BERKELANJUTAN (TEKNOLOGI BUDIDAYA BERKELANJUTAN PADA BAGAN)
OLEH : IRMAYANTI L012232008
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2024 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan teknologi akustik untuk penangkapan ikan menjadi salah satu metode yang efektif untuk mendeteksi keberadaan ikan secara langsung, cepat, dan akurat. Di Indonesia, berbagai studi pendekatan akustik telah dilakukan; Pujiyati et al. (2007) pada eksplorasi sumberdaya ikan demersal; Manik et al. (2006) dengan identifikasi habitat ikan demersal dengan menggunakan quantitative echosounder; pengamatan tingkah laku ikan pada bagan rambo dan pada bagan perahu (Haruna, 2010). Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju juga mempengaruhi penerapan teknologi yang semakin canggih, perkembangan teknlogi tentunya sangat berdampak pada kehidupan masyarakat baik yang beraktivitas di darat, di udara dan di laut. Dengan perkembangan teknologi yang terus berevolusi dan semakin mendunia mendorong siapa saja untuk ikut serta dalam melakukan perubahan-perubahan yang dapat memudahkan manusia dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dahulu dikerjakan secara manual saat ini telah dapat dikembangkan untuk dilakukan secara otomatis, tidak hanya sekedar membantu manusia dalam aktivitasnya melainkan juga dari segi efisiensi waktu (Rachmaniar dkk., 2018). Alat tangkap bagan erat kaitannya dengan penggunaan cahaya sebagai attractor untuk menarik dan atau mengumpulkan ikan dari suatu tempat ke area penangkapan (catchable area). Menurut (Hasan, 2008) dan dengan berbagai sumber cahaya, mulai obor, lampu petromaks sampai pada lampu listrik dengan sumber tenaga generator (Wisudo et al., 2001). Hal tersebut menjadi dasar perlunya menyusun makalah ini tentang bagan untuk mengetahui pengaruh penggunaan instrumen akustik dalam upaya meningkatkan hasil tangkapannya 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah pada makalah ini adalah yaitu bagaimana teknologi berkelanjutan pada bagan. 1.3 Tujuan Tujuan pada makalah ini adalah yaitu bagaimana teknologi berkelanjutan pada bagan. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Karakteristik Unit Alat tangkap dan Pengoperasiannya Bagan perahu dan rangka bagan yang digunakan memiliki ukuran unit bagan perahu yang dioperasikan di beberapa daerah di sepanjang pesisir pantai di Selat Makassar adalah 32 x 31 m (Sudirman et al., 2003); ukuran bagan perahu 30 x 30 m (Sulaiman, 2006) dan ukuran unit bagan perahu 16 x 15 m (Lalogau. 2013). Teknologi penangkapan ikan ini tergolong dalam jenis jaring angkat dan menggunakan alat bantu cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan (Wisudo et al., 2001; Sudirman dan Nessa, 2011, dan Kusuma et al., 2014) dan termasuk kategori light fishing. Pengoperasian alat tangkap yang menggunakan cahaya (Sudirman & Nessa, 2011) umumnya dimulai pada saat matahari mulai terbenam dan keadaan mulai gelap yang dimaksudkan untuk menarik perhatian ikan agar berkumpul di bawah cahaya lampu atau di sekitar bagan untuk memudahkan proses penangkapan ikan. Penggunaan jumlah dan besar intensitas cahaya lampu ini juga berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan (Efendy, 1998). Tahapan pengoperasian yang umum adalah penurunan jaring, diikuti proses penyalaan lampu (18.21 wita) yang dimaksudkan untuk mengumpulkan ikan dengan durasi waktu 4-5 jam dan terakhir proses penarikan jaring atau hauling (Hariani, 2010; Sudirman et al., 2001). Tahapan penarikan jaring diawali dengan dimatikannya lampu secara bertahap, mulai dari lampu haluan kemudian lampu tengah sampai meninggalkan satu lampu berwarna merah sebagai lampu fokus dan selanjutnya roller mulai diputar secara perlahan sampai jaring terlihat dan dianggap ikan sudah tidak dapat meloloskan diri lagi. Alat ini menjadi salah satu solusi yang tepat untuk memudahkan dalam pendeteksian keberadaan dan waktu kedatangan ikan di area penangkapan bagan perahu. Hal ini tentunya akan lebih mengefisienkan waktu dan proses penangkapan ikan. Oleh karena, nelayan sudah tidak memerlukan waktu yang lama untuk menunggu tahap proses penarikan jaring. Sebagaimana pengoperasian bagan perahu yang ada sekarang. Nelayan hanya memperkirakan waktu setelah beberapa jam menunggu kedatangan ikan dan kemudian melakukan proses penarikan jaring. Namun dengan teknologi ini, waktu kedatangan ikan di area penangkapan akan dengan mudah diketahui. Sehingga penarikan atau pengangkatan jaring dapat dilakukan setiap saat berdasarkan informasi keberadaan ikan yang diperoleh dari instrumen akustik tersebut. Intensitas penarikan jaring yang tinggi menyebabkan peluang yang besar untuk mendapatkan hasil tangkapan yang tinggi. Pemanfaatan instrumen ini cukup banyak memberikan informasi tentang distribusi dan tingkah laku ikan yang berada di area penangkapan bagan perahu (Paputungan et al., 2023). Kecepatan arus menjadi salah satu faktor yang berpengaruh kepada banyak tidaknya hasil tangkapan setiap hauling. Pengaruh parameter oseanografi suatu perairan dapat digunakan untuk menunjukkan konsentrasi ikan dan distribusinya baik secara vertikal maupun secara horizontal, dimana faktor tersebut juga mempengaruhi cara makan ikan sebagai akibat tersedianya makanan berupa plankton maupun ikanikan kecil di ekosistem dimana ikan-ikan berada. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa penerapan dan pemanfaatan teknologi akustik pada pengoperasian bagan perahu memberi pengaruh signifikan terhadap tahapan- tahapan pengoperasian alat. Dengan mengetahui distribusi, pola dan waktu kedatangan ikan di area penangkapan bagan perahu, maka peluang untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih besar semakin tinggi. Selain itu, intensitas penarikan jaring yang tinggi akan memegang peranan penting untuk mendapatkan jumlah hasil tangkapan yang besar. Hal ini akan berpengaruh kepada tingkat efektivitas dan efisiensi waktu pengoperasian yang lebih optimal. Secara ekonomi akan lebih menguntungkan dengan waktu operasi yang semakin singkat (Kurnia dkk., 2016). 2.2 Hasil Tangkapan pada Bagan Salah satu jenis alat tangkap yang cukup banyak digunakan di Indonesia adalah alat tangkap bagan. Penggunaan alat tangkap bagan yang cukup banyak tidak lepas dari perkembangan wilayah, kemudahan teknologi, tingkat investasi yang rendah, dan metode penangkapan yang bersifat one day fishing. Alat tangkap bagan telah lama digunakan oleh nelayan. Hasil tangkapan bagan dimanfaatkan untuk umpan hidup pada perikanan pole and line, memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari, dan juga dikeringkan untuk dijual (Kurnia dkk., 2016). Bagan perahu (Boat Lift Nets) adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan yang termasuk dalam klasifikasi jaring angkat (Lift net) dari jenis bagan yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis kecil. Alat tangkap ini pertama kali diperkenalkan olah nelayan Bugis Makassarpada tahun 1950an. Bagan perahu mempunyai bentuk lebih ringan dan sederhana, dapat menggunakan satu atau dua perahu. Bagan perahu hanyut menggunakan satu perahu saja (Rusdianto, 2015). Hasil tangkapan pada bagan selama penelitian dipisahkan menjadi tiga macam yaitu tangkapan utama (main catch), tangkapan sampingan (by catch), dan tangkapan buangan (discard catch). Tangkapan utama (main catch) adalah komponen dari stok ikan yang utama atau ikan yang menjadi target utama dalam operasi penangkapan ikan dikarenakan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, target utama dalam perikanan bagan biasanya ikan pelagis seperti ikan teri (Stolephorus sp.) , ikan tembang (Sardinella sp.), ikan kembung (Rastrelliger sp.), ikan petek (Leiognathus sp.). Tangkapan sampingan (by catch) adalah hasil tangkapan yang tidak sengaja tertangkap oleh alat tangkap, tapi hasil tangkapan ini masih memiliki nilai ekonomis meskipun tidak begitu tinggi ataupun hasil tangkapan tersebut masih dapat dikomsumsi oleh nelayan, ikan-ikan tersebut adalah ikan layur (Trichiurus lepturus) , ikan barakuda (Sphyraena sp ) dan , ikan kambing sirip kuning (Mulloidichthys vanicolensis). Tangkapan buangan (discard catch) adalah hasil tangkapan yang tidak diinginkan oleh nelayan, tidak bisa dikomsumsi dan tidak memiliki nilai ekonomis, bahkan hasil tangkapan ini dibuang oleh nelayan dalam keadaan hidup ataupun mati, ikan-ikan tersebut adalah, ikan buntal duri (Tetraodontidae ), ikan lepu (Pterois sp), ubur - ubur (Scyphozoa) (Paputungan et al., 2023). Alat tangkap dinyatakan selektif apabila alat tersebut hanya dapat menangkap ikan/organisme target utama penangkapan saja. (Malawa, 2006) Selektivitas alat tangkap adalah kemampuan alat tangkap menangkap speies/jenis ikan yang menjadi target utama dan ukuran ikan yang layak tangkap. Dengan demikian selesktivitas alat tangkap seharusnya dirancang dengan mempertimbangkan kemampuannya menahan dan atau meloloskan ikan yang tertangkap atau terperangkap. Pertimbangan penggunaan teknologi penangkapan ikan selektif merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan agar kelestarian populasi ikan diperairan terjaga (Nikijuluw, 2002). BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dengan hanya 1% hasil tangkapan yang dibuang dan 99% sisa digunakan, bagan adalah alat tangkap yang ramah lingkungan, Ini menunjukkan bahwa mereka selektif terhadap jenis tangkapan sasaran dan memiliki tingkat keramahan lingkungan yang tinggi, tidak merusak habitat melalui penangkapan yang membahayakan, tidak membahayakan nelayan, menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi, produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, jumlah hasil tangkapan yang rendah, tidak berdampak pada biodiversitas, dan tidak menangkap jenis yang dilindungi dan diterima secara sosial. DAFTAR PUSTAKA Efendy, M., 1998. Pengaruh jumlah lampu terhadap komposisi dan hasil tangkapan bagan perahu di perairan Teluk Jawur, Jepara Jawa Tengah.Skripsi Program Studi Pemanfaatam Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan ITB, 43 hal. Hariani. 2010. Distribusi cahaya dan pola distribusi ikan pada bagan perahu di perairan Makassar. Skripsi Fakultas Ilmu kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar Haruna. 2010. Distribusi cahaya lampu dan tingkah laku ikan pada proses penangkapan bagan perahu di perairan Maluku Tengah. J. Amanisal Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan UnpattiAmbon. 1 (1): 22-29. Iksan, K.H.,dan Irham. 2009. Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Layang Biru (Decapterus macarellus) di Perairan Maluku Utara (Growth and reproduction of mackerel scads, Decapterus macarellus (Cuvier, 1833) in North Moluccas waters). Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2), hal,163-174. Lalogau, M.Y. 2013. Manajemen dan operasi bagan perahu di desa Tonyaman Kecamatan Binuang Kabupaten Polewali Mandar. Laporan Praktek Kerja Lapang (tidak dipublikasi). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Universitas Hasanuddin. Manik, H.M., M. Furusawa & K. Amakasu. 2006. Quantifying Sea Bottom Surface Backscattering and Identifying Fish by Quantitative Echo Sounder. Japanese J. of Applied Physics, 45(5). p.4865-4867 Paputungan, E. Luasunaung, A. Silooly, F. Ohnny. Budiman.Mandiagi, E. Patty, W. 2023. Komposisi Dan Tingkat Keramahan Lingkungan Alat Tangkap Bagan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 8(1): 1-10 Pujiyati, S., Suwarso, B.P. Pasaribu, I. Jaya & D. Manurung. 2007. Pendekatan metode hidroakustik untuk eksplorasi sumberdaya ikan demersal di perairan Utara Jawa Tengah. J. Ichthyos, Januari 2008. 7(1): 15-20. Rachmaniar, Mustari S. Lamada. 2018. Penerapan Teknologi Otomatisasi Pengangkat Jaring Pada Bagan Tancap (Aotokat Japer) Di Kecamatan Bacukiki Kotamadya Pare-Pare. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 4:112 -117 Sudirman & M.N. Nessa. 2011. Perikanan bagan dan aspek pengelolaannya. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. 234 hal. Sudirman & M.N. Nessa. 2011. Perikanan bagan dan aspek pengelolaannya. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. 234 hal. Sudirman, M.S. Baskoro, A. Purbayanto, D.R. Monintja & T. Arimoto, 2003. Profil pencahayaan dan distribusi ikan pada areal penangkapan bagan rambo di selat Makassar. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta 8-9 Oktober 2003, Vol.3 Hal 28-32. Wisudo, S. H., H. Sakai, S. Takeda., S. Akiyama & T. Arimoto, 2002. Total lumen estimation of fishing lamp by means of Rousseau diagram analysis with lux measurement. Proceedings of Fisheries Science. Fisheries Sciences Tokyo (68): 479-480