Anda di halaman 1dari 26

PENDAHULUAN

Laut Indonesia adalah pusat penting keanekaragaman hayati laut dunia


sekaligus tempat penangkapan ikan sangat berharga yang menyediakan makanan
dan mata pencaharian untuk jutaan orang. Untuk memastikannya terus terjaga
untuk generasi mendatang adalah dengan memulihkan kondisi dan melindung
(Solihin et al, 20 ). Kekayaan sumberdaya hayati Indonesia saat ini diperkiraan
sedang mengalami penurunan dan kerusakan. Krisis keanekaragaman hayati ini
bisa disebabkan oleh berbagai faktor, yang satu dengan yang lainnya saling
berkaitan. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu faktor
teknis dan faktor struktural. Aspek teknis yaitu kegiatan manusia, teknologi yang
digunakan, dan kodisi alam itu sendiri (Medrizam et al, 2004). Salah satu langkah
mengurangi penangkapan yang berlebih tersebut yaitu dengan menyeleksi alat
tangkap. Seleksi alat tangkap dilakukan dengan tujuan menangkap sumber daya
perikanan yang telah dewasa (Rangkuti, dkk 2017)
Kata-kata "pot" dan "perangkap" menurut (FAO, 2012) kadang-kadang
diganti atau saling bertukar satu sama lain dan digunakan untuk menggambarkan
perangkat umpan yang digunakan untuk menangkap ikan, kepiting dan kerang.
Perbedaan utama di antara mereka adalah ukurannya, karena perangkap biasanya
lebih besar, sementara pot lebih kecil membuatnya mudah dipindahkan atau
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain perahu atau dengan tangan dan baru-
baru ini dalam beberapa kasus pot pot dibuat agar pot bisa dilipat (pot dilipat)
dengan tujuan untuk menghemat ruang ketika mereka menyimpan di dek kapal
(Slack-Smith, 2001). Pot digunakan di seluruh dunia dan datang dalam berbagai
bentuk melingkar, persegi panjang, berbentuk kerucut, hingga oval. Meskipun
variasi dalam ukuran dan bentuk semua pot berbagi mode operasi yang umum
yaitu untuk menarik atau memikat spesies yang diinginkan ke dalam perangkat
dengan mudah dan membuatnya sulit untuk keluar (Slack-Smith, 2001)
Perangkap ikan adalah metode memancing yang relatif sederhana yang
telah digunakan secara tradisional oleh nelayan di seluruh dunia untuk memancing
dan menangkap hewan air. Perangkap memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan alat tangkap lainnya: mereka tidak perlu diangkut dalam
batas waktu singkat, tetapi dapat dibiarkan selama beberapa hari, misalnya ketika
cuaca buruk, dan tangkapan akan tetap dalam kondisi baik. Biaya operasional
cukup rendah. Dengan meningkatnya tuntutan untuk penangkapan ikan yang
bertanggung jawab, perangkap dapat menjadi penting di masa depan karena
karakteristik selektif mereka dan keuntungan mereka dari mode operasi. Selain
itu, keuntungan dari peralatan seperti simpai atau perangkap adalah kepiting
betina muda atau ovigerous dapat langsung dibebaskan di habitatnya setelah
ditangkap (Ankara, 2001).
Analisis bioteknik produksi per jenis alat tangkap Analisis bioekonomi
sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh (bidayani, 2014) yaitu jenis alat
tangkap tertentu. Bubu sebagai alat pancing pasif, perangkap dipasang di lokasi
yang sesuai dan ditinggalkan di sana untuk seluruh musim (Lundin, 2014 ). Proses
perangkap dimulai dengan ikan menemukan lorong mereka sejajar dengan pantai
terganggu oleh jaring terkemuka yang membentang keluar dari pantai ke
perangkap. Bubu merupakan salah satu alat tangkap dalam kelompok perangkap
yang banyak digunakan untuk menangkap rajungan. Perangkap akan memberikan
manfaat hasil tangkapan rajungan yang berkualitas baik dan dalam keadaan hidup
sehingga memberikan nilai tambah. Bubu adalah alat tangkap sejenis perangkap
dimana ikan dan/atau target lainnya dibiarkan masuk kedalam bubu sehingga
tertangkap dan sulit untuk keluar atau tidak bisa lolos lagi. Dengan perkataan lain
bubu adalah perangkap tertutup yang membiarkan sasaran tangkap masuk
sehingga sulit atau tidak bisa lolos. Menurut pengertian Brandt (1972), bubu
merupakan alat tangkap tiga dimensi yang memiliki ruangan yang sepenuhnya
tertutup, dengan pengecualian satu atau lebih pintu masuk dilengkapi alat
pencegah ikan lolos (non-return device) (Zorachman et al, 2015).
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditinjau lebih lanjut mengenai
kajian holistik Alat Tangkap Bubu di berbagai jurnal maupun Buku, baik dari
Aspek teknis/ teknologi, Aspek sosial dan budaya, Aspek Ekonomi/Finansial, dan
Aspek Biologi dari alat tangkap tersebut.
ALAT TANGKAP BUBU

Perangkap adalah alat pancing pasif di mana ikan dapat masuk secara
sukarela dengan cara sedemikian rupa sehingga pintu masuk sendiri menjadi
perangkat non-return. Gagasan tentang menangkap ikan tanpa banyak usaha
mungkin mungkin menghasilkan perkembangan jebakan. Penemuan untuk
menangkap ikan mungkin dianggap mendahului penemuan nets. Perangkap dapat
menangkap ikan terus menerus di siang hari dan malam dengan pemeriksaan
berkala dan organisme dapat diambil hidup-hidup tanpa kerusakan apapun.
(Baruah, 2013). Perangkap mengacu pada koleksi perangkap dalam bentuk
kandang atau keranjang yang dibuat, dengan berbagai bahan dengan satu atau
lebih bukaan atau pintu masuk, yang dirancang untuk menangkap ikan atau
(Nedelec, 1982). Perangkap dapat digunakan dengan atau tanpa umpan (Everhart
et al., 1975). Malian dan Ndurtitu adalah perangkap pof tradisional. Sebagian
besar dipekerjakan nelayan di bagian utara Nigeri (Hasanni, 2013).
Agar pemanfaatan sumber daya ikan dengan alat tangkap diperoleh hasil
yang optimum, maka perlu diperhatikan beberapa aspek, seperti aspek biologi,
teknis maupun ekonomi. Aspek biologi terkait dengan sumberdaya ikan, termasuk
faktor lingkungan. Aspek teknis menyangkut peralatan dan teknologi untuk
memanfaatkan sumber daya ikan, berupa alat tangkap, armada penangkapan, alat
pendeteksi ikan dan sarana penangkapan lain. Sedangkan aspek ekonomi
menyangkut modal yang dikeluarkan dalam upaya pengembangan perikanan
tersebut (Kurniawati, 2005).

1. ASPEK TEKNIS/TEKNOLOGI

Aspek teknis merupakan suatu penangkapan ikan merupakan faktor-faktor


yang berhubungan dengan rancang bangun alat tangkap, pelaksanaan oprasi
penangkapan, kesesuaian alat tangkap dengan daerah penangkapan, penggunaan
peralatan, jenis ikan yang menjadi target penangkapan, penggunaan peralatan
pendukung dan sebagainya. Dalam suatu pengoprasian alat tangkap dan tingkat
teknologi maka jenis teknik penangkapan ikan bervariasi mulai dari yang
sederhana (Akmaluddin, 2013).
Perangkap adalah alat tangkap skala kecil yang efektif untuk menangkap
kepiting berenang biru di Trang. Komposisi tangkapan bervariasi di antara ketiga
jenis roda gigi dan daerah penangkapan ikan. Ukuran manajemen
direkomendasikan dasar pada ukuran minimum pada saat jatuh tempo kepiting
renang biru. Namun, sebelum ada perubahan dalam ukuran jaring hukum dari
perangkap kotak tetap dilaksanakan, lebih lanjut informasi tentang kepiting
biologi, faktor sosio-ekonomi dan daerah penangkapan diperlukan untuk benar
menilai status persediaan kepiting biru di sepanjang pantai Trang. Apalagi, hasil
tangkapan komposisi di antara ketiga jenis roda gigi juga menunjukkan variasi
sehubungan dengan tempat penangkapan ikan. Perangkap dapat bervariasi, dari
struktur sederhana seperti karang batu yang mampu memegang berbagai jenis
ikan yang lewat; hingga perangkat seperti perangkap mekanik di mana masuknya
ikan memicu mekanisme untuk penutupan perangkap di sana dengan memastikan
penangkapan ikan yang masuk.
Bubu merupakan jenis alat tangkap ikan yang dioperasikan secara pasif di
dasar perairan. Secara umum bubu dapat digolongkan sebagai alat penangkap
yang berbentuk seperti kurungan atau berupa ruangan tertutup dimana ikan ikan
tidak dapat keluar lagi. (Gordon & Djonler, 2015) menspesifikkan bubu yaitu
gwatle lir (bubu jaring), melayu dobo (bubu jaring), bahasa indonesia (perangkap
bubu jaring) dan english (fish trap using netting). Bubu dasar adalah salah satu
alat penangkapan yang dikategorikan sebagai alat tangkap perangkap. Bubu dapat
diaplikasikan untuk menangkap hewan-hewan krustasea seperti rajungan, lobster
dan kepiting yang bergerak dengan menggunakan kakinya pada dasar perairan
sesuai dengan kontstruksi dari alat tangkapnya. Daerah penangkapan bubu adalah
perairan yang mempunyai dasar perairan berlumpur maupun dasar pasir ataupun
daerah berkarang tergantung yang menjadi tujuan penangkapan. Umumnya bubu
yang digunakan terdiri dari tiga bagian, yaitu badan dan tubuh bubu (Mallawa &
sudirman, 2012)
 Badan dan tubuh bubu umumnya terbuat darianyaman bambu yang terbentuk
empat persegi panjang dengan panjang 125 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 40 cm.
Bagian ini dilengkapi dengan pe,berat dari batu bata (bisa juga pemberat lain)
yang berfungsi utnuk menenggelamkan bubu kedasar perairan yang terletak
pada ke empat sudut bubu.
 Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian bawah
bubu. Lubang ini berdiameter 35 cm, posisisnya tepat belakang mulut bubu.
Lubang ini dilengkapi dengan penutup.
 Mulut bubu berfungsi untuk tempatmasuknya ikan yang terletak pada bagian
depan badan bubu. Posisi mulut bubuk menjorok kedalam badan atau tubuh
bubu berbentuk silinder. Semakin kedalam diameter lubangnya semakin
mengecil. Pada bagian mulut bagian dalam melengkung ke bawah sepanjang
15 cm. Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk meloloskan
diri keluar.
Sistem penangkapan bubu yang digunakan oleh nelayan yaitu
pengoperasian bubu pada sistem rawai yaitu bubu dipasang dalam jumlah
banyak dan dirangkai menggunakan tali antara bubu satu dengan bubu lainnya.
Biasanya bubu yang dipasang dengan sistem rawai biasanya dihubungkan
dengan pengait (snap) antara tali cabang dan tali utama. Kemudian ditandai
dengan pelampung tanda pada kedua ujungnya dan dilengkapi pemberat agar
bubu tidak berpindah tempat (Joandi. et.al, 2015).
Sebelum meletakkan bubu biasa para nelayan menentukan letak pencarian
derah tangkapan ikan (fishing ground), tahap pencarian daerah penangkapan ikan
(fishing ground) umumnya dilakukan berdasarkan pada kedalaman, kebisaaan dan
pengalaman nelayan dalam melakukan operasi penangkapan, umumnya lokasi
pemasangan bubu berada pada perairan sekitar pantai terbuka yang dipengaruhi
gelombang, kecepatan arus tidak terlalu besar, dasar perairan berupa pasir, pasir
berlumpur dan lumpur, setelah menemukan daerah penangkapan biasanya
nelayan melakukan peletakkan bubu yang dilakukan pada saat pagi hari dan
dibiarkan semalam, sedangkan pengambilan hasil tangkapan bubu dilakukan pada
pagi hari berikutnya. Namun ada beberapa nelayan yang meninggalkan atau
merendam bubunya selama dua hari atau lebih. Hal tersebut tergantung dari
keadaan laut. Jika ombak atau gelombang cukup besar maka nelayan lebih
memilih untuk tidak mengangkat bubu dan menunggu sampai keadaan laut
memungkinkan untuk melakukan penarikan jaring.
Bubu dasar merupakan salah satu alat tangkap yang umum digunakan oleh
masyarakat nelayan untuk menangkap ikan-ikan karang, karena konstruksinya
sederhana, relatif murah dan mudah dioperasikan dengan kapal atau perahu
ukuran kecil. Bubu dasar termasuk jenis alat tangkap yang sifatnya pasif atau
menetap di dasar perairan yang bertujuan menangkap ikan-ikan demersal. prinsip
kerja dari bubu ini mempermudah ikan untuk masuk dan mempersulit ikan untuk
keluar, sehingga ikan terperangkap dalam alat tangkap ini. Bahan dasar dari bubu
biasanya dari bahan alami seperti bambu dan kayu, tapi yang umum dipakai
adalah bambu atau rotan. Sasaran penangkapan alat tangkap bubu ini adalah ikan-
ikan demersal seperti salah satunya adalah ikan kakap.
Bubu dasar ini dibuat dari anyaman bambu (bamboo netting) dan
berbentuk empat persegi panjang dan dalam peng-operasiannya nelayan tersebut
tidak menggunakan umpan. Konstruksi alatnya terdiri dari beberapa bagian yaitu;
badan bubu yang dilengkapi dengan pemberat supaya bubu dapat tenggelam ke
dasar perairan, ada mulut bubu berfungsi sebagai tempat masuknya ikan posisinya
ada pada bagian depan badan bubu semakin ke dalam maka ukuran diameter
lubang anyaman akan semakin kecil sehingga ini yang menyebabkan ikan-ikan
yang sudah masuk sukar atau tidak dapat lagi untuk keluar, dan lubang tempat
mengeluarkan hasil tangkapan posisinya berada pada bagian belakang mulut bubu
(Lukman, 2013).
Menurut Najamuddin (2012) bubu dasar adalah alat ini dapat dibuat dari
anyaman bambu (bambo netting) anyaman rotan (rattan netting), dan anyaman
kawat (wire netting). Bentuknya bermacam-macam, ada yang seperti silinder,
setengah lingkaran, empat persegi panjang, segetiga memanjang dan sebagainya.
Dalam pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tanpa umpan. Mallawa &
sudirman (2004) Pada prinsipnya alat tangkap ini sama dengan bubu dasar hanya
alat ini dikhususkan untuk menangkap ikan terbang (flaying fish) dan pada bagian
luar dari bubu tersebut diberikan untaian daun kelapa. Alat tangkap ini banyak
digunakan oleh nelayan yang berada di pantai Barat sulawesi selatan untuk
menangkap ikan terbang dan mengumpulkan telurnya. Dalam bahasa lokal alat ini
disebut dengan ‘patorani’. Alat ini dioperasikan pada musim timur yaitu musim
pemijahan dari ikan terbang di laut flores, sehingga dapat dikatakan bahwa alat
tangkap ini dioperasikan hanya pada musim-musim tertentu. Husnah dkk (2006)
spesefikasi alat tangkap jenis bubu yaitu bubu ikan dan bubu belut. Bentuk
keduanya relatif sama, hanya pada bubu belut jarak antara bilah lebih rapat (0,5
cm). Bubu terbuat dari bbambu atau bahan tali bal (PT). Bubu ikan hanya terbuat
dari bilah bambu dengan jarak bilah ke bilah 0,7 cm. Fridman (1998) trap
(perangkap) yang dipasang menetap. Ikan digiring kedalam bagian pengumpul
yang menyukarkan ikan. Di jepang terkenal dengan nama bubu (lukah) biasa,
bubu jaring (menetap atau hanyut. Jenis ikan tertangkap baung,sihitam, berengit,
sepengkah, kepras, kojam , seluang, layang, udang, dan belut.
(Tallo 2009) Bubu dasar memiliki 1 pintu dengan panjang corong 60 cm,
lebar mulut luar 25 cm, lebar mulut tengah 18 cm, dan lebar mulut bagian dalam
15 cm. Bubu dilengkapi dengan celah pelolosan berukuran 25 cm x 25 cm.
Kerangka bubu terbuat dari besi beton dan badan bubu dibuat dari kawat ram
dengan ukuran mesh size 0,5 inci. Jangkar bubu dari cor semen (Gambar 4).

Gambar . Bubu Dasar


Bubu lipat merupakan alat tangkap yang saat ini popular digunakan oleh
nelayan untuk menangkap kepiting. Alat tangkap ini mulai digunakan oleh
nelayan untuk menangkap rajungan pada awal tahun 2000. Menurut (Susanto,
2012) Desain bubu yang ideal akan meningkatkan efektivitas dan keramahan
lingkungan penangkapan kepiting bakau dengan bubu lipat. Bubu yang ideal
adalah bubu yang mampu menangkap kepiting bakau dalam jumlah banyak dan
ukuran yang besar (efektif dan ramah lingkungan) sehingga memiliki nilai
ekonomis tinggi.

Gambar . Bubu Lipat


Bubu tiang adalah alat tangkap statis dengan kantong dan mulut terbuka
yang sifatnya tetap atau tidak berpindah-pindah dalam rentang waktu yang lama.
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia
No.PER.02/MEN/2011, Bubu Tiang termasuk klasifikasi alat tangkap Perangkap
(Traps) kategori stow nets. Trap adalah suatu alat tangkap menetap yang
umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa ada
paksaan, tetapi sulit keluaratau lolos, karena dihalangi dengan berbagai cara (Von
Brandt 2005). Menurut (Sartika, 2015) adapun prosedur sebelum melakukan
penangkapan alat tangkap bubu tiang adalah :
 Persiapan melakukan operasi alat tangkap oleh peneliti dan nelayan
 Menentukan lokasi penangkapan ikan (Fishing ground). Untuk menentukan
daerah lokasi penangkapan sesuai dengan kebiasaan nelayan setempat.
 Setelah itu diturunkan alat yang bersifat menetap di perairan.
 Setelah itu dilakukan pengukuran parameter lingkungan dipermukaan perairan
seperti kedalaman, kecepatan arus, suhu, kecerahan dan salinitas.
 Setelah kurang lebih 2 jam penurunan alat, dilakukan pengangkatan hasil
tangkapan.
 Setelah 8 jam penurunan alat, di lakukan hauling untuk mengambil hasil
tangkapan
Bubu tambun merupakan alat penangkapan ikan yang terbuat dari bambu
yang dioperasikan secara pasif diperairan berkarang (Achrodi, 2015). Sasaran dari
penangkapan dengan alat tangkap ini adalah ikan karang seperti kakap dan
kerapu. Bubu tambun termasuk ke dalam klasifikasi perangkap dan penghadang
(Martasuganda, 2003). Berbeda dengan Riyanto, (2009) yang menggunakan Bubu
tambun terbuat dari bambu, memiliki panjang total 70 cm, lebar 60 cm dan tinggi
20 cm. Ukuran mata anyaman bubu adalah 3 cm berbentuk segi enam. Bubu ini
memiliki bentuk mulut yang bulat pada bagian luar dan mengecil terus ke bagian
dalam dengan bentuk lonjong. Diameter mulut bubu bagian luar adalah 27 cm
dan diameter mulut bubu bagian dalam adalah 20 cm. Desain bubu dengan
bentuk mulut seperti ini sengaja dibuat dengan tujuan agar memudahkan ikan
untuk masuk namun menyulitkan ikan untuk keluar sehingga ikan terperangkap
dalam buba.
Pemasangan bubu dibutuhkan waktu 1,5-2 jam dalam satu kali trip.
Pengangkatan bubu dilakukan selama 45 menit. Total waktu yang diperlukan
dalam operasi penangkapan bubu tambun selama 3-4 jam. Waktu perendaman
dilakukan selama 8-10 jam yaitu setting pagi hari kemudian pada sore hari
dilakukan hauling, sebaliknya setting sore hari paginya dilakukan hauling.

Gambar . Alat tangkap tambung


Alat bantu yang digunakan dalam pengoperasian bubu tambun antara lain:
 Pengait yang berfungsi untuk mengambil bubu dari dasar perairan karena bubu
tambun tidak dilengkapi dengan tali pengikat maupun pelampung tanda,
 Bak penampung hasil tangkapan. Bak penampung ini terdiri dari dua jenis
yaitu untuk ikan mati dan ikan hidup,
 Sepatu digunakan untuk menjaga keselamatan dalam pengoperasian bubu saat
pemasangan dan penangkutan bubu nelayan biasanya berjalan di batu karang.
 Kacamata selam digunakan pada saat perairan cukup dalam (laut pasang)
sehingga pemasangan bubu lebih mudah dilakukan.
Perangkap adalah jenis peralatan utama untuk menangkap kepiting renang
biru selain dari gillnets bawah. Karena perangkap diperkenalkan dari Jepang pada
tahun 1981, telah terjadi penangkapan ikan secara intensif oleh skala kecil
nelayan, yang mengatur 100-300 perangkap per perahu. Di provinsi Trang,
Thailand selatan, ada tiga tipe perangkap, yaitu perangkap kotak tetap, perangkap
vertikal dilipat dan perangkap kotak yang bisa dilipat. Boutson dkk. melaporkan
bahwa 32-42% dari kepiting renang biru di Thailand belum matang berdasarkan
pemantauan onboard. Nitiratsuwan dkk. , dan Jindalikit melaporkan bahwa
64,2% dari total pendaratan di pantai Trang berukuran kecil (Songrak.et.al, 2013)
Perangkap sesuai jenis komoditi yang tertangkap (Rusdi, 2010) sebagai
berikut

Gambar . Jenis Alat tangkap

Alat tangkap ditentukan sesuai dengan jenis ikan yang dicari dan
miliknya perilaku serta mode pengoperasian. Keuntungan dari memancing
perangkap (Meenakumari, 2000) yaitu:
 Perangkap perangkap adalah ekonomi dan energi rendah diperlukan bila
dibandingkan dengan metode memancing aktif.
 Organisme yang tertangkap dalam perangkap dapat diambil hidup-hidup
tidak rusak kondisi.
 Perangkap dapat menangkap ikan terus menerus siang dan malam dan
hanya perlu dilakukan secara berkala
 Perangkap bisa ditinggalkan
 Investasi modal relatif rendah dan banyak perangkap menunjukkan tingkat
yang tinggi selektivitas

Tepa (Trap) adalah perangkap berbentuk spindle dengan ketebalan


maksimum di tengah. Perangkap terbuat dari bambu perpecahan dan dilengkapi
dengan 1-4 pintu perangkap dekat dasar. Ikan yang terperangkap dibuang oleh
melepaskan salah satu ujungnya. Perangkap ini dioperasikan di sawah tergenang
dan badan air dangkal selama musim hujan. Ikan berukuran kecil seperti Puntius
spp., Mystus spp., belut dan udang adalah tangkapan utama.
Joandi dkk, (2011) Hasil tangkapan terdiri dari 35 spesies, tetapi
didominasi secara berturut-turut oleh ikan Balistapus undulatus (33 ekor), Siganus
spinus (23 ekor), Ctenochaetus striatus (18 ekor), Lutjanus gibbus (12 ekor) dan
Ctenochaetus binotatus (9 ekor).
Tabel1. Hasil jenis ikan tangkapan bubu (Joandi dkk, )
(Sartika, 2016) Hasil tangkapan selama penelitian tertangkap 7 spesies ikan
dan udang, yaitu Udang Rebon (Panaeus mysis), Udang Putih (Penaeus
merguiensis), Lomek (Horpodon neherus), Layur (Trichiurus lepturus), Gulamah
(Pseudocienna amovensis), Senangin (Polynemus tetradactylus), dan Ikan Lidah
(Cynogglossus lingua). Selama lima hari penelitian pada waktu pasang dan surut
diperoleh hasil tangkapan sebesar 32,58 kg (237666 ekor) pada waktu pasang dan
sebesar 79,17 kg (573590 ekor) pada waktu surut.
Pada penelitian Iskandar, D (2011) Komposisi Hasil Tangkapan bubu dapat
dilihat pada gambar 3 Monintja dan Martasuganda (1991) memberikan alasan
bahwa udang, kepiting atau ikan-ikan karang terperangkap pada bubu adalah
karena pengaruh beberapa faktor, diantaranya :
1) Tertarik oleh bau umpan;
2) Dipakai untuk berlindung;
3) Sifat ketertarikan pada suatu benda asing yang ada di sekitarnya (tigmotaksis)
dari kepiting, udang atau ikan karang itu sendiri;
4) Dalam perjalanan perpindahan tempat kemudian menemukan bubu.

Gambar 3. Komposisi Hasil Tangkapan Bubu


Pada penelitian Iskandar, D (2013) Tangkapan bubu menangkap beberapa
family dari kelas Crustacea yakni sebanyak 46 ekor atau 7,04% dari total hasil
tangkapan. Beberapa famili pada kelas Crustacea yang tertangkap adalah Famili
Grapsidae, Xanthidae, dan Diogenidae. Crustacea yang dominan tertangkap
adalah Kepiting Pasir (Varuna litterata) dan Kepiting Batu (Carpilus convexus).
Iskandar, D. (2013) Hasil tangkapan pada bubu lipat selama penelitian
berjumlah 261 ekor dengan proporsi hasil tangkapan kepiting bakau sebagai hasil
tangkapan utama sebanyak 36% dari total hasil tangkapan atau setara dengan 94
ekor. Adapun hasil tangkapan sampingan selama penelitian sebanyak 64% dari
total hasil tangkapan atau setara dengan 167 ekor. Adapun untuk hasil tangkapan
sampingan yang tertangkap selama penelitian antara lain udang peci (Penaeus
indicus), kepiting batu (Thalamita sp.), kepiting bolem (Leptodius sp.), rajungan
(Portunus pelagicus) dan beloso (Saurida tumbil).

Gambar 2. Proporsi jumlah hasil tangkapan bubu lipat selama penelitian

Pada penelitian Setiawan.R dkk (2013) dimana alat tangkap yang


digunakan yaitu bubu bambu dan bubu plastik. pengoperasiannya di Rawapening
Desa Lopait Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang ditujukan untuk
menangkap udang, biasanya jenis udang hasil tangkapannya adalah udang galah
(Macrobrachium idae). Selain itu terdapat juga hasil tangkapan seperti ikan
mujahir (Oreochromis mosambicus) tetapi jumlahnya hanya sedikit dari hasil
tangkapan bubu bambu dan bubu plastik dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil tangkapan dari bubu bambu
2. Aspek ekonomi

Aspek ekonomi merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam


pengembangan suatu usaha, diantaranya besar keuntungan dan waktu
pengembalian modal. Usaha penangkapan alat tangkap bubu pencarian
keuntungan menjadi tujuan utama. Salah satu dasar pertimbangan ekonomi,
pertimnbangan ini meliputi pendapatan nelayan yang layak, penggunaan
sumberdaya yang optimal, dan retribusi pendapaatan antar nelayan, serta
memperoleh sewa ekonomi yang besaar (Lawson, 1984 dalam Akmaluddin,
2013). Dalam analisis ekonomi yang dilakukan oleh Shalichaty (2014) dengan
penggunaan bubu lipat yaitu menggunakan analisis kelayakan usaha.
Pertimbangan ekonomi adalah faktor utama dalam pemilihan metode dan
alat tangkap ikan. Aspek ekonomi yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
teknologi penangkapan ikan adalah besarnya modal investasi, besarnya modal
kerja, proyeksi hasil tangkapan/ pengembalian modal (Monintja et al, 1986 dalam
Akmaluddin, 2013)
Menurut Medina & Olantunbosun (2013) dalam perikanan tangkap
perangkap memiliki biaya pemeliharaan rendah dengan keuntungan tambahan
menangkap kualitas hidup tinggi ikan. Informasi mengenai dampak bentik pot dan
jebakan sangat terbatas. Penggunaan perangkap yang bisa dilipat semakin luas
karena memiliki banyak kelebihan dibandingkan alat tangkap lainnya. Hampir
keseluruhan hasil tangkapan biasanya masih hidup sehingga memiliki harga jual
yang tinggi. Keuntungan lain dari perangkap adalah bahan yang bisa diperoleh
dengan mudah, biaya produksi rendah, perawatan mudah dan murah, mampu
untuk dioperasikan di lokasi yang sulit, dan itu tidak membutuhkan tempat yang
luas di perahu sejak itu bisa dilipat dan ditumpuk (Puspito,G. 2013).
Tabel . Pendapatan rata-rata usaha perikanan bubu penelitian Setiawan,R. (2013)

Pendapatan rata-rata nelayan bubu bambu per-trip sebesar Rp. 116.250,00


dan pendapatan rata-rata perbulan sebesar Rp. 1.392.000,00 sehingga rata-rata
pendapatan per tahun sebesar Rp. 16.704.000,00, Untuk bubu plastik pendapatan
rata-rata per-trip sebesar Rp. 36.428,57 dan rata-rata pendapatan per bulan sebesar
Rp 874.285,57 sehingga pendapatan rata-rata per tahun sebesar Rp. 10.491.428,57
Dari hasil penelitian pendapatan dari usaha perikanan bubu plastik lebih besar, hal
ini karena hasil tangkapan bubu plastik lebih bervariasi. Pendapatan dari usaha
perikanan bubu bambu sedikit karena hasil tangkapan sedikit (Setiawan,R. 2013)
Hasil penelitian Shalichaty (2014) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat
pendapatan usaha penangkapan menggunakan bubu lipat sebesar Rp 73.867.733
per tahun dan keuntungan rata-rata sebesar Rp. 12.971.844 per tahun.

3. Aspek Sosial budaya


Analisis aspek sosial perikanan tangkap meliputi penyerapan tenaga kerja
per unit penangkapan atau jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, penerimaan
per unit tangkapan atau penerimaan nelayan yang diperoleh dari hasil per unit
yaitu hasil bagi antara seistem bagi hasil dengan jumlah nelayan personil
penangkapan, dan kemungkinan kepemilikan unit tangkap ikan untuk nelayan
yang diperoleh dari penerimaan nelayan per tahun dibagi investasi dari setiap unit
penangkapan (Haluan & Nurrani,1968 dalam Akmaluddin 2013).
Nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan, yaitu menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
perikanan. Nelayan di Pulau Kerdau terbagi atas nelayan penuh dan nelayan
sambilan utama. Nelayan penuh merupakan nelayan yang seluruh waktunya
digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Sedangkan nelayan
sambilan utama merupakan nelayan yang sebagian besar waktunya digunakan
untuk melakukan operasi penangkapan ikan disamping melakukan pekerjaan
lain. Menurut archodi (2015). Banyak nelayan rajungan setempat yang
meninggalkan penggunaan jaring insang dan beralih kepada alat tangkap bubu
rangkai tanpa adanya proses sosialisasi. Umumnya alasan utama yang mendasari
peralihan tersebut adalah karena hasil tangkapan bubu rangkai yang lebih banyak.
Setelah setahun uji coba pengoperasian bubu rangkai dapat dididentifikasi adanya
indikasi perbaikan kualitas teknologi penangkapan dari penggunaan bubu rangkai
(Mustafa, A., Abdullah dan D. Oetama. 2011).
Kendala yang dikeluhkan oleh nelayan bubu adalah iklim dan musim
penangkapan ikan serta ketersediaan modal kerja untuk operasi penangkapan ikan.
Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Nagy et al.
(2006), dikatakan bahwa variasi dan perubahan iklim berdampak terhadap
perikanan estuari di Rio de la Plata. Kelompok permasalahan yang kedua adalah
masalah BBM, daerah penangkapan ikan dan pencurian bubu. Sementara itu,
nelayan tidak menjadikan kondisi sarana pelabuhan, persaingan dengan nelayan
skala besar maupun andon dan pemasaran sebagai kendala.
Tabel 3. Kendala/Permasalahan Operasi Penangkapan Ikan Alat Tangkap Bubu

Dari hasil penelitian Kunsook & Dumrongrojwatthana (2017) yang telah


dilakukan banyaknya nelayan yang menangkap udang P. Pelagicus menggunakan
perangkap sehingga mempengaruhi ekosistem yang lebih besar dimana
Masyarakat nelayan biasanya membuang hasil tangkapan yang tidak sesuai
dengan spesies target dekat perumahan dan kemudian akan mati di dekat
perumahan setelah diseleksi oleh nelayan.

4. Aspek Biologi
Sumberdaya hayati dapat dilihat dari aspek biologi dengan menekan jumlah
stok atau biomassa ikan dimana dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan
ukuran stok merupakan langka penting dalam mempelajari berbagai stok terutama
yang telah diusahakan. Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya
berbagai perubahan lingkungan, proses rekruitmen, pertumbuhan, kegiatan
penagkapan , populasi organisme mangsa, pemangsa atau pesaing (Widodo et al ,
1998 dalam Akmaluddin 2013). Salah satu langkah mengurangi penangkapan
yang berlebihtersebut yaitu dengan menyeleksi alat tangkap. Seleksi Alat Tangkap
dilakukan dengan tujuan menangkap sumberdaya perikanan yang telah dewasa.
Hal ini dapat dilakukan dengan memodifikasi jaring ambe agar dapat dapat
meloloskan ikan/udang berukuran kecil, atau mengganti dengan alat tangkap lain
yang ramah lingkungan (Rangkuti, et.al, 2017).
Penjebakan kandang ikan kecil di lingkungan lahan basah dangkal
menyediakan perkiraan yang dapat diandalkan dari keragaman ikan, meskipun
memberikan perkiraan yang kurang dari kepadatan ikan (Kushlan, 1987). Aspek
ekonomi dan sosial nelayan, Pengaruh ini terhadap hasil tangkapan berkaitan
dengan kelestarian sumberdaya alam baik untuk pengembangan maupun
pengelolaan pariwisata yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan
pendapatan nelayan. Laut belum memberikan sumbangan maksimal bagi
pembangunan ekonomi. Adapun pengaruh terhadap nelayan terkait dengan
kondisi sosial dan ekonomi, jika ekonomi baik maka dengan sendirinya keadaan
sosial akan baik (Mahulette, 2004)
Perangkap alat tangkap telah sangat banyak digunakan dalam dunia, tetapi
konsep dasarnya sama dalam semua kasus, di mana ikan atau hewan laut lainnya
akan masuk ke perangkap melalui satu atau lebih banyak pintu masuk kerucut.
Keberhasilan perangkap alat tangkap tergantung pada perilaku hewan laut
sebagai target penangkapan ikan. Ukuran roda gigi berfungsi sebagai fungsi
memancing, di mana hewan laut bisa masuk dan melarikan diri tanpa umpan, dan
dengan demikian perlu disamarkan dengan karang untuk menarik tempat
berlindung ikan (Reppie, 2015).
Kelemahan utama dari jebakan bubu yang bisa dilipat adalah desain celah
masuk yang sempit. Ini bisa menyebabkan kepiting sering terjebak karena duri
karapas. Akibatnya, kepiting lain tidak bisa masuk ke perangkap. Kelemahan lain
dari jebakan bubu adalah tidak ada celah pelarian sehingga menyebabkan semua
ukuran kepiting bisa tertangkap tanpa ada pilihan. Fakta ini tidak akan
mendukung keberlanjutan sumber daya kepiting (Puspito,G. 2013).
Perangkap bertentangan memiliki dampak langsung yang sangat kecil pada
lingkungan bentik dan sangat selektif (spesies dan ukuran) terhadap spesies yang
ditargetkan. Namun demikian adalah perangkap dalam perikanan udang air tawar
pengecualian daripada aturan dan hanya menerima dalam beberapa tahun terakhir
lebih banyak perhatian karena motivasi dari arahan yang bernama dan reformasi
untuk mengganti alat penangkapan ikan yang merusak (Eichert, 2015).
Dari hasil penelitian Kunsook & Dumrongrojwatthana (2017)
menyatakan bahwa perangkap perangkap kepiting yang dilipat memiliki efek
negatif pada keanekaragaman kepiting laut di Kung Krabaen Bay, seperti
degradasi dan kehilangan.

5. Aspek politik
Keberhasilan penangkapan pada kegiatan penangkapan ikan dengan
umpan didasarkan pada aktivitas dasar kehidupan ikan seperti mencari dan
menangkap mangsanya. Respons ikan terhadap umpan ditentukan oleh beberapa
faktor antara lain jenis, ukuran umpan, bentuk umpan, kandungan kimia. Jenis
umpan yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda .Bau yang
ditimbulkan umpan merupakan faktor penting untuk pemikatan ikan untuk masuk
kedalam bubu .Bubu merupakan alat tangkap pasif sehingga dibutuhkan umpan
agar ikan yang dijadikan target tangkapan mau memasuki bubu (Riyanto,2009)
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Achrodi , S. 2015. Komposisi Hasil Tangkapan Alat Tangkap Bubu Tambun Yang
Dioperasikan Di Perairan Karang Pulau Kerdau, Kabupaten Natuna.
Departemen Pemenfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Agbelege,O,O., J.K. Ip.Injolu & W.A.Hassan. 2006. Evaluation Of A New


Fishing Pot Trap (Lege) In River Rima, North Western Nigeria.
Departnient of Forestry and'Fisheries. Usmanu Dan fodiyo University.
Sokoto

Al-Masroori. H., et.al. 2004. Catches of lost fish traps (ghost fishing) from fishing
grounds near Muscat, Sultanate of Oman. Department of Fisheries and
Wildlife Sciences. Virginia Polytechnic Institute and State University.
Sultanate of Oman

Arios, A.H, A. Solichin, S. W, Saputra. 2013. Hasil Tangkapan Rajungan


(Portunus pelagicus) dengan Menggunakan Alat Tangkap Bubu Lipat
yang Didaratkan di TPI Tanjung Sari Kabupaten Rembang. Jurusan
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Diponegoro. Semarang.

Atar. H.H, M. Olmez, & S. B. S. Secer. 2001. Comparison of Three Different


Traps for Catching Blue Crab (Callinectes sapidus Rathbun 1896) in
Beymelek Lagoon. Fisheries and Aquaculture Departmen. Turkey

Baruah,D. A,Dutta & P, Pravin. 2013. Traditional fish trapping devices and
methods in the Brahmaputra valley of Assam. Department. of Zoology.
Gauhati University. Kerala

Bohnsack, A, J., 1988. The Effects of Fish Trap Mesh Size on Reef Fish Catch off
Southeastern Florida. Southeast Fisheries Center. National Marine
Fisheries Service. NOAA 75

Butarbutar. D, N, P. 2005. Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Dengan


Menggunakan Dua Konstruksi Bubu Lipat Yang Berbeda Di Kabupaten
Tangerang. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Cekic, M.et,al., 2003. Comparison of Two Different Types of Basket Trap on Fish
Catches in ‹skenderun Bay. Faculty of Fisheries. Turk J Vet Anim Sci
29 (2005) 743-749.
Collins, M.R., 1990. A comparison of three fish trap designs. Fish. Res., 9: 325-
332.

Cruz. Y. M & O. Olatunbosun. 2013. Comparative Study On The Efficiency Of


Three Different Types Of Crab Pot In Iceland Fishing Ground. Nigeria.

Eichert, M. 2015. Technical and Economic viability of Traps in the Portuguese


Fishery of Deepwater Rose Shrimp (Parapenaeus longirostris).
Universidade do Algarve (UAlg). Portugal.

Fonny J.L Risamasu, I. Tallo. 2014. Komposisi jenis dan keragaman hasil
tangkapan bubu yang dioperasikan bersama rumpon pada kedalaman
berbeda. Jurusan Perikanan dan Kelautan Faperta Undana. Kupang

Fridman, A. 1988. Perhitungan dalam Merancang Alat Penangkapan Ikan. PJG


carrothers.

Husnah,etal. 2006 Jenis, Cara Oprasi dan Penyebaran beberapa alat Tangkap di
Perairan Sungai Musi, Sumatera Selatan. Badan Riset Kelautan dan
Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Iskandar, D & R. Caesario. 2013. Pengaruh Posisi Umpan Terhadap Hasil


Tangkapan Bubu Lipat (Effect Of Bait Position On Catch Of Collapsible
Pot). Volume 21 No. 1 Edisi April 2013 Hal 1-9

Iskandar, D. 2011. Analisis Hasil Tangkapan Sampingan Bubu Yang


Dioperasikan Di Perairan Karang Kepulauan Seribu. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. FPIK IPB. Bogor.

Iskandar, D. 2013. Daya Tangkap Bubu Lipat Yang Dioperasikan Oleh Nelayan
Tradisional Di Desa Mayangan Kabupaten Subang. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 8, No.
2, 2013 : 1-5

Joandi C. A, E. Reppie & I, L. Labaro. 2015. Pengaruh ekstrak goldenfish pada


umpan bubu dasar terhadap hasil tangkapan ikan-ikan karang. Program
Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Kunsook, C & P, Dumrongrojwatthana. 2017. Species Diversity and Abundance


of Marine Crabs (Portunidae: Decapoda) from a Collapsible Crab Trap
Fishery at Kung Krabaen Bay, Chanthaburi Province, Thailand.
Department of Biology. Faculty of Science. Chulalongkorn University.
Bangkok

Lukman, E. 2013. Evaluasi Aspek Teknis Terhadap Kegiatan Penangkapan Ikan


Kakap Merah (Lutjanus Sp) Dan Pengembangannya Di Sekitar Perairan
Sinjai Teluk Bone. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. UNIDAR
Ambon

Lundin, M. 2014. Size Selection of Fish in the Trap Fisheries of the Baltic and
Bothnian Seas. Department of Wildlife. Fish & Environmental Studies
Umea.

Mahulette, R.T. 2013. Perbandingan Teknologi Alat Tangkap Bubu Dasar Untuk
Mengetahui Efektivitas Penangkapan Ikan Demersal Ekonomis Penting
Di Klungkung Bali. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jalan Pasir Putih I
Ancol Timur, Jakarta Utara

Malik. F, R. 2013. Kajian Beberapa Disain Alat Tangkap Bubu Dasar Diperairan
Kepulauan Ternate Provinsi Maluku Utara. FPIK UNKHAIR-Ternate

Mustafa, A & Abdullah. 2012. Strategi Pengaturan Penangkapan Berbasis


Populasi Dengan Alat Tangkap Bubu Rangkai Pada Perikanan Rajungan:
Studi Kasus Di Perairan Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo.

Parthiana, I. W. 2014. Hukum Laut internasional dan hukum laut indonesia.


Penerbit; YRAMA WIDYA. Bandung.

Phleger, C. F., R. R. Mcconnaughey & P. CrilL. 1979. Hyperbaric fish trap


operation and deployment in the deep sea. Deep-Sea Research, Vol.
26A, pp. 1405 to 1409

Pramonowibowo. 2014. Perbedaaan Lama Penarikan dan Hasil Tangkapan pada


Pengoperasian Bubu Rajungan (Portunus sp.) dengan Rancang Bangun
Alat Penarik Tali Utama di Desa Betahwalang Kabupaten Demak.
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan 1Universitas Diponegoro. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014,
Hlm 1 – 8

Puspito, G. 2013. Design of entrance and escape gaps in collapsible trap for
mangrove crabs Scylla sp. Department of Fisheries Resources
Utilization. Faculty of Fisheries and Marine Science. Bogor
Agricultural University. Bogor.
Riyadi, D.M.M. 2004. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati Di Indonesia.
United Nation Development program (UNDP). INS/01/024 Project –
IDEN

Robichaud, D., W, Hunte., H, A. Oxenford. 1999. Effects of increased mesh size


on catch and fishing power of coral reef fish traps. Marine Resource
and Environmental Management Program. University of the West
Indies. Barbados. Fisheries Research 39 (1999) 275±294

Sartika. D.P. 2016. Analisis Komposisi Hasil Tangkapan Alat Tangkap Bubu Tiang
Pada Waktu Pasang Dan Surut Di Perairan Pulau Halang Muka
Kecamatan Kubu Babussalam Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.
Fisheries and Marine Science Faculty, Riau University

Setiawan. R, B. A, Wibowo, Pramonowibowo. 2013. Analisis Usaha Perikanan


Pada Alat Tangkap Bubu Di Perairan Rawapening Desa Lopait
Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Fakultas Perikanan Dan
Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro.

Soekadi, F. Et.al. 2015. Rekomendasi Teknologi Kelautan dan Perikanan.


Diterbitkan: Sekretarian Badan penelitian dan Pengembangan Kelautan
dan Perikanan . Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Solihin, A., E. Batungbacal., & A. M. Nasution. 2013. Laut Indonesia dalam


Krisis.

Songrak. A , W. Bodhisuwan & T. T. Chaidee. Selectivity of traps for blue


swimming crab in Trang province. Department of Fishery Biology.
Faculty of Fisheries,. Kasetsart University. Thailand.

Sudirman & A. Mallawa. 2012. Teknik Penangkpan Ikan. Penerbit: PT. RINEKA
CIPTA. PT.Asdi Mahasatya; Jakarta.

Susanto, A ,& R. Irnawati. 2012. Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat
Kepiting Bakau (Skala Laboratorium). Jurusan Perikanan. Fakultas
Pertanian. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang. Jurnal Perikanan
dan Kelautan Vol. II No. 2 : 71-78. Desember 2012

Wiyono,E,S. 2013. Kendala Dan Strategi Operasi Penangkapan Ikan Alat


Tangkap Bubu Di Muara Angke, Jakarta (Constrains and Fishing
Operation Strategy of Traps in Muara Angke, Jakarta). Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Kampus IPB Darmaga Bogor.
Zhang, Z. 2001. Evaluation of a box crab (Lopholithodes foraminatus) trap test
ibritish columbia. Fisheries and oceans canada
Lampiran 1. Perangkap

Lampiran 2. Bubu Bambu


Lampiran 3. Bubu

Anda mungkin juga menyukai