Anda di halaman 1dari 20

Ekosistem Mangrove

Judul jurnal yang di review:


 Yosmina Tapilatu dan Daniel Pelasula
UPT BKBL LIPI Ambon; e-mail: yosmina.tapilatu@lipi.go.id
 Heru Fitriansah, Joko Samiaji, Irvina Nurrachmi
Departement Marine Science, Faculty of Fisheries and Marine
Riau University, Pekanbaru, 28293.
herufitriansah476@gmail.com
 AWALUDDIN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

BAB 1
1. Latar Belakang dan Tujuan
1.1. Latar Belakang
Ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi, baik secara ekologis maupun ekonomis.
Salah satu fungsi ekologisnya yaitu merupakan habitat dari berbagai jenis biota laut, termasuk
biota penempel. Biota penempel yang terdapat pada berbagai bagian (daun, rizosfer dan anakan)
dari vegetasi mangrove sebagian besar berasal dari golongan krustasea, bivalvia dan gastropoda.
Kelompok organisme ini menyebabkan masalah serius karena merupakan penghambat
kelangsungan hidup anakan mangrove.
Teluk Ambon Bagian Dalam (TAD) merupakan bagian dari perairan Teluk Ambon.
Ukurannya lebih kecil daripada bagian luar, dipisahkan oleh ambang yang sempit dan dangkal
yang terletak antara desa Poka dan Galala. Selain rawan akan bencana tsunami, kawasan perairan
ini dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik yang setiap tahunnya semakin meningkat. Hutan
mangrove di kawasan TAD mengalami penurunan luas wilayah yang signifikan. Apabila pada
tahun 1987 luasnya mencakup 49,5 ha, maka pada tahun 1991 berkurang menjadi 38,5 ha
(Pulumahuny,1997). Kerusakan yang terjadi pada ekosistem ini tentu berdampak negatif. Hingga
awal tahun 1980-an TAD masih dikenal sebagai ladang ikan umpan yang menyokong industri
perikanan huhate (pole and line) dalam penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis),
namun kini terjadi penurunan signifikan hasil tangkapan ikan umpan tersebut.
Pemulihan kawasan hutan mangrove yang rusak di kawasan TAD akan sangat
bermanfaat bukan saja dalam rangka mitigasi bencana tsunami, namun juga sebagai penahan
badai dan adaptasi kawasan pesisir terhadap kenaikan permukaan laut sebagai dampak dari
perubahan iklim global. Untuk menjamin keberhasilan revegetasi, pertumbuhan anakan yang
bebas dari gangguan biota penempel merupakan faktor utama dalam upaya tersebut.

1.2. Tujuan
Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi terkini mengenai
keberadaan biota penempel yang berasosiasi dengan mangrove di TAD pada musim peralihan I
dan musim timur. Hal ini penting guna memahami lebih jauh peran kelompok biota penempel
pada keberlanjutan ekosistem tersebut. Hasilnya diharapkan dapat memberikan informasi bagi
Pemerintah Daerah Kotamadya Ambon dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir TAD yang
berwawasan lingkungan.

BAB 2

II. METODOLOGI PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2017. Selanjutnya
analisis makrofaunapenempel dilakukan di Laboratorium Biologi Laut dan
Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode purposive sampling
yaitu penetapan stasiun berdasarkan karakter lingkungan di lokasi penelitian dan
diharapkan stasiun-stasiun mewakili karakter lingkungan yang ada. Lokasi
sampling dibagi menjadi 5 stasiun dimana setiap stasiun terdiri atas 1petakan
berbentuk persegi empat denganu kuran 3 x 3m2
dan setiap petakan dibagi lagi
menjadi plot-plot dengan ukuran 1 x 1 m2
Pengambilan sampel dipilih secara acak dan setiap stasiun diambil 3 plot.
Makrofauna penempel dicari pada tiap plot, lalu makrofauna penempel yang
didapat dimasukkan ke dalam kantong plastik yang diberi alkohol 70% kemudian
diberi label. Sampel yang terkumpul dimasukkan dalam icebox yang kemudian
dibawa kelaboratorium untuk diidentifikasi.
BAB 3
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi
Pantai Bangsalae merupakan wilayah yang terbentang di sepanjang pesisir Kelurahan Siwa
Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo Propinsi Sulawesi Selatan, dengan jarak tempuh ±70
KM dari Kota Sengkang Ibu Kota Kabupaten Wajo. Secara administratif, bagian Barat
Kelurahan Siwa berbatasan dengan Desa Bulu Siwa, bagian Timur berbatasan dengan Kelurahan
Bulete, bagian Utara berbatasan dengan dengan Teluk Bone, dan bagian Selatan berbatasan
dengan Kelurahan Bulete. Pelabuhan Bangsalae terletak di daerah pesisir Kelurahan Siwa yang
merupakan perairan Teluk Bone. Posisi koordinat pelabuhan siwa yaitu 30° 41‟ 50.6‟‟ LS dan
1200° 25‟ 25.8” BT. Pelabuhan Siwa merupakan pelabuhan kelas III yang memiliki wilayah
kerja meliputi Pelabuhan Jalang dengan jarak tempuh ±65 KM (Kantor UPP Kelas III Siwa,
2014). Secara geografis wilayah Pelabuhan Siwa diapit oleh beberapa kabupaten yaitu sebelah
Timur dengan Teluk Bone, sebelah Selatan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabuten Bone,
sebelah Barat dengan Kabupaten Sidenreng Rappang, sebelah Utara dengan Kabupaten Luwu
(Kantor UPP Kelas III Siwa,2014). Pelabuhan Siwa dengan status sebagai Pelabuhan yang tidak
diusahakan, keadaan lautnya sangat tenang karena berada di dalam alur sungai, dengan
kecepatan arus rata-rata 0,2 mil/jam gelombang rata-rata 0,50 m. Musim hujan biasanya dari
bulan Desember sampai dengan bulan April sedangkan musim panas dari bulan Mei sampai
dengan bulan Nopember (Kantor UPP Kelas III Siwa, 2014) 28 Ekosistem mangrove terdapat
hampir di sepanjang garis pantai kelurahan
siwa. Mangrove alami yang diamati berada pada bagian utara Pelabuhan Bangsalae, sedangkan
mangrove rehabilitasi berada pada bagian selatan Pelabuhan Bangsalae.
B. Kondisi Vegetasi Mangrove
Pantai Bangsalae merupakan pantai “emergence” atau pantai landai yang terbentuk dari arah
daratan yang awalnya didominasi oleh tutupan mangrove, namun telah berubah menjadi pantai
pasir terbuka dan terabrasi oleh hempasan gelombang laut Teluk Bone (Ludiro, et l. 1999).
Setelah beberapa program rehabilitasi mangrove dilaksanan, vegetasi mangrove terbentuk
kembali sebagai suatu habitat baru dengan formasi mangrove yang berbeda dari sebelumnya.
Komposisi jenis mangrove yang ditemukan di sepanjang lokasi penelitian di
tunjukkan pada tabel 4.
Tabel 5. Jenis mangrove yang ditemukan disetiap stasiun penelitian
No.
Jenis Mangrove Alami Rehabilitasi
123123
1 Rhizophora mucronata      
2 Rhizophora apiculata    
3 Bruguiera gymnorrhiza   
4 Ceriops tagal  
5 Avicennia marina  
6 Avicennia alba  
7 Xylocarpus mullocensis 
8 Xylocarpus granatum  
Tabel 5 menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove rehabilitasi
ditemukan 4 jenis mangrove yaitu R. mucronata, R. apiculata, A. marina dan A.
alba. Sedangkan pada ekosistem mangrove alami ditemukan 7 jenis mangrove
yaitu R. apuculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza, C. tagal, A. marina, X.
mullocensis dan X. granatum. Pada ekosistem mangrove alami di stasiun 1 dan 3
29
sama-sama terdapat 3 jenis mangrove yaitu R. apuculata, R. mucronata, B.
gymnorrhiza. Sedangkan pada stasiun 2 terdapat 7 jenis mangrove yaitu R.
apuculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza, C. tagal, A. marina, X. mullocensis dan
X. granatum. Pada ekosistem mangrove rehabilitasi di stasiun 1 terdapat 4 jenis
mangrove yaitu R. mucronata, R. apiculata, A. marina dan A. alba. Pada stasiun
2 terdapat 2 jenis mangrove yaitu R. mucronata dan A. alba. Sedangkan pada
stasun 3 hanya terdapat 1 jenis mangrove yaitu R. mucronata.
Pada stasiun 1 dan stasiun 2 ditemukan jenis mangrove yang tidak ditanam
pada saat program rehabilitasi yaitu mangrove jenis Avicennia alba dan
Avicennia marina. Hal ini diduga karena adanya beberapa aliran sungai kecil di
sekitar tambak. Pada tepian sungai kecil yang mengalir disekitar tambak terdapat
populasi mangrove Avicennia alba dan Avicennia marina, terutama di sekitar
jembatan 1 dan jembatan 2 Bangsalae.
Aliran sungai tersebut yang mebawa bibit atau propagul mangrove
sehingga menemukan tempat yang cocok untuk hidup. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Brown, 2006 bahwa propagul yang jatuh akan mengapung di air dan
hanyut terbawa arus sampai ia menemukan tempat yang cocok untuk tumbuh.
Propagul kemudian menancapkan akarnya ke lumpur dan menggunakan
cadangan makanannya untuk tumbuh dengan cepat menjadi pohon muda
(Brown, 2006).
Pada gambar 4 menunjukkan bahwa ekosistem mangrove rehabilitasi
memiliki kerapatan yang relatif tinggi dibandingkan dengan ekosistem mangrove
alami. Hal ini disebabkan karena mangrove rehabilitasi ditanam dengan sengaja
dan dengan jarak yang hampir sama. Sedangkan pada ekosistem mangrove
alami tumbuh secara alami, tidak ada proses pemeliharaan dan perawatan
sehingga jarak antara pohon yang satu dengan yang lain tidak menentu.
30
Gambar 4. Kerapatan Mangrove Rehabilitasi dan Alami
Pada ekosistem mangrove rahabilitasi stasiun 2 memiliki kerapatan yang
paling tinggi yaitu 0,41 ind/m2
, hal ini disebabkan karena pada saat program
penanaman mangrove rabilitasi, lokasi tersebut merupakan lokasi utama
penanaman. Selain itu stasiun 2 berbatasan langsung dengan pematang tambak
sehingga lokasi tersebut diprioritaskan untuk penanaman. Sedangkan kerapatan
terendah terdapat di stasiun 1 yaitu 0,22 ind/m2
. Pada ekosistem mangrove alami
stasiun 3 memilii kerapatan tertinggi yaitu 0,183 ind/m2
kemudian stasiun 2 yaitu
0,176 ind/m2
dan stasiun 3 dengan kerapatan terendah yaitu 0,13 ind/m2
.
Kerapatan jenis tertinggi di semua stasiun pada ekosistem mangrove
rehabilitasi dan alami di dominasi oleh mangrove genus Rhizophora (Lampiran
1). Hal tersebut diduga karena jenis substrat pada masing-masing stasiun
mangrove rehabilitasi dan alami yaitu lumpur atau pasir halus. Sesuai dengan
pernyataan Nontji, (2007) bahwa pada pembagian zonasi mangrove, zona
tengah merupakan zona yang memiliki karakteristik substrat / sedimen lumpur
dan pasir halus yang didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora sp.
0,22
0,41
0,385
0,13
0,176 0,183
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Rehab Alami
Kerapatan (Ind/m²)
31
C. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Makrozoobenthos
1. Struktur Komunitas Makrozoobenthos
Struktur komunitas makrozoobenthos terdiri dari komposisi jenis, kelimpahan
jenis dan kelimpahan relativ jenis.
a. Komposisi Jenis
Hasil identifikasi makrozoobenthos yang didapatkan pada lantai hutan
(epifauna dan infauna) mangrove selama penelitian terdiri dari 12 jenis berasal
dari 3 kelas. Komposisi jenis makrozoobenthos didominasi oleh kelas
Gastropoda dengan 9 jenis kemudian kelas Crustacea dengan 2 jenis dan kelas
Bivalvia dengan 1 jenis (Lampiran 2).
Gambar 5. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan kelas
Komposisi jenis yang ditemukan di lokasi penelitian termasuk rendah. Hasil
peneltian Purwanto, et.al (1999) di pantai Paojepe Kecamatan Keera Kabupaten
Wajo termasuk Tokke-tokke Kecamatan Pitumpanua , menunjukkan bahwa jenis
moluska yang terkoleksi dan teridentifikasi sebanyak 25 jenis. Hasil penelitian
lanjutan yang dilakukan Zulkifli (2008), di Pantai Tokke-tokke Kecamatan
Pitumpanua Kabupaten Wajo menunjukkan komposisi jenis yang tergolong tinggi
yaitu 45 jenis yang berasal dari 5 kelas.
90%
9% 1%
Mangrove Rehabilitasi
Gastropoda Crustacea Bivalvia
96%
4%
Mangrove Alami
Gastropoda Crustacea
32
Sedikitnya jenis yang ditemukan , salah satunya disebabkan penangkapan
dilakukan hanya pada daerah yang sempit dan belum dilakukan secara efektif.
Diduga masih terdapat jenis yang belum ditemukan.
Komposisi jenis makrozoobenthos pada ekosistem mangrove rehabilitasi
dan alami (Gambar 7) menunjukkan bahwa kelas gastropoda mendominasi yaitu
90% pada mangrove rehabilitasi dan 96% pada mangrove alami. Kelas
Crustacea terdapat 9% pada mangrove rehabilitasi dan 4% pada mangrove
alami, sedangkan kelas Bivalvia hanya terdapat pada ekosistem mangrove
rehabilitasi yaitu 1%.
Keberadaan kelas bivalvia yang hanya ditemukan pada ekosistem mangrove
rehabilitasi diduga karena kecocokan terhadap substrat yaitu lumpur. Kondisi
substrat yang berlumpur memudahkan makrozoobenthos dari kelas bivalvia
untuk membenamkan diri. Sesuai dengan tingkah laku atau gaya adapatasi
benthos tersebut yang disebut dengan benthos infauna (Dahuri, 2007).
Dominannya kelas Gastropoda yang ditemukan pada perairan hutan
mangrove Bangsalae berkaitan dengan kemampuannya beradaptasi terhadap
kondisi lingkungan, serta kemampuannya melekatkan diri pada akar dan batang
pohon mangrove. Nybakken (1992), mengatakan bahwa sebagian kelas
gastropoda mempunyai operculum yang dapat menutup rapat celah cangkang,
ketika air surut mereka masuk ke dalam cangkang lalu menutup rapat operkulum
sehingga kekurngan air dapat diatasi.
Jumlah jenis yang ditemukan pada ekosistem mangrove rehabilitasi dan
alami (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove alami
terdapat 9 jenis makrozoobenthos yaitu Nerita undata, Littoraria scabra,
Terebralia sp., Ceritium sp., Chicoreus sp., Metopograpsus sp., Pagurus sp.,
Faunus ater, dan Cassidula sp. Sedangkan pada ekosistem mangrove
33
rehabilitasi terdapat 10 jenis makrozoobenthos yaitu Nerita undata, Littoraria
scabra, Terebralia sp., Ceritium sp., Metopograpsus sp., Pagurus sp., Cassidula
sp., Telescopium telescopium, Vexillum sp. dan Veneridae sp.
Pada ekosistem mangrove rehabilitasi terdapat 2 jenis makrozoobenthos
yang ditemukan disemua stasiun yaitu Nerita undata dan Littoraria scabra. Dan
terdapat 2 jenis yang hanya ditemukan pada satu stasiun yaitu jenis
Metopograpsus sp. di stasiun 1 dan Veneridae sp. di stasiun 2. Sedangkan pada
ekosistem mangrove alami terdapat 5 jenis makrozoobenthos yang ditemukan di
semua stasiun penelitian yaitu Nerita undata, Littoraria scabra, Terebralia sp.,
Ceritium sp., Chicoreus sp. dan terdapat 3 jenis makrozoobenthos yang hanya
ditemukan di satu stasiun yaitu stasiun 1 diantaranya jenis Metopograpsus sp.,
Cassidula sp. dan Faunus ater.
b. Kelimpahan Makrozoobenthos
Kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove alami dan
rehabilitasi ditunjukkan pada gambar 6 dan 7. Kelimpahan makrozoobenthos
pada ekosistem mangrove rehablitasi berkisar antara 27,5 ind/m2
– 137 ind/m2
dengan rata-rata 72,5 ind/m2
. Hasil ini termasuk rendah dibanding dengan
kelimpahan makrozobenthos yang ditemukan di hutan bakau rakyat TongkeTongke Sinjai saat
rata-rata berumur 13 tahun. Di Tongke – Tongke kelimpahan
makrozoobenthos berkisar antara 155-944 ind/m2
dengan rata-rata 391 ind/m2
(Rani, 1998).
34
Gambar 6. Kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove rehabilitasi
Gambar 6 menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata makrozoobenthos
tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 137,5 ind/m2
. Kelimpahan
makrozoobenthos yang tinggi pada stasiun I diduga karena kondisi mangrove
nya memiliki jumlah jenis yang tinggi yaitu 4 jenis dibanding dengan stasiun 3
yaitu 1 jenis (Tabel 5). Karena adanya jenis mangrove yang berbeda pada
stasiun 1, hal ini memungkinkan tingginya kesempatan makrozoobenthos untuk
berasosasi dibandingkan dengan stasiun yang hanya memiliki 1 jenis mangrove.
Sesuai dengan pernyataan Nybakken (1992), bahwa makrozoobenthos yang
berasosiasi dengan hutan mangrove pada umumnya hidup pada akar dan batang
pohon mangrove (Littorinidae) dan lainnya pada lumpur.
137,5
52,5
27,5
0
20
40
60
80
100
120
140
160
I II III
Kelimpahan rata-rata (Ind/m²)
Stasiun
35
Gambar 7. Kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove alami
Gambar 7 menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata makrozoobenthos yang
tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 113,3 ind/m2
. Sedangkan stasiun
1 dan 3 memiliki kelimpahan yang sama yaitu sebesar 90 ind/m2
. Melimpahnya
jumlah individu makrozoobenthos pada stasiun 2 dibanding dengan stasiun
lainnya menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pada stasiun 2 cukup
mendukung kehidupan makrozoobenthos. Hal ini didukung dengan tingginya
persentase kandungan BOT pada stasiun 2 (22,085%). Sesuai dengan
pernyataan Bengen (2001), bahwa kandungan bahan organik pada sedimen atau
substrat berlumpur dimanfaatkan oleh orgaisme pemakan deposit seperti
bilvalvia, gastropoda dan beberapa jenis polychaeta.
Kelimpahan makrozoobenthos yang rendah pada stasiun 1 dan 3
dibandingkan dengan stasiun 2 berkaitan dengan kondisi lingkungan yang cukup
terbuka dengan ketebalan mangrove yang rendah yaitu 41 meter untuk stasiun 1
dan 57 meter untuk stasiun 2, sedangkan ketebalan mangrove pada stasiun 2
yaitu 81 meter.
Dari hasil analisis uji Non Parametrik (Wilcoxon) diperoleh nilai signifikansi
0,285 (p>0,05), berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
90
113,3
90
0
20
40
60
80
100
120
I II III
Kelimpahan rata-rata (Ind/m²)
Stasiun
36
ekosistem mangrove rehbilitasi dan mangrove alami dalam hal kelimpahan
makrozoobenthos. Artinya kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem
mangrove rehabilitasi tidak ada perbedaan yang nyata dengan kelimpahan
makrozoobenthos pada mangrove alami.
c. Indeks Ekologi Makrozoobenthos
Hasil analisis data terhadap indeks ekologi makrozoobenthos yang
ditemukan selama penelitian disetiap stasiun penelitian menghasilkan sajian data
seperti pada tabel berikut.
Nilai H‟ pada stasiun 1 yaitu 1,65 tergolong rendah, stasiun 2 1,98 tergolong
rendah dan stasiun 3 yaitu 1,24 tergolong rendah. Nilai E pada stasiun 1 yaitu
0,75 tergolong tidak stabil, stasiun 2 yaitu 0,9 tergolong stabil dan stasiun 3 0,83
tergolong stabil. Nilai D pada stasiun 1 yaitu 0,25 tergolong rendah, stasiun 2
yaitu 0,16 tergolong rendah dan stasiun 3 yaitu 0,32 tergolong rendah.
Tabel 6. Indeks Ekologi Makrozoobenthos pada Mangrove Rehabilitasi
Stasiun
INDEKS EKOLOGI REHABILITASI
H´ Kategori E Kategori D Kategori
1 1,65 rendah 0,75 tidak stabil 0,25 rendah
2 1,98 rendah 0,9 stabil 0,16 rendah
3 1,24 rendah 0,89 stabil 0,32 rendah
Ratarata
1,62 rendah 0,84 stabil 0,24 rendah
Nilai H‟ pada stasiun 1 yaitu 1,86 tergolong rendah, stasiun 2 1,53 tergolong
rendah dan stasiun 3 yaitu 1,33 tergolong rendah. Nilai E pada stasiun 1 yaitu
0,85 tergolong stabil, stasiun 2 yaitu 0,86 tergolong stabil dan stasiun 3 0,83
tergolong stabil. Nilai D pada stasiun 1 yaitu 0.18 tergolong rendah, stasiun II
yaitu 0,25 tergolong rendah dan stasiun 3 yaitu 0,3 tergolong rendah.
37
Stasiun INDEKS EKOLOGI ALAMI
H´ Kategori E Kategori D Kategori
1 1,86 rendah 0,85 stabil 0,18 Rendah
2 1,53 rendah 0,86 stabil 0,25 Rendah
3 1,33 rendah 0,83 stabil 0,3 Rendah
Ratarata
1,57 rendah 0,84 stabil 0,24 Rendah
1) Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks keanekaragaman makrozoobenthos yang ditemukan pada ekosistem
mangrove alami berkisar antara 1,33 – 1,86 dengan rata-rata 1,62 tergolong
kategori rendah. Sama dengan nilai indeks keanekaragaman yang ditemukan
pada ekosistem mangrove alami yaitu 1,62 dengan kisaran 1,24 – 1,98 yang
tergolong rendah. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan indek
keanekaragaman yang diperoleh di Tokke –Tokke yang mempunyai kisaran 2,17
– 2,65 dengan rata-rata 2,39 tergolong kategori sedang (Zullkifli,2008).
Nilai H‟ yang dieproleh di Bangsalae sangat dipengaruhi oleh banyaknya
jumlah jenis yang diperoleh pada beberapa stasiun yang diimbangi dengan
penyebaran jumlah inidividu yang tidak terlalu besar. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang dikemukakan Odum (1971) yang menyatakan bahwa
keanekaragaman jenis bukan hanya sinonim dengan banyaknya jenis, melainkan
sifat komunitas yang ditentukan oleh banyaknya jenis serta kemerataan
kelimpahan individu setiap jenis. Nilai keanekaragaman besar jika semua individu
berasal dari jenis atau genera yang berbeda-beda dan akan mempunyai nilai
kecil atau sama dengan nol jika individu hanya ada satu jenis.
Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman pada masing-masing stasiun
ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi menunjukkan tidak adanya pengaruh
yang dominan terhadap perubahan nilai indeks keanekaragaman. Meskipun
jumlah jenis yang diperoleh setiap stasiun berbeda. Rendahnya indeks
keanekaragaman pada ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi memberikan
38
informasi bahwa pada ekosistem mangrove alami dan rehabilitasi hanya terdapat
beberapa jenis makrozoobenthos saja yang melimpah (Ardi,2002).
2) Indeks Keseragaman (E)
Nilai indeks keseragaman yang diperoleh pada eksositem mangrove alami
berkisar antara 0,83 – 0,86 dengan rata-rata 0,84 yang tergolong kategori stabil.
Sama dengan nilai indeks keseragaman yang diperoleh pada eksositem
mangrove rehabilitasi yaitu 0,84 dengan kisaran 0,79 – 0,90 yang tergolong
kategori sedang. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada jenis yang mendominasi
baik pada mangrove alami maupun rehabilitasi. Menurut Odum (1971),
keseragaman menunjukkan komposisi individu dari setiap genera atau spesies
yang hampir merata dalam komunitas. Nilai indeks keseragaman berbading
terbalik dengan indeks dominansi , jika terjadi dominansi spesies dalam suatu
komunitas, maka keseragamannya mendekati minimum, sebaliknya komunitas
akan relatif bagus apabila keseragaman mendekati maksimum.
3) Indeks Dominansi
Dominansi makrozoobenthos digunakan untuk menghitung adanya spesies
tertentu yang mendominasi suatu komunitas makrozoobenthos. Nilai indeks
dominansi berkisar antara 0 – 1. Semakin mendekati satu, berarti semakin tinggi
tingkat dominansi oleh spesies tertentu, sebaliknya bila nilai mendekati nol,
berarti tidak ada jenis yang mendominasi (Odum,1971).
Indeks dominansi yang didapatkan pada ekosistem mangrove alami
tergolong rendah dengan kisaran 0,18 – 0,3 dengan rata-rata 0,24. Sama
dengan nilai indeks dominansi yang diperoleh pada ekosistem mangrove
rehabilitasi yaitu 0,24 dengan kisaran 0,16 – 0,32. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada jenis yang mendominasi baik di stasiun mangrove alami maupun
mangrove rehabilitasi.
39
D. Parameter Lingkungan
1. Sedimen
Pada ekosistem mangrove rehabilitasi diperoleh 4 kategori sedimen
berdasarkan ukuran butir (Gambar 7), yaitu pasir kasar, pasir sedang, pasir halus
dan lumpur. Lumpur menjadi jenis sedimen yang dominan pada ekosistem
mangrove rehabilitasi.
Gambar 8 menunjukkan bahwa sedimen yang tergolong dalam kategori
lumpur mendominansi sedimen yang berada pada ekosistem mangrove
rehabilitasi yakni sebesar 37,11 % pada stasiun 3 dan sebesar 35,51 % pada
stasiun 2. Sedangkan pada stasiun 2 di dominasi oleh sedimen yang tergolong
dalam pasir halus yakni sebesar 32,72 %. Selain itu pada stasiun 1 diperoleh
lumpur sebesar 31,06 %, pasir kasar sebesar 21,39 % dan pasir sedang sebesar
14,75 %. Pada stasiun 2 diperoleh pasir halus sebesar 30,15 %, pasir kasar
sebesar 17,95 % dan pasir sedang sebesar 16,37 %. Sedangkan pada stasiun 3
diperoleh pasir halus sebesar 26,17 %, pasir sedang sebesar 25,20 % dan pasir
kasar sebesar 11,51 %.
Gambar 8. Presentase sedimen berdasarkan ukuran besar butir pada mangrove
rehabilitasi.
21,39
17,95
11,51
14,75 16,37
25,20
32,72
30,15
26,17
31,06
35,51 37,11
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
ukuran butir sedimen (%)
Pasir kasar Pasar sedang Pasir Halus Lumpur
40
Sementara pada ekosistem mangrove alami (gambar 7), pasir halus menjadi
jenis sedimen dominan yakni sebesar 36,947 % pada stasiun 2 dan 33,032 %
pada stasiun 3. Sedangkan pada stasiun 1 di dominnasi oleh sedimen yang
masuk dalam kategori lumpur yakni sebesar 31,530 %. Selain itu pada stasiun 1
diperoleh pasir halus sebesar 28,865 %, pasir kasar sebesar 20,062 % dan pasir
sedang sebesar 19,543 %. Pada stasiun 2 diperoleh lumpur sebesar 29,073 %,
pasir kasar sebesar 20,863 % dan pasir sedang sebesar 13,029 %. Sedangkan
pada stasiun 3 diperoleh lumpur sebesar 27,954 %, pasir kasar sebesar 26,881
% dan pasir sedang sebesar 12,137 %.
Gambar 9. Presentase sedimen berdasarkan ukuran butir pada mangrove alami
Hasil pemilahan partikel sedimen menunjukkan bahwa hampir semua
stasiun pada ekosistem mangrove alami dibentuk dengan partikel pasir halus.
Sedangkan ekosistem mangrove rehabilitasi dibentuk dengan partikel lumpur.
Secara alami kehidupan makrozoobenthos membutuhkan habitat berlumpur yang
telah dihambat oleh perakaran mangrove. Selain itu makrozoobenthos harus
mampu hidup dengan membenamkan diri dalam lumpur. Fraksi pasir
mengakibatkan terjadinya penekanan kepadatan makrozoobenthos di hutan
mangrove. Disisi lain, pasir dibutuhkan dalam kehidupan makrozoobenthos ,
20,062 20,863
26,881
19,543
13,029 12,137
28,865
36,947
33,032 31,530
29,073 27,954
0,000
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
ukuran butir sedimen (%)
Pasir Kasar Pasir Sedang Pasir Halus Lumpur
41
yakni memperbaiki aerasi (menyatu dengan debu) ketika benthos menyusup ke
dalam substrat ataupun tempat beristirahat (Arief,2003). Pada saat pengambilan
data penelitian, banyak makrozoobenthos terutama dari kelas gastropoda yang
bergerombol, baik di permukaan sedimen maupun yang melekat di perakaran
mangrove.
2. Bahan Organik Total (BOT)
Bahan organik total (BOT) yang diperoleh pada sedimen ekosistem
mangrove rehabilitasi (Gambar 8) menunjukkan bahwa stasiun 3 mengandung
lebih banyak BOT dibandingkan stasiun 1 dan 2.
Gambar 10. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada sedimen mangrove
rehabilitasi
Bahan organik total tertinggi yang diperoleh pada stasiun 3 yaitu sebesar
14,964 %. Sedangkan pada stasiun 1 dan 2 yaitu masing-masing sebesar 9,372
% dan 9,62 %. Sementara pada ekosistem mangrove alami diperoleh kandungan
Bahan Oranik Total tertinggi pada stasiun 2 yaitu sebesar 22,085 %. Sedangkan
pada stasiun 1 dan 3 masing-masing sebesar 21,173 % dan 21,801 %.
9,372 9,629
14,964
0,000
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
123
Kandungan BO%)
Stasiun
42
Gambar 11. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) pada sedimen Mangrove
Alami
Hasil analisis kandungan bahan organik total yang berasal dari sedimen
pada mangrove alami lebih tinggi (21,686 %) dibandingkan dengan eksoistem
mangrove rehabilitasi (11,322 %). Hal ini menunjukkan bahwa substrat
mangrove memiliki bahan organik yang tinggi, sebagaimana yang dikatakan
Lukman (2002), bahwa substrat mangrove berupa tanah memiliki kandungan
bahan organik tinggi yang dapat mencapai 62%.
Tingginya kandungan bahan organik pada ekosistem mangrove alami
dibanding dengan rehabilitasi diduga karena adanya perbedaan waktu dalam
proses decomposer oleh organisme dalam mendekomposisi serasah bahan
organik. Pada ekosistem mangrove alami proses tersebut sudah berlangsung
puluhan tahun atau lebih lama dibandingkan dengan rehabilitasi. Menurut
Bengen (2001), kandungan bahan organic pada pantai berlumpur dimanfaatkan
oleh organisme pemakan deposit. Organisme pemakan deposit antara lain dari
jenis bivalvia, gastropoda dan beberapa jenis polychaeta. Mereka memakan
partikel lumpur dan menyerap bahan organiknya , lalu bahan sisa yang tidak
dibutuhkan dibuang melalui anus.
Berdasarkan hasil ulangan pada masing-masing stasiun di dapatkan bahwa
rata-rata kandungan bahan organik total yang tertinggi di dapatkan pada sedimen
21,173
22,085
21,801
20,600
20,800
21,000
21,200
21,400
21,600
21,800
22,000
22,200
123
Kandungan BOT (%)
Stasiun
43
yang berasal dari naungan mangrove. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Marsono dan Setyono , 1993 dalam Arief (2003), bahwa semakin kearah darat,
arus pasang surut semakin kecil dan kandungan lumpur serta bahan organic
tanah semakin tinggi.
BAB 4
1.Kesimpulan
Ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi, baik secara ekologis maupun ekonomis. Salah satu
fungsi ekologisnya yaitu merupakan habitat dari berbagai jenis biota laut, termasuk biota
penempel. Biota penempel yang terdapat pada berbagai bagian (daun, rizosfer dan anakan) dari
vegetasi mangrove sebagian besar berasal dari golongan krustasea, bivalvia dan gastropoda.
Kelompok organisme ini menyebabkan masalah serius karena merupakan penghambat
kelangsungan hidup anakan mangrove.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada ekosistem mangrove alami terdapat 9 jenis makrozoobenthos terdiri
dari tujuh kelas Gastropoda dan dua jenis kelas Crustacea yang didominasi
oleh kelas Gastropoda. Sedangkan pada ekosistem mangrove rehabilitasi
terdapat 10 jenis makrozoobenthos terdiri dari tujuh kelas Gastropoda, dua
kelas Crustacea dan satu kelas Bivalvia yang didominasi oleh kelas
Gastropoda.
2. Kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove alami lebih tinggi
dibanding dengan eksosistem rehabilitasi dengan perbandingan 97,76 ind/m
dan 72,5 ind/m.
3. Keanekaragaman makrozoobenthos pada eksositem mangrove alami
tergolong kategori rendah sama dengan makrozoobenthos pada ekosistem
mangrove rehabilitasi.

Anda mungkin juga menyukai