Anda di halaman 1dari 26

ANALISIS KESESUAIAN BUDIDAYA UNTUK KERAMBA JARING APUNG

YANG BERADA DI KOTA TARAKAN

DI SUSUN OLEH :

NAMA : MUHAMMAD AGUNG

NRP : 55194112699

KELAS : TAK A

PROGRAM SARJANA TERAPAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI


AKUAKULTUR POLITEKNIK AHLI USAHA PERIKANAN JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan sebuah negara maritim dengan jumlah pulau terbanyak
kedua di dunia setelah Finlandia yang berjumlah 179.584 pulau (berdasarkan
publikasi dari Kementerian Luar Negeri Finlandia per 2017). Jumlah pulau di
Indonesia sendiri, berdasarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2016),
sebanyak 14.572 pulau. Dengan jumlah pulau yang banyak tersebut, Indonesia
memiliki luas laut dan panjang pantai yang cukup besar, masing-masing seluas
2
6.315.222 km dan sepanjang 99.093 km. Lokasi geografis Indonesia sendiri berada
di antara persilangan dua samudera: Samudera Hindia dan Samudera Pasifik; dan
dua benua: Benua Asia dan Benua Australia. Dengan jumlah pulau yang banyak,
luas laut, panjang pantai, dan lokasi geografis tersebut Indonesia memiliki potensi
besar untuk menjadi Negara Poros Maritim Dunia, berdasarkan sambutan dari
Presiden Joko Widodo pada KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar (2015).
Budidaya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA) sejatinya telah dimulai sejak
abad ke-20. Di Jepang, budidaya ikan dengan KJA telah dimulai sejak tahun 1954
dengan membudidayakan ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata), selanjutnya
teknologi ini berkembang dan menyebar sampai ke Malaysia, di mana pada tahun
1973 mulai dibudidayakan ikan kerapu jenis E. salmoides dalam KJA. Di Indonesia,
teknologi KJA sudah dimulai tahun 1976 di daerah Kepulauan Riau dan sekitarnya,
sedangkan di Teluk Banten teknologi KJA dimulai tahun 1979 (Basyarie dalam
Anton Gunarto, 2003).
Dengan melihat keberhasilan pengaplikasian Keramba Jaring Apung di berbagai
negara serta hasil yang didapatkan besar, maka Provinsi provinsi Kalimantan utara
perlu membangun Keramba Jaring Apung guna ikut mewujudkan dan menjalankan
Pilar Kedua Poros Maritim Dunia. Namun, Provinsi provinsi Kalimantan utara
sendiri sejatinya belum menerapkan teknik Keramba Jaring Apung ini, yang
merambah pada belum ditentukannya kriteria lokasi pembangunan Keramba Jaring
Apung. Meskipun Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan proyek
Keramba Jaring Apung (KJA) offshore di perairan Sabang (Aceh), Karimun Jawa
(Jawa Tengah), dan perairan selatan antara Cilacap (Jawa Tengah) dan Pangandaran
(Jawa Barat) (Mongabay.co.id, 2016) yang telah ditentukan kriteria-kriteria
penentuan lokasinya, namun kriteria tersebut belum tentu sesuai dengan kondisi
yang ada di perairan Provinsi KALIMANTAN UTARA. Oleh karena itu, perlu
adanya penelitian dalam menentukan kriteria-kriteria penentuan lokasi yang sesuai
untuk membangun Keramba Jaring Apung di lepas pantai perairan Pantai amal kota
tarakan provinsi Kalimantan utara.

1.2 Tujuan Penelitian dan Sasaran


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kriteria lokasi Keramba Jaring
Apung (KJA) di perairan Pantai amal kota tarakan provinsi Kalimantan. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka sasaran yang harus dicapai adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis kriteria-kriteria yang mempengaruhi lokasi Keramba Jaring
Apung (KJA) di Pantai amal kota tarakan provinsi Kalimantan.
2. Merumuskan parameter lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) offshore di
perairan Pantai amal kota tarakan provinsi Kalimantan berdasarkan keriteria.

1.3 Ruang Lingkup


1.3.1 Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi pada penelitian penentuan kriteria lokasi Keramba Jaring
Apung (KJA) berfokus pada kriteria-kriteria fisik di perairan Pantai amal kota
tarakan provinsi Kalimantan utara seperti suhu perairan, salinitas, arus, kedalaman
laut, serta kecerahan.

1.3.2 Ruang Lingkup Wilayah


Ruang lingkup wilayah pada penelitian penentuan kriteria lokasi Keramba Jaring
Apung (KJA) ini berada pada perairan Pantai amal kota tarakan provinsi
Kalimantan utara yaitu:

1. Kota Tarakan mempunyai luas 657,33 km2 dimana 38,2% nya atau 250,8
km2 berupa daratan dan sisanya sebanyak 61,8% atau 406,53 km2 berupa
lautan.

2. Garis pantai dengan panjang kurang lebih 65 Km mengelilingi pulau


Tarakan.

3. Pada tahun 2014 dari hasil pengamatan citra GE untuk daerah pantai amal
didapat panjang garis pantai 1240 m. Luas daratan 24737 m2 dengan Luas
permukiman 378,3 m2. Pada tahun 2015 dari hasil pengamatan citra GE
untuk daerah pantai amal didapat panjang garis pantai 1487 m. Luas daratan
25837 m2 dengan Luas permukiman 871 m2.

Gambar 1. Peta batimetri area penelitian di perairan Tarakan.


Gambar2. panjang garis pantai pantai amal 1487 m.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budidaya Perikanan Laut


Budidaya laut merupakan suatu usaha memanfaatkan sumberdaya yang ada di
kawasan pesisir dalam hal memelihara berbagai jenis ikan, kerang-kerangan, rumput
laut dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis penting. Pengertian lain mengenai
budidaya laut adalah suatu kegiatan pada area tertentu di perairan pantai yang
dicirikan dengan banyaknya terdapat kumpulan Keramba Jaring Apung, rakit-rakit,
kerang- kerangan, atau rumput laut atau membudidayakan organisme laut dalam
wadah atau area terbatas dan terkurung (Ismail dkk., 2001).

2.2 Keramba Jaring Apung



2.2.1 Pengertian Keramba Jaring Apung
Keramba Jaring Apung (KJA) adalah salah satu teknik akuakultur yang cukup
produktif dan intensif dengan konstruksi yang tersusun dari keramba-keramba
jaring yang dipasang pada rakit terapung di perairan pantai (Sunyoto, 1994).
Menurut Majariana dan Zulhamsyah (2005), Keramba Jaring Apung adalah
sistem teknologi budidaya laut berupa jaring yang mengapung (floating net cage)
dengan bantuan pelampung. Sistem tersebut dewasa ini lebih dikenal dengan
nama Keramba Jaring Apung (KJA). Sistem ini terdiri dari beberapa komponen
seperti rangka, kantong jaring, pelampung, jalan inspeksi, rumah jaga dan
jangkar. Rangka terbuat dari kayu balok, kayu gelondong dan bambu, dan
berfungsi sebagai tempat bergantungnya kantong jaring dan landasan jalan
inspeksi dan rumah jaga. Kantong jaring berukuran 3x3x3 m dan terbuat dari
bahan polyethelene (PE) atau polyprophelene (PP), berfungsi sebagai wadah
untuk pemeliharaan (produksi) dan treatmen ikan.
2.2.2 Keramba Jaring Apung (KJA) Offshore

Keramba Jaring Apung (KJA) offshore/lepas pantai setidaknya tidak ada
perbedaan terkecuali lokasinya yang berada di laut lepas, dengan jarak dari pantai
minimal 2 km (FAO dalam Subandono, 2017).
Keramba Jaring Apung (KJA) offshore sendiri masuk ke dalam kategori
offshore aquaculture/akuakultur lepas pantai. Menurut Drumm (FAO, 2013),
secara umum Offshore Aquaculture dapat diartikan sebagai metode yang berada
di laut lepas dengan paparan angin dan arus yang signifikan dan membutuhkan
peralatan dan kapal bantuan untuk bertahan hidup dan mengoperasikan akuakultur
tersebut dari waktu ke waktu. Setidaknya, masalah jarak dari pantai atau dari
pelabuhan maupun pangkalan pesisir tersebut sering tapi tidak selalu menjadi
faktor dalam menentukan lokasi akuakultur.
Keramba Jaring Apung (KJA) offshore merupakan salah satu metode paling
sustainable terhadap lingkungan untuk budidaya ikan laut komersial dikarenakan
kedalaman laut yang lebih dalam, kecepatan arus yang lebih deras, dan jauhnya
jarak dari pesisir, menimbulkan dampak lingkungan yang rendah di laut lepas
(McVey dalam Daniel D. Benetti, dkk., 2003).
Dalam 10 – 15 tahun terakhir, perkembangan keramba offshore/lepas pantai
telah berjalan secara paralel dengan keramba pesisir serta macam-macam desain
telah diujicobakan, meskipun pengaplikasiannya baru tersebar akhir-akhir ini.
Model atau desain tersebut berasal dari berbagai macam sumber, seperti tim
peneliti khusus, produsen keramba yang sudah berjalan, produsen jaring, arsitek
kelautan, pabrik pembuatan kapal, serta produsen pipa minyak di laut lepas. Tidak
banyak yang mengambil masukan dari nelayan dan petani ikan, sehingga tipe-tipe
keramba yang ditawarkan pada umumnya berharga cukup mahal dan akan terkena
defisiensi salah satu jenis tersebut ketika menampung dan mengelola stok-stok
ikan (Scout D. C. B dalam Muir J., dkk., 2000).
Gambar 2.3 Keramba Jaring Apung Lepas Pantai Model Submersible

2.2.3 Bentuk dan Material Keramba Jaring Apung (KJA) Offshore


Ada perbedaan antara kriteria dan faktor yang harus diperhitungkan dalam
proses menentukan kriteria lokasi KJA. Menurut Food and Agriculture
Organization of the United Nations (FAO) (2015), Kriteria dan faktor tersebut
dapat dibagi menjadi tiga bagian:

Tabel 2.1 Kriteria dan Faktor yang Harus Diperhatikan dalam Proses Memilih Lokasi
KJA

Kriteria berhubungan Kriteria berhubungan Peraturan dan logistik


dengan ikan dengan keramba

Suhu perairan Kedalaman Peraturan

Salinitas Gelombang Akses

Polusi Dasar laut Keamanan

Zat padat tersuspensi Arus Jarak dengan pasar

Perkembangan alga Pencemaran Hak kepemilikan


tradiosional

Organisme penyakit Polusi Proses ijin sewa


Perputaran air laut - -

Arus - -

Pencemaran - -

Oksigen terlarut - -

Jika dilihat dari kriteria-kriteria di atas sebagai acuan pertama, dapat diketahui bahwa
dibutuhkan kriteria-kriteria yang cukup detail. Untuk lebih jelasnya mengenai kriteria-
kriteria di atas, maka berikut adalah beberapa penjelasan singkatnya menurut FAO
(2015).

1. Kriteria Lingkungan Untuk Organisme (Ikan Budidaya)


Lokasi keramba haruslah memiliki air yang bagus. Tidak hanya bebas dari limbah
industri, tetapi juga harus memenuhi syarat biologis untuk ikan yang akan
dikembangkan. Berikut penjelasannya:
a. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah salah satu Kriteria penting untuk
memilih lokasi. Kebutuhan oksigen akan berbeda tergantung ikan yang akan
dibudidaya. Konsentrasi oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu perairan yang
selanjutnya akan mempengaruhi rasio konversi pakan (Feed Conversion
Ratio/FCR). Semakin rendah konsentrasi oksigen yang larut di dalam air,
semakin tinggi nilai FCR yang menyebabkan tingginya biaya pakan ikan
budidayanya. Selain suhu perairan, yang mempengaruhi oksigen terlarut yang
lain adalah perkembangan alga dan kotoran yang ada di keramba. Pengaruh
kotoran pada keramba hanya berlangsung beberapa jam setelah diberi pakan,
namun perkembangan alga akan mempengaruhi oksigen dalam jangka waktu
yang cukup lama akibat fotosintesis alga.
b. Polutan banyaknya jenis polutan dapat merusak keramba (jaring dan struktur
laing) dan dapat memperburuk kualitas ikan budidaya yang menyebabkan
kematian atau mencemari ikan hingga tidak bisa dikonsumsi oleh manusia.
c. Suhu perairan suhu perairan berperan langsung terhadap metabolisme ikan
budidaya, konsumsi oksigen dan tingkat aktivitasnya, serta tingkat toleransi
ammonia dan karbon dioksida. Perubahan suhu perairan mendadak
memungkinkan ikan budidaya mengalami stres dan dapat memfasilitasi wabah
penyakit.
d. Salinitas
 adalah jumlah garam yang larut dalam air yang bisaanya dihitung
0
dengan parts per thousands atau /00. Tingkat salinitas yang tidak sesuai dapat
memperburuk sikap makan ikan tingkat pertembuhan spesifik (SGR) ikan
budidaya.
e. Kadar keasaman (pH) kadar pH adalah satuan untuk mengukur keasama, yang
mana air murni memiliki kadar keasaman netral (kurang lebih 7,0 pada suhu
0
perairan 25 C). Nilai pH kurang dari 7 adalah asam, sedangkan nilai lebih dari 7
adalah basa.
f. Penyakit beberapa bakteri patogen ada di perairan laut, terutama di lokasi yang
terpolusi (pelabuhan, dekat dengan lokasi pembuangan tak terkontrol, cekungan
tertutup yang sulit terjadi pertukaran air). Bakteri penyakit dapat dihubungkan
dengan jeleknya kualitas air. Beberapa lokasi terdapat perantara parasit yang bisa
berpindah-pindah dari ikan liar ke ikan budidaya.
g. Kekeruhan lokasi budidaya sebaiknya berada di area dengan kualitas air yang
jernih. Kekeruhan air tidak cocok untuk dilakukan budidaya dikarenakan:
h. Partikel lumpur dapat mengotori keramba. Ketika terdeposit di jaring, partikel
tersebut akan membantu pertumbuhan organisme pengotor.
i. Ikan kesulitan untuk melihat pakan ikan yang menyebabkan pada efisiensi pakan.
j. Partikel lumpur dapat membuntu insang ikan yang menyebabkan tingkat
kematian ikan tinggi akibat sesak nafas. Kekeruhan air sering disebabkan oleh
limpasan air dari darat atau arus maupun gelombang yang mengangkat deposit
lumpur.

2. Kriteria Lingkungan Untuk Struktur Keramba Jaring Apung.


Selain faktor yang mempengaruhi ikan budidaya, proses pemilihan lokasi
juga harus memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan
keramba, kapal tongkang, dan sinyal-sinyal kemaritiman.
1) Kedalaman
Kedalaman perairan, dengan kombinasi dari rata-rata kecepatan arus dan
arahnya, dapat menentukan tingkat konsentrasi sedimen limbah/kotoran di
area keramba. Dalam menentukan kedalaman air dengan menggunakan
marine chart dapat meruncingkan pencarian dengan memilih dasar laut yang
sebagian besar datar dan tanpa formasi koral dan batu-batuan. Pada banyak
kasus, arus di perairan dangkal lebih keras, serta perairan dangkal
memunculkan gelombang yang lebih tinggi. Lokasi yang berada di perairan
dangkal lebih terkena kondisi arus yang lebih parah yang mengakibatkan
kemungkinan ikan budidaya rusak di dalam keramba sehingga butuh struktur
keramba jaring yang lebih kuat daripada keramba yang berada di lokasi
perairan dalam.
2) Kecapatan dan Arah
Arus kecepatan arus berpengaruh langsung terhadap 70-75% keramba
ukuran menengah (produksi 3.000-4.000 ton/tahun), antara lain:
a) Pertukaran air di dalam keramba;
b) Penyebaran pakan;
c) Berat keramba jaring dan pemberat;
d) Pergerakan keramba dan perpindahan ikan;
e) Ukuran jaring dan volume budidaya;
f) Operasi penyelaman;
g) Jarak persebaran limbah cair padat.

Kecepatan arus perlu dipertimbangkan dalam mendesain sistem penambatan


keramba. Selain itu, kecepatan arus yang optimal lebih diutamakan untuk
ikan yang akan dibudidayakan. Arus yang optimal tergantung dari ikan
budidaya. Serta, kecepatan arus dapat menentukan persebaran
limbah/kotoran.

3) Angin
Angin berperan sekitar 5-10% tekanan pada sistem penambat keramba.
Angin dapat berdampak langsung terhadap keramba dan pergerakannya
dengan menarik jaring atas, mengganggu kapal yang bergerak di sekitar
keramba, dan menyebarkan pakan keluar dari keramba. Angin juga
berdampak tidak langsung melalui arus akibat angin dan gelombang akibat
angin.
4) Ketinggian Gelombang dan Periodenya
Gelombang berperan memberikan tekanan pada sistem penambatan dan
keramba dengan ukuran menengah (3.000-4.000 ton/tahun) sekitar 20-25%.
Faktor yang menyebabkan terjadinya gelombang akibat angin adalah:
a. Kecepatan angin;
b. Jarak fetch (jarak yang dilalui oleh angin di arah dan kecepatan
konstan);
c. Lebar fetch;
d. Durasi waktu angin berhembus di suatu area;
e. Kedalaman air.
5) Kondisi Dasar Laut karakteristik dasar laut perlu ditinjau untuk memetakan
dan memastikan tipe-tipe sedimen untuk penempatan jangkar dan komunitas
bentik. Jangkar yang bagus akan terbenam sendiri ke dalam dasar laut.
Lumpur pekat, tanah liat, pasir, dan kerikil memberikan pegangan yang baik.
Sementara bongkahan batu, bebatuan, dan koral membutuhkan jangkar
beban (beton).
6) Bencana Badai dan Angin Topan
Badai dan angin topan, maupun siklon adalah fenomena meteoroligi yang
dapat menimbulkan risiko, terutama dari angin kencang dan gelombang serta
arus yang dihasilkan di lautan. Ketiganya sering terjadi di zona tropis
ekuator, di area yang dibatasi oleh dua iklim tropis. Peristiwa badai pada
area yang telah ditentukan harus dievaluasi secara seksama untuk melakukan
perhitungan penempatan lokasi dan penambatan keramba dalam
kemungkinan terjadinya badai cukup tinggi. Berikut klasifikasi badai dengan
skala angin Saffir- Simson.

Tabel 2.1 Kriteria Lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) Menurut Prama Hartami

NO Kriteria Besaran

1 Suhu Perairan (0C) 29 – 30

2 Kecepatan Arus (m/s) 0,25 – 0,3

3 Salinitas (ppt) 30 – 33

4 Oksigen Terlarut (mg/l) 7–8

5 Ammonia (mg/l) 0 – 0,2

6 Kedalaman Laut (m) 15 – 25

7 Ketinggian Gelombang (m) 0 – 0,5

8 Kadar Keasaman (pH) 7,5 – 8,0


9 Kekeruhan (NTU) ≤5

10 Kecerahan (m) ≥5

11 BOD5 (mg/l) ≤ 25

12 COD (mg/l) ≤ 40
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Wilayah Provinsi Kalimantan utara Kota Tarakan


3.1.1 Letak Geografis dan Adminstratif
Kota Tarakan terletak antara 1170 34’ Bujur Barat dan 117038’ Bujur
Timur serta diantara 3019’ Lintang Utara dan 3020’ Lintang Selatan. Kota
Tarakan mempunyai luas 657,33 km2 dimana 38,2% nya atau 250,8 km2 berupa
daratan dan sisanya sebanyak 61,8% atau 406,53 km2 berupa lautan. Letak Kota
Tarakan terpisah dari pulau induk Kalimantan dimana merupakan salah satu pintu
gerbang pembangunan di wilayah Kalimantan Utara. Di bagian utara berbatasan
dengan pesisir pantai Kecamatan Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan dan
disebelah selatan berbatasan dengan pesisir pantai Kecamatan Tanjung Palas,
Kabupaten Bulungan. Sedangkan di sebelah timur juga berbatasan dengan
Kecamatan Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan dan Laut Sulawesi. Selain itu, di
sebelah barat berbatasan dengan pesisir pantai Kecamatan Sesayap, Kabupaten
Tana Tidung. Kecamatan Tarakan Utara merupakan kecamatan terluas diantara
kecamatan lain di Kota Tarakan dengan luas 109,36 km2 atau sekitar 43,6% dari
luas Kota Tarakan. Sedangkan Kecamatan Tarakan Barat termasuk kecamatan
yang paling kecil jika dilihat dari luas daratannya yakni hanya 27,89 km2 atau
11,12% dari luas daratan Kota Tarakan.

3.1.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di perairan Tarakan dengan
mengambil batas wilayah

geogra s 3.1170 – 3.4660
Lintang Utara dan 117.4250 – 117.7820 Bujur Timur.


selama rentang pengamatan dan Beberapa parameter lingkungan yang diukur
langsung (in situ) mencakup kondisi fisika, kimia dan biologi oseanogra yang
berpengaruh terhadap kualitas peraiaran
Gambar 3.1. Studi area penelitian di perairan Tarakan titik sampling di pantai Amal,

3.1.3 Arus Pasang Surut


Pengukuran arus pasang surut di perairan pantai amal kota tarakan dilakukan
dengan pengolahan data dari titik sample sekitar 50 meter.
3.1.4 Suhu perairan Permukaan Laut
Berdasarkan pengecekan lapangan kisaran suhu perairan permukaan laut rata-rata
di pantai amal kota tarakan sebesar 27,25°C hingga 30,75°C dengan suhu perairan
minimal terjadi di bulan Agustus dan suhu perairan maksimal terjadi di bulan
November khususnya pada Perairan bunyu dengan suhu perairan 33°C.
3.1.5 Salinitas
Kondisi salinitas pada perairan rata adalah sebesar 24‰ hingga 35‰. Perairan
Tarakan sangat dipengaruhi suplai massa air dari kolam panas Pasi k Barat
melalui laut Sulawesi di utara perairan Tarakan (Fine et al, 1994). Kondisi ini
terlihat selama perioda El Nino 2009 dengan SPL relatif lebih rendah dengan

rerata 280C.
3.1.6 Kecerahan
Secara garis besar, tingkat kecerahan pada perairan wilayah Pantai amal kota
tarakan rata-rata adalah sebesar 1 hingga 28 meter. Tingkat kecerahan dari garis
pantai mencapai 6 meter.

3.1.7 Ikan Budidaya Laut kota Tarakan


Beberapa jenis ikan yang dibudidayakan di Perairan Tarakan yang memiliki nilai
pasar yang tinggi adalah ikan kerapu, dan ikan kakap putih. Berikut adalah
karakteristik hidup beberapa ikan budidaya laut di Perairan Tarakan
1. Ikan Kerapu
Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang suka hidup di perairan
karang, di antara celah-celah karang atau di dalam gua di dasar perairan. Ikan
kerapu tergolong jenis karnivora yang kurang aktif, relatif mudah
dibudidayakan, karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi.Taksonomi dari
ikan kerapu adalah sebagai berikut
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Famili : Serranidae
Subfamili : Epinephelinae
Genus : Cromileptes Epinephelus (kerapu lumpur)

Gambar 3.2 Ikan Kerapu Lumpur


3.1.8 Analisis Kesesuaian Lahan
Kesesuaian parameter untuk budidaya kerapu di KJA terbagi ke dalam tiga
tingkat- an pada setiap parameternya, yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2), dan
tidak sesuai (N) (Sirajuddin, 2009). Tingkatan kesesuaian ter- sebut ditentukan
berdasarkan kesesuaian parameter fisika-kimiawi perairan terhadap budidaya ikan
(Tiskiatoro, 2006). Parameter yang dapat memberikan pengaruh lebih kuat
sebagai faktor pembatas bagi organisme budidaya diberi bobot lebih tinggi.
Kriteria kesesuaiaan disusun berdasarkan parameter fisika-kimiawi perairan yang
dipersyaratkan dengan mengacu pada matriks kesesuaiaan

Tabel 3.1. Jenis dan sumber data penelitian

No Prameter satuan alat Metode


pengukuran

1 Kedalaman 
 m
 Mengunakan In Situ


tali

2 Kecerahan 
 m
 Secchi disk In Situ

3 Kecepatan arus m/detik Mengunakan In Situ



 
 alat sederhana

4 Suhu 
 °C 
 Termometer In Situ


5 Salinitas 
 ppt 
 Refraktometer In Situ

Tabel 3.2. Kriteria kesesuaian lahan perairan yang telah di lakaukan untuk budidaya
kerapu di KJA.

No Parameter Bobot S1 S2 N

hasil hasil hasil

1 Kedalaman ( m) 25 8 - 20 5 -<8
 < 5 atau


>25

2 Kecerahan (m) 
 10 3 -5 <3


>5

3 Kecepatan 
arus 
(m/detik) 
 25 0,2 - 0,4 0,05 - >0,5


<0,2

4 o 10 27 - 32 20 - 26 <20 atau
Suhu ( C) 


>35

5 Salinitas 
(ppt) 
 10 30 - 35 20 - 29 < 20 atau


>35
Tabel 3.3. Pemberian bobot dan skor pada parameter fisika-kimiawi perairan

No Parameter Bobot Sangat Cukup Sesuai Tidak Sesuai


Sesuai (S1) (S2) (N)
Sekor/nilai Sekor/nilai
Sekor/nilai

1 Kedalaman (m) 25 5/120 3/75 1/25

2 Kecerahan(m) 10 5/50 3/30 1/10

3 Kecepatan arus 25 5/125 3/75 1/25



(m/detik) 


4 o 10 5/50 3/30 1/10


Suhu ( C) 


5 Salinitas (ppt) 
 10 5/50 3/30 1/10

Total bobot kesesuian 400 240 80

Pemberian bobot dan skor (Tabel 3.3) dengan mempertimbangkan pengaruh varia- bel
yang menentukan keberhasilan budidaya (Beveridge, 1991). Pemberian skor diberikan
dengan nilai 1, 3 dan 5 sesuai kriteria dan batas yang ditentukan. Jika hasil pengukuran
suatu parameter fisika-kimiawi perairan berada dalam kondisi optimum, maka skor yang
diberikan tinggi, yakni 5. Namun sebaliknya, bila hasil pengukuran tersebut berada pada
batas yang kurang optimum maka skor yang diberikan semakin rendah, yakni 1 atau 3.
maka didapatkan kelas kesesuaian parameter fisika-kimiawi perairan sebagaimana telah
disajikan pada Tabel 3.4 dibawah ini.

Tabel 3.4. Kelas kesesuaian parameter fisika- kimiawi perairan.

Analisis kesesuaian Kriteria Kelas

Sangat sesuai (S1) > 80 % > 400 - 500

Cukup sesuai (S2 40% - 80% 260 - 400

Tidak sesuai (N) < 40% 260

Kesesuaian Lahan Budidaya Keramba Jaring Apung di pantai amal kota tarakan

1. Kecepatan arus
Kecepatan arus di pantai amal kota tarakan bervariasi, perbedaan kecepatan arus
diduga disebabkan oleh letak lokasi. Bangunan pantai merupakan salah satu penyebab
terjadi pembelokan arus pada lokasi tersebut. Pada saat yang lain adanya turbelensi
dan perairan yang cukup terbuka merupakan pendugaan lain terjadi perbedaan kuat
arus. Lokasi yang memiliki arus yang terlalu lemah tidak layak untuk lokasi
budidaya, namun arus yang terlalu cepat juga dapat merusak konstruksi wadah.
Kecepatan arus yang direkam pada semua lokasi budidaya keramba jaring apung
berada pada kisaran atara 20-30 cm/det (Ramelan, 1998), yang mengindikasikan
semua lokasi tersebut masuk kategori ‘sangat sesuai’. Kecepatan arus di perairan
pantai amal kota tarakan masih berada pada nilai yang dianjurkan, walaupun bukan
pada kisaran yang ideal dan Pergerakan dan besarnya arus permukaan di perairan
Tarakan selama perioda El Nino 2009 menunjukkan pergerakan ke arah barat daya
dan selatan dalam kisaran 45 – 60 cm/s. Arus permukaan ini merupakan arus lintas
Indonesia (Arlindo) yang mengalir dari kolam Pasi k Barat melalui laut Sulawesi dan
memasuki perairan Tarakan sebelum ke Selat Makassar. Pergerakan arus permukaan
di perairan
Tarakan dipengaruhi pergerakan arus yang datang dari selatan Selat Makassar dan
bergerak ke arah timur laut dengan kisaran kecepatan 25 – 35 cm/s. Pergerakan arus
ini melawan pergerakan Arlindo yang pada perioda normal ke arah selatan
mendominasi perairan Tarakan dengan kisaran kecepatan 50 – 60 cm/s. Pergerakan
arus permukaan selama musim barat dipengaruhi oleh kondisi regional ENSO, yaitu
arus bergerak ke barat daya selama perioda El Nino 2009 dan ke timur laut selama
perioda La Nina 2010 dan ke selatan selama perioda Normal 2012 dengan masing-
masing kecepatan 35, 50 dan 60 cm/s. Kondisi pergerakan arus yang sama seperti di
atas terjadi juga selama musim timur dengan intensitas kecepatan berbeda masing-
masing 40, 45, dan 35 cm/s. Dengan demikian diketahui dinamika arus di perairan
Tarakan dipengaruhi Arlindo selama perioda El Nino dan Normal. Arlindo tidak
berpengaruh terhadap dinamika arus di perairan Tarakan selama perioda 2010.
Kecepatan arus pada musim barat relatif lebih tinggi daripada musim timur. Hasil ini
berbeda dengan pengukuran arus di kanal Labani Selat Makassar (Gordon et. al.,
1998) yang melaporkan arus pada musim timur lebih besar daripada musim barat
selama 2004 – 2006. Hal ini menunjukkan pengaruh arus yang datang dari selatan
Selat Makassar.

2. Kedalaman
Kedalaman perairan pada perairan pantai amal kota tarakan memiliki kedalaman
minimal yang ditentukkan oleh titik dimana terjadi surut terendah dari perairan
tersebut. Kedalaman perairan diatas memperlihatkan kisaran nilai yang mendukung
bagi kegiatan budidaya laut. Untuk budidaya ikan di KJA, kedalaman perairan yang
minimal ditentukan oleh dimensi kantong jaring, beda pasang-surut dan jarak
minimal antara dasar kantong dan dasar perairan. Jika kantong jaring memiliki tinggi
3 m, beda pasang-surut sebesar 2 m kemudian spasi antara dasar perairan dan dasar
kantong sebesar 2 meter, maka kedalaman minimal lokasi lokasi tersebut 7 m
Ramelan (1998) menyatakan bahwa Kedalaman perairan untuk akuakultur ikan dalam
keramba jaring apung harus >8 m. Pertimbangan untuk Kedalaman maksimal juga
ditentukan oleh mahalnya material konstruksi, khususnya mooring system, besarnya
biaya operasional serta sulitnya proses instalasi system keramba jaring apung
(Beveridge 1991). Oleh karena itu Kedalaman perairan untuk keramba jaring apung
lebih baik tidak lebih dari 15 m.
Material dasar perairan di pantai amal kota tarakan memperlihatkan adanya
perbedaan jenis material dasar perairan pada beberapa lokasi. Perbedaan tersebut
dapat dibagi atas tiga cluster wilayah yaitu :
a. lumpur. Jenis substrat ini berada di dalam teluk dan merupakan wilayah yang
mendapat tekanan terbesar akibat masukan (run off) dari beberapa sungai yang
bermuara di perairan tersebut. tekanan terbesar akibat masukan (run off) dari
beberapa sungai yang bermuara di perairan tersebut. (
b. Jenis pasir berlumpur yang berada di mulut teluk. Adanya pergerakan masa air
laut dari mulut kedalam teluk diduga mendorong koloid atau partikel yang lebih
ringan kedalam teluk dan menyisahkan pasir yang lebih berat. Dan
c. Jenis pasir berkarang yang berada di depan mulut teluk. Tipe ini berada pada
daerah yang relatif lebih terbuka sehingga kemungkinan pencucian oleh masa air
lebih sering terjadi. substrat yang dikehendaki adalah yang baik adalah pasir,
pecahan karang dan karang (Sade, 2006;Vairappan and Chung, 2006). Sedangkan
yang harus dihindari adalah substrat dengan kombinasi lumpur, karena akan
sangat memberikan dampak pada kecerahan atau kekeruhan perairan pada saat
ada arus dan gelombang (Hidayat, 1990).
3. Kecerahan
Tingkat kecerahan pada perairan pantai amal kota tarakan memperlihatkan adanya
perbedaan tingkatan kecerahan. Hal tersebut dapat diduga akibat dari substrat dasar
perairan dimana perairan dengan tingkat kecerahan yang rendah dipengaruhi oleh
substrat pasir dan lokasi dengan tingkat kecerahan tinggi dipengaruhi oleh substrat
karang. Kecerahan diperlukan untuk membantu proses pengambilan makanan oleh
organisme laut. Sehingga perairan perairan pantai amal kota tarakan memperlihatkan
kisaran nilai yang sangat sesuai dianjurkan untuk lakukan kegiatan budidaya keramba
jaring apung.

4. Suhu perairan
Suhu perairan di pantai amal kota tarakan mempunyai kisaran suhu yang tidak
terlalu signifikan di setiap titik pengambilan sempel, hal tersebut menunjukan bahwa
suhu air pada permukaan pantai amal kota tarakan relative lebih tinggi . Perbedaan ini
memberi indikator bahwa tambahan panas ke pada massa air pantai amal kota tarakan
bagian darat berasal dari sumber lain yaitu suplai panas dari dasar laut ataupun suplai
panas dari dataran sekitarnya. (Wenno L.F, 1987) Dari segi kelayakan kecerahan
perairan di pantai amal memperlihatkan nilai yang cukup sesuai untuk dilakukan
pengembangan budidaya di keramba jaring apung.
Hasil pengukuran terhadap variable Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) di
perairan pantai amal kota tarakan adanya perbedaan, hal ini diduga disebabkan oleh
komposisi material dasar perairan dan pergerakan masa air termasuk aktifitas pasut.
Padatan terlarut dalam kondisi tertentu dapat menggangu biota terutama organ
respirasi. Menurut (Landau, 1995) budidaya di KJA, kekeruhan yang tinggi dapat
berakibat:
1) Terganggunya sistim osmoregulasi
2) Menurunkan daya lihat organisme akuatik
3) Mengganggu fungsi insang dan menurunkan tingkat respirasi atau pernafasan
4) Memicu pembentukkan bio-fouling pada struktur KJA sehingga meningkatkan
gaya statis dan dinamis dari sistim KJA. Berdasarakan muatan padatan
tersuspensi perairan pantai amal sangat cocok untuk dilakukan kegiatan budidaya
keramba Jaring Apung.
5. Sanilitas
Hasil pengukuran Salinitas di perairan panatai amal kota tarakan menunjukkan
Adanya perbedaan kisaran salinitas terutama pada daerah sebelah timur pantai amal
(dalam teluk), diduga karena adanya pengaruh supplay air tawar dari sungai,
disamping itu salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air,
penguapan curah hujan dan aliran sungai. Salinitas berhubungan dengan organisme
dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung toleransi dan
adaptasinya terhadap lingkungan. Kisaran salinitas yang terbaik sangat tergantung
pada species ikan yang dipelihara. Ada species ikan yang memiliki kemampuan untuk
hidup dan bertumbuh baik pada kisaran salinitas yang besar, namun beberapa species
ikan hanya bisa hidup dan bertumbuh pada kisaran salinitas yang kecil. Satu hal yang
sangat penting dihindari dalam aktivitas akuakultur adalah lokasi yang mempunyai
potensi fluktuasi yang tinggi seperti muara sungai (Hidayat, 1990; Sade, 2006;
Vairappan and Chung, 2006). Kisaran salinitas di perairan amal sangat sesuai untuk
pengembangan budidaya keramba jaring apung.
KESIMPULAN

Kesesuaian lahan di perairan pantai amal kota tarakan untuk budidaya keramba
jaring apung dapat disimpulkan bahwa perairan pantai amal sesuai untuk pengembangan
lokasi budidaya keramba jaring apung.

Faktor lingkungan perairan sangat dipengaruhi dan perubahan musim dan menjadi
faktor pembatas tingkat kesesuaian budidaya di keramba jarring apung. Dalam kaitan ini
dinamika oseanogra yang memiliki kesuburan tinggi berkorelasi dengan tingkat
kesesuaian tinggi. Perairan bagian timur Tarakan memiliki tingkat kesesuaian lebih tinggi
daripada di bagian barat. Arus Lintas Indonesia (arlindo) mempengaruhi transfer massa
air dari kolam panas Pasi k Barat memasuki perairan laut Sulawesi dan mencapai
Tarakan (Gordon, 1986). Pada perioda El Nino dan Musim Timur perairan Tarakan
bagian timur menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi dan selama perioda La Nina
dan Musim Barat tingkat kesesuaian perairan berpindah ke bagian utara perairan Tarakan.

Analisis kesesuaian lahan budidaya untuk keramba jarring apunh dengan metoda
scoring dan pembobotan menunjukkan perairan sekitar pantai Amal sampai ke selatan
memiliki kesesuaian tinggi untuk keramba jarring apung

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata kedalaman perairan
berkisar antara 5,13 m - 19,67 m, kecerahan berkisar antara 1,67 m - 8,50 m, kecepatan
o
arus berkisar antara 0,10 m/detik - 0,27 m/detik, suhu perairan berkisar antara 30,70 C -
o
30,83 C, yang secara umum masih sesuai untuk budidaya kerapu di KJA.

Anda mungkin juga menyukai