Anda di halaman 1dari 102

Koordinator

Prof. Drs. Pramudji, M.Sc.


Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga ilmu pengetahuan indonesia
Jakarta , 2017
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya dokumen
laporan “Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Kawasan
Kesisir Kendari”, Tahun Anggaran 2017 yang merupakan pelaksanaan kegiatan yang telah
dicanangkan dalam program COREMAP-CTI ini dapat diselesaikan. Laporan kegiatan
monitoring ini merupakan hasil penilaian yang dilakukan terhadap ekosistem pesisir, yang
meliputi terumbu karang, seagrass (padang lamun), dan hutan mangrove, serta biota yang
hidup bersasosiasi didalamnya, antara lain ikan karang dan makrobenthos.

Kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait yang telah dicanangkan
pada program COREMAP-CTI dilakukan pada tujuh lokasi Kawasan Konservasi Perairan
Daerah (KKPD), dan tujuh lokasi Kawasan Konservasi Nasional (KKPN), serta tiga lokasi
untuk kegiatan kontrol. Berkenaan dengan tiga lokasi kontrol yang ada di Kawasan Timur
Indonesia (KTI), maka kawasan perairan pesisir di daerah Kendari adalah ditetapkan sebagai
salah satu lokasi kontrol yang dipilih COREMAP-CTI untuk kegiatan dimaksud. Lokasi
kontrol program COREMAP-CTI merupakan lokasi di kawasan perairan pesisir yang tidak
ada intervensi oleh program pengelolaan dan konservasi yang dilakukan COREMAP. Selain
itu, kriteria dan syarat suatu kawasan untuk dipilih menjadi kawasan kontrol oleh program
COREMAP-CTI adalah suatu kawasan yang terbuka dengan berbagai bentuk pemanfaatan,
serta memiliki akses yang terjangkau dan memiliki variasi jenis karang yang tinggi.

Dokumen laporan ini memuat tentang kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang dan
ekosistem bidang terumbu karang, padang lamun dan mangrove, serta biota yang hidup
berasosiasi dengan ekosistem tersebut, antara lain ikan dan megabenthos. Berbeda dengan
tahun sebelumnya, maka kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem
terkait pada tahun 2016, juga menambahkan beberapa aspek yang dilihat, antara lain adalah
makroalgae di kawasan seagrass dan ekosistem mangrove, serta bioprospekting pada bunga,
buah, dan biji dari beberapa jenis tumbuhan mangrove (Rhizophora lamarckii, Sonneratia
alba, dan Bruguiera gymnorrhiza).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka pada kesempatan kami selaku koordinator
kegiatan COREMAP-CTI mengucapkan terima kasih banyak terimakasih, dan memberikan
apresiasi yang setinggi tingginya kepada seluruh peneliti dan teknisi yang telah berkontribusi
dalam kegiatan ini. Semoga dokumen laporan Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan
Ekosistem Terkait di Kawasan Kesisir Kendari, Tahun Anggaran 2017 ini dapat bermanfaat
dan memberikan informasi dan gambaran tentang kondisi kesehatan terumbu karang dan
ekosistem di kawasan perairan pesisir Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara.

Jakarta, 28 November 2017


Koordinator

Prof. Drs. Pramudji, M.Sc.

i
.D A F T A R I S I
Halaman
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

RINGKASAN EKSEKUTIF iii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II METODE MONITORING 4

2.1. Pemetaan ekosistem 4

2.2.Terumbu karang 6

2.3. Padang lamun 9

2.4. Mangrove 11

2.5. Ikan karang 14

2.6. Megabenthos 17

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 19

3.1. Pemetaan ekosistem 19

3.2. Terumbu karang 31

3.3. Padang lamun 46

3.4. Mangrove 54

3.5. Ikan karang 61

3.6. Megabenthos 69

BAB IV KESIMPULAN 89

DAFTAR PUSTAKA 91

ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kawasan pesisir Kendari secara umum memiliki ekosistem yang lengkap, yakni terumbu
karang, padang lamun dan ekosistem hutan mangrove. Kondisi ekosistem pesisir di kawasan
tersebut secara umum masih relatif baik, namun dibeberapa tempat masih ada masyarakat
yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom. Kondisi yang demikian harus
menjadi perhatian yang serius pemerintah setempat. Berkenaan dengan kondisi ekosistem di
kawasan pesisir Teluk Kendari, sejak beberapa tahun yang lalu telah terjadi degradasi yang
sangat drastis. Penurunan area hutan mangrove tersebut sangat terkait erat dengan “alih-
fungsi” hutan mangrove menjadi berbagai bangunan, antara lain adalah pembangunan
pelabuhan skala internasional, pergudangan, perkantoran, pembangunan masjid, perumahan,
bengkel, usaha restoran, SPBU, dan industri.

Secara umum, terumbu karang di Kendari terdistribusi di sepanjang pesisir daratan utama dan
pulau kecil-kecil dengan tipe terumbu tepi (fringing reef), serta pada gosong karang (patch
reef). Kondisi perairan yang jernih membuat karang masih dijumpai sampai kedalaman
kurang lebih 25 meter, setelah itu substrat pasir. Karang di daerah fore reefs umumnya
bertipe massive, kemudian tipe campuran antara massive dan bercabang di reef slopes dan
kemudian karang foliose di daerah dalam. Karang-karang yang umum ditemukan adalah dari
family Acroporidae, Poritidae, Faviidae, Oculinidae, Euphyillidae dan Pectinidae. Karang
umumnya tumbuh sehat namun masih ditemukan fenomena bleaching dengan persentase
yang rendah. Selain itu, adanya predator Acanthaster planci juga berpengaruh terhadap
kesehatan karang dimana banyak ditemukan partial mortality dari karang Acropora. Kondisi
terumbu karang secara umum dalam kategori “cukup baik” selama tiga tahun terakhir.
Dalam hal ini persentase tutupan karang dari tahun 2015, 2016 dan 2017 yaitu berkisar
42.1%, 40% dan 36.3%. Meskipun dalam kategori “cukup baik”, persentase tutupan karang
selalu menurun setiap tahun. Hal ini diduga akibat menurunnya kondisi lingkungan yaitu
kecerahan dimana jarak pandang horizontal kurang dari 10 meter. Adanya sero dan keramba
disekitar lokasi juga diduga menyumbang nutrient-nutrient organik yang menyebabkan
suburnya alga sehingga persentase dari DCA naik setiap tahun dari 2015, 2016 dan 2017
yaitu sebesar 40.4%, 47.1% dan 50.4%. Stasiun KDRC09 berada paling dekat dengan
daratan utama dan berada persis di depan mulut teluk Kendari, sehingga aliran sungai yang
bermuara ke dalam teluk kaya nutrien dan sedimen akan lebih terdampak terhadap terumbu di
stasiun ini. Jarak yang lebih dekat dengan kota Kendari dan pemukiman nelayan di
sepanjang pesisir daratan utama menyebabkan akses ke lokasi ini tinggi sehingga
memberikan tekanan terhadap terumbu karangnya.

Persentase tutupan (% cover) padang lamun di perairan Kendari pada tahun 2017 adalah
sebesar 26,45 ± 10,17%, yang berarti bahwa kategori persentase tutupan padang lamun
dikawasan pesisir Kendari adalah cukup padat (26 - 50%), namun demikian kondisi
tutupannya adalah miskin (< 29,9%). Persentase tutupan padang lamun pada tahun 2017
terjadi penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2015 (35, 88 ± 13,62%), dan tahun 2016
(30,38 ± 12,29%). Penurunan ini kemungkinan disebabkan karena pada saat pengambilan
data, kondisi baru pasang dengan ketinggian air sekitar 2 meter, sehingga menyebabkan
kesulitan dalam pengambilan data presentase tutupan, serta tingkat akurasi data pada saat
pamantauan. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2015 dan 2016, dimana pada saat
pengambilan data tutupan pada surut terendah, sehingga padang lamun yang dipantau dengan
baik dan akurat.

iii
Luasan hutan mangrove di sepanjang pesisir Kendari diperkirakan sekitar 14,511 km 2, dan
termasuk dalam kondisi baik, kecuali hutan mangrove di kawasan Teluk Kendari. Secara
umum, hasil analisis persentase tutupan tajuk komunitas mangrove (% cover) dari plot
permanen yang telah ditentukan sejak tahun 2015 terlihat mengalami peningkatan, walaupun
nilainya untuk masing-masing stasiun sangat bervariasi, kecuali pada Stasiun KDRM03a di
Desa Tanjung Tiram, dan Stasiun KDRM05 di Desa Tapulaga. Kriteria kesehatan komunitas
mangrove terhadap variasi dinamika kenaikan dan penurunan besaran nilai persentase tutupan
tajuk komunitas mangrove yang terjadi di seluruh stasiun permanen di kawasan pesisir
Kendari, adalah masih termasuk dalam “kriteria baik”. Berdasarkan perhitungan yang
dilakukan, dari besaran nilai persentase tutupan tajuk mangrove yang ada, peningkatan nilai
tutupan tajuk yang paling tinggi adalah pada Stasiun KDRM02 di Desa Lolowaru, yakni
sebesar 64.383 % ± 8.666 % pada tahun 2015, naik menjadi 72,50 % ± 8,39 % pada tahun
2016, dan naik mejadi 81,27 % ± 3,01% pada tahun 2017. Sedangkan nilai persentasi
tutupan tajuk yang mengalami penurunan adalah di Stasiun KDRM03a di Desa Tanjung
Tiram pada tahun 2016 adalah sebesar 83,13 % ± 1,50 % kemudian pada tahun 2017 turun
menjadi 81,70 % ± 2,57 % . Nilai persentase tutupan tajuk yang turun juga terlihat pada
Stasiun KDRM05 di Desa Tapulogo, yakni dari 76,59 % ± 3,31 % pada tahun 2016,
kemudian pada tahun 2017 turun menjadi 75,52 % ± 3,42 %. Perubahan turun dan naiknya
persentase tutupan tajuk (% cover) komunitas mangrove tersebut di atas adalah diengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain musim, dan dinamika daun (kuncup daun dan gugur daun).
Selain itu, besaran nilai persentase tutupan tajuk komunitas mangrove juga dipengaruhi oleh
faktor pososi pada saat pengambilan foto yang disebabkan kondisi pasang-surut serta
perakaran hutan mangrove dari jenis Sonneratia sp., Bruguiera sp., dan Rhizophora sp.,
sehingga terjadi perubahan posisi dalam pengambilan foto. Perubahan posisi dalam
pengambilan foto, dampaknya akan mempengaruhi hasil foto, yang selanjutnya akan terjadi
perubahan nilai persentase tutupan tajuk.

Selama monitoring dilakukan pada tahun 2017 telah dijumpai sebanyak 170 individu yang
terdiri dari 15 jenis ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), dengan mewakili 6 marga (genus) di
perairan Kendari. Jenis-jenis ikan pepe-kepe yang dijumpai adalah; Chaetodon octofasciatus,
C. kleinii, C. melannotus, C. vagabundus, C. lineolatus, C. ulietensis, C. lunula, C.
lunulatus, Chelmon rostratus, Forcipiger longirostris, Heniochus varius, H. chrysostomus,
H. accuminatus, H. singularius, H. varius dan Parachaetodon ocellatus. Jenis yang paling
dominan diantara semua pepe-kepe tersebut adalah jenis Chaetodon octofasciatus. Pada
urutan kedua ditempati oleh C. kleinii dan C. rostratus. Sebaran populasi yang terbanyak
terdapat pada lokasi Pulau Lara, Stasiun 5, dan terendah diperoleh di Pesisir Dusun Bahoe.
Jumlah jenis terbanyak diperoleh di Pulau Lara dan jumlah populasi terendah terdapat pada
lokasi Pulau Bokori Stasiun 8 dan Desa Bahoe Stasiun 1. Dari hasil perhitungan biomas ikan
target selama penelitian ternyata biomass tertinggi dijumpai di Lokasi 2. Hal ini disebabkan
dijumpainya ikan kuwe dari jenis Carangoides ferdau dalam jumlah banyak dengan ukuran
yang bervariasi. Lokasi Stasiun 6 di daerah Tanjung Tiram adalah tempat pengamatan dengan
jumlah biomass terendah, hal ini diduga bahwa sebagian besar ikan-ikan yang dijumpai
masih belum mencapai ukuran maksimal. Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan
biomas tahun 2016, maka hasil monitoring 2017 menunjukkan adanya tren penaikkan
perubahan meningkatnya biomas pada hampir semua lokasi pengamatan. Sebagai dugaan
sementara, kondisi ini disebabkan perubahan kondisi habitat yang mulai cendrung megalami
pemulihan setelah terjadinya bencana ”pemutihan karang” di tahun 2015. Selain itu juga
diduga bahwa ikan-ikan yang sebelumnya masih sebagai ikan muda (juvenile), saat ini telah
menjadi dewasa dan belum menjadi korban penangkapan dari peralatan jaring, bubu, bom
dan sebagainya.

iv
Jika dilihat dari jumlah individu tiap spesies atau kelompok spesies megabenthos yang
didapatkan di seluruh stasiun pengamatan, terlihat bahwa terdapat satu kelompok spesies
megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah yang mendominasi, yaitu siput pemakan
polip karang Drupella spp. Dari seluruh megabenthos target yang ditemukan, Drupella spp.
pada tahun 2017 ditemukan sebanyak 59,13%, yakni sekitar 191 individu. Jumlah ini
dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami penurunan jumlah, yaitu 218 individu di
tahun 2016, namun relatif sama dengan yang ditemukan pada tahun 2015, yakni 198 individu
Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah sedang
antara lain bulu babi, keong trokha dan bintang laut biru Linckia laevigata. Dari total
megabenthos target yang ditemukan, bulu babi dan keong trokha masing-masing ditemukan
sebesar 7,74% atau sekitar 25 individu, sedangkan bintang laut biru Linckia laevigata
ditemukan sebesar 16,72% sekitar 54 individu. Jumlah bulu babi mengalami peningkatan
jumlah dari tahun sebelumnya adalah 17 individu pada tahun 2016, namun mengalami
penurunan dari tahun 2015 menjadi 38 individu. Spesies atau kelompok spesies megabenthos
target yang ditemukan dalam jumlah sedikit, yaitu kerang kima, bintang laut bermahkota duri
Acanthaster planci, teripang dan lobster. Dari total megabenthos yang ditemukan, kerang
kima dan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci masing-masing ditemukan sebesar
2,79% atau sekitar 9 individu, sedangkan lobster dan teripang masing-masing ditemukan
sebesar 1,55%, yakni 5 individu. Kerang kima mengalami peningkatan jumlah dari tahun-
tahun sebelumnya, yaitu 7 individu pada tahun 2016 dan 5 spesies pada tahun 2015. Bintang
laut bermahkota duri Acanthaster planci mengalami peningkatan jumlah dari tahun-tahun
sebelumnya, yakni 5 individu pada tahun 2016, pada tahun 3 individu di tahun 2015. Stasiun
KDRC02 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu megabenthos yang melimpah.
Ditemukan sebanyak 74 individu megabenthos yang terdapat dalam transek, siput pemakan
polip karang Drupella spp. mendominasi dengan jumlah 46 individu. Stasiun KDRC01,
Stasiun KDRC04, Stasiun KDRC05, Stasiun KDRC06 dan Stasiun KDRC09 merupakan
stasiun yang memiliki jumlah individu sedang, yaitu antara 30 – 60 individu. Stasiun
KDRC03, Stasiun KDRC07 dan Stasiun KDRC08 merupakan stasiun yang memiliki jumlah
individu rendah, yaitu kurang dari 20 individu.

Dari hasil perhitungan biomas ikan target selama penelitian ternyata biomass tertinggi
dijumpai di Lokasi 2 (Desa Pulo Hari) (Gambar 4). Hal ini disebabkan dijumpainya ikan
kuwe dari jenis Carangoides ferdau (?) dalam jumlah banyak dengan ukuran yang bervariasi.
Lokasi 6 adalah tempat pengamatan dengan jumlah biomass terendah. Hal ini diduga bahwa
sebagian besar ikan-ikan yang dijumpai masih belum mencapai ukuran maksimal.

Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan biomas tahun 2016, maka hasil monitoring 2017
menunjukkan adanya kecenderungan (trend) perubahan meningkatnya biomas pada hampir
semua lokasi pengamatan (Gambar 3.6.2.1). Sebagai dugaan sementara, kondisi habitat yang
mulai membaik setelah terjadinya bencana ”pemutihan karang” di tahun 2015. Selain itu juga
diduga bahwa ikan-ikan yang sebelumnya masih sebagai ikan muda (juvenile), saat ini telah
menjadi dewasa dan saat pengambilan data belum tertangkap alat tangkap yang beroperasi
seperti jaring, bubu, sero, bom dan alat tangkap ikan lainnya. Kegiatan penangkapan
diperairan kendari sangat intensif, hampir semua alat yang digunakan tidak tergolong ramah
lingkungan. Berdasarkan dari hasil pengalaman di lapangan, pada saat penyelaman masih
terdengar ledakan bom. Kegiatan pengemboman yang terjadi di kawasan perairan Kendari
tersebut, harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Perikanan dan
Kelautan. Masyarakat setempat sudah pesimis dengan kondisi tersebut, karena mereka tidak
bisa berbuata apapun terkait dengan kegiatan pengeboman terumbu karang.

v
BAB I
PENDAHULUAN

Pada zaman penjajahan Belanda, Kota Kendari pada awalnya adalah sebagai Ibukota
Kawedanan dan Ibukota Onder Afdeling Laiwoi, yang kemudian tumbuh sebagai Kota
Kecamatan. Kemudian karena kota tersebut perkembangannya sangat pesat sebagai daerah
perdagangan dan pelabuhan antar pulau, maka pada tahun 1959 menjadi Kota Kabupaten,
yakni berdasarkan Undang-Undang No. 29 tahun 1959, dengan luas wilayahnya kurang lebih
sekitar 31.400 km2.

Selanjutnya, dengan terbitnya PERPU No. 2 tahun 1964 Jo. Undang-Undang No. 13 tahun
1964, Kota Kendari ditetapkan sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah
Provinsi Sulawesi Tenggara pada awalnya terdiri dari 4 kabupaten, yakni Kabupaten
Kendari, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Muna dan Kabupaten Bau-bau, dan selanjutnya
karena pesatnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya pembangunan, maka saat ini
Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki 10 kabupaten, dan 2 kotamadya.

Nama Kendari tidak dapat terlepas dengan seorang penulis yang berkebangsaan Belanda
tahun 1831 yang bernama Vosmer. Selanjutnya pada tanggal 9 Mei 1832, Vosmer mulai
membangun istana raja Suku Tolaki yang bernama Tebaum. Untuk memberi apresiasi kiprah
Mr. Vosmer tersebut, maka pada tanggal 9 Mei telah disepakati sebagai hari jadi Kota
Kendari, dan hingga sekarang Hari Jadi Kota Kendari tanggal 9 Mei dirayakan setiap tahun.
Berdasarkan PERPU No. 18 tahun 1978, selain sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara,
Kota Kendari juga menjadi Kota Administrative yang meliputi 3 wilayah yaitu Kecamatan
Kendari, Kecamatan Mendonga, dan Kecamatan Poasia. Kota Administrative Kendari
memiliki 26 kecamatan dengan luas area sekitar 75,76 km2.

Kota Kendari sebagai Ibukota Provinsi memiliki Teluk Kendari dengan luas sekitar 10,84
Km2 yang memiliki pemandangan khas pesisir yang sangat erotis, dengan tumbuhan
mangrove yang mengelilingi hampir disepanjang pesisir, dapat menambah suasana yang
sangat menarik bagi wisatawan. Bahkan Teluk Kendari juga sudah menjadi kebanggan dan
merupakan “ICON” bagi Kota Kendari. Namun demikian, seirama dengan pesatnya
pembangunan di kawasan Teluk Kendari mengalami perubahan yang sangat pesat. Luas
wilayah Teluk Kendari pada tahun 1960 sekitar 1.675 hektar, maka pada tahun 2000 turun
menjadi 1.084 hektar.

Dampak perubahan menurunnya kawasan Teluk Kendari juga dialami oleh luasan hutan
mangrove. Luas hutan mangrove pada tahun 1960 adalah sekitar 543,58 hektar, dan pada
turun menjadi sekitar 69,80 hektar pada tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2011,
hutanmangrove di kawasan pesisir Teluk Kendari kurang lebih tinggal 30%. Kontribusi yang
paling besar terhadap menurunnya luasan kawasan mangrove di pesisir Teluk Kendari
disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan pembangunan dikawasan pesisir yang tidak
terkontrol. Penurunan ekosistem hutan mangrove di sepanjang pesisir tersebut, dampaknya
telah mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas ekosistem perairan disekitarnya, dimana
selanjutnya akan terjadi terganggunya keseimbangan lingkungan. Padahal kita ketahui
bahwa ekosistem pesisir tersebut memiliki fungsi ekologis dan biologis, yakni sebagai
pelindung kawasan pesisir, sebagai penahan gelombang maupun sebagai filter bahan polutan
dari darat maupun dari laut. Kondisi tersebut di atas harus menjadi perahatian Pemerintah

1
Daerah Kota Kendari yang serius, agar di masa-masa mendatang “ICON” Teluk Kendari
hanya tinggal cerita dalam sejarah Kota Kendari.
Wilayah perairan Kendari adalah sangat luas, dan lokasinya berhadapan langsung dengan
Laut Banda. Secara administratif kawasan perairan Kendari adalah termasuk dalam Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kawasan pesisir Kendari juga ditemukan ekosisem yang komplit, yakni
terdiri dari hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Disamping itu, perairan
Kendari juga termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia, dan memiliki keragaman biota
yang sangat tinggi, bahkan untuk keragaman karang dapat mencapai 590 jenis (Veron,
2002). Oleh karena itu, kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan “Marine Megadiversity”.

Kawasan pesisir tersebut merupakan kawasan peralihan yang kaya nutrisi dan sumberdaya
alam, serta menjadi tempat hidup bagi berbagai laut. Undang – undang nomor 27 tahun 2007
mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil juga mengatur pemanfaatan
yang tidak merusak, serta perlindungan terhadap ketiga ekosistem tersebut. Selain sebagai
dasar pengelolaan, ketiga ekosistem tersebut sangat penting untuk menunjang kehidupan
masyarakat yang ada di pesisir (Supriharyono 2002). Keberadaan ekosistem pesisir, baik itu
mangrove, padang lamun maupun terumbu karang dikenal sebagai ekosistem yang paling
produktive di kawasan pesisir, hal ini karena keberadaannya memiliki peran dan manfaat
yang sangat besar, antara lain adalah sebagai daerah spawing ground, nursery ground dan
feeding ground bagi berbagai biota laut (Snedaker & Getter, 1985; Bosire et al., 2003).
Ekosistem pesisir juga memiliki peranan dan sebagai kunci dalam mempertahankan
keseimbangan dan eksistensi ekosistem estuaria dan kawasan pesisir dalam menopang
perikanan dan stabilitas kawasan pesisir (Hamilton & Snedaker, 1984).

Pengamatan kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait pada lokasi COREMAP
merupakan salah satu kegiatan yang merupakan tugas utama CRITC COREMAP-LIPI.
Sebenarnya, kegiatan tersebut sudah dilaksanakan sejak program COREMAP Fase I.
Program COREMAP yang sudah berjalan sampai pada Fase III, telah dilakukan kegiatan
studi baseline di perairan Teluk Kendari sebagai salah satu lokasi kontrol. Kegiatan pada
tahun 2015 ini merupakan kegiatan pemantauan yang pertama (t0). Kegiatan program
COREMAP Fase III ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena pada program ini
tidak hanya difokuskan pada terumbu karang saja, namun juga dilihat ekosistem pesisir seara
keseluruhan, yakni mencakup ekosistem padang lamun dan hutan mangrove.

Program COREMAP Fase III, yang juga disebut sebagai COREMAP-CTI (2014-2019)
merupakan kelanjutan dari program COREMAP Fase II (1998 - 2013) yang meliputi perairan
di Kawasan Barat Indonesia, dan Kawasan Timur Indonesia. Baseline (studi awal) dan
monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem pesisir lain pada program COREMAP-
CTI di Kawasan Timur Indonesia dilakukan di lokasi kawasan konservasi perairan daerah
(KKPD), dan lokasi kawasan konservasi nasional (KKPN), serta tiga lokasi kontrol. Lokasi
kontrol merupakan kawasan perairan yang tidak diintervensi oleh program pengelolaan dan
konservasi yang dilakukan COREMAP. Selain itu syarat kawasan menjadi kawasan kontrol
adalah merupakan kawasan yang terbuka dengan berbagai bentuk pemanfaatan, memiliki
akses yang terjangkau dan memiliki variasi jenis karang yang tinggi. Salah satu lokasi kontrol
yang telah ditetapkan untuk wilayah timur Indonesia adalah perairan Kota Kendari dan
perairan di sekitarnya

Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional
untuk pemulihan dan perbaikan serta pengelolaan berkelanjutan sumberdaya hayati terumbu
2
karang di Indonesia. Salah satu indikator keberhasilan Program COREMAP adalah
meningkatnya tutupan karang hidup, kelimpahan dan biomassa ikan karang serta ekosistem
terkait terjaga kondisinya. Oleh karena itu dibutuhkan ketersedian data dan informasi untuk
mengukur indikator tersebut melalui kegiatan baseline dan monitoring kesehatan terumbu
karang dan ekosistem terkait. Di samping itu kegiatan monitoring nantinya juga melengkapi
data terkini (update) kondisi terumbu karang baik di wilayah barat maupun di wilayah timur
Indonesia.

Lokasi kontrol di kawasan perairan Kendari telah ditetapkan sebagai perwakilan dari lokasi
COREMAP-CTI KKPD Kabupaten Buton dan Kabupaten Wakatobi. Bentuk pemanfaatan
perairan di lokasi kontrol tersebut antara lain adalah sebagai daerah tangkap perikanan
tradisional, jalur pelayaran antar pulau dari dan menuju Kendari, serta kawasan wisata bahari.
Berbagai bentuk penggunaan lahan di wilayah pesisir meliputi pemukiman, kawasan
pelabuhan, tambak, budidaya perikanan dan penambangan juga terdapat di wilayah pesisir
Kendari. Berdasarkan dari kondisi tersebut, adalah sangat penting untuk mengetahui
pemanfaatan kawasan pesisir, serta tekanan dan dampak yang timbul terhadap penurunan
kondisi kesehatan ekosistem pesisir, dengan tiadanya intervensi program pengelolaan dan
konservasi di wilayah perairan Kota Kendari dan perairan di sekitarnya. Dengan latar
belakang tersebut, perlu dilakukan baseline atau studi awal mengenai kesehatan ekosistem
terumbu karang di lokasi kontrol perairan Kota Kendari dan perairan di sekitarnya yang
bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan terumbu karang pada tahun ke-0 (T0). Hasil
studi awal pada lokasi kontrol ini selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan kegiatan
monitoring pada pertengahan dan akhir program dilaksanakan (lima tahun mendatang) yang
hasilnya akan dibandingkan dengan lokasi yang diintervensi Program COREMAP-CTI.

Gambar 1.1. Tim Monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait di kawasan
perairan pesisir Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

3
BAB II
METODE PENELITIAN
Secara umum, ekosistem pesisir di kawasan Kendari kondisinya masih relatif baik, terutama
pada daerah pesisir di luar Teluk Kendari. Sebagai lokasi kontrol, kegiatan monitoring
kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait di kawasan perairan Kendari, Sulawesi
Tenggara pada tahun ini adalah tahun ketiga. Kegiatan penelitian mengenai kesehatan
terumbu karang dan ekosistem pesisir terkait di kawasan perairan pesisir Kendari, dilakukan
pada tanggal 24 Maret – 4 April 2017. Periode tersebut adalah termasuk periode awal musim
timur yang ditandai dengan musim kering dengan kelembaban tinggi, serta curah hujan yang
rendah. Aspek yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini antara lain adalah meliputi
terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove, ikan karang dan makrobenthos baik yang
ada pada terumbu karang, seagrass maupun di mangrove. Secara rinci metode sampling yang
digunakan dalam kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem pesisir terkait
adalah sebagai berikut:

2.1. Pemetaan ekosistem


Metode yang digunakan dalam pembuatan peta habitat bentik melalui citra
penginderaan jauh dibedakan menjadi dua yaitu metode pengolahan citra dan metode
pengambilan sampel lapangan. Sementara citra yang digunakan adalah citra Sentinel
level 2A perekaman 30 Agustus 2016. Perbedaan karakteristik setiap citra yang
digunakan pada tahun 2015 dan 2016 dapat dilihat pada Tabel 2.1.1 dibawah.

Tabel 2.1.1. Karakteristik setiap citra yang digunakan tahun 2015, 2016, dan 2017

Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017


Jenis citra yang digunakan SPOT5 (2 scene) Landsat 8 OLI Sentinel 2A
Kedetilan piksel 10 meter 30 meter 10 meter
Perekaman 16 Juni2014 10 Agustus 2016 30 Agustus 2016
02 Juli 2014
Luasan terumbu karang (km2) 37.89 38.08 31.35
Luasan terumbu karang 19.37 1.27 25.10
campuran (km2)
Luasan subtrat pasir (km2) 12.84 38.11 2.29
Luasan padang lamun (km2) 3.18 12.10 16.78
Luasan mangrove (km2) 14.52 14.51 15.88
Jumlah sampel lapangan 437 sampel 106 sampel 27 sampel
Metode pemetaan Klasifikasi berbasis Klasifikasi berbasis piksel Klasifikasi berbasis
objek (maximum likelihood) piksel (K-Means)

Citra Sentinel level 2A merupakan data citra pada level reflectance, sehingga koreksi
yang dilakukan hanya koreksi sunglint dan koreksi kolom air, citra hasil koreksi
sealnjutnya diklasifikasi. Koreksi sunglint bertujuan untuk menormalisasi kesalahan
nilai piksel akibat pantulan cahaya matahari pada permukaan air laut, dengan
persamaan koreksi mengacu dari (Kay et al, 2009). Koreksi kolom air bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan pada nilai piksel yang terjadi kerena efek pelemahan energi
oleh kolom air (atenuasi), persamaan yang digunakan adalah hasil modifikasi
persamaan lyzenga dalam (Green et al. 2000).

4
Rincian persamaan untuk koreksi citra tersebut adalah sebagai berikut.
1. koreksi sunglint
Ri‟ = Ri – bi x (RNIR – MinNIR)
Ri: nilai reflektan pada masing – masing band (band biru-sunglint, band hijau-
sunglint, dan band merah-sunglint)
bi: nilai regression slope hasil statistik (band biru vs band band inframerah, band
hijau vs band band inframerah, band merah vs band band inframerah)
RNIR: nilai reflektan pada band inframerah dekat
MinNIR: nilai minimum reflektan band inframerah dekat dari seluruh sampel yang
dipilih.
2. koreksi kolom air
ki
a = (varBi – varBj) / (2*CovBiBj) → kj = a + √𝑎2 + 1 → Y = In(Bi) – ((ki/kj) x In(Bj))
nilai Bi = Nilai Reflektan Bandi; Bj = Nilai Reflektan Bandj

Citra terkoreksi selanjutnya diklasifikasi menggunakan metode klasifikasi tak-


terkontrol (unsupervised) yaitu K-Means, bertujuan untuk memisahkan area padang
lamun dan non-padang lamun. Area lamun selanjutnya diklasifikasi ulang
menggunakan metode yang sama untuk memperoleh kelas padang lamun yang lebih
detil. Hasil klasifikasi citra adalah tutupan habitat bentik tahun 2016 selanjutnya
dibandingkan dengan peta sebelumnya (tahun 2015, dan tahun 2016) dengan tujuan
untuk mengetahui perubahan setiap kelas tutupan pada setiap tahun. Sedangkan
informasi yang digunakan sebagai acuan variasi kelas dan luasan adalah data terbaru
yang dikerjakan pada kegiatan kali ini.

Gambar 2.1.1 teknik metode photo/video transect.


Metode pengambilan sampel lapangan dibedakan menjadi dua yaitu metode foto
transect untuk validasi kelas tutupan habitat di perairan dangkal. Metode foto transek
yang memanfaatkan kamera bawah air dan GPS handheld (Roelfsema & Phinn, 2009).

5
Kamera bawah air berfungsi untuk merekam objek dasar perairan, sedangkan posisi
objek direkam secara bersamaan menggunakan GPS handheld. Sampel lapangan yang
diperoleh melalui metode ini adalah foto tutupan dasar perairan yang dilengkapi posisi
geografisnya. Sampel tersebut selanjutnya digunakan untuk membangun sistem
klasifikasi yang merupakan variasi tutupan sebenarnya dilapangan. Sistem klasifikasi
yang sudah dibangun selanjutnya digunakan dalam proses klasifikasi citra
menggunakan sampel lapangan yang telah diubah dalam bentuk AOI (area of interest).
Metode photo transek dapat dilihat pada Gambar 2.1.1.

2.2 Terumbu karang


2.2.1. Waktu dan Lokasi
Kegiatan monitoring terumbu karang di kawasan pesisir Kendari dilakukan pada
tanggal 24 April – 4 Mei 2017. Lokasi dan stasiun monitoring berada di kawasan
konservasi perairan daerah (KKPD) sepanjang pesisir Teluk Kendari dan perairan
sekitarnya, terdiri dari 9 stasiun monitoring (Gambar 2.2.1 dan Tabel 2.2.1).

Gambar 2.2.1. Sebaran stasiun monitoring kondisi terumbu karang Teluk Kendari dan
peraiaran sekitarnya, Sulawesi Tenggara tahun 2017.

6
Tabel 2.2.1. Lokasi stasiun baseline kesehatan terumbu karang di perairan Teluk
Kendari dan perairan di sekitarnya.

Koordinat Nama Keterangan Daerah


No Lokasi
Lintang Bujur Lokasi Administrasi
1 KDRL01 -4.058.246 122.795.402 Pesisir Dusun Baho Dusun Baho Desa Labuan Beropa,
Kec. Laonti, Kab. Konawe Selatan
2 KDRL02 -4.037.835 122.776.071 Pulau Hari Desa Baho, Desa Labuan Beropa,
Kec. Laonti, Kab. Konawe Selatan
3 KDRL03 -4.097.840 122.788.188 Pesisir Desa Desa Labutaone, Kec. Laonti, Kab.
Labutaone Konawe Selatan
Kec. Moramo, Kab. Konawe
4 KDRL04 -4.126.322 122.722.888 Pulau Wowosunggu Selatan
5 KDRL05 -4.099.823 122.667.995 Pulau Lara Desa Mekar Jaya, Kec. Moramo
Utara, Kab. Konawe Selatan
Kec. Moramo, Kab. Konawe
6 KDRL06 -4.037.142 122.681.203 Pesisir Tj. Tiram Selatan
7 KDRL07 -3.888.684 122.647.085 Pesisir Desa Desa Atowatu, Kec. Soropia, Kab.
Atowatu Konawe
8 KDRL08 -3.955.858 122.668.952 Pulau Bokori Desa Bokori, Kec. Soropia, Kab.
Konawe
9 KDRL09 -3.982.048 122.658.456 Gosong Jambe Kel. Tondonggeu, Kec. Poasia,
Kota Kendari

2.2 Metode dan Analisa Data


Pengambilan data bentik terumbu karang dimulai dengan pengamatan visual gambaran
umum kondisi fisik pesisir dan perairan di sekitar stasiun. Pengamatan meliputi
kondisi fisik pesisir, bentuk pemanfaatan lahan dan perairan, status perairan dan kondisi
cuaca saat monitoring dilakukan. Deskripsi profil terumbu antara lain rataan, tubir dan
lereng terumbu, komunitas bentik terumbu dan substrat dasar perairan serta bentuk-
bentuk tekanan terhadap terumbu. Setelah itu dilakukan pengambilan data
menggunakan Metode UPT (Underwater Photo Transect) (Giyanto et al 2010 ;
Giyanto, 2012a ; Giyanto, 2012b) untuk mengetahui kondisi terumbu karang di masing-
masing stasiun penelitian.

Teknik pengambilan data menggunakan metode UPT dilakukan dengan penyelaman


SCUBA langsung menggunakan kamera bawah air. Luas area pemotretan 2500 cm 2,
mengikuti ukuran bingkai/frame besi/PVC 58 x 44 cm dan atau pada jarak pemotretan
60 cm terhadap substrat dasar terumbu. Pengambilan data foto monitoring tahun 2017
dilakukan mengikuti transek permanen yang telah dipasang pada saat baseline survei
tahun 2015. Pita meteran (roll meter) dipasang persis mengikuti tali transek permanen
sampai panjang 50 meter lebih. Pemotretan dilakukan sepanjang garis transek dimulai
meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak antar pemotretan sepanjang 1 meter.
Pemotretan pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3) dan frame-frame
berikutnya dengan nomor ganjil dilakukan di sebelah kiri garis transek, sedangkan
untuk frame-frame dengan nomor genap (frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan
di sebelah kanan garis transek.

Pengambilan data kekayaan jenis karang keras (hard corals) dan karang lunak (soft
corals) pembentuk terumbu (reef building corals) dilakukan dengan cara koleksi bebas
di sepanjang transek permanen, habitat berbeda (rataan, tubir dan lereng terumbu)
sampai kedalaman masih ditemukan karang hidup. Setiap jenis karang yang
7
ditemukan dikoleksi dengan cara pemotretan langsung di bawah air, dan atau dikoleksi
bebas untuk identifikasi lebih lanjut. Reidentifikasi jenis-jenis karang yang ditemukan
dilakukan dengan buku panduan identifikasi Coral of the World Volume 1-3 (Veron,
2000) dan Jenis-jenis karang di Indonesia (Suharsono, 2008).

Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan
piranti lunak (software) Coral Point Count for Exel (CPCe) (Kohler & Gill 2006).
Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap frame foto hasil pemotretan, dan
pada setiap titik tersebut diidentifikasi bentuk hidup (life form) biota bentos dan
substrat dasar terumbu yang berada persis di bawahnya, sesuai dengan kode masing-
masing kategori bentik (Tabel 2). Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-
masing kategori biota dan substrat untuk setiap frame foto menggunakan rumus:

jumlah titik suatu kategori bentik


Persentase tutupan kategori = x 100
jumlah total titik acak

Tabel 2.2.1. Kode masing-masing kategori bentik terumbu karang (biota dan
substrat).
KODE
KATEGORI KETERANGAN
BENTIK
LC Live Coral = Karang batu hidup = karang hidup = AC+NA
- AC Acropora = karang batu marga Acropora
- NA Non Acropora = karang batu selain marga Acropora
DC Dead Coral = karang mati
DCA Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi
alga
SC Soft Coral = karang lunak
SP Sponge = spon
FS Fleshy Seaweed = alga
OT Other Fauna = fauna lain
R Rubble = pecahan karang
S Sand = pasir
SI Silt = lumpur
RK Rock = batuan

Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup, maka selanjutnya dapat ditentukan
kondisi kondisi terumbu karang menurut COREMAP-CTI LIPI (Giyanto et al 2014)
disajikan pada Tabel 2.2.2, sebagai berikut:

Tabel 2.2.2. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai


persentase tutupan karang hidup menurut COREMAP-CTI LIPI.

Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian


75 – 100 Sangat baik
50 – 74,9 Baik
25 – 49,9 Cukup Baik
0 – 24,9 Kurang Baik

8
2.3. Padang lamun
Kegiatan pengamatan atau monitoring plot permanen untuk padang lamun dilakukan
pada tangga 24 Maret – 4 April 2017, yang berdasarkan Buku Panduan Monitoring
Padang Lamun (Rahmawati dkk., 2015). Lokasi sampling meliputi 7 lokasi di perairan
Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di peraiaran Kendari pada tujuh stasiun
pengamatan, yaitu 1. Pulau Lara (KDRLM01); 2 di derah Lalowaru (KDRLM02); 3
derah Tanjung Tiram (KDRLM03); 4 daerah Bungkutoko (KDRLM04); 5 daerah
Watuwatu (KDRLM05); 6. Pulau Bokori (KDRLM06); dan 7 daerah Tapulaga
(KDRLM07) (Gambar 2.3.1, Tabel 2.3.1). Keberadaan, tutupan, dominansi, distribusi,
keragaman dan komposisi jenis lamun, dilakukan dengan cara pengamatan langsung
dan transek (Rahmawati dkk., 2015).

Gambar 2.3.1. Lokasi sampling seagrass di pesisir Kendri

Untuk mengetahui tutupan dan dominansi jenis lamun, dilakukan dengan menarik garis
transek vertikal dari garis pantai dengan pendekatan kuadrat (frame) 50 x 50 cm.
Transek dilakukan sebagai berikut:
1. Titik pertama transek disisi pantai yang ditarik kearah tubir (100 m). Untuk
kawasan yang sempit dilakukan sesuai kondis di area pengamatan. Penentuan
titik pertama, 5-10 m atau lebih dari awal ditemukan lamun.Titik awal transek
diberi tanda permanen dengan patok besi dan pelampung kecil
2. Dicatat posisi transek dengan GPS. Titik awal transek No.1 pada meter ke-0.
3. Kuadrat 50 x 50 cm ditempatkan pada titik 0 m
4. Tentukan nilai % pada setiap kotak.
5. Catat komposisi jenis, persentase jenis, dan substratnya.
6. Pengamatan dilakukan setiap 10 m, dan pasang patok/tanda pada titik terakhir.
7. Ulangi tahapan di atas pada transek 2 dan 3 dengan jarak antar transek 50 m.

9
Rahmawati dkk. (2015), Sedangkan untuk penilaian kategori persentase tutupan (%),
menurut ada empat kategori yaitu: jarang (0-25%), cukup padat (26-50%), padat (51-
75%), dan pangat padat (> 75%). Selanjutnya, untuk kondisi padang lamun berdasarkan
tutupan, menurut (KMLH, 2004) dibagi, yaitu: kaya/sehat (> 60%), kurang
kaya/kurang sehat (30-59,9%), danmiskin (< 29,9%)

Lokasi stasiun pengamatan sebagai berikut:


1. Stasiun di Pulau Lara (KDRLM01) pada posisi Lat. -4.101514 Lon. 122.665426.
Dilakukan 3x transek dengan panjang garis transek masing-masing; T1=30 m,
T2=18 m dan T3=17 m. Perbedaan panjang transek tersebut disesuaikan dengan
panjang dataran terumbu. Sedangkan jarak transek dengan transek yang lain 25 m.
2. Stasiun di Lalowaru (KDRLM02) pada posisi 03.98988 S; 122.61852 E. Dilakukan
3x transek dengan panjang garis transek masing-masing 100m. Jarak transek dengan
transek yang lain 50 m.
3. Stasiun di Tanjung Tiram (KDRLM03) dengan posisi 04.03592 S; 122.67103 E.
Dilakukan 3 x transek dengan panjang garis transek masing-masing 100 m. Jarak
transek dengan transek yang lain 100 m.
4. Stasiun di Bungkutoko (KDRLM04) dengan posisi 03.98999 S; 122.61848 E.
Dilakukan 3 x transek dengan panjang garis transek masing-masing 100 m, dengan
jarak transek antar transek, 50 m.
5. Stasiun di Watuwatu (KDRLM05) dengan posisi 03.89128 S; 122.63985 E.
Dilakukan 3x transek dengan panjang garis transek masing-masing 100m. Jarak
transek dengan transek yang lain 50 m.
6. Stasiun dii Pulau Bokori (KDRLM06) dengan posisi 03.940440 S; 122.66527 E.
Dilakukan 3 x transek dengan panjang garis transek masing-masing 100 m. Jarak
transek dengan transek yang lain 50 m.
7. Di Tapulaga (KDRLM07) dengan posisi 03.94553 S; 122.62743 E. Dilakukan 3 x
transek dengan panjang garis transek masing-masing 100 m. Jarak transek dengan
transek yang lain 50 m

Tabel 2.3.1. Lokasi Pengambilan Sampel Lamun di Perairan KKPD Kendari, Juli 2015.

No.Sta. Stasiun Posisi Deskripsi


substrat

KDRLM01 Pulau Lara Lat.-4.101514 Lon.122.665426 Pasir

KDRLM02 Lalowaru Lat.-1.751650 Lon.99.277500 Pasir

KDRLM03 Tanjung Tiram Lat.-1.812190 Lon.99.288190 Pasir

KDRLM04 Baungkutoko Lat.-2.003070 Lon.99.577470 Pasir

KDRLM05 Watuwatu Lat.-2.120290 Lon.99.560460 Pasir

KDRLM06 Pulau Bokori Lat.-2.003070 Lon.99.577470 Pasir

KDRLM07 Tapulaga Lat.-2.120290 Lon.99.560460 Pasir

10
2.4. Mangrove
Pelaksanaan monitoring tahun ke tiga (t2) kesehatan hutan mangrove di pesisir Kendari,
Sulawesi Tenggara dilaksanakan mulai tanggal 24 April 4 Mei 2017. Lokasi
monitoring tahun ketiga dua (t2) mengikuti lokasi monitoring pertama (t0). Monitoring
status ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kendari meliputi tujuh lokasi, yaitu dua
lokasi di pulau kecil, yaitu Pulau Lara dan Pulau Bukori, tiga lokasi disebelah selatan
Teluk Kendari, yaitu Desa Tanjung Tiram; Desa Lalowaru, dan Desa Bongutoko, dan
dua 2 lokasi disebelah utara Teluk Kendari, yakni Desa Waru-waru, dan Tapulogo
(Gambar 2.4.1). Posisi pengambilan atau sampling data ekologi, yang meliputi
kerapatan pohon (tegakkan), dan persentase tutupan tajuk (% cover) mangrove, secara
rinci disajikan pada Tabel 2.4.1.

Gambar 2.4.1. Lokasi pengambilan data ekologi mangrove di kawasan pesisir Teluk
Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara

Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi komuntas mangrove di Kabupaten


Buton Selatan dilakukan dengan mengacu pada metode transek kuadrat dan
hemispherical photography (Jenning et al., 1999; Dharmawan & Pramudji, 2014).
Pelacakan lokasi plot pemanen dengan ukuran 10 x 10 m2, yang dibuat sejajar dengan
garis pantai, dengan ulangan tiga kali yang dibuat pada tahun 2016 (to), dilakukan
dengan menggunakan perangkat GPS. Selain itu, setiap pohon yang ada di sudut plot
permanen dari masing-masing plot dilakukan pengecatan kembali dengan
menggunakan dengan “cat pilox” yang berwarna merah, karena warna cat setelah
kurun waktu satu tahun warnanya mulai pudar (Gambar 2.4.2a)

Untuk menghitung indeks ekologis, yang difokuskan pada kerapatan pohon dan Indek
Nilai Penting (INP), dilakukan dengan pengukuran diameter tegakan pohon dengan
lingkar pohon setinggi dada minimal 16 cm, atau dengan diameter (Ø) ≥ 5 cm pada
plot permanen yang telah ditentukan. Analisis data vegetasi mangrove tersebut
kemudian dianalisis dengan formula yang dikembangkan oleh Cox (1967), Snedaker &
11
Snedaker (1984) dan English et al. (1994). Sedangkan untuk identifikasi jenis
tumbuhan tumbuhan mangrove adalah berdasarkan buku identifikasi dari buku
identifikasi dari Giesen et al (2012), Wightman (1989), Kitamura et al. (1997), Noor
dkk. (1999) dan Primavera et al. (2004).

Σ individu jenis i
Kerapatan (K) = ------------------------------------ x 10.000
Σ plot (luas semua kuadrat)

Σ BA jenis i
Dominasi (Di) = --------------------------
Σ plot/ Σ unit sample

Di
% Tutupan = -------------- x 100 %
ΣD

Sedangkan untuk memperoleh data persen tutupan tajuk (% cover) mangrove, maka
setiap plot yang telah dilakukan pengukuran diameter pohon, kemudian dibagi menjadi
empat kuadran dengan ukuran 5 x 5 m2, dan masing-masing kuadran tersebut dilakukan
pengambilan foto hemisphere/tegak yang lurus ke atas/langit (Gambar 2.4.2b). Hasil
foto selanjutnya dilakukan analisis untuk menentukan nilai persentase tutupan tajuk (%
canopy cover) hutan mangrove di dalam suatu kawasan.

Jenis tumbuhan mangrove maupun tumbuhan asosiasi mangrove yang belum diketahui
di lapangan, diupayakan diambil bagian dari bunga, buah, daun, dan difoto bagian
batang dan akarnya. Identifikasi jenis ttumbuhan mangrove maupun jenis asosiasi
mangrove di kawasan pesisir Kendari dilakukan dengan menggunakan buku dari
Tomlinson (1986), Giesen et al. (2002) dan Noor et al. (2002).

Tabel 2.4.1. Posisi stasiun pengambilan data ekologi mangrove di kawasan pesisir
Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara.

Koordinat (UTM) Tipe


No Lokasi Stasiun
Bujur Lintang Substrat
1 Pulau Lara2 KDRM01 04.12602o S 122.67114° E lumpur
2 Ds. Lolowaru KDRM02 04.06605° S 122.65220° E lumpur
KDRM02 04.06637° S 122.65220° E lumpur
3 Ds. Tanjung KDRM03 lumpur
Tiram 04.03592° S 122.67103° E
KDRM03 04.03591° S 122.67068° E lumpur
4 Ds. Bongkutoko KDRM04 03.98999° S 122.61848° E lumpur
5 Ds. Tapolaga KDRM05 03.94553° S 122.62743° E lumpur
6 Pulau Bukori KDRM06 03.94040° S 122.66527° E lumpur
7 Ds. Watu-watu KDRM07 03.89128° S 122.63985° E lumpur

12
Gambar 2.4.2. Pengecatan kembali dengan disemprot dengan pilox, karena warana
penanda dlam kurun waktu satu tahun sudah mulai pudar (atas); Pengambilan
foto untuk mengukur % canopy (bawah).

13
2.5. Ikan karang
Lokasi penelitian terletak di daerah pesisir perairan Teluk Kendari, termasuk
didalamnya Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Pulau Hari,
Pulau Wasosunggu, Pulau Lara, Pulau Bokori (Gambar 2.5.1). Kegiatan penelitian
lapangan ini melibatkan staf CRITC “Coral Reef Information and Training Centre”
Jakarta, dibantu oleh Staf Puslit Oseanografi Jakarta dan beberapa personil CRITC
daerah Kendari. Dan Peneliti dari UPT LKBL Bitung.

Sebelum kegiatan di lapangan, bagian SIG perlu menyiapkan peta lokasi penelitian
yang sudah diplot dengan titik-titik lokasi dengan posisi yang sama seperti pada waktu
studi baseline atau juga monitoring sebelumnya. Hasil pengamatan juga akan diplot
dalam bentuk peta tematik sehingga lebih informatif.

Metode yang digunakan adalah Metode Sensus Visual yang dikembangkan oleh
ASEAN AUSTRALIA PROJECT (DARTNALL & JONES 1986 dalam ENGLISH et
all 1997). Peralatan yang digunakan adalah peralatan selam (SCUBA DIVING), alat
tulis bawah air dan roll meter. Transek 70 m dibuat sejajar tubir atau garis pantai,
dengan pengamatan 2,5 m sebelah kiri dan kanan garis transek. Luas pengamatan tiap
transek 70 x (2 x 2,5m) = 350 meter persegi (Gambar 2.5.2).

Penentuan jenis ikan dibantu dengan buku panduan identifikasi ikan kedap air karangan
KUITER (1992) dan MASUDA & ALLEN (1987) dan beberapa buku ikan karang
karya ALLEN (2000), ALLEN and STEENE, (1996), ALLEN et al. (2003), FROESE
and PAULY, (2000), RANDALL et al. (1997),

Gambar 2.5.1. Peta lokasi monitoring kesehatan terumbu karang di perairan Kendari.

14
Gambar 2.5.2. Garis transek dan pencatatan ikan karang yang berada pada transek.

15
Dalam menganalisa data ikan hanya dilakukan pengamatan pada 2 kategori yakni :
1. Kategori ikan indikator : Kelompok ini adalah jenis-jenis yang hidupnya
berasosiasi paling kuat dengan koral/karang. Ikan yang dipakai dalam hal ini
adalah ikan kepe-kepe dari suku Chaetodontidae.
2. Kaategori ikan target : Jenis-jenis dalam kelompok ini adalah ikan ikan yang
menjadi target penangkapan nelayan untuk konsumsi/pangan atau ikan ekonomis
penting yang hidup berasosiasi dengan perairan karang. Untuk jenis-jenis yang
kelimpahannya tinggi dapat dihitung dengan taksiran (abundance category)
misalnya untuk suku Caesionidae, Acanthuridae dan Siganidae.

Sedangkan untuk kategori Ikan-ikan lainnya (Mayor Group), pada pengamatan ini
tidak dilakukan pengambilan data. Kondisi ini disebabkan karena pada umumnya jenis
ikan tidak terlalu mengalami perubahan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Selanjutnya, untuk pengambilan gambar ikan-ikan tertentu dilakukan dengan


menggunakan camera bawah laut. Pengambilan gambar ikan tersebut adalah untuk
memudahkan dalam mengoreksi identifikasi jenis-jenis atau nama species.

16
2.6. Makrobenthos
Monitoring dilakukan pada akhir bulan Juni sampai awal bulan Juli 2015 di ekosistem
terumbu karang perairan Kendari, Sulawesi Tenggara. Pengamatan dilaksanakan di
sembilan stasiun pengamatan yang tersebar di pulau-pulau kecil maupun pesisir daratan
induk Pulau Sulawesi di Kendari (Gambar 2.6.1). Pengamatan megabenthos target
dilakukan dengan metode Benthos Belt Transek yang merupakan pengembangan dari
belt transek method untuk monitoring megabenthos (Loya, 1978). Pengamatan
mencakup sebelas stasiun dengan bantuan peralatan selam SCUBA (Brower & Zar,
1997). Transek disinkronisasikan dengan transek untuk pengamatan / monitoring
karang dan ikan karang pada sebuah transek permanen. Metode ini dilakukan dengan
cara menarik garis sejajar garis pantai pada kedalaman 5 – 10 meter dengan panjang
transek 70 meter dan lebar pengamatan satu meter ke arah kiri dan satu meter ke arah
kanan garis transek (140 m2).

Gambar 2.6.1. Peta lokasi penelitian megabenthos di perairan Kendari, Sulawesi


Tenggara.

17
Gambar 2.6.2. Skema transek megabenthos dengan metode Benthos Belt Transect yang
dimodifikasikan dari metode Belt Transect

Semua jenis megabenthos dalam transek dicatat nama spesies atau kelompok
spesiesnya, terutama spesies dan kelompok spesies megabenthos yang menjadi target
monitoring, serta jumlah individunya. Megabenthos target merupakan biota yang
memiliki nilai ekonomis penting dan memiliki nilai ekologis penting yang
keberadaannya sangat berkaitan erat dengan kondisi kesehatan karang. Megabenthos
target monitoring terdiri dari tujuh kelompok biota seperti yang disajikan pada Tabel
2.6.1. Identifikasi terhadap spesies dan kelompok spesies merujuk pada Abbott &
Dance (1990), Matsuura et al. (2000), Clark & Rowe (1971), Neira & Cantera (2005)
dan Colin & Arneson (1995).

Tabel 2.6.1. Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang menjadi objek
monitoring

No. Megabenthos Nama Spesies / Group


Target Kelompok Spesies
1. Bintang Laut Acanthaster planci Echinodermata
Berduri
2. Bulu Babi Echinoidea Echinodermata
3. Teripang Holothuroidea Echinodermata
4. Bintang Laut Biru Linckia laevigata Echinodermata
5. Kerang Kima Tridacna spp., Hippopus spp. Mollusca
6. Siput Drupella Drupella spp. Mollusca
7. Keong Lola Trochus spp., Tectus spp. Mollusca
8. Udang Karang Lobsters Crustacea

18
BAB III
HASIL DAN DISKUSI

Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan tentang kesehatan terumbu karang dan
ekosistem terkait di kawasan pesisir Kendari pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 April
2017, maka berikut ini dibawah diuraikan secara beberapa aspek yang diamati, antara lain
adalah pemetaan ekosistem pesisir, terumbu karang, seagrass, mangrove, ikan karang, dan
megabenthos:

3.1. Pemetaan ekosistem

Fullscene citra sentinel

Gambar 3.1.1. Kenampakan lokasi kajian pada citra Sentinel level 2A

Kegiatan pengambilan sampel lapangan untuk pemetaan habitat bentik di kabupaten


Kendari pada tahun 2017 dilakukan pada tanggal 24 April – 3 Mei 2017 (Gambar 3.1.1)
Rincian pengambilan sampel lapangan harian dapat dilihat pada lampiran (on-board
report). Pengambilan sampel lapangan pada tahun 2017 hanya melengkapi jumlah
sampel pada kegiatan monitoring sebelumnya. Selain itu, pada kegiatan tahun 2017,
lebih fokus memperbaiki posisi padang transek padang lamun dan melengkapi lokasi
transek yang masih kurang pada tahun sebelumnya.

19
Pengolahan data citra untuk pemetaan habitat bentik dan kerapatan padang lamun
menggunakan citra Sentinel level 2A yang telah terkoreksi reflectance sehingga
langsung dilakukan koreksi sunglint. Persamaan yang digunakan untuk koreksi sunglint
berdasarkan rumus yang telah dijelaskan diatas adalah sebagai berikut. Persamaan
sunglint tersebut dibangun dari 6576 sampel piksel yang diambil dari citra yang sudah
dikoreksi reflektan.

Minimal B5 119
B2-glint (blue) B2-(0.8485*(B8-119))
B3-glint (green) B3-(0.9416*(B8-119))
B4-glint (red) B4-(1.1129*(B8-119))

Tiga saluran baru hasil koreksi sunglint selanjutnya menjadi data masukan untuk
koreksi kolom air yang dibangun dari persamaan-persamaan yang telah disampaikan
sebelumnya. Persamaan korkesi kolom air dibangun dari 317 sampel piksel pasir yang
berada pada kedalaman yang berbeda. Kombinasi saluran yang digunakan dalam
koreksi kolom air yaitu saluran biru dan saluran saluran hijau (Band2/Band3), saluran
biru dan saluran merah (B2/B4), dan saluran hijau dan saluran merah (B3/B4). Nilai
setiap parameter dari masing-masing kombinasi saluran dapat dilihat pada Tabel 3.1.2
diawah, sedangkan nilai varian dari masing-masing saluran diantaranya B2: 0.1027, B3:
0.3089, B4: 0.4793.

Tabel 3.1.1. Nilai setiap parameter dari masing-masing kombinasi saluran.

Kombinasi Persamaan koreksi kolom air


Covar A Ki/Kj
saluran
- (alog(B2))-
B2/B3 0.177125 0.582169 0.5749484 (0.574948414729302*(alog(B3)))
- (alog(B2))-
B2/B4 0.214417 0.878327 0.4526344 (0.452634388405939*(alog(B4)))
- (alog(B3))-
B3/B4 0.372598 0.228696 0.7971219 (0.797121867763963*(alog(B4)))

Sampel-sampel pasir yang digunakan untuk membangun persamaan kolom air memiliki
hubungan yang cukup baik antar saluran, dapat dilihat pada Gambar 3.1.2 dibawah.
bentuk dari hubungan antar saluran pada setiap sampel menandakan bahwa
pengurangan energi antar saluran akibat penambahan nilai kedalaman memiliki
hubungan yang sebanding terhadap saluran tampak lainnya. Setiap sampel-sampel pasir
yang dipilih juga menunjukkan pola mengelompok berdasarkan perbedaan
kedalaamannya. Berdasarkan bentuk hubungan tersebut. persamaan koreksi kolom air
dapat dinilai cukup baik digunakan.

20
10.000 8.000 8.000
8.000 6.000 6.000
6.000

B4

B4
B3

4.000 4.000
4.000 y = 1.7298x - y = 2.0939x - y = 1.2098x -
5.5092 9.0917 2.4175
2.000 2.000 2.000
R² = 0.9948 R² = 0.9395 R² = 0.9433
0.000 0.000 0.000
6.5007.0007.5008.000 6.5007.0007.5008.000 6.000 7.000 8.000
B2 B2 B3

Gambar 2.1.2. Hubungan antar saluran tampak (visible band) pada sampel pasir yang
berada pada kedalaman yang berbeda-beda

Tahapan pengolahan citra selanjutnya adalah klasifikasi citra. proses klasifikasi


dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk memisahkan tutupan padang
lamun dan bukan padang lamun dan tahapan selanjutnya adalah mendetilkan area
padang lamun. Metode klasifikasi yang digunakan adalah K-Means yaitu mengkelaskan
nilai-nilai piksel secara otomatis dengan batasan area hanya pada area terumbu karang
dan padang lamun. Sedangkan citra input yang digunakan dalam klasifikasi adalah citra
hasil koreksi kolom air. Proses klasifikasi K-Means dibatasi hanya 12 kelas dengan
iterasi 10 kali. Hasil klasifikasi K-Means dapat dilihat pada Gambar 3.1.3 (E) dibawah.
Adapun nilai akurasi pada pemetaan kali ini tidak dihitung karena pemetaan kali ini
merupakan perbaruan data data-data sebelumnya, sementara akurasi peta habitat bentik
pada tahun 2015 adalah 65,042% dan akurasi kelas padang padang lamun yang dihitung
pada tahun 2016 adalah 46,99%.

A B

21
C D

E F

Gambar 3.1.3. Rincian dari tahapan pengolahan citra Sentinel 2A dalam memetakan
tutupan habitat bentik. Gambar A: citra Sentinel level 2A asli, Gambar B: citra
Sentinel hasil koreksi sunglint, Gambar C: citra Sentinel hasil koreksi kolom air,
Gambar D: hasil masking area perairan dangkal, Gambar E: hasil klasfikasi K-
Means pada seluruh area perairan dangkal, dan Gambar F: hasil klasifikasi K-
Means pada area padang lamun

Sama seperti tahun sebelumnya, permasalahan yang ditemui pada pemetaan saat ini
adalah adanya tutupan awan pada lokasi pemetaan. Namun demikian kekurangan data
tidak ditampalkan dengan data-data sebelumnya, karena perbedaan ukuran piksel dan
metode pemetaan (Tabel 3.1.1). Pada pemetaan kali ini menghasilkan peta yang lebih
detil dan diharapkan pada tahun berikutnya dapat melengkapi kekurangan data yang
tertutup awan dengan menggunakan citra yang sama. Luasan setiap kelas habitat bentik
dan mangrove di Kabupaten Kendari pada tahun 2016 yang dikerjakan pada tahun 2017
melalui citra yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3.1.3 dibawah.

Melalui Tabel 3.1.3 diatas, dapat dilihat adanya perubahan luasan setiap kelas habitat
bentik antara tahun 2015, 2016, dan 2017. Perlu menjadi catata adalah citra yang
dianalisis pada kegiatan monitoring tahun ini adalah citra perekaan tahun 2016 dengan
resolusi yang sama dengan citra yang digunakan pada monitoring tahun 2015, sehingga
luasan yang yang diperoleh tidak jauh berbeda. Adapun perbedaan proporsi luasan
setiap kelas terhadap luasan total dipengaruhi oleh karakteristik citra yang berbeda-
beda. Berdasarkan laporan sebelumnya, kegiatan pemetaan tahun 2015 menggunakan
citra SPOT-5 perekaman 2014. Selain itu citra SPOT-5 yang digunakan tidak memiliki
saluran biru yang sangat penting bagi analisis tutupan habitat bentik, sehingga
22
klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi berbasis objek. Tidak adanya saluran biru
pada citra SPOT-5 menyebabkan variasi objek habitat bentik yang dapat dibedakan
menjadi tidak banyak, terutama tutupan padang lamun. Sementara itu, data citra yang
digunakan pada kegiatan tahun 2016 adalah citra Landsat 8 perekaman 2016 dan
memiliki saluran biru. sehingga variasi objek yang dapat dipetakan lebih banyak,
begitupula halnya dengan citra Sentinel level 2A yang juga memiliki saluran biru.
Proposrsi luasan setiap kelas habitat terhadap luasan total pada setiap tahunnya dapat
dilihat pada Gambar 3.1.4 dibawah.

Tabel 2.1.3. Nilai setiap parameter dari masing-masing kombinasi saluran

Luas tutupan
Luas tutupan Luas tutupan
kelas tahun 2015
tahun 2016 (Km2) tahun 2017 (Km2)
(Km2)
coral 37.89 38.08 31.349
Lamun kerapatan 5.878
4.03
tinggi
Lamun kerapatan 3.18 5.431
4.24
rendah
Lamun campur alga 3.83 2.798
pasir 12.84 38.11 2.288
Substrat campuran 25.096
19.37 1.27
(karang, batu, pasir)
Total 73.28 89.56 75.504
mangrove 3.81 14.511 15.88

2017 2016 2015

Luasan terumbu karang

Luasan terumbu karang campuran

Luasan padang lamun

Luasan subtrat pasir

Luasan mangrove

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
luas (km2)

Gambar 3.1.4. Proporsi luasan setiap kelas habitat bentik pada setiap tahun

Proporsi luasan pada Gambar 3.1.4 diatas hanya menunjukkan perbedaan luasan setiap
kelas pada setiap tahun pengerjaan dan bukan menunjukkan perubahan berkelanjutan.
Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa setiap kelas telah mengalami perubahan

23
luasan dari tahun ketahun. Data hasil analisis terbaru dan terakhir menjadi informasi
acuan luasan tutupan habitat bentik di perairan Teluk Kendari. Peta habitat Kabupaten
Kendari hasil pengolahan citra satelit Landsat-8 perekaman 2016 dapat dilihat pada
Gambar 3.1.5 dibawah.

Gambar 3.1.5. Peta habitat bentik Teluk Kendari tahun 2017

kelas detil keterangan luas (km2)


HC terumbu karang 14.362
terumbu karang lokasi
HC DEEP dalam 5.756
HC_MED terumbu karang campuran 11.232
pasiran campur terumbu
MIX SD HC karang 24.696
MIX SD SG pasiran campur lamun 0.399
SD pasiran 0.003
SD DEEP pasir area dalam 2.285
SG COVERED MUD lamun tertutup lumpur 2.665
SG_AL lamun campur algae 2.798
SG_HI lamun kerapatan tinggi 5.878
SG_MED lamun kerapatan sedang 5.431
total 75.504

24
On-board report mapping lamun
Posisi terbaru titik monitoring padang lamun di Kandari. Titik ini merupakan titik
pancang pertama transek padang lamun. Rincian titik tersebut sebagai berikut.

No Latitude Longitude Kode titik Nama lokasi keterangan


1 -4.10240200 122.66817000 KDRLM01 Pulau Lara
2 -3.98988000 122.61852000 KDRLM02 Lalowaru dihilangkan
3 -4.03531800 122.67071600 KDRLM03 Tanjung Tiram
4 -3.98998000 122.61878600 KDRLM04 Bungkutoko
7 -3.89126400 122.64077200 KDRLM05 Tapulaga
6 -3.94257000 122.66427900 KDRLM06 P. Bokori
5 -3.94292000 122.62647900 KDRLM07 Ato Watu
8 -4.00237900 122.63477600 KDRLM08 Tinunggeu
Sistem koordinat: WGS’84, UTM, zona 51S

KDRLM01, Pulau Lara

Gambar 3.1.6. Distribusi sample GIS pada lokasi KDRLM 01

Area ini merupakan pulau yang ditumbuhi padang lamun dengan kerapatan yang cukup
rendah. Padang lamun tumbuh pada area paparan karang (reef flat) yang pendek.
Subtrat dasar perairan merupakan pasiran dari pecahan karang (carbonat sand). Tipe
pantai merupakan terbing berbatu dengan reef flat menyatu pada dataran utama (main
land). Sedangkan tutupan terumbu karang hidup pada pola mengelompok (patchreef)
dengan luasan horizontal yang tipis pada tubir. Pada monitoring kali ini tidak
ditemukan patok 2016, selain itu kondisi perairan pasang tinggi sehingga semakin sulit
menemukan patok yang lama. Adapun patok baru yang dipasang berada pada koordinat
Latitude: -4.102402, Longitude: 122.66817 (titik biru pada Gambar 3.1.6).

25
KDRLM02, Lalowaru

Gambar 3.1.7. Distribusi sample GIS pada lokasi KDRLM 02

Lokasi monitoring lamun KRDLM02 dengan nama lokasi Desa Lalowaru berhimpitan
dengan lokasi monitoring KDRLM04 dengan nama lokasi Bungkutoko, sehingga pada
monitoring 2017 tidak dilakukan pengambilan sample dengan kode lokasi
KDRLM02.

KDRLM03, Tanjung Tiram

Gambar 3.1.8. Distribusi sample GIS pada lokasi KDRLM 03

tutupan padang lamun khususnya pada area ini tergolong rendah, tutupan tinggi
terdapat pada area mendekati tubir. Substrat dasar pada lokasi monitoring adalah
lumpur berpasir yang berasal dari tutupan mangrove yang berbatasan langsung dengan

26
tutupan lamun. Reef flat pada lokasi ini cukup luas yang didominasi oleh padang
lamun, sementara tutupan terumbu karang cukup sempit pada area disepanjang tubir.
Secara umum, pola habitat yang pada daerah ini adalah mangrove-seagrass-terumbu
karang-perairan dalam.

Latitude Longitude Kode titik 016_16 019_16 022_16


014_16
-4.03531800 122.67071600
(T1)
-4.03500900 122.67084100 015_16
-4.03461100 122.67092100 016_16 015_16 018_16 021_16
-4.03527000 122.67043800 017_16
-4.03491300 122.67030000 018_16
-4.03444400 122.67018600 019_16
-4.03541200 122.66991500 020_16 014_16 020_16
017_16
-4.03497400 122.66974900 021_16
-4.03457900 122.66969100 022_16

KDRLM04, Bungkutoko

Tutupan padang lamun pada area ini cukup luas dan berada pada pantai yang landai.
Tutupan lamun pada area ini juga berbatasan langsung dengan habitat mangrove,
sementara tutupan terumbu karang berada pada area yang sangat sempit pada tubir.
Material penyusunnya adalah lumpur berpasir kasar.

27
Latitude Longitude Kode titik 088_16 091_16 094_16
086_16
-3.98998000 122.61878600 (T1)
-3.98990600 122.61923600 087_16
-3.98984400 122.61969200 088_16
087_16 090_16 093_16
-3.98951700 122.61878400 089_16
-3.98936800 122.61922300 090_16
-3.98921400 122.61964700 091_16
-3.98906500 122.61875400 092_16 086_16 089_16 092_16
-3.98884100 122.61918400 093_16
-3.98862300 122.61955500 094_16

KDRLM05, Ato Watu

Posisi patok pada lokasi ini dapat ditemukan pada kegiatan monitoring kali ini (2017),
sehingga tidak ada perubahan posisi. Tutupan padang lamun pada area ini tergolong
tinggi dengan pola sebaran terhadap habitat lainnya adalah mangrove-padang lamun-
terumbu karang. Sementara pola sebaran padang lamun mulai dari garis pantai hingga
ke tubir membentuk pola komposisi tertentu yaitu Hi kerapatan tinggi - Th kerapatan
tinggi – Th-Cr kerapatan tinggi – terumbu karang pada tubir. Adapun substrat dasarnya
adalah lumpur berpasir kasar.

Latitude Longitude Kode titik


026-16 029_16 032_16
-3.89114200 122.63985100 024_16
-3.89072600 122.63987900 025_16
-3.89023800 122.63989100 026_16
-3.89118900 122.64029500 027_16
-3.89075000 122.64041900 028_16 025_16 028_16 031_16
-3.89030900 122.64046400 029_16
-3.89126400 122.64077200 030_16(T1)
-3.89085500 122.64083800 031_16 027_16 030_16
024_16
-3.89035300 122.64092700 032_16
KD

28
RLM06, P. Bokori

Pulau Bokori memiliki tutupan lamun yang sangat tinggi dengan variasi yang juga
cukup tinggi, terutama kelas tutupan campuran padang lamun dan algae. Pengambilan
sample pada area ini sebelumnya hanya dilakukan pada satu jalur transek dan pada kali
ini dilakukan penambahan dua transek lainnya yang merupakan transek lamun.

Latitude Longitude Kode titik


063_16 065_16 031_17
-3.94257000 122.66427900 (T1)
-3.94303600 122.66426300 064_16
-3.94345700 122.66427000 065_16
-3.94256400 122.66501400 032_17 064_16 030_17
-3.94283800 122.66539500 033_17
-3.94312100 122.66576800 034_17
-3.94279600 122.66468400 029_17
-3.94325000 122.66476800 030_17 063_16
-3.94367700 122.66489500 031_17

KDRLM07, Tapulaga

29
Kondisi perairan pada area ini sebagian besar ditutupi oleh material lumpur dan
sedimen yang terpsuspensi. Walaupun pada area ini terdapat tutupan padang lamun,
akan tetapi cukup sulit dipetakan karena kondisi perairan yang keruh. Materialnya
suspended sediment.

Latitude Longitude Kode titik


044_16 047_16 050_16
042_16
-3.94292000 122.62647900 (T1)
-3.94255300 122.62673300 043_16
-3.94222000 122.62696300 044_16
-3.94327500 122.62669300 045_16 043_16 046_16 049_16
-3.94294500 122.62698400 046_16
-3.94258400 122.62727800 047_16
-3.94367000 122.62693100 048_16 045_16
042_16 048_16
-3.94338000 122.62727300 049_16
-3.94307800 122.62762100 050_16

Hari-3 (Tinunggeu). KDRLM08

Lokasi ini merupakan lokasi tambahan. Tutupan padang lamun pada area ini tergolong
sedikit dengan tutupan dominan adalah sedimen tersuspensi. Hal tersebut berhubungan
dengan lokasi sampling yang berada pada jalur keluar-masuk kapal. Lokasi lamun tepat
berada di depan permukiman dan areanya berbatasan langsung dengan habitat
mangrove. Material penyusunnya adalah lumpur berpasir kasar.

Latitude Longitude Kode titik


104_16 106_16 109_16 130_16
-4.00237900 122.63477600 (T1)
-4.00192200 122.63481600 105_16
-4.00149100 122.63478400 106_16
-4.00233900 122.63433000 107_16 105_16 108_16 129_16
-4.00188700 122.63434800 108_16
-4.00154300 122.63434400 109_16
-4.00240200 122.63386700 128_16
104_16 107_16 128_16
-4.00194000 122.63381600 129_16
-4.00149000 122.63373500 130_16

30
3.2. Terumbu karang
3.2.1 Gambaran Umum Terumbu Karang
Terumbu karang di Kendari secara umum terdistribusi di sepanjang pesisir daratan
utama dan pulau kecil-kecil, dengan tipe terumbu tepi (fringing reef) dan gosong
karang (patch reef). Kondisi perairan yang jernih membuat karang masih dijumpai
sampai kedalaman sekitar 25 meter, namun demikian setelah itu substrat pasir. Karang
di daerah fore reefs umumnya bertipe massive, kemudian tipe campuran antara massive
dan bercabang di reef slopes dan selanjutnya karang foliose di daerah dalam. Karang-
karang yang umum ditemukan di daereah ini adalah dari family Acroporidae, Poritidae,
Faviidae, Oculinidae, Euphyillidae dan Pectinidae. Karang umumnya tumbuh sehat
namun masih ditemukan fenomena bleaching dengan persentase yang rendah. Selain
itu, adanya predator Acanthaster planci juga berpengaruh terhadap kesehatan karang
dimana banyak ditemukan partial mortality dari karang Acropora.

3.2.2 Deskripsi dan Kondisi Terumbu Stasiun Monitoring


Stasiun KDRC01
Stasiun KDRC01 berada di perairan pesisir Dusun Baho, Desa Labuan Beropa,
Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan.Kondisi pantai berbatu, berpasir dan
mempunyai vegetasi pesisir alami dan tanaman kelapa. Pengembangan lahan pesisir
tidak banyak mengalami perubahan, keberadaan perkampungan nelayan Suku Bajo
dengan model rumah panggung, masih ditemukan dan sudah ada sejak baseline
dilakukan.

Pemanfaatan lahan perairan sebagai lokasi tangkap oleh nelayan tradisional, namun
demikian masih ditemukan penggunaan bom dalam aktivitas penangkapan ikan
(terdengan ledakan bom saat penyelaman). Perairan di daerah ini agak terlindung, yaitu
nterletak pada sebuah teluk kecil, saat monitoring cuaca cerah (10.38), arus tidak terlalu
kuat, jernih dengan jarak pandang horizontal 20 meter lebih.

Tipe terumbu termasuk terumbu karang tepi (fringing reef), rataan terumbu tidak terlalu
luas, lebar sekitar 100 meter dari pantai, substrat dasar berpasir dan bongkahan
karangmati, ditemukan karang masive Porites dan karang bercabang Acropora dan
Porites. Tubir karang cukup jelas di kedalaman 4-5 meter, transek permanen berada di
lereng terumbu kedalaman 12 meter, agak curam dengan kemiringan sekitar 60o.
Umumnya, tipe karang pada stasiun ini adalah bertipe massive dan submassive yaitu
dari famili Poritidae, Euphyllidar dan Mussidae. Biota assoisiasi terumbu lain yang
ditemukan di daerah ini antara lain lili laut, sponge, karang lunak dan predator karang
Achantaster planci.

31
Gambar 3.2.2.1. Searah jarum jam: gambaran fisik Stasiun KDRC01, (a) kondisi pesisir
daratan, (b) gambaran posisi transek di tubir (c) karang submassive (d) biotal
asosiasi terumbu Achantaster planci ) 2017)

Selama tiga tahun terakhir, kondisi terumbu karang di daerah ini secara umum berada
dalam kategori“kurang baik”. Dalam hal ini, persentase tutupan karang untuk tahun
2015, 2016 dan 2017, berturut-turut sebesar 17.2%, 13% dan 14.07%. Meskipun
terdapat sedikit kenaikan persentase tutupan, pada saat pengataman masih terdengar
aktivitas pengeboman di sekitar lokasi. Lokasi stasiun yang jauh dari Kota Kendari
memungkinkan kurangnya pengawasan dalam melakukan penangkapan ikan.

Stasiun KDRC02
Stasiun KDRC01 berada di sisi barat daya Pulau Hari, Desa Labuan Beropa,
Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan. Kondisi pantai umunya berbatu terjal
namun masih ada yang tertutupi oleh pasir, vegetasi alami dicirikan dengan tumbuhan
perdu pada substrat keras bebatuan. Pemanfaatan dan pengembangan lahan di pesisir
tidak banyak mengalami perubahan, tidak berpenduduk, terdapat fasilitas wisata,
namun saat ini kondisinya tidak terkelola dengan baik. Perairan cukup terbuka, saat
monitoring cuaca cerah (jam 13.30 WITA), arus tidak terlalu kuat, jernih dengan jarak
pandang horizontal 20 meter lebih.

Terumbu karang termasuk dalam tipe terumbu karang tepi (fringing reef), rataan
terumbu tidak luas, dengan lebar sekitar 50 meter dari pantai, substrat dasar umumnya

32
berpasir dan karang hidup dari kelompok karang api Millepora dan karang bercabang
Acropora. Tubir karang cukup jelas di kedalaman 2 meter, transek permanen berada di
lereng terumbu agak curam dengan kemiringan sekitar 40-50 derajat pada kedalaman
11 meter. Kejadian pemutihan karang terlihat, namun demikian dalam persentase yang
kecil disebabkan karena adanya pemangsaan oleh bintang mahkota duri Achantaster
planci. Karang umumnya bertipe branching terutama dari famili Milleporidae dan
Acroporidae. Selain itu, karang dari famili Poritidae, Euphyllidae dan Fungiidae juga
banyak ditemukan. Sdangkan biota assoisiasi terumbu lain yang ditemukan antara lain
zooanthid, tunicata, anemon laut, spons dan Achantaster planci.

Gambar 3.2.2.2. Searah jarum jam: Gambaran fisik Stasiun KDRC02, (a) kondisi pesisir
daratan, (b) posisi transek pada tubir (c) bleaching pada karang Anacropora,
(d) biota asosiasi (A. Planci, tunicate spons)

Kondisi tutupan karang pada stasiun ini berada dalam kategori “baik” selama tiga
tahun terakhir. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengamatan persentase tutupan karang
dari tahun 2015, 2016 dan 2017, berturut-turut sebesar 58.6%, 53.7% dan 60.3%.
Meskipun persentase tutupan meningkat, daerah ini juga perlu ditingkatkan
pengawasannya, karena pada saat monitoring masih terdengar bunyi ledakan bom
disekitar lokasi. Kondisi ini dikhawatirkan akan merusak karang di stasiun
pengamatan. Meskipun lokasi ini termasuk lokasi wisata, namun berdasarkan dari
pengamatan lokasi ini sepi pengunjung, karena jaksesnya auh dari Kota Kendari dan
tidak adanya pengelolaan dari pemerintah setempat. Kenaikan tutupan karang hidup
pada lokasi ini cukup tinggi, dan kondisi ini menunjukan adanya proses pemulihan
yang berjalan lebih baik.

33
Stasiun KDRC03
Stasiun KDRC03 berada di Pesisir Desa Labutaone, Kecamatan Laonti, Kabupaten
Konawe Selatan. Pantai berpasir dan sedikit berbatu, vegatasi umumnya tumbuhan
pesisir alami berupa tumbuhan perdu dan pohon. Pemukiman penduduk agak jauh dari
stasiun monitoring, namun demikian stasiun ini merupakan lokasi tangkap ikan nelayan
lokal. Peraiaran relatif tertutup dan terlindung, karena berada dalam teluk yang cukup
besar. Pada saan pelaksanaan monitoring, cuaca cukup cerah (jam 10.27 WITA), arus
tidak terlalu kuat, jernih dengan jarak pandang horizontal lebi dari 15 meter.

Terumbu karang Stasiun KDRC03 termasuk tipe terumbu karang tepi, dengan rataan
terumbu yang tidak luas, dengan lebar sekitar 200 meter dari pantai ke arah tubir
karang, substrat dasar pasir dan patahan karang mati. Pada Stasiun KDRC03 ini
didominasi karang bercabang Acropora, tubir karang cukup jelas pada kedalaman 1
meter. Transek permenen berada di kedalaman 12 meter pada lereng terumbu dengan
kemiringan sekitar 30o sampai kedalaman 20 meter lebih. Karang umumnya
didominasi oleh bentuk submassive, branching, foliose dan free living yaitu dari famili
Euphyllidae, Poritidae, Acroporidae, Mussidae, Oculinidae dan Fungiidae.Selain itu
ditemukan juga karang Galaxeasp. yang bertipe stratified flat submassive. Biota
assoisiasi terumbu lain yang ditemukan antara lain tunicata, kima, spons dan anemon.

Gambar 3.2.2.3. Kkondisi pesisir daratan, (b) posisi trasek di lereng terumbu, (c) bentuk
pertumbuhan yang beragam, (d) stratified flat submassive Galaxea sp.

34
Kondisi terumbu karang secara umum menurun dari kategori “baik” menjadi “cukup
baik” terutama untuk dua tahun terakhir. Tutupan karang dari tahun 2015, 2016 dan
2017 berturut-turut sebesar 52.9%, 44.3% dan 39.8%. Kondisi yang terus menurun ini
perlu ada mendapat perhatian, terutama karang mati persentase “Dead Coral with
Algae” meningkat dari tahun ke tahun yaitu 44.5%, 52.1% dan 56.5%. Kematian
karang yang berubah menjadi DCA diduga akibat kondisi lingkungan yang menurun
(sedimentasi) atau karena aktifitas penangkapan menggunakan potassium dan bom.

Stasiun KDRC04
Stasiun KDRC04 berada di Pulau Wowosunggu, yang termasuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan. Pantai berpasir dan
banyak ditumbuhi oleh vegetasi pesisir, terutama pohon kelapa dan vegetasi pesisir
alami tidak begitu tinggi. Terdapat pemukiman penduduk disekitar lokasi, namun
berada pada sisi dalam dari pantai dan hanya beberapa rumah. Area perairan merupakan
lokasi tangkap ikan nelayan lokal, terlihat beberap alat tangkap sero. Selain itu, pada
tahun 2017 di daerah ini juga menjadi lokasi pembesaran kerang mutiara untuk usaha
produksi mutiara. Perairan terlindung dalam sebuah teluk cukup besar, saat monitoring
cuaca cerah berawan (jam 13.40 WITA), arus tidak terlalu kuat dan lebih dipengaruhi
oleh pasang surut, sangat jernih dengan jarak pandang horizontal lebih dari 20 meter.

a b

c d
Gambar 3.2.2.4. Gambaran fisik Stasiun KDRC04, (a) kondisi pesisir daratan, (b) posisi
transek di tubir, (c) karang branching Millepora sp. di dearah dangkal (d)
karang foliose Pachyserisspeciosa di daerah dalam.

35
Terumbu karang pada Stasiun KDRC04 adalah termasuk tipe terumbu karang tepi
(fringing reef). Rataan terumbu tidak luas, dengan lebar sekitar 50 meter dari pantai ke
arah tubir karang, substrat dasar pasir dan substrat keras dari karang mati, dominasi
karang hidup dari kelompok karang api Millepora, karang masive Porites dan karang
bercabang Acropora. Tubir karang cukup jelas pada kedalaman 1 meter, dan transek
permanen berada di lereng terumbu pada kedalaman 10 meter dengan kemiringan
sekitar 40-50 derajat. Karang yang dijumpai umumnya bertipe branching, foliose dan
submassive dan soliter free livingyaitu dari family Acroporidae, Milleopridae,
Agaricidae, Oculinidae, Poritidae danFungidae. Biota lain yang berasosiasi dengan
terumbu umumnya soft coral, sponge, crinoid dan ascidian.

Selama tiga tahun terakhir ini, kondisi terumbu karang pada stasiun ini berada dalam
kriteria “baik” Hal ini dibuktikan dengan persentase tutupan karang dari tahun 2015,
2016 dan 2017, berturut-turut mencapai sebesar 69.7%, 61.3% dan 61.8%. Kenaikan
tutupan karang hidup tersebut terjadi secara alami, yakni sebagai proses pemulihan
setelah mengalami penurunan yang diduga akibat pemutihan tahun 2016. Disamping
itu, tekanan akibat aktifitas manusia juga nampak berkurang, yang disebabkan karena
adanya pengawasan terhadap aktifitas penangkapan ikan merusak dari pihak
pembudidaya kerang mutiara.

Stasiun KDRC05
Stasiun KDRC05 berada di Pulau Lara yang berada dalam kawasan administrasi Desa
Mekarjaya, Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe Selatan.Merupakan sebuah
pulau keil lokasi wisata dan saat ini tidak berkembang dengan baik. Pantai berpasir dan
berbatu, vegetasi tanaman kelapa dan tumbuhan pesisir alami yang tidak begitu lebat.
Pulau tidak berpenduduk, daerah wisata dan lokasi tangkap nelayan lokal. Perairan
dalam sebuah teluk cukup besar, lebih tertutup dan terlindung, cuaca saat monitoring
cerah berawan (jam 09.26 WITA), jernih pandang horizontal 15 meter lebih.

Tipe terumbu Stasiun KDRC05 termasuk karang tepi (fringing reef), dengan rataan
terumbu tidak begitu luas dengan lebar sekitar 50 meter dari pantai ke arah tubir
karang, substrat dasar pasir dan bongkahan dan patahan karang mati, ditemukan karang
masive Porites dan Faviid, karang bercabang Porites dan Acropora. Tubir karang
cukup jelas di kedalaman 1 meter, lereng terumbu agak curam dengan kemiringan
sekitar 50 derajat, transek permanen berada di kedalaman 7-8 meter . Karang umumnya
bertipe massive, submassive dan bercabang terutam dari family Acroporidae,
Pocilloporidae, Euphyllidae dan Poritidae. Biota asosisi terumbu lainnya ditemukan
dari kelompok sponge, soft coral, ascidian dan bambu laut Isis sp

Secara umum, kondisi terumbu karang menurun dari kategori “baik” menjadi “cukup
baik” terutama pada tahun 2017. Dalam hal ini, persentase tutupan karang hidup
menurun tiap tahunnya dari 2015, 2016 dan 2017, yaitu sebesar 61.7%, 53.1% dan
48.9%. Menurunnya kondisi yang drastis ini sangat menkhawatirkan mengingat lokasi
ini adalah lokasi wisata bahari namun mempunyai pengelolaan dan pengawasan yang
rendah. Hasil pengamatan lapangan tahun 2016 dan 2017 diduga lokasi ini termasuk
daerah tangkap ikan dengan menggunakan bom dan penambangan pasir dan batu
karang. Hal lain lokasi ini menunjukan belum terjadi pemulihan setelah penurunan
tutupan karang hidup ditahun 2016.
36
Gambar 3.2.2.5. Gambaran fisik Stasiun KDRC05, (a) kondisi pesisir daratan, (b) posisi
transek di tubir, (c) morfologi pertumbuhan karang, (d) Dominasi Porites lobata
di daerah dangkal.

Stasiun KDRL06
Stasiun KDRC06 berada di Tanjung Tiram yang berada pada kawasan administratif
Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan. Pesisir daratan utama dengan
pemukiman penduduk yang jarang, daerah perairan merupakan lokasi tangkap nelayan
lokal dan terdapat beberapa alat tangkap sero dan alat tangkap pancing . Perairan agak
terbuka, cuaca saat monitoring cerah berawan (jam 12.12 WITA), arus tidak terlalu
kuat, jernih dengan jarak pandang horizotal10 meter lebih.

Tipe terumbu karang Stasiun KDRC termasuk karang tepi (fringing reef) kombinasi
gosong terumbu (patcf reef), rataan cukup luas dengan lebar sekitar 500 meter lebih
dari pantai , substratdasar pasir dan bongahan karang mati dan karang hidup masive
Porites serta soft coral Sinularia dan Sarcophyton), tubir karang cukup jelas di
kedalaman 2 meter. Transek berada pada kedalaman 12 meter di lereng terumbu
dengan kemiringan sekitar 50o. Komposisi karang cukup beragam mulai dari branching,
massive, submassive dan foliose yaitu dari familikarang Acroporidae, Poritidae,
Agaricidae, Mussidae, Faviidae, Funggidae dan Euphylidae. Biota lain yang berasosiasi
dengn terumbu antara lain lili laut, tunicata, spons, anemon laut, kipas laut, karang
lunak,A. planci serta biota laut dilindungi seperti kima.

37
Kondisi terumbu karang secara umum berada dalam kategori “kurang baik” selama
tiga tahun terakhir. Persentase tutupan karang dari tahun 2015, 2016, dan 2017 yaitu
sebesar 23.4%, 20.93% dan 23.1%. Dinamika naik dan turunnya persentase tutupan
karang masih dalam kategori normal, dalam hal ini karang mungkin mengalami
temporary blip. Sama dengan beberapa stasiun lainnya, Stasiun KDRC06 memberikan
indikasi adanya proses pemulihan setelah mengalami penurunan tutupan karang hidup
ditahun sebelumnya.

Gambar 3.2.2.6. Gambaran fisik Stasiun KDRC06, (a) kondisi pesisir daratan, (b) posisi
transek di tubir, (c) bentuk bentuk pertumbuhan yang beragam (d) koloni
koloni karang lunak

Stasiun KDRC07
Stasiun KDRC07 berada di kawasan administratif Desa Atowatu, Kecamatan Soropia,
Kabupaten Konawe. Pantai dengan vegetasi mangrove, dengan substrat sedikit berpasir,
terlihat masih alami dan cukup lebat. Tidak terdapat pemukiman penduduk disekitar
lokasi, wilayah perairan merupakan lintasan pelayaran ke desa-desa pesisir dan lokasi
tangkap nelayan lokal. Perairan sangat terbuka dan berhadapan langsung dengan laut
dalam perairan Banda, saat monitoring cuaca cerah, sangat kuat bertepatan dengan air
bergerak pasang, jernih dengn jarak pandang horiontal mencapai 20 meter lebih.

Terumbu Karang Stasiun KDRC07 adalah tipe karang tepi (fringing reef), dengan
rataan cukup luas dengan lebar sekitar 700 meter dari pantai ke arah tubir karang,
substrat dasar pasir dan patahan karang mati dan ditemukan karang bercabang
38
Acropora, karang masive Porites dan Faviid. Transek permanen berada pada kedalaman
12 meter, tubir karang cukup jelas kedalaman 3 meter, lereng terumbu agak curam
dengan kemiringan sekitar 60o. Karang umumnya bertipe massive, submassive dan
branching yaitu dari famili Acroporidea, Pocilloporidae, Poritidae, Faviidae dan
Mussidae. Biota lain yang berasosiasi dengan terumbu antara lain lili laut, tunicata,
spons, karang lunak serta biota laut dilindungi seperti kima.

Gambar 3.2.2.7. Gambaran fisik Stasiun KDRC07, (a) kondisi pesisir daratan, (b) posisi
transek di tubir, (c) dominasi karang Acropora sp.(d) salah satu jenis

Kondisi terumbu karang secara umum berada dalam kategori “cukup baik” terutama
dalam waktu satu tahun terakhir. Tutupan karang hidup terlihat bervariasi dari tahun
2015, 2016 dan 2017 yaitu 27.6%, 24.1% dan 27%. Kondisi ini terbilang fluktuatif
namun masih normal dan bisa dikategorikan bahwa terumbu karang mungkin
mengalami temporary blip yaitu keadaan dimana kondisi menurun untuk waktu sesaat
dan kemudian kembali ke keadaan semula. Hal ini menunjukan bahwa lingkungan
perairan cukup mendukung terhadap perkembangan karang hidup, terutama mendukung
pemulihan kembali setelah mengalami penurunan kondisinya. Perairan laut dalam
dalam Banda dan posisinya dekat tanjungan menyebabkan massa air di sekitar stasiun
ini lebih dinamis, disamping itu lokasinya jauh dari pemukiman masyarakat akan
mengurang tekanan terhadap terumbunya.

Stasiun KDRC08
Stasiun KDRC08 berada di perairan sebelah timur Pulau Bokori yang masuk dalam
kawasan administratif Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Pantai
sedikit berpasir dengan vegetasi tanaman darat yang lebat. Pulau kecil tidak
39
berpenduduk, namun dikelola oleh pemerintah daerah sebagai lokasi wisata bahari.
Periaran cukup terbuka, cuaca saat monitoring cerah (jam 14.20 WITA), arus tidak
terlalu kuat dipengaruhi oleh pasang dan surut, agak keruh dengan jarak pandang
horizontal 10 meter.

Stasiun KDRC08 memiliki tipe karang tepi (fringing reef) dengan rataan terumbu
cukup luas dengan lebar sekitar 700 meter dari pantai ke arah tubir karang, rataan
terumbu di belakang tubir didominas oleh karang bercabang Acropora, tubir karang
cukup jelas di kedalaman 1 meter. Transek berada pada kedalaman 12 meter di daerah
tubir, lereng terumbu landai dengan sudut kemiringan sekitar 45o sampai kedalaman 15
meter daerah berpasir. Karang umumnya bertipe branching (Acroporidae), submassive
(Oculinidae, Mussidae, Euphyllidae) dan foliose (Agariciidae). Pada kedalaman 15
meter, ditemukan adanya rak-rak trasplantasi karang yang kebanyakan dari family
Euphyllidae. Biota asosiasi terutama A. planci ditemukan sangat banyak dan
menimbulkan banyak partial mortality dari karang Acropora. Biota asosiasi terumbu
lainnya yang ditemukan antara lain soft coral, ascidian sponge dan anemon laut.

Gambar 3.2.2.8. Gambaran fisik Stasiun KDRC08, (a) kondisi pesisir daratan, (b) posisi
transek di tubir, (c) serangan A. plancipada karang Acropora, (d) rak rak
transplantasi

Secara umum, kondisi terumbu karang di stasiun ini berada dalam kategori “baik”
selama tiga tahun terakhir. Persentase tutupan dari tahun 2015, 2016 dan 2017 yaitu
berkisar 60.5%, 52.2% dan 56.8%. Meskipun dalam kondisi “baik”, hadirnya predator
karang yaitu A. planci harus diwaspadai, karena ditemukan partial mortality pada
karang meja dan bercabang. Kejadian ini ditemukan biotatersebut cukup banyak,
40
namun hanya di bagian terumbu yang dangkal atau kedalaman kurang dari 10 meter.
Selain itu, adanya kegiatan transplantasi juga perlu diperhatikan supaya tidak
mengambil karang dari terumbu sebelahnya untuk tidak langsung dijual tanpa
dipropagasi.

Stasiun KDRC09
Stasiun KDRC09 berada di gosong karang (patch reef) Pasir Jambe dalam administratif
Kelurahan Tondonggeu, Kecamatan Poasia, Kota Kendari. Lokasi tangkap nelayan
lokal, ditemukan alat tangkap sero persis dekat dengan posisi transek sudah terlihat
sejak monitoring tahun 2016, namun belum ada saat baseline tahun 2015. Perairan
relatif terbuka, cuaca cerah berawan (jam 14.22 WITA), arus tidak terlalu kuat,
dipengaruhi pasang surut, keruh dengan jarak pandang horizontal kurang dari 10 meter,

Stasiun KDRC09 merupakan tipe gosong karang (patch reef) dengan puncak pada
kedalaman sekitar 3-4 meter. Rataan terumbu berpasir dan patahan karang mati, sedikit
karang lunak dan karang keras, tubir karang cukup jelas di kedalaman 4-5 meter.
Transek permanen berada pada kedalaman sekitar 12-15 meter di daerah lereng
terumbudengan kemiringan sekitar 30o. Karang umumnya bertipe submassive
(Oculinidae, Mussidae dan Pocilloporidae), massive (Poritidae, Faviidae), foliose
(Agariciidae) dan soliter free living(Fungidae). Biota asosiasi yang paling umum adalah
turf algae yang banyak menutupi karang-karang mati, biota lainnya sponge, makro
algae dan lobster juga ditemukan di stasiun ini.

Gambar 3.2.2.9. Gambaran fisik Stasiun KDRC09, (a) kondisi stasiun, (b) posisi transek
di tubir, (c) bentuk bentuk pertumbuhan yang ada di lokasi, (d) Turf algae
menutupi karang mati

41
Kondisi terumbu karang secara umum dalam kategori “cukup baik” selama tiga tahun
terakhir. Dalam hal ini persentase tutupan karang dari tahun 2015, 2016 dan 2017 yaitu
berkisar 42.1%, 40% dan 36.3%. Meskipun dalam kategori “cukup baik”, persentase
tutupan karang selalu menurun setiap tahun. Hal ini diduga akibat menurunnya kondisi
lingkungan yaitu kecerahan dimana jarak pandang horizontal kurang dari 10 meter.
Adanya sero dan keramba disekitar lokasi juga diduga menyumbang nutrient-nutrient
organik yang menyebabkan suburnya alga sehingga persentase dari DCA naik setiap
tahun dari 2015, 2016 dan 2017 yaitu sebesar 40.4%, 47.1% dan 50.4%. Stasiun
KDRC09 berada paling dekat dengan daratan utama dan berada persis di depan mulut
teluk Kendari, sehingga aliran sungai yang bermuara ke dalam teluk kaya nutrien dan
sedimen akan lebih terdampak terhadap terumbu di stasiun ini. Jarak yang lebih dekat
dengan kota Kendari dan pemukiman nelayan di sepanjang pesisir daratan utama
menyebabkan akses ke lokasi ini tinggi sehingga memberikan tekanan terhadap
terumbu karangnya.

3. 2.3. Kondisi Terumbu Karang


Secara umum, kondisi terumbu karang di Kendari dalam kategori “cukup baik” selama
tiga tahun terakhir. Dalam hal ini, rata-rata tutupan karang tidak berbeda nyata tiap
tahunnya (F2, 24 = 0.196; p value = 0.82) yaitu dari tahun 2015, 2016 dan 2017 sebesar
45.97%, 40.29% dan 40.88%. Meskipun tidak berbeda secara significant, kondisi
tutupan karang 2 dua tahun terakhir lebih rendah daripada tahun pertama monitoring.
Aktitifitas wisata bahari di beberapa lokasi, seperti Pulau Bokori dan Pulau Hari
Penurunan kondisi terumbu karang tahun 2016 sejalan dengan kejadian pemutihan
karang secara global dan nasional (Pramudji et al 2016), sehingga besar kemungkinan
penurunan tersebut dipengaruhi oleh kejadian pemutihan ini.Kenaikan tutupan karang
hidup tahun 2017, memberikan indikasi adanya pemulihan, walaupun masih terlihat
adanya kejadian pemutihan dalam luasan terbatas yang disebabkan oleh serangan
predator alami Achantaster planci dan serangannya masih bersifat lokal dalam luasan
yang terbatas. Untuk masa mendatang, populasi Achantaster tersebut perlu dipantau
dan diwaspadai, sehubungan dengan ketersedian makanan alami karang hidup masih
tinggi. Disamping itu, ditemukan ukuranAchantasterplanci yang relatif bervariasi
menandakan proses reproduksinya terus berlangsung sehingga periode generasi mereka
masih panjang. Tekanan lain terhadap terumbu karang terlihat akibat aktifitas
pengembangan di sepanjang pesisir kota Kendari, antara lain pembukaan lahan untuk
jalan lingkar, pelabuhan dan dermaga serta dapat memberikan tekanan terhadap
terumbu karang, jika wisata massal (mass tourism) terjadi.

Kondisi yang sama (tidak berbeda nyata antara tahun monitoring) juga terjadi pada
semua benthic dan substrate kategori (p value > 0.05) , yaitu DC, DCA, SC, SP, OT, R,
S dan Si. Hal ini menandakan bahwa selama tiga tahun terakhir tidak terjadi perubahan
yang nyata terhadap komunitas benthos yang ada pada ekosistem terumbu karang. Hal
ini memberikan penjelasan bahwa komunitas benthos terumbu dalam kondisi yang
lebih stabil, walaupun ada faktor yang mempengaruhi namun bersifat lokal dan tidak
terlalu memberikan dampak syang signifikan. Secara umum lokasi monitoring adalah
kawasan perairan yang masih alami dan tidak banyak mengalami perubahan selama
monitoring dilakukan. Namun beberap hal menjadi faktor penyebab kerusakan seperti
penggunaan bom dan kecenderungan wisata massal perlu ditata, agar perubahan ini
tidak mengarah pada penurunn kondisi terumbu karang di masa yang akan datang.

42
60

50

46.0
2015 2016 2017
Percent cover %

41.4
41.1
40.9
40 40.3

34.3
30

20

10

6.7
6.7

6.4
5.6
5.6
5.1
3.6
2.6
2.6

2.2
1.8
1.7

1.6

1.4
1.1
0.5
0.4
0.4

0.1
0.1
0.0
0.0
0.0
0.0

0.0
0.0
0.0
0
HC DC DCA SC SP FS OT R S Si RK
Category

Gambar 3.2.3.1. Persentase tutupan masing-masing kategori selama 3 tahun monitoring.


(HC : karang keras; DC : karang mati; DCA : karang mati tertutupi alga; SC :
Karang lunak; SP : Spons; FS : makro alga; OT : Others; R : patahan karang; S :
pasir; Si : Lumpur; RK : Batu.

Hasil analisis nMDS menujukkan bahwa tidak banyak terjadi perubahan komposisi
benthic untuk semua stasiun selama tiga tahun pengamatan. Secara umum, tedapat tiga
kluster utama yang membedakan kondisi terumbu karang. Dalam hal ini, Stasiun
KDRC01 dan KDRC06 berada dalam kluster yang sama yang mempunyai karakter
patahan karang mati dan pasir. Sedangkan Stasiun KDRC05, KDRC07, KDRC08, dan
KDRC09 berada dalam satu kluster yang sama yang mempunyai karakter campuran,
namun yang dominan adalah hard corals, soft corals dan DCA. Sedangkan Stasiun
KDRC02, KDRC03, dan KDRC04 berada dalam satu kluster tersenderi dengan
karakter utamanya adalah hard corals.

Kemiripan kondisikomunitas bentik terumbu dan substrat dasar perairan antar stasiun
dalam suatu lokasi dapat dipengaruhioleh jarak antar stasiun, kondisi lingkungan
perairan dan tekanan baik secara alami maupun oleh aktifitas manusia. Bentik
terumbu yang didominasi oleh dasar berpasir dan patahan karang mati seperti pada
Stasiun KDRC01 dan KDRC06 dapat disebabkan oleh kondisi alaminya, namun dapat
juga disebabkn oleh aktifitas penambangan pasir dan batu karang serta penggunaan
bom. Lokasi terpencil dengan keterbatasan bahan bangunan dan pertimbangan yang
lebih ekonomis sering memanfaatkan pasir laut dan batua karang sebagai bahan
bangunan dan untuk aktifitas pengembangan lainnya.

43
Standardise Samples by Total
Transform: Log(X+1)
Resemblance: S17 Bray-Curtis similarity

2D Stress: 0,09 Similarity


80
YearSite
15St1 16St1 17St1
15St2 16St2 17St2
15St3 16St3 17St3
DCA 15St4 16St4 17St4
RS 15St5 16St5 17St5
15St6 16St6 17St6
15St7 16St7 17St7
FS
15St8 16St8 17St8
SI
15St9 16St9 17St9
SP HC

DC

SC OT

Gambar 3.2.3.2. Hasil analisis nMDS komposisi benthic masing-masing stasiun selama 3
tahun monitoring.

Stasiun KDRC05 dan KDRC07 memiliki komonitas bentik agak berbeda walaupun
berada dalam kluster yang sama. Stasiun KDRC07 lebih dicirikan oleh komunitas
bentik dari kelompok soft coral dan sponge, sedangkan Stasiun KDRC05 didominasi
oleh tutupan karang hidup. Jarak antara Stasiun KDRC07 dan KDRC05 relatif lebih
jauh dibanding dengan jarak antar stasiun lainnya dan kondisi lingkungan yang berbeda
diduga menjadi faktor penyebab. Perairan Stasiun KDRC07 lebih terbuka dengan arus
cukup kuat sehingga soft coral lebih berkembang, sedangkan sponge dapat berkembang
dengan baik disebabkan oleh arus dengan nutrien sebagai sumber makanan

Komunitas bentik terumbu di stasiun-stasiun yangtersebar dibagian selatan lokasi


monitoring lebih didominasi oleh komunitas karang hidup terutama pada Stasiun
KDRC02, KDRC03 dan KDRC04. Stasiun monitoring yang berada di bagian selatan
tersebut berada dalam sebuah teluk yang cukup besar dengan kondisi perairan relatif
tertutup dan terlindung serta kondisinya masih alami. Stasiun-stasiun ini juga berada
paling jauh dari pusat kota Kendari dibanding stasiun lainnya. Kondisi alami serta
minimnya tekanan lingkungan yang berasal dari pengembangan wilayah pesisir dan
aktifitas manusia ini diduga tutupan karang hidupnya tetap terjaga dan tidak terlalu
mengalami perubahan dalam dua tahun terakhir pengamatan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil monitoring kondisi kesehatan terumbu karang dan ekosietem terkait
di kawasan peraiaran Kendari dan sekitarnya tahun 2017, maka sementara dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

44
1. Setalah dua tahun dari baseline (2015), terumbu karang dalam kondisi kurang baik
sampai baik, namun secara umum kondisinya cukup baik
2. Terjadi peningkatan tutupan karang hidup di beberapa stasiun sebagai indikasi
terjadi pemulihan setelah semua stasiun mengalami penurunan tutupan karang
hidup pada tahun 2016.
3. Pemutihan karang terjadi di beberapa stasiun akibat serangan predator bintang
mahkota duri Achantastre planci
4. Aktifitas penangkapan ikan dengan bom masih ada, bentuk ancaman lainnya
terhadap terumbu karang adalah wisata dan sedimentasi baik secara almai ataupun
oleh pengembangan di sepanjang pesisir teluk Kendari dan sekitarnya

45
3.3. Padang Lamun (seagrass)
3.3.1. Jenis dan Sebaran Seagrass
Berdasarkan Tabel 3.3.1 menunjukkan bahwa selama pengamatan tercatat delapan jenis
lamun yang teridentifikasi pada lokasi pengamatan yaitu : Halodule pinifolia,
Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolim,
Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis. Pada Tabel 3.3.1
tersebut terlihat distribusi lamun dari masing-masing stasiun bertipe campuran, yaitu
ditemukan lebih dari satu jenis lamun. Berdasarkan Tabel 3.3.2, ada dua jenis lamun
yang selalu ditemukan pada setiap stasiun, yaitu Enhalus acoroides dan Thahassia
hemprichii. Secara umum substrat dari setiap stasiun adalah pasir (Tabel 3.3.1).

Tabel 3.3.1. Lokasi Pengambilan Sampel Lamun di Perairan KKPD Kendari, April 2017.

No.Sta. Stasiun Posisi Deskripsi substrat


y_proj x_proj

KDRS01 Pulau Lara 9546552.65 463153.64 Pasir

KDRS03 Tanjung Tiram 9553961.33 463448.97 Lumpur, Pasir

KDRS04 Bungkutoko 9558970.38 457682.24 Lumpur, Pasir

KDRS05 Tapulaga 9564172.67 458533.89 Lumpur, Pasir

KDRS06 Pulau Bokori 9564213.15 462730.26 Pasir

KDRS07 Atuwatu 9569896.73 460015.94 Lumpur, Pasir

KDRS08 Tinungge 9557600.63 459457.89 Lumpur, Pasir

Tabel 3.3.2. Keragaman jenis lamun di perairan KKPD Kendari, April 2017 (Klasifikasi
Phillips & Menez 1988; Kuo & Comb 1989; Den Hartog & Kuo 2006).
LOKASI
J E N I S
1 2 3 4 5 6 7 8

I. SUKU: CYMODOCEACEAE
1. Halodule pinifolia + - - - + - - -
2. Halodule uninervis - - + - - -
3. Cymodocea rotundata + + + + + + + +
4. Cymodocea serrulata + - + - + - - -
5. Syringodium isoetifolium - - - - + - - -

II.SUKU: HYDROCHARITACEAE
6. Enhalus acoroides + + + + + + + +
7. Thalassia hemprichii + + + + + + + +
8. Halophila ovalis + + - + + + + +

Jumlah Jenis. 6 4 4 4 8 4 + 4
Keterangan: 1. Pulau Lara (KDRCLM01) 5. Ato Watu (KDRCLM05)
+ = ada 2. Lalowaru (KDRCLCM02) 6. Pulau Bokori (KDRCLM06)
- = tidak ada 3. Tanjung Tiram (KDRCLM03) 7. Tapulaga (KDRCLM07)
4. Bungkutoko (KDRCLM04) 8. Tinunggeu (KDRCLM08)
46
1. Stasiun Pulau Lara (KDRS01)
Pada lokasi Pulau Lara (Gambar 3.3.1) yang berada di pesisir selatan Teluk Kendari
dengan posisi 9546552.65 dan 463153.64, tercatat enam jenis lamun yaitu Halodule
pinifolia, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Thahassia
hemprichii dan Halophila ovalis, sedangkan pada pengamatan di garis transek hanya
tiga jenis yang tercatat dalam bingkai (frame), yaitu: Cymodocea rotundata, Enhalus
acoroides dan Thahassia hemprichii. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata tutupan
lamunnya adalah 15,97% yang didominasi oleh Enhalus acoroides dengan substrat
pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah jarang (0-25%), sedangkan kondisi
padang lamunnya adalah miskin (< 29,9%).

Gambar 3.3.1. Lokasi Pulau Lara (KDRS01) (kiri), tipe campuran Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii (kanan).

2. Stasiun Tanjung Tiram (KDRS03)


Lokasi Tanjung Tiram (Gambar 3.3.2) pada posisi 9553961.33 dan 463448.97, tercatat
tercatat empat jenis lamun (mixed vegetation) yaitu, Cymodocea rotundata, C.
serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Hasil pengamatan
menunjukkan rata-rata tutupan lamunnya adalah 6,80% yang didominasi oleh Enhalus
acoroides dengan substrat lumpur dan pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya
adalah jarang (0-25%), sedangkan kondisi padang lamunnya adalah miskin (<
29,9%)

Gambar 3.3.2. Lokasi Tanjung Tiram (KDRS03) (kiri) dan Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii (kanan).
47
3. Stasiun Bungkutoko (KDRS04)
Lokasi Bungkutoko (Gambar 3.3.3) pada posisi 9558970.38 dan 457682.24, tercatat
empat jenis lamun (mixed vegetation) yaitu, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata
tutupan lamunnya adalah 17,08% yang didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan
substrat lumpur dan pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah jarang (0-25%),
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah miskin (< 29,9%).

Gambar 3.3.3. Lokasi Bungkutoko (KDRS04) (kiri), padang lamun Thalassi hemprichii
(kanan).

4. Stasiun Tapulaga (KDRS05)


Lokasi Tapulaga (Gambar 6) pada posisi Lat. 9564172.67 dan 458533.89, tercatat
empat jenis lamun (mixed vegetation) yaitu, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides,
Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 2). Hasil pengamatan menunjukkan
tutupan lamun 18,95% yang didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii dengan
substrat lumpur dan pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah jarang (0-25%),
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah miskin (< 29,9%).

Gambar 3.3.4. Lokasi Tapulaga (KDRS07) (kiri) dengan padang Thalassia hemprichi
(kanan).

5. Stasiun Pulau Bokori (KDRS06)


Lokasi Pulau Bukori (Gambar 3.3.5) pada posisi 9564213.15 dan 462730.26, tercatat
empat jenis lamun (mixed vegetation) yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides,
48
Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 2), sedangkan pada pengamatan di
garis transek hanya dua jenis yang tercatat dalam bingkai (frame), yaitu: Enhalus
acoroides dan Thahassia hemprichii. Hasil pengamatan menunjukkan tutupan lamun
48,96% dengan substrat pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah cukup padat
(26-50%) dan kondisi padang lamunnya adalah kurang kaya/kurang sehat (30-59%).

Gambar 3.3.5. Lokasi Pulau Bokori (KDRS06) (kiri) padang lamun campuran Thalassia
hemprichii dan Enhalus acoroides (kanan).

6. Stasiun Atowatu (KDRS07)


Lokasi Atowatu (Gambar 3.3.6) pada posisi 9569896.73 dan 460015.94, tercatat
delapan jenis lamun (mixed vegetation) yaitu Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis, sedangkan pada pengamatan di
garis transek hanya tujuh jenis yang tercatat dalam bingkai (frame), yaitu Halodule
pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata,
Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila
ovalis. Pada lokasi Ato Watu tercatat keragaman jenis yang paling tinggi diantara
semua stasiun, yaitu delapan jenis. Hasil pengamatan menunjukkan tutupan lamun
60,04% dengan substrat lumpur dan pasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah
padat (51-75%) dan kondisi padang lamunnya adalah kaya/sehat (> 60%).

Gambar 3.3.6. Lokasi Ato Watu (KDRS05) (kiri) dengan padang Thalassia hemprichii
dan Enhalus acoroides dengan patok pemantauan (kanan).

49
7. Stasiun Tinunggeu (KDRS08)
Lokasi Tenunggeu (Gambar 3.3.7) pada posisi 9557600.63 dan 459457.89, tercatat
empat jenis lamun (mixed vegetation) yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea
serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis, sedangkan
pada pengamatan di garis transek hanya tiga jenis yang tercatat dalam bingkai (frame),
yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, dan Thalassia hemprichii. Hasil
pengamatan menunjukkan tutupan lamun 17,34% dengan substrat lumpur dan pasir.
Hal ini berarti kategori tutupannya adalah jarang (0-25%), sedangkan kondisi padang
lamunnya adalah miskin (< 29,9%).

Gambar 3.3.7. Lokasi Tinunggeu (KDRS09) (kiri) dengan padang Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii (kanan).

Tabel 3.3.3. Tutupan dan dominansi jenis lamun di peraiaran KKPD Kendari
pada setiap stasiun pengamatan tahun 2017

Stasiun Tutupan (%) Dominansi

1. Pulau Lara (KDRS01) 15,97 Enhalus acoroides


2. Tanjung Tiram (KDRS03) 6,80 Enhalus acoroides
3. Bungkutoko (KDRS04) 17.08 Thalassia hemprichii
4. Tapulaga (KDRS05) 18,95 Thalassia hemprichii
5. Pulau Bokori (KDRS06) 48,96 Thalassia hemprichii
6. Atu Watu (KDRS07) 60,04 Thalassia hemprichii
7. Tinunggeu (KDRS08) 17,34 Thalassia hemprichii

Stasiun Penelitian:
Pada pemilihan/penentuan Stasiun Pengamatan di tahun 2015 (t0) (Lampiran 1) telah
ditentukan 7 (tujuh) stasiun yaitu: 1. Pulau Lara (KDRS01), 2. Lalowaru (KDRS02), 3.
Tanjung Tiram (KDRS03), 4. Bungkutoko (KDRS04), 5. Tapulaga (KDRS05), 6. Pulau
Bukori (KDRS06) dan 7. Atuwatu (KDRS07). Pada pemanatauan tahun 2016 (t1),
setelah diverifikasi ternyata Stasiun Lalowaru dan Tanjung Tiram berhimpitan, maka
ditambahkan 2 (dua) stasiun yaitu Stasiun Lalowaru yang diperbaharui lokasinya dan
Stasiun Tinunggeu.

50
Pada pemantauan tahun 2016 ada delapan stasiun yaitu: 1. Pulau Lara (KDRS01), 2.
Lalowaru (KDRS02), 3. Tanjung Tiram (KDRS03), 4. Bungkutoko (KDRS04), 5.
Tapulaga (KDRS05), 6. Pulau Bukori (KDRS06), 7. Atuwatu (KDRS07) dan 8.
Tinunggeu (KDRS08) (Lampiran 2).
Selanjutnya pada pemantauan tahun 2017 ini, ternyata Stasiun Lalowaru (KDRS02)
berhimpitan dengan Stasiun Bungkutoko (KDRS04). Untuk itu, pemantauan pada tahun
2017 hanya dilakukan pada tujuh stasiun yaitu: 1. Pulau Lara (KDRS01), 2. Tanjung
Tiram (KDRS03), 3. Bungkutoko (KDRS04), 4. Tapulaga (KDRS05), 5. Pulau Bukori
(KDRS06), 6. Atuwatu (KDRS07) dan 7. Tinunggeu (KDRS08) (Tabel 3.3.1)

3.3.2. Keragaman dan dominansi jenis lamun:


Pengamatan terhadap keragaman jenis lamun pada tujuh stasiun di tahun 2015, tahun
2016 dan tahun 2017 adalah sama, baik komposisinya maupun distribusinya pada setiap
stasiun, yaitu : 1. Pulau Lara (KDRS01), ada enam jenis lamun (Halodule pinifolia,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii
dan Halophila ovalis), 2. Tanjung Tiram (KDRS03), emapat jenis lamun (Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii), 3. Bungkutoko
(KDRS04), empat jenis lamun (Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii dan Halophila ovalis), 4. Tapulaga (KDRS05), ada empat jenis lamun
(Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila
ovalis), 5. Pulau Bukori (KDRS06), empat jenis lamun (Cymodocea rotundata, Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis), 6. Atuwatu (KDRS07), ada
delapan jenis lamun (Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii dan Halophila ovalis) dan 7. Tinunggeu (KDRS08), ada empat jenis lamun
(Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis)

Jenis lamun yang mendominansi setiap stasiun yaitu; Enhalus acoroides untuk Stasiun
Pulau Lara (KDRS01) dan Stasiun Tanjung Tiram (KDRS03), sedangkan jenis
Thalassia hemprichii mendominasi stasiun-stasiun: Bungkutoko (KDRS04),
Tapulaga (KDRS05), Pulau Bukori (KDRS06), Atuwatu (KDRS07) dan Tinunggeu
(KDRS08) (Tabel 3.3.3).

3.3.3. Tutupan lamun:


Hasil pemantauan tutupan lamun (cover) pada tahun 2017 (t2) (Tabel 3.3.3), secara
umum terjadi penurunan, jika dibandingkan dengan tutupan lamun tahun 2015
(Lampiran 5 dan tutupan lamun tahun 2016 (Lampiran 6). Penurunan tutupan lamun
tahun 2017, diperkirakan karena adanya penimbunan (reklamasi) dan tingginya
kedalaman air pada saat pengambilan data (transek) di lapangan. Dari tujuh stasiun
pemantauan, hanya pada Stasiun Tinunggeu (KDRS08) yang mengalami kenaikan, tapi
kenaikannya tidak begitu tinggi, sekitar 4%. (Gambar 10).

Dari Tabel 3.3.2, Lampiran 5, Lampiran 6 dan Gambar 3.3.8 menunjukkan bahwa
walaupun terjadi penurunan pada pengamatan tahun 2017, tetapi masih dalam batas
klasifikasi, baik dari kategori tutupan lamun, maupun dari kondisi tutupan lamun.

51
90.00%

81.43%
80.00%

71.38%
70.00%
67.23% 2015
60.04% 2016
60.00%
2017

50.00%

48.96%
40.00%

32.77% 32.77%

30.00% 27.46%
26.29%

20.91%
18.75% 18.88% 19.24%
18.95%
20.00% 17.34%
14.96%
13.06%

10.00% 6.80% 17.08%


15.97%

0.00%
Pulau Lara Tanjung Bungkutoko Tapulaga Pulau Bokori Atu Watu Tinunggeu
(KDRLM01) Tiram (KDRLM04) (KDRLM05) (KDRLM06) (KDRLM07) (KDRCLM08)
(KDRLM03)

Gambar 3.3.8. Histogram persentase tutupan pada setiap stasiun pemantauan tahun
2015, 2016 dan 2017

Secara keseluruhan di KKPD Perairan Kendari pada pengamatan tahun 2017, tutupan
lamun untuk tujuh Stasiun rata-rata 26,45+10,17 %. Dominasi jenis dari masing-masing
stasiun bervariasi. Stasiun KDRS01 dan KDRS03 dan KDRS08 didominasi oleh jenis
Enhalus acoroides,sedangkan Stasiun KDRS03, KDRS04, KDRS05, KDRS06 dan
KDRS07 didominasi oleh jenis Thalassia hemprichii. Jenis Cymodocea rotundata,
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ditemukan merata di semua stasiun
pengamatan.

52
Berdasarkan hasil tersebut di atas dapat dikatakan bahwa padang lamun di perairan
KKPD Kendari termasuk dalam kategori cukup padat (Rahmawati dkk., 2015) dengan
kondisi lamunnya masih miskin (KMLH, 2004).

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian tentang keberadaaa padang lamun di perairan Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKPD) Kendari pada t5ahun 2017 dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Keragaman (diversitas) jenis lamun di perairan KKPD Kendari pada tahun 2017
masih sama dengan tahun 2015 (t0) dan 2016 (t1), tercatat ada delapan jenis yaitu;
Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan Halophila
ovalis. Sedangkan komposisi dan distribusi jenis lamun dari masing-masing stasiun
pengamatan bervariasi yang didominasi oleh jenis Enhalus acoriides dan
Thalassia hemprichii.
2. Tutupan lamun di perairan KKPD Kendari tahun 2017 adalah 26,45+10,17% yang
berarti kategori tutupan padang lamunnya adalah cukup padat (26-50%), tetapi
kondisi tutupannya adalah miskin (<29,9%). Tutupan lamun tersebut terjadi
penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2015 (35, 88+13,62%) dan tahun 2016
(30,38+12,29%). Penurunan ini, kemungkinan disebabkan adanya penimbunan
(reklamasi) pesisir pantai, khsususnya dipesisir selatan Kendari. Di samping itu,
pengambilan data pada saat pasang (ketinggian air antara 0,5-2m), sehingga adanya
penurunan tingkat akurasi data pada saat pamantauan, dibandingkan dengan tahun
2015 dan 2016 yang pengambilan datanya pada surut terendah sehingga padang
lamun yang dipantau dengan kedalaman air 0cm.

53
3.4. Mangrove
3.4.1. Gambaran umum
Wilayah Kendari adalah sangat luas, dan lokasinya berhadapan langsung dengan Laut
Banda, dan di kawasan pesisir Kendari juga ditemukan ekosisem yang komplit, yakni
terdiri dari hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Kawasan pesisir
tersebut merupakan kawasan peralihan yang kaya nutrisi dan sumberdaya alam, serta
menjadi tempat hidup bagi berbagai laut. Undang – undang nomor 27 tahun 2007
mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil juga mengatur
pemanfaatan yang tidak merusak, serta perlindungan terhadap ketiga ekosistem
tersebut. Selain sebagai dasar pengelolaan, ketiga ekosistem tersebut sangat penting
untuk menunjang kehidupan masyarakat yang ada di pesisir (Supriharyono 2002).

Berdasarkan laporan pemetaan ekosistem perairan dangkal (Hafizt, 2016), luas hutan
mangrove di Kabupaten Kendari adalah 14,511 Km2. Hutan mangrove di kawasan
pesisir Kendari jika dilihat dari pesawat, nampak seperti lapisan tipis di sepanjang
pantai perairan Kendari. Jarak terjauh antara garis pantai dan batas mangrove dengan
vegetasi daratan adalah sekitar 300 meter. Kondisi seperti tersebut di atas karena
morfologi pesisir pesisir Kendari sebagian besar curam, sehingga tidak memungkinkan
pertumbuhan hutan mangrove yang luas. Topografi yang berbukit ke arah daratan dan
lebar terumbu yang pendek tidak memberikan lahan yang cocok untuk pertumbuhan
dan berkembangnya hutan mangrove di awasan pesisir Kendari.

Sejak beberapa tahun terakhir, keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir Kendari
sudah mulai terjadi intervensi oleh masyarakat, akan tetapi masih dalam batas toleransi
dan wajar. Namun demikian, untuk kawasan pesisir disepanjang Teluk Kendari sudah
terjadi penurunan luas area mangrove yang sangat drastis dan mengkawatirkan. Hal ini
disebabkan karena semakin meningkatnya pembangunan di kawasan hutan mangrove di
kawasan pesisir Teluk Kendari. Konversi areal hutan mangrove tersebut diperuntukkan
antara lain adalah sebagai areal pemukiman, lokasi perkantoran, bengkel, SPBU,
perhotelan, industri, pembangunan dermaga, pertambakan, dan kegiatan pembangunan
lainnya (Gambar 3.4.1.1).

Gambar 3.4.1.1 Peralatan berat yang digunakan untuk pengurukan lahan mangrove
(kanan); bangunan dermaga di kawasan Teluk Kendari (2017).

Secara umum kegiatan tersebut dampaknya akan menimbulkan berbagai masalah, salah
satu diantaranya adalah abrasi, tingginya pendangkalan di sepanjang Teluk Kendari,
54
bahkan sampai saat ini diperkirakan sekitar 7 meter. Dampak yang ditimbulkan dari
kegiatan di atas, menyebabkan daerah tersebut sangat rentan dari berbagai macam
bencana alam, misalnya bencana alam banjir, tsunami, gelombang badai, dan abrasi
yang tinggi, serta pendangkalan kawasan Teluk Kendari. Melihat kondisi kawasan
pesisir Teluk Kendari yang terjadi ada saat ini, maka diharapkan Pemerintah Daerah
dapat memberikan kebijakan membuat peraturan dalam upaya untuk pengelolaan hutan
mangrove secara proporsional. Selain itu, kiprah dan dukungan mahasiswa Universitas
Haluoleo, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang
lingkungan, dan peran serta Kepala Desa di kawasan pesisir sangat diperlukan.

Upaya Pemerintah Daerah dalam rangka untuk mengenalkan peran dan fungsi hutan
mangrove di kawasan pesisir Teluk Kendari sebenarnya sudah dilakukan, yakni dengan
membangun “Jembatan Pelangi” yang masuk ke hutan mangrove (Gambar 3.4.1.2).
Namun demikian, upaya tersebut masih sangat terbatas hanya membangun, hal ini
justru masyarakat hanya menggunakan untuk sarana rekreasi, dan malahan mereka
membuang sampah plastik disekitar jembatan yang dampaknya juga akan mengganggu
kehidupan seedling atasu semai tumbuhan mangrove. Jika kondisi seperti di atas
dibiarkan, maka yang terjadi bukan hutan mangrove sebagai sarana edukatif, tapi justru
akan mempercepat hilangnya sumberdaya alam yang memiliki peran penting dalam
keseimbangan ekosistem pesisir.

G
a
m

Gambar 3.4.1.2. Jembatan yang dibuat dari beton masuk ke dalam hutan mangreove
untuk tujuan ekowisata (2017).

Hingga saat penelitian dilakukan pada tanggal 24 Mei – 3 Juni 2017, kondisi kerapatan
semai (seedling) disebelah kanan jembatang masih cukup tinggi, terutama dari jenis
Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba (Gambar 3.4.1.3). Selain itu, kerapatan dari
jenis Rhizophora apiculata, juga terlihat relatif tinggi (Gambar 3.4.1.4).

Kondisi seperti tersebut di atas memberikan gambaran bahwa, walaupun hutan mangrove
di kawasan tersebut dipotong untuk dijadikan jembatan, namun kemungkinan pulihnya
sangat tinggi. Sedangkan areal mangrove yang disebelah kiri jembatan, hanya terlihat
spot dari jenis Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata. Melihat kondisi yang ada,
maka areal yang kosong di sebelah kiri “Jembatan Pelangi” perlu dilakukan penanaman
kembali. Jenis anakan mangrove yang dominan di kawasan pesisir sekitar Jembatan
Pelangi adalah Rhizohora apiculata.

55
Gambar 3.4.1.3. Semai atau seedling mangrove dari jenis Rhizophora apiculata (atas), dan
Sonneratia alba (bawah) yang tumbuh subur dan dominan di sekitar “Jembatan
pelangi”

Upaya rehabilitasi mangrove seyogyanya dilakukan pada kawasan pesisir yang sudah
kritis kondisinya, hal ini harus didorong kepada semua pihak, terutama Pemerintah
Daerah, baik Walikota maupun Provinsi SulawesiTenggara dengan melibatkan
masyarakat setempat. Kegiatan reboisasi mangrove harus terus dilakukan oleh instansi
56
pemerintah, masyarakat dan LSM. Upaya penanaman merupakan cara yang paling
popular dalam reboisasi, tapi perbaikan system hidrologi juga diperkenalkan sebagai
alternative restorasi mangrove yang dianggap lebih mendasar pada pemulihan kondisi
ekologis mangrove sebagai sebuah ekosistem yang sehat. Pencarian penerapan
budidaya tambak yang ramah lingkungan juga terus dilakukan di kawasan pesisir
Kendari, hal ini dalam upaya untuk menjaga mengantisipasi dan upaya kelestarian
hutan mangrove. Strategi kebijakan perlu dijajagi dan dikembangkan dengan berbagai
pendekatan, dari yang sifatnya parsial hingga yang mencoba mengintegrasikan seluruh
komponen yang dapat mendukung lestarinya hutan mangrove.

Gambar 3.4.1.4. Kerapatan pohon yang relatif tinggi dari jenis Rhizophora apiculata
yang tumbuh di sekitar “Jembatan pelangi”.

3.4.2. Komposisi Jenis Mangrove


Berdasarkan hasil inventarisasi jenis tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasi
mangrove yang dilakukan pada tahun 2026 dan 2017 di sepanjang kawasan pesisir
Kendari, maupun di Teluk Kendari, ada penambahan jenis, sehingga total jenis yang
ditemukan di kawasan pesisir adealah sekitar 47 jenis, yang termasuk dalam 28 familia.
Dari sejumlah jenis yang hadir di kawasan Kendari, 17 jenis diantaranya adalah
tumbuhan mangrove, yang didominasi oleh Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata.
Sedangkan 29 jenis lainnya adalah termasuk jenis tumbuhan asosiasi mangrove.
Jumlah jenis tumbuhan tersebut masih lebih rendah keragamannya bila dibandingkan
yang dilakukan pada tahun 2011, yaitu sebanyak 49 jenis, dimana 19 jenis diantaranya
adalah tumbuahan mangrove (Pramudji, 2011). Namun demikian, keragaman jenis
mangrove di kawasan pesisir Kendari lebih tinggi apabila dibandingkan dengan jenis
yang ditemukan di kawasan pesisir Pulau Buton, Pulau Muna dan Pulau Kabaena,
yakni sebanyak 17 jenis mangrove (Pramudji 2009), dan juga dari kawasan pesisir
57
Pulau Buton bagian selatan (Pramudji & Purnomo, 2017). Keragaman jenis mangrove
maupun jenis asosiasi mangrove yang ditemukan di kawasan pesisir Buton bagian
selatan dan Pulau Muna bagian selatan, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.4.2.1.

Tabel 3.4.2.1 Revisi jenis tumbuhan mangrove dan tumbuhan asosiasi mangrove yang
ditemukan di kawasan pesisir Kendari, Sulawesi Tenggara (2017).
No. Famili Jenis
1 Rhizophoraceae 1. Rhizophora apiculata
2. Rhiziphora lamarckii
3. Rhizophora mucronata
4. Bruguiera gymnorrhiza
5. Bruguiera sexangula
6. Ceriops tagal
2 Myrsinaceae 7. Aegiceras floridum
3 Meliaceae 8. Xylocarpus granatum
9. Xylocarpus mollucensis
4 Lytraceae 10. Phemphis acidula
5 Arecaceae 11. Nypa fruticans
6 Avicenniaceae 12. Avicennia lannata
13. Avicennia marina
7 Sonneratiaceae 14. Sonneratia alba
8 Pteridaceae 15. Acrostichum aureum
16. Acrostichum speciosum
17. Acanthus ilicifolius
9 Leguminoceae 18. Derris trifoliate
19. Pongamia pinnata
20. Passiflora fuitida
10 Malvaceae 21. Hibiscus tiliaceus
11 Pandanaceae 22. Pandanus tectorius
23. Thespesia populnea
12 Convolvulaceae 24. Ipomea pres-capre
13 Commbretaceae 25. Terminalia catappa
14 Rubiaceae 26. Morinda citrifolia
15 Apocynaceae 27. Cerbera manghas
16 Euphorbiaceae 28. Ricinus communis
17 Aizozceae 29. Sesuvium portulacastrum
18 Verbenaceae 30. Clerodendrum inerme
31. Srtachytarpheta jamaicus
19 Guttyferaeae 32. Chalophyllum inophyllum
20 Rubiaceae 33. Guaterda speciosa
21 Asteraceae 34. Widelia biflora
35. Pluchea indica
22 Grammitidaceae 36. Ctenopteris moulteni
37. Loxogramma involata
38. Phymatodes scolopendria
23 Polypodiaceae 39. Drynaria rigidula
40. Drynaria sparsisora
24 Amaryllidaceae 41. Crinum asiaticum
25 Davalliaveae 42. Davallia parvula
26 Melastomaceae 43. Melastoma candisum
44. Canavalia maritima
27 Gramineae 45. Spinifex littoreus
28 Cyperaaceae 46. Cyperus maritima

58
3.4.3. Kondisi Kesehatan Komunitas Mangrove
Berdasarkan hasil pemantauan kondisi mangrove pada stasiun permanen di kawasan
pesisir Kendari yang telah ditentukan sejak pada tahun 2015, kondisi lingkungan
mangrove dibeberapa lokasi telah mengalami perubahan yang dampaknya akan
mempengaruhi keberadaan hutan mangrove. Salah satunya adalah pembangunan
pelabuhan yang berstatus international di Teluk Kendari, dampaknya akan berpengaruh
terhadap eksistensi mangrove di daerah sekitarnya (Sta. KDRM04) di Desa
Bongkutoko. Dampak dari pembangunan pelabuhan internasional, maka kedepan
kegiatan bongkar pasang barang, transportasi barang, pembangunan gudang,
munculnya warung makan, bengkel, dan pemukiman pada areal hutan mangrove
disekitar dermaga juga akan mengancam keberadaan hutan mangrove disepanjang Desa
Bongkutoko. Selain itu, keberadaan hutan mangrove pada Sta. KDRM03 di Desa
Tanjung Tiram, dan Sta. KDRM07 di Desa Atowatu juga mengalami perubahan, karena
disekitar plot permanen terjadi pengrusakan mangrove.

Secara umum, hasil analisis persentase tutupan tajuk komunitas mangrove (% cover)
dari plot permanen yang telah ditentukan sejak tahun 2015 terlihat mengalami
peningkatan, walaupun nilainya untuk masing stasiun sangat bervariasi, kecuali pada
Stasiun KDRM03a di Desa Tanjung Tiram, dan Stasiun KDRM05 di Desa Tapulaga.
Kriteria kesehatan komunitas mangrove terhadap variasi dinamika kenaikan dan
penurunan besaran nilai persentase tutupan tajuk komunitas mangrove yang terjadi di
seluruh stasiun permanen di kawasan pesisir Kendari, adalah masih termasuk dalam
“kriteria baik”. Secara terperinci kenaikan nilai persentase tutupan tajuk komunitas
mangrove disajikan pada Tabel 3.4.3.1.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, dari besaran nilai persentase tutupan tajuk
mangrove yang ada, peningkatan nilai yang paling tinggi adalah pada Stasiun
KDRM02 di Desa Lolowaru, yakni sebesar 64.383 % ± 8.666 % pada tahun 2015,
naik menjadi 72,50 % ± 8,39 % pada tahun 2016, dan naik mejadi 81,27 % ± 3,01%
pada tahun 2017. Selanjutnya, peningkatan nilai persentase tutupan tajuk paling
rendah adalah pada Stasiun KDRM04a di Desa Bongkutoko, yakni pada tahun nilai
tutupan tajuk sebesar 63.988 % ± 6.975 %, pada tahun 2016 naik menjadi 71,94 % ±
7,39 %, kemudian pada tahun 2017 naik menjadi sekitar 72,88 % ± 7,90 %.
Sedangkan nilai persentasi tutupan tajuk yang mengalami penurunan adalah di Stasiun
KDRM03a di Desa Tanjung Tiram pada tahun 2016 adalah sebesar 83,13 % ± 1,50 %
kemudian pada tahun 2017 turun menjadi 81,70 % ± 2,57 % . Nilai persentase tutupan
tajuk yang turun juga terlihat pada Stasiun KDRM05 di Desa Tapulogo, yakni dari
76,59 % ± 3,31 % pada tahun 2016, kemudian pada tahun 2017 turun menjadi 75,52 %
± 3,42 %.

Perubahan turun dan naiknya persentase tutupan tajuk (% cover) komunitas mangrove
tersebut di atas adalah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain musim, dan
dinamika daun (kuncup daun dan gugur daun). Selain itu, besaran nilai persentase
tutupan tajuk komunitas mangrove juga dipengaruhi oleh faktor pososi pada saat
pengambilan foto yang disebabkan kondisi pasang-surut serta perakaran hutan
mangrove dari jenis Sonneratia sp., Bruguiera sp., dan Rhizophora sp., sehingga
terjadi perubahan posisi dalam pengambilan foto. Perubahan posisi dalam pengambilan
foto, dampaknya akan mempengaruhi hasil foto, yang selanjutnya akan terjadi
perubahan nilai persentase tutupan tajuk..
59
Tabel 3.4.3.1. Tabel persentase tutupan tajuk komunitas mangrove (% cover) pada plot
permanen di kawasan pesisir Kendari (2017)

No Lokasi Sta. % Cover


2015 2016 2017
1 Pulau Lara KDRM01 76.190 ± 9.743 81,18 ± 5,27 82,34 ± 3,08

2 Desa Lalowaru KDRM02 64.383 ± 8.666 72,50 ± 8,39 81,27 ± 3,01

69.580 ± 8.167 0 0

3 Desa Tj. Tiram KDRM0 3 67.105 ± 6.302 83,13 ± 1,50 81,70 ± 2,57

69.377 ± 4.927 73,94 ± 7,37 79,88 ± 3,04

4 Desa Bungkutoko KDRM04 63.988 ± 6.975 71,94 ± 7,39 72,88 ± 7,90

5 Desa. Tapulaga KDRM05 58.739 ± 5.370 76,59 ± 3,31 75,52 ± 3,42

6 Pulau Bokori KDRM06 69.476 ± 8.801 74,63 ± 7,09 78,98 ± 5,11

7 Desa. Ato-watu KDRM07 73.353 ± 5.159 79,72 ± 3,57 80,69 ± 4,01

8 Desa Lalowaru KDRM08 0 76,10 ± 2,92 81,23 ± 2,07

0 70,95 ± 8,01 76,76 ± 6,20

Gambar 3.4.3.1. Grafik persentase tutupan tajuk komunitas mangrove di kawasan


pesisir Kendari, tahun 2015, 2016, dan 2017.

90
80
70
60
% Cover

50 2015

40 2016
30 2017
20
10
0

60
3.5. Ikan Karang
3.5.1. Corallivor (Chaetodontidae)
Selama penelitian monitoring (September 2017) telah dijumpai sebanyak 170 individu
yang terdiri dari 15 jenis ikan kekepe (Chaetodontidae) dengan mewakili 6 marga
(genus) di perairan Kendari. Jenis-jenis ikan pepe-kepe yang dijumpai adalah;
Chaetodon octofasciatus, C. kleinii, C. melannotus, C. vagabundus, C. lineolatus, C.
ulietensis, C. lunula, C. lunulatus, Chelmon rostratus, Forcipiger longirostris,
Heniochus varius, H. chrysostomus, H. accuminatus, H. singularius, H. varius dan
Parachaetodon ocellatus. Jenis yang paling dominan diantara semua pepe-kepe
tersebut adalah jenis Chaetodon octofasciatus. Pada urutan kedua ditempati oleh C.
kleinii dan C. rostratus. Sebaran populasi yang terbanyak terdapat pada lokasi Pulau
Lara (Stasiun 5) dan terendah diperoleh di Pesisir Dusun Bahoe. Jumlah jenis terbanyak
diperoleh di Pulau Lara (St 5) dan jumlah populasi terendah terdapat pada lokasi Pulau
Bokori (St 8) dan Desa Bahoe (St 1).

30
25
20
Individu

Total individu
15
Total species
10
5
0
St-1 St-2 St-3 St-4 St-5 St-6 St-7 St-8 St-9
Lokasi

Gambar 3.5.1.1: Histogram keanekaragaman jenis dan kelimpahan individu suku


Chaetodontidae di tiap lokasi penelitian di perairan Kendari Sulawesi Tenggara

Hasil monitoring 2017 ini mengalami kenaikan populasi ikan kepe-kepe hampir di
semua lokasi, dan sekaligus juga terjadi penambahan jumlah jenis (Gambar 3.5.1.2).

30
25
Total individu 2016
20
individu

Total individu 2017


15
Total species 2016
10
Total species 2017
5
0
St-1 St-2 St-3 St-4 St-5 St-6 St-7 St-8 St-9
Lokasi

Gambar 3.5.1.2. Histogram gabungan keanekaragaman jenis dan kelimpahan individu


dari suku Chaetodontidae di tiap lokasi penelitian di perairan Kendari.
61
3.6.2. Ikan Target
Dari hasil perhitungan biomas ikan target selama penelitian ternyata biomass tertinggi
dijumpai di Lokasi 2 (Desa Pulo Hari). Hal ini disebabkan dijumpainya ikan kuwe dari
jenis Carangoides ferdau (?) dalam jumlah banyak dengan ukuran yang bervariasi.
Lokasi 6 (Tj Tiram) adalah tempat pengamatan dengan jumlah biomass terendah. Hal
ini diduga bahwa sebagian besar ikan-ikan yang dijumpai masih belum mencapai
ukuran maksimal.

Jika dibandingkan dengan hasil perhitungan biomas tahun 2016, maka hasil monitoring
2017 menunjukkan adanya kecenderungan (trend) perubahan meningkatnya biomas
pada hampir semua lokasi pengamatan (Gambar 3.5.2.1). Sebagai dugaan sementara,
kondisi habitat yang mulai membaik setelah terjadinya bencana ”pemutihan karang” di
tahun 2015. Selain itu juga diduga bahwa ikan-ikan yang sebelumnya masih sebagai
ikan muda (juvenile), saat ini telah menjadi dewasa dan saat pengambilan data belum
tertangkap alat tangkap yang beroperasi seperti jaring, bubu, sero, bom dan sebagainya.
Kegiatan penangkapan diperairan kendari sangat intensif, hampir semua alat yang
digunakan tidak tergolong ramah lingkungan. Dari pengalaman di lapangan selalu saja
terdengar ledakan bom, masyarakat apatis dan tidak peduli dengan hal itu (kejadian itu
dianggap hal biasa sehari-hari). Anehnya ikan hasil tangkapan nelayan bom dipasarkan
ditempat-tempat tertentu, biasanya pada sore hari.

Data biomas 2017


B iom as s (kg /h ektar)

500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

h o a ri o ne g g u L a ra ira m a tu k ori be
Ba u H
u ta u n u T o w B o a m
D es
a
P ula L a b wo s P ula jung a At la u a s i J
) a n s u P
(1 ) (2
D es
a
u W (5 ) a T a ) D e (8 ) P n g
l a s 7 s o
(3 ) ) P u ) De
(
) Go
( 4 ( 6 ( 9

Gambar 3.5.2.1: Histogram standing crop (biomass) ikan target di tiap lokasi penelitian
di perairan Kendari, Sulawesi Tenggara 2017.

62
500
450 2016
B iom as s (kg /hektar) 400 2017
350
300
250
200
150
100
50
0

m
ne
i

ra

be
ho

ri
u
ar

at
gg

ko
ra
La
o

m
H
Ba

ow
Ti
ta

Bo
un

Ja
au

au
bu

At
a

g
os

au
ul

un

si
es

ul
La

aw

a
)P

Pa
)P
)D

ul
nj

es
a

)P
W

Ta
(2

(5

g
es

)D
(1

on
au

(8
)D

(7
es

os
ul
(3

)D

)G
)P
(4

(6

(9
Gambar 3.5.2.2. Histogram standing crop (biomasa) ikan target di tiap lokasi penelitian
di perairan Kendari, Sulawesi Tenggara 2016 - 2017.

Chaetodon kleiini Chaetodon octofasciatus

Chaetodon melannotus Chaetodon lunulatus


63
Forcipiger flavissimus Para chaetodon ocellatus

Heniochus singularius H. varius

Gambar 3.6.2.3. Beberapa jenis-jenis Chaetodontidae yang dijumpai di kawasan terumbu


karang perairan Kendari 2016. (Foto: Adrim & Subhan).

Siganus vulpinus Scarus bleekeri

64
Cephalopolis cyanostigma Lutjanus carponotatus

Epinephelus fasciatus Carangoides orthogrammus


Gambar 3.5.2.3. Beberapa jenis ikan herbivor dan Karvora di kawasan terumbu karang
perairan Kendari 2016. (Foto: Adrim 7 Subhan )

3.6.3. Pendaratan Hasil Tangkapan Ikan Karang


Hasil observasi di tempat-tempat pendaratan ikan karang, ternyata sebagian besar ikan
karang dipasarkan dan menjadi konsumsi local masyarakat Kota Kendari. Ikan-ikan
tersebut berasal dari berbagai hasil tangkapan, bahkan sebagian besar dari alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan. Dari temuan di lapangan beberapa jenis alat utama yang
digunakan yakni; sero (bagan tancap), bom (menggunakan peledak), bubu dan jaring
dengan ukuran lobang yang kecil. Penggunaan racun cyanide diduga masih
berlangsung.

Alat tangkap sero dekat di St. 6 Alat tangkap sero di St. 9

65
Jenis-jenis ikan karang yang dijumpai di pasar pendaratan ikan yang menonjol yakni
dari suku Caesionidae ( Caesio cuning, Caesio caerulea, dan Paracaesio teres). Suku
Siganidae yang menonjol, yakni dari jenis Siganus canaliculatus, Siganus guttatus,
Siganus virgatus, S. javus, dan S. vulpinus. Ikan karang dari suku-suku lainnya yang
dijumpai sebagai hasil tangkapan di TPI yakni : Scaridae (Bolbometopon muricatus,
Scarus quoyi, S. rivulatus, S. gobban, S. bleekeri dan lain-lain), Mullidae (Parupeneus
macronema, P. barberinus, P. Barberinus), Labridae (Cheilinus trilobatus, C.
fasciatus, Choerodon anchorago, C. monostigma), Kyphosidae (Kyphosus vaigiensis).
Acanthuridae (Naso sp., Acanthurus xanthopterus).
Gambar 3.5.2.4: Ikan-ikan karang (target nelayan) yang dipasarkan di pasar tradisional
Kota Kendari.

Ikan karang dari jenis Caesio cuning Ikan karang dari jenis Caesio caerulaureus
dan Pterocaesio tile

Ikan karang dari jenis Lutjanus gibbus dan Ikan karang dari jenis Caesio spp
Pterocaesio pisang

66
Ikan karang dari jenis Caesio spp Ikan karang dari jenis Lethrinus ornatus,
Parupeneus macronema, Siganus spp, dan
lain-lain

Ikan karang dari jenis Cheilinus trilobatus Ikan karang dari jenis Scarus bleekeri, S.
Rivulatus, S. Quoyii, dan Siganus (Lo)
vulpinus.

Sero adalah sejenis alat tangkap yang tidak selektif dan tidak ramah lingkungan. Alat ini
beroperasi di tempat transek monitoring di Gosong pasir Jambe.

67
Ikan karang dari jenis Acanthurus Ikan karang dari jenis Bolbometopon
xanthopterus muricatus

68
3.6. Megabenthos
3.6.1. Komposisi jenis dan kepadatan megabenthos
Dari sembilan stasiun yang diamati, delapan spesies atau kelompok spesies
megabenthos yang menjadi target monitoring berhasil ditemukan di wilayah perairan
Teluk Kendari ini. Pada pengamatan di seluruh stasiun didapatkan sebanyak 323
individu megabenthos target dengan pola kehadiran spesies atau kelompok spesies
megabenthos seperti yang disajikan pada Tabel 3.6.1.1.

Tabel 3.6.1.1 Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Teluk
Kendari.
Stasiun KDRC
Megabenthos
01 02 03 04 05 06 07 08 09
Acanthaster planci + + - + - - - + +
Bulu Babi + + - - + + + - +
Linckia laevigata + + - + - + + + +
Teripang + + - - + - - - +
Kima - - + + + - + - +
Drupella spp. + + + + + + + + +
Keong Trokha + + + + + - + + +
Lobster - - - - - + - - +

Jika dilihat dari jumlah individu tiap spesies atau kelompok spesies megabenthos yang
didapatkan di seluruh stasiun pengamatan, terlihat bahwa terdapat satu kelompok
spesies megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah yang mendominasi, yaitu
siput pemakan polip karang Drupella spp. Dari seluruh megabenthos target yang
ditemukan, Drupella spp. ditemukan sebanyak 59,13% (191 individu). Jumlah ini
dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami penurunan jumlah (218 individu di
tahun 2016), namun relatif sama dengan yang ditemukan pada tahun 2015 (198
individu).

Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah
sedang antara lain bulu babi, keong trokha dan bintang laut biru Linckia laevigata. Dari
total megabenthos target yang ditemukan, bulu babi dan keong trokha masing-masing
ditemukan sebesar 7,74% (25 individu), sedangkan bintang laut biru Linckia laevigata
ditemukan sebesar 16,72% (54 individu). Jumlah bulu babi mengalami peningkatan
jumlah dari tahun sebelumnya (17 individu di tahun 2016), namun mengalami
penurunan dari tahun 2015 (38 individu). Demikian halnya dengan keong trokha yang
mengalami peningkatan jumlah dari tahun sebelumnya (17 individu di tahun 2016), dan
juga mengalami penurunan jumlah dari tahun 2015 (28 individu).

Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah
sedikit, yaitu kerang kima, bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci, teripang
dan lobster. Dari total megabenthos yang ditemukan, kerang kima dan bintang laut
bermahkota duri Acanthaster planci masing-masing ditemukan sebesar 2,79% (9
individu), sedangkan lobster dan teripang masing-masing ditemukan sebesar 1,55% (5
individu). Kerang kima mengalami peningkatan jumlah dari tahun-tahun sebelumnya (7
individu di tahun 2016 dan 5 spesies di tahun 2015). Bintang laut bermahkota duri
69
Acanthaster planci mengalami peningkatan jumlah dari tahun-tahun sebelumnya (5
individu di tahun 2016 dan 3 individu di tahun 2015). Lobster mengalami peningkatan
jumlah dari tahun-tahun sebelumnya (2 individu di tahun 2016 dan 1 individu du tahun
2015). Sementara itu teripang pun juga mengalami peningkatan jumlah dari tahun-
tahun sebelumnya (masing-masing 1 individu di tahun 2016 dan 2015).

Gambaran mengenai prosentase megabenthos target yang ditemukan selama


pengamatan disajikan pada Gambar 3.6.1.1

Gambar 3.6.1.1. Diagram perbandingan jumlah individu dari masing-masing spesies


megabenthos target di perairan Teluk Kendari

Jika dilihat dari jumlah individu pada masing-masing stasiun, terlihat pada stasiun
KDRC02 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu megabenthos yang
melimpah. Ditemukan sebanyak 74 individu megabenthos yang terdapat dalam transek,
siput pemakan polip karang Drupella spp. mendominasi dengan jumlah 46 individu.
Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC04, Stasiun KDRC05, Stasiun KDRC06 dan Stasiun
KDRC09 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu sedang, yaitu antara 30 –
60 individu dengan komposisi bervariasi. Stasiun KDRC03, Stasiun KDRC07 dan
Stasiun KDRC08 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu rendah, yaitu
kurang dari 20 individu dengan komposisi bervariasi.

Keberadaan setiap spesies atau kelompok spesies megabenthos tidak lepas dari kondisi
kesehatan terumbu karang maupun keanekaragaman spesies karang sebagai habitat dari
berbagai jenis fauna megabenthos pada masing-masing stasiun tersebut. Pada beberapa
stasiun memang memiliki prosentase tutupan karang di atas 60%, pada stasiun lain
memiliki tutupan karang kurang dari 30%. Kondisi ini kemungkinan juga berpengaruh
terhadap keanekaragaman biota yang berasosiasi, termasuk megabenthos. Prosentasi
kategori benthik sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan komposisi spesies atau
kelompok spesies megabenthos pada suatu perairan. Beberapa spesies seringkali
terlihat melimpah di perairan yang didominasi oleh substrat yang berupa karang mati
70
yang ditumbuhi oleh algae. Beberapa spesies lainnya lebih memilih habitat yang
banyak ditumbuhi oleh karang hidup. Begitupun juga dengan kekasaran atau rugositas
dari dasar suatu perairan juga memiliki peran terhadap keberadaan dan komposisi
spesies atau kelompok spesies megabenthos. Beberapa spesies lebih menyukai habitat
dengan rugositas dasar perairan yang kasar dimana terdapat banyak karang boulder.
Beberapa spesies yang lain justru lebih memilih rugositas dasar perairan yang rata.

Jika dilihat dari prosentase kehadiran masing-masing spesies fauna megabenthos pada
tiap stasiun, terlihat Stasiun KDRC03 memiliki fauna megabenthos yang miskin, yaitu
hanya terdapat tiga kelompok spesies megabenthos saja, yaitu siput pemakan polip
karang Drupella spp. kerang kima dan keong trokha. Sedangkan Stasiun KDRC 09
merupakan stasiun yang memiliki megabenthos yang paling beranekaragam, yaitu
terdiri dari delapan spesies atau kelompok spesies megabenthos dari delapan spesies
atau kelompok spesies megabenthos target monitoring dijumpai pada stasiun tersebut.
Megabenthos yang tidak ditemukan pada Stasiun KDRC01 dan Stasiun KDRC02
antara lain kerang kima dan lobster. Megabenthos yang tidak ditemukan pada Stasiun
KDRC04 antara lain bulu babi, lain teripang dan lobster. Megabenthos yang tidak
ditemukan pada Stasiun KDRC05 bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci,
bintang laut biru Linckia laevigata dan lobster. Megabenthos yang tidak ditemukan
pada Stasiun KDRC06 antara bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci, kerang
kima, teripang dan keong trokha. Megabenthos yang tidak ditemukan di Stasiun
KDRC07 antara lain bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci, teripang dan
lobster. Megabenthos yang tidak ditemukan di Stasiun KDRC08 antara lain bulu babi,
kerang kima, teripang dan lobster. Gambaran mengenai prosentase kehadiran masing-
masing spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada masing-masing stasiun
di perairan Kendari yang ditemukan selama penelitian di sembilan lokasi disajikan pada
Gambar 3.6.1.2.

Dilihat dari kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada masing-
masing stasiun (Tabel 4), terlihat bahwa siput pemakan polip karang Drupella spp.
memiliki kelimpahan yang tinggi. Kepadatan rata-rata Drupella spp. berada pada
kisaran di atas di atas 500 individu/ha, kecuali Stasiun KDRC01 dan Stasiun KDRC07
yang memiliki kepadatan kurang dari 500 individu/ha. Pada Stasiun KDRC02
kepadatan siput pemakan polip karang Drupella spp. bahkan mencapai 3000
individu/ha. Pada Stasiun KDRC01, bulu babi dan bintang laut biru Linckia laevigata
memiliki kepadatan yang cukup tinggi, yaitu bulu babi memiliki kepadatan mendekati
1000 individu/ha dan bintang laut biru Linckia laevigata memiliki kepadatan mendekati
2000 individu/ha. Bintang laut biru Linckia laevigata dan keong trokha pada Stasiun
KDRC02 juga ditemukan dalam kepadatan yang cukup tinggi, yaitu di mendekati 1000
individu/ha. Sedangkan megabenthos yang lain yang juga ditemukan umumnya
memiliki kepadatan rendah yaitu kurang dari 500 individu/ha.

71
Gambar 3.6.1.2.. Diagram prosentase kehadiran masing-masing spesies megabenthos
pada masing-masing stasiun di perairan Teluk Kendari

Tabel 3.6.1.2.. Kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada
masing-masing stasiun (individu/ha)
Stasiun KDRC
No. Megabenthos
01 02 03 04 05 06 07 08 09
1 Acanthaster planci 71 357 0 71 0 0 0 71 71
2 Bulu Babi 929 71 0 0 71 500 71 0 143
3 Linckia laevigata 1714 714 0 71 0 429 286 286 357
4 Drupella spp. 286 3286 643 2286 1643 1429 357 786 2929
5 Kerang kima 0 0 71 71 71 0 286 0 143
6 Teripang 71 71 0 0 143 0 0 0 71
7 Lobsters 0 0 0 0 0 286 0 0 71
8 Keong trokha 71 786 143 214 357 0 71 71 71

Dilihat dari sebarang spesies atau kelompok spesies pada masing-masing stasiun, dapat
dilihat bahwa siput pemakan polip karang Drupella spp. merupakan kelompok spesies
megabenthos yang memiliki sebaran yang paling luas, yaitu dapat ditemukan di semua
stasiun. Keong trokha juga memiliki sebaran yang cukup luas, yaitu hanya pada satu
stasiun saja (Stasiun KDRC06) yang tidak ditemukan kelompok spesies megabenthos
ini. Sedangkan lobster merupakan kelompok spesies megabenthos yang memiliki
sebaran yang paling sempit, yaitu hanya ditemukan di Stasiun KDRC06 dan Stasiun
KDRC09. Sementara itu, teripang juga memiliki sebaran yang tidak terlalu luas,

72
dimana hanya ditemukan di empat stasiun, yaitu Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC02,
Stasiun KDRC05 dan Stasiun KDRC09.

3.6.2. Megabenthos Target


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa megabenthos yang memiliki nilai ekologis
penting bagi terumbu karang sebagai bioindikator kesehatan (bulu babi dan bintang laut
biru Linckia laevigata) ditemukan di beberapa stasiun. Bulu babi ditemukan pada enam
stasiun, yaitu Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC02, Stasiun KDRC05, Stasiun KDRC06,
Stasiun KDRC07 dan Stasiun KDRC09, akan tetapi keragaman spesiesnya sangat
rendah. Diadema setosum merupakan jenis bulu babi yang paling dominan. Seperti
diketahui bahwa bulu babi jenis ini merupakan pemakan algae sehingga seringkali
dijadikan sebagai indikator kesehatan terumku karang. Dari enam stasiun yang terdapat
bulu babi, jumlah individu yang ditemukan dalam transek umumnya kurang dari
sepuluh individu, hanya pada Stasiun KDRC01 saja yang jumlah individunya di atas
sepuluh. Jumlah individu yang didapatkan kemungkinan berkaitan erat dengan kondisi
substrat dan ketersediaan algae sebagai makanan dari bulu babi. Bulu babi sebenarnya
juga ditemukan pada beberapa stasiun lainnya, akan tetapi karena posisinya berada di
luar transek (terutama di sekitar rataan terumbu) sehingga datanya tidak ditampilkan.
Namun demikian, informasi tentang keberadaan bulu babi terutama jenis Diadema
setosum di luar transek tetap dicatat sebagai informasi tambahan.

Kehadiran bulu babi dalam jumlah besar mengindikasikan karang yang tidak sehat, dan
sebaliknya (Vimono, 2007). Bulu babi, terutama jenis Diadema setosum, memakan
algae yang tumbuh pada karang yang telah mati. Bulu babi secara umum merupakan
grazer (algae feeder). Kehadiran bulu babi pada dasarnya berperan dalam
membersihkan algae di ekosistem terumbu karang, sehingga memungkinkan karang
untuk tumbuh setelah substrat dibersihkan. Pada lokasi yang terumbu karang yang telah
mengalami kerusakan tetapi tidak terdapat bulu babi umumnya banyak ditumbuhi oleh
algae. Berbeda kondisinya jika di lokasi tersebut banyat terdapat bulu babi,
pertumbuhan algae akan dikontrol sehingga kesempatan karang untuk melakukan
pemulihan (recruitment) lebih tinggi. Beberapa spesies bulu babi disajikan pada
Gambar 3.6.2.1.

Bintang laut biru Linckia laevigata ditemukan di dalam transek pada tujuh stasiun,
antara lain Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC02, Stasiun KDRC004, Stasiun KDRC06,
Stasiun KDRC07, Stasiun KDRC08 dan Stasiun KDRC09. Jumlah individu yang
didapatkan dalam transek pada umumnya kurang dari sepuluh individu, hanya pada
Stasiun KDRC01 saja yang memiliki jumlah individu di atas sepuluh. Beberapa stasiun
lainnya yang di dalam transek tidak terdapat bintang laut biru sebenarnya juga dapat
ditemukan bintang laut biru ini, akan tetapi karena posisinya berada di luar transek
(terutama di sekitar rataan terumbu) sehingga datanya tidak ditampilkan. Namun
demikian, informasi tentang keberadaan bintang laut biru di luar transek tetap dicatat
sebagai informasi tambahan. Ukuran individu hampir seragam, dan berdasarkan
pengamatan di tempat lain pun sangat sulit menemukan individu dengan ukuran kecil.
Bintang laut ini ditemukan berasosiasi dengan berbagai tipe pertumbuhan karang
maupun di atas substrat pasir maupun batu.

73
Gambar 3.6.2.1. Beberapa jenis bulu babi yang ditemukan di perairan Kendari

Kekehadiran dan peran maupun ketidakhadiran bintang laut biru Linckia laevigata ini
bagi terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun biota ini berpotensi
sebagai bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain tidak dimanfaatkan
oleh nelayan sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini sebarannya
merata di seluruh perairan tropis. Jumlah individu yang ditemukan kemungkinan pada
suatu wilayah diduga karena pengaruh batasan geografis yang mempengaruhi
sebarannya. Faktanya, terkadang pada suatu kawasan bintang laut ini ditemukan cukup
melimpah, baik pada habitat karang yang baik maupun yang rusak. Dan sebaliknya,
terkadang pada suatu kawasan bintang laut ini tidak ditemukan sama sekali, baik pada
habitat karang yang baik maupun yang rusak. Beberapa asosiasi bintang laut biru
dengan lingkungan disajikan pada Gambar 3.6.2.2.

74
Gambar 3.6.2.2. Bintang laut biru linckia laevigata yang ditemukan di perairan Kendari

Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kelompok spesies megabenthos yang


memiliki nilai ekologis penting bagi terumbu karang sebagai pemakan polip karang,
yaitu siput pemakan polip karang Drupella spp. ditemukan pada semua stasiun,
sedangkan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci dapat ditemukan di
beberapa stasiun. Siput pemakan polip karang Drupella spp. ditemukan dengan jumlah
individu pada tiap transek bervariasi, namun kesemuanya menunjukkan hasil yang
cukup besar. Siput ini biasanya ditemukan hidup baik pada karang hidup maupun pada
karang mati yang telah ditumbuhi algae. Pada pengamatan di semua stasiun, siput jenis
Drupella cornus dan Drupella margariticola umumnya ditemukan hidup secara soliter
atau sendirian. Sedangkan siput jenis Drupella rugosa ditemukan hidup dalam
kelompok atau berkoloni dalam kelompok kecil yang terdiri dari 5 – 10 individu pada
karang bercabang. Jumlah individu yang ditemukan di dalam transek pada masing-
masing stasiun bervariasi, namun secara umum di atas 10 individu. Pada Stasiun
KDRC02, Stasiun KDRC04, Stasiun KDRC05, Stasiun KDRC06, Stasiun KDRC08
dan Stasiun KDRC09 ditemukan lebih dari 10 individu di dalam transek. Sedangkan
pada Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC03 dan Stasiun KDRC07 ditemukan kurang dari
10 individu.

Drupella spp. merupakan kelompok siput yang memiliki kebiasaan memakan polip
karang, terutama pada karang bercabang (terutama dari kelompok Acropora dan
Pocillopora) maupun karang masif (kelompok Porites) (Arbi, 2009). Namun demikian,
terlihat siput ini juga memakan polip karang pada jenis karang dengan tipe
pertumbuhan karang submasif maupun karang daun. Selain menjadikan polip karang
75
sebagai makanan utama, dalam kondisi tertentu Drupella spp. (terutama jenis Drupella
cornus dan Drupella margariticola) juga memiliki preferensi makanan berupa
mikroalgae yang tumbuh di atas substrat keras. Dalam jumlah sedikit kelompok siput
ini memang tidak membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi karang, namun
jika pada kondisi terjadi ledakan populasi (outbreaks) siput ini besa berakibat fatal bagi
kerusakan karang. Tingginya populasi siput Drupella di suatu lokasi kemungkinan juga
terkait dengan over fishing di lokasi tersebut. Beberapa kelompok ikan (triggerfish,
porcupinefish, wrasses, snappers dan emperor breams) merupakan predator alami bagi
siput parasit Drupella spp, namun jumlahnya di alam semakin menurun karena
penangkapan berlebih. Pada dasarnya, secara ekologis keong pemakang polip karang
ini memiliki peran sebagai pengendali alami bagi keseimbangan ekosistem terumbu
karang. Akan tetapi pengaruh yang ditimbulkan akan cukup signifikan dalam
mematikan karang apabila hadir dalam agregasi yang relatif besar. Ledakan populasi
Drupella spp. pernah menyebabkan kematian massal karang di Great Barier Reef,
Australia (Turner,1994). Beberapa teori mengatakan bahwa ledakan populasinya
berkaitan dengan fenomena global, misalnya ENSO (El Nino Southern Oscillation),
perubahan salinitas dan perubahan suhu. Siput pemakan polip karang Drupella sp. yang
ditemukan di beberapa tipe pertumbuhan karang disajikan pada Gambar 3.6.2.3.

Gambar 3.6.2.3. Drupella sp. ditemukan di beberapa tipe pertumbuhan karang di


perairan Kendari

Bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci merupakan biota pemakan polip
karang yang populer karena dampak kematian karang yang ditimbulkan cukup serius.

76
Spesies ini ditemukan pada lima stasiun, yaitu di Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC02,
Stasiun KDRC04, Stasiun KDRC08 dan Stasiun KDRC09 dimana masing-masing
stasiun hanya terdapat satu individu saja, kecuali pada Stasiun KDRC03 ditemukan
lima individu. Walaupun hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil, namun hal
ini patut diwaspadai mengingat begitu cepatnya pertumbuhan populasi dari spesies ini.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun hanya ditemukan dalam
jumlah sedikit, dalam kurun waktu yang tidak begitu lama setelah itu bintang laut ini
sudah memberikan ancaman serius bagi kondisi karang. Bintang laut bermahkota duri
Achantaster planci juga ditemukan sangat melimpah pada Stasiun KDRC08, akan
tetapi karena posisinya berada di luar transek sehingga datanya tidak ditampilkan.
Namun demikian, informasi tentang keberadaan bintang laut bermahkota duri
Acanthaster planci di luar transek tetap dicatat sebagai informasi tambahan. Pada
Stasiun ini, dari luasan area 10 x 10 meter ditemukan 182 individu bintang laut
bermahkota duri Acanthaster planci yang membuat beberapa titik mengalami
pemutihan karang.

Pada kondisi yang tertekan, Acanthaster planci akan mempercepat proses pematangan
gonad dan segera melakukan pemijahan dengan mengeluarkan telur dalam jumlah besar
(Setyastuti, 2010). Di samping itu, bintang laut bermahkota duri dapat meregenerasi
diri menjadi individu baru yang utuh dari potongan tubuh karena tercabik. Spesies ini
juga diketahui memiliki umur larva planktonik yang relatif lama yang memungkinkan
untuk menyebar luas ke seluruh dunia mengikuti pola arus. Dengan kata lain, walaupun
pada suatu lokasi tidak ditemukan bintang laut bermahkota duri ini, bukan berarti bebas
dari ancaman pemangsaan. Bisa jadi, pada lain waktu arus membawa larva Acanthaster
planci ke tempat tersebut karena perairan laut di seluruh dunia terkoneksi satu sama
lain. Dan akhirnya pemakan polip karang ini akan tumbuh dan berkembang biak setelah
menemukan habitat yang cocok. Disisi lain, tidak adanya predator alaminya juga
menjadi faktor yang layak dikhawatirkan. Siput Charonia tritonis atau triton dan Casis
cornuta atau siput kepala kambing merupakan predator alami dari Acanthaster planci.
Bahkan pada suatu kesempatan, terlihat seorang nelayan sedang membawa Casis
cornuta sebagai tangkapan sampingan selain ikan sebagai tangkapan utamanya. Hasil
pengamatan sekilas di pasar ikan menunjukkan bahwa Casis cornuta dan beberapa jenis
moluska lainnya menjadi komoditas perdagangan. Bintang laut bermahkota duri
Acanthaster planci yang ditemukan disajikan pada Gambar 3.6.2.4.

Kelompok spesies megabenthos yang bernilai ekonomis tinggi yang berasosiasi dengan
terumbu karang juga masih dapat ditemukan, antara lain kerang kima, keong trokha,
lobster dan teripang. Kehadiran kelompok biota tersebut seringkali menjadi indikator
bahwa karang di lokasi tersebut masih sehat, atau kalaupun karang telah mengalami
kerusakan, kondisi lingkungan cukup mendukung kehidupannya. Statusnya sebagai
biota ekonomis penting yang menjadi target buruan bagi nelayan menjadikannya
terancam. Harganya yang terbilang mahal dan permintaan pasar yang tinggi
menjadikannya over eksploitasi di beberapa daerah. Ekonomis penting dalam hal ini
tidak hanya berkaitan dengan bahan pangan tetapi juga untuk kepentingan lain. Selain
dagingnya dikonsumsi, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk
diperjualbelikan, beberapa kelompok megabenthos dimanfaatkan sebagai barang
dagangan dalam bisnis biota hias maupun bahan baku kerajinan tangan.

77
Gambar 3.6.2.4. Acanthaster planci yang ditemukan di perairan Kendari

Kerang kima ditemukan pada lima stasiun, yaitu Stasiun KDRC03, Stasiun KDRC04,
Stasiun KDRC05, Stasiun KDRC07 dan Stasiun KDRC09 dimana umumnya hanya
ditemukan dalam jumlah sedikit, yaitu kurang dari lima individu dalam transek. Pada
Stasiun KDRC01 dan KDRC06, kerang kima dapat ditemukan dalam jumlah yang
relatif banyak di luar transek, walaupun spesies yang yang ditemukan merupakan
spesies yang berukuran kecil, Tridacna crocea dan Tridacna maxima. Ditemukan atau
tidak ditemukannya kerang kima kemungkinan sangat tergantung oleh kesesuaian atau
ketidaksesuaian habitat, baik dalam hal substrat maupun kondisi perairan maupun
faktor lainnya. Fakta juga menunjukkan bahwa kerang kima seperti halnya di daerah
lainnya juga menjadi salah satu biota buruan nelayan, dan terlihat menjadi salah satu
komoditas yang diperdagangkan di pasar ikan.

Ukuran kerang kima yang ditemukan di dalam transek bervariasi, dengan kisaran
ukuran panjang cangkang antara 10 – 40 cm. Ukuran panjang cangkang terkecil yang
ditemukan di dalam transek adalah 7,2 cm, sedangkan ukuran terbesar adalah 45,1 cm.
Jenis kerang kima yang ditemukan di dalam transek adalah Tridacna squamosa dan
Tridacna maxima. Kima yang ditemukan umumnya ditemukan melekat pada harang
hidup dan beberapa individu ditemukan melekat pada karang mati yang telah ditumbuhi
alga. Sedangkan jenis lain selain Tridacna squamosa yang ditemukan di luar transek
adalah T. maxima, T. crocea dan T. derasa. Tridacna maxima dan Tridacna crocea
umumnya memiliki panjang cangkang kurang dari 10 cm. Jenis-jenis kerang kima
dengan ukuran cangkang kecil umumnya adalah jenis yang memiliki tipikal meliang,
sedangkan jenis-jenis kerang kima dengan ukuran cangkang besar adalah yang tidak
78
meliang tetapi melekat pada substrat. Jenis-jenis kerang kima yang memiliki tipikal
tidak melekat maupun meliang yaitu Hipppopus hippopus ditemukan cangkangnya di
luar transek, dan terlihat menjadi komoditas yang diperdagangkan di pasar ikan. Jenis
Tridacna gigas dan Hippopus porcellanus tidak ditemukan baik di dalam maupun di
luar transek.

Kerang kima berdasarkan keberadaannya pada substrat terbagi menjadi tiga kelompok,
yaitu kelompok meliang, kelompok melekat dan kelompok bebas yang tidak meliang
maupun melekat pada substrat. Kelompok kerang kima yang meliang maupun
kelompok melekat umumnya ditemukan pada substrat bertipe keras. Substrat tersebut
antara lain karang hidup, batu, karang mati, karang mati yang ditumbuhi algae.
Sedangkan kelompok bebas yang tidak meliang maupun melekat umumnya ditemukan
pada substrat pasir. kerang kima yang ditemukan selama pengamatan umumnya
meliang atau melekat pada substrat berupa karang mati yang telah ditumbuhi algae
(dead coral with algae / DCA). Walaupun beberapa individu juga ditemukan melekat
atau meliang pada substrat berupa karang hidup (live coral / LC). Hanya ada satu
individu yang ditemukan tidak melekat maupun meliang, tetapi bebas berada di substrat
pasir. Ukuran panjang cangkang masing-masing individu kerang kima yang ditemukan
di dalam transek pada masing-masing stasiun disajikan pada Tabel 3.6.2.1.1.

Tabel 3.6.2.1.1. Jenis dan ukuran kerang kima yang ditemukan pada masing-masing
stasiun serta jenis substrat tempat menempelnya
No Stasiun Jenis Ukuran (cm) Substrat
1 KDRC_03 Tridacna maxima 12.3 Karang mati
2 KDRC_04 Tridacna squamosa 20.9 Karang hidup
3 KDRC_05 Tridacna squamosa 18.2 Karang hidup
4 KDRC_07 Tridacna squamosa 34.7 Karang hidup
5 Tridacna squamosa 7.2 Karang hidup
6 Tridacna squamosa 45.1 Karang hidup
7 Tridacna squamosa 38.6 Karang hidup
8 KDRC_09 Tridacna maxima 13.3 Karang mati
9 Tridacna squamosa 11.8 Karang mati

Kerang kima terdiri dari delapan spesies dalam dua genus, yaitu Tridacna dan
Hippopus dimana tujuh diantaranya dapat ditemukan di Indonesia (Arbi, 2009). Kerang
kima biasanya jarang ditemukan berada di habitat dengan perairan yang keruh, dan
sebaliknya relatif mudah ditemukan di perairan yang jernih. Tridacna crocea umumnya
hidup di substrat yang berupa batu, sedangkan Tridacna squamosa biasanya ditemukan
di sela-sela karang bercabang. Kelompok Hippopus, baik Hippopus hippopus dan
Hippopus porcellanus umumnya memilih habitat dengan substrat berpasir putih.
Keberadaan kima memiliki tingkat keterancaman yang cukup tinggi karena selain
keberadaanya terutama di perairan dangkal yang mudah dijangkau, juga karena
tingginya pengambilan oleh nelayan. Kima memiliki nilai ekonomis tinggi, karena
daging dan cangkangnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Dagingnya sangat
laku dalam perdagangan perikanan non ikan karena kelezatannya, sedangkan
cangkangnya seringkali dijadikan sebagai bahan baku kerajinan untuk souvenir.
Masyarakat Amerika dan Eropa menggemari berbagai jenis kima sebagai salah satu
79
biota hias karena mantelnya yang berwama-wami. Beberapa variasi kerang kima yang
ditemukan disajikan pada Gambar 3.6.2.5.

Gambar 3.6.2.5. Beberapa variasi kerang kima yang ditemukan di perairan Kendari

Keong trokha dapat ditemukan di delapan stasiun, yaitu hanya pada Stasiun KDRC06
saja yang tidak ditemukan. Jumlah individu yang ditemukan pada masing-masing
stasiun umumnya antara 1 – 5 individu dalam transek, kecuali pada Stasiun KDCR02
dimana ditemukan sebanyak 11 individu dalam transek. Keong trokha ini ditemukan
pada beberapa tipe habitat mulai dari karang mati, karang buolder, bahkan karang
bercabang. Pada beberapa stasiun menunjukkan bahwa makanan keong trokha yang
berupa algae sebenarnya cukup tersedia, yang ditandai dengan tingginya prosentasi
substrat yang berupa karang mati yang ditumbuhi algae (dead coral algae). Trochus
niloticus, spesies yang merujuk ke keong lola, tidak ditemukan baik di dalam maupun
di luar transek. Sedangkan yang yang ditemukan merupakan spesies lain tetapi masih
termasuk dalam genus Trochus yang termasuk dalam famili Trochidae maupun Tectus
yang termasuk dalam famili Tegulidae.

Keong trokha terkadang sulit ditemukan karena biasanya hidup menyembunyikan diri
di balik karang pada siang hari. Hal ini sesuai dengan sifat hidupnya yang lebih aktif
pada malam hari atau nokturnal. Jenis keong ini biasanya hidup di antara patahan
karang, karang mati dan celah karang pada terumbu karang daerah intertidal sampai
subtidal dangkal (Arbi, 2009). Kondisi perairan yang keruh dan karang yang tumbuh
umumnya bukan merupakan jenis karang yang ideal sebagai tempat persembunyian
keong tersebut diduga berperan terhadap minimnya jumlah keong trokha yang dapat
80
ditemukan di dalam transek. Faktor lain yang menyebabkan sulitnya menemukan biota
ini adalah aktivitas penangkapan oleh nelayan. Berdasarkan informasi, nelayan
setempat menjadikan biota ini sebagai salah satu target tangkapan sampingan nelayan
karena memiliki harga daging maupun cangkang yang cukup mahal. Keong trokha,
terutama lola dikenal sejak dahulu oleh masyarakat nelayan karena memiliki nilai
ekonomis tinggi. Di samping dagingnya dapat dimakan, cangkangnya selain sebagai
bahan baku pembuatan kancing baju dan perhiasan, juga sebagai media perangsang
pembentukan mutiara pada budidaya kerang mutiara. Keong trokha yang ditemukan
disajikan pada Gambar 3.6.2.6.

Gambar 3.6.2.6. Keong trokha yang ditemukan di perairan Kendari

Lobster ditemukan hanya pada dua stasiun, yaitu di Stasiun KDRC06 dan Stasiun
KDRC09 dengan jumlah individu yang minim, yaitu hanya satu individu pada Stasiun
KDRC09 dan empat individu pada Stasiun KDRC06. Dua individu lobster yang
ditemukan pada Stasiun KDRC06 merupakan jenis yang dikonsumsi, sedangkan dua
individu lainnya pada Stasiun KDCR06 dan satu individu yang ditemukan pada Stasiun
KDRC09 bukan merupakan jenis yang dikonsumsi tetapi lobster yang biasa
dimanfaatkan sebagai biota hias. Lobster yang biasa dikonsumsi terlihat mencolok
karena memiliki ukuran tubuh yang relatif besar dengan antena yang panjang,
sedangkan lobster untuk biota hias biasanya berukuran kecil dan lebih sulit ditemukan.
Pada stasiun lain sebenarnya juga dijumpai lobster, akan tetapi karena posisinya berada
di luar transek sehingga tidak dimasukkan ke dalam data. Namun demikian kehadiran
lobster walaupun berada di luar transek tetap di catat sebagai informasi tambahan.

81
Lobster merupakan kelompok megabenthos yang memiliki nilai ekonomis penting
tetapi sulit ditemukan di wilayah perairan Kendari. Sulitnya menemukan lobster diduga
terkait oleh beberapa hal yang berkaitan dengan sifat ekologinya. Pertama, lobster
bersifat nokturnal atau aktif di malam hari, sedangkan pengamatan dilakukan di siang
hari. Kedua, lobster umumnya hidup di perairan yang relatif jernih dengan masa air
yang dinamis. Ketiga, lobster lebih menyukai hidup di tebing atau karang berbentuk
boulder sebagai tempat persembunyiannya. Berdasarkan ketiga faktor ekologis
tersebut, lokasi monitoring di perairan Kendari kurang sesuai bagi lobster untuk
berkembang dengan baik. Permintaan lobster, baik untuk pasar domestik maupun
ekspor, terus meningkat sehingga nelayan terus berupaya menangkap lobster dari alam
(Setyono, 2006). Lobster yang ditemukan pada pengamatan ini disajikan pada Gambar
3.6.2.7..

Gambar 3.6.2.7. Lobster yang ditemukan di perairan Kendari

Teripang ditemukan pada empat stasiun, yaitu di Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC02,
Stasiun KDRC05 dan Stasiu KDRC09 dimana masing hanya terdapat satu atau dua
individu saja. Teripang yang ditemukan umumnya merupakan jenis yang memiliki nilai
jual di dunia perdagangan teripang yang tidak terlalu tinggi, yaitu Pearsonothuria
graeffei, kecuali satu individu yang ditemukan di Stasiun KDRC01 yaitu jenis
Telenotha sp. Jika melihat kondisi perairan, kondisi terumbu karang, serta keberadaan
megabenthos lain, sangat minimnya jumlah teripang yang ditemukan sebenarnya
merupakan sebuah pertanyaan. Belum diketahui faktor yang menyebabkan minimnya
jumlah teripang yang dapat ditemukan.

82
Teripang (holothurians) hidup pada substrat pasir, lumpur maupun dalam lingkungan
terumbu. Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan (food chain) di
daerah terumbu karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik
(trophic levels), berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan
pemakan suspensi (suspensifeeder) (Darsono, 2002). Teripang mencerna sejumlah
besar sedimen, terjadilah pengadukan lapisan atas sedimen di goba, terumbu maupun
habitat lain yang memungkinkan terjadi oksigenisasi lapisan sedimen. Proses ini
mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat mungkin
membantu mengontrol populasi hama dan organisma patogen. Teripang adalah
komoditi perikanan yang diperdagangkan secara internasional, dan eksploitasinya telah
berlangsung sejak ratusan tahun. Teripang diketahui sebagai bahan makanan tradisional
yang diminati di beberapa negara di Asia karena kandungan zat-zat obat (medicinal
properties), berkhasiat dalam proses penyembuhan (curative), dan diyakini
mengandung zat untuk meningkatkan vitalitas (aphrodisiac). Ancaman utama
keberadaan teripang di alam justru berasal dari tangkapan yang berlebih (over
exploitation). Teripang yang ditemukan selama pengamatan disajikan pada Gambar
3.6.2.8.

Gambar 3.6.2.8. Teripang yang ditemukan di perairan Kendari

Tingginya nilai ekonomi beberapa spesies atau kelompok spesies megabenthos


menyebabkan tekanan terhadap keberadaannya terus meningkat. Beberapa spesies
bahkan hampir mengalami kepunahan karena pengambilan di alam secara besar-
besaran (over exploitation), maupun akibat kerusakan habitat. Berdasarkan kenyataan
ini, pemerintah Indonesia segera tanggap dengan mengeluarkan beberapa perundang-
83
undangan sebagai upaya pelestarian sumber daya hayati, diantaranya menetapkan
beberapa jenis biota sebagai hewan yang dilindungi. Ketentuan internasional juga telah
menetapkan beberapa jenis biota laut tersebut dalam kategori endangered dan
tercantum dalam Red Data Book. Pengawasan bagi perdagangannya dicantumkan
dalam Apendiks II CITES yang artinya dapat dimanfaatkan dengan kuota atau dibatasi,
misalnya kerang kima.

Kelompok spesies megabenthos yang memiliki nilai ekonomis tinggi walaupun masih
dapat ditemukan di kawasan perairan Kendari, namun kemungkinan akan sulit
mengalami pemulihan jumlah di masa yang akan datang. Hal ini mengingat posisi
perairan yang berada pada wilayah yang ekosistemnya mengalami tekanan yang cukup
tinggi baik dari kegiatan industri, lalu lintas perairan, pemukiman penduduk maupun
pertanian dan perkebunan. Status kawasan konservasi pun apabila diberlakukan di
beberapa titik yang memiliki harapan untuk dipulihkan tidak mudah untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Di sisi lain, keberadaan megabenthos yang memiliki nilai
ekologis tinggi terutama biota pemakan polip karang (siput Drupella dan bintang laut
bermahkota duri Acanthaster planci) juga patut diperhatikan karena menjadi ancaman
tersendiri bagi keberadaan karang.

3.6.3. Fluktuasi Tahunan Kondisi Megabenthos


Dibandingkan dengan hasil pengamatan pada tahun sebelumnya, terjadi fluktuasi
sebaran dan kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos. Perubahan
komposisi spesies atau kelompok spesies megabenthos terkait erat dengan perubahan
yang alami dari kondisi habitat karang maupun perubahan akibat pengambilan dari
alam yang dilakukan oleh nelayan.

Dari grafik dapat dilihat bahwa bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci pada
tahun 2015 ditemukan pada tiga stasiun (Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC04 dan
Stasiun KDRC06), pada tahun 2016 ditemukan pada empat stasiun (Stasiun KDRC01,
Stasiun KDRC02, Stasiun KDRC06 dan Stasiun KDRC08), sedangkan pada tahun
2017 ditemukan pada lima stasiun (Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC02, Stasiun
KDRC04, Stasiun KDRC08 dan Stasiun KDRC09). Artinya bahwa bintang laut
bermahkota duri Acanthaster planci selalu ditemukan di Stasiun KDRC01 dengan
jumlah stabil. Pada tahun 2015 tidak ditemukan pada Stasiun KDRC02, namun
ditemukan pada tahun 2016 dan jumlahnya meningkat pada tahun 2017. Bintang laut
bermahkota duri Acanthaster planci ini tidak pernah ditemukan di Stasiun KDRC03,
Stasiun KDRC05 dan Stasiun KDRC07. Pada tahun 2015 ditemukan pada Stasiun
KDRC04, kemudian tidak ditemukan pada tahun 2016, dan ditemukan kembali pada
tahun 2017. Pada tahun 2015 dan 2016 ditemukan pada Stasiun KDRC06, namun tidak
ditemukan pada tahun 2017. Pada Stasiun KDRC08 tidak ditemukan pada tahun 2015,
kemudian ditemukan pada tahun 2016, dan kembali ditemukan pada tahun 2017 dengan
sedikit mengalami penurunan jumlah. Pada tahun 2015 dan 2016 tidak ditemukan di
Stasiun KDRC09, namun ditemukan pada tahun 2017. Pada beberapa stasiun, terutama
Stasiun KDRC08, jumlah bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci yang
ditemukan di rataan terumbu sangat melimpah. Pada luasan 100 m2 tercatat sebanyak
182 individu yang memakan berbagai jenis karang. Berdasarkan beberapa publikasi,
diketahui bahwa puncak populasi bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci di
sekitar perairan tropis adalah pada bulan April – Mei 2017.

84
Gambar 3.6.3.1. Fluktuasi tahunan jumlah individu masing-masing megabenthos target
selama tiga tahun terakhir

Siput pemakan polip karang Drupella spp. mengalami fluktuasi yang kompleks pada
semua stasiun dari tahun 2015 ke tahun 2017, baik mengalami peningkatan maupun
penurunan jumlah. Siput ini mengalami penurunan jumlah individu pada Stasiun
KDRC01, Stasiun KDRC03, Stasiun KDRC03 dan Stasiun KDRC08. Penurunan
jumlah individu yang terjadi dari tahun 2015 ke 2017 secara umum tidak signifikan.
85
Sedangkan pada Stasiun KDRC04 siput ini justru mengalami kenaikan jumlah individu,
walaupun juga tidak signifikan. Pada Stasiun KDRC02, Stasiun KDRC06 dan Stasiun
KDRC09 jumlahnya mengalami penurunan dari tahun 2015 ke tahun 2016, namun
kembali mengalami kenaikan pada tahun 2017 dimana kenaikan cukup signifikan
terjadi pada Stasiun KDRC02. Dan pada Stasiun KDRC05, jumlah individu yang
ditemukan mengalami kenaikan signifikan dari tahun 2015 ke tahun 2016, namun
kembali mengalami penurunan signifikan pada tahun 2017.

Bulu babi terlihat adanya fluktuasi yang mencolok pada Stasiun KDRC01, Stasiun
KDRC05 dan Stasiun KDRC06. Penurunan jumlah individu yang signifikan dari tahun
2015 ke tahun 2016 dan 2017 pada Stasiun KDRC01 dan Stasiun KDRC05, sebaliknya
mengalami kenaikan cukup signifikan dari tahun 2015 dan 2016 ke tahun 2017. Pada
Stasiun KDRC02 dan Stasiun KDRC09 jumlah individu yang ditemukan dari tahun
2015 ke tahun 2017 relatif stabil, hanya mengalami sedikit kenaikan atau penurunan.
Pada Stasiun KDRC07 tidak ditemukan pada tahun 2015 namun ditemukan pada tahun
2016 dan 2017, sedangkan pada Stasiun KDRC08 ditemukan pada tahun 2015 namun
tidak ditemukan pada Stasiun 2016 dan 2017. Sementara itu pada Stasiun KDRC03 dan
Stasiun KDRC04 tidak ditemukan bulu babi antara tahun 2015 dan 2017.

Bintang laut biru Linckia laevigata juga mengalami fluktuasi dalam hal jumlah individu
yang ditemukan pada tahun 2015 dan 2017. Pada Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC07
dan Stasiun KDRC09 terjadi kenaikan jumlah individu yang ditemukan, khususnya
pada Stasiun KDRC01 dimana kenaikan yang terjadi sangat signifikan. Pada Stasiun
Stasiun KDRC08 jumlahnya mengalami kenaikan dari tahun 2015 ke 2016 kemudian
mengalami penurunan pada tahun 2017. Sebaliknya pada Stasiun KDRC06 mengalami
penurunan jumlah individu yang ditemukan dari tahun 2015 ke tahun 2016 namun
kembali mengalami kenaikan di tahun 2017. Pada Stasiun KDRC04 tidak ditemukan
pada tahun 2015 dan 2016, kemudian pada tahun 2017 ditemukan dalam jumlah yang
sangat sedikit. Sementara itu pada Stasiun KDRC05 tidak ditemukan pada tahun 2015,
kemudian ditemukan dalam jumlah sangat sedikit pada tahun 2016 dan 2017. Bintang
laut biru Linckia laevigata tidak ditemukan antara tahun 2015 dan 2017 di Stasiun
KDRC03.

Kerang kima secara umum ditemukan dalam jumlah yang fluktuatif dari tahun 2015 ke
tahun 2017. Pada Stasiun KDRC03, Stasiun KDRC04 dan Stasiun KDRC05, kerang
kima tidak ditemukan pada tahun 2015 tetapi ditemukan pada tahun 2016 dan 2016,
walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Kejadian sebaliknya justru terjadi pada
Stasiun KDRC08, dimana kerang kima ditemukan pada tahun 2015 tetapi tidak
ditemukan pada tahun 2016 dan 2017. Sedangkan pada Stasiun KDRC06 ditemukan
pada tahun 2015 dan 2016 namun tidak ditemukan pada tahun 2017. Pada Stasiun
KDRC07 ditemukan dalam jumlah stabil dari tahun 2015 ke tahun 2016, dan
mengalami kenaikan pada tahun 2017. Sementara itu pada Stasiun KDRC09 tidak
ditemukan pada tahun 2015 dan 2016, kemudian ditemukan pada tahun 2017. Kerang
kima tidak ditemukan dari tahun 2015 ke tahun 2017 pada Stasiun KDRC01 dan
Stasiun KDRC02.

Fluktuasi jumlah individu yang ditemukan juga terjadi pada keong trokha. Keong
trokha mengalami peningkatan jumlah jenis dari tahun 2015 sampai 2017 pada Stasiun
KDRC02 dan Stasiun KDRC05 dimana kenaikan signifikan terjadi pada Stasiun
86
KDRC02 dari tahun 2016 ke tahun 2017. Sebaliknya, penurunan jumlah individu
terjadi pada Stasiun KDRC04 dan Stasiun KDRC06, dimana pada Stasiun KDRC04
penuruna jumlah individu yang terjadi cukup signifikan dari tahun 2015 ke 2016 dan
pada Stasiun KDRC06 tidak ditemukan pada tahun 2017. Pada Stasiun KDRC01,
Stasiun KDRC03, Stasiun KDRC07 dan Stasiun KDRC08 justru pada tahun 2016 tidak
ditemukan keong trokha, padahal pada tahun 2015 dan tahun 2017 ditemukan walau
dalam jumlah sedikit dan terjadi sedikit kenaikan atau penurunan. Pada Stasiun
KDRC08 jumlah indivisu keong trokha yang ditemukan relatif stabil, walaupun sempat
mengalami sedikit kenaikan dari tahun 2015 ke 2016 dan kembali mengalami penuruna
pada tahun 2017.

Teripang secara umum tidak terlihat mengalami fluktuasi penurunan ataupun


peningkatan jumlah individu. Pada tahun 2015 teripang hanya ditemukan pada satu
stasiun, yaitu Stasiun KDRC09 dalam jumlah yang sangat sedikit. Pada tahun 2016
teripang juga hanya ditemukan pada dua stasiun, yaitu Stasiun KDRC05 dan Stasiun
KDRC06 dalam jumlah yang sangat sedikit pula. Sedangkan pada tahun 2017, teripang
ditemukan pada empat stasiun, yaitu Stasiun KDRC01, Stasiun KDRC02, Stasiun
KDRC05 dan Stasiun KDRC09. Sama halnya dengan tahun 2015 dan 2016, jumlah
individu teripang yang ditemukan pada tahun 2017 juga sangat sedikit. Pada Stasiun
KDRC03, Stasiun KDRC04, Stasiun KDRC07 dan Stasiun KDRC08, teripang tidak
ditemukan dari tahun 2015 sampai 2017.

Seperti halnya pada teripang, lobster juga tidak memperlihatkan fluktuasi dari tahun
2015 ke tahun 2017 karena jumlah individu yang ditemukan sangat sedikit. Lobster
pada tahun 2015 hanya ditemukan pada satu stasiun, yaitu Stasiun KDRC01 dengan
jumlah yang sangat sedikit. Pada tahun 2016 lobster juga ditemukan di satu stasiun,
yaitu Stasiun KDRC04, dan juga dalam jumlah individu yang sangat sedikit. Pada
tahun 2017, lobster juga hanya ditemukan di dua stasiun saja, yaitu Stasiun KDRC06
dan Stasiun KDRC09. Fluktuasi sebaran masing-masing spesies atau kelompok spesies
megabenthos di perairan Teluk Kendari selama tahun 2015 sampai 2017 disajikan pada
Tabel 3.6.3.1 berikut.

KESIMPULAN
Megabenthos di perairan Kendari dalam kondisi cukup beragam. Megabenthos yang
bernilai ekonomis masih dapat ditemukan, walaupun dengan kepadatan rendah.
Megabenthos yang bernilai ekologis sebagai indikator lingkungan ditemukan dalam
jumlah yang cukup besar sehingga patut dipantau. Megabenthos yang bernilai ekologis
sebagai pemangsa polip karang terutama siput Drupella spp. ditemukan dalam sebaran
individu yang luas dan kelimpahan yang tinggi sehingga juga patut mendapatkan
perhatian. Ledakan populasi bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci sebagai
pemangsa polip karang di beberapa stasiun perlu mendapatkan perhatian karena
berpotensi menimbulkan kerusakan terumbu karang. Peran status konservasi baik
terhadap ekosistem maupun terhadap spesies diharapkan akan membawa perubahan
hasil yang positif bagi keberadaan megabenthos dan kesehatan ekosistem di masa yang
akan datang. Sehingga perlu dilakukan penentuan zonasi kawasan konservasi perairan
agar mendapatkan hasil yang maksimal.

87
Tabel 3.6.3.1. Fluktuasi sebaran masing-masing spesies atau kelompok spesies megabenthos di perairan Teluk Kendari selama tahun 2015 sampai
2017
Stasiun KDRC
No. Megabenthos
01 02 03 04 05 06 07 08 09
15 16 17 15 16 17 15 16 17 15 16 17 15 16 17 15 16 17 15 16 17 15 16 17 15 16 17
1 Acanthaster planci 1 1 1 0 1 5 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 2 1 0 0 1
2 Bulu Babi 23 11 13 2 2 1 0 0 0 0 0 0 8 1 1 1 1 7 0 1 1 2 0 0 2 1 2
3 Linckia laevigata 10 14 24 9 9 10 0 0 0 0 0 1 0 0 0 4 1 6 1 1 4 6 3 4 1 4 5
4 Siput Drupella spp. 12 7 4 25 11 46 17 16 9 27 32 32 22 63 23 23 11 20 12 24 5 22 19 11 38 36 41
5 Kerang kima 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 3 3 4 1 0 0 0 0 2
6 Teripang 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
7 Lobsters 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 1
8 Keong trokha 1 0 1 2 4 11 1 0 2 13 4 3 2 5 5 3 2 0 3 0 1 2 0 1 1 2 1

88
BAB IV
KESIMPULAN
Kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait di kawasan pesisir
Kendari, Sulawesi Tenggara dilaksanakan pada tanggal 24 Maret sampai dengan 4 April
2017. Berdasarkan hasil monitoring, dapat disimpulkan sebagai berikut :
 Terumbu karang di kawasan pesisir Kendari secara umum terdistribusi di sepanjang
pesisir daratan utama dan pulau kecil-kecil dengan tipe terumbu tepi (fringing reef)
dan gosong karang (patch reef). Kondisi perairan yang jernih membuat karang masih
dijumpai sampai sekitar 25 meter. Jenis karang yang umum ditemukan adalah dari
family Acroporidae, Poritidae, Faviidae, Oculinidae, Euphyillidae dan Pectinidae.
Karang umumnya tumbuh sehat, namun masih ditemukan fenomena bleaching dengan
persentase yang rendah. Selain itu, adanya predator Acanthaster planci juga
berpengaruh terhadap kesehatan karang dimana banyak ditemukan partial mortality
dari karang Acropora.
 Terjadi peningkatan persentase tutupan karang hidup di beberapa stasiun sebagai
indikasi terjadi pemulihan setelah semua stasiun mengalami penurunan tutupan
karang hidup pada tahun 2016. Pemutihan karang terjadi di beberapa stasiun akibat
serangan predator bintang mahkota duri Achantastre planci
 Aktifitas penangkapan ikan dengan bom masih ada, bentuk ancaman lainnya terhadap
terumbu karang adalah wisata dan sedimentasi baik secara almai ataupun oleh
pengembangan di sepanjang pesisir teluk Kendari dan sekitarnya
 Keragaman jenis lamun di perairan Kendari pada tahun 2017 masih sama dengan
tahun 2015 (t0) dan 2016 (t1), tercatat ada delapan jenis yaitu; Halodule pinifolia,
Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolim,
Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis. Sedangkan
komposisi dan distribusi jenis lamun dari masing-masing stasiun pengamatan
bervariasi yang didominasi oleh jenis Enhalus acoriides dan Thalassia hemprichii.
 Tutupan lamun di perairan Kendari tahun 2017 masuk kategori tutupan padang
lamunnya cukup padat (26-50%), tetapi kondisi tutupannya adalah miskin (<29,9%).
Penurunan ini, kemungkinan disebabkan adanya penimbunan (reklamasi) pesisir
pantai, khsususnya dipesisir Teluk Kendari.
 Secara umum, keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir Kendari sudah mulai
terjadi intervensi oleh masyarakat, akan tetapi masih dalam batas toleransi dan wajar.
Namun demikian, untuk kawasan pesisir disepanjang Teluk Kendari sudah terjadi
penurunan luas area mangrove yang sangat drastis dan mengkawatirkan.
 Berdasarkan perhitungan nilai persentase tutupan tajuk mangrove, di beberapa daerah
mengalami peningkatan, dan ada pula yang mengalami penurunan. Namun demikian
hutan mangrove di kawasan pesisir Kendari masih dalam kategori baik.
 Perubahan turun dan naiknya persentase tutupan tajuk (% cover) komunitas
mangrove tersebut di atas adalah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain musim,
dan dinamika daun (kuncup daun dan gugur daun). Selain itu, besaran nilai
persentase tutupan tajuk komunitas mangrove juga dipengaruhi oleh faktor pososi
pada saat pengambilan. Perubahan posisi dalam pengambilan foto, dampaknya akan
mempengaruhi hasil foto, yang selanjutnya akan terjadi perubahan nilai persentase
tutupan tajuk.
 Megabenthos di perairan Kendari dalam kondisi cukup beragam.
 Megabenthos yang bernilai ekonomis masih dapat ditemukan, walaupun dengan
kepadatan rendah, sedangkan megabenthos yang bernilai ekologis sebagai indikator
lingkungan ditemukan dalam jumlah yang cukup besar, sehingga patut dipantau.

89
 Megabenthos yang bernilai ekologis sebagai pemangsa polip karang terutama siput
Drupella spp. ditemukan dalam sebaran individu yang luas dan kelimpahan yang
tinggi sehingga juga patut mendapatkan perhatian.
 Ledakan populasi bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci sebagai pemangsa
polip karang di beberapa stasiun perlu mendapatkan perhatian, karena berpotensi
menimbulkan kerusakan terumbu karang.
 Hasil perhitungan biomas tahun 2017 menunjukkan adanya kecenderungan perubahan
meningkatnya biomas pada hampir semua lokasi pengamatan. Hal ini kemungkinan
karena kondisi habitat mulai membaik setelah terjadinya bencana ”pemutihan karang”
tahun 2016.
 Selain itu, ikan-ikan yang sebelumnya masih sebagai ikan muda (juvenile), saat ini
telah menjadi dewasa dan saat pengambilan data belum tertangkap alat tangkap yang
beroperasi seperti jaring, bubu, sero, bom dan sebagainya.
 Kegiatan penangkapan ikan diperairan kendari sangat intensif, hampir semua alat
yang digunakan tidak tergolong ramah lingkungan. Pengemboman terumbu karang
hingga saat ini juga masih dilakukan.

90
DAFTAR PUSTAKA
Arbi, U.Y. 2009. Drupella spp. (Muricidae: Mollusca): Siput pemakan karang. Oseana
XXXIV(3): 19-24.
Arbi, U.Y. 2009. Beberapa jenis Moluska yang Dilindungi di Indonesia. Oseana
XXXIV(4): 25-33.
Abbott, R.T., and P. Dance. 1990. Compendium of Seashell. Crawford. House Press,
Australia: 411 pp.
Allen, G.R., and R.C. Steene, 1996. Indo Pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef
Research. Singapore. 378 pp.
Allen, G. 1997. Marine Fishes of Tropical Australia and South – East Asia. A Field
Guide for Anglers and Divers. 292 p.
Allen, G.R., 2000. Marine Fishes of South – East Asia, A Field Guide for Anglers and
Divers. Periplus edition. 293 p.
Allen, G. R., R. Steene, P. Human and N. Deloach, 2003. Reef Fsh Identification
Tropical Pacific. New World Publication, Inc. Jacksonville, Frorida USA.
457 pp.
Bakus, G. J., (1990) Quantitative Ecology and Marine Biology. Department of
Biological Science University of Southern California. Los Angeles. C. A.
90089-0371. A-A. Balkeman/Roterdam. 164 pp.
Burke, L., E. Selig dan M. Spalding, 2002. Terumbu karang yang terancam di Asia
Tenggara. World Resource Institute. Washington, DC, USA. 44 pp.
Brower, J.E. & J.H. Zar 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
MWC Brawn Company Publishing, Iowa: 194 pp.
Chapman, V.J. 196. Mangrove vegetation. J. Cramer, Valduz. pp 447.

Clark, A.M. and F.E.W. Rowe. 1971. Monograph of Shallow Water Indo-West Pacific
Echinoderms. British Museum (Natural History), London: 238 pp.
Colin, P. L. and C. Arneson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press.
California: 341 pp.
Crosby, M. P. & E. S. Reese. 1996. A manual for monitoring coral reefs with indicator
species: butterfly fishes as indicators of change on indo pacific reefs. Office
of Ocean and Coastal Resources Management, National Oceanic and
Atmospheric Administration, Silver Spring, MD., 45 pp.
English,S., C. Wilkinson and V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsvile. 368 p.
Froese, R., and D. Pauly, 2000. Fish Base 2000, Concepts, design and data sources.
ICLARM, Los Banos, Laguna, Philippines. 344 p.
Dharmawan, E.W. dan Pramudji 2014. Panduan Monitoring Status Ekosistem
Mangrove. COREMAP CTI, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. 42 hal
Dorenbosch, M. 2006. Conectivity between fish assemblages of seagrass beds,
mangroves and coral reefs evidence from the Carribean and the western
Indian Ocean. Published by the university Library, Radboud University
Nijmegen, The Netherlands. pp 216.
Darsono, P. 2002. Perlukah teripang (holothurians) dilindungi?. Oseana XXVII(3): 1-9.
Den Hartog, C. and J. Kuo 2006. Taxonomy and biogeography of seagrasses. In: Seagrasses: Biology,
Ecology and Conservation (W.D. Larkum, R.J.Orth and C.M. Duarte, eds.) Springer,
Nedherlands, pp.1-23

91
English, S., C. Wilkinson and V. Baker 1994. Survey manual for tropical marine
resources. Published on behalf of the ASEAN-Australia Marine Science.
Townswile. pp 367.
Fonseca, M.S. 1987. The management of seagrass system. Trop,Coast,Area.Manag.
ICLARM. Newsletter 2 (2): 5-7.
Giesen, W., S. Wulfraat, M. Zieren and L. Scholten. 2009. Mangrove guidebook for
Southeast Asia. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Maliwan
Mansion, Phra Atit Road, Bangkok 10200, Thailand. p 769.
Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma & Suharsono. 2010. Effisiensi dan akurasi pada
proses analisis foto bawah air untuk menilai kondisi terumbu karang.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36 (1): 111-130.
Giyanto. 2012a. Kajian tentang panjang transek dan jarak antar pemotretan pada
penggunaan metode transek foto bawah air. Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia 38 (1): 1-18.
Giyanto. 2012b. Penilaian kondisi terumbu karang dengan metode transek foto bawah
air. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38 (3):377-389.
.Heald, E.J. and W.E. Odum 1972. The contribituon of mangrove swamps to Florida
fisheries. In : Gulf and Caribian fisheries Institute Proceedings, 22nd. Sess.:
130-135
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago and S. Baba. 1999. Handbook of mangroves in
Indonesia. Printed by Saritaksu, Denpasar, Bali Indonesia. 119 p.
Hukom, F. D. dan N. I. Sutarna (1989) Studi Pendahuluan Komunitas Ikan Karang di
Beberapa Perairan Terumbu Karang Pulau Saparua. Dalam : Perairan
Maluku dan Sekitarnya. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Laut, Puslitbang Oseanologi, LIPI, Ambon : 53 - 63
Hukom, F. D., B. G. Hutubessy dan N. I. Sutarna. 1990. Komunitas Ikan Karang Pada
Perairan Terumbu Karang Kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara. Dalam :
Perairan Maluku dan Sekitarnya. Balai Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut, Puslitbang Oseanologi, LIPI, Ambon : 53 - 63
Hutomo, M. 1977. Ikan-ikan di muara sungai karang : suatu analisa pendahuluan tentang
kepadatan dan struktur komunitas. Oseanologi di Indonesia 9 :13 –28.
Hutomo, M dan S. Martosewojo (1977) The fishes of Seagrass community on the west
side of Burung Island (Pari Island, Seribu Island) and Their variations in
abundance. Mar. Res. Indonesia 17 : 147 – 172
Jones, R. S. and J. A. Chase, 1975 Community Structure and Distribution of Fishes in an
Enclosed high Island Lagoon in Guam. Micrinesica 11 (1) : 127 – 148.
Kaufman, L., S. Sandin., D. Obura., F. Rohwer and T. Tschirky. 2011. Coral health
index (CHI) : measuring coral community health. Science and Knowledge
Division, Conservation International, Arlington, VA, USA. 16 pp
Kementerian Lingkungan Hidup (KMLH) 2004. Kepmen. No. 200 Tahun 2004 Tentang
Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun,
16 hal
Kohler, K.E; M. Gill. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): a visual
basic program for the determination of coral and substrate coverage using
random point count methodology. Comput Geosci 32(9):1259-1269
Kuo, J. and A.J. McComb 1989. Seagrass taxonomy, structure and development. In: A.W.D. Larkum, A.J.
Comb and S.A. Shephered (eds). Biology of seagrasses : a treatise on the biology of
seagrasses with special reference to Australian region. Elsier, Amsterdam, 6-73.

92
Kuo, J. and A.J. McComb 1989. Seagrass taxonomy, structure and development. In: A.W.D. Larkum, A.J.
Comb and S.A. Shephered (eds). Biology of seagrasses : a treatise on the biology of
seagrasses with special reference to Australian region. Elsier, Amsterdam, 6-73.
Krebs, Ch. J., 1989. Ecological Methodology. Harper & Row Publ. New York. 678 p
Kuitter, R. H. 1992. Tropical Reff Fishes of the Western Pacific. Indonesian and Adjascent Waters.
Gramedia Jakarta. 314 Hal.
Lee, C. D., S. B. Wang and C. L. Kuo, 1978. Benthic macroinvertebrates and fish as
biological indicator of water quality with reference to community diversity
index. In E.A.R. Quano, B.N. Lokani, N.C. Thank (Ed.). Water Pollution
control in development countries. AIT Bangkok, p:233-238.
Loya, Y. 1978. Plotless and Transect Methods, in: Stoddard, D.R., and R.E. Johannes,
Coral Reef Research Methods, Paris (UNESCO): 22–32.
Masuda, H. and G.R. Allen, 1987. Sea fishes of the world, Indo-pacific region. Yama-
key, Tokyo, Japan, 526 pp.
Munro, I. R. S. 1967. The Fishes of New Guinea. Dept. Agr. Stck Fish, Port Moresby. 651 pp.
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunders co., Philadelphia : 574 pp.
Matsuura, K., O.K. Sumadiharga and K. Tsukamoto. 2000. Field Guide to Lombok
Island. Identification Guide to Marine Organism in Seagrass Beds of
Lombok Island, Indonesia. University of Tokyo: 449 pp.
Martosubroto, P and Naamin 1977. Relationship between mangrove and commercial
shrimp production in Indonesia. Mar. Res. Indonesia 18:81-86.
Martosubroto, P. and Sudradjat. 1974. Study on some ecological aspects and fisheries of
Segara Anakan in Indonesia. Fish. Res. Inst. LPPL 1/73: 63-74.
Neira, R.O. and J.R.K. Cantera. 2005. Composición Taxonómica y Distribución de las
Asociaciones de Equinodermos en los Ecosistemas Litorales del Pacifico
Colombiano. Rev. Biol. Trop. 53 (3): 195-206.
Nienhuis, P.H.. J. Coosen and W. Kiswara 1989. Community structure and biomass
distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia.
Net.J.Sci.Res. 23 (2): 192-214.
Nienhuis, P.H.. J. Coosen and W. Kiswara 1989. Community structure and biomass
distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia.
Net.J.Sci.Res. 23 (2): 192-214.

Noor, Y.R., M. Khazali dan I.N.N. Suryadipura. 1999. Panduan mangrove di Indonesia.
PKA/WI-IP, Bogor. 220 hal.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of ecology. 3rd edn. W.B. Sounders, Philadelphia,
Pennsylvania USA.
Pramudji 2009. Laporan penelitian hutan mangrove di Pulau Buton, Pulau Kabaena dan
Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI,
Jakarta.
Pramudji 2011. Laporan penelitian hutan mangrove di Kendari. Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI, Jakarta
Pramudji and G. Cheen 2014. Laporan penelitian hutan mangrove di pesisir Likupang,
Sulawesi Utara. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta
Primavera, J.H., R.B. Sabada, M.J.H.I. Lebata and J.P. Altamirano. 2004. Handbook of
mangroves in the Philippines – Panay. Publiished by Aquaculture
Departement, Southeast Asian Fisheries Development Centre. Tigbauan,
oilo, Philippines. 106 p.

93
Reksodihardjo G, Liliey. 1999. Buku Panduan Penggunaan Flipchart Terumbu Karang Indonesia. Jakarta
: Direktorat Jendral Perlindungan dan Konservasi alam. USAID. Yayasan Pusaka Alam
Nusantara. The Natur Coservation. Natural Resources Mangement Program.
Phillips, R. C. and E.G. Menez 1988. Seagrasses. Smitthsonian Inst. Press., Washington,
104 p.
Phillips, R. C. and E.G. Menez 1988. Seagrasses. Smitthsonian Inst. Press., Washington,
104 p.
Rahmawati, S. , H. Hindarto, M.H. Azkab dan W. Kiswara 2015. Panduan Monitoring
Padang Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta, 34 hal.
Radiarta, I. N. dan J. Emor, 2003. Sumber Daya Ikan Pada Ekosistem Terumbu Karang
di Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara. Jornal Penelitian Perikanan
Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Depertemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta. Vol 9 No.3. hal 73 – 82.
Randall, J. E., G.R. Allen and R.C. Steene. 1997. The Complete Divers and Fisherman’s
Guide to Fishes of the Great Barrier Reef and Coral Sea. Revised and
expanded edition. Periplus. i - xx, 1 – 557 p. I – VIII.
The World Bank. 2006. Measuring coral reef ecosystem healt: Integrating Societal
Dimention. Global Environment Facility Coordination Team Environment
Department World Bank. Washington DC, USA. 65 pp
Thorhaug, A and C.B. Austin 1986. Restoration of seagrass with economic analysis.
Environ. Conserv. 3(4): 259-267.
Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix 1975. Structural and fluctuation aspects of a recently
established Zostera marina community. Estuarine Res. 1 : 518-540.
Turner, S.J. 1994. The Biology and Population Outbreaks of the Corallivorous Gastropod
Drupella on Indo-Pacific Reefs. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 32: 461-
530.
Salm, R.V. 1984. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and
Managers: IUCN & Natural Resources Gland. Switzerland: 370pp.
Sastrapradja, D., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja and M.A. Rifai, 1989,
Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Bangsa. Puslitbang
Bioteknologi LIPI, Jakarta.
Sediadi, A. 1999. Pemantauan Keanekaragaman Hayati di Terumbu Karang. Prosiding
Seminar tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut dalam Rangka
Penghargaan kepada Prof. Dr. Aprilani Soegiarto, M.Sc., APU. 1999: 205–
210.
Setyastuti, A. 2010. Tunjauan ledakan populasi dari bintang laut bermahkota
duri,Acanthaster planci. Oseana XXXV(3): 1-6.
Setyono, D.E.D. 2006. Budidaya pembesaran udang karang (Panulirus spp.). Oseana
XXXI(4): 39-48.
Siringoringo, R.M., R.D. Palupi, T. A. Hadi 2012. Biodiversitas Karang batu
(Scleractinia) di Perairan Kendari. Ilmu kelautan vol. 17 (1) 23 – 30.
Suharsono, 2004. Jenis – Jenis Karang Batu di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. COREMAP Proyek. 344 hal.
Snedaker, S.L. and J. G. Snedaker 1984. The mangrove ecosystem: Research method.
Published by the United National Educational, Scientific and Cultural
Organisation. Bungay, United Kingdom. 251 pp.
Thorhaug, A and C.B. Austin 1986. Restoration of seagrass with economic analysis.
Environ. Conserv. 3(4): 259-267.

94
Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix 1975. Structural and fluctuation aspects of a recently
established Zostera marina community. Estuarine Res. 1 : 518-540.
Tay, S. W. and H. W. Khoo, 1985. The distribution of coral reef fishes at Pulau Sula,
Singapore. In Recent Research activities on coral reefs in Southeast Asia.
Biotrop special Pub. No. 22, pp 27-40.
Trorhaug, A. and C.B. Austin 1986. Restoration of seagrass with economic analysis.
Envir. Conserv. 3 (4) : 259-267.
Tomlinson, P.B. 1986. The botany of mangrove. Published by the Press Syndicate of the
University of Cambridge. The Pitt Building, Trumpington Street,
Cambridge CH2 IRP 32 East 57th Street, New York, 10022 USA, 10
Stamford Road, Oakleigh, Melbourne 3166, Australia. pp 399.
Veron JEN. 2000a. Corals of the world. Australian Institute of Marine Science, PMB3,
Townsville MC, Qld4810, Australia Vol.1 : 463 pp.
Veron JEN. 2000b. Corals of the world. Australian Institute of Marine Science, PMB3,
Townsville MC, Qld4810, Australia Vol.2 : 429 pp.
Veron JEN. 2000c. Corals of the world. Australian Institute of Marine Science, PMB3,
Townsville MC, Qld4810, Australia Vol.3 : 490 pp.
Veron, J.E.N., L.M. De Vantier., E. Turak., A.L. Green., S. Kininmonth., M. Stafford-
Smith and N. Peterson. 2009. Delinetaing the coral triangle. Galaxea,
Journal of Coral Reef Studies 11: 91-100.
Veron, J.E.N., M. Stafford-Smith., L.M. De Vantier and E. Turak. 2015. Overview of
distribution pattern of Zooxhantellate Scleractinia. Frontier in Marine
Science 1: 1-19.
Vimono, I.B. 2007. Sekilas mengenai landak laut. Oseana XXXII(3): 15-21.

95

Anda mungkin juga menyukai