Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH EKSPLORASI SUMBERDAYA HAYATI LAUT

KELOMPOK II

BEROPERASINYA ALAT TANGKAP TRAWL DI WILAYAH


PESISIR/DAN PANTAI

Oleh :
IGA VALLENSHIA (08051381621069)
SOFWAN TABRANI (08051381621053)
MIKO BERMANDO SIAHAAN (08051181621025)

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
2019
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki luas perairan mencapai
3,25 juta km2 atau sekitar 63 persen wilayah Indonesia. Laut Indonesia memiliki
potensi produksi lestari ikan laut yang cukup besar, dengan asumsi sekitar 6,51
juta ton/tahun atau 8,2% dari total potensi produksi ikan laut dunia. 1 Statistik
Perikanan Tangkap (2011) menunjukkan terdapat 2,7 juta jiwa nelayan dan
Statistik Perikanan Budi daya (2011) menunjukkan jumlah pembudi daya ikan
mencapai 3,3 juta. 2 Sedangkan Sensus Pertanian yang dilakukan BPS pada tahun
2013, menunjukkan jumlah 860 ribu rumah tangga kegiatan penangkapan ikan
(nelayan) dan 1,19 juta rumah tangga kegiatan budi daya ikan (Budi, 2009).
Rendahnya penghasilan nelayan tradisional sebagai salah satu sub sistem
masyarakat pedesaan pantai, karena tekno-logi penangkapan ikan laut pada
umumnya masih rendah atau masih menggunakan peralatan tradisional
(Soemardjan, 1992). Akibatnya, nelayan tradisional sedikit sekali memiliki
penyangga ekonomi untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Kehidupan
mereka dari hari ke hari sangat fluktuatif karena pendapatan dari hasil menangkap
ikan selain rata-rata kecil juga bersifat tidak pasti, apalagi pada saat musim badai
datang. Kadang-kadang hingga berhari-hari mereka tidak dapat melaut
dikarenakan ombak dan angin yang sangat besar dan kencang, sementara dapur
mereka menuntut untuk terus mengepul (Wijaya, 2009).
Modernisasi perikanan (blue revolution) yang telah berlangsung selama ini
tidak dapat dipungkiri mengakibatkan banyak perubahan dalam kehidupan sosial
ekonomi nelayan. Tetapi tidak semua lapisan masyarakat nelayan dapat menikmati
berkah modernisasi perikanan tersebut, terkait dengan ketersediaan modal
ekonomi yang ada. Bahkan menurut Kusnadi (2002), setelah seperempat abad
kebijakan modernisasi perikanan dilaksanakan tingkat kesejahteraan hidup
nelayan tidak banyak berubah secara substantif. Yang terjadi justru sebaliknya,
yakni melebarnya kesenjangan sosial ekonomi antar kelompok sosial dalam
masyarakat nelayan dan meluasnya kemiskinan (Harpowo dan Tain, 2011).
Koentjaraningrat (1984) menuliskan bahwa kebudayaan memiliki tujuh
unsur universal, yaitu sistem religi, bahasa, kesenian, sistem teknologi, ilmu
pengetahuan, sistem organisasi sosial, dan sistem mata pencaharian. Sistem mata
pencaharian merupakan unsur budaya yang sangat penting dalam memenuhi hajat
hidup manusia dan masyarakat, yaitu cara yang dilakukan oleh sekelompok orang
sebagai kegiatan sehari-hari untuk pemenuhan kehidupan, dan menjadi pokok
penghidupan baginya (Septiana, 2018).
Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya hayati yang terbukti
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kesejahteraan bangsa. Sifat
sumberdaya ikan meskipun dapat diperbaharui (renewable) namun perlu
kehatihatian dalam pemanfaatannya untuk menjamin keberlanjutan, baik dalam
jumlah maupun kemampuannya untuk regenerasi. Hal ini dikarenakan, sifat dari
sumberdaya ikan yang dikenal open acces telah memberi peluang dan anggapan
bahwa setiap orang berhak dan bebas memanfaatkan dan memiliki sumberdaya
tersebut secara bersama-sama (common property resources) (Cahyani, 2013).
Usaha penangkapan memang diyakini mendatangkan keuntungan yang lebih
besar dibanding ranah usaha perikanan lainnya seperti budidaya dan pengolahan.
Upaya penangkapan diukur oleh seberapa besar produksi yang dihasilkan dari
upaya penangkapan. Sumberdaya hayati yang melimpah ditambah sifat
sumberdaya yang open access mendorong masyarakat pemanfaat sumberdaya
ikan menjadikan produksi sebagai indikator dan target dalam pemenuhan aktivitas
usaha penangkapan. Dengan karakteristiknya yang unik tersebut maka dalam
pemanfaatannya dapat menyebabkan penangkapan berlebih (over fishing)
(Harpowo dan Tain, 2011).
1.2 Pemasalahan
Adapun permaslahan yang ditimbulkan dari beroperasinya alat tangkap
trawl diwilayah pesisir pantai diantaranya, nelayan rawai mengalami penurunan
hasil tangkapan, sebagai akibat ketidakmampuan untuk bersaing dengan nelayan
jaring batu (bottom drift gillnet) ataupun nelayan trawl. Kondisi ini menyebabkan
nelayan rawai mengadakan perlawanan dengan melakukan pembakaran dan
penyanderaan terhadap beberapa kapal jaring batu dan trawl. Konflik antara
nelayan rawai dengan nelayan jaring kurau memiliki kedinamisan yang tinggi.
Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode
konflik.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alat Tangkap Trawl
Kata trawl berasal dari bahasa prancis trole dari kata trailing adalah
dalam bahasa inggris, mempunyai arti yang bersamaan, dapat diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia dengan kata tarik ataupun mengelilingi seraya menarik.
Ada yang menterjemahkan trawl dengan jaring tarik , tapi karena hampir semua
jarring dalam operasinya mengalami perlakuan tarik ataupun ditarik, maka selama
belum ada ketentuan resmi mengenai peristilahan dari yang berwenang maka
digunakan kata trawl saja. Stern trawl adalah otter trawl yang cara operasionalnya
penurunan dan pengangkatan jaring dilakukan dari bagian belakang buritan kapal
atau kurang lebih demikian. Penangkapan dengan system stern trawl dapat
menggunakan baik satu jarring atau lebih. (Wijaya, 2009).
Dari kata “ trawl” lahir kata “trawling” yang berarti kerja melakukan
operasi penangkapan ikan dengan trawl, dan kata “trawler” yang berarti
kapal yang melakukan trawling. Jadi yang dimaksud dengan jaring trawl
( trawl net ) disini adalah suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal
( baca : kapal dalam keadaan berjalan ) menelusuri permukaan dasar perairan
untuk menangkap ikan, udang dan jenis demersal lainnya. Jarring ini juga ada
yang menyangkut sebagai “jaring tarik dasar”.
Stern trawl adalah otter trawl yang cara operasionalnya (penurunan dan
pengangkatan ) jaring dilakukan dari bagian belakang ( buritan ) kapal atau
kurang lebih demikian. Penangkapan dengan system stern trawl dapat
menggunakan baik satu jarring atau lebih.Jaring trawl yang selanjutnya
disingkat dengan “trawl” telah mengalami perkembangan pesat di Indonesia
sejak awal pelita I. Trawl sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia sejak
sebelum Perang Dunia II walaupun masih dalam bentuk ( tingkat )
percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sempat terhenti akibat pecah Perang
Dunia II dan baru dilanjutkan sesudah tahun 50-an ( periode setelah
proklamasi kemerdekaan ). Penggunaan jaring trawl dalam tingkat percobaan
ini semula dipelopori oleh Yayasan Perikanan Laut, suatu unit pelaksana kerja
dibawah naungan Jawatan Perikanan Pusat waktu itu. Percobaan ini semula
dilakukan oleh YPL Makassar (1952), kemudian dilanjutkan oleh YPL Surabaya.
Menurut sejarahnya asal mula trawl adalah dari laut tengah dan pada
abad ke 16 dimasukkan ke Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan negara Eropa
lainnya. Bentuk trawl waktu itu bukanlah seperti bentuk trawl yang dipakai
sekarang yang mana sesuai dengan perkembangannya telah banyak mengalami
perubahan-perubahan, tapi semacam trawl yang dalam bahasa Belanda disebut
schrol net.

2.2 Jenis-Jeni Alat Tangkap Trawl


A. Jenis - Jenis Trawl
Menurut Daerah Operasinya Menurut Ayodhyua pada tahun 1981
membedakan jenis-jenis Trawl berdasarkan letak jaring dalam air menjadi 3 (tiga)
jenis, yaitu :
1. Surface Trawl (Jaring yang dioperasikan dipermukaan air).
Jaring ditarik dekat permukaan air (Surface Water) yang bertujuan untuk
menarik ikan dipermukaan air. Ada beberapa kendala dalam pengoperasiannya,
kecepatan menarik jaring harus lebih cepat dari kecepatan ikan berenang, oleh
karena itu jenis Trawl ini sebaiknya digunakan untuk menangkap jenis ikan yang
lambat berenangnya.
2. Mid Water Trawl (jaring yang dioperasikan diantara permukaan dan dasar
perairan).
Jaring ditarik pada kedalaman tertentu dengan kecepatan tertentu secara
horizontal. Untuk menjaga mulut jaring tetap terbuka, maka kecepatan kapal harus
stabil. Di Eropa dan Kanada alat ini digunakan untuk menangkap ikan
Herring sedangkan di Jepang masih dalarn taraf penetitian dan percobaan.
3. Bottom Trawl (jaring yang dioperasikan didasar perairan).
Jaring ini banyak digunakan karena dapat menjaring semua jenis ikan,
udang dan kerang. Pada kenyataannya sering tertangkap ikan Demersal waktu
jaring di angkat ke atas. Karena jaring dioperasikan di dasar taut, maka pertu
diperhatikan beberapa persyaratan agar penangkapan berjalan baik tanpa merusak
jaring , diantaranya :
a. Dasar laut terdiri dari Lumpur dan pasir atau campuran keduanya, bukan
berupa karang
b. Dasar laut bebas dari bangkai kapal atau benda lain yang dapat merusak jarring
c. Perbedaan dasar laut tidak terlalu menyolok
d. Kecepatan arus pasang tidak terlalu besar
e. Keadaan cuaca tenang (tidak ada angin topan dan gelombang besar)
f. Perairan mempunyai sumber ikan yang banyak.

B. Jenis - Jenis Trawl Berdasarkan Alat Untuk Membuka Mulut Jaring


Jenis - jenis Trawl berdasarkan alat untuk membuka mutut jaring, dikenal juga:
1. Beam Trawl adalah sejenis trawl yang terbukanya mulut jarring karena adanya
beam (rangka) yang dipasang pada mulut jarring tersebut. Beam pada mulut
jarring dapat dibuat dari besi atau kayu.
2. Otter Trawl adalah salah satu jenis trawl yang umum dipergunakan
terutama untuk trawl yang ukurannya tidak begitu besar. Alat ini disebut otter
trawl Karen terbukanya mulut jarring tersebut dibuka oleh sepasang otter board
yang dipasang pada tiap-tiap sayap jaring. Otter board ini berfungsi untuk
membuka atau menarik sayap jarring ke arah samping.
3. Paranzella adalah trawl yang ditarik oleh dua kapal.

C. Jenis Trawl Berdasarkan Hasil Tangkapan


Jenis trawl berdasarkan hasil tangkapannya dikelompokkan menjadi 3
macam yaitu :
1. Trawl khusus ikan, yaitu trawl yang dioperasikan khusus menangkap ikan-
ikan jenis tertentu saja dan ini biasanya sangat merugikan dan merusak
lingkungan Dan juga ikan yang lain yang tidak diambil biasnya di jadikan sebagai
penghasilan sampingan bahkan di kapal kapal trawl tertentu ikan yang bukan
merupakan komoditas yang dicari akan dibuang.
2. Trawl udang, trawl udang adalah trawl yang diperuntukan untuk menangkap
udang saja dan ikan yang didapat menjadi sampingan bahkan ada pula yang
dibuang.
3. Trawl Campuran, Pada trawl jenis ini ikan dan udang yang didapat sama sama
akan diambil dan dikemas serta di tanganai secara baik. Pada jenis ini
penangkapan ikan tidak hanya menunggu satu komuditas saja tetapi juga
melihat ikan yang memiliki harga jual tinggi, baik itu udang atau ikan.

2.3 Metode Penangkapan (Setting and Hauling)


Lama Waktu Menarik Jaring
Waktu menarik jaring ideal ideal jika jaring dapat ditarik dengan
kecepatan yang besar, tapi hal ini sukar untuk mencapainya, karena kita
dihadapkan pada beberapa hal, antara lain keadaan terbukanya mulut jaring,
apakah jaring berada di air sesuai dengan yang dimaksudkan (bentuk terbukanya),
kekuatan kapal untuk menarik (HP), ketahanan air terhadap tahanan air, resistance
yang makin membesar sehubungan dengan catch yang makin bertambah, dan lain
sebagainya. Faktor-faktor ini berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan
masing-masing menghendaki syarat tersendiri.
Pada umumnya jaring ditarik dengan kecepatan 3-4 knot. Kecepatan
inipun berhubungan pula dengan swemming speed dari ikan, keadaa dasar laut,
arus, angin, gelombang dan lain sebagainya, yang setelah mempertimbangkan
factor-faktor ini, kecepatan tarik ditentukan.
Lama waktu penarikan di dasarkan kepada pengalaman-pengalaman dan
factor yang perlu diperhatikan adalah banyak sedikitnya ikan yang diduga akan
tertangkap., pekerjaan di dek, jam kerja crew, dan lain sebagainya. Pada umumnya
berkisar sekitar 3-4 jam, dan kadang kala hanya memerlukan waktu 1-2 jam.
Penurunan Alat Tangkap (Setting)
Kegiatan Penurunan alat tangkap (setting) dilakukan di geladak belakang,
sebelum alat tangkap diturunkan ke air terlebih dahulu diperiksa kedalaman
perairan, Penentuan kedalaman perairan ditentukan berdasarkan panjang tali
penarik (warp) yang digunakan biasanya berkisar antara tiga sampai lima kali
kedalaman perairan dimana alat tangkap tersebut dioperasikan.
Penurunan alat tangkap (setting) kedalam perairan diawali dengan
menurunkan trawl secara perlahan ke air dari buritan kapal. Bagian yang pertama
diturunkan adalah bagian kantong, perut dan terakhir sayap. Waktu saat penurunan
alat tangkap (setting), kapal memiliki laju dan kecepatan kapal 1-2 knot. Proses
penurunan alat tangkap (setting) kapal tidak boleh berhenti atau melakukan
gerakan mundur jika kapal berhenti dan melakukan mesin mundur maka jaring
akan masuk ke dalam baling-baling kapal dan akan merusak jaring. Papan
pembuka mulut jaring (Otter board) diturunkan secara perlahan-lahan dengan cara
mengarea tali penarik (warp) dengan menggunakan Trawlwinch. Tali penarik
(warp) diarea sampai panjang tali penarik (warp) yang telah sesuai dengan yang
dikehendaki, setelah itu Trawlwinch dikunci agar panjang tali penarik (warp)
tidak berubah dan kecepatan kapal tidak berubah (Nainggolan Chandra, 2007).
Penarikan Alat Tangkap (Towing)
Penarikan alat tangkap (towing) adalah lamanya alat tangkap dalam
perairan setelah proses penurunan alat tangkap (setting) selesai. Kapal yang
mengoperasikan pukat udang ganda (Double shrimp trawl) pada umumnya adalah
Bottomtrawl, disamping menggunakan alat pendeteksi ikan seperti Fishfinder
pada umumnya menggunakan alat tangkap ketiga, sering disebut sebagai Jaring
uji coba (Try net) dimana ukurannya lebih kecil dari pada trawl. Jaring ujicoba
(Try net) digunakan untuk indikator hasil tangkapan pada trawl yang digunakan.
Jaring uji coba (Try net) dipasang diantara kedua jaring trawl yang dioperasikan
oleh kapal pukat udang ganda (Doubleshrimptrawl). Jangka waktu tertentu,
misalnya setiap 30-45 menit Jaring uji coba (Try net) dinaikan ke atas geladak
kapal untuk dicek jumlah udang yang tertangkap pada Jaring uji coba (Try net)
semakin banyak maka semakin banyak pula hasil tangkapan yang ada pada trawl
yang dioperasikan. Banyaknya hasil tangkapan udang pada Jaring uji coba (Try
net) kerap digunakan untuk menentukan kapan penarikan alat tangkap (towing)
dihentikan dan alat tangkap dinaikan ke atas deck kapal.
Menaikan Alat Tangkap (Hauling)
Menaikan alat tangkap (hauling) adalah kegiatan penarikan alat tangkap ke
atas deck kapal setelah penarikan alat tangkap (towing) dilakukan, beberapa
lamanya. Menaikan alat tangkap (hauling) kecepatan kapal dikurangi atau
diturunkan dan trawl secara perlahan ditarik ke atas kapal. Penarikan alat tangkap
trawl dilakukan dengan cara menarik tali penarik (warp) yang dilaksanakan oleh
Trawlwinch.
Dampak dan Permasalahan Menggunakan Alat Tangkap Trawl
Alat tangkap trawl membawa resiko terjadinya kerusakan lingkungan di
wilayah pesisir pantai dimana alat tangkap ini dioperasikan membawa dampak
terhadap lingkungan seperti :
a. Penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) atau melebihi ambang
batas penangkapan atau MSY (maksimum Sustainnable Yield) dan menyebabkan
terjadinya kerusakan dasar laut seperti plankton atau terumbu karang dan
berkembang biaknya biota laut seperti ikan, udang dan lainnya.
b. Akibat penggunaan pemberat besi, baja dan papan yang mengkeruk yang
rata-rata menyapu bersih tiap trawl beroperasi juga. Merusak dan menghabat
pertumbuhan biota laut seperti anak-anak ikan dan biota laut lainnya dikarenakan
penangkapan biota laut yang bukan menjadi target (baycatch), seringkali ikan,
udang yang sudah mati ditangkap dan dibuang kembali kelaut. Kondisi ini tentu
saja merusak rantai dan system ekologis (termasuk turbidity) dilaut disamping
implikasi social ekonomi kepada masyrakat nelayan tradisionil.
c. Meskipun banyak modifikasi alat tangkap untuk mengeluarkan bycatch
tersebut tidak efektif sama sekali. Berbagai dampak tersebut pada gilirannya akan
membuat terjadinya ketidak seimbangan ekosistem diwilayah laut dipesisir pantai.
d. Penelitian yang pernah dilakukan marine conservation biologi institute
(MCBI) yang berkedudukan di amerika yang melibatkan 17 pakar kelautan dari
amerika, Australia, selandia baru, kanada pada tahun 1986 yang hasil
penelitiannya terangkup dalam laporan MCBI menemukan bahwa trawl
sangat merusak, seperti yang dinyatakan ELLIOTA, NORSE presiden MCBI
ketika membacakan hasil penelitian dalam sebuah pertemuan mengatakan “bahwa
pengrusakan dasar laut mempunyai dampak yang lebih besar terhadap dunia
secara global, misalnya kita harus memulikan kehidupan dasar laut yang telah
rusak akibat pengoperasian trawl paling tidak 150 kali lebih lama dari
memulihkan hutan.
e. Secara ekologis, penggunaan jaringan rawl dapat menghancurkan proses
regenerasi ikan, yang memiliki implikasi sangat buruk bagi ekosistem
f. Berdampak negatif terhadap lingkungan perairan karena alat tangkap ini
memiliki selektivitas yang rendah .
SOLUSI
Sebenarnya selama ini telah terjadi dilema terkait dengan penggunaan alat
tangkap cantrang. Di satu pihak, menguntungkan nelayan, namun di lain pihak
dapat merusak lingkungan dan menimbulkan konflik antar nelayan. Menurut
Yusuf (2015) dalam Hakim dan Nurhasah (2016) apabila dibuat kebijakan yang
membuat penggunaan alat tangkap cantrang dilarang dalam kegiatan penangkapan
ikan, maka kebijakan pelarangan ini sama saja dengan mematikan mata
pencaharian nelayan ,
Adapun solusi yang dapat diambil dari permasalahan ini yaitu :
1. Penerapan penggunaan alat tangkap cantrang pada daerah-daerah khusus yang
diduga tidak akan terlalu merusak lingkungan.
Menurut Subani dan Barus (1989 dalam Wardhani et al., 2012 ), apabila kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan cantrang dilakukan pada wilayah yang tidak jauh
dari pantai, maka sebaiknya dilakukan pada:
a) Wilayah dengan bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir
dengan permukaan dasar rata.
b) Arus laut cukup kecil (< 3 knot).
c) Cuaca terang tidak ada angin kencang.
2) Mata jaring dibuat agar menjadi lebih selektif lagi.
3) Pengelolaan sektor perikanan harus dibangun berbasis ekosistem dengan
memperkuat tata kelola perikanan yang efektif.
4) Dibutuhkan pendekatan yang strategis dan implementatif kepada seluruh
pemangku kepentingan.
5) Pengembangan kapasitas nelayan agar produk perikanan yang dihasilkan
memiliki daya saing dan nilai tambah (Habibi, 2015).
6) Penyuluhan kepada nelayan trawl yang memberikan pengetahuan tentang
untung dan rugi penggunaan alat tangkap tersebut dalam kegiatan penangkapan
ikan.
7) Penegakkan hukum yang tegas bagi pengguna cantrang yang tidak
mengindahkan kaidah pengoperasian yang tepat hingga merusak lingkungan dan
dapat menyebabkan ketidakberlanjutan ketersediaan sumberdaya perikanan.
DAFTAR PUSTAKA

Budi U. 2009. Pengentasan masyarakat miskin daerah pesisir sumatera utara.


Jurnal Paradigma. Vol 1(2).

Cahyani RT. 2013. Kajian penggunaan cantrang terhadap kelestarian sumberdaya


ikan demersal (analisis hasil tangkapan dominan yang didaratkan di tpi
wedung demak). Jurnal Perikanan Laut. Vol 3(1).

Harpowo, Tain A. Fenomena kemiskinan nelayan sebagai dampak overfishing di


pantai utara jawa timur. Jurnal Perikanan Laut. Vol 2(2).

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jurnal


Paradigma. Vol 2(1).

Hakim dan Nurhasanah. 2016. Cantrang: masalah dan solusinya. Seminar


Nasional Riset Inovatif (Senari) Ke-4 Tahun 2016. ISBN 978-602-6428
04-2

Septiana S. 2018. Sistem sosial-budaya pantai: mata pencaharian nelayan dan


pengolah ikan di kelurahan panggung kecamatan tegal timur kota tegal.
Jurnal Sabda. Vol 13(1).

Wijaya A. 2009. Manajemen konflik sosial dalam masyarakat nelayan (studi


kasus pertentangan dan pertikaian nelayan tradisional di kelurahan pasar
bengkulu dengan nelayan modern di kelurahan kandang kota bengkulu).
Jurnal Perikanan Tangkap. Vol 12(2).

Anda mungkin juga menyukai