Anda di halaman 1dari 12

m.

k Ekologi Perairan Hari/Tanggal : Selasa, 17 Mei 2022


Kelompok : 3/Praktikum P1/Q1
Dosen : Andri Hendriana S.Pi., M.Si.
Dr. Wiyoto S.Pi., M.Sc.
Henry Kasmanhadi Saputra S.Pi., M.Si.
Ima Kusumanti S.Pi., M.Sc.
Asisten : Fauziyyah Hanifah, A. Md
Nabilla Putri E., A. Md

EKOSISTEM MANGROVE TAMAN NASIONAL BUNAKEN

Disusun Oleh:
Muhammad Dava Alnasyuri J1308211003
Wildan Afiys J1308211010
Muhammad Ridlo Firdaus J1308211012
Regita Putri Ramandasari J1308211029
Reznandya Muhammad Fadly Sumbada J1308211049
Shella Livia Yuniar J1308211050

TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN


PERIKANAN BUDIDAYA
SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mangrove merupakan sumber daya alam yang berperan penting dalam
memelihara keseimbangan antara ekosistem darat dan perairan oleh karena itu
ekosistem ini juga sebagai pendukung kehidupan yang perlu dijaga
kelestariannya. Mangrove sebagai salah satu komponen ekosistem pesisir
berperan penting, baik dilihat dari sisi ekologi yaitu peranan dalam memelihara
produktivitas perairan maupun dalam menunjang kehidupan ekonomi
penduduk sekitarnya bagi wilayah pesisir, ekosistem ini, terutama sebagai jalur
hijau di sepanjang pantai/muara sungai sangatlah penting untuk nener/ikan dan
udang serta mempertahankan kualitas ekosistem perikanan.
Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologi dan sosial ekonomi bagi
masyarakat pesisir, mempertahankan fungsi ini merupakan langkah
mempertahankan fungsi ekosistem di sekitarnya, di antaranya terumbu karang
dan padang lamun. Kualitas perairan ekosistem mangrove sangat
mempengaruhi kondisi kesehatan tumbuhan mangrove, walaupun tumbuhan
ini terkenal dengan tumbuhan yang memiliki adaptasi yang tinggi terhadap
perubahan salinitas, tumbuhan ini juga rentan terhadap perubahan kualitas
airnya seperti suhu, pH, dan DO. Ketidakstabilan parameter kualitas air
tersebut akan mengakibatkan penurunan kualitas bahkan kematian pada
mangrove.
Pada tahun 1982 luas hutan mangrove Indonesia mencapai 5 209 543 ha,
dan menurun pada tahun 1987 menjadi 3 234 700 ha. Penurunan ini terus
berlangsung hingga pada tahun 1993 hasil survei menyatakan bahwa luasan
hutan mangrove tinggal sekitar 2 496 185 ha. Hal ini dikarenakan pemanfaatan
yang bersifat destruktif yang diterapkan pada ekosistem mangrove sangat sulit
dikendalikan (Dahuri et al. 2004). Hal ini juga terlihat pada PPK TNB dimana
laju penurunan luasan ekosistem mangrove cukup tinggi.
Luas total ekosistem mangrove pulau kecil Taman Nasional Bunaken
(TNB) mencapai 977,630 ha yang tersebar di empat pulau. Terdapat delapan
jenis mangrove yang teridentifikasi di Pulau Mantehage, yaitu: Rhizophora
mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Bruguiera
gymnorrhiza, Bruguiera cylindrical, Ceriops tagal, Sonneratia alba, dan
Lumnitzera littorea, luasan mangrove pulau ini mencapai luas 893,8 ha
(Lahabu et al. 2015 dan Schaduw 2012). Pulau Bunaken dengan luas mangrove
71,576 ha, memiliki lima jenis mangrove yaitu Soneratia alba, Avicennia
marina, Xylocarpus granatum, Rhizophora apiculata, dan Bruguiera
gymnorrhiza, yang terbagi dalam empat family yaitu Sonneratiaceae,
Avicenniaceae, Meliaceae, dan Rhizophoraceae. (Schaduw 2016), Pulau
Manado Tua dengan luas 7,814 ha memiliki dua jenis mangrove yaitu jenis
Avicennia alba dari family Avicenniaceae dan Rhizophora mucronata dari
family Rhizophoraceae (Schaduw 2012), Pulau Nain ini memiliki dua jenis
mangrove yaitu jenis Rhizophora apiculata dan Avicennia marinna masing-
masing dari family Avicenniaceae dan Rhizophoraceae dengan luas 4,4 ha.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana kualitas air di kawasan hutan mangrove Taman Nasional
Bunaken?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui kualitas air dan parameter lingkungan hutan
mangrove Taman Nasional Bunaken.
II. PEMBAHASAN

Penilaian kesehatan hutan mangrove dapat diperoleh dari perhitungan nilai


akhir kondisi kesehatan hutan mangrove. Nilai akhir kondisi kesehatan hutan
mangrove berasal dari perhitungan hasil perkalian antara nilai tertimbang dengan
nilai skor parameter dari masing-masing indikator kesehatan hutan mangrove.
Kategori kesehatan hutan mangrove dapat terbagi menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu:
bagus, sedang, dan jelek. Kategori kesehatan hutan mangrove tersebut diperoleh
dari nilai ambang batas kesehatan hutan mangrove.
2.1 Parameter Fisika
2.1.1 Suhu
Kondisi suhu di perairan ekosistem mangrove pulau-pulau kecil
TNB tergolong baik dan masih memenuhi baku mutu untuk kehidupan
biota laut dan kegiatan pariwisata. Temperatur air di bagian depan yang
menghadap ke laut lebih tinggi daripada air di bagian tengah dan air di
bagian belakang, hal ini dipengaruhi oleh penetrasi sinar matahari ke
dalam kolom air. Bagian belakang ekosistem yang berbatasan dengan
daratan ini ditumbuhi mangrove, sehingga suhu di bagian ini cenderung
rendah. Temperatur perairan tertinggi terdapat di Pulau Nain dan Pulau
Manado (29.670C), sedangkan temperatur terendah terdapat di Pulau
Mantehage (28.960C) (Tabel 1). Kondisi suhu ini juga dipengaruhi oleh
luasnya ekosistem mangrove, konon pulau-pulau dengan ekosistem
mangrove besar memiliki suhu air yang lebih rendah dibandingkan
pulau-pulau kecil. Suhu air di Kabupaten Barru berkisar antara 30,20C
sampai 30,30C (Malik, 2013), sedangkan suhu air ekosistem mangrove
di distrik Liquisa Timor Leste berkisar antara 280C sampai 300C ( Jesus
2012), Wantasen ( 2013 ) penelitian di perairan ekosistem mangrove
Desa Basaan I pada suhu air menunjukkan angka 310C, suhu air
ekosistem mangrove pada patung Ngurah Rai Tuban Denpasar memiliki
nilai rata-rata 29,10C (Suriani 2006). Kajian kualitas air Sungai Buaya di
Pulau Bunyu, Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa rata-rata suhu
terukur berkisar antara 28-28,50C pada saat pasang hingga 28-29,30C
pada saat surut, dengan tidak ada perbedaan perbedaan yang besar pada
saat pasang dan surut. (Kurniadi 2015). Ulqodry et al. (2010) dalam
penelitiannya di perairan mangrove Tanjung Api-api, Sumatera Selatan,
diperoleh pengukuran suhu berkisar antara 27,60C sampai 30,40C.
Sedangkan suhu air pada ekosistem mangrove di desa Tobati dan Nafiri,
Jayapura , adalah 26,330C - 32,170C (Arizona dan Sunarto 2009). Suhu
yang baik untuk mangrove adalah tidak kurang dari 200 C (Kolehmainen
et al. 1974). . Secara umum suhu air permukaan berkisar antara 280C
sampai dengan 310C (Nontji 2005). Mangrove dapat tumbuh dengan baik
di daerah tropis dengan suhu di atas 200C (Aksornkoae 1993). Suhu
berperan dalam menentukan metabolisme organisme di dalam air. Suhu
yang tidak stabil mengganggu kehidupan organisme dan dapat
menyebabkan kematian.
2.1.2 Total Suspended Solid
Rata-rata nilai TSS untuk keempat pulau tersebut berkisar antara
26,67 mg/l (P.Nain) hingga 37,92 mg/l (P.Mantehage), yang berada di
bawah baku mutu yang ditetapkan yaitu 80 mg/l (Tabel 1). Bagian
belakang ekosistem mangrove memiliki nilai TSS rata-rata yang tinggi
selain suhu dan kekeruhan, dan masukan dari daratan berkontribusi
signifikan terhadap nilai tersebut. Manado Tua dan Nain memiliki nilai
TSS yang rendah dan dipengaruhi oleh fakta bahwa populasi pulau
tersebut cenderung lebih kecil dibandingkan pulau lainnya. Keadaan TSS
ini masih di bawah baku mutu air laut biota, namun di atas baku mutu air
laut kegiatan pariwisata. Nilai TSS ini lebih tinggi dari TSS 44 mg/l di
desa Basaan I (Wantasen 2013). Kisaran TSS di perairan mangrove
Tanjung Api-api Sumatera Selatan adalah 27,67 mg/L – 259,33 mg/L,
dan tingginya TSS dan TOM disebabkan oleh seringnya akumulasi
sedimen di muara dan timbulan bahan organik dari daratan dan juga dari
laut. Kondisi ini dapat mengganggu proses bioekologi ekosistem ini
(Ulqodry et al 2010)
2.1.3 Kekeruhan
Nilai rata-rata kekeruhan pada keempat pulau ini cenderung diatas
nilai baku mutu (<5NTU), akan tetapi dua lokasi nilai ini berada dibawah
baku mutu yaitu pada bagian depan Pulau Mantehage (4,45 NTU) dan
depan Pulau Bunaken (3,70 NTU). Nilai kekeruhan yang tinggi berkaitan
dengan substrat ekosistem magrove yang didominasi lumpur dan
masukan material yang berasal dari daratan. Nilai rata-rata kekeruhan ini
berkisar antara 5,41-5,94 NTU (Tabel 1). Walapun nilai kekeruhan pada
setiap pulau melebihi baku mutu akan tetapi tidak melebihi dari 6 NTU,
dan hal ini masih bisa ditolerir oleh mangrove dan biota yang berasosiasi
didalamnya. Nilai kekeruhan sangat berfluktuasi berdasarkan pasang
surut, musim dan curah hujan.
Tabel 1. Nilai nata-rata parameter kualitas air

Satuan C NTU mg/L PSU mg/L mg/L mg/L


Biota 28-32 < 5 80 7-8.5(d) <34 >5 0.008 0.015
Pulau
Pariwisata alami < 5 20 7-8.5(d) alami3(e) >5 0.008 0.015
Parameter Suhu Kekeruhan TSS pH Salinitas DO NO3-N PO4-P

Belakang 28,25 6,41 47,50 7,96 28,25 5,08 0,07 0,37

Mantehage Tengah 28,75 5,93 37,75 8,19 29,00 5,59 0,06 0,18

Depan 29,88 4,45 28,50 8,26 30,00 6,40 0,03 0,17


Rata-rata 28,96 5,60 37,92 8,14 29,08 5,69 0,05 0,24
Belakang 28,50 6,33 49,00 7,84 28,50 4,92 0,04 0,05

Bunaken Tengah 29,00 6,20 36,00 8,16 29,50 5,99 0,06 0,06

Depan 29,50 3,70 26,00 8,21 30,00 6,40 0,02 0,03


Rata-rata 29,00 5,41 37,00 8,07 29,33 5,77 0,04 0,05
Belakang 29,00 6,23 38,00 8,13 30,00 4,73 0,03 0,04

Manado Tua Tengah 30,00 6,18 25,00 8,21 30,00 5,62 0,02 0,04

Depan 30,00 5,29 18,00 8,26 30,00 5,86 0,01 0,02


Rata-rata 29,67 5,90 27,00 8,20 30,00 5,40 0,02 0,03
Belakang 29,00 6,28 30,00 8,10 29,00 5,27 0,02 0,03
Tengah 30,00 6,39 28,00 8,14 29,00 5,36 0,03 0,03
Nain
Depan 30,00 5,14 2,00 8,18 30,00 6,13 0,01 0,02
Rata-rata 29,67 5,94 26,67 8,14 29,33 5,59 0,02 0,03
2.2 Parameter Kimia
2.2.1 pH
Kondisi pH perairan kawasan ekosistem mangrove di lokasi
penelitian berfluktuasi pada kisaran 8.07-8,20 yang masih dalam baku
mutu air laut untuk populasi hayati dan kegiatan pariwisata. PH dibalik
oleh parameter lain dan bagian depan lebih tinggi dari bagian belakang.
Memang, bagian anterior memiliki pengenceran yang lebih tinggi
daripada fraksi sentral dan posterior (Tabel 1). Rata-rata pH tertinggi
adalah Manado Tua (8,20) dan rata-rata pH terendah adalah Bunaken
(8,07). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan kisaran pH 88,5 di zona trailer
Timor Leste (Jesus 2012). Kisaran pH ekosistem mangrove di Kabupaten
Barru adalah 7,37,5 (Malik, 2013), kisaran pH Desa Basaan I adalah 7-
7,3 (Wantasen, 2013) dan nilai pH rata-rata ekosistem mangrove adalah
7,56. Ulqodry et al. (2010) penelitian di ekosistem mangrove Tanjung
Api-api, Sumatera Selatan, pH air berkisar antara 6,60 hingga 8,22,
sedangkan penelitian di Arizona dan Sunarto (2009), Pada ekosistem
mangrove Jayapura, nilai pH berkisar antara 7,00 hingga 7,67. Perbedaan
nilai pH pada masing-masing wilayah perairan tersebut sangat
dipengaruhi oleh ciri geomorfologi dan hidrografik wilayah tersebut.
Perairan cenderung memiliki nilai pH lebih tinggi dari perairan tertutup,
pulau-pulau kecil dengan nilai pH cenderung basa, dan pulau-pulau besar
dengan banyak sungai yang mengalir membuat nilai pH lebih rendah
bersifat asam. Mangrove akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada
kisaran pH 6,2 sampai 8 (Arksornkoae 1993).
2.2.2 Salinitas
Salinitas perairan ekosistem mangrove rata-rata berkisar antara
29,08 PSU – 30,00 PSU. Salinitas yang tinggi (> 35 ‰) dapat
berpengaruh buruk bagi vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan
osmotik yang negatif (Bengen 2000). Perubahan salinitas secara spasial
tidak berpengaruh langsung terhadap vegetasi tetapi dapat
membahayakan biota lain yang berasosiasi dengan vegetasi
(Poedjirahajoe 2007). Peningkatan salinitas dapat menyebabkan
kematian bagi biota termasuk fitoplankton sebagai penghasil oksigen,
akibatnya kandungan oksigen terlarut di perairan dapat mengalami
penurunan. Peningkatan ketebalan lumpur dapat menyebabkan
penurunan oksigen terlarut. Hal ini dapat terjadi karena penambahan
substrat berasal dari arus pasang yang membawa substrat lumpur
sehingga sering kali menyebabkan peningkatan kekeruhan air. Air yang
keruh akan menyulitkan penetrasi cahaya masuk ke permukaan air
sehingga mengakibatkan fitoplankton tidak dapat berfotosintesis secara
optimal, akibatnya jumlah oksigen terlarut yang dihasilkan menjadi lebih
rendah (Poedjirahajoe 2017).
2.2.3 Oksigen Terlarut
Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen dari
udara, arus atau aliran air melalui air hujan, dan aktivitas fotosintesis
tanaman air dan fitoplankton (Novonty dan Olem 1994). Semua
organisme yang hidup di air seperti ikan, udang, krustasea dan hewan
lainnya, termasuk mikroorganisme seperti bakteri, membutuhkan
oksigen. Oksigen terlarut sebagai pengatur metabolisme organisme
untuk pertumbuhan dan reproduksi. Rerata nilai DO pada ekosistem
mangrove lokasi penelitian adalah 4,73-5,70 mg/l (Tabel 1). Serupa
dengan salinitas, nilai DO yang rendah ditemukan di bagian belakang
mangrove dan tinggi di bagian depan, yang dipengaruhi oleh
pencampuran badan air yang lebih baik di latar depan dan limpasan
daratan dapat mengurangi nilai OD. Nilai DO perairan ekosistem ini
cukup baik karena selalu dalam batas baku mutu. Berbeda dengan
kondisi DO di perairan ekosistem mangrove Kabupaten Barru yang
mencapai 7,0-8,0 mg/l (Malik 2013), di Desa Basaan I nilai DO berkisar
antara 8,95-10,10 mg/l (Wantasen 2013), sedangkan di perairan Tanjung
Api-api kisaran DO 4,89-5,35 mg/l. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi
setiap hari dan musiman berdasarkan pencampuran dan turbulensi badan
air, fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi
2003).
2.2.4 Nitrat
Rata-rata kandungan nitrat di perairan ekosistem mangrove
keempat pulau ini adalah 0,02-0,05 mg/l. Bagian-bagian yang dekat
dengan daratan lebih tinggi dari bagian-bagian sebelumnya yang
termasuk dalam kategori baik karena mereka masih memenuhi baku
mutu lingkungan. Nitrat (NO3) dalam air laut adalah senyawa
mikronutrien yang mengontrol produktivitas primer di lapisan
permukaan daerah pemancar cahaya. Tingkat nitrat di daerah transmisi
cahaya sangat dipengaruhi oleh transportasi nitrat, oksidasi amonia
mikroba, dan penyerapan nitrat oleh proses produktivitas primer.
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan
merupakan nutrisi utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrogen
nitrat sangat larut dalam air dan stabil. Senyawa ini dihasilkan oleh
proses oksidasi lengkap senyawa nitrogen dalam air. Nitrifikasi, oksidasi
amonia menjadi nitrit dan nitrat, merupakan proses penting dalam siklus
nitrogen dan terjadi dalam kondisi aerobik. Oksidasi amonia menjadi
nitrit dilakukan oleh Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi
nitrat dilakukan oleh Nitrobacter (Schaduw et al. 2013).
2.2.5 Fosfor
Kandungan fosfor pada perairan keempat pulau memiliki nilai rata-
rata sekitar 0,05-0,24 mg/l yang cukup baik, sesuai dengan daya dukung
lingkungan perairan untuk kelangsungan hidup biota akuatik dan sesuai
dengan baku mutu yang ada (Tabel 1). Pulau Mantehage memiliki nilai
tertinggi, sedangkan Pulau Manado Tua dan Pulau Nain memiliki nilai
terendah. Perbedaan nilai ini sangat dipengaruhi oleh kondisi ekologi
pulau, terutama kontribusi daratan dan arus. Kondisi PO4P di perairan
ekosistem mangrove Kabupaten Barru lebih kecil dibandingkan dengan
pulau kecil di Bunaken, dengan nilai rata-rata 0,014 mg/l (Malik 2013),
berbeda dengan kondisi PO4-P di Desa Basaan I dimana nilainya sekitar
0,013-0,122 mg/l (Wantasen 2013), sedangkan nilai PO4-P air cukup
tinggi di perairan mangrove Tanjung Api-api, Sumatera Selatan sekitar
0,12-0,40 mg/l (Ulqodry et al. 2010). Fosfat merupakan bentuk fosfor
yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan merupakan unsur yang
esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, menjadikannya faktor
pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik, dan memiliki dampak besar
pada produktivitas air. Berdasarkan kandungan fosfor total, perairan
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: perairan dengan tingkat kesuburan
rendah, yang memiliki kadar fosfat totalnya berkisar antara 0-0,02
mg/liter; perairan dengan kesuburan sedang memiliki kandungan fosfor
total 0,021-0,05 mg/liter; dan perairan yang sangat subur, dengan
konsentrasi fosfat total 0,051-0,1 mg/liter (Effendi 2003).
2.3 Parameter Biologi
Kepiting bakau yang terdapat di perairan sekitar Pulau Mantehage,
Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara terdiri atas empat jenis, yaitu Scylla
serrata, S. olivacea, S. tranquebarica dan S. paramamosain. Sedangkan jenis
Scylla serrata (Forskål 1775) merupakan jenis kepiting bakau yang
mendominasi hasil tangkapan kepiting oleh nelayan setempat. Sampel kepiting
bakau (Scylla serrata) diperoleh dengan melakukan pendataan hasil
penangkapan oleh nelayan bubu binaan LSM Jaring Nusantara yang
menggunakan perangkap (bubu lipat).
III. KESIMPULAN

Kondisi perairan ekosistem mangrove pada keempat pulau lokasi penelitian


dalam kondisi baik dan masih sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ada, hal
ini mengindikasikan bahwa proses bioekologis pada daerah ini dapat berjalan
dengan baik, dan belum mengalami perubahan yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

Apriliyani Y, Safe'i R, Kaskoyo H, Wulandari C, dan Febryano I. G. 2020. Analisis


penilaian kesehatan hutan mangrove di kabupaten lampung timur. Jurnal
Hutan Tropis, 8(2), 123-130.
Indrayanti M. D, Fahrudin A, dan Setiobudiandi I. 2015. Penilaian Jasa Ekosistem
Mangrove di Teluk Blanakan Kabupaten Subang. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia, 20(2), 91-96.
Sangari J. R, dan Toloh B. H. 2015. Potensi pertumbuhan kepiting bakau (Scylla
serrata) di perairan Pulau Mantehage, Taman Nasional Bunaken
Sulawesi Utara. J. Ilm. Platax Vol, 3.

Anda mungkin juga menyukai