Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KULIAH LAPANGAN PULAU PARI

Laporan ini dibuat guna memenuhi Mata Kuliah OS 9309 -Oseanografi Lingkungan

Dosen:

Asisten: Mi

Disusun oleh:
Kelompok 2
Chusna Faiza 10113028
Ilma Nurlaili 10114071
Farhan Fazlurrahman 12912031
Laela Fitri Yani 12913021
Nissa Nurrohmah Syayidah 12913031
Altof Naufal 12913033
Sandy Indriana 15312047
I Wayan Gede Adi Arjana 15313002
Korry Sidopamungkas Sonbers 15313014
Vidya Adhaninggar Dyah L 15313067
Dwi Rizki Setyarti 15313092

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kuliah Lapangan Oseanografi Lingkungan dilaksanakan sebagai bagian dari kuliah
Oseanografi Lingkungan yang dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2015 /
2016.
1.2 Tujuan
Dalam kuliah lapangan ini dilaksanakan pengamatan pada 5 modul dengan tujuan
sebagai berikut:
1.2.1 Analisis Mangrove
Menganalisis kerusakan mangrove berdasarkan kriteria baku mutu
2. Menentukan potensi regenerasi vegetasi mangrove

1. 2. 2 Wawancara
Tujuan
1. Mengidentifikasi kondisi lingkungan wilayah pesisir pulau.
2. Mengidentifikasi permasalahan masyarakat di wilayah pesisir.
3. Mengidentifikasi perilaku masyarakat yang berpengaruh terhadap lingkungan
pesisir.

1. 2. 3 Garis Pantai
Tujuan
1. Peserta dapat melakukan proses pengambilan data posisi serta garis pantai dengan
benar
2. Peserta dapat mengolah data posisi yang sudah diambil serta menganalisisnya
dengan benar.
3. Peserta dapat menggambar garis pantai pada peta dengan benar

1. 2. 4 Kualitas Air Laut


Tujuan
1. Mengetahui parameter fisis pantai yang meliputi temperatur, salinitas, DO, dan pH air
laut
2. Mengetahui cara kerja alat pengukuran parameter fisis pantai dan mampu
menggunakannya
3. Menganalisis distribusi parameter-parameter fisis pantai Perairan Pulau Pari secara
spasial dan temporal

1. 2 . 5 Sanitasi
Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis permasalahan sanitasi yang terdapat di wilayah pesisir
2. Menganalisis penyebab permasalahan sanitasi dan dampaknya terhadap air laut

1. 3 Lokasi dan Waktu


Kuliah Lapangan Oseanografi Lingkungan dilaksanakan di kawasan Pulau Pari
Kepulauan Seribu pada tanggal 9 – 10 April 2016.
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Mangrove
2.1.1 Defenisi
Mangrove adalah jenis tumbuhan dikotil yang hidup di habitat payau. Tumbuhan dikotil
adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon mangga adalah contoh
pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah pohon kelapa. Kelompok pohon di
daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan
komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di
sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32° Lintang Utara dan 38° Lintang
Selatan.
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah
pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut.
Berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan.
Tanaman mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) dan menstabilkan tanah
dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang terbawa air
sungai dan yang kemudian terbawa ke tengah laut oleh arus.
2.1.2 Zonasi Hutan Mangrove
Hutan Bakau merupakan hutan yang tumbuh pada kawasan pasang surut air laut.
Pengertian dan definisi hutan bakau ini sering diartikan untuk semua jenis tumbuhan
mangrove. Secara periodik daerah ini terendam, termasuk tumbuhan yang ada pada
kawasan tersebut juga ikut terendam secara periodik. Untuk dapat tumbuh pada kawasan
pasang surut ini tumbuhan tersebut harus dapat beradaptasi dengan kadar garam
(salinitas) yang tinggi. Selain itu mempunyai modifikasi akar yang memberikan peluang
untuk tumbuhan tersebut bernafas dalam kondisi tergenang. Modifikasi akar pada
tumbuhan ini sering disebut akar nafas atau istilahnya "pneumatofor".
Bakau merupakan istilah yang sering dipakai untuk tumbuhan mangrove secara
keseluruhan, namun nama ilmiahnya sendiri dari bakau adalah Rhizophora sp. Dalam
hutan mangrove tumbuh beberapa jenis selain Rhizophora sp, misalnya Sonneratia sp,
Bruguiera sp, Avicennia sp dan Ceriops sp. Biasanya di dalam hutan mangrove terdapat
zonasi pertumbuhan, masing-masing jenis dengan daerah pertumbuhannya sendiri sesuai
dengan habitatnya.
Pembagian zonasi pertumbuhan sering dibagi berdasarkan daerah penggenangan dan
jenis tumbuhan yang tumbuh pada daerah tersebut. Misalnya menurut daerah yang
tergenang diklasifikasikan dalam 3 zonasi yaitu : Zona proksimal, Zona midle dan Zona
Distal.
- Zona Proksimal adalah zona yang dekat dengan laut atau zona terdepan. Pada daerah
ini biasanya ditemukan jenis-jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan
Sonneratia alba.
- Zona Midle adalah zona yang terletak di antara laut dan darat atau zona pertengahan.
Biasanya ditemukan jenis-jenis : Sonneratia caseolaris, Rhizophora alba, Bruguiera
gymnorrhiza, Avecennia marina, Avecennia officinalis dan Ceriops tagal.
- Zona distal adalah zona yang terjauh dari laut atau terbelakang. Pada daerah ini biasa
ditemukan jenis-jenis Heriteria littoralis, Pongamia sp, Xylocarpus sp, Pandanus sp, dan
Hibiscus tiliaceus.
Hutan mangrove juga dapat dibagi menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi
yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1. Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan
laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi.
Zona ini merupakan zona pioner karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran
yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses
penimbunan sedimen.
2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa
lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih
tergenang pada saat air pasang.
3. Zona Bruguiera, terletak di balakang zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah
berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali
dalam sebulan.
4. Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan daratan.
2.2 Garis Pantai
Garis pantai berdasarkan Kamus Hidrografi dari IHO (1970) merupakan garis
pertemuan antara pantai (daratan) dan air (lautan). Walaupun secara periodik permukaan
air laut selalu berubah, suatu tinggi muka air tertentu yang tetap dan dapat ditentukan,
harus dipilih untuk menjelaskan posisi garis pantai. Pada peta laut biasanya digunakan
garis air tinggi (high water line) sebagai garis pantai. Sedangkan untuk acuan kedalaman
biasanya digunakan garis air rendah (low water line). Untuk lebih jelasnya perhatikan
gambar 2. 1 berikut ini.

Gambar 2.1 Kedudukan garis pantai (Saputra, 2013)

Pengukuran di lapangan tidak terlepas dari berbagai macam kendala yang


disebabkan oleh topografi serta karakteristik dari pantai. Berdasarkan unsur pembentuk,
pantai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis (Poerbandono dan Djunarsjah,
2005), yaitu:
1. Pantai Pasir
2. Pantai Lumpur
3. Pantai Berbatu/Karang
4. Pantai Curam/Terjal
5. Pantai Buatan
6. Pantai bakau
Gambar 2.2 Karakteristik Pantai
(Sumber: Saputra, 2013)
Terdapat perbedaan cara dalam pengukuran garis pantai untuk jenis-jenis pantai
seperti yang disebutkan dalam gambar 2. 2. Singkatnya, berikut adalah beberapa
ketentuan untuk menentukan garis pantai sesuai dengan bentuk pantainya:
1. Untuk daerah pantai berpasir, garis pantai ditentukan dari jejak atau bekas genangan
air tertinggi,
2. Untuk pantai berlumpur, garis pantai diwakili oleh pertemuan antara tanah keras
dengan lautan, atau dapat pula seperti pantai berpasir dengan jejak air tertinggi,
3. Untuk pantai dengan tebing terjal, garis pantainya adalah ujung tebing terjun tersebut,
4. Untuk pantai dengan vegetasi, garis pantai adalah batas terluar dari vegetasi tersebut,
dan
5. Untuk pantai buatan, garis pantainya ditentukan berdasarkan batas terluar suatu
bangunan permanen di pinggir pantai.

2.3 Kualitas Air Laut


Laut mempunyai karakteristik massa air dan fenomena yang bermacam-macam di
setiap tempat. Dalam hal ini, mempelajari dan menjelaskan karakteristik dan fenomena
air laut dapat dilihat melalui parameter-paramter fisis yang ada seperti salinitas,
temperatur, konduktivitas, dll. Parameter-paramter fisis ini dapat menunjukkan kualitas
air sehingga pemanfaatan air laut tersebut dapat lebih maksimal. Beberapa parameter
fisis air laut yang akan diukur nilainya antara lain pH, salinitas, dan temperatur.
Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi
atau komponen yang terkandung atau harus ada dan atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya di dalam air laut. Baku mutu air laut meliputi baku mutu
pelabuhan, wisata bahari,dan biota laut. Untuk lingkungan digunakan baku mutu untuk
biota laut. Baku mutu air laut biasanya mengacu kepada paramter yang ditentukan dari
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
pH adalah suatu nilai yang menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang
dimiliki oleh suatu larutan. Menurut teori arrhenius nilai pH merepresentasikan
kandungan ion H+ dan OH- yang dimiliki oleh larutan tersebut. Nilai pH tidak
mempunyai dimensi dan mempunyai skala antara 0 sampai 14. Larutan yang memiliki
nilai pH diatas 7 dapat dikatakan memiliki sifat basa sedangkan larutan yang memiliki
pH dibawah 7 memiliki sifat asam. Larutan yang memiliki nilai pH 7 disebut dengan
larutan netral. Air laut pada umumnya memiliki nilai pH antara 7,7 – 8,4.
Salinitas adalah banyaknya material garam-garaman (dalam gram) yang
terkandung dalam air (1 kilogram). Salinitas memiliki satuan per mil ( ) atau psu
(practical salinity unit). Untuk mempermudah perhitungan, semua garam dianggap
sebagai klorida dan perhitungan kadar garam tersebut adalah:
S = 0,0080 – 0,1692 K1/2 + 25,3851 K + 14,0941 K3/2 – 7,0261 K2 + 2,7081
K5/2
dengan K adalah konduktivitas listrik.
DO Atau dissolved Oxygen merupakan oksigen terlarut yang dikandung oleh suatu
kolom air. Untuk lautan tropis DO biasanya berfluktuasi antara 4-15 mg/L.
Temperatur adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan panas dinginnya suatu
benda dan memiliki satuan °C.

2.4 Sanitasi
Wilayah pesisir merupakan satu areal dalam lingkungan hidup yang sangat penting
diperhatikan baik pengelolaan secara administrasi, pengelolaan habitat hidup, maupun
pengelolaan sanitasi lingkungan hidup. Sanitasi lingkungan merupakan salah satu
program prioritas dalam agenda internasional Millennium Development Goals (MDGs)
yang ditujukan dalam rangka memperkuat pembudayaan hidup bersih dan sehat,
mencegah penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan
masyarakat serta mengimplementasikan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan
akses air minum dan sanitasi dasar secara berkesinambungan dalam pencapaian MDGs
tahun 2015 (WHO, 2004).
Bentuk nyata dari implementasi kebijakan tersebut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM) melalui keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
852/MENKES/SK/IX/2008 tentang strategis nasional STBM dengan target utama
menurunkan angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan termasuk pada daerah pesisir
(Depkes RI, 2008).
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan
yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Lingkungan sehat mencakup
lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum
yang terbebas dari limbah cair, padat, sampah, zat kimia berbahaya, air dan udara yang
tercemar.
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir mempunyai karakteristik tersendiri.
Menurut Kusnadi (2003) masyarakat di pesisir pantai secara umum merupakan nelayan
tradisional dengan penghasilan pas-pasan, dan tergolong keluarga miskin yang
disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu semata-mata bergantung pada hasil tangkapan dan
bersifat musiman, serta faktor non alamiah berupa keterbatasan tehnologi alat penangkap
ikan, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan
keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, dan ketersediaan rumah
yang layak dan sehat. Dilihat dari aspek pekerjaan, perbedaan pekerjaan berbeda sikap
terhadap perilaku kesehatan, seperti sikap terhadap tempat tinggal (rumah). Rumah bagi
nelayan sebagian besar hanya merupakan tempat persinggahan, dan hampir separuh
hidupnya berada di laut, sehingga kepedulian terhadap rumah yang sehat dinilai relatif
rendah, demikian juga dengan perilaku kesehatan seperti kebiasaan buang air besar,
sebagian besar membuang air besar di pinggir pantai.
Fenomena masalah kesehatan lingkungan pesisir ini terjadi hampir di seluruh
wilayah pesisir di Indonesia termasuk. Secara umum upaya pengelolaan wilayah pesisir
termasuk sanitasi lingkungan pesisir masih belum dilakukan secara maksimal, sehingga
berdampak terhadap kelestarian lingkungan hidup. Permasalahan yang paling banyak
terjadi adalah masalah pengelolaan sampah, khususnya pada pesisir yang menjadi objek
wisata, selain itu masalah penyediaan air bersih dan keadaan perumahaan penduduk.
Permasalahan ini secara faktual dipengaruhi oleh manajemen pengelolaan sanitasi
lingkungan yang tidak baik, dan perilaku kesehatan masyarakat pesisir atau pengunjung
yang masih rendah. Penyebabnya multifaktor salah satunya pengetahuan yang rendah,
perbedaan persepsi maupun dari aspek karakteristik masyarakat pesisir.
Sampah adalah sesuatuu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak
terjadi dengan sendirinya, sampah padat adalah segala bahan bangan (berbentuk padatan)
selain kotoran manusia, urin, dan sampah cair. Sampah dapat dikelompokkan menjadi
sampah anorganik dan organik yaitu:
a. Sampah organik adalah sampah yang berasal dari bahan organic misalnya
adalah daun dan kotoran hewan.
b. Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan bahan non
hayati seperti plastic dan kaleng.
Sebagian besar sampah baik itu sampah cair maupun sampah padat yang
mencemari lautan berasal dari daratan. Namun ada juga sampah yang memang berasal
dari laut seperti sisa-sisa pembakaran kapal dilaut.
Sampah memiliki dampak yang buruk bagi kondisi lingungan,contohnya adalah
perubahan pH air dan berkurangnya kadar oksigen terlarut atau DO. Sampah juga
memiliki ampak social yang buruk seperti bau yang menyengat dan warna air yang kotor.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Mangrove
3.1.1 Metode Pengukuran di Lapangan

Metode yang digunakan adalah metode Bell Transect. Metode ini digunakan dalam
biologi untuk mengestimasi distribusi organisme dalam hubungannya terhadap area
tertentu seperti pesisir pantai atau meadow. Metode ini merekam semua spesies yang
terdapat dalam kuadrat(squared frame) seperti pada gambar 3. 1. Vegetasi kemudian
diamati dengan mengacu pada tabel 3. 1. Pengukuran DBH dapat dilakukan dengan
mengacu pada gambar 3. 2.

Gambar 3.1 Belt Transect dengan ukuran 10 m x 10 m


(Sumber: Modul Vegetasi Mangrove Kuliah Lapangan Oseanografi Lingkungan 2016)

Tabel 3. 1 Luasan Plot dan Kriteria Vegetasi yang Diamati


Sumber: Modul Vegetasi Mangrove Kuliah Lapangan Oseanografi Lingkungan 2016

Gambar 3.2 Metode Pengukuran DBH


Sumber: Modul Vegetasi Mangrove Kuliah Lapangan Oseanografi Lingkungan 2016

3.1.2 Metode Analisis Data


Hasil pengukuran Belt Transect digunakan untuk menghitung kerapatan spesies yang
dihitung sebagai berikut :

Hasil pengukuran DBH digunakan untuk menentukan karakteristik mangrove yang


diamati termasuk individu semai,pohon muda atau pohon dewasa. Untuk mempermudah
analisis, hasil klasifikasi dapat ditampilkan seperti tabel 3. 2.
Tabel 3. 2 Klasifikasi Karakteristik Mangrove
Klasifikasi spesies mangrove yang dijumpai dapat dilakukan dengan merujuk pada
karakteristik akar,batang,daun dan bunga dari setiap spesies yang dapat dilihat pada
lampiran

3.2 Wawancara
3.2.1 Melakukan wawancara langsung terhadap penduduk sekitar.
Ketentuan:
1. Jumlah narasumber untuk wawancara 2 orang.
2. Setiap narasumber dan kegiatan wawancara harus didokumentasikan (dokumentasi
dicantumkan dalam laporan).
3. Untuk narasumber TIDAK BOLEH merupakan mahasiswa dan perangkat
akademik dari Institut Teknologi Bandung.
4. Penjelasan harus rinci dan sesuai dengan pertanyaan yang disiapkan dalam modul.
5. Dibolehkan menambah pertanyaan baru, dengan ketentuan masih relevan dengan
topik wawancara.
3.2.2 Menganalisis hasil wawancara
3.2.3 Menarik kesimpulan dan membuat saran

3.3 Garis Pantai


Pengambilan data garis pantai dilakukan dengan cara marking posisi pada GPS
dengan interval jarak yang telah di tentukan sebelumnya. Interval jarak yang akan
dipakai adalah ±5 m atau sekitar 10 langkah pendek. Garis pantai yang dipakai adalah
batas pasir basah, bangunan, atau jarak sampah terjauh.
Langkah pengukuran garis pantai:
1. Melakukan perencanaan survei garis pantai pada daerah yang sudah dilakukan.
2. Melakukan pengambilan data garis pantai menggunakan GPS mengikuti bentuk pantai
yang dilalui.
3. Menandai setiap 10 langkah pendek pada GPS, yang mewakili bentuk garis pantai.
4. Mencatat jenis pantai, ekadaan ekosistem, ataupun bangunan yang berada di sekitar
garis pantai.
Cara marking dengan GPS:
1. Tunggu hingga akurasi kurang lebih 3 m, baru melakukan pengukuran.
2. Tekan tombol mark pada GPS, akan muncul kotak dialog Mark Waypoint seperti
berikut :

Setelah itu pilih OK, pada gambar tersebut lokasi diberi nama titik ke-11, dengan lokasi
lintang dan bujur yang tertera.
3. Untuk melihat titik-titik yang telah di mark, tekan tombol FIND setelah itu pilih Waypoint
kemudian akan muncul titik-titik yang di mark

4. Untuk melihat semua titik yang telah di mark dalam tampilan peta, tekan tombol AGE
hingga tampil tampilan peta GPS.
Titik-titik berwarna merah adalah titik-titik yang telah di mark pada GPS
Catatan:
Titik yang di mark adalah infrasturktur, lokasi KAL, lokasi penting(budidaya, puskesmas,
kantor pemerintahan, dll).

Cara tracking dengan GPS:


1. Klik tombol Menu, pilih menu tracks, tekan clear, pastikan besaran track log 0 %
2. Pilih bagian Setup
3. Ubah record method menjadi distance, dengan interval 0.01 km, dan color-nya red

4. Lalu ubah track log dari off menjadi on


5. Setelah sampai di titik akhir perjalanan, ubah track log menjadi off, lalu tekan save, dengan
format grpn(kelompok)
Setelah mendapatkan semua data garis pantai, proses selanjutnya adalah mendownload data
pada GPS agar dapat diolah pada perangkat lunak di komputer.
3.4 Kualitas Air laut
1. Mobilisasi ke tempat yang telah ditentukan, sesuai waktu yang telah diberikan.
2. Mencatat waktu dan koordinat pengambilan sampel air
3. Mengambil sampel air laut dengan posisi botol mendatar (jangan sampai sedimen
dasar terbawa), isi botol sampel/wadah hingga penuh
4. Melakukan pengukuran parameter fisis air laut menggunakan WQC sesuai prosedur
penggunaan alat
5. Melakukan pengambilan sampel dan pengukuran sebanyak dua kali pada titik
pengukuran yang sama dengan jeda waktu ±3 menit.
6. Hasil dituliskan di logsheet.
7. Sharing logsheet dilakukan secara langsung setelah semua titik melakukan pengukuran
dengan tiap perwakilan kelompoknya menuliskan hasil yang dilakukan kelompok lain
pada logsheetnya.

3.5 Sanitasi
Komposisi sampah dilautan akan dianalisis dan disampling menggunakan pedoman
NOAA (Chesire et al., 2009) mengingat waktu dan kemampuan penyelaman untuk
seluruh kelompok tidak merata, maka tidak dilakukan analisis/sampling permasalahan
sampah di lautan. Sampah pantai diambil dengan membentangkan transek garis 100 m
sejajar garis pantai, per kelompok memiliki transek yang luasannya berbeda-beda (misal
10x10 m, sesuai kesepakatan). Sampah yang berada di sebelah kiri kanan transek garis
mulai dari batas air pasang dan batas pantai. Pada kuliah lapangan oseanografi
lingkungan kali ini, pembagian area sampling kelompok akan disesuaikan dengan jumlah
kelompok agar ketika data seluruh kelompok digabungkan dapat mencapai 100 m. Pada
permukaan diberi tanda untuk menentukan awal dan akhir transek serta mencatat titik
koordinatnya. Untuk clean up di daerah laut, sebelum melakukan CleanUp, perhatikan
cuaca dan kondisi laut agar tidak terjadi yang tidak diinginkan. Lebih baik tanyakan pada
local guide atau dive leader setempat apakah aman untuk melakukan CleanUp. Secara
umum, kondisi laut yang aman untuk melakukan CleanUp yang direkomendasikan untuk
alasan keamanan adalah: Kejernihan air (Water visibility), Kondisi ombak, Keadaan
cuaca dan Kondisi arus laut.
Gambar 3.3 Area Sampling Sampah Pesisir
Sampah kemudian dicatat jenis dan dihitung berat berdasarkan jenis yang sama.
Semua sampah berukuran >2,5 cm, yang berada pada area sampling, dikumpulkan dalam
kantong. Hal ini dikarenakan jenis macro-debris adalah sampah yang dengan mudah
dapat dikumpulkan, sampah jenis meso dan micro membutuhkan peralatan khusus untuk
diteliti.

Gambar 3.4 Sampah yang disampling memiliki ukuran macro-debris atau >2,5 cm
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS

4.1 Mangrove
Setelah dilakukan pengamatan pada tanggal 9 April 2016 sekitar pukul 13.30 didapat data
sebagai berikut:
Tabel 4.1 Jumlah Jenis Species Mangrove di Barat Daya Pulau Pari
No Nama Spesies Jumlah Total Persentase
1 Lumnitzera racemosa Willd 6 0.032085561
2 Rhizophora stylosa Griff. 107 0.572192513
3 Aegiceras corniculatum (L.) Blanco 21 0.112299465
4 Rhizophora mucronata Lmk. 6 0.032085561
5 Rhizophora sp. 6 0.032085561
6 Avicennia sp. 7 0.037433155
7 SD1 34 0.181818182
187 1

Analisa Jenis Spesies Mangrove


Daerah kajian yang diambil dalam menganalisis vegetasi Mangrove pada kuliah
kali ini adalah di bagian barat daya Pulau Pari. Berdasarkan data observasi yand
didapatkan, terdapat beberapa jenis kriteria dari Mangrove itu sendiri. Jenis terbanyak
yang terdapat di daerah barat daya Pulau Pari adalah Rhizophora Stylosa Griff
selebihnya terdapat jenis Avicennia, Lumnitzera racemosa, Aegiceras carniculatum dan
Rhizophora sp. Presentasi Jumlah Mangrove di Barat Daya Pulau Pari terlihat dalam
grafik pie dibawah ini.
Tabel 5. 1 Jumlah Jenis Species Mangrove di Barat Daya Pulau Pari
No Nama Spesies Jumlah Total Persentase
1 Lumnitzera racemosa Willd 6 0.032085561
2 Rhizophora stylosa Griff. 107 0.572192513
3 Aegiceras corniculatum (L.) Blanco 21 0.112299465
4 Rhizophora mucronata Lmk. 6 0.032085561
5 Rhizophora sp. 6 0.032085561
6 Avicennia sp. 7 0.037433155
7 SD1 34 0.181818182
187 1

Berdasarkan data diatas dapat terlihat bahwa nilai persentase spesies terbesar
adalah Rhizophora Stylosa Griff yaitu sekitar 57 % sehingga dapat terlihat dalam grafik
pie sebagai berikut :
Gambar 5. 1 Persentase Jumlah Mangrove di Barat Daya Pulau Pari

4.2 Analisa Kerapatan Jenis Mangrove


Pada daerah kajian Barat Daya Pulau Pari memiliki luas daerah kajian sebesar ±100
m2 untuk masing-masing kelompok, demgan total sebanyak 10 kelompok maka total luas
daerah kajian adalah ±1000 m2. Pada table dibawah ini terlihat jumlah masing masing jenis
dari mangrove yang ada pada daerah kajian.
Tabel 5. 2 Jumlah Spesies dan Kerapatan serta Persentase dari Tiap Jenis Spesies
Kerapatan
No Nama Spesies Jumlah Total (Individu/m^2) Persentase
1 Lumnitzera racemosa Willd 6 0.006 0.032085561
2 Rhizophora stylosa Griff. 107 0.107 0.572192513
3 Aegiceras corniculatum (L.) Blanco 21 0.021 0.112299465
4 Rhizophora mucronata Lmk. 6 0.006 0.032085561
5 Rhizophora sp. 6 0.006 0.032085561
6 Avicennia sp. 7 0.007 0.037433155
7 SD1 34 0.034 0.181818182
187 0.187 1

Nilai kerapatan akan didapatkan dengan perumusan

Maka apabila kita mau melihat kerapatan dari salah satu jenis spesies dapat langsung
kita tentukan, misalkan sebagai contoh kita cari nilai kerapatan dari Rhizophora stylosa Griff,
maka perhitungannya adalah sebagai berikut :
107 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 = = 0.107 2
= 1070
1000 𝑚 ℎ𝑒𝑘𝑡𝑎𝑟
Untuk kerapatan keseluruhan bernilai sebesar 1870 individu per hektar. Berikut
adalah data kerapatan mangrove di Barat Daya Pulau Pari
Grafik 5. 1 Kerapatan Mangrove di Bagian Barat Daya Pulau Pari

4.3 Analisa Tingkat Regenerasi Mangrove dengan Melihat kondisi Mangrove Tua,
Muda dan Semai
Tanaman mangrove dapat di bedakan menjadi 3 kelas berdasarkan tahapan
pertumbuhnanya. Tiga kelas tersebut adalah pohon dewasa, pohon muda dan semai atau
anakan. Pada 10 daerah penelitian tidak semua tempat memiliki pohon mangrove dewasa
seperti pada daerah kajian kelompok dua dimana kondisi mangrove yang ada hanya
dikategorikan sebagai mangrove muda. Berdasarkan data hasil observasi yang didapatkan,
berikut ini akan di paparkan hasil dari ketiga kelas mangrove tersebut dalam bentuk grafik.
Berdasarkan kondisi daerah kajian yang langsung bertemu dengan daerah laut
mangrove yang seharusnya paling banyak adalah jenis Rhizophora stylosa Griff. Selanjutnya
berdasarkan Grafik AB, jenis Rhizophora stylosa Griff ditemukan merupakan mangrove
dewasa yang paling banyak ditemukan di barat daya Pulau. Sehingga daerah kajian penelitian
bersesuaian dengan teori yang ada. Dari data, didapatkan pula tiap jenis mangrove pohon
dewasa berada pada range 10 – 28 cm. Kondisi dengan spesies Rhizophora stylosa Griff
paling banyak untuk mangrove yang di kategorikan sebagai pohon muda. Yang juga
bersesuaian dengan teori bahwa mangrove dengan tipe Rhizophora stylosa Griff dapat
bertahan pada salinitas yang tinggi karena lebih kearah laut. Hal yang berbeda terlihat pada
tipe mangrove semai atau anakan dimana yang terbanyak adalah Rhizophora Sp. Berikut ini
adalah grafik dari jumlah tipe mangrove per jenis spesies.
Grafik 5. 2 Jumlah mangrove pohon dewasa di barat daya Pulau Pari

Grafik 5. 3 Jumlah mangrove pohon muda di barat daya Pulau Pari

Grafik 5. 4 Jumlah mangrove pohon muda di barat daya Pulau Pari


Pada dasarnya proses Regenerasi terbagi menjadi 5 tipe, yaitu Good, Fair, Poor,
None, New (Shankar 2001). Dimana kelima tipe tersebut ditentukan dengan melihat
jumlah anakan atau semai yang dibandingkan dengan jumlah pohon muda dan tua. Pada
setiap hasil penelitian dari kesepuluh kelompok didapatkan bahwa jumlah anakan atau
seedling selalu lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pohon muda sehingga dapat
dikategorikan bahwa hampir setiap tempat tidak terdapat kondisi regenerasi yang Baik.
Namun dibeberapa tempat didapatkan bahwa kondisi anakan atau semai berrasio 1
berbanding 6 dengan pohon muda, seperti pada daerah kajian kelompok 2, dimana
jumlah tanaman semai sebanyak 10 buah dan jumlah pohon muda sebanyak 69. Dengan
rasio yang didapatkan tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa daerah tersebut memiliki
kategori regenerasi yang Fair. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat
regenerasi mangrove ini adalah kondisi perairan yang berlumpur dan kondisi sampah
yang berada diatas ambang batas baku mutu.

4.2 Wawancara
Tabel 4.2 Data Narasumber

Data Narasumber 1 Data Narasumber 2


Nama : Tiswan Nama : Sanuri
Usia : 46 Tahun Usia : 55 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Nelayan Pekerjaan : Nelayan
Tempat Tinggal : Daerah 3 (bagian tengah) Tempat Tinggal : Daerah 3 (bagian belakang)
Lama Tinggal : 30-40 Tahun Lama Tinggal : 40 Tahun

Tabel 4.3 Hasil Wawancara


Jawaban
No. Pernyataan
Narasumber 1 Narasumber 2
Kondisi alam
1. Bagaimana kondisi Pulau Pari Pulau Pari yang sekarang Pulaunya yang dulu
sekarang? (keadaan sudah menjadi lebih sebagian besar
pulaunya,tercemar bersih karena terdapat masyarakat hidup dengan
lingkungannya atau masih cukup petugas sampah yang nelayan rumput laut
terjaga, terjadi erosi atau tidak?) rutin mengambil sampah sekarang karena
musimnya berganti
menjadi nelayan ikan,
keadaanya tidak
tercemar.
2. Apa bencana alam yang pernah Tidak pernah ada Tidak Ada
terjadi dan adakah bencana alam
yang baru pertama terjadi di
Pulau Pari?
3. Reklamasi (penambahan daratan Tidak ada Tidak Ada
baru) di sekitar Pulau Pari
4. Bagaimana keadaan laut di Sama saja antara yang Semakin lama air laut
sekitar pulau (apa ada perbedaan dulu dan sekarang, semakin mengeruh
kecerahan laut antara dahulu sampah laut yang datang namun bukan karena
dengan sekarang? Hubungkan juga musiman karena sampah melainkan akibat
juga dengan sampah) kiriman sampah dari pembangunan pulau
jakarta ketika hujan sebelah
5. Bagaimana dampak konservasi Pulau Pari memiliki daya Berdampak positif karena
mangrove di sekitar Pulau Pari? tarik wisata lebih dan menahan ombak dan
mangrove tersebut menambah daya tarik
mencegah terjadinya wisatawan
abrasi
6. Apakah terasa ada penambahan Ya, ketika terjadi musim Terasa ada tambahan
penumpukan sampah di sekitar hujan dan banjir sering sampah ketika musim
pulau? (Kapan waktu terjadi mendapat kiriman hujan dan jakarta banjir
jumlah sampah kiriman itu sampah dari Jakarta dan karena sampah yang
paling banyak) Tanggerang datang merupakan
kiriman dari jakarta dan
tanggerang.
7. Bagaimana dampak sampah Tidak berpengaruh, Tidak berpengaruh
tehadap jumlah tangkapan ikan hanya ketika ada sampah terhadap penangkapan
nelayan di Pulau Pari? cara penangkapannya ikan
menjadi berbeda
8. Bagaimana pengaruh paiwisata Berpengaruh, Pulau Pari Kondisi alam Pulau Pari
terhadap kondisi alam pulau menjadi tertata dan menjadi tertata dan lebih
pari? (tetap bisa dijaga atau terjaga kebersihannya bersih
semakin rusak setiap tahun terutama di Jalan Utama
akibat wisatawan)
Kehidupan Penduduk
1. Apakah seluruh masyarakat di Iya Sebagian besar warga
pulau merupakan orang asli asli dan sebagiannya lagi
Pulau Pari atau berasal dari adalah pendatang karena
tempat lain? (Kalau pernikahan atau
beragam,bagaimana interaksi pekerjaan
antar penduduknya)
2. Apa Keseharian dan mata Nelayan dan agen travel Nelayan dan agen travel
pencaharian penduduk di Pulau
Pari?
3. Fasilitas yang ada di Pulau Pari Skala : 3 Alasan : Skala : 2 Alasan :
sudah memadai? Meskipun sudah Fasilitas belum memadai
memiliki fasilitas seperti tidak adanya
pengolah air bersih puskesmas, SMA, dan
seperti RO, namun dari beberapa masih
segi fasilitas kesehatan kekurangan air bersih
seperti puskesmas yang
belum ada, dan jalan
yang hanya ada 1
4. Bagaimana kondisi sosial Ekonominya belum Awalnya masyarakat
ekonomi masyarakat sebelum merata karena bekerja sebagai petai
ada pengembangan pariwisata penghasilan hanya rumput laut, namun
bahari di Pulau Pari? mengandalkan hasil sekarang beralih ke
tangkapan ikan nelayan ikan karena
rumput laut yang sudah
jarang
5. Bagaimana kondisi sosial Membaik karena selain Ekonominya semakin
ekonomi masyarakat sesudah dengan mengandalkan berkembang karena
adanya pengembangan tangkapan ikan, masyarakat tidak hanya
pariwisata bahari di Pulau Pari? penduduk juga mengandalkan laut
mengandalkan wisata melainkan juga
dengan cara menyewakan menjalankan bisnis travel
rumahnya untuk guest dan sewa rumah
house
6. Bagaimana pengelolaan sampah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
di Pulau Pari? (Kaitannya pemilihan, pemilahan, pengumpulan
dengan TPA dan Sistem pewadahannya dengan sampah di pulau pari
pembuangan sampah) tong tong yang terbuat dilakukan setiap hari oleh
dari besi dan plastik, dinas kebersihan pinggir
kemudian petugas pantai dan pantai
mengambil dan (melayani sampah warga)
mengumpulkan sampah- lalu di timbun atau
sampah dari tempat dikumpulkan di TPA
sampah di depan rumah kemudian dibakar (tidak
warga setiap hari dan ada proses pengolahan
dibawa ke TPA untuk akhirnya).
kemudian di bakar.
*Apakah ada lembaga informal Terdapat bank sampah Tidak ada bank sampah,
yang menangani sampah di yang menerima sampah program recycle kemasan
Pulau Pari? setiap minggu dan tidak berlanjut
kemudian sampah
dibawa ke daerah
Tangerang sebulan
sekali, program recycle
tidak berlanjut
7. Bagaimana partisipasi Ada yang menjaga Sudah berpartisipasi
masyarakat dalam menjaga namun ada pula yang masyarakat dalam
lingkungan pulau pari? tidak peduli menjaga lingkungan
pulau pari
8. Bagaimana pendidikan bagi Mayoritas penduduk di Sebagian besar penduduk
anak-anak di Pulau Pari? Pulai Pari berpendidikan hanya lulusan SMP.
Adakah sekolah SD-SMP-SMA? hingga SMP karena Karena fasilitas yang ada
fasilitas pendidikan yang hanya ada SD dan SMP
ada baru SD, SMP, SMA sehingga melanjutkan ke
hanya ada di Pulau tingkat SMA harus
Pramuka, SMK hanya menyebrang pulau tetapi
ada di Pulau Tidung tidak didukung baik dari
segi biaya maupun moril
dari orang tuanya,
ataupun anaknya yang
tidak memiliki keinginan
yang lebih. Namun, ada
juga yang melanjutkan ke
SMA atau perkuliahan.
9. Penyakit parah apa yang pernah Malaria, hampir semua Malaria tahun 2000an
terjadi pada penduduk Pulau penduduk pulau dan menyebabkan 30%
Pari? Jelaskan! terjangkit penduduk meninggal
dunia
10. Bagaimana keadaan sumber air Menggunakan sumur dan Ada, sumber air
bersih untuk masyarakat Pulau ada pula Reverse bersihnya adalah air
Pari? Osmosis sumur dan Reverse
osmosis

4.3 Garis Pantai


Gambar 4.1 Hasil plot garis pantai pada tahun 2015 dan 2016

4.4 Kualitas Air Laut


Pengukuran Kualitas Air Laut dilakukan pada 10 titik yang berbeda, dengan masing-
masing titik dilakukan sebanyak 2 kali. Hal ini dilakukan untuk mencari nilai rata-rata dari
pengukuran yang dilakukan agar hasil yang diperoleh lebih representatif dan valid. Hasil
pengukuran tersebut ditunjukkan dalam Tabel 4.4
Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut
Koordinat Salinitas (‰) Temperatur DO
Kelompok Waktu Pengukuran pH
Lintang Bujur Horiba Refraktro (o C) (mg/L)
1 28.3 29 33.51 5.42 6.97
o o
Kelompok 1 5 51’83” 106 36’35.97” 12.51 2 28.2 30 34.26 5.43 8.18
Rata-rata 28.25 29.5 33.885 5.425 7.575
1 13.4 28 32.35 11.03 8.96
Kelompok 2 5o 51’22.5” 106o 36’1.4” 13.4 2 17 28 32.73 9.56 8.71
Rata-rata 15.2 28 32.54 10.295 8.835
1 27.7 29.021 35.78 9.38 8.93
Kelompok 3 5o 51’27.9” 106o 37’18.4” 16.08 2 26.6 27.02 35.58 6.98 8.72
Rata-rata 27.15 28.022 35.68 8.18 8.825
1 28.9 29 35.59 7.19 8.9
Kelompok 4 5o 51’16.3” 106o 37’53.7” 15.25 2 28.9 29 35.72 8.27 9.09
Rata-rata 28.8 29 35.655 7.73 8.995
1 25.4 28.5 34.26 7.77 8.78
Kelompok 5 5o 51’33.9” 106o 37’5.3” 16.2 2 25.3 29 34.36 8.04 8.72
Rata-rata 25.35 28.5 34.31 7.905 8.75
1 25.6 23.0.18 34.61 9.44 8.22
Kelompok 6 5o 51’16.8” 106o 37’27.4” 15.09 2 27.5 27.021 35.47 6.63 8.79
Rata-rata 26.55 22.019 35.04 8.03 8.505
1 27.5 28 34.87 5.97 8.92
Kelompok 7 5o 51’39.9” 106o 36’53.9” 16.5 2 26.8 27 35.02 6.73 8.73
Rata-rata 27.15 27.5 34.945 6.35 8.825
1 28.2 29 35.3 5.48 8.34
Kelompok 8 5o 51’17.1” 106o 37’20.7” 14.35 2 27.9 29 35.24 5.7 8.29
Rata-rata 28.05 29 35.27 5.59 8.315
1 27.5 30 33.01 6.78 8.895
Kelompok 9 5o 51’51” 106o 36’40.8” 17.18 2 28.7 29 32.12 6.71 8.895
Rata-rata 28.1 29.5 32.565 6.745 8.895
1 17 27 32.86 10.97 8.6
Kelompok 10 5o 51’32" o
106 36’51.1” 14.1 2 28.2 28 34.21 6.23 8.1
Rata-rata 22.6 27.5 31.535 8.6 8.35

Apabila dilakukan plotting area pada peta berdasarkan pengukuran parameter yang
dilakukan, maka diperoleh hasil sesuai gambar yang ditunjukkan di bawah ini. Dengan
Gambar 4.2 menunjukkan hasil pengukuran salinitas menggunakan Horiba, Gambar 4.3
menunjukkan hasil pengukuran salinitas menggunakan Refraktometer, Gambar 4.4
menunjukkan hasil pengukuran temperatur, Gambar 4.5 menunjukkan hasil pengukuran DO,
dan Gambar 4.6 menunjukkan hasil pengukuran pH.
Gambar 4.2 Hasil Pengukuran Salinitas Menggunakan Horiba

Gambar 4.3 Hasil Pengukuran Salinitas Menggunakan Refraktometer


Gambar 4.4 Hasil Pengukuran Temperatur

Gambar 4.5 Hasil Pengukuran DO


Gambar 4.6 Hasil Pengukuran pH

4.5 Sanitasi
Tabel 4.5 Distribusi Jumlah Sampah Hasil Observasi di Pulau Pari
Jumlah Sampah Berat Sampah
Kelompok
Plastik Logam Kertas Tekstil Kaca B3 Lain-lain (kg)
Kelompok 1 19 5 4 0 2 2 0 -
Kelompok 2 150 0 1 0 0 0 0 4,6
Kelompok 3 83 2 2 2 1 2 3 4,7
Kelompok 4 72 0 0 0 2 0 0 4,7
Kelompok 5 80 0 0 6 6 2 2 6,5
Kelompok 6 115 1 2 2 1 3 1 -
Kelompok 7 50 0 1 0 1 0 2 3,6
Kelompok 8 53 0 1 2 0 0 0 -
Kelompok 9 149 0 2 33 1 1 24 3,8
Kelompok 10 70 0 2 1 0 0 0 3,3
(sumber : hasil observasi)
1.04
1.45 3.31
1.55 Plastik
0.83 4.76
Logam

Kertas

Tekstil

Kaca

B3

87.06 Lain-Lain

Gambar 4.7 Distribusi Sampah di Pulau Pari


(sumber : hasil observasi)

Tabel 4. 6 Persentase Jumlah Sampah Hasil Observasi Kelompok


Persentase (%)
Kelompok
Plastik Logam Kertas Tekstil Kaca B3 Lain-Lain
1 59.38 15.63 12.50 0.00 6.25 6.25 0.00
2 99.34 0.00 0.66 0.00 0.00 0.00 0.00
3 87.37 2.11 2.11 2.11 1.05 2.11 3.16
4 97.30 0.00 0.00 0.00 2.70 0.00 0.00
5 83.33 0.00 0.00 6.25 6.25 2.08 2.08
6 92.00 0.80 1.60 1.60 0.80 2.40 0.80
7 92.59 0.00 1.85 0.00 1.85 0.00 3.70
8 94.64 0.00 1.79 3.57 0.00 0.00 0.00
9 70.95 0.00 0.95 15.71 0.48 0.48 11.43
10 95.89 0.00 2.74 1.37 0.00 0.00 0.00
(sumber : hasil observasi)
120.00

Persentase Jenis Sampah (%)


100.00

80.00 Lain-lain
B3
60.00
Kaca

40.00 Tekstil
Kertas
20.00
Logam

0.00 Plastik

Gambar 4.8 Distribusi Sampah Berdasarkan Distribusi Kelompok


(sumber : hasil observasi)

Observasi untuk modul sanitasi ini dilakukan pada sore hari sekitar pukul 16.40,
kawasan yang menjadi objek utama yaitu sama seperti kawasan saat pengukuran modul
mangrove. Kawasan clean up dibagi per 10 meter untuk setiap perwakilan kelompok.
Berdasarkan hasil observasi didapatkan jumlah sampah yang paling banyak ditemukan
berjenis plastik dengan persentasi sebesar 87,06 %, untuk jenis plastik yang lebih spesifiknya
didominasi oleh jenis plastik kemasan sebuah produk makanan maupun barang lain yang
biasa dipakai atau dikonsumsi manusia selain itu, ada pula sampah botol plastik bekas
minuman kemasan. Selain itu adanya sampah tergolong B3 yang walaupun dalam persentase
yang kecil namun, bisa berdampak buruk bagi llingkungan sekitar pesisir pantai.
BAB V
ANALISIS

5. 1 Mangrove

5.1. 1

5. 2 Wawancara
 Berikut ini merupakan rangkuman dan analisis hasil wawancara antara kedua
narasumber.
Kondisi alam sekitar Pulau Pari dilihat dari segi tercemar tidaknya lingkungan,
bencana alam yang pernah terjadi, kecerahan laut, dampak konservasi mangrove, serta
penambahan sampah dan pengaruhnya terhadap tangkapan ikan serta pengaruh wisata
terhadap lingkungan.
Menurut penuturan Pak Tiswan dan Pak Sanuri, Pulau Pari yang sekarang sudah
menjadi lebih baik dan lebih bersih. Tidak pernah ada bencana alam yang besar yang
berdampak besar pada kondisi alam Pulau Pari. Pulau Pari pun tidak pernah dilakukan
reklamasi. Kondisi laut jika dilihat dari segi sampah yang ada tidak terjadi perbedaan yang
sangat siginifikan karena sampah yang ada hanya datang musiman. Sampah yang musiman
tersebut juga tidak berpengaruh pada hasil tangkapan nelayan. Namun saat musim sampah
kiriman dari Jakarta dan Tanggerang saat musim hujan, para nelayan melakukan metode yang
berbeda dalam melakukan penangkapan ikan. Kondisi Pulau Pari menjadi lebih baik ketika
mulai diadakan penanaman mangrove. Penanaman mangrove ini mencegah terjadinya abrasi
serta menarik perhatian wisata. Namun, mesikpun Pulau Pari terkenal dengan wisata, tidak
berarti kondisi lingkungan menjadi lebih buruk. Menurut penuturan dua narasumber, dengan
adanya wisata, masyarakat lebih baik dalam menjaga lingkungan dan Pulau Pari menjadi
lebih bersih.
Masyarakat di Pulau Pari terdiri dari warga asli dan pendatang yang menikah dengan
warga asli atau akibat pekerjaan kemudian menetap di Pulau Pari. Mata pencaharian
masyarakat di Pulau Pari adalah sebagai nelayan dan agen travel. Berdasarkan pernyataan
kedua narasumber, fasilitas di Pulau Pari belum dapat dikatakan memadai meskipun sudah
terdapat fasilitas pengolah air bersih seperti RO, namun dari segi fasilitas kesehatan seperti
puskesmas belum ada, fasilitas pendidikan hanya SD dan SMP, jalan hanya 1 jalur, dan
masih ada yang kekurangan air bersih. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum adanya
pengembangan pariwisata bahari di Pulau Pari pada awalnya, masyarakat bekerja sebagai
nelayan ikan kemudian beralih menjadi petani rumput laut ketika rumput laut sudah sulit
dibudidayakan masyarakat beralih kembali menjadi nelayan ikan. Sehingga ekonomi masih
belum merata karena penghasilannya hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan. Namun,
sesudah adanya pengembangan pariwisata bahari di Pulau Pari kondisi sosial ekonomi
masyarakat membaik karena masyarakat tidak hanya mengandalkan tangkapan ikan, tetapi
juga mengandalkan wisata menjalankan bisnis travel dan menyewakan rumahnya untuk guest
house serta jasa catering.
Pengelolaan sampah di Pulau Pari sampai saat ini yaitu belum dilakukannya
pemilahan sampah, pewadahannya berupa tong-tong yang terbuat dari besi dan plastic untuk
semua jenis sampah. Pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan setiap hari oleh
dinas kebersihan yang melayani kebersihan pantai dan pinggir pantai (tempat sampah warga
di depan rumah) dengan menggunakan gerobak lalu di timbun atau dikumpulkan di TPA
kemudian dibakar (tidak ada proses pengolahan akhirnya). Terdapat Bank Sampah di Pulau
Pari yang menerima tabungan sampah dari beberapa masyarakat berupa botol plastic dan
lain-lain dan kemudian dibawa ke Tangerang sebulan sekali. Namun, informasi mengenai
bank sampah tersebut sebagai lembaga informal yang menangani sampah juga tidak merata
jika melihat penuturan dari kedua narasumber. Program daur ulang bungkuas kemasan juga
pernah dilakukan namun karena sulit berkembang (penjualannya) akhirnya tidak berlanjut
kembali.
Partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan Pulau Pari masih belum 100%
karena masih ada yang menjaga namun ada pula yang tidak peduli. Sebagian besar
masyarakat di Pulau Pari hanya lulusan SMP, karena fasilitas pendidikan yang tersedia hanya
SD dan SMP. karena untuk melanjutkan ke jenjang SMA hanya ada di Pulau Pramuka atau
SMK hanya ada di Pulau Tidung. Masyarakat juga belum sepenuhnya sadar akan pentingnya
pendidikan karena terbatas dengan permasalahan ekonominya dan tidak ada keinginan lebih
dari anaknya untuk melanjutkan sekolah. Namun, ada juga yang melanjutkan ke SMA atau
perkuliahan.
Penyakit yang pernah mewabah adalah Malaria pada tahun 2000an yang menjangkiti
hampir semua penduduk di pulau dan menyebabkan kematian sebesar 30% dari jumlah
penduduk sehingga pada saat itu seluruh warga mengungsi dan mengosongkan Pulau Pari.
Keadaan sumber air bersih untuk masyarakat Pulau Pari menggunakan sumur dan ada pula
Reverse Osmosis
 Analisis kondisi lingkungan dan masyarakat serta perilakunya, sesuai hasil
wawancara yang juga dikoreksi dari pengamatan lapangan peserta, serta data
modul lain yang berhubungan.
Kondisi lingkungan dan masyarakat serta perilakunya berdasarkan wawancara yang
terlihat berbeda dengan pengamatan lapangan peserta adalah

Kondisi laut jika dilihat dari segi sampah yang ada tidak terjadi perbedaan yang
sangat siginifikan karena sampah yang ada hanya datang musiman. Berdasarkan pengamatan
lapangan peserta, pantai bagian belakang Pulau Pari terlihat lebih berantakan, kotor, dan tidak
terurus dibandingkan dengan pantai bagian depan.
Setelah adanya pengembangan pariwisata bahari di Pulau Pari kondisi sosial ekonomi
masyarakat membaik karena masyarakat tidak hanya mengandalkan tangkapan ikan, tetapi
juga mengandalkan wisata menjalankan bisnis travel dan menyewakan rumahnya untuk guest
house serta jasa catering. Berdasarkan pengamatan lapangan, selain menjadi nelayan,
penyewaan ruah, dan catering, masyarakat Puau Pari juga ada yang memiiki usaha seperti
warung, toko oleh-oleh, dan ada juga yang membuat dodol rumput laut, dan keripik sukun.
Perbedaan lain yang terlihat adalah pewadahan tempat sampah berupa tong-tong yang
terbuat dari besi dan plastic dibeberapa titik terdapat tempat sampah yang sudah dipilah
sampahnya menjadi dua, yaitu organic dan anorganik. Akan tetapi, melihat TPAnya memang
pengolahan akhir sampahnya berupa pembakaran.

4. 3 Garis Pantai
Berdasarkan Gambar 4. 1 garis berwarna merah menunjukkan plot garis pantai pada
tahun 2016 menggunakan metode marking point sedangkan garis yang berwarna biru
adalah hasil tracking GPS garis pantai pada tahun 2015. Dari kedua hasil penelusuran
garis pantai,terdapat perbedaan hasil plot garis pantai yang diduga dikarenakan
perbedaan metode pengambilan data, metode marking point menunjukkan hasil garis
pantai yang lebih baik karena setiap perubahan karakteristik pantai langsung diberi tanda
berbeda dengan metode tracking point yang sangat bergantung kepada akurasi dari alat.
Hasil garis pantai pada tahun 2016 menggunakan metode marking point menunjukkan
hasil yang cukup mendekati dengan garis pantai pada Google earth. Namun ada beberapa
lokasi yang terlihat sedikit berbeda seperti di utara Pulau Pari. Hal tersebut terjadi karena
di lokasi tersebut saat ini sudah ada mangrove sehingga ketika menelusuri pantai
mengambil garis terluar dan melewati mangrove. Tidak terlihat perubahan yang
signifikan antara hasil garis pantai tahun 2015 dan 2016.
Tipe garis pantai yang dominan di pulau pari adalah tipe pantai berpasir, yaitu pada
bagian timur dan selatan pulau pari. Selanjutnya adalah tipe pantai bakau yang terdapat
di sebelah utara pulau pari ( dekat daerah lipi),lalu selanjutnya adalah tipe pantai buatan
yang terdapat di bagian selatan pulau seperti jetty (dermaga). Infrastruktur yang berada
di sekitar garis pantai pulau pari diantaranya adalah di sebelah barat pulau pari terdapat
jetty dan balai penelitian oseanografi LIPI,lalu di bagian utara pulau pari dekat pantai
pasir perawan terdapat langgar langgar dan rumah makan untuk wisatawan. Di bagian
timur pulau pari merupakan wilayah yang tidak ada infrastruktur,sedangkan di bagian
selatan pulau pari merupakan wilayah yang paling padat infrastrukturnya,diwilayah
tersebut terdapat perumahan warga,jetty,sekolah dan masjid.

5. 4 Kualitas Air Laut


Adanya variasi dari hasil pengukuran parameter yang diuji dapat terjadi karena
adanya perbedaan aktivitas pada wilayah sekitar titik pengukuran. Pada pengukuran
KAL yang dilakukan terdapat 10 titik pengukuran yang berbeda-beda, sehingga
berdasarkan hasil pengamatan dapat diperoleh hasil sebagai berikut
a. Titik 1 berada pada wilayah LIPI. Pada wilayah ini pengukuran dilakukan
pada pukul xx.51. Nilai pengukuran yang diperoleh pada titik 1 adalah 28.25‰ dan
29.5‰ salinitas, temperatur 33.885oC, DO 5.425 mg/L, dan pH 7.575. Hasil pengukuran
pada wilayah ini memiliki nilai salinitas paling tinggi, serta nilai DO dan pH paling
rendah. Rendahnya nilai DO pada titik 1 terjadi karena banyaknya sampah-sampah
anorganik yang menyebabkan meningkatnya nilai COD dan BOD pada titik tersebut.
Dengan meningkatnya nilai COD dan BOD, maka dibutuhkan DO yang lebih banyak
sehingga akan menurunkan kadar DO pada titik 1. Karena itu, lebih baik apabila sampah-
sampah tersebut dikumpulkan dan dibuang pada tempatnya agar tidak semakin
menurunkan kualitas air laut yang ada.
b. Titik 2 berada pada wilayah yang jauh dari pemukiman. Pada wilayah ini,
pengukuran dilakukan pada pukul 13.40. Nilai pengukuran yang diperoleh pada titik 2
adalah 15.2‰ dan 28‰ salinitas, temperatur 32.54oC, DO 10.295 mg/L, dan pH 8.835.
Pada titik ini diperoleh kadar DO yang paling tinggi jika dibandingkan dengan titik-titik
lainnya. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya pohon bakau yang ditanam pada sekitar
titik 2. Tidak hanya itu, karena jauh dari pemukiman maka sangat sedikit sampah yang
dibuang pada sekitar titik 2 sehingga tidak akan membuat semakin buruk parameter
kualitas air secara signifikan. Pada titik ini diperoleh nilai salinitas dari Horiba sebesar
15.2‰. Nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan angka salinitas berdasarkan
refrakto maupun jika dibandingkan dengan titik-titik pengukuran lainnya. Hal ini dapat
terjadi karena adanya kesalahan dalam pengukuran yang dilakukan, misalnya
pembersihan alat yang kurang bersih, dll.
c. Titik 3 berada pada wilayah yang paling dekat dengan pemukiman. Pada
wilayah ini, pengukuran dilakukan pada pukul 16.08. Nilai pengukuran yang diperoleh
pada titik 3 adalah 27.15‰ dan 28.022‰ salinitas, temperatur 35.68oC, DO 8.18 mg/L,
dan pH 8.825. Walaupun wilayah ini dekat dengan pemukiman, nilai parameter KAL
yang diperoleh menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal ini dapat terjadi karena
komitmen warga dalam menjaga kebersihan wilayah tersebut. Dapat dilihat bahwa
terdapat banyak tempat sampah yang terbagi atas sampah organik dan anorganik di Pulau
Pari, sehingga tidak terlalu banyak pencemaran yang terjadi pada titik ini.
d. Titik 4 berada pada wilayah paling timur dari area pengukuran. Pada wilayah
ini, pengukuran dilakukan pada pukul 15.25. Nilai pengukuran yang diperoleh pada titik
4 adalah 28.8‰ dan 29‰ salinitas, temperatur 35.655oC, DO 7.73 mg/L, dan pH 8.995.
Pada titik ini diperoleh nilai pH paling tinggi, yaitu 8.995. Tingginya nilai pH dapat
dipengaruhi oleh waktu pengukuran yang merupakan waktu terjadinya proses
fotosintesis pada tanaman. Terdapat banyak tanaman pada sekitar area titik 4, sehingga
proses fotosintesis akan menurunkan kadar CO2 pada air dan meningkatkan nilai pH.
e. Titik 5 berada pada posisi paling dekat dengan dermaga Pulau Pari. Pada
wilayah ini, pengukuran dilakukan pada pukul 16.20. Nilai pengukuran yang diperoleh
pada titik 5 adalah 25.35‰ dan 28.5‰ salinitas, temperatur 34.31oC, DO 7.905 mg/L,
dan pH 8.75. Walaupun wilayah ini merupakan wilayah yang paling dekat dengan
dermaga, nilai parameter KAL yang diperoleh menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal
ini dapat terjadi karena komitmen warga dalam menjaga kebersihan wilayah tersebut.
Dapat dilihat bahwa terdapat banyak tempat sampah yang terbagi atas sampah organik
dan anorganik di Pulau Pari, sehingga tidak terlalu banyak pencemaran yang terjadi pada
titik ini.
f. Titik 6 berada pada wilayah Pantai Pasir Perawan. Pada wilayah ini,
pengukuran dilakukan pada pukul 15.09. Nilai pengukuran yang diperoleh pada titik 6
adalah 26.55‰ dan 22.019‰ salinitas, temperatur 35.04oC, DO 8.03 mg/L, dan pH
8.505. Nilai tersebut tergolong cukup baik, karena wilayah ini merupakan wilayah wisata
bahari sehingga kebersihan dari wilayah tsb. dijaga dengan baik.
g. Titik 7 berada pada wilayah yang paling dekat dengan pemukiman. Pada
wilayah ini, pengukuran dilakukan pada pukul 16.08. Nilai pengukuran yang diperoleh
pada titik 7 adalah 27.15‰ dan 27.5‰ salinitas, temperatur 34.945oC, DO 6.35 mg/L,
dan pH 8.825. Walaupun wilayah ini dekat dengan pemukiman, nilai parameter KAL
yang diperoleh menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal ini dapat terjadi karena
komitmen warga dalam menjaga kebersihan wilayah tersebut. Dapat dilihat bahwa
terdapat banyak tempat sampah yang terbagi atas sampah organik dan anorganik di Pulau
Pari, sehingga tidak terlalu banyak pencemaran yang terjadi pada titik ini.
h. Titik 8 berada pada wilayah Pantai Pasir Perawan. Pada wilayah ini,
pengukuran dilakukan pada pukul 14.35. Nilai pengukuran yang diperoleh pada titik 8
adalah 28.05‰ dan 29‰ salinitas, temperatur 35.37oC, DO 5.59 mg/L, dan pH 8.315.
Nilai tersebut tergolong cukup baik, karena wilayah ini merupakan wilayah wisata bahari
sehingga kebersihan dari wilayah tsb. dijaga dengan baik. Namun, kadar DO pada titik
ini dapat dikatakan cukup rendah apabila dibandingkan dengan titik-titik lainnya. Hal ini
mungkin terjadi karena banyaknya sampah-sampah anorganik yang menyebabkan
meningkatnya nilai COD dan BOD pada titik tersebut. Dengan meningkatnya nilai COD
dan BOD, maka dibutuhkan DO yang lebih banyak sehingga akan menurunkan kadar
DO pada titik 8. Karena itu, lebih baik apabila sampah-sampah tersebut dikumpulkan dan
dibuang pada tempatnya agar tidak semakin menurunkan kualitas air laut yang ada.
i. Titik 9 berada pada wilayah LIPI. Pada wilayah ini pengukuran dilakukan
pada pukul 17.18. Nilai pengukuran yang diperoleh pada titik 9 adalah 28.1‰ dan
29.5‰ salinitas, temperatur 32.565oC, DO 6.745 mg/L, dan pH 8.895. Pada wilayah ini
diperoleh hasil pengukuran parameter KAL yang cukup baik. Hal ini dapat terjadi karena
tidak banyak pencemaran air yang terjadi pada titik ini.
j. Titik 10 berada pada wilayah yang jauh dari pemukiman. Pada wilayah ini,
pengukuran dilakukan pada pukul 13.40. Nilai pengukuran yang diperoleh pada titik 10
adalah 22.6‰ dan 27.5‰ salinitas, temperatur 31.535oC, DO 8.6 mg/L, dan pH 8.35.
Pada titik ini diperoleh kadar DO yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan titik-titik
lainnya. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya pohon bakau yang ditanam pada sekitar
titik 10. Tidak hanya itu, karena jauh dari pemukiman maka sangat sedikit sampah yang
dibuang pada sekitar titik 10 sehingga tidak akan membuat semakin buruk parameter
kualitas air secara signifikan.
Perbandingan Hasil Pengukuran dengan Baku Mutu
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
tentang Baku Mutu Air Laut, diketahui bahwa terdapat tiga jenis baku mutu yang berlaku
untuk air sesuai dengan peruntukannya, yaitu Baku Mutu Air Laut untuk Perairan
Pelabuhan, Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari, dan Baku Mutu Air Laut untuk
Biota Laut. Peraturan ini dibuat untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut dimana
perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari
dan atau merusak lingkungan laut. Ketiga Baku Mutu Tersebut ditunjukkan dalam Tabel
5. 3, Tabel 5. 4, dan Tabel 5. 5.
Tabel 5. 3 Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan

Tabel 5. 4 Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari


Tabel 5. 5 Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut

Berdasarkan pengamatan pada area-area yang dilakukan pengukuran, dapat


disimpulkan bahwa titik 5 merupakan wilayah dengan peruntukan perairan pelabuhan,
titik 1, 3, 4, 6, 7, 8, dan 9 merupakan wilayah dengan peruntukan wisata bahari, dan titik
10 dan 2 merupakan wilayah dengan peruntukan biota laut.
Dengan membandingkan hasil pengukuran yang diperoleh dengan baku mutu yang
tercantum dalam KepmenLH 51/2004, dapat diperoleh hasil bahwa nilai parameter
salinitas, temperatur, dan DO masih memenuhi standar baku mutu. Namun, untuk nilai
pH pada titik 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9 diperoleh hasil melebihi standar baku mutu. Standar
baku mutu untuk pH maksimum perairan laut berdasarkan KepmenLH 51/2004 adalah
8.5, sementara berdasarkan pengukuran diperoleh hasil pH yang melebihi sebagai berikut
Titik 2 = pH 8.835
Titik 3 = pH 8.825
Titik 4 = pH 8.995
Titik 5 = pH 8.75
Titik 6 = pH 8.505
Titik 7 = pH 8.825
Titik 9 = pH 8.895
Nilai pH sangat terkait dengan jumlah karbondioksida (CO2) yang terlarut dalam
air. Semakin rendah kadar CO2 dalam air, maka semakin tinggi nilai pH yang akan
diperoleh. Karena itu, terdapat dua kemungkinan yang menyebabkan nilai pH yang
diperoleh melebihi standar baku mutu yang ada, yaitu:
1. Pengukuran dilakukan pada waktu siang dan sore hari, dimana tanaman
sedang melakukan proses metabolisme, yaitu fotosintesis. Saat proses fotosintesis terjadi,
tanaman akan mengubah CO2 dan H2O menjadi karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen
(O2) dengan bantuan cahaya. Karena itu, kadar CO2 dalam air akan menurun dan pH
meningkat.
2. Adanya pencemaran air laut akibat aktivitas manusia yang menyebabkan
terjadinya perubahan nilai pH.

Perbedaan Hasil Kualitas Air Laut Antara 2 Alat yang Berbeda


Pengukuran nilai Salinitas dengan Horiba dan Refraktometer menunjukkan hasil
yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan sensitivitas dari masing-
masing alat yang digunakan. Misalnya saja, untuk Horiba dengan tipe D-74 memiliki
akurasi ±0.01%, sementara Salinity Refractometer Atago S28α memiliki akurasi ±0.2%.
Karena itulah dengan menggunakan alat yang berbeda, hasil pengukuran dapat menjadi
berbeda. Namun seharusnya perbedaan yang terjadi tidak terlalu signifikan.
Selain dari sensitivitas/akurasi alat yang berbeda-beda, perbedaan hasil dapat
terjadi karena kesalahan dari pengguna alat. Pada saat pengukuran, sampel air diambil
dengan menggunakan sejenis ember kecil. Pada saat mengambil sampel air, ember
diletakkan pada bagian teratas air dan diusahakan agar tidak ada sedimen yang ikut
masuk ke dalam sampel air. Pada saat proses pengambilan sampel tersebut, terdapat
kemungkinan adanya sedimen yang ikut masuk sehingga mengganggu pengukuran.
Selain dari sedimen yang mungkin ikut masuk, terdapat pula kemungkinan adanya udara
sekitar yang membawa partikel-partikel asing yang masuk ke dalam sampel air. Hal ini
dapat terjadi karena adanya jarak dari titik pengambilan sampel menuju alat, sehingga
tidak menutup kemungkinan masuknya partikel asing yang mengganggu pengukuran.
Lalu ada pula kemungkinan bahwa kondisi sampel air dalam ember tidak
homogen. Kondisi sampel yang tidak homogen menyebabkan kualitas air yang tidak
seluruhnya sama dalam satu ember sampel air, sehingga hasil pengukuran akan berbeda-
beda tergantung dari posisi peletakan alat dalam pengukuran kualitas sampel air.
Selain itu, terdapat pula kemungkinan proses pembersihan alat yang tidak benar.
Sebelum menyimpan atau menggunakan alat sebaiknya alat dibilas terlebih dahulu
dengan menggunakan aquades. Proses pembilasan yang kurang baik akan menyisakan
sampel air yang digunakan sebelumnya sehingga akan merubah hasil pengukuran
menjadi tidak akurat.

5. 5 Sanitasi
5. 5. 1 Limbah Padat
Kategori sampah yang disampling adalah plastic, logam, kertas tekstil, kaca,
B3 dan lain – lain. Kategori sampah plastik mendominasi daerah tinjauan. Sampah
plastic ini berasal dari aktivitas manusia di sekitar pesisir pantai. Selain itu, adanya
sampah plastik dan sampah anorganik lainnya yang ditemukan disekitar kawasan
mangrove mengindikasikan bahwa masyarakat ataupun pengunjung kawasan tersebut
membuang langsung sampahnya ke daerah tersebut.
Dinamika air laut juga mempengaruhi persebaran sampah di daerah sekitar
pesisir pantai Pulau Pari ini. Sampah yang dibuang pada suatu titik akan menyebar ke
titik lain akibat arus laut. Selain itu, arus laut membawa sampah-sampah dari laut saat
pasang dan tertinggal saat surut. Sampah – sampah tersebut akan terbawa ke daerah yang
tidak dapat diprediksi sehingga lamanya keberadaan sampah tersebut di suatu kawasan
juga tidak dapat terprediksi kecuali untuk sampah yang tersangkut di sekitaran kawasan
mangrove. Sampah yang tidak terbawa arus akan terdegradasi sesuai dengan
karakteristik sampah tersebut. Sampah organik akan dalam waktu yang singkat, sampah
anorganik seperti plastik dan pakaian membutuhkan waktu yang lama untuk terurai
sehingga akan terjadi penumpukan sampah anorganik di daerah pantai. Hal ini yang
menyebabkan kemudahan sampah anorganik untuk dilakukan sampling dibandingkan
dengan sampah organik.
Metode perhitungan untuk cara pertama yaitu dengan menentukan jumlah dari
sampah tiap jenisnya sehingga didapat persentase jumlah jenis sampah yang sangat
paling banyak dan kemudian dilakukannya pengendalian untuk jenis sampah yang paling
banyak agar dapat dikurangi secara kuantitas guna mencegah dampak buruk terhadap
lingkungan yang ditimbulkan dan untuk hasil perhitungan cukup representative.
Sementara untuk metode perhitungan berat sampah hasil yang diberikan kurang
representative karena adanya pengaruh air yang menambah berat dari sampah tersebut
sehingga kualitas air laut tidak dapat ditentukan secara akurat. Hal ini dapat diatasi
dengan melakukan berbagai cara yaitu pertama dengan mengeringkan hasil sampling dan
yang kedua dengan menghitung densitas dari air laut kemudian menguranginya dengan
berat sampah yang ada. Namun, karena keterbatasan waktu hal tersbut tidak dapat
dilakukan. Maka dari itu dengan menggunakan hasil perhitungan pada metode
perhitungan pertama dilakukannya tindakan pengurangan sampah baik itu yang palling
banyak secara kuantitas maupun yang memiliki sifat B3 serta sulit untuk terdegradasi.
Hal ini, berguna untuk mencegah pencemaran lingkungan yang dapat mengurangi
kualitas air laut.
Daerah garis pantai yang kami amati terbilang sedikit timbulan sampahnya.
Namun,jika dibandingkan dengan daerah lainnya ada perbedaan dari segi kuantitas
dimana ada sebuah daerah yang timbulan sampahnya cukup banyak. Kondisi sampling
dilakukan saat kondisi air sudah mulai pasang sehingga sampah sudah mulai berada di
perairan dangkal. Secara kualitas memang tidak dapat ditentukan baik atau buruknya air
di kawasan tersebut karena perlu adanya pengujian berlanjut skala laboratorium. Namun
dari segi estetika sangat terihat kumuh dan kurang baik. Perbedaan sampling sampah
dibawah laut dan di kawasan yang kering adalah dari segi berat sampah yang terukur,
akan sangat representative jika sampling dilakukan di kawasan yang kering. Selain itu,
adanya proses degradasi yang terjadi pada sampling sampah di bawah laut atau perairan
dangkal.
Di beberapa area Pulau Pari contohnya di dekat LIPI sudah terdapat tempat sampah
yang terdiri dari tiga jenis, yaitu tempat sampah untuk sampah organik, anorganik, dan
B3. Namun ada juga beberapa kelompok yang mendapat area sweeping yang tidak ada
tempat sampahnya. Di area peninjauan garis pantai terdapat TPS ataupun TPA yang
berukuran lumayan besar dan juga terdapat juga TPS di salah satu area kelompok 5, yaitu
lubang yang digali di pasir di pesisir pantai, sangat dekat dengan laut. Menurut warga
setempat, sampah di TPS ini nantinya akan dibawa setiap hari oleh petugas, baik yang
bertugas di Pulau Pari atau petugas dari pulau lain di Kepulauan Seribu baik berupa
sampah rumah tangga maupun sampah yang berada di pinggir laut atau pantai dan
kemudian di bakar di TPS/TPA tersebut. Namun, TPS yang tidak permanen ini dapat
menyebabkan rembesnya air laut ke tumpukan sampah sehingga lindi dari sampah
bercampur dengan air laut dan mencemari air laut.
Perlakuan masyarakat terhadap sampah belum dapat dikatakan baik, karena masih
ada warga yang membakar sampahnya di sekitar laut. Untuk menangani (mereduksi)
timbulan sampah yang dibuang ke laut atau dibakar terdapat Bank Sampah. Dimana,
masyarakat dapat menabungkan sampah plastiknya dan mendapatkan keuntungan.
Namun, belum semua warga melakukan program bank sampah, program mendaur ulang
kemasan sashet pun sudah tidak berlangsung di Pulau Pari karena diakibatkan fktor biaya
dan pasar yang membeli hasil kerajinan tersebut. Tapi, masih adasaja warga yang
membakar sampahnya, bahkan diTPA sekalipun proses yang dilakukan adalah dengan
membakar sampahnya.
Sampah yang mengandung plastik jika dibakar akan menghasilkan dioxin, yang
akan menyebabkan pencemaran udara. Selain itu, masih banyak wisatawan dan nelayan
yang melaut kemudian membuang sampahnya ke laut. Kapal nelayan juga tidak
difasilitasi dengan tempat sampah sehingga jika pada jaring ditemukan sampah, oleh
beberapa nelayan sampah tersebut dibuang kembali ke laut. Akan tetapi, ada juga
nelayan yang menyimpannya di kapal kemudian dibuang ketika sampai ke daratan.
Berdasarkan hasil analisis kualitas air laut, sampah memengaruhi kualitas air laut
yaitu pH. Dari hasil pengukuran di beberapa titik, pH air laut berkisar antara 7-8, kecuali
pada satu titik pengukuran yaitu di bagian timur Pulau Pari, yaitu 8,9. Daerah ini
menghadap langsung ke Jakarta, sehingga di area tersebut banyak terkumpul sampah,
baik yang terbawa oleh air laut dari Jakarta maupun yang dibuang oleh masyarakat
setempat. Adanya pencemaran sampah di suatu kawasan pesisir maupun di laut dapat
mempengaruhi ekosistem laut maupun pesisir terutama biota laut seperti terumbu karang,
ikan, penyu dan lain – lain. Sampah dapat menghasilkan senyawa yang mungkin saja
berbahaya bagi alam seperti contohnya yang bersifat B3. Dampak yang ditimbulkan bisa
secara langsung ataupun secara bertahap atau bisa juga disebut bioakumulasi yang terjadi
pada hewan laut yang dapat menyebabkan kematian populasi dan mengancam kesehatan
manusia yang menggunakan hewan laut tersebut sebagai bahan makanan. Seperti kasus
minamata yang terjadi di Jepang. Selain itu kasus penyu yang memakan sampah plastik
yang terlihat seperti ubur – ubur dan berdampak buruk bagi populasi penyu. Jika
dibiarkan dalam waktu yang lama sampah di daerah pesisir akan membentuk lapisan di
permukaan laut dan menghalangi masuknya sinar matahari ke dasar laut yang dapat
berdampak buruk bagi ekosistem laut.
5. 5. 2 Limbah Cair
Berdasarkan observasi saat pelaksanaan modul garis pantai di kawasan kelompok
kami tidak ditemukannya sistem limbah cair domestik (seperti sewerage, drainase, dan
tangki septik). Hal ini terasa saat malam hari dan terjadi hujan adanya genangan air di
sepanjang jalan dari kawasan LIPI ke guest house, penyebab terjadinya hal ini
diperkirakan kurangnya sistem penyaluran air di daerah tersebut. Untuk daerah lain tidak
dapat ditemukan data mengenai keberadaan sistem pembuangan air limbah dan drainase.
Namun, sistem pembuangan air limbah sangat perlu dikelola dengan baik di kawasan
pesisir pantai karena sebelum dialirkan ke laut perlu adanya sistem pengolahan yang baik
agar mencegah terjadinya pencemaran di laut walaupun laut memiliki self purification
namun kemampuan tersebut terbatas dan sangat bergantung pada aktifitas manusia di
sekitarnya. Adanya tangka septik sangat berguna untuk menampung terlebih dahulu
buagan padat dengan konsentrasi pencemar yang cukup tinggi untuk tidak langsung
dibuang ke laut. Berdasarkan hasil wawancara pencemaran laut di sekitar pulau banyak
dipengaruhi oleh kirimian limbah indutri yang menyebabkan terjadinya perubahan warna
laut. Selain itu hasil buangan bahan bakar kapal baik itu yang digunakan oleh nelayan,
kapal pengantar bahan tambang dan kapal pengantar pengunjung Pulau Pari. Hal tersebut
dapat merubah kadar BOD dan COD dan membuat kadar pH air laut menjadi tidak stabil
dan dampak berkelanjutannya ekosistem bawah laut menjadi rusak sehingga nelayan
sulit untuk menemukan ikan.
5.5. 3 Air Bersih
Sumber Air Bersih yang digunakan oleh masyarakat setempat adalah sumur
dengan kedalaman kurang lebih 2 meter yang biasa digunakan warga untuk mandi,
memcuci dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Berdasarkan data wawancara air tersebut
berasa payau sehingga kurang banyak dikonsumsi oleh warga. Selain itu, untuk
dikonsumsi adanya air hasil penyulingan dengan menggunakan sistem Reverse Osmosis
(RO) yang merupakan bantuan dari Pemda DKI Jakarta serta untuk pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat Pulau Pari. Terdapatnya depot air minum yang terletak
dikawasan rumah warga.
Berdasarkan pengalaman kami di Pulau Pari air yang berada di guest house dari
segi rasa tidak terlalu payau namun dari segi warna sedikit keruh. Sementara untuk
daerah LIPI air memiliki rasa yang payau dan keruh. Rasa payau di air tersebut
disebabkan oleh sumur yang sebagai sumber air di daerah tersebut dipengaruhi oleh air
laut dengan salinitas yang tinggi sehingga air yang kami gunakan untuk mandi terasa
payau. Menentukan kelayakan air tersebut layak konsumsi atau tidak perlu dilakukannya
uji khusus skala laboratorium dan sisesuaikan dengan parameter air minum yang tertera
pada Permenkes Nomor 492 tahun 2010, Permenkes 416 tahun 1990, serta PP 82 tahun
2010. Namun dari segi estetika dan rasa air tersebut tidak layak minum.
Sumber air yang belum dan dapat digunakan sebagai sumber air alternatif yaitu air
hujan. Air hujan dapat diolah menjadi air bersih dan layak digunakan sebagai air bersih
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Pulau Pari. Salah satu sistem pengolahan air
hujan menjadi air bersih adalah rainwater harvesting system. Rainwater harvesting
system adalah sistem pengumpulan dan penampungan air hujan untuk digunakan
kembali dalam kegiatan sehari-hari, seperti untuk menyiram tanaman, flushing water, air
minum untuk hewan ternak, air untuk irigasi, mencuci, dan lain-lain. Sistem ini cukup
mudah dibuat, yaitu dengan membuat penangkap air, yang kemudian diberi beberapa
filter penyaring air, seperti pasir, kerikil, sabut kelapa, dan sebagainya. Lalu, air yang
telah disaring dapat ditampung untuk selanjutnya digunakan untuk memenuhi kegiatan
tersebut. Di daerah pesisir, air laut memiliki salinitas yang tinggi. Hal tersebut yang
menyebabkan rasa pada air tanah di Pulau Pari. Sedangkan dengan menggunakan air
hujan, maka kualitas air yang diperoleh setelah dilakukannya pengolahan rainwater
harvesting system menjadi baik dan dapat digunakanuntuk mengisi kembali air tanah,
mengurangi kadar salinitas pada air tanah, dan dapat menjaga keseimbangan antara
interface air tawar – air bergaram. Berikut adalah skema Rainwater harvesting system.
Gambar 5. 2 Skema Rainwater Harvesting
Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Rainwater_harvesting_system.svg
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Mangrove
6.2 Wawancara
6.3 Garis Pantai
6.4 KAL
6.5 Sanitasi
6. 5. 1 Kesimpulan
Masalah sanitasi di pesisir Pulau Pari diantaranya adalah adanya pencemaran
sampah di suatu kawasan pesisir maupun di laut, kiriman limbah industry di sekitar
pulau, dan pengolahan air bersih yang belum maksimal.
Pencemaran sampah kawasan pesisir yang dapat mempengaruhi ekosistem laut
maupun pesisir terutama biota laut yang mungkin saja berbahaya bagi alam seperti B3
yang dapat menyebabkan bioakumulasi yang terjadi pada hewan laut dan menyebabkan
kematian populasi dan mengancam kesehatan manusia yang menggunakan hewan laut
tersebut sebagai bahan makanan yang jika dibiarkan dalam waktu yang lama sampah di
daerah pesisir akan membentuk lapisan di permukaan laut dan menghalangi masuknya
sinar matahari ke dasar laut yang dapat berdampak buruk bagi ekosistem laut. Kiriman
limbah industri di sekitar pulau juga dapat membuat air laut di sekitar Pulau Pari
tercemar. Selain itu, pengetahuan warga akan daya olah air untuk memperoleh air bersih
dengan pengelolaan air hujan juga masih minim.

6. 5. 2 Saran
1. Limbah Industri di sekitar pulau atau sampah kiriman dari sekitar pulau perlu
dibersihkan secara berkala, yang dapat juga dilakukan regulasi tertentu untuk Industri
agar mengolah limbahnya dengan baik tanpa membuangnya ke laut.
2. Perlu diadakannya sosialisasi atau pembangunan pengolahan air hujan untuk
ketersediaan air bersih
Daftar Pustaka

http://www.irwantoshut.com/hutan_bakau_zonasi_mangrove.html
http://pengertian-definisi.blogspot.co.id/2010/10/definisi-mangrove.html
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai