektansi spektral kanopi seperti air dan sedimen (Ajithkumar et al. 2008;
Kuenzer et al. 2011) serta ditambahkan lagi oleh (Vaiphasa et al. (2005)) berupa
pengaruh fluktuasi energi matahari, perubahan harian kondisi atmosfer, pengaruh
formasi kanopi, resolusi spasial dan spektral. Penentuan posisi sampel yang tepat
dan tepat di lapangan serta merepresentasikannya pada piksel citra yang digunakan.
Sebagai tawaran dalam penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi yang
lebih maju, melalui teknik klasifikasi berbasis objek dan algoritma klasifikasi RF
dapat membantu meningkatkan pemisahan antar kelas skema klasifikasi yang
diterapkan.
Teknik klasifikasi yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan gabungan
teknik segmentasi citra satelit (berbasis objek) dan pendekatan klasifikasi
terbimbing dengan algoritma tertentu (umumnya machine learning). Pendekatan ini
merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh aplikasi yang digunakan.
Segmentasi merupakan proses membangun objek berdasarkan IIL berdasarkan
derajat kemiripan atau ketidakmiripan. Hasil segmentasi dipengaruhi oleh beberapa
parameter yaitu: i) bobot (weight) IIL, setiap IIL dapat diberikan bobot yang
berbeda dalam membangun objek. ii) Scale, merupakan sebuah nilai ambang batas
yang mempengaruhi ukuran objek, scale dipengaruhi oleh shape, merupakan
pengaruh nilai spektral yang dimiliki oleh masing-masing IIL dan compactness,
merupakan kekompakan objek yang dihasilkan. Kombinasi keempat parameter
tersebut sangat banyak, diperlukan acuan tertentu untuk memperoleh nilai-nilai
optimum segmentasi. Penentuan nilai dilakukan dengan melakukan beberapa
percobaan (trial and error) dari kombinasi parameter (de Santiagoa et al. 2013).
Metode lain yang ditawarkan oleh Drǎguţ et al. (2010) adalah estimation of scale
parameter. Metode ini menentukan derajat kemiripan berdasarkan varian lokal
dalam suatu scene. Nilai ambang batas tingkat perubahan varian lokal menunjukkan
tingkat skala dimana IIL dapat dibangi dengan cara yang tepat, relatif terhadap sifat
data ditingkat kejadian.
Algoritma RF mampu mereduksi pengaruh salt and pepper dari hasil
klasifikasi penutup lahan mangrove dibandingkan algoritma ML. Hal tersebut
memperkuat penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015a)
dan Jhonnerie et al. (2015b). Meskipun pemetaan penutup lahan mangrove dapat
dilakukan dengan baik melalui algoritma RF namun beberapa permasalahan masih
dijumpai, seperti masih dijumpai kesalahan pengkelasan objek (misclassification)
penutup lahan mangrove oleh algoritma RF. Tiga kelas penutup lahan lainnya yang
selalu hadir pada validasi kelas mangrove adalah transisi, badan air dan lahan
70
Ketidakpastian Penelitian
a b
c
Gambar 24 Kurva reflektansi spektral permukaan dari beberapa objek (a. badan air,
b. lahan terbuka dan c. vegetasi) dari empat percobaan model aerosol.
Lingkaran merah mengindikasikan anomali koreksi atmosferik
Penelitian ini menyatakan bahwa teknik klasifikasi berbasis objek lebih baik
dibandingkan dengan teknik klasifikasi berbasis piksel. Meskipun demikian
ketidakpastian hadir pada saat segmentasi data kontinu menjadi data diskrit.
Dijumpai objek-objek yang over-segmented dan tidak tepatnya batasan objek yang
dihasilkan. Kim et al. (2008) menyatakan belum tersedia metode objektif dalam
menentukan skala segmentasi, umumnya menggunakan metode uji coba. Padahal
ukuran obyek merupakan salah satu permasalahan penting dan kritis dalam
penentuan kualitas segmentasi, khususnya akurasi klasifikasi (Meinel dan Neubert
2004). Perolehan segmen optimum telah dalam penelitian ini telah menerapakan
metode yang disarankan. Optimasi dilakukan terhadap parameter segmentasi
(scale, shape dan compactness) berdasarkan nilai akurasi yang diperoleh.
Penggunaan algoritma MRS dan SDA dalam proses segmentasi dapat dengan
mudah divalidasi secara visual, khususnya objek-objek yang dapat diinterpretasikan
secara visual, seperti segmentasi penutup lahan. Kasus over-segmented dan under-
segmented dapat diminimalisir melalui metode uji coba. Namun pada kasus lain
komunitas mangrove, batas objek tidak dapat diinterpretasi secara visual, maka
penggunaan algoritma segmentasi MRS dan SDA dapat menghadirkan
ketidakpastian. Objek yang dihasilkan hanya mengandalkan parameter kemiripan
spektral IIL dan kekompakan serta ukuran bergantung pada scale yang digunakan.
Mereduksi ketidakpastian tersebut, dalam penelitian ini merekomendasikan
penggunaan algoritma segmentasi chessboard. Algoritma ini membangun objek
dalam bentuk kotak bujur sangkar, ukuran (scale) kotak mengacu pada distribusi
titik-titik posisi pengukuran plot transek di lapangan. Cara yang sama juga
diterapkan oleh Kamal dan Phinn (2011) untuk memetakan spesies mangrove
menggunakan citra hiperspektral.
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abu El-Regal MA, Ibrahim NK. 2014. Role of mangroves as a nursery ground for
juvenile reef fishes in the southern Egyptian Red Sea. Egypt J Aqua Res,
40(1): 71-78.
Ahmad S. 2009. Recreational values of mangrove forest in Larut Matang, Perak. J
Trop Forest Sci. 21(2): 81-87.
Ahmed R, Siqueira P, Hensley S, Bergen K. 2013. Uncertainty of forest biomass
estimates in North temperate forests due to allometry: Implications for remote
sensing. Remote Sens. 5(6): 3007-3036.
Aiazzi B, Baronti S, Selva M, Alparone L, 2006. Enhanced gram-schmidt spectral
sharpening based on multivariate regression of MS and pan data. IEEE
International Geoscience and Remote Sensing Symposium; 2006: Denver,
Amerika Serikat (US). IGARSS. hlm 3806-3809.
Ajithkumar TT, Thangaradjou T, Kannan L. 2008. Spectral reflectance properties
of mangrove species of the Muthupettai mangrove environment, Tamil Nadu.
J Environ Biol. 29(5): 785-788.
Al Habshi A, Youssef T, Aizpuru M, Blasco F. 2007. New mangrove ecosystem
data along the UAE coast using remote sensing. Aquat Ecosyst Health
Manag. 10(3): 309-319.
Alatorre LC, Sánchez-Andrés R, Cirujano S, Beguería S, Sánchez-Carrillo S. 2011.
Identification of mangrove areas by remote sensing: The ROC curve
technique applied to the northwestern Mexico coastal zone using Landsat
imagery. Remote Sens. 3(8): 1568-1583.
Alesheikh AA, Sadeghi Naeeni Fard F. 2007. Design and implementation of a
knowledge-based system to improve maximum likelihood classification
accuracy. Can J Remote Sens. 33(6): 459-467.
Ali SS, Dare PM, Jones SD. 2009. A comparison of pixel- and object-level data
fusion using lidar and high-resolution imagery for enhanced classification
innovations in remote sensing and photogrammetry. Di dalam': Jones S,
Reinke K, editor. Innovations in remote sensing and photogrammetry.
Lecture notes in geoinformation and cartography. Berlin (DE): Springer p. 3-
17.
Alsaaideh B, Al-Hanbali A, Tateishi R, Kobayashi T, Hoan N. 2013. Mangrove
Forests Mapping in the Southern Part of Japan Using Landsat ETM+ with
DEM. JGIS. 5: 369-377.
Asner GP. 1998. Biophysical and biochemical sources of variability in canopy
reflectance. Remote Sens Environ. 64(3): 234-253.
Atkinson PM, Foody GM. 2006. Uncertainty in remote sensing and GIS.
Fundamentals. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in remote
sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. P. 1-18.
Auster PJ, Heinonen KB, Witharana C, McKee M. 2009. A Habitat Classification
Scheme for The Long Island Sound Region. Groton: National Undersea
Research Center & Department of Marine Sciences.
Baker BA, Warner TA, Conley JF, McNeil BE. 2012. Does spatial resolution
matter? A multi-scale comparison of object-based and pixel-based methods
75
for detecting change associated with gas well drilling operations. Int J Remot
Sens. 34(5): 1633-1651.
Bandeira SO, Macamo CCF, Kairo JG, Amade F, Jiddawi N, Paula J. 2009.
Evaluation of mangrove structure and condition in two trans-boundary areas
in the Western Indian Ocean. Aquat Conserv Mar Freshw Ecosys. 19(S1):
S46-S55.
Benfield SL, Guzman HM, Mair JM. 2005. Temporal mangrove dynamics in
relation to coastal development in Pacific Panama. J Environ Manag. 76(3):
263-276.
Blaschke T. 2010. Object based image analysis for remote sensing. ISPRS J
Photogramm Remote Sens. 65(1): 2-16.
Breiman L. 1996. Bagging predictors. Mach Learn. 24(2): 123-140.
Breiman L. 2001. Random forests. Mach Learn. 45(1): 123-140.
[BSN] Badan Standar Nasional 2010. Klasifikasi penutup lahan. Jakarta (ID),
Badan Standar Nasional: 32 hlm.
Burnett C, Blaschke T. 2003. A multi-scale segmentation/object relationship
modelling methodology for landscape analysis. Ecol Model. 168(3): 233-249.
Cannicci S, Burrows D, Fratini S, Smith Iii TJ, Offenberg J, Dahdouh-Guebas F.
2008. Faunal impact on vegetation structure and ecosystem function in
mangrove forests: A review. Aquat Bot. 89(2): 186-200.
Cardoso GF, Souza Jr C, Souza-Filho PWM. 2014. Using spectral analysis of
Landsat-5 TM images to map coastal wetlands in the Amazon River mouth,
Brazil. Wetl Ecol Manag. 22(1): 79-92.
Carney J, Gillespie TW, Rosomoff R. 2014. Assessing forest change in a priority
West African mangrove ecosystem: 1986-2010. Geoforum. 53: 126-135.
Carrasquilla-Henao M, González Ocampo HA, Luna González A, Rodríguez
Quiroz G. 2013. Mangrove forest and artisanal fishery in the southern part of
the Gulf of California, Mexico. Ocean Coast Manage. 83(0): 75-80.
Chadwick J. 2011. Integrated LiDAR and IKONOS multispectral imagery for
mapping mangrove distribution and physical properties. Int J Remot Sens.
32(21): 6765-6781.
Chakravortty S, Choudhury AS, 2012. Application of unsupervised end member
detection algorithms for spectral unmixing of hyperspectral data for
mangrove species discrimination. Di dalam: editor. International Conference
on Communications, Devices and Intelligent Systems, 2012 28-29 Des 2012;
Kolkata (IN). p 81-84.
Cingolani AM, Renison D, Zak MR, Cabido MR. 2004. Mapping vegetation in a
heterogeneous mountain rangeland using landsat data: An alternative method
to define and classify land-cover units. Remote Sens Environ. 92(1): 84-97.
Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes in community
structure. Aust J Ecol. 18(1): 117-143.
Clifton DS. 2005. Classification and regression tree, bagging and boosting.
Handbook of Statistics. Di dalam: Rao CR, Wegman EJ, Solka JL, editor.
Handbook of statistic 24. Data Mining and Data Visualization. Amsterdam
(NL): Elsevier B.V. 618 p.
Conchedda G, Durieux L, Mayaux P. 2008. An object-based method for mapping
and change analysis in mangrove ecosystems. ISPRS J Photogramm Remote
Sens. 63(5): 578-589.
76
Congalton RG, Green K. 2009. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data:
Principles and Practices. Boca Raton (US): CRC Press.
Coppin P, Jonckheere I, Nackaerts K, Muys B, Lambin E. 2004. Digital change
detection methods in ecosystem monitoring: A review. Int J Remot Sens.
25(9): 1565-1596.
Dahdouh-Guebas F, Koedam N. 2006. Emperical estimate of the relibility of the
use of the Point-Centre Qurter Method (PCQM). Solution to ambigous field
situation and description of the PCQM+ protocol. For Ecol Manage. 228: 1-
18.
Danoedoro P. 2012. Pengantar penginderaan jauh digital. Yogyakarta [ID]: Andi
Press.
Datta D, Chattopadhyay RN, Guha P. 2012b. Community based mangrove
management: A review on status and sustainability. J Environ Manag. 107:
84-95.
De Laet V, Paulissen E, Meuleman K, Waelkens M. 2009. Effects of image
characteristics on the identification and extraction of archaeological features
from Ikonos-2 and Quickbird-2 imagery: case study Sagalassos (southwest
Turkey). Int J Remot Sens. 30(21): 5655-5668.
de Santiagoa F, Kovacs JM, Lafrance P. 2013. An object-oriented classification
method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using multipolarized
ALOS PALSAR L-band data. Int J Remot Sens. 34(2): 563-586.
Díaz BM, Blackburn GA. 2003. Remote sensing of mangrove biophysical
properties: Evidence from a laboratory simulation of the possible effects of
background variation on spectral vegetation indices. Int J Remot Sens. 24(1):
53-73.
Donato DC, Kauffman JB, Murdiyarso D, Kurnianto S, Stidham M, Kanninen M.
2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature
Geosci. 4(5): 293-297.
Drǎguţ L, Tiede D, Levick SR. 2010. ESP: a tool to estimate scale parameter for
multiresolution image segmentation of remotely sensed data. Int J Geogr Inf
Syst. 24(6): 859-871.
Dungan JL. 2006. Toward a Comprehensive View of Uncertainty in Remote
Sensing Analysis. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in
remote sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. p 25-35.
Duro DC, Franklin SE, Dubé MG. 2012. A comparison of pixel-based and object-
based image analysis with selected machine learning algorithms for the
classification of agricultural landscapes using SPOT-5 HRG imagery. Remote
Sens Environ. 118: 259-272.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science.
Faith DP, Minchin PR, Belbin L. 1987. Compositional dissimilarity as a robust
measure of ecological distance. Vegetation. 69: 57-68.
[FAO] Food and Agriculture Organization 2007. The World's Mangrove 1980 -
2005. Rome (ITA), FAO.
Fatoyinbo TE, Simard M, Washington-Allen RA, Shugart HH. 2008. Landscape-
scale extent, height, biomass, and carbon estimation of Mozambique's
mangrove, forests with Landsat ETM+ and Shuttle Radar Topography
Mission elevation data. J Geophys Res Biogeosci. 113(2).
77
Felde GW, Anderson GP, Cooley TW, Matthew MW, Adler-Golden SM, Berk A,
Lee J, 2003. Analysis of Hyperion Data with the FLAASH Atmospheric
Correction Algorithm. In: editor. 2003 21-25 Juli 2003. IEEE IGARSS:
Learning From Earth's Shapes and Colours; Toulouse (US). p 90-92.
Ferreira MA, Andrade F, Bandeira SO, Cardoso P, Mendes RN, Paula J. 2009.
Analysis of cover change (1995-2005) of Tanzania/Mozambique trans-
boundary mangroves using Landsat imagery. Aquat Conserv Mar Freshw
Ecosys. 19(SPEC. ISS.): S38-S45.
Flores De Santiago F, Kovacs JM, Lafrance P. 2012. An object-oriented
classification method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using
multipolarized ALOS PALSAR L-band data. Int J Remote Sens. 34(2): 563-
586.
Gao J. 1999. A comparative study on spatial and spectral resolutions of satellite
data in mapping mangrove forests. Int. J. Remot. Sens. 20(14): 2823-2833.
Gao J. 2010. Digital analysis of remotely sensed imagery. New York (USA):
McGraw-Hill Professional.
Ghimire B, Rogan J, Miller J. 2010. Contextual land-cover classification:
Incorporating spatial dependence in land-cover classification models using
random forests and the Getis statistic. Remote Sens Lett. 1(1): 45-54.
Ghosh A, Sharma R, Joshi PK. 2014. Random forest classification of urban
landscape using Landsat archive and ancillary data: Combining seasonal
maps with decision level fusion. Appl Geog. 48(0): 31-41.
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove guidebook for
southeat asia. Bangkok (TH): FAO dan Wetlands International.
Gilman EL, Ellison J, Jungblut V, Van Lavieren H, Wilson L, Areki F, Brighouse
G, Bungitak J, Dus E, Henry M, et al. 2006. Adapting to Pacific Island
mangrove responses to sea level rise and climate change. Clim Res. 32(3):
161-176.
Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N.
2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Glob Ecol Biogeogr. 20(1): 154-159.
Godinho S, Gil A, Guiomar N, Neves N, Pinto-Correia T. 2014. A remote sensing-
based approach to estimating montado canopy density using the FCD model:
a contribution to identifying HNV farmlands in southern Portugal. Agrofor
Syst.1-12.
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook for
tropical coastal management. Paris (FR): UNESCO.
Grodecki J, 2001. IKONOS stereo feature extraction-RPC approach. In: editor.
ASPRS annual conference, 2001. St. Louis (US). p
Grodecki J, Dial G. 2003. Block adjustment of high-resolution satellite images
described by Rational Polynomials. Photogramm Eng Remote Sens. 69(1):
59-68.
Harter HL. 1960. Critical Values for Duncan's New Multiple Range Test.
Biometrics. 16(4): 671-685.
Hartini S, Saputro GB, Yulianto M, Suprajaka, 2010. Assessing the used of
remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. Di dalam: Fujia H,
Sasaki J, editor.6th WSEAS international conference on remote sensing, 2010
4-6 Oktober 2010; Iwate (JP). p 210-215.
78
Moghaddam M, Dungan JL, Acker S. 2002. Forest variable estimation from fusion
of SAR and multispectral optical data. IEEE Trans Geosci Remote Sens.
40(10): 2176-2187.
Mumby PJ, Harborne AR. 1999. Development of a systematic classification scheme
of marine habitats to facilitate regional management and mapping of
Caribbean coral reefs. Biol Conserv. 88(2): 155-163.
Myint SW, Giri CP, Wang L, Zhu Z, Gillette SC. 2008. Identifying Mangrove
Species and Their Surrounding Land Use and Land Cover Classes Using an
Object-Oriented Approach with a Lacunarity Spatial Measure. GISci Remote
Sens. 45(2): 188-208.
Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG,
Meynecke JO, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, et al. 2008. The habitat
function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A review. Aquat Bot.
89(2): 155-185.
Nandy S, Kushwaha SPS. 2011. Study on the utility of IRS 1D LISS-III data and
the classification techniques for mapping of Sunderban mangroves. J Coastal
Conserv. 15(1): 123-137.
Nascimento Jr WR, Souza-Filho PWM, Proisy C, Lucas RM, Rosenqvist A. 2013.
Mapping changes in the largest continuous Amazonian mangrove belt using
object-based classification of multisensor satellite imagery. Estuar Coast
Shelf Sci. 117(0): 83-93.
Nayak S, Bahuguna A. 2001. Application of remote sensing data to monitor
mangroves and other coastal vegetation of India. Indian J Mar Sci. 30(4):
195-213.
Neukermans G, Dahdouh-Guebas F, Kairo JG, Koedam N. 2008. Mangrove species
and stand mapping in Gazi Bay (Kenya) using QuickBird satellite imagery. J
Spat Sci. 53(1): 75-86.
Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. Bogor (ID): PHKA/WI-IP.
Nursal, Yuslim F, Ismiati. 2005. Struktur dan komposisi vegetasi mangrove
Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. J Biogen. 2(1): 1-7.
Opa ET. 2010. Analisis perubahan luas lahan mangrove di kabupaten Pohuwato
propinsi Gorontalo dengan menggunakan citra Landsat. JPKT. 6(2): 79-82.
Ostling JL, Butler DR, Dixon RW. 2009. The biogeomorphology of mangroves and
their role in natural hazards mitigation. Geogr Comp. 3(5): 1607-1624.
Pellegrini JAC, Soares MLG, Chaves FO, Estrada GCD, Cavalcanti VF. 2009. A
method for the classification of mangrove forests and sensitivity/vulnerability
analysis. J Coast Res. (SPEC. ISSUE 56): 443-447.
Phinn SR, Menges C, Hill GJE, Stanford M. 2000. Optimizing remotely sensed
solutions for monitoring, modeling, and managing coastal environments.
Remote Sens Environ. 73(2): 117-132.
Phinn SR, Roelfsema CM, Mumby PJ. 2012. Multi-scale, object-based image
analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs. Int J
Remot Sens. 33(12): 3768-3797.
Polidoro BA, Carpenter KE, Collins L, Duke NC, Ellison AM, Ellison JC,
Farnsworth EJ, Fernando ES, Kathiresan K, Koedam NE, et al. 2010. The
loss of species: Mangrove extinction risk and geographic areas of global
concern. PLoS ONE. 5(4).
82
Rouse JJW, Haas RH, Shell JA, Deering DW. 1974. Monitoring Vegetation
Systems in the Great Plains with ERTS. Third Earth Resources Technology
Satellite-1 Symposium. p. 48-62
Roy DP, Wulder MA, Loveland TR, C.E W, Allen RG, Anderson MC, Helder D,
Irons JR, Johnson DM, Kennedy R, et al. 2014. Landsat-8: Science and
product vision for terrestrial global change research. Remote Sens Environ.
145: 154-172.
Saenger P. 2002. Mangrove ecology, silviculture and conservation. Lismore (AU):
Kluwer Academic.
Santos LCM, Matos HR, Schaeffer-Novelli Y, Cunha-Lignon M, Bitencourt MD,
Koedam N, Dahdouh-Guebas F. 2014. Anthropogenic activities on mangrove
areas (São Francisco River Estuary, Brazil Northeast): A GIS-based analysis
of CBERS and SPOT images to aid in local management. Ocean Coast
Manage. 89(0): 39-50.
Sarkar SK, Bhattacharya AK. 2003. Conservation of biodiversity of the coastal
resources of Sundarbans, Northeast India: an integrated approach through
environmental education. Mar Poll Bul. 47(1–6): 260-264.
Schiewe J, 2002. Segmentation of high resolution remotely sensed data concept,
applications and problems. In: Costas Armenakis YCL, editor. Geospatial
Theory, Processing and Applications; July 9-12, 2002; Ottawa (US): ISPRS.
Shimada M, Isoguchi O, Tadono T, Isono K. 2009. PALSAR Radiometric and
Geometric Calibration. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 47(12): 3915-3932.
Sisodia PS, Tiwari V, Kumar A, 2014. Analysis of Supervised Maximum
Likelihood Classification for remote sensing image. In: editor. International
Conference on Recent Advances and Innovations in Engineering, ICRAIE
2014 9-11 Mei 2014. Jaipur(IN): p 1-4.
Son NT, Chen CF, Chang NB, Chen CR, Chang LY, Thanh BX. 2015. Mangrove
mapping and change detection in ca mau peninsula, vietnam, using landsat
data and object-based image analysis. IEEE J Appl Earth Observ Remote
Sens. 8(2): 503-510.
Suratman MN. 2014. Remote sensing technology. Rencen advancements for
mangrove ecosystems. New York (US): Springer.
Szantoi Z, Escobedo F, Abd-Elrahman A, Smith S, Pearlstine L. 2013. Analyzing
fine-scale wetland composition using high resolution imagery and texture
features. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 23(0): 204-212.
Takeuchi S, Ohuro Y. 2003. A comprative study of coherence patterns in C-band
and L-band interferometric SAR from tropical rain forest areas. Advance
Space Res. 32(11): 2305-2310.
Tang H, Li Z-L. 2010. Quantitative remote sensing in thermal infrared. Theory and
applications. Heidelberg: Springer.
Taşdemir K, Milenov P, Tapsall B. 2012. A hybrid method combining SOM-based
clustering and object-based analysis for identifying land in good agricultural
condition. Comput Electron Agr. 83: 92-101.
Thampanya U, Vermaat JE, Sinsakul S, Panapitukkul N. 2006. Coastal erosion and
mangrove progradation of Southern Thailand. Estuar Coast Shelf Sci. 68(1):
75-85.
Thu PM, Populus J. 2007. Status and changes of mangrove forest in Mekong Delta:
Case study in Tra Vinh, Vietnam. Estuarine. Coast Shelf Sci. 71(1-2): 98-109.
84
Tomlinson PB. 1986. The botany of mangrove. New York (US): Cambridge
University Press.
Tso B, Mather PM. 2009. Classification methods for remotely sensed data. Second
edition. New York (USA): CRC Press.
Urrego LE, Molina EC, Suárez JA. 2014. Environmental and anthropogenic
influences on the distribution, structure, and floristic composition of
mangrove forests of the Gulf of Urabá (Colombian Caribbean). Aquat Bot
114(0): 42-49.
Vaiphasa C, Ongsomwang S, Vaiphasa T, Skidmore AK. 2005. Tropical mangrove
species discrimination using hyperspectral data: A laboratory study. Estuar
Coast Shelf Sci. 65(1–2): 371-379.
Vaiphasa C, Skidmore AK, de Boer WF. 2006. A post-classifier for mangrove
mapping using ecological data. ISPRS J. Photogramm. Remote Sens. 61(1):
1-10.
Van Beijma S, Comber A, Lamb A. 2014. Random forest classification of salt
marsh vegetation habitats using quad-polarimetric airborne SAR, elevation
and optical RS data. Remote Sens Environ. 149: 118-129.
Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013a. Remote Sensing in Mapping
Mangrove Ecosystems - An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183-
201.
Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013b. Remote Sensing in Mapping
Mangrove Ecosystems. An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183-
201.
Walters BB. 2005. Ecological effects of small-scale cutting of Philippine mangrove
forests. For Ecol Manag. 206(1-3): 331-348.
Wang L, Silván-Cárdenas JL, Sousa WP. 2008. Neural network classification of
mangrove species from multi-seasonal Ikonos imagery. Photogramm. Eng.
Remote Sens. 74(7): 921-927.
Wang L, Sousa WP. 2009. Distinguishing mangrove species with laboratory
measurements of hyperspectral leaf reflectance. Int J Remot Sens. 30(5):
1267-1281.
Wang L, Sousa WP, Gong P. 2004a. Integration of object-based and pixel-based
classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. Int J Remot
Sens. 25(24): 5655-5668.
Wang L, Sousa WP, Gong P, Biging GS. 2004b. Comparison of IKONOS and
QuickBird images for mapping mangrove species on the Caribbean coast of
Panama. Remote Sens Environ. 91(3-4): 432-440.
Whiteside T, Ahmad T, 2005. A comparison of object-oriented and pixel-based
classification methods for mapping land cover in northern Australia. In:
editor. Spatial intelligence, innovation and praxis: The national biennial
Conference of the Spatial Sciences Institute; Melbourne (AU). p 1225-1231.
Whiteside TG, Boggs GS, Maier SW. 2011. Comparing object-based and pixel-
based classifications for mapping savannas. Int J Appl Earth Obs Geoinf.
13(6): 884-893.
Witharana C, Civco DL. 2014. Optimizing multi-resolution segmentation scale
using empirical methods: Exploring the sensitivity of the supervised
discrepancy measure Euclidean distance 2 (ED2). ISPRS J Photogramm
Remote Sens. 87(0): 108-121.
85